• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Temporal Dampak Pengelolaan Limbah Padat Terhadap Konsentrasi COD dan Amonia di Air Permukaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Dinamika Temporal Dampak Pengelolaan Limbah Padat Terhadap Konsentrasi COD dan Amonia di Air Permukaan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Dinamika Temporal Dampak Pengelolaan Limbah Padat Terhadap Konsentrasi COD dan Amonia di Air Permukaan

Alloysius Pamurda Dhika M1, Fadilla Ayu Fauzia2, Mochamad Adhiraga Pratama3*

1,2,3Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia

*Koresponden email: [email protected]

Diterima: 25 November 2022 Disetujui: 10 Desember 2022

Abstract

Rivers in Indonesia are heavily polluted by unmanaged municipal solid waste (MSW) which affects their capacity as drinking water, power, and irrigation sources. This research aimed to analyze the effect of MSW types and contact time on the dynamics of Chemical Oxygen Demand (COD) and ammonia in the water that was traced over two weeks period in a batch reactor filled with Ciliwung River organic and inorganic MSW samples. Then, the MSW degradation rates to COD and ammonia (k1) were mathematically analyzed by using the mass balance principle. The results showed that for organic MSW, there were rapid increases in COD and ammonia concentrations on the first 6 days of the experiment and followed by steady decreases.

In contrast, for inorganic MSW, overall steady trends were observed for both COD and Ammonia. The analysis of the degradation rate showed that the values of K1 for COD in organic MSW was ranging from 3.841 to 4.655 /day, 10-30 times higher than those of inorganic MSW values, which ranged from 0.122 to 0.425 /day. For ammonia, the values of k1 for organic MSW ranged from 0.0021 to 0.0028 /day, about two times higher than those of inorganic MSW values ranging from 0.001-0.0014 /day. Findings in this study offer opportunities to model and simulate COD and Ammonia dynamics in surface water due to MSW contamination.

Keywords: COD, ammonia, degradation, solid waste, time effect

Abstrak

Sungai di Indonesia secara umum tercemar limbah padar yang dapat menyebabkan permasalahan pada sistem pengolahan air minum, energi, dan sumber irigasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika COD dan amonia di air Sungai Ciliwung akibat jenis dan waktu kontak sampah selama 2 minggu terhadap badan air. Analisis laju degradasi sampah dilakukan dengan menggunakan prinsip kesetimbangan massa. Tren yang terjadi selama 6 hari pertama adalah kenaikan dan mengalami tren yang landai. Nilai k1

(degradasi sampah) untuk COD dari reaktor sampah organik berada adalah 3,841-4,655 per hari. Sedangkan pada sampah anorganik, nilai degradasinya lebih kecil 10-30 kali (0.122-0.425/hari). Untuk amonia, nilai dari k1 pada sampah organik berada di rentang 0,0021-0,0028/ hari. Pada sampah anorganik nilai k1 lebih rendah, yaitu: 0,001-0,0014/hari. Penelitian ini mengembangkan model dan menyimulasikan COD dan Amonia secara dinamis pada air permukaan yang disebabkan oleh kontaminasi sampah.

Kata Kunci: COD, amonia, degradasi, limbah padat, pengaruh waktu

1. Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN yang memiliki pendapatan per kapita dengan kategori tinggi dan memiliki timbulan sampah yang tinggi, di mana mencapai 64 juta ton per tahun.

Komposisi timbulan sampah tersebut meliputi 60% sampah organik yang dapat terurai, 14% sampah plastik, 9% sampah kertas, dan jenis sampah lainnya. Jika dilihat dari wilayah pelayanannya, Indonesia masih tergolong negara yang belum baik dalam melakukan pengelolaan sampah. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya cakupan wilayah pengelolaan sampah, seperti di Surabaya yang hanya mencapai angka 54,84%, wilayah Serang yang berada di angka 43,3%, dan Jayapura yang mencapai angka 11% [1]. Adapun kota yang memiliki angka timbulan sampah tertinggi di Indonesia adalah DKI Jakarta, dengan jumlah timbulan sampah mencapai 7.164,53 ton per hari. Sumber timbulan sampah ini paling banyak didominasi oleh kegiatan domestik (rumahan) dan diikuti dengan kegiatan dari jual beli di pasar [2].

Sampai dengan saat ini, pengelolaan sampah di Indonesia hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, di mana pengelolaan sampah meliputi: standar dan strategi yang harus dilaksanakan serta persyaratan fasilitas pengelolaan sampah. Adapun strategi yang disusun oleh pemerintah sebagai penunjang dari regulasi tersebut adalah program Jakstranas yang memiliki

(2)

target mengurangi sampah hingga 30% di tahun 2025. Namun, pada kenyataannya sampai dengan tahun 2018 jumlah sampah yang dapat dikurangi baru mencapai 2,26%. Penyebab dari rendahnya pencapaian target tersebut adalah tingkat kemalasan (47,4%), rendahnya pengetahuan mengenai prosedur pengolahan sampah (31,9%), dan waktu yang terlalu sedikit (13%) [1]. Terdapat empat sungai utama di Indonesia yang sampai dengan saat ini memiliki kondisi tercemar timbulan sampah, yaitu: Sungai Brantas, Sungai Bengawan Solo, dan Sungai Progo di mana masuk dalam 20 sungai paling tercemar sampah di dunia. Hal ini membuktikan bahwa tingkat pengelolaan sampah di Indonesia masih tergolong kurang baik.

