• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI KABUPATEN

MANDAILING NATAL (Studi Kasus PT. Sorikmas Mining)

TESIS

OLEH

AHMAD IRWANDI 137004004 / PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

(2)

OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI KABUPATEN

MANDAILING NATAL (Studi Kasus PT. Sorikmas Mining)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

AHMAD IRWANDI 137004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : Rabu, 13 April 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, MS Anggota : 1. Prof. Syamsul Arifin, SH., MH

2. Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS 3. Dr. Jusmadi Sikumbang, SH., MS

(5)
(6)

OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI KABUPATEN

MANDAILING NATAL (Studi Kasus PT. Sorikmas Mining)

ABSTRAK

Tujuan Penulisan ini adalah (1) Untuk mengetahui pelaksanaan Kontrak Karya yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Sorikmas Mining.(2)Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Kontrak Karya yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Sorikmas Mining dan cara mengatasi apabila terjadi sengketa terhadap pelaksanaan Kontrak karya tersebut. (3)Untuk mengetahui Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Perseroan Terbatas (PT) Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) implikasi pelaksanaan Kontrak Karya setelah berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah adanya perubahan terhadap Kontrak Karya seperti luas wilayah kerja, penerimaan negara (pajak dan royalti), dan kewajiban divestasi saham, (2) hambatan pada pelaksanaan Kontrak Karya adalah penyesuaian kontrak karya terhadap undang- undang Nomor 4 Tahun 2009, wilayah pertambangan yang berada pada kawasan hutan lindung dan konflik dengan Masyarakat lingkar tambang(3) Dampak kondisi sosial dan Lingkungan Masyarakat memandang negatif keberadaan PT Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal, aktivitas kegiatan pertambangan nantinya akan berdampak pada jalan jadi rusak, pencemaran sungai, pencemaran udara, rusaknya lahan pertanian, terjadi kepadatan penduduk, seringnya terjadi konflik antar Masyarakat dan konflik dengan pihak perusahaan, budaya Masyarakat berubah dilihat dari menurunnya rasa kekeluargaan dan budaya gotong royong.

Kata Kunci : otonomi daerah, pelaksanaan kontrak karya, pengelolaan sumberdaya alam, studi kasus pt. sorikmas mining.

(7)

REGIONAL AUTONOMY AND MANAGEMENT OF NATURAL RESOURCES IN MANDAILING NATAL

(Case Study Sorikmas Mining Company)

ABSTRACT

The purpose of writing this article (1) In order to perform the contract of work of the Government of the Republic of Indonesia with Sorikmas Mining Company. (2) have been predisposed to identify all obstacles to overcome from the Government of the Republic of Indonesia with Sorikmas Mining Company and occur as prepared in the execution of the contract of work if there is a dispute on the implementation of the labor contract. (3) To the existence of the public perception of a limited liability company Sorikmas Mining in Mandailing Natal determine.

The results show that (1) the impact of the implementation of the Treaty of the work after the adoption of Law No 4 of 2009, a revision of the contract of work as a large work area, government revenues (taxes and fees) and the obligation to sell shares, (2) the constraints in implementing contract of work is adjustment of the contract from the work of the law No. 4 of 2009, the mining area in the protected forest is and conflicts with society around the mine (3) the impact of social conditions and the Community for the environmental negative view of the existence of Sorikmas Mining company in Mandailing Natal, type mining activities will affect the way you have so damaged, river pollution, air pollution, the destruction of agricultural land, occurred overcrowding, frequent conflicts between communities and conflicts with the company, Community culture changing views declining sense of kinship and cultural cooperation.

Keyword : regional autonomy, implementation contract of work, management of natural, case study sorikmas mining company

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih atas segala Kemurahan yang Allah SWT berikan kepada penulis, sehingga berhasil menyelesaikan penyusunan tesis dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Keberhasilan penyusunan Tesis dengan judul : “OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI KABUPATEN MANDAILING NATAL (Studi Kasus PT Sorikmas Mining)” ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Delvian, S.P, M.P, selaku Ketua Tim Penguji dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, MS, sebagai dosen pembimbing utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan dorongan, petunjuk dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

5. Bapak Prof. Syamsul Arifin, SH,. MH, sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan dorongan, petunjuk dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

6. Bapak Prof. Dr, Suwardi Lubis, MS., selaku Dosen Penguji 7. Bapak Dr, Jusmadi Sikumbang,SH,.MS., selaku Dosen Penguji

8. Bapak/ Ibu Dosen yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama menempuh perkuliahan pada Program Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera utara.

9. Bapak/ Ibu Tata Usaha Program Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu memperlancar jalannya administrasi.

10. Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal, khususnya Dinas Pertambangan dan Energi, yang membantu memberikan data saat penelitian.

11. Seluruh keluargaku tercinta: almarhum Ayah H. Madong Nasution dan Ibu Hj.

Dermawan, Abanganda Imbalo Nasution, ST, Ahmad Fauzi Nasution, ST, Kakanda Erlina Nasution, SH, S.Pd, Irma Sari Nasution, S.Pd, Evi Suryani, S.Pd dan Adinda Anggi Nasution, S.Pd, yang setia memberikan dukungan doa dan dorongan kepada penulis selama menempuh perkuliahan.

12. Kepada Pengurus DPP Ima Madina Saipul Anwar, Arifin Taher, Herman Birje, M. Riski Ardiansyah, M. Khotib, Maradil, Ishak, dan Pandapotan.

