BAB II
TEORI REKONSILIASI KONFLIK
Dalam bab ini, akan dibahas kajian teoritis yang digunakan sebagai dasar penuntun
dalam analisa data secara holistik. Menurut Budiardjo teori adalah generalisasi yang
abstrak mengenai beberapa fenomena. Tentang menyusun generalisasi itu teori selalu
memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat
abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.1 Lebih spesifik
Kerlinger menjelaskan teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi, dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep.2 Penulis akan membahas teori-teori rekonsiliasi, akan tetapi
sebelum membahas teori-teori rekonsiliasi, penulis akan terlebih dahulu membahas
hakekat konflik, sehingga lebih tertata.
2.1. Hakekat Konflik
Konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang artinya saling benturan dan
mendapat makna sebagai semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian,
ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang
antagonis-bertentangan.3 Berdasarkan asal kata tersebut di atas konflik diartikan sebagai
relasi-relasi antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan,
1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1979), 30.
2 F. N. Kerlinger, Foundations of Behavioral Research. 2nd Edition, (Holt, Rinehart and Winston,
1973), 9.
interest-interest eksklusif yang tidak dapat dipertemukan, sikap-sikap emosional yang
bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik dapat terjadi, jika ada
ketidaksepahaman ilmiah di antara individu atau kelompok yang berbeda sikap,
kepercayaan, nilai dan kebutuhan. Konflik juga dapat berasal dari persaingan masa lalu
maupun perbedaan individual.4
Konflik juga seringkali muncul karena adanya kompetisi terhadap akses atau kontrol
pada sumber-sumber atau kesempatan yang langka. Lebih jauh konflik juga merupakan
aksi dan reaksi terhadap ketidakadilan, ketidakjujuran dan kebencian terhadap kelompok
atau orang tertentu. Konflik dapat terjadi pada semua kelompok atau siapa saja, tidak
mengenal status dan kedudukan.5
Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi di setiap interaksi
sosial dalam tatanan pergaulan keseharian baik individu, ataupun kelompok dalam
masyarakat.6 Menurut Weber, konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial,
terjadinya konflik tidak terelakkan dalam suatu masyarakat disebabkan karena masyarakat
dipandang sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif
yang hanya dapat dibedakan secara analisis.7 Bagi Weber seperti yang dikutip oleh
Anthony Giddens dan kawan-kawan bahwa konflik merupakan pencerminan pertentangan
kepentingan dan naluri untuk bermusuhan.8 Mengingat konflik merupakan gejala yang
4 Bnd: Bambang Mulyanto, dkk, 1998 dalam Kutut Suwondo, Gereja dan Kemajemukan: Gereja Dalam Konflik Dengan Agama-agama Lain : Jalan Baru Me uju Ter e tuk ya Civil “o iety , : Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 85.
5 Hargyaningtyas, Anatomi Konflik - Bahan Pengantar Diskusi Untuk Peserta KRA 34 Lemhannas, 2001,7.
6 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 56. 7 Max Weber, The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1963), 154-155.
selalu hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya
dapat diatur mekanisme penyelesaiannya.9
Konflik seringkali dinilai sebagai sesuatu yang selalu berdampak negatif. Lewis A.
Coser menilai secara positif fenomena konflik. Coser mengatakan bahwa konflik adalah
unsur penting bagi integrasi sosial. Selama ini konflik selalu dipandang sebagai faktor
negatif yang memecah belah. Konflik sosial dalam beberapa cara memberikan sumbangan
pada kepentingan kelompok serta mempererat hubungan interpersonal.10
Bertolak dari kedua pandangan di atas yang sama-sama melihat konflik sebagai gejala
yang normal dan alamiah terjadi maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya konflik
tidak mengacaukan sistem sosial, akan tetapi memberikan kontribusi menuju
terpeliharanya masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada
penciptaan keseimbangan sosial bahkan dapat berperan sebagai alat perekat kehidupan
individu, atau kelompok dalam masyarakat.11 Konflik dapat membangun dan membentuk
manusia menjadi manusia yang civil dan dewasa tapi konflik juga berbahaya dan merusak
dunia kehidupan manusia. Itu berarti konflik tidak dapat dihindari namun dapat dihadapi.