Tingginya tingkat pencemaran sampah di sungai tentunya memberikan dampak yang tidak sehat bagi kondisi akuatik di dalam sungai tersebut. Pada umumnya sampah ini berasal dari kegiatan masyarakat yang membuang sampah secara sembarangan atau adanya sisa pembuangan dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) [3]. Kondisi pencemaran akibat timbulan sampah memiliki angka yang paling tinggi jika dibandingkan dengan polutan lainnya, termasuk gas rumah kaca. Hal ini tentunya memberikan dampak yang buruk tidak hanya bagi kondisi akuatik yang ada, namun juga berpengaruh terhadap tingkat penggunaan air bersih, di mana mayoritas masyarakat menggunakan air dari sungai sebagai sumber air bersih. Salah satu contoh yang dapat dihubungkan adalah terdapat lebih dari 70.000 pemukiman yang berada di bantaran Sungai Ciliwung di DKI Jakarta yang menggunakan air sungai tersebut sebagai sumber air bersih [4] Jenis sampah yang paling banyak ditemui di Sungai Ciliwung sampai dengan saat ini adalah sampah plastik, di mana dapat menyebabkan banjir dan juga bencana lainnya [5].

Salah satu aspek yang sangat berpengaruh pada penurunan kualitas air ini berasal dari lindi yang dihasilkan dari sampah [6]. Lindi terbentuk akibat adanya rembesan dari kandungan sampah yang ada di air. Setelah sampah tercampur dengan air maka terjadi proses dekomposisi, di mana prosesnya meliputi:

degradasi mikroba, presipitasi dari komponen sampah, dan adanya reaksi sorpsi atau desorpsi [7]. Dampak yang terjadi akibat adanya penumpukan sampah di sungai bergantung pada komposisi sampah yang ada.

Hal ini disebabkan karena setiap jenis komposisi sampah memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan menghasilkan kandungan lindi yang berbeda pula [8]. Komposisi sampah ini memberikan dampak berupa perubahan aspek fisik, organik, dan mikroba yang ada di dalam air sungai. Adapun aspek yang dimaksud adalah perubahan suhu, pH, konduktivitas elektrik, padatan terlarut (TDS), kesadahan, oksigen terlarut, dan kebutuhan oksigen (BOD dan COD).

Aspek perubahan mikroba yang dimaksud di sini adalah peningkatan bakteri Coliform dan Faecal Coliform yang terkandung di dalam air [8]. Jenis sampah yang berada di sungai juga mengandung sampah plastik berukuran makro. Sampah plastik ini terdegradasi seiring berjalannya waktu dan menjadi beban pencemar mikroplastik [9]. Keberadaan COD diakibatkan oleh produksi lindi dari sampah yang terdegradasi. Lindi memiliki konsentrasi senyawa yang sangat beragam dan dapat ditentukan karakteristiknya berdasarkan keberadaan dari asam volatil dari proses fermentasi pada sampah [10]. Nilai COD berpengaruh terhadap rasio BOD/COD yang merupakan elemen krusial untuk menentukan karakteristik dan indikator estimasi dari pencemaran di badan air [11]. Pada umumnya amonia dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: amonia ionik dan amonia non-ionik. Dampak dari keberadaan amonia di biota perairan adalah menyebabkan proliferasi pada jaringan insang, merusak epitel insang, mengurangi kapasitas oksigen darah karena adanya asidosis progresif, dan menyebabkan penipisan adenosin trifosfat (ATP) di otak [12]. Penelitian ini bertujuan untuk membahas mengenai model dan simulasi degradasi sampah organik dan anorganik pada COD dan amonia di air permukaan, di mana belum banyak diteliti sampai dengan saat ini.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan media berupa reaktor. Berdasarkan ref. [13], di mana pada setiap 1 liter air menggunakan sampel sampah sebesar 12 gram. Pada kondisi penelitian yang dilakukan, air sungai yang digunakan pada reaktor adalah sebesar 400 mL atau 40% dari 1 liter, oleh karena itu total massa sampel sampah yang digunakan adalah 40% dari 12 gram atau sebesar 4,8 gram. Berdasarkan pengambilan sampel sampah, didapatkan data bahwa jumlah sampah organik adalah sebesar 68,63% dan sampah anorganik adalah sebesar 31,36%. Setelah itu dilakukan pengukuran sampel sampah yang digunakan pada reaktor, di mana sampel sampah organik sebanyak 3,36 gram dan anorganik sebanyak 1,44 mg. Adapun sampel sampah kemudian dibagi menjadi 4 bagian, di mana terbagi atas 2 bagian organik dan 2 bagian anorganik.

Sampah yang telah dibagi diletakkan pada beaker glass dan dimasukkan pada reaktor. Berikut ini merupakan ilustrasi dari penggunaan reaktor yang digunakan pada penelitian ini:

(3)

Gambar 1. Ilustrasi Tampak Depan Reaktor Sumber: [13]

Gambar 2. Ilustrasi tampak samping reaktor Sumber: [13]

Beaker glass diletakkan pada reaktor dengan jangka waktu 13 hari dengan tujuan mendapatkan data perubahan konsentrasi COD dan amonia. Adapun prosedur yang digunakan untuk mengambil sampel air sungai ini mengacu pada SNI 6989-57-2008 tentang metode pengambilan contoh air permukaan. Setelah melakukan pengambilan sampel air sungai, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian parameter COD dan amonia dengan mengikuti prosedur SNI 6989.2:2009 tentang Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri dan prosedur acuan US EPA Nessler Method 8038 Reagent Solution. Data yang telah didapatkan merupakan perubahan konsentrasi COD dan amonia pada air Sungai Ciliwung. Pengujian parameter COD dan amonia dilakukan selama 13 hari dengan 5 kali pengujian (t0 sampai dengan t4). Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang dapat dianalisis sesuai dengan durasi waktu kontak sampah terhadap air permukaan. Tabel 1 merupakan ilustrasi desain eksperimen yang didapatkan:

Tabel 1. Desain eksperimen hasil pengujian Parameter COD

atau Amonia (mg/L)

t (0) (hari)

t (1) (hari)

t (2) (hari)

t (3) (hari)

t (4) (hari)

Blanko 2 6 9 7 5

Organik 1 - 12 15 16 18

Organik 2 - 14 16 17 17

Anorganik 1 - 8 10 11 14

Anorganik 2 - 9 12 14 15

Sumber: Analisis peneliti, 2022

Setelah mendapatkan data kualitas COD dan amonia, langkah berikutnya adalah Analisis dampak waktu kontak sampah terhadap kualitas COD dan amonia menggunakan prinsip kesetimbangan massa.