(9)

13. Teman-teman angkatan 2013 Program Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sebagai manusia biasa yang tentunya mempunyai keterbatasan, sehingga tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mohon kritik dan saran dari pembaca.

Akhir kata, besar harapan penulis semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, April 2016

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Panyabungan, Sumatera Utara pada tanggal 12 Juni 1986 sebagai anak ke-6 dari 7 bersaudara dari pasangan yang berbahagia Alm.

Bapak H. Madong Nasution dan Ibu Hj. Dermawan.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan, Fakultas Teknik Universitas Negeri Medan dan lulus pada tahun 2012.

Pada tahun 2013, Penulis melanjutkan pendidikan S-2 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Abstrack ... ii

Kata pengantar ... iii

Riwayat Hidup ... v

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Lampiran ... ix

Daftar Istilah Asing ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 9

2.1.1 Kewenangan Pemerintah Pusat ... 10

2.1.2 Kewenangan Pemerintah Provinsi ... 13

2.1.3 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota ... 15

2.2 Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ... 17

2.2.1 Kewenangan Pemerintah Pusat ... 17

2.2.2 Kewenangan Pemerintah Provinsi ... 19

2.2.3 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota ... 21

2.3 Hubungan antara Lingkungan Hidup dengan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 23

2.3.1 AMDAL sebagai syarat utama penerbitan izin ... 23

2.3.2 Audit Lingkungan ... 25

2.4 Tinjauan Umum Tentang Penanaman Modal Asing ... 27

2.5 Kontrak Bisnis Internasional ... 38

2.6 Kontrak-Kontrak Dalam Bidang Pertambangan ... 47

(12)

BAB III METODE PENELITIAN ... 63

3.1 Metode Pendekatan ... 63

3.2 Spesifikasi Penelitian ... 63

3.3 Subyek Penelitian ... 64

3.4 Obyek penelitian ... 64

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 64

3.6 Populasi dan Sampel ... 66

3.7 Metode Analisa Data ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1 Pelaksanaan Kontrak Karya di Bidang Pertambangan Perseroan Terbatas (PT) Sorikmas Mining ... 70

4.2 Hambatan-Hambatan yang Terjadi dalam Pelaksanaan Kontrak Karya yang Dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Perseroan Terbatas (PT) Sorikmas Mining dan Cara Mengatasi apabila terjadi Sengketa terhadap Pelaksanaan Kontrak Karya tersebut ... 121

4.3 Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Perseroan Terbatas (PT) Sorikmas Mining Di Kabupaten Mandailing Natal ... 130

BAB V PENUTUP ... 147

5.1 Kesimpulan ... 147

5.2 Saran ... 149

DAFTAR PUSTAKA ... 151

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Jumlah Penduduk dan Sampel Setiap desa ... 69

Tabel 4.1 Titik kordinat PT Sorikmas Mining ... 82

Tabel 4.2. luas wilayah menurut desa/kelurahan 2011 ... 132

Tabel 4.3 Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut desa/keluran 2011 ... 132

Tabel 4.4 Usaha pertambangan emas membuka kesempatan kerja yang cukup besar di daerah ini ... 138

Tabel 4.5 Tingkat penyerapan tenaga kerja pada usaha pertambangan emas di daerah ini cukup tinggi ... 138

Tabel 4.6 Pertambangan emas menumbuhkan peluang usaha lain bagi masyarakat di desa ini ... 139

Tabel 4.7 Perusahaan melakukan program pengembangan ekonomi masyarakat di daerah ini ... 140

Tabel 4.8 Jumlah penduduk di daerah ini mengalami peningkatan ... 140

Tabel 4.9 Perusahaan mengakibatkan perubahan kondisi jalan ... 141

Tabel 4. 10 Perusahaan menambah infrastruktur jalan ... 141

Tabel 4. 11 Terjadi pertambahan sarana transportasi... 142

Tabel 4.12 Hutan yang dijadikan tempat pertambangan memiliki pengaruh dalam mengatur tata air ... 142

Tabel 4.13 Pertambangan emas berdampak terhadap buruk lahan pertanian ... 143

Tabel 4.14 Sosialisasi perusahaan kepada masyarakat cukup baik tentang dampak pertambangan emas terhadap lingkungan ... 143

Tabel 4.15 Wilayah konsesi PT SORIKMAS MINING menyebabkan terjadinya penurunan tingkat pendapatan masyarakat di daerah ini ... 144

Tabel 4.16 Keberadaan PT SORIKMAS MINING meningkatkan keresahan masyarakat di daerah ini ... 145

Tabel 4.17 Keberadaan pertambangan emas memberikan dampak terhadap kelestarian lingkungan... 145

Tabel 4.18 Jika pertambangan emas dilaksanakan maka akan berpengaruh terhadap kelestarian sungai ... 146

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Wilayah Kontrak Karya PT Sorikmas Mining dengan Pemerintah Indonesia

2. Data Skor Kuesioner 3. Hasil Analisis

4. Contoh Kuesioner Penelitian

(15)

DAFTAR ISTILAH ASING

1. Direct Investment : Penanaman modal secara langsung

2. Equipment Patent : Teknologi baru masuk dalam pengertian modal asing.

3. Fresh Capital : Modal segar atau uang cash

4. Direct Investment : Dalam berupa modal, kekuasaan dan pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak asing

5. Joint Venture : Merupakan kerja sama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional

6. Joint Enterprise : Merupakan bentuk kerja sama antara perusahaan nasional dengan perusahaan asing (bentuk kerja sama antar perusahaan).