Karena penghindaran konflik bisa mengakibatkan terjadinya konflik yang lebih besar.
9 Ibid
10 Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict (New York: The Free, 1964), 22.
Semakin cepat konflik ditangani dan dihadapi atau bahkan dicegah semakin baik. Konflik
tidak selalu negatif, melainkan bisa dijadikan wadah atau sarana untuk membangun saling
pengertian dan membentuk kedewasaan berinteraksi antar individu maupun kelompok
yang memiliki beragam sifat, sikap dan kepentingan.
2.2. Konsep-konsep Rekonsiliasi
Dalam upaya penanganan konflik, ada berbagai istilah yang digunakan seperti
“resolusi konflik”, “manajemen konflik”, dan “penyelesaian konflik”. Cara yang
digunakan pun ada berbagai macam, seperti mediasi, arbitrasi, dan tim pencari fakta. Dari
semua istilah yang sering digunakan kalangan akademisi dalam penanganan konflik adalah
alternative dispute resolution atau disingkat dengan ADR. Umumnya kalangan akademik
Indonesia menerjemahkannya menjadi “pilihan penyelesaian sengketa”.12
Istilah ADR merujuk kepada berbagai bentuk penanganan konflik atau sengketa,
seperti negosiasi, mediasi, tim pencari fakta, dan arbitrasi. Lalu di manakah posisi
rekonsiliasi dalam ADR? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya berangkat dari apa
yang dikemukakan Kimberlee K. Kovach tentang ADR. Menurut Kovach, ADR terbagi
atas beberapa tipe, yaitu13:
1.Adjudicative, yaitu berbasis pada sistem yang legal dan ada pihak ketiga yang
mengambil keputusan. Adjudicative terdiri dari beberapa cara, yakni arbitrasi, private
judging, dan tim pencari fakta.
2.Evaluasi, evaluasi dapat didefenisikan sebagai situasi advokat mempresentasikan versi
mereka tentang kasus kepada pihak ketiga yang menilai kelemahan dan kekuatan dari
kasus yang dipresentasikan.
3.Facilitative, dalam tipe yang ketiga ini pihak yang netral tidak mengambil keputusan
atau mengevaluasi. Pihak yang netral hanya membantu untuk mencapai, “acceptable
agreement”. Pada tipe ketiga inilah mediasi dan rekonsiliasi berada.
4.Proses kombinasi dan hybrids. Karena kelebihan ADR adalah fleksibilitas, maka dapat
memodifikasi masing-masing proses untuk mencapai resolusi.
Ada hal yang menarik mengenai mediasi dan rekonsiliasi. Orang cenderung
menyamakan mediasi dan rekonsiliasi, padahal keduanya berbeda, walaupun hampir sama.
Menurut Kovach14, mediasi agak bersifat informal, tapi lebih mempertahankan struktur
jika dibandingkan dengan konsiliasi murni. Misalnya masih memungkinkan untuk
melaksanakan konsiliasi melalui telepon. Kata konsili biasanya menandakan hubungan
yang diperbaiki. Dalam mediasi juga diperhitungkan hubungan tetapi tidak menjadi faktor
utama, resolusi dapat dicapai tanpa adanya rekonsiliasi yang sebenarnya antara pihak yang
bersengketa. Tapi menurutnya dalam konteks internasional, konsiliasi memiliki arti yang
berbeda. Kata konsiliasi dalam kepentingan komersial internasional kata ini digunakan
untuk proses atau prosedur di mana pihak netral yang independen menyediakan bantuan
penyelesaian sengketa.15 Jadi dalam konteks internasional menurut Kovach rekonsiliasi
lebih menyerupai mediasi.
Perbedaan juga dikemukakan oleh Duane Ruth-Heffelbower dari sudut pandang lain.