Gambar 3 merupakan ilustrasi degradasi sampah menjadi COD dan amonia.

(4)

Gambar 3. Ilustrasi pengaruh sampah terhadap konsentrasi COD dan amonia Sumber: Analisis peneliti, 2022

Persamaan umum kesetimbangan massa yang digunakan untuk menentukan laju degradasi COD dan Amonia di air sungai akibat massa sampah adalah sebagai berikut:

𝑑𝑐

𝑑𝑡 = 𝑘1𝑀 − 𝑘2𝑐

(1) Di mana:

k1 : Laju degradasi sampah menjadi COD atau amonia (orde 1 = T-1) k2 : Laju degradasi COD atau amonia (orde 1 = T-1)

M : Massa sampah (mg/L)

c : Konsentrasi COD atau amonia (mg/L)

Metode yang digunakan untuk menentukan laju degradasi COD dan Amonia ini menggunakan prinsip persamaan ODE Linear dengan metode faktor pengintegrasian. Adapun nilai k1 dan k2 diisi dengan menggunakan trial and error yang mendekati dengan hasil uji lab. Hasil nilai c hitung dibandingkan dengan c pengujian laboratorium, sehingga didapatkan nilai kesalahan relatif. Untuk memperkecil nilai kesalahan relatif, metode yang digunakan adalah dengan menggunakan opsi solver pada Microsoft Excel. Berdasarkan persamaan 1 dengan menggunakan metode ODE Linear, dengan langkah sebagai berikut:

𝑑𝑐

𝑑𝑡+ 𝑘2𝑐 = 𝑘1𝑀 (2)

Dengan menggunakan metode tersebut, didapatkan persamaan berikut untuk mengetahui nilai konsentrasi COD dan amonia:

𝑐 = 𝑐(𝑡=0) 𝑒−𝑘2𝑡+𝑘1𝑀

𝑘2 (1 − 𝑒−𝑘2𝑡) (3)

Adapun nilai yang dimasukkan pada kolom set objective merupakan kesalahan relatif yang didapatkan, kemudian memilih opsi min dengan tujuan untuk mendapatkan nilai kesalahan relatif seminimal mungkin. Nilai yang dimasukkan pada bagian by changing variable cells merupakan nilai k1 dan k2 dengan tujuan mengoreksi nilai tersebut agar semakin akurat.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Analisis Temporal COD dan Amonia pada Air Permukaan

Pelaksanaan pemantauan parameter COD dilakukan dengan melakukan pengujian yang diawali pada Tanggal 5 April 2022 untuk sampel blanko, dengan tujuan untuk mengetahui nilai kedua parameter tersebut pada kondisi inisial tanpa perlakukan sampah. Kemudian pemantauan kedua parameter tersebut dilakukan dengan menguji 5 sampel (blanko, organik 1, organik 2, anorganik 1, dan anorganik 2) pada Tanggal 8, 11, 14, dan 18 April 2022. Metode yang digunakan untuk melakukan pengujian COD menggunakan acuan SNI 6989.2:2009 tentang Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri. Pada bagian ini dijelaskan mengenai pengaruh dari waktu kontak sampah terhadap perubahan konsentrasi COD dan amonia beserta dengan laju degradasinya. Pelaksanaan pengujian parameter COD dilakukan di laboratorium PSTL UI dengan rentang waktu pengujian setiap 3 hari sekali.

Berdasarkan hasil pengujian tersebut, untuk memvisualisasikan tren perubahan dari sampah organik dan anorganik dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

(5)

Gambar 4. Tren perubahan konsentrasi COD pada sampah organik Sumber: Analisis peneliti, 2022

Gambar 5. Tren perubahan konsentrasi COD pada sampah anorganik Sumber: Analisis peneliti, 2022

Berdasarkan visualisasi dari Gambar 4, dapat diketahui bahwa sampah organik memiliki tren perubahan yang serupa. Adapun perubahan terjadi dengan diawali peningkatan yang signifikan dari t(0) menuju t(1), kemudian mengalami penurunan secara landai dari t(1) sampai dengan t(4). Perubahan konsentrasi COD pada sampah organik menyerupai tren pada blanko air sungai yang tidak mendapatkan perlakuan dari sampah organik maupun anorganik. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sampah anorganik yang terlihat pada Gambar 5, di mana pada reaktor untuk anorganik 1 menunjukkan penurunan dari t(0) ke t(1) dan mulai mengalami peningkatan dari t(1) sampai dengan t(4). Di lain sisi, terdapat perbedaan perubahan tren pada reaktor anorganik 2. Hal ini ditunjukkan pada tidak adanya perubahan yang signifikan dari t(0) sampai dengan t(4) atau bersifat stagnan.

Terdapat perbedaan perubahan tren antara sampah organik dan anorganik, di mana pada sampah anorganik memiliki tren turun pada hari ke-3 dan stagnan sampai dengan hari ke-13 untuk reaktor anorganik 2. Sedangkan pada anorganik 1 menunjukkan tren peningkatan setelah hari ke-3. Adapun perubahan konsentrasi COD dari kedua reaktor ini tidak menunjukkan tren yang signifikan. Hal ini disebabkan karena sifat dari bahan sampah anorganik yang tidak mudah untuk terdegradasi.