7. Quick Yielding : Hasil dengan cepat dari penanaman modal 8. Economic Resources : Potensi-potensi ekonomi

9. Ingebrekesstelling : Penetapan lalai adalah pesan kreditur kepada debitur, dengan mana kreditur memberitahukan pada saat kapankah selambat-lambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.

10. Overmatch : Keadaan darurat/keadaan memaksa 11. Force Majeure : Keadaan darurat/keadaan memaksa

12. Foreign Element : Unsur-unsur asing dalam penanaman modal

13. Choice Of Law : Klausula pilihan hukum yang menentukan hukum mana yang berlaku atas kontrak tersebut pilihan hukum yurisdiksi

(16)

14. Choice Of Jurisdiction Clause : Pilihan hukum, seperti di pengadilan mana yang berwenang mengadili apabila dalam perjanjian terjadi sengketa

15. Choice Of Forum Clause : Forum yang dapat berupa forum pengadilan atau forum arbitrase.

16. Act Of God : Keadaan memaksa.

17. Work Of Contract : Istilah terjemahan dari kata Kontrak Karya 18. Overeenkomst : Berdasar persetujuan dan kehendak para

pihak.

19. Contract Bedding : Akta/surat kontrak Berdasar persetujuan dan kehendak para pihak

20. Streaking : Tujuan dari kontrak

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mandailing Natal adalah hasil pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 1998 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing Natal.

Kini Mandailing Natal telah menjadi areal aktivitas pertambangan emas di antaranya PT. Sorikmas Mining. Potensi cadangan emas tersebut diperkirakan mencapai ratusan Ton jika eksplorasi berlanjut dari Sihayo dan Sambung sampai ke Kecamatan Kotanopan, Ulu Pungkut dan Pakantan.

Cadangan emas yang sangat spektakuler tersebut kepemilikannya bukan oleh pemerintah atau masyarakat kabupaten Mandailing Natal, melainkan 75 % untuk investasi asing PT. Sorikmas Mining dan 25 % PT. Aneka Tambang (Tbk), meskipun ada kewajiban royalti kepada pemerintah, bagian dari pemerintahan kabupaten Mandailing Natal tidak terlalu signifikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut.

Konstitusi Republik Indonesia mensyaratkan bahwa bumi dan air dan seluruh kekayaan alam di bawahnya di kuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945), hal ini dapat dimaknai bahwa kekayaan SDA yang berada di atas, kulit dan perut bumi Indonesia termasuk bahan tambang harus dikelola semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(18)

Tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan negara tersebut, pemerintah telah berupaya melakukan pembangunan pada seluruh bidang kehidupan. Salah satu bidang pembangunan yang masih terus digalakkan pada saat ini adalah bidang ekonomi dengan pertambangan sebagai salah satu sektor utamanya, karena sektor pertambangan merupakan sektor yang sangat dapat diandalkan untuk memberikan pendapatan berupa devisa bagi negara.

Bidang usaha pertambangan merupakan salah satu bidang usaha yang mendapat prioritas utama dari pemerintah sebelum dan sesudah diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal, baik bagi pihak asing maupun pihak dalam Negeri. Untuk itu, pemerintah berusaha untuk dapat mengarahkan dan mengelola sumber-sumber daya alam yang termasuk dalam bidang usaha pertambangan.

Bidang usaha pertambangan meliputi pertambangan minyak bumi, gas bumi, batubara, logam, timah, bijih nikel, bauksit, pasir besi, perak serta konsentrat tembaga (Amirudin Ilmar, 2004, hal. 113).

Dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam diperlukan modal yang sangat besar, peralatan yang canggih, tenaga ahli, dan terdapat pula resiko yang tinggi. Indonesia mengalami keterbatasan dana dalam kegiatan eksplorasi dan ekploitasi, sehingga diperlukan adanya kerjasama dengan investor asing.

(19)

Sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia, sebagaimana yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dalam pasalnya yaitu Pasal 3 ayat (1) tentang penggolongan galian, terbagi atas 3 (tiga) golongan, yaitu:

a. Golongan bahan galian strategis.

b. Golongan bahan galian vital.

c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a dan b.

Pengusahaan bahan galian (tambang) tersebut di atas dapat dilakukan langsung oleh pemerintah dan/atau menunjuk pihak kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah, sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967.

Program pengembangan bidang usaha pertambangan ditujukan pada penyediaan bahan baku industri dalam negeri, peningkatan ekspor serta penerimaan negara, serta perluasan kesempatan kerja dan berusaha. Pembangunan bidang usaha pertambangan terutama dilakukan melalui penganekaragaman hasil tambang dan pengelolaan hasil tambang secara efisien (Amirudin Ilmar, 2004, hal.

114).

Untuk mengusahakan tercapainya hal tersebut, pemerintah tetap berupaya mendorong peningkatan penanaman modal khususnya penanaman modal asing dalam bidang usaha pertambangan sebagai sumber penerimaan dari iuran kepada negara yang dikeluarkan oleh perusahaan pemegang kuasa pertambangan.

