• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai perihal (yang bersifat,berciri) keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.1

Dari uraian diatas tampaklah bahwa batasan dan pengertian tentang tindak kekerasan yang diberikan adalah meliputi setiap aksi atas perbuatan yang melanggar undang-undang hal ini adalah hukum pidana. Batasan tindak kekerasan tidaklah hanya tindakan melanggar hukum atau undang-undang saja, tetapi juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan conduct norms, yang tindakan-tindakan bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat walaupun tindakan itu belum dimasukkan atau diatur dalam undang-undang.2

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah. Misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana diartikan yang dimaksud dengan kekerasan itu adalah membuat orang pingsan atau tidak berdaya lagi.3

Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Dalam Konvensi Penghapusaan Segala Bentuk Diskriminasi

1 Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, PN.Balai Pustaka, Jakarta, 2003, h. 550.

2 Varia Peradilan, “Langkah Pencegahan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Wanita”, Tahun XIII, No.

145 Oktober 1997, h. 118.

3 Adami Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa”, Raja Grafindo Persada, Jakata, 2002, h. 65.

(2)

3

Terhadap Perempuan terdapat 30 Pasal, diantaranya lima pasal pertama memuat dasar pemikiran penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pasal 6-16 memuat hak-hak substantif dan kewajiban pemerintah. Pasal 17-30 memuat ketentuan-ketentuan mengenai struktur kelembagaan, prosedur dan mekanisme pelaporan pelaksanaan Konvensi, ratifikasi san aksesi Konvensi, dan apabila terjadi perselisihan mengenai penerapan dan penafsiran Konvensi. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan memang tidak menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 3 memuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.4

Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Lebih khusus lagi, jaminan atas hak asasi perempuan dapat ditemui dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Pengesahan Konvensi Perempuan. Didalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tersebut dinyatakan bahwa negara akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk adanya kekerasan terhadap perempuan, baik yang meliputi kekerasan di wilayah publik maupun di wilayah domestik. 5

Pada tahun 1993 Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap perempuan yang telah dirumuskan tahun 1992 oleh Komisi Status

4 Saparinah Sadli, “Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya”, KK Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta 2000, h. 1.

5 Harkristuti Harkrisnowati, ”Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Pemahaman Bentuk- bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya”, UI, Jakarta, 2000, h. 11.

(3)

4

Perempuan PBB, di mana dalam pasal 1 disebutkan bahwa, “kekerasan terhadap perempuan mencakup setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun psikhis, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat”.

Bahkan secara jelas pengertian kekerasan ini kemudian dapat dilihat di dalam Konvensi Tentang Penyiksaan dan Perilaku Kejam, Tak berperikemanusiaan dan Merendahkan, yang diratifikasi pada bulan Nopember 1998, disebutkan bahwa, “...

Torture ... means any act by which severe pain or suffering whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person ...”. Demikian juga di dalam laporan Wolrd Conference (1995) di Beijing, pada butir 113 dirumuskan bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai “setiap tindakan berdasarkan gender yang menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual atau psikoloogis terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau pribadi”. Dalam kaitannya dengan penggunaan hukum pidana, jika terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka terminologinya tidak boleh samar. Ini dimaksudkan agar tidak timbul “multiintepretasi” yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesulitan baik pada masyarakat maupun penegak hukum.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara

(4)

5

sewenang-wenang, baik yang terjadi diruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.6

Banyaknya kasus kekerasan terhadap wanita dengan bentuknya yang beragam, menjadikan kekerasan terhadap wanita sebagai masalah global (transnasional). Hal ini menyadarkan Negara-negara di dunia untuk bekerjasama menanggulangi kekerasan tarhadap wanita secara interdisipliner, baik politis, sosial budaya dan ekonomis.

7Negara perlu mencipatakan kondisi dimana laki-laki dan wanita ditempatkan pada posisi yang sejajar, sehingga tidak ada dominasi laki-laki terhadap wanita di segala bidang kehidupan. Pemberdayaan wanita perlu ditingkatkan, sehingga wanita tidak tergantung secara ekonomi pada laki-laki.8

Berbagai tindak kekerasan yang sering terjadi dan menimbulkan korban dikalangan perempuan seperti, (a) serangan seksual; (b) kasus pembunuhan terhadap ibu atau nenek baik karena motif ekonomi maupun karena rasa marah yang tidak terkendali; (c) pornografi; (d) tindak kekerasan oleh majikan terhadap pembantu rumah tangga yang sering terjadi dan umumnya dilandasi oleh rasa jengkel bahkan benci, (e) kekerasan dalam berpacaran, serta beberapa tindak kekerasan lainnya.9