Berdasarkan data hasil pengamatan pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa senyawa organik pada sampah anorganik jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan sampah organik. Konsentrasi COD tertinggi pada anorganik 1 dapat diketahui berada di angka 222 mg/L pada hari ke -13. Sedangkan untuk anorganik 2 konsentrasi tertinggi berada di angka 147 mg/L pada hari pertama dan terus mengalami penurunan yang tidak signifikan sampai dengan hari ke-13. Pelaksanaan pengujian parameter amonia dilakukan di laboratorium PSTL UI dengan rentang waktu pengujian setiap 3 hari sekali. Pada bagian ini dijelaskan mengenai pengaruh dari waktu kontak sampah terhadap perubahan konsentrasi amonia beserta dengan laju degradasinya. Adapun bakteri yang berperan pada perubahan tren amonia ini adalah Nitrosomonas sp., di mana memiliki peran dalam perubahan Nitrogen organik menjadi amonia. Berdasarkan hasil pengujian

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

0 5 10 15

Konsentrasi COD (mg/L)

Waktu (hari)

Blanko Organik 1 Organik 2

0 50 100 150 200 250 300

0 5 10 15

Konsntrasi COD (mg/L)

Waktu (hari)

Blanko Anorganik 1 Anorganik 2

(6)

tersebut, untuk memvisualisasikan tren perubahan konsentrasi amonia pada sampah organik ditampilkan pada grafik berikut:

Gambar 6. Tren perubahan konsentrasi amonia pada sampah organik Sumber: Analisis peneliti, 2022

Gambar 7. Tren perubahan konsentrasi amonia pada sampah anorganik Sumber: Analisis peneliti, 2022

Berdasarkan visualisasi dari Gambar 6, dapat diketahui bahwa sampah organik memiliki tren perubahan yang berbeda. Adapun perubahan terjadi dengan diawali peningkatan yang signifikan dari t(0) menuju t(1), kemudian mengalami penurunan secara landai dari t(1) sampai dengan t(4). Perubahan konsentrasi amonia pada sampah organik menyerupai tren pada blanko air sungai yang tidak mendapatkan perlakuan dari sampah organik maupun anorganik, di mana terdapat kenaikan dan terjadi penurunan.

Perbedaan yang terlihat merupakan tren antara sampah organik 1 dan 2, di mana sampah organik 1 memiliki titik puncak di t(3) dan mengalami penurunan setelahnya. Sedangkan pada sampah organik 2, dapat terlihat bahwa sampai dengan t(4) masih mengalami kenaikan secara landai. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sampah anorganik yang terlihat pada gambar 7, di mana pada reaktor untuk anorganik 1 menunjukkan penurunan dari t(0) ke t(1) dan mulai mengalami peningkatan dari t(1) sampai dengan t(4). Di lain sisi, terdapat perbedaan perubahan tren pada reaktor anorganik 2. Hal ini ditunjukkan pada tidak adanya perubahan yang signifikan dari t(0) sampai dengan t(4) atau bersifat stagnan.

Pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa kondisi inisial media (air Sungai Ciliwung) tanpa adanya intervensi dari sampah organik maupun anorganik memiliki konsentrasi amonia sebesar 1,46 mg/L.

Terdapat dua jenis tren yang dapat diketahui dari penelitian ini untuk reaktor organik. Pada reaktor organik 1 dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan sampai dengan titik puncak sebesar 12,8 mg/L di hari ke – 6 dan mengalami penurunan setelahnya. Adapun pada reaktor organik 2 memiliki tren yang berbeda dengan organik 1, di mana selalu terjadi peningkatan sampai dengan hari ke – 13 dengan konsentrasi 13,2 mg/L.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, dapat diketahui bahwa konsentrasi amonia berada di titik puncak pada hari ke-12 dengan konsentrasi 1,23 mg/L dan mengalami penurunan setelahnya.

Perbedaan tren ini terjadi karena adanya perbedaan media yang digunakan, di mana pada penelitian

0 2 4 6 8 10 12 14

0 5 10 15

Konsentrasi Amonia (mg/L)

Waktu (hari)

Blanko Organik 1 Organik 2

0 0,5 1 1,5 2 2,5

0 5 10 15

Konsentrasi Amonia (mg/L)

Waktu (hari)

Blanko Anorganik 1 Anorganik 2

(7)

sebelumnya menggunakan air yang bersifat resirkulasi. Adapun penyebab dari peningkatan konsentrasi amonia ini adalah adanya penguraian zat organisme yang dilakukan oleh mikroorganisme yang ada di media [14].

3.2. Analisis Laju Degradasi COD

Prinsip yang digunakan untuk mendapatkan nilai degradasi COD akibat sampah pada air sungai adalah kesetimbangan massa dengan menggunakan persamaan 13. Adapun nilai c(t=0) pada pengolahan data COD adalah 147 mg/L sesuai dengan pengujian di t(0). Jika ditinjau dari perubahan konsentrasinya pada sampel reaktor blanko yang tidak mendapat perlakukan dari sampah organik maupun anorganik, dapat diketahui bahwa nilai degradasinya adalah 0,266 per hari. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya keberadaan sampah, air sungai tetap mengalami proses degradasi COD. Aspek yang memengaruhi proses degradasi di air sungai adalah kondisi hidrolis sungai tersebut [15].

Berdasarkan penelitian ini, dapat diketahui bahwa rentang laju degradasi COD di Sungai Chisui, Provinsi Guizhou adalah 0,175-0,373 per hari. Dari referensi ini, dapat diketahui bahwa laju degradasi yang terjadi di Sungai Ciliwung masih berada di rentang yang sama seperti di Sungai Chisui, Guizhou. Proses yang memengaruhi terjadinya degradasi di air sungai adalah keberadaan oksigen terlarut, perbedaan kecepatan aliran air karena menyebabkan perubahan frekuensi kontak antara mikroorganisme dan polutan yang dapat mempercepat proses biodegradasi, dan perbedaan sumber air sungai (adanya pencemaran point atau non–point source). Selain itu, aspek lainnya yang memengaruhi proses degradasi adalah keberadaan sedimen dengan senyawa organik yang beragam.