Menurutnya kecenderungan orang menggunakan mediasi atau rekonsiliasi dalam
penanganan sengketa lebih dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Ia ikut membagi
konteks budaya menjadi “budaya konteks renggang” dan “budaya konteks erat”. Budaya
konteks renggang seperti Eropa, Amerika dan Eropa cenderung menyukai mediasi. Pihak
yang bertikai duduk bersama pihak luar untuk membantu komunikasi. Sedangkan dalam
budaya konteks erat orang lebih menyukai rekonsiliasi dalam penanganan sengketa karena
langkah mediasi terlalu beresiko menyebabkan kehilangan muka. Karena mediasi terlalu
banyak melakukan pertemuan langsung serta melibatkan pihak luar.16
Lalu apakah rekonsiliasi itu? Apa yang menjadi ciri khas dari rekonsiliasi? Apa
unsur-unsur yang ada dalam kata rekonsiliasi ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini, menurut penulis ada baiknya dimulai dari asal-usul kata rekonsiliasi.
Melihat perkembangan penggunaan kata rekonsiliasi mengakibatkan maknanya pun
semakin berkembang. Lalu bagaimana memahami kata rekonsiliasi? Menurut penulis
untuk memahami apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi ada baiknya dimulai dari
etimologis kata ini. Kata ini terdiri dari kata Latin, concilium. Kata ini mengandaikan suatu
proses yang dimaksud dengan sengaja, di mana pihak-pihak yang berseteru bertemu satu
sama lain “dalam dewan” guna membahas pandangan mereka yang berbeda dan mencapai
15 Ibid, 15.
kesepakatan bersama.17 Jika dilihat dari akar katanya ini menimbulkan kesan bahwa kata
ini mirip dengan negosiasi. Dalam Oxford Dictionary18 kata ini didefenisikan sebagai the
restoration of friendly relations atau the action of making of one view or belief compatible
with another. Dari defenisi ini dapat dilihat bahwa kata ini berkembang dari usaha mencari
kesepakatan bergerak ke arah memperbaiki hubungan yang rusak. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia pun mendefinisikan dengan maksud yang sama. Oleh KBBI kata ini
didefenisikan sebagai “perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan
semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan.”19 Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa kata ini diartikan sebagai perdamaian atau perbaikan.20 Jadi, dalam kata
rekonsiliasi terkandung makna perbaikan kembali suatu hubungan yang telah rusak.
Rekonsiliasi tidak hanya sekedar menyangkut suatu perjanjian kontrak, tetapi lebih kepada
hubungan - meminjam istilah Ferdinand Tonies - Gemeinschaft dibanding Gesselscaft.21
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini penulis akan menjabarkan beberapa teori rekonsiliasi
menurut para ahli.
2.2.1. Rekonsiliasi menurut Geiko Muller - Fahrenholz
Geiko Muller- Fahrenholz tidak memberikan defenisi secara eksplisit apa itu
rekonsiliasi. Ia menjelaskan apa itu rekonsiliasi melalui beberapa sisi dari rekonsiliasi. Sisi
17 Geiko Muller - Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat (Maumere: Ledalero, 2005), 5.
18 Oxford Dictionary Online, reconciliation, diunduh pada tanggal 22 September 2015 dari http:/oxforddictionaries.com/definition/english/reconciliation?q=reconciliation
19 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, rekonsiliasi, diunduh dari: http://kbbi.web.id/rekonsiliasi. 20 Tim Redaksi, Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional), Rekonsiliasi.
pertama yang ia perhatikan adalah pengampunan. Ia berusaha menjelaskan bahwa
pengampunan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Geiko Muller - Fahrenholz
memulai apa itu rekonsiliasi dari sudut pandang teologis. Ia memang mengakui bahwa
dalam Alkitab manusia tidak terlibat secara aktif dalam proses rekonsiliasi.22 Menurut
Fahrenholz, Alkitab memahami pengampunan sebagai suatu proses yang mencakup baik
pelaku kejahatan dan korban, seperti yang ditulis oleh Fahrenholz:
Pengampunan itu terjadi ketika pelaku meminta maaf dan si korban memberikannya. Kedua belah pihak diubah dalam perjumpaan ini. Terjadilah sebuah penyembuhan yang meretas jalan bagi suatu kerjasama yang lebih baik di antara pihak-pihak yang berseteru. Lebih dari sekedar kata atau gerak-gerik, pengampunan merupakan suatu proses perjumpaan, proses penyembuhan, proses penyingkapan pilihan-pilihan baru yang sejati untuk masa depan.23
Pendapatnya ini sangat berbeda dengan yang dikemukakan oleh Robert J. Screiter.