Kekerasan dapat meliputi pula : (a) fisik; (b) seksual; (c) psikologis; (d) politis;

dan (e) ekonomi. Selanjutnya KUHP merumuskan beberapa tingkah laku kekerasasn yang korbannya adalah perempuan, seperti : (a) pornografi (Pasal 282 dst); (b) perkosaan (Pasal 285 dst); (c) perbuatan cabul (Pasal 290 dst); (d) perdagangan wanita (Pasal 297); (e) penculikan (Pasal 328); (f) penganiayaan (Pasal 351 dst); (g) pembunuhan (Pasal 338) dan; (h) perampokan (Pasal 363).10

6 Niken Savitri, “HAM Perempuan”, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 49.

7 Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, h. 24.

8 Ibid, h. 41.

9 Ibid, h. 11.

10 Jhon D. Pasalbessy, “Dampak Tindak Kekerasan”, Jurnal Sasi Vol. 16, No. 3, Juli-September 2010, h. 10.

(5)

6

Kekerasan terhadap perempuan sudah merupakan perbuatan yang perlu dikriminalisasikan karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar atau fundamental yang harus dipenuhi Negara, seperti tercantum dalam pasal 28 UUD 1945, UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.11

Kekerasan termasuk dengan penganiayaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 351 yang hanya menyebutkan mengenai hukuman yang diberikan pada tindak pidana.

Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan“ yaitu sengaja menyebabkan perasaan (penderitaan), rasa sakit atau luka.12

Menurut alinea 4 Pasal ini, dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang“. Kekerasan dalam berpacaran termasuk penganiayaan,yang bersifat rasa sakit atau luka terhadap seseorang,sehingga bisa dikenakan dengan pasal 351, kekerasan dalam berpacaran sangat sering terjadi untuk sekarang bahkan dari Data dari LBH Apik Jakarta mencatat terdapat 68 kasus kekerasan dalam pacaran sepanjang tahun 2010. Jumlah ini meningkat dari tahun 2009 yang berjumlah 56 kasus kekerasan dalam pacaran. Ketua Divisi Monitoring LRC-KJHAM Fatkhurozi mengungkapkan tedapat 82 kasus kekerasan dalam pacaran dengan jumlah korban 87 orang, 15 orang diantaranya meninggal. Di dalam berpacaran, ternyata tidak lepas dari hal-hal yang berbau kekerasan. Orang sering tidak sadar sebuah hubungan pacaran dapat berubah menjadi tidak sehat dan dipenuhi

11 Saparinah Adli, “Beberapa Catatan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia, (Jakarta Makalah Program Studi Kajian Wanita”, PPS-UI, 2002), h. 23.

12 KUHP, Pasal 351.

(6)

7

kekerasan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk dan dampak terjadinya kekerasan dalam berpacaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Metode pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi. Informan utama dalam penelitian ini adalah seorang yang memiliki karakteristik sebagai berikut: a) seorang laki-laki dan perempuan, b) berpacaran lebih dari 1 tahun, c) usia 18-25 tahun, d) mengalami kekerasan dalam berpacaran. Jumlah informan utama adalah 5 orang. Kemudian informan pendukung dari penelitian ini adalah orang terdekat informan utama. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran meliputi a) kekerasan fisik seperti dorongan keras dan tamparan. b) kekerasan mental/psikis seperti mengucapkan kata-kata kasar dan makian. c) kekerasan seksual seperti memaksa mencium korban dan memaksa korban untuk berhubungan seksual. d) kekerasan ekonomi seperti meminta korban untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari pelaku. Dampak kekerasan dalam berpacaran meliputi dampak fisik dan dampak psikis. Dampak saat kekerasan terjadi meliputi dampak fisik berupa rasa sakit, seperti perih, memar. Dampak psikis berupa sakit hati dan marah. Dampak setelah kekerasan terjadi meliputi dampak fisik berupa rasa sakit, seperti bengkak dan memar. Dampak psikis yang meliputi dampak positif yaitu informan memandang seseorang tidak hanya dari fisiknya saja, tetapi juga kepribadiannya serta dampak negative yaitu menutup diri krisis kepercayaan terhadap orang lain dan trauma.13

Banyaknya kasus kekerasan terhadap wanita dengan bentuknya yang beragam, menjadikan kekerasan terhadap wanita sebagai masalah global (transnasional). Hal ini menyadarkan Negara-negara di dunia untuk bekerjasama menanggulangi kekerasan tarhadap wanita secara interdisipliner, baik politis, sosial budaya dan ekonomis.