Hasil perhitungan konsentrasi COD akibat sampah organik 1 dan 2 dengan menggunakan model persamaan 4.12 yang kemudian dibandingkan dengan hasil uji lab beserta nilai kesalahan relatif yang telah disesuaikan dengan menggunakan solver menghasilkan nilai k1 dan k2. Adapun nilai k1 adalah laju degradasi sampah menjadi COD dan nilai k2 adalah nilai laju degradasi COD. Tren perubahan konsentrasi COD yang dihitung (chitung) yang dibandingkan dengan perubahan konsentrasi COD yang dilakukan pada pengujian di laboratorium untuk jenis sampah organik diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 8. Perubahan konsentrasi COD pada sampah organik dengan persamaan kesetimbangan massa

Sumber: Analisis peneliti, 2022

Model yang dibangun untuk mendapatkan nilai kedua laju degradasi ini menggunakan prinsip kesetimbangan massa. Berdasarkan perhitungan dengan model tersebut, dapat diketahui bahwa tren yang ada tidak berbeda jauh dengan hasil uji lab seperti yang terlihat pada Gambar 8. Adapun nilai k1 pada reaktor organik 1 adalah 4,655 per hari. Sedangkan pada reaktor organik 2, dapat diketahui bahwa nilai degradasi sampah atau k1 berada di angka 3,841 per hari. Perbedaan kedua nilai degradasi sampah ini disebabkan karena adanya perbedaan komposisi sampah organik yang ada di dalam reaktornya. Hal ini menandakan bahwa laju degradasi sampah organik yang terjadi pada reaktor 1 maupun 2 terjadi secara cepat. Penyebab dari cepatnya laju degradasi sampah ini adalah tingginya senyawa organik yang ada pada sampah organik, sehingga menyebabkan nilai degradasi yang tinggi [14].

Setelah itu, hal berikutnya yang diperhatikan adalah nilai dari k2 atau nilai degradasi COD akibat sampah organik dan anorganik. Pada reaktor organik 1 dan 2 nilai degradasi COD menunjukkan angka yang tidak berbeda jauh. Adapun nilai k2 dari reaktor organik 1 sebesar 3,879 per hari dan pada reaktor organik 2 sebesar 3,839 per hari. Jika dibandingkan antara reaktor organik 1 dan 2, nilai dari degradasi

0 200 400 600 800 1000 1200

0 5 10 15

Konsentrasi COD (mg/L)

Waktu (hari)

Rata-Rata Hasil Lab Pemodelan Organik 1 Pemodelan Organik 2

(8)

COD tidak berbeda jauh. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi COD akibat sampah organik berada di kisaran 3,839 sampai dengan 3,879 per hari. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, terdapat perbedaan nilai degradasi COD yang signifikan. Adapun nilai degradasi pada penelitian sebelumnya berada di angka 0,708 per hari [14]. Perbedaan ini dapat dianalisis berdasarkan media yang digunakan, di mana pada penelitian sebelumnya menggunakan air yang bersifat resirkulasi. Hal ini menandakan bahwa adanya resirkulasi air yang digunakan berpengaruh terhadap laju degradasi tanpa resirkulasi. Terdapat perbedaan laju degradasi antara sampah organik dan anorganik. Gambar 9 merupakan ilustrasi pemodelan degradasi sampah dan COD pada reaktor anorganik:

Gambar 9. Perubahan konsentrasi COD pada sampah anorganik dengan persamaan kesetimbangan massa

Sumber: Analisis peneliti, 2022

Di sisi lain, terdapat perbedaan nilai k1 antara sampah organik dan anorganik. Adapun nilai k1 pada reaktor anorganik 1 menunjukkan angka 0,425 per hari, sedangkan nilai k1 pada reaktor anorganik 2 menunjukkan angka 0,122 per hari. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9, di mana terdapat pada reaktor anorganik 1 menunjukkan tren yang stagnan dan pada reaktor anorganik 2 yang menyerupai dengan hasil uji lab. Perbedaan nilai degradasi kedua reaktor ini diakibatkan karena adanya perbedaan komposisi yang ada di dalam reaktor. Nilai degradasi pada reaktor anorganik 1 lebih tinggi karena terdapat material berbahan kain. Jenis material berbahan kain memiliki nilai degradasi yang lebih cepat dibandingkan dengan sampah plastik. Adapun komponen yang terdegradasi dari material kain ini adalah komposisi cat yang terkandung di dalamnya [16].

Jika ditinjau dari nilai k2 atau degradasi COD, nilai degradasi pada reaktor anorganik 1 dan 2 menunjukkan perbedaan. Adapun nilai k2 pada reaktor anorganik 1 menunjukkan angka 1,026 per hari dan pada reaktor anorganik 2 menunjukkan angka 0,355 per hari. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan komposisi sampah anorganik pada reaktor 1 dan 2, di mana kain yang ada pada reaktor 1 lebih cepat terdegradasi karena adanya kebutuhan oksigen untuk menguraikan kain secara kimiawi [16]. Hal ini membuktikan bahwa laju degradasi sampah organik jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan sampah anorganik. Tabel 2 adalah rekapitulasi nilai k1 dan k2 COD pada reaktor organik 1, organik 2, anorganik 1, dan anorganik 2:

Tabel 2. Rekapitulasi nilai laju degradasi COD Reaktor k1 (degradasi sampah menjadi

COD) per hari

k2 (degradasi COD) per hari

Organik 1 4,655 3,879

Organik 2 3,841 3,839

Anorganik 1 0,425 1,026

Anorganik 2 0,122 0,355

Sumber: Analisis peneliti, 2022 3.3. Analisis Laju Degradasi Amonia

Prinsip yang digunakan untuk mendapatkan nilai degradasi amonia akibat sampah pada air sungai sama dengan metode untuk mendapatkan nilai degradasi COD. Persamaan yang digunakan adalah

0 50 100 150 200 250

0 2 4 6 8 10 12 14

Konsentrasi COD (mg/L)

Waktu (hari)

Rata-Rata Hasil Lab Pemodelan Anorganik 1 Pemodelan Anorganik 2

(9)

menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan menggunakan persamaan 13. Adapun nilai c(t=0) pada pengolahan data amonia adalah 1,46 mg/L sesuai dengan pengujian di t(0). Jika ditinjau dari perubahan konsentrasinya pada sampel reaktor blanko yang tidak mendapat perlakukan dari sampah organik maupun anorganik, dapat diketahui bahwa nilai degradasinya amonia adalah 0,145 per hari. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya keberadaan sampah organik maupun anorganik, air sungai tetap mengalami proses degradasi amonia di dalamnya karena terdapat reaksi nitrifikasi dan denitrifikasi yang diakibatkan oleh kondisi air maupun sedimen yang ada di sungai [17]. Gambar 10 merupakan ilustrasi tren perubahan konsentrasi amonia dengan menggunakan model persamaan kesetimbangan massa seperti pada persamaan 13:

Gambar 10. Perubahan konsentrasi amonia pada sampah organik dengan persamaan kesetimbangan massa

Sumber: Analisis peneliti, 2022

Hasil pemodelan menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh dengan hasil pengujian di laboratorium.