(20)

Dasar hukum yang melandasi kerjasama pemerintah Indonesia dengan pihak swasta asing dalam bentuk kontrak karya didasarkan pada pasal 35 Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang menyatakan bahwa:

“Perjanjian internasional baik bilateral, regional, maupun multilateral dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian-perjanjian tersebut”

Hal ini bertujuan agar semua kontrak yang dibuat pada bidang pengusahaan bahan galian (tambang) yang didasarkan pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, tetap mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 menyatakan bahwa:

“Penanaman modal asing dibidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas dasar kontrak/ bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”

Hal ini dimaksudkan juga agar dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Bab IV tentang Bentuk Badan Usaha dan Kedudukan pada Pasal 5 ayat 2 berbunyi:

“Penanaman modal asing wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas berdasar hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”

Sedangkan, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Bab IV tentang Bentuk Badan Usaha dan Kedudukan pada Pasal 5 ayat 3 berbunyi:

(21)

“Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan :

a. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;

b. Membeli saham; dan

c. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”.

Salah satu perusahaan yang melakukan kerjasama dalam pengusahaan bahan galian (tambang) adalah PT. Sorikmas Mining perusahaan berbadan hukum Indonesia yang didirikan dengan Akte Notaris Nomor 16 tanggal 6 Februari 1998, yang semua sahamnya pada waktu didirikan dimiliki oleh :

1. 75% oleh Aberfoyle Pungkut Investments Pte Ltd. Perusahaan yang didirikan di bawah hukum Singapura dan kantornya beralamat di Six Battery Road #38-01, Singapura.

2. 25% PT Aneka Tambang, badan hukum Indonesia yang didirikan dengan Akte Notaris Nomor 320 tanggal 30 Desember 1974 dibuat di hadapan Abdul Latief, Notaris di Jakarta, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor C2- 377 HT.01.04 TH.85 tanggal 25 Januari 1985. Perubahan Akte Notaris Nomor 136 tanggal 27 Oktober 1992 dibuat dihadapan Budiarti Karnadi, SH, Notaris di Jakarta, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor C2-9323 HT.01.04 TH.92, tanggal 13 Nopember 1992 yang beralamat di Jl. TB Simatupang, Jakarta, Indonesia.

Kerjasama ini dilaksanakan dalam penanganan suatu kontrak karya yang didasarkan atas kuasa pertambangan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan.

(22)

Perseroan Terbatas (PT) Sorikmas Mining sebagai pelaksana kontrak karya tersebut, akan diawasi oleh Pemerintah Indonesia selaku salah satu pihak yang terlibat dan bertanggung jawab dalam terlaksananya kontrak karya sesuai dengan apa yang tertuang dalam klausula-klausula kontrak karya tersebut.

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, maka terjadi pelimpahan wewenang di bidang pertambangan yang awalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat, beralih kepada Pemerintah Daerah. Hal tersebut lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom dalam Pasal 2 ayat (3) angka 3 tentang Bidang Pertambangan dan Energi.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin melakukan penulisan Tesis dengan judul: “Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Kabupaten Mandailing Natal (Studi Kasus PT Sorikmas Mining)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan kontrak karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Sorikmas Mining, sebelum dan sesudah keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah?

(23)

2. Hambatan-hambatan apa yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak karya yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Sorikmas Mining dan bagaimana cara mengatasi apabila terjadi sengketa terhadap pelaksanaan kontrak karya tersebut ?

3. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Perseroan Terbatas (PT) Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pelaksanaan kontrak karya yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Sorikmas Mining.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak karya yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan PT.

Sorikmas Mining dan cara mengatasi apabila terjadi sengketa terhadap pelaksanaan kontrak karya tersebut.

3. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan Perseroan Terbatas (PT) Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan Penulis maupun masyarakat luas tentang kontrak karya di bidang pertambangan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan pihak kontraktor dalam mengusahakan usaha bahan galian tambang.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintahan kabupaten Mandailing Natal tentang pengelolan Sumberdaya Mineral yang baik dan berkeadilan.

(24)

3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dimulai sejak tanggal 15 Oktober 2004, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan galian tambang bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Dasar hukum kewenangan ini terdapat dalam Pasal 14 Ayat 3 yang pada dasarnya menyatakan bahwa daerah diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya nasional yang terdapat di wilayahnya. Kewenangan yang dimaksud telah dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Sumber daya mineral (bahan galian atau bahan tambang) merupakan salah satu potensi sumber daya nasional yang ada di daerah. Bahan tambang atau bahan galian tersebut merupakan sumber daya alam yang tak terbaharukan sehingga dalam pengelolaannya untuk tujuan kesejahteraan rakyat harus dilakukan dengan sebijaksana mungkin karena kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya ini hanya datang satu kali saja.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur tentang urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat,

(26)

Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan daerah tersebut terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan.

2.1.1 Kewenangan Pemerintah Pusat

1. Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional.

2. Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.

3. Pembuatan dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah serta kompetensi kerja pertambangan.

4. Penetapan kriteria kawasan pertambangan dan wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi setelah mendapat pertimbangan dan/atau rekomendasi provinsi dan kabupaten/kota.

5. Penetapan cekungan air tanah setelah mendapat pertimbangan provinsi dan kabupaten/kota.

6. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas provinsi.

7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara, panas bumi, pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.

8. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil laut.

(27)

9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan diluar 12 (duabelas) mil.

10. Pembukaan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.

11. Pemberian izin usaha badan usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta yang mempunyai wilayah kerja lintas provinsi.

12. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal.

13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah lintas provinsi atau yang berdampak nasional dan di wilayah laut.

14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan kuasa pertambangan (KP) lintas provinsi, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan berdasarkan Undang- Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.

15. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang,

(28)

konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KK dan PKP2B yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.

16. Penetapan wilayah konservasi dan pencadangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi nasional dan air tanah.

17. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut.

18. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang panas bumi yang berdampak nasional.

19. Penetapan kebijakan batasan produksi mineral, batubara dan panas bumi.

20. Penetapan kebijakan batasan pemasaran dan pemanfaatan mineral, batubara dan panas bumi.

21. Penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineral, batubara dan panas bumi.

22. Perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi mineral, batubara, dan panas bumi.

23. Penetapan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan dana pengembangan batubara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) .

(29)

24. Penetapan pedoman nilai perolehan akhir tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara.

25. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional.

26. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumberdaya dan cadangan mineral dan batubara nasional.

27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.

2.1.2 Kewenangan Pemerintah Provinsi

1. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.

2. Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi lintas kabupaten/kota.

3. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah lintas kabupaten/kota 4. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan

izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

5. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

6. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara untuk operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota

(30)

dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah perairan kepualauan.

8. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN lintas kabupaten/kota.

9. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan ijin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota.

10. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota atau yang berdampak regional.

11. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP lintas kabupaten/kota.

12. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota.

13. Penetapan wilayah konservasi air tanah lintas kabupaten/kota.

(31)

14. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota.

15. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.

16. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah provinsi.

17. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumberdaya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah provinsi.

18. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.

2.1.3 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota

1. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah Kabupaten/Kota di bidang mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.

2. Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi skala kabupaten/kota.

3. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota.

4. Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.

(32)

5. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

6. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara untuk operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 ( sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

8. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota 9. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan ijin usaha jasa

pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota.

10. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota.

11. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP dalam wilayah kabupaten/kota.

12. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP dalam wilayah kabupaten/kota.

(33)

13. Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota.

14. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota.

15. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/kota.

16. Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota.

17. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah kabupaten/kota.

18. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.

2.2 Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batubara Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara

2.2.1 Kewenangan Pemerintah Pusat

Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:

1. Menetapkan kebijakan nasional;

2. Pembuatan peraturan perundang- undangan;

3. Penetapan standar nasional, pedoman dan kriteria;

4. Penetapan sistem perijinan pertambangan mineral dan batubara Nasional;

(34)

5. Penetepan wilayah pertambangan yang dilakukan setelah berkordinasi dengan Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

6. Pemberian ijin usaha pertambangan, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

7. Pemberian ijin usaha pertambangan, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

8. Pemberian izin usaha pertambangan, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (duabelas) mil dari garis pantai;

9. Pemberian izin usaha pertambangan khusus eksplorasi dan izin usaha pertambangan khusus operasi produksi;

10. Pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;

11. Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;

12. Penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;

(35)

13. Perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil utama pertambangan mineral dan batubara;

14. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah;

15. Pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;

16. Penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan Wilayah Usaha Pertambangan dan Wilayah Pencadangan Negara;

17. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional;

18. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang;

19. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;

20. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan;

21. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaran pengelolaan usaha pertambangan.

2.2.2 Kewenangan Pemerintah Provinsi

Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara antara lain adalah:

1. Pembuatan peraturan perundang- undangan daerah;

(36)

2. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4(empat) mil sampai dengan 12 (duabelas) mil;

3. Pemberian IP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil 4. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan

pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;

5. Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;

6. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;

7. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;

8. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;

9. Pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;

10. Pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya;

(37)

11. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan Bupati/Walikota;

12. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan Bupati/Walikota;

13. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang;

14. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. 15. Menetapkan Wilayah Usaha Pertambangan untuk mineral bukan logam

dan batuan dalam satu Kabupaten/Kota atau lintas Kabupaten/Kota.

16. Pembinanaan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

17. Pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/

Kota.

2.2.3 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota

Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:

1. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;

2. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan diwilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

(38)

3. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

4. Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;

5. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;

6. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;

7. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;

8. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;

9. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan Gubernur;

10. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan Gubernur;

11. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang;

12. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

13. Menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat.

(39)

2.3 Hubungan Antara Lingkungan Hidup Dengan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

2.3.1 AMDAL sebagai syarat utama penerbitan izin

Pada dasarnya pembangunan dengan lingkungan adalah hal yang sangat berbeda. Pembangunan menuntut adanya perubahan yang lebih baik menuju kesejahteraan manusia, atau disebut pula dengan pertumbuhan. Salah satu sisi penting dari pembangunan adalah menuntut ketersediaan sumber-sumber alam. Sedangkan lingkungan, yang terdiri dari sumber daya alam dan ekosistem, juga memiliki sifat keterbatasan dalam ketersediaannya. Sifat lainnya adalah ada sumber daya alam yang dapat diperbaharui seperti hutan atau hewan ada pula yang tidak dapat diperbaharui seperti bahan- bahan tambang. Dengan hadirnya pembangunan maka timbul resiko lingkungan, yaitu ancaman-ancaman yang membuat mutu lingkungan rusak dan cadangannya menjadi tidak lestari. Tetapi pembangunan harus tetap jalan, karena jika tidak ada pembangunan maka tidak tercapai pertumbuhan dan kesejahteraan manusia. Jalan tengah untuk mengurangi resiko dan kerugian- kerugian lingkungan adalah dengan melakukan perencanaan atas suatu kegiatan yang berkemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan. Melakukan perencanaan demikian dilakukan dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), antara lain: Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, AMDAL adalah telaahan secara

(40)

cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana dan/atau kegiatan.