13 Made Darma Weda,Kriminologi, Edisi 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, h, 112.

(7)

8

Negara perlu mencipatakan kondisi dimana laki-laki dan wanita ditempatkan pada posisi yang sejajar, sehingga tidak ada dominasi laki-laki terhadap wanita di segala bidang kehidupan. Pemberdayaan wanita perlu ditingkatkan, sehingga wanita tidak tergantung secara ekonomi pada laki-laki.14

Upaya untuk mencegah dan atau menanggulangi berbagai perilaku kekerasan yang dialami perempuan sudah mesti mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Oleh sebab itu, pendekatan dalam penanganan masalah ini mesti bersifat terpadu (integrated), di mana selain pendekatan hukum juga harus mempertimbangkan pendekatan non hukum yang justru merupakan penyebab terjadinya kekerasan. Dengan cara meningkatkan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di dalam hukum, meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Meningkatkan kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan memberikan bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap perempuan melakukan pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif guna menanggulangi kekerasan terhadap perempuan. 15

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 3 menjelaskan bahwa: a. mencegah segala bentuk kekerasan seksual; b. menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; c. melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; d. lingkungan tanpa kekerasan seksual;

dan e. menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual. Pasal 4 ayat (1) menjelaskan terdiri atas a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan

14 Ibid, h. 41.

15 Tri Wahyu Widiastuti, “Perlindungan Bagi Wanita Terhadap Tindak Kekerasan”, Jurnal Wacana Hukum, Vol.

VII. No. 1, April 2008, h. 35.

(8)

9

seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik. Pasal 4 ayat (2) menjelaskan terdiri atas a. perkosaan; b.

perbuatan cabul; c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/

atau eksploitasi seksual terhadap Anak; d. perbuatan melanggar kesusilaarr yang bertentangan dengan kehendak Korban; e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; f.

pemaksaan pelacuran; g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 menyatakan bahwa Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c.

memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g.

mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya; j. mendapat identitas baru; k.

mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru; m.

memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat

(9)

10

nasihat hukum; o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau p. mendapat pendampingan.

Pengaturan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual di atas, di atur dengan tegas dan jelas dengan tujuan: a. untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; b.

untuk menangani, melindungi dan memulihkan korban; c. untuk melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; d. untuk mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan e. untuk menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

Seperti dalam Putusan Nomor 379/Pid.B/2018/PN Tlg yang dilakukan oleh Agus Budiono Bin Mispan kepada saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno terjalin hubungan percintaan sebagai sepasang kekasih tetapi karena suatu sebab hubungan tersebut berakhir tetapi terdakwa yang masih menyimpan rasa penasaran dengan mantan kekasihnya tersebut pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2018 sekitar jam 9.00 wib. pergi menemui saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno di tempat kerjanya di Ngunut bermaksud memastikan hubungan cinta mereka. Ketika terdakwa dengan saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno bertemu mereka bercakap biasa tetapi selanjutnya percakapan berubah panas penuh emosi sehingga mereka bertengkar. Pertengkaran tersebut menyebabkan tubuh saksi Dea Ivani Suseno Putri binti Agus Suseno mengalami luka robek membujur sepanjang 5 cm dan bengkak di kepala bagian belakang sebelah kanan dengan diameter 4 cm hingga dijahit (enam) jahitan. Dalam kasus tersebut Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada Agus Budiono Bin Mispan selama 4 (empat) bulan.

Menurut pendapat penulis yang berargumen bahwa Majelis Hakim hanya bisa memberikan hal-hal yang dapat memberatkan terdakwa. Hakim memberikan hukuman kepada terdakwa tanpa memberikan perlindungan bagi korban yang mempengaruhi pskis korban. Putusan hakim menjatuhkan terdakwa selama 8

(10)

11

(delapan) bulan tanpa memberikan saksi pengantian biaya pengobatan bagi korban dinilai masih kurang sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seharusnya Majelis Hakim juga memberikan hak-hak korban seperti memberikan perlindungan atas keamanaan pribadi, keluarga dan harta benda serta ancaman dari yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya, memberikan saksi pengantian biaya pengobatan bagi korban sampai batas waktu perlindungan berakhir dan mendapatkan pendampingan.