Adapun nilai k1 atau degradasi sampah organik menjadi amonia pada reaktor organik 1 dan 2 dalam konteks parameter amonia secara berturut-turut adalah 0,0028 dan 0,0021 per hari. Terdapat perbedaan nilai k1

antara parameter COD dan amonia, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan substansi perubahan dari sampah. Nilai degradasi sampah menjadi amonia jauh lebih kecil jika dibandingkan dari degradasi sampah menjadi COD. Untuk nilai k2 atau nilai degradasi amonia dari reaktor organik 1 dan 2 secara berturut-turut adalah 0,176 dan 0,100 per hari. Terdapat perbedaan nilai degradasi amonia dari kedua reaktor ini yang disebabkan karena adanya perbedaan komposisi dari kedua reaktor. Proses degradasi amonia ini dipengaruhi karena adanya proses nitrifikasi, di mana amonia bertransformasi menjadi nitrit dan menjadi nitrat. Adapun nilai degradasi amonia pada sampah organik ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Pada penelitian sebelumnya tidak disebutkan degradasi amonia secara spesifik, namun dijelaskan mengenai nilai laju reaksi total nitrogen sebesar 0,515 per hari [14]. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan media yang digunakan, di mana pada penelitian ini menggunakan sistem batch reactor dan pada penelitian sebelumnya menggunakan sistem resirkulasi. Di lain sisi, terdapat perbedaan suhu air antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini, suhu airnya adalah ± 26,7 ̊C dengan suhu ruangan di kisaran ± 28 ̊C. Sedangkan pada penelitian sebelumnya suhu air berada di rentang 29-32

̊C. Perbedaan suhu ini memiliki pengaruh terhadap laju degradasi amonia, karena suhu merupakan salah satu aspek yang penting pada proses nitrifikasi dan denitrifikasi [17]. Sedangkan pada reaktor anorganik terdapat perbedaan yang terlihat, berikut ini merupakan ilustrasi tren perubahan konsentrasi amonia pada reaktor anorganik dengan menggunakan model persamaan.

01 23 45 67 89 1011 1213 14

0 5 10 15

Konsentrasi Amonia (mg/L)

Waktu (hari)

Rata-Rata Hasil Lab Pemodelan Organik 1 Pemodelan Organik 2

(10)

Gambar 11. Perubahan konsentrasi amonia pada sampah anorganik dengan persamaan kesetimbangan massa

Sumber: Analisis peneliti, 2022

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model persamaan, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara degradasi pada reaktor 1 dan 2. Hasil dari permodelan, dapat diketahui bahwa tren dari reaktor anorganik mengalami peningkatan dan stagnan dari hari ketiga sampai dengan ke-13.

Sedangkan, pada reaktor anorganik 2 dapat diketahui bahwa tren yang terjadi adalah penurunan dan stagnan dari hari ketiga sampai dengan ke-13. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan komposisi sampah anorganik yang ada di dalamnya, di mana pada reaktor anorganik 1 terdapat sampah anorganik berbahan kain. Berdasarkan jumlah penelitian yang ada, dapat diketahui bahwa konsentrasi amonia terkandung pada tekstil seperti kain [18]. Jika dilihat dari nilai k1 degradasi sampah menjadi amonia pada reaktor anorganik 1 dan 2 secara berturut-turut 0,0014 dan 0,001 per hari. Hal ini menandakan bahwa nilai degradasi sampah menjadi amonia di sampah anorganik lebih kecil jika dibandingkan dengan sampah organik. Adapun perbedaan ini disebabkan karena senyawa organik yang ada pada sampah anorganik lebih sedikit.

Selain itu, perbedaan jenis sampah organik dan anorganik memiliki pengaruh terhadap durasi degradasinya. Pada sampah anorganik di penelitian ini terdapat plastik dengan material PE, di mana durasi degradasi plastik berbahan material ini membutuhkan waktu selama 18 bulan [19]. Terdapat perbedaan nilai k1 antara reaktor anorganik 1 dan 2, hal ini disebabkan karena pada reaktor 1 terdapat sampah berbahan utama kain (contoh: katun) yang lebih cepat terdegradasi jika dibandingkan dengan plastik [20].

Berdasarkan penelitian sebelumnya dibuktikan bahwa kain berbahan dasar katun lebih cepat terdegradasi jika dibandingkan dengan plastik (contoh: PET) dalam kurun waktu 1-4 bulan. Selama rentang waktu 1-4 bulan, kain berbahan dasar katun terdegradasi sebesar 13-90%. Sedangkan pada plastik PET berada di rentang di bawah 10%.

Jika ditinjau dari nilai k2 atau degradasi amonia dari sampah menjadi nitrit dari reaktor anorganik 1 dan 2 secara berturut-turut adalah 0,300 dan 0,344 per hari. Nilai degradasi amonia atau k2 pada sampah anorganik lebih tinggi karena adanya pengaruh dari sampah dengan komposisi plastik. Hal ini disebabkan adanya bakteri Nitrosomonas sp. atau bakteri yang berperan dalam degradasi amonia menjadi nitrit memiliki sifat yang sensitif jika bereaksi dengan sampah plastik [21]. Keberadaan bakteri ini umumnya berasal dari sedimen air sungai [22]. Selain itu, keberadaan amonia pada reaktor anorganik juga dipengaruhi oleh keberadaan kain yang ada pada reaktor anorganik 1. Hal ini disebabkan karena adanya keberadaan pewarna pada kain yang memengaruhi keberadaan amonia [18]. Adapun proses pembentukan amonia pada degradasi kain paling besar berasal dari proses pencetakan dan pewarnaan. Pada proses pewarnaan terdapat konsentrasi urea yang tinggi, sehingga terjadi pembentukan amonia ketika kain mengalami proses degradasi. Berikut ini merupakan Tabel 4 rekapitulasi nilai k1 dan k2 amonia pada reaktor organik 1, organik 2, anorganik 1, dan anorganik 2:

0 0,5 1 1,5 2 2,5

0 2 4 6 8 10 12 14

Konsentrasi Amonia (mg/L)

Waktu (Hari)

Rata-Rata Hasil Lab Pemodelan Anorganik 1 Pemodelan Anorganik 2

(11)

Tabel 3. Rekapitulasi nilai laju degradasi amonia Reaktor k1 (degradasi sampah menjadi

amonia) per hari

k2 (degradasi amonia) per hari

Organik 1 0,0028 0,1761

Organik 2 0,0021 0,100

Anorganik 1 0,0014 0,300

Anorganik 2 0,001 0,3437

Sumber: Analisis peneliti, 2022 4. Kesimpulan

Hasil perhitungan mengenai nilai degradasi sampah menjadi COD dan Amonia beserta degradasi COD dan amonia menjawab tujuan dari penelitian ini. Hal ini dibuktikan dengan nilai laju degradasi COD di air Sungai Ciliwung adalah 0,266 per hari, sedangkan untuk parameter amonia nilai laju degradasinya adalah 0,145 per hari. Setelah reaktor dibubuhkan sampah organik dan anorganik, maka didapatkan nilai k1

atau degradasi sampah menjadi COD atau amonia dan k2 atau degradasi COD dan amonia. Untuk mendapatkan nilai k1 dan k2, prinsip yang digunakan adalah kesetimbangan massa. Adapun nilai degradasi sampah (k1) organik menjadi COD pada reaktor organik 1 dan 2 secara berturut-turut adalah 4,655 dan 3,841 per hari.

Perbedaan nilai laju degradasi sampah ini disebabkan karena adanya perbedaan komposisi sampah organik yang ada di dalamnya. Untuk reaktor anorganik 1 dan 2 nilai k1 secara berturut-turut adalah 0,425 dan 0,122 per hari. Perbedaan laju degradasi sampah anorganik menjadi COD memiliki perbedaan yang lebih tinggi. Dalam konteks degradasi sampah (k1) menjadi amonia, pada reaktor organik 1 dan 2 menunjukkan hasil 0,0028 dan 0,0021 per hari. Perbedaan nilai laju degradasi ini terjadi karena adanya perbedaan komposisi pada kedua reaktor sampah organik.

Pada reaktor anorganik 1 dan 2 nilai k1 secara berturut-turut adalah 0,0014 dan 0,001 per hari, perbedaan ini terjadi karena adanya sampah berbahan kain pada reaktor anorganik 1. Untuk nilai degradasi COD (k2) pada reaktor sampah organik 1 dan secara berturut-turut adalah 3,879 dan 3,839 per hari.

Sedangkan untuk reaktor anorganik 1 dan 2 secara berturut – turut adalah 1,026 dan 0,355 per hari. Untuk parameter amonia, dapat diketahui bahwa amonia dapat terdegradasi menjadi nitrit. Adapun nilai k2 dari reaktor amonia organik 1 dan 2 secara berturut-turut adalah 0,1761 dan 0,100 per hari. Sedangkan untuk reaktor anorganik 1 dan 2 secara berturut-turut adalah 0,300 dan 0,3437 per hari. Nilai laju degradasi amonia pada sampah anorganik lebih tinggi karena bakteri Nitrosomonas sp.

5. Referensi

[1] P. Lestari and Y. Trihadiningrum, “The impact of improper solid waste management to plastic pollution in Indonesian coast and marine environment,” Marine Pollution Bulletin, vol. 149.

Elsevier Ltd, Dec. 01, 2019. doi: 10.1016/j.marpolbul.2019.110505.

[2] Y. A. Fatimah, K. Govindan, R. Murniningsih, and A. Setiawan, “Industry 4.0 based sustainable circular economy approach for smart waste management system to achieve sustainable development goals: A case study of Indonesia,” J Clean Prod, vol. 269, Oct. 2020, doi:

10.1016/j.jclepro.2020.122263.

[3] M. Dey, C. Raghumani, and C. R. Singh, “Surface Water Quality with respect to Municipal Solid Waste Disposal within the Imphal Municipality Area, Manipur Diet of Tadpoles of Microhyla ornata from a freshwater systrmin Rosekandy Tea Estate,Cachar,Assam and Significance of Conservation of Aquatic Habitats View project Surface Water Quality with respect to Municipal Solid Waste Disposal within the Imphal Municipality Area, Manipur,” International Journal of Scientific and Research Publications, vol. 4, no. 2, 2014, [Online]. Available: www.ijsrp.org

[4] Dsikowitzky, L., Van der Wulp, S. A., Ariyani, F., Hesse, K. J., Damar, A., & Schwarzbauer, J.,

“Transport of pollution from the megacity Jakarta into the ocean: Insights from organic pollutant mass fluxes along the Ciliwung River,” Estuar Coast Shelf Sci, vol. 215, pp. 219–228, Dec. 2018, doi: 10.1016/j.ecss.2018.10.017.

[5] N. M. Nizardo, E. Budianto, and R. Djuwita, “Plastic waste management model solution in Ciliwung River Basin,” in IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Apr. 2021, vol. 716, no.

1. doi: 10.1088/1755-1315/716/1/012037.

[6] N. Yusof, A. Haraguchi, M. A. Hassan, M. R. Othman, M. Wakisaka, and Y. Shirai, “Measuring organic carbon, nutrients and heavy metals in rivers receiving leachate from controlled and

(12)

uncontrolled municipal solid waste (MSW) landfills,” Waste Management, vol. 29, no. 10, pp.

2666–2680, Oct. 2009, doi: 10.1016/j.wasman.2009.05.022.