Menurut Screiter, pengampunan hanya bersifat satu sisi saja, yakni dari korban. Baginya
korban juga merupakan manusia berdosa yang menerima pengampunan dari Tuhan. Jadi,
sudah sepatutnya si korban mengampuni pelaku kejahatan, karena dia sudah terlebih
dahulu menerima pengampunan.24 Hal ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan
oleh Izak Lattu. Di mana Lattu menyatakan bahwa Yesus merupakan jembatan
rekonsiliasi antara manusia dan Tuhan. Rekonsiliasi merupakan cara terbaik untuk
memperbaiki hubungan antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik. Menurut
Lattu, seseorang mendapatkan rekonsiliasi ketika korbannya mendapat keadilan, baik
melalui pengadilan maupun rekonsiliasi budaya. Rekonsiliasi tidak hanya berhubungan
22 Geiko Muller - Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat (Maumere: Ledalero, 2005), 7.
23 Ibid, 8-9.
dengan alasan dan implikasi yudisial, tapi juga berhubungan dengan kerohanian.
Menganggap rekonsiliasi sebagai pengalaman kerohanian menuntun manusia kepada jalan
hidup baru dan hidup tersebut dapat menginspirasi orang lain.25
Fahrenholz berpendapat bahwa privatisasi dan vertikalisasi pengampunan dapat
mengakibatkan hubungan horizontal menjadi terabaikan,26 dalam arti pengampunan
menjadi suatu hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan, maka orang akan
cenderung enggan untuk meminta maaf. Jika tidak ada permintaan maaf, maka
pengampunan tidak akan terjadi.
Dari sudut pandang Fahrenholz, pelaku atau penindas pun turut diperbudak oleh
tindakannya. Untuk terlepas dari perbudakan ini, pelaku harus mengakui kesalahannya
kepada korban, dan hal inilah yang sering ditakutkan.27 Pendapat dari Fahrenholz ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Olaf Schumann. Pengampunan pun tidak
berarti bahwa apa yang dibuat akan dicoret dalam sejarah. Menurut Schumann,
pemahaman tentang pengampunan seperti itu keliru. Pengampunan berarti bahwa yang
terjadi tidak akan dihitung lagi, setelah ia diakui sebagai sesuatu yang memang ada dan
layak dihitung.28 Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Douglas W. Young29.
Walaupun ia setuju dengan Screiter bahwa rekonsiliasi harus dimulai dari korban, tapi
menurutnya pengampunan harus dikomunikasikan dengan pengakuan. Baginya tindakan
25 Izak Lattu, ‘Ide tity a d Re o iliatio i Jesus’ Pea e uildi g Narrative i Joh 4:1-26: An
I terdis ipli ary Perspe tive, dalam Journal of Asian and Asian American Theology Vol. 11 (2013), 48-49. 26 Geiko Muller - Fahrenholz, 26.
27 Ibid, 27.
28 Olaf Schumann, Agama-agama: Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 485.
meminta dan memberi pengakuan adalah tindakan dua pihak dalam gerak menuju
rekonsiliasi. Setiap tindakan menuntut balasan dari pihak lain.