Menurut Penulis, Putusan Nomor 379/Pid.B/2018/PN Tlg belum sesuai dengan belum sesuai dengan keadilan substantif karena tidak memberikan efek jera kepada pelaku dan tidak berfungsi memberikan pembelajaran terhadap pelaku penganiayaan.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap lebih mendalam tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan, faktor penyebab, dampaknya dan strategi dalam mengatasi masalah kekerasan dalam berpacaran dan bagaimana perlindungan hukum bagi korban yang mengalami kekerasan dalam berpacaran menyebar di semua kalangan anak-anak, remaja dan orang dewasa.

Dengan demikian, penelitian ini mengambil skripsi dengan judul: “Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Pacaran Dikaitkan Dengan Perlindungan Korban (Studi kasus Nomor 379/Pid.B/2018/PN Tlg).”

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaturan tindak pidana kekerasan dalam pacaran dikaitkan dengan perlindungan korban pada Putusan Nomor 379/Pid.B/2018/PN Tlg?

C. Tujuan Penelitian

(11)

12

Berdasarkan rumusan permasalahan, penulis dapat membuat tujuan sebagai berikut:

Untuk memusatkan kepada peraturan perundang-undangan mengenai menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan khususnya menyangkut Kekerasan Dalam Berpacaran.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, pembaca dan masyarakat pada umumnya baik secara teoritis maupun praktis. Hasil penelitian ini memiliki manfaat diantaranya:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan perkembangan ilmu hukum dan menjadi para akademisi dibidang hukum khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap Kekerasan Dalam Berpacaran.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemahaman dan menambah ilmu pengetahuan serta menambah wawasan untuk semua masyarakat terkait adanya suatu kompilasi peraturan perundang-undangan tentang Kekerasan Dalam Berpacaran.

b) Bagi yang Berpacaran

Bagi yang berpacaran dapat menambah pengetahuan agar tindak kekerasan dalam pacaran tidak terjadi lagi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

(12)

13

Sesuai dengan adanya penelitian ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum (normatif) yaitu penelitian yang mengutamakan adanya bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian untuk menjawab segala yang menjadi rumusan masalah.

2. Jenis Pendekatan

a. Pendekatan Undang-Undang (statute approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang- undang membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian dengan undang- undang lainnya.16

b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)

Pendekatan Konseptual mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide yang melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi, pemahaman tersebut merupakan sandaran bagi peneliti untuk membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan masalah atau isu yang dihadapi. 17

F. Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan

16Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: KENCANA, 2005, h, 133.

17Ibid., h. 135.

(13)

14

adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dalam penelitian yang dilakukan.

Bahan hukum primernya yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban 2. Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP)

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia 2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum atau literatur lain yang berkaitan dengan penelitian mengenai “Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Pacaran Dikaitkan Dengan Perlindungan Korban (Studi kasus Nomor 379/Pid.B/2018/PN Tlg).”

Referensi

Dokumen terkait

Kejawen adalah sebuah kepercayaaan atau barangkali boleh dikatakan agama yang terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Pulau

huata’ala Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan rahmat serta karuniaNya kepada kita semua, terutama pada penulis buku yang memuat tentang bagian dari

Kerakteristik dari penelitian ini adalah tindakan (aksi) tertentu untuk memperbaiki proses pembelajaran dikelas, seperti halnya pada MTsN 1 Kendari dimana prosedur Penelitian

Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh proses pemasakan (kukus, rebus, dan bakar) dengan 3 variasi penggunaan pengawet (tanpa penambahan pengawet, potasium sorbat 250 ppm dan

Implementasi teknik OOP dalam pemrograman proses perhitungan EphemeriSaya yakni dengan membagi proses perhitungan menjadi 3 class utama, yakni class JulianDay, class

Pengolahan air limbah domestik dengan alternatif teknologi Anaerobic Baffled Reactor dan Anaerobic Filter dilakukan agar air buangan dari kegiatan domestik di

Konduksi adalah proses dimana panas mengalir dari daerah yang bersuhu tinggi ke daerah yang bersuhu rendah didalam suatu medium ( padat, cair, gas ) tau antara medium – medium

Adapun dalam pemasangan alat peraga yang dilakukan di tempat umum akan ditempatkan pada lokasi yang ditetapkan dana tau di izinkan oleh pemerintah daerah setempat,