[7] F. di Maria, F. Sisani, S. Contini, and S. K. Ghosh, “Impact of different schemes for treating landfill leachate,” Waste Management, vol. 71, pp. 255–266, Jan. 2018, doi:

10.1016/j.wasman.2017.10.046.

[8] Bhat, R. A., Singh, D. V., Qadri, H., Dar, G. H., Dervash, M. A., Bhat, S. A., ... & Yousaf, B.,

“Vulnerability of municipal solid waste: An emerging threat to aquatic ecosystems,” Chemosphere, vol. 287, Jan. 2021, doi: 10.1016/j.chemosphere.2021.132223.

[9] Zhang, K., Hamidian, A. H., Tubić, A., Zhang, Y., Fang, J. K., Wu, C., & Lam, P. K.,

“Understanding plastic degradation and microplastic formation in the environment: A review,”

Environmental Pollution, vol. 274. Elsevier Ltd, Apr. 01, 2021. doi: 10.1016/j.envpol.2021.116554.

[10] D. Kulikowska and E. Klimiuk, “The effect of landfill age on municipal leachate composition,”

Bioresour Technol, vol. 99, no. 13, pp. 5981–5985, Sep. 2008, doi: 10.1016/j.biortech.2007.10.015.

[11] J. Li, G. Luo, L. J. He, J. Xu, and J. Lyu, “Analytical Approaches for Determining Chemical Oxygen Demand in Water Bodies: A Review,” Critical Reviews in Analytical Chemistry, vol. 48, no. 1.

Taylor and Francis Ltd., pp. 47–65, Jan. 02, 2018. doi: 10.1080/10408347.2017.1370670.

[12] Park, T. J., Lee, J. H., Lee, M. S., Park, C. H., Lee, C. H., Moon, S. D., ... & Zoh, K. D,

“Development of water quality criteria of ammonia for protecting aquatic life in freshwater using species sensitivity distribution method,” Science of the Total Environment, vol. 634, pp. 934–940, Sep. 2018, doi: 10.1016/j.scitotenv.2018.04.018.

[13] P. A. Cinta, “Kemampuan Degradasi Dari Jenis PE, PP, dan PET yang Terpapar Sinar UV Pada Badan Air dengan Parameter Acuan BOD dan COD,” 2019.

[14] Iswanto, B., Astono, W., & Sunaryati, S. “Pengaruh Penguraian Sampah Terhadap Kualitas Air Ditinjau Dari Perubahan Senyawa Organik Dan Nitrogen Dalam Reaktor Kontinyu Skala Laboratorium,” Jurnal Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, 4(1), 24-29. 2007.

[15] Tang, L., Pan, X., Feng, J., Pu, X., Liang, R., Li, R., & Li, K., “Experimental investigation on the relationship between COD degradation and hydrodynamic conditions in urban rivers,” Int J Environ Res Public Health, vol. 16, no. 18, Sep. 2019, doi: 10.3390/ijerph16183447.

[16] N. Abu Bakar, N. Othman, Z. M. Yunus, Z. Daud, N. Salsabila Norisman, and M. Haziq Hisham,

“Physico-Chemical Water Quality Parameters Analysis on Textile,” in IOP Conference Series:

Earth and Environmental Science, Jun. 2020, vol. 498, no. 1. doi: 10.1088/1755- 1315/498/1/012077.

[17] M. Nag, T. Shimaoka, and T. Komiya, “Nitrous oxide production during nitrification from organic solid waste under temperature and oxygen conditions,” Environmental Technology (United Kingdom), vol. 37, no. 22, pp. 2890–2897, Nov. 2016, doi: 10.1080/09593330.2016.1168485.

[18] I. Bisschops and H. Spanjers, “Literature review on textile wastewater characterisation,”

Environmental Technology (United Kingdom), vol. 24, no. 11, pp. 1399–1411, Nov. 2003, doi:

10.1080/09593330309385684.

[19] T. van Emmerik and A. Schwarz, “Plastic debris in rivers,” Wiley Interdisciplinary Reviews: Water, vol. 7, no. 1, pp. 1–24, 2020, doi: 10.1002/wat2.1398.

[20] V. Sülar and G. Devrim, “Biodegradation behaviour of different textile fibres: Visual, morphological, structural properties and soil analyses,” Fibres and Textiles in Eastern Europe, vol.

27, no. 1, pp. 100–111, 2019, doi: 10.5604/01.3001.0012.7751.

[21] E. Atuanya, A. Dave-Omoregie, U. Udochukwu, and J. Inetianbor, “Toxicological Effects of Plastic Composted Soil on Nitrifying Bacteria,” Br Biotechnol J, vol. 13, no. 4, pp. 1–7, Jan. 2016, doi:

10.9734/bbj/2016/26234.

[22] W. U. Qunhe, Z. Renduo, S. Huang, and H. Zhang, “Effects of bacteria on nitrogen and phosphorus release from river sediment,” Journal of Environmental Sciences, 20(4), 404-412. 2008.

Referensi

Dokumen terkait

1791/LS-GJ/2015 Pembayaran Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan beban kerja dan prestasi SKPD Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bojonegoro Bulan Oktober 2015

Dengan sensasi sparkling soda dan rasa asam menyegarkan dari jeruk nipis dan mint, Mamita's nojito juga memberikan cara konsumsi yang unik, yaitu dengan

Obat analgesik yang digunakan pada pasien cedera kepala, baik terapi awal maupun terapi lanjutan, merupakan analgesik non-opioid dengan penggunaan... secara tunggal

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mendapatkan gambaran bagaimana Meningkatkan Kemampuan Menyimak dengan Teknik Pesan Berantai yang Bermakna

Dosis efektif pada penelitian sebelumnya: 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan 400 mg/kgBB Numerik rasio Kerusakan mukosa gaster Sediaan histopatologi dilihat menggunakan

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang

Pemberian pakan buatan dinilai lebih baik dari pemberian ikan rucah, asalkan pakan buatan tersebut dibuat dan diformulasikan sesuai dengan kebutuhan nutrisi untuk