Pengakuan yang dimaksud oleh Fahrenholz adalah suatu proses pengakuan yang
sangat mendalam. Ia menggunakan kata Jerman Entblossung yang secara harafiah berarti
menelanjangi diri. Menurutnya kata ini menggambarkan suatu proses di mana seseorang
berbalik dari titik di mana tindakan jahat pertama kali dilakukan. Mengakui semua
implikasi dari tindakan memalukan tersebut, dan tindakan ini memang merupakan
tindakan yang menyakitkan. Tindakan ini akan lebih menyakitkan lagi jika diakui di
hadapan orang yang menderita karenanya.30
Tapi perlu diingat bahwa pengampunan bukanlah suatu proses yang otomatis. Ketika
si pelaku mengaku kesalahannya dengan tulus, korban tidak otomatis memaafkannya. Pada
pihak korban, perasaan terluka begitu terasa. Menurut Fahrenholz, perasaan terluka ini juga
merupakan suatu perusakan pada inti pati kepribadian manusia. Pendapatnya ini sama
dengan apa yang dikemukakan oleh Schreiter, bahwa kekerasan dapat merusak inti
kehidupan manusia. Lebih lanjut, menurut Fahrenholz, hal ini berakibat pada begitu
banyak alasan mengapa korban tidak mau berpaling lagi ke kedalaman luka traumatis
mereka. Lebih mudah untuk bersembunyi di balik barikade represi, amarah dan
pembenaran diri. Akibatnya kadang permintaan maaf yang tulus tidak digubris.31
Oleh karena itu, Geiko Muller - Fahrenholz, ia melihat bahwa adanya faktor perantara
diperlukan sebagai sisi lain dari rekonsiliasi. Biasanya yang menjadi seorang perantara
adalah seorang yang cukup dipercayai oleh kedua pihak yang sedang berselisih untuk
membersitkan percik kepercayaan untuk mengawali proses Entblossung. Sebagai
perantara ia hanya bertindak sebagai percikan pertama untuk menyalakan api perjumpaan,
dan menyanggupkan kedua belah pihak untuk saling bertemu muka ke muka (face to
face).32 Akan tetapi, menurut Fahrenholz tidak selalu, atau tidak mutlak untuk selalu
menyertakan seorang perantara. Faktor perantara dapat berupa kunjungan ke tugu
peringatan, atau beberapa tempat berkesan mendalam lainnya yang membuat barikade rasa
takut dan curiga itu ambruk. Bisa juga berupa begitu menindihnya rasa bersalah atau beban
keterasingan yang tak tertanggungkan lagi, yang menyebabkan seseorang terdorong
mengatasi segala macam rintangan dalam batin, dan meminta maaf.33
Ia mengutip Martin Buber, dari buku “I and Thou”, yang menunjukkan bahwa
perjumpaan sejati antara pribadi-pribadi, memunculkan sesuatu yang baru, yakni sebuah
daya tenaga yang tidak terbelenggu di dalam dirinya dan juga tidak terpisah dari yang lain,
tetapi berasal-usul dari kebersamaan mereka. Manakala dua pribadi menyingkapkan diri
mereka seorang kepada yang lain maka terciptalah suatu “medan energi” di antara
keduanya, yang melampaui kekuatan secara perorangan. Dalam wacana religius, menurut
Fahrenholz, daya tenaga yang mengherankan ini diacu sebagai Roh Allah.34
Pandangan Fahrenholz ini mirip dengan pendapat Schreiter. Tapi yang membedakan
keduanya adalah menurut Fahrenholz kemampuan manusia untuk mengampuni, tidak
boleh diredusir kepada kerahiman ilahi, tetapi harus diakui sebagai kemampuan yang juga
bersifat manusiawi. Faktor perantara ini menurutnya bisa juga ditemukan di antara
pribadi-pribadi yang non religius. Ia menyebut daya tenaga ini dengan kekuatan
32 Ibid,. 67-68.
kontigensi.35 Walau Fahrenholz tidak menyangkal peran orang ketiga dalam rekonsiliasi,
tetapi ia melihat faktor antara tidak terpaku pada manusia. Faktor perantara bisa juga
berbentuk tugu peringatan.36 Baginya kekuatan kontingensi ini berkaitan erat dengan
imajinasi. Imajinasi untuk melihat jalan keluar yang tidak mampu atau tidak mau digapai
pihak-pihak yang sedang bertikai.