Sedangkan menurut Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup adalah suatu studi yang mendalam tentang dampak negatif dari suatu kegiatan. AMDAL mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup dan dampak lingkungan terhadap pembangunan yang didasarkan pada konsep ekologi, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidup. Oleh karena itu, konsep AMDAL dapat dikatakan sebagai konsep ekologi pembangunan, yang mempelajari hubungan timbal balik antara pembangunan dengan lingkungan hidup.

Dalam AMDAL terdapat dokumen-dokumen yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;

2. Evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;

3. Saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;

4. Prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;

5. Evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup;

6. Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (RPL dan RKL).

Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian pencemaran yang dimuat di dalam dokumen RKL harus dijadikan persyaratan-persyaratan lingkungan yang di integrasikan ke dalam izin. Dengan demikian, izin

(41)

berfungsi untuk menjamin bahwa pemrakarsa AMDAL tidak akan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan izin.

Karena dirasa sangat pentingnya pelestarian lingkungan, pemerintah mengeluarkan peraturan kebijaksanaan mengenai jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL. Bahkan bagi setiap pemohon izin pertambangan yang jenis usahanya wajib AMDAL, maka AMDAL akan menjadi salah satu persyaratan formil untuk terbitnya Surat Keputusan Pemberian Izin Pertambangan.

Kewajiban AMDAL pada usaha pertambangan tidak dimulai dari tahap awal kegiatan usaha pertambangan yaitu tahap penyelidikan umum/eksplorasi.

Karena usaha pertambangan pada tahap ini, selain belum menimbulkan dampak penting bagi lingkungan, juga pertimbangan biaya dan akurasi data yang belum memungkinkan. Kewajiban membuat AMDAL bagi pemegang ijin pertambangan baru berlaku pada tahap eksploitasi dan operasi produksi.

2.3.2 Audit Lingkungan

Keberadaan audit lingkungan di Indonesia secara yuridis formal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dalam Pasal 1 Angka 28 dinyatakan bahwa: “audit lingkungan adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan”.

(42)

Definisi tentang audit lingkungan juga diberikan oleh Grant Ledgerwood, yang mengatakan bahwa: “environmental audit is a new element in corporate strategy. It is the natural outcome of gro wing en vironmental awareness which began in the 1960s and has culminated in the 1990s with the understanding that it us the responsibility of every firm and individual to contribute towa rds the solution of global environmental issues”. Audit lingkungan diatur secara tersend iri pada Pasal 48 dan Undang-Undang Nomor32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam ketentuan Pasal 48 dinyatakan bahwa: “Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup.”

(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada: Sementara dalam ketentuan Pasal 49 dinyatakan bahwa:

a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup ;

b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup.

(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala. Sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 48 danSejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 48 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingku ngan Hidup di atas, Mas Ahmad Santosa meringkas pengaturan kedua Pasal tersebut sebagai berikut: publishing, 1992) hlm.3, dalam Gunawan djayaputra, Aspek

(43)

Yuridis Peranan Audit Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan, dalam Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia.

Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2001, hlm. 410.

1. Tugas Pemerintah untuk mendorong pelaku usaha untuk melakukan audit lingkungan;

2. Kewenangan Menteri lingkungan memerintahkan pelaku usaha melakukan audit lingkungan apabila pelaku usaha itu menunjukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Audit Lingkungan wajib/ Mandatory);

3. Kewajiban pelaku usaha untuk melaksanakan perintah Menteri untuk melakukan audit;

4. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan perintah Menteri, kewenangan Menteri Lingkungan melaksanakan (sendiri) atau memerintahkan pihak ketiga (external auditor) ;

5. Menteri berkewajiban mengumumkan hasil audit wajib;

2.4 Tinjauan Umum Tentang Penanaman Modal Asing

Perekonomian dunia yang selama beberapa dasawarsa berkembang dengan pesat melalui dukungan perdagangan dan moneter antar bangsa, yang kini sedang mengalami resesi. Dalam proses resesi tersebut kebanyakan negara-negara maju menjadi lebih tertutup, sehingga menimbulkan kesulitan bagi negara-negara

(44)

berkembang atau sedang berkembang untuk bekerjasama membangun ekonomi.

Membangun ekonomi nasional harus didasarkan pada kemampuan serta kesanggupan bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia yang selama ini mengandalkan bantuan pinjaman luar negeri, mengakibatkan suatu ketergantungan pada bangsa asing. Kebijakan mengundang para penanam modal asing adalah untuk dapat memanfaatkan potensi modal asing, teknologi dan keahlian dari luar negeri sepanjang tidak mengakibatkan ketergantungan yang bersifat terus menerus serta tidak merugikan kepentingan nasional.

Keadaan tersebut mendorong pemerintah negara-negara berkembang atau sedang berkembang untuk mencari alternatif lain, disamping bantuan pinjaman luar negeri yang selama ini menopang pembangunan negara-negara berkembang atau sedang berkembang yakni, dengan menggalakkan penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam kaitan itu, Indonesia mengalami pula kesulitan yang sama dalam hal perolehan pinjaman luar negeri sehingga mencari alternatif lain dengan “Kebijaksanaan Pintu Terbuka” terhadap Penanaman Modal Asing untuk melakukan aplikasi usahanya di Indonesia.

(Amirudin Ilmar,2004, hal.4).

Menghadapi tantangan di dalam negeri yang semakin kompleks terutama untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara melalui penerimaan pajak, meningkatkan devisa negara dan menciptakan lapangan kerja, semakin dibutuhkan peranan dan kontribusi dari sektor penanaman modal. Di lain pihak, peningkatan peran penanaman modal tersebut

(45)

harus tetap dalam koridor kebijakan pembangunan nasional yang direncanakan dengan tetap memperhatikan kestabilan makro ekonomi dan keseimbangan ekonomi antar wilayah, sektor, pelaku usaha dan kelompok masyarakat serta, mendukung peran usaha masyarakat dan nasional, dan memenuhi kaedah-kaedah tata kelola perusahaan yang baik. Usaha yang dapat dilakukan pemerintah antara lain membantu meningkatkan kepastian berusaha, meningkatkan daya saing produk nasional, mendorong kemitraan dan kerja sama usaha di antara pelaku ekonomi baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa penanaman modal asing akan dirancang dengan suatu undang-undang penanaman modal yang baru dengan memberikan keringanan pajak dan intensif-intensif lainnya. Dalam kaitannya dengan kegiatan penanaman modal asing, Pemerintah Indonesia kemudian menyimpulkan persoalan-persoalan mengenai penanaman modal asing dari Konferensi Jenewa. Ada 9 (sembilan) hal pokok yang menjadi persoalan- persoalan dari Konferensi Jenewa, yaitu:

a. Kebijaksanaan

b. Jangka waktu berusaha c. Pajak

d. Peraturan

e. Perlakuan terhadap investor asing f. Hak atas tanah

g. Insfrastruktur

h. Iklim usaha. (Amirudin Ilmar,2004, hal.31-32).

(46)

2.4.1 Peraturan-Peraturan tentang Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal Asing

Modal merupakan faktor yang sangat penting dan sangat menentukan dalam penyelenggaraan pembangunan ekonomi nasional saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, pemanfaatan modal asing merupakan salah satu alternatif yang di tempuh pemerintah Indonesia untuk mendukung pembangunan ekonomi, selain pemanfaatan modal dalam negeri. Sebagai langkah untuk memanfaatkan sumber permodalan asing, diperlukan beberapa perangkat hukum untuk mengatur, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia, kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, dan terakhir dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada tanggal 26 April 2007.

Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal Asing di Indonesia secara garis besar dikemukakan oleh Sri Redjeki Hartono dalam diskusi Panel 20 Desember 1990, yang menyebutkan:

a. Adanya kerja sama yang serasi antara 2 (dua) unsur, yaitu unsur asing dan unsur nasional.

b. Terjadinya arus timbal balik antara 2 (dua) kepentingan, yaitu kepentingan asing dan kepentingan nasional.

c. Tercapainya suatu kerja sama yang saling menguntungkan antara 2 (dua) pihak, yaitu pihak asing dan pihak nasional.

(47)

Akan tetapi penanaman modal itu sendiri diselenggarakan berdasarkan pada asas yang termuat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, yaitu:

a. Kepastian hukum b. Keterbukaan c. Akuntabilitas

d. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal Negara.

e. Kebersamaan

f. Efisiensi berkeadilan g. Berkelanjutan

h. Berwawasan lingkungan i. Kemandirian dan

j. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional

2.4.2 Pengertian Penanaman Modal Asing

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dinyatakan bahwa:

“Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha diwilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”

Perumusan Pasal tersebut di atas tentang pengertian penanaman modal asing, pada prinsipnya mengandung beberapa unsur pokok, yaitu:

a. Penanaman modal secara langsung (direct investment )

b. Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia

(48)

c. Menggunakan modal asing sepeuhnya atau berpatungan dengan penanam modal dalam negeri

Sementara itu, Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa pengertian penanaman modal asing lebih condong kepada equity, yaitu fresh capital yang datang dari luar negeri, meskipun diakui bahwa equipment patent atau teknologi baru masuk dalam pengertian modal asing. Dalam pandangan lain, suatu hasil keuntungan yang tidak di transfer tetapi diiventasikan termasuk juga dalam kategori modal asing. Hal ini didasari dari pandangan Andean Pact, yang menyatakan:

“Direct foreign investment: contribution coming from abroad, owned by foreignindividuals or concerns to capital of an enterprise must be in freely convertiblecurrencies, industrial plants, machinery or equipment with the right to re export their value and to remit profit abroad. Also considered as direct foreign investment are those investments in local currency originating from resources which have the right to be remitted abroad.

Pengertian tersebut merupakan suatu fenomena di mana modal asing dianggap telah lengkap dengan dimasukkannya unsur loan yang berasal dari luar negeri, karena dalam lalu lintas perekonomian, modal dan pinjaman merupakan suatu kesatuan yang begitu kompleks, artinya suatu negara investor dapat memberikan pinjaman yang berupa modal atau memberikan modal yang merupakan pinjaman dengan ketentuan yang disepakati bersama. Oleh karena itu tidaklah realitas apabila kita mengabaikan unsur loan yang semakin lama semakin berperan. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu diambil suatu kebijakan mengenai perimbangan adanya equity dan loan agar mampu mendapatkan investasi yang lebih sehat.

(49)

Sedangkan, pengertian penanaman modal asing menurut G. Kartasaputra mengandung beberapa aspek yang menonjol bila dikaitkan dengan Undang- Undang Penanaman Modal:

a. Undang-Undang ini tidak mengatur perihal kredit atau pinjaman modal, demikian hubungannya dengan kemungkinan pembangunan perusahaan di tanah air kita dalam rangka menunjang pembangunan.

b. Memberi kemungkinan perusahaan tersebut dijalankan dengan modal asing sepenuhnya (direct investment), joint venture, joint enterprise.

c. Direct investment dalam hal ini hanya berupa modal, tetapi kekuasaan dan pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak asing, sepanjang segala sesuatunya memperoleh persetujuan dari pemerintah Indonesia, dan sejauh mana kebijaksanaannya tidak melanggar hukum dan ketertiban umum yang berlaku di Indonesia.

d. Joint venture merupakan kerja sama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional, bentuk joint venture ini dapat berupa kategori penanaman modal dalam negeri.

e. Joint enterprise merupakan bentuk kerja sama antara perusahaan nasional dengan perusahaan asing (bentuk kerja sama antar perusahaan). Bentuk kerja sama ini sangat disukai baik oleh pemerintah maupun oleh pemilik modal asing.

f. Berbeda dengan kredit yang resiko penggunaannya ditanggung oleh peminjam, resiko penggunaan modal dalam rangka penanaman modal asing menjadi tanggungan penanam modal.

(50)

2.4.3 Bentuk Kerja Sama Penanaman Modal

Pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia seperti yang ditetapkan dalam ketentuan penanaman modal asing sesuai dengan dengan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tetang Penanaman Modal Asing mengenai pengertian penanaman modal asing, yaitu dilakukan dalam bentuk direct investment, akan tetapi di lain pihak diperkenankan pula dilakukan dalam bentuk usaha kerja sama dengan pihak swasta nasional Indonesia seperti yang tertera dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan, yang menyatakan bahwa usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh:

a. Instansi pemerintah.

b. Perusahaan negara.

c. Perusahaan daerah.

d. Perusahaan dengan modal bersama negara dan daerah.

e. Koperasi.

f. Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang di maksud dalam Pasal 12 ayat (1), yang mengatur tentang kuasa pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b yaitu Golongan bahan galian vital, dapat di berikan kepada:

1. Badan hukum koperasi.

2. Badan hukum swasta yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia, bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuan

(51)

berusaha di lapangan pertambangan dan pengurusnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia.

3. Perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia.

Sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang Penanaman Modal Asing bahwa pelaksanaan atau aplikasi penanaman asing di Indonesia dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk usaha, yaitu:

1. Oleh pihak asing (perorangan atau badan hukum), ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing; atau

2. Dengan menggabungkan modal asing itu dengan nasional (swasta nasional). ( Amirudin Ilmar, 2004, hal. 49).

2.4.4 Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, mengatur tentang penyelesaian sengketa penanaman modal sebagai berikut:

1. Musyawarah dan Mufakat

Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulumenyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.

2. Arbitrase

Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan pula bahwa hukum yang berlaku yang menjadi dasar penggunaan oleh dewan wasit dalam penyelesaian sengketa tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para

(52)

pihak. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan konvensi International Convention on The Settlement of Dispute (ICSID) dalam Pasal 42 ayat (1).

3. Pengadilan.

Adanya pengaturan pemerintah untuk menangani penyelesaian sengketa penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia telah dilakukan melalui diratifikasikannya Konvensi Bank Dunia dengan Undang- Undang Nomor 5 tahun 1958 kemudian 1981 serta peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1990. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, secara yuridis Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian sengketa penanaman modal asing akan dilakukan menurut tata cara dan prosedur yang diatur dalam International Convention on The Settlement of Dispute (ICSID). Menurut ketentuan dalam pasal 25 ayat (3) Konvensi ICSID ditentukan bahwa dalam suatu persoalan diajukan kepada arbitrase, masih diperlukan adanya persetujuan dari pemerintah negara yang digugat, yakni pemerintah negara penerima modal. ( Amirudin Ilmar, 2004, hal. 157).

4. Konsialisi.

Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi melibatkan pihak ketiga (konsiliator) yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya dikarenakan permintaan para pihak.(H. Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih,2007, hal. 35).

Badan konsiliasi disini dapat berbentuk suatu lembaga atau ad hoc. Proses ini bertujuan untuk mendamaikan pandangan-pandangan para pihak yang

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sikap dan persepsi peserta didik yang kurang baik terhadap pembelajaran geografi di SMA Kabupaten Garut. Tujuan penelitian

Namun masalah yang sering muncul adalah bagaimana cara untuk merepresentasikan pengetahuan di antaranya adalah menerapkan sistem pakar yang telah terkomputerisasi

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya meskipun memiliki kesamaan istilah yaitu pengelolaan, namun pengelolaan yang dimaksud dalam penelitian

Apabila pelampung sudah mencapai level yang telah ditentukan yaitu 10 cm setelah ketinggian minyak maka magnet yang menempel pada tiang akan sejajar dengan sensor reed

Aspek biologis merupakan salah satu aspek yang tidak dapat diabaikan, karena hal tersebut menyangkut konidiisi fisik berupa tingkat kesegaran jasmani yang sangat diperlukan

Pelatihan yang diperlukan antara lain : konsep KPRS dan Managemen Resiko RS, 7 langkah KPS, Standar dan Instrumen Akreditasi sasaran Keselamatan Pasien, Alat

Tinggi badan ibu yang pendek berisiko 1,3 kali memiliki balita stunting dibandingkan dengan dengan ibu yang memiliki tinggi badan yang tinggi Bila orang tua pendek

Dari hasil pengujian pertama dapat dilihat bahwa proses perhitungan waktu sterilisasi menggunakan logika fuzzy Mamdani dengan input buah = 7.500 Kg dan input tekanan