Dalam bentuk skema, konsep rekonsiliasi dari Fahrenholz dapat digambarkan sebagai
berikut:
Daya Kontigensi/
Pihak Ketiga
Memaafkan
Korban Pelaku
Mengakui Penindasan
Lalu bagaimana kondisi dalam skema itu dapat terlaksana? Menurut Fahrenholz perlu
ada tindakan tulus yang benar-benar mengindahkan perasaan pihak lain. Suatu gerak-gerik
simbolik dengan sikap yang penuh hormat atas berbagai kesulitan yang ada di dalamnya. Ia
mencontohkan tindakan ini dengan berlututnya Kanselir Jerman Willy Brant di tugu
peringatan pemberontakan Warsawa, Polandia. Berlutut merupakan suatu gerak-gerik
simbolik yang dimaksudkan Fahrenholz.37 Berikutnya menurut Fahrenholz perlu diadakan
35 Ibid,. 70.
36 nd. David Androff, The Meaning of Re on iliation: women stories about their experience with suffering frong the grief , Scandinavian Journal of Science (Vol. 13. 2010), 269-285. Menurut Androff, manusia bukan satu-satunya pemicu rekonsiliasi. Rasa sedih dan duka juga dapat menjadi pemicu seseorang untuk berekonsiliasi.
suatu langkah agar kedua pihak bisa saling berkomunikasi, sehingga tidak terjadi salah
paham di antara keduanya.38 Dalam hal ini sangat diperlukan untuk menyingkap
cerita-cerita para korban yang dipaksa untuk membisu39, di sinilah pihak perantara sangat
dibutuhkan perannya. Dalam langkah kedua ini nampak bahwa bagaimana kebenaran
menjadi unsur yang sangat penting untuk terjadinya suatu rekonsiliasi.
2.2.2. Rekonsiliasi Menurut Duane Ruth - Heffelbower
Berbeda dengan dua tokoh lainnya, Duane Ruth - Hefflebower sangat memperhatikan
sisi strategi dari sebuah rekonsiliasi. Walau menggunakan kata rekonsiliasi Ruth -
Hefflebower juga memperhatikan unsur-unsur mediasi. Ketika membahas rekonsiliasi, ia
memulainya dengan membahas tentang konsiliator. Hefflebower berangkat dengan
menjelaskan perbedaan antara mediator dan konsiliator. Seorang konsiliator adalah orang
yang bijaksana, paling tidak memiliki status yang sama dengan pihak yang berkonflik dan
dipercayai oleh kedua belah pihak, yang mendengarkan secara pribadi kedua pihak itu, lalu
mengusulkan solusi secara pribadi.40
Semakin erat konteks di mana nasehat diberikan, maka semakin besar kemungkinan
untuk pihak berselisih mengikuti nasihat konsiliator.41 Jadi dapat dikatakan dalam model
konsiliasi seorang konsiliator memegang peranan yang sangat besar. Dengan demikian
dalam hal ini seorang konsiliator dapat mengontrol situasi suatu proses rekonsiliasi.
38 Ibid,. 132.
39 Geiko Muller- Fahrenholz, Proses Reko siliasi: Me a ga i Masalah Apartheid , “eri Pastoral, 2002, No. 5, 18.
40 Duane Ruth - Hefflebower, Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi; Edisi kedua (Yogyakarta: Duta Wacana Press, 2000), 23-24.
Seperti yang sudah penulis singgung sebelumnya bahwa walaupun keduanya
merupakan hal yang identik, konsiliator dan mediator tetap memiliki perbedaan. Menurut
Hefflebower, perbedaan antara seorang konsiliator dengan mediator adalah mediator
dipilih karena pengetahuannya tentang subjek perselisihan dan kemampuan mediasinya.42
Hal ini juga diungkapkan oleh Kovach, menurutnya seorang mediator harus dipilih
berdasarkan kemampuannya, bahkan untuk seorang mediator professional biasanya
dikenakan biaya.43 Sedangkan seorang konsiliator, cenderung bertemu pihak yang bertikai
secara terpisah untuk menghindari kehilangan muka pihak yang bertikai.44
Tapi kesamaan antara mediator dan konsiliator sebagai pihak ketiga, pertama adalah
menyangkut komunikasi. Keduanya harus memiliki keterampilan untuk berkomunikasi
dengan kedua pihak yang bertikai. Itulah sebabnya pihak ketiga harus mempunyai
kemampuan untuk berkomunikasi dengan kedua belah pihak.45
Lebih lanjut, untuk mengadakan rekonsiliasi, sejak awal sudah dijelaskan lebih dahulu
kepada pihak yang bertikai bahwa tujuan dari rekonsiliasi adalah membuat segala sesuatu
berjalan sebaik mungkin bagi pihak-pihak yang bertikai dengan cara sejujur mungkin,
seseimbang mungkin dan seadil mungkin.46
Secara ringkas, Hefflebower menyusun kriteria pihak ketiga ini menjadi beberapa
poin, yaitu47:
42 Ibid,. 25.
1.Ketidakberpihakan. Orang-orang yang melakukan intervensi (pihak ketiga) sebaiknya
tidak berpihak oleh semua pihak yang terlibat. Dalam kenyataan hampir tidak ditemukan
ada pihak ketiga yang benar-benar netral.Tapi dalam kenyataannya tidak ada netralitas
yang bisa dilaksanakan dengan murni. Pihak ketiga cenderung berpihak kepada salah
satu kubu yang bertikai.48 Kovach pun mengungkapkan hal yang sama. Menurut
Kovach netralitas yang absolut adalah mustahil untuk dicapai.49
2.Akses. Mereka yang melakukan intervensi ini sebaiknya orang-orang yang memiliki
akses kepada pemimpin dari kedua belah pihak.
3.Kecocokan. Kelompok yang melakukan intervensi seharusnya merupakan orang yang
cocok dengan kedua pihak.
4.Kecakapan. Untuk intervensi dibutuhkan orang-orang yang seperti berikut: (a)
Seseorang yang memiliki kecakapan untuk menciptakan kemudahan dalam pertemuan.
(b) Seseorang yang benar-benar paham mengenai masalah politik. (c) Seseorang yang
mempunyai kemampuan atau koneksi mencari dana.
5.Identitas. Kelompok yang melaksanakan intervensi sebaiknya merupakan kelompok
yang mempunyai nama atau lembaga yang dapat diterima oleh semua pihak.
6.Waktu dan Komitmen. Pihak yang melakukan intervensi harus memiliki komitmen
untuk menempuh proses yang panjang dan melelahkan.
48 Jumiati, Pe erapa The Five Basi Pri iple of Mediatio - Sebuah Tinjauan Teoritis dalam Theofransus Litaay, dkk (ed.), Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian (Salatiga: Satya Wacana Peace Centre - SWCU, 2011), 119.
7.Ukuran. Jumlah dari para pelaksana intervensi sebaiknya cukup besar untuk memenuhi
kriteria di atas.
Untuk melakukan intervensi, pihak ketiga harus memiliki tujuan tertentu. Hefflebower
mengindikasikan tujuan-tujuan dari sebuah intervensi sebagai berikut50:
a. Membangun hubungan dengan pihak-pihak yang terlibat.
b. Berinteraksi dengan pihak-pihak yang terlibat untuk mengenal situasi.
c. Intervensi berguna untuk membangkitkan tanggapan masyarakat dengan memberikan
informasi kepada masyarakat tentang kejadian.
d. Mengurangi kekerasan.
e. Memperbaiki perilaku, yaitu dengan cara mengkonfrontasi perilaku yang merusak
atau tidak sah.
f. Memperbaiki komunikasi.
g. Memberdayakan negosiasi, mediasi atau rekonsiliasi.
h. Melakukan advokasi kepada salah satu pihak. Tindakan terakhir ini bertujuan untuk
menyeimbangkan kekuatan.
Adapun langkah-langkah dalam melakukan proses rekonsiliasi yang dijabarkan oleh
Heffelbower adalah sebagai berikut51:
1.Mengakui adanya kesalahan dan luka hati (membangun kesadaran akan adanya
ketidaksepahaman).
Melihat langkah pertama ini, fungsi dari pihak ketiga memiliki kesamaan dengan apa
yang disebut Coser dengan “katub penyelamat”. Katub penyelamat ini dapat berupa
lembaga yang berfungsi sebagai tempat penyaluran keluhan-keluhan. Sebagai tempat
meluapkan permusuhan secara terarah.52
2.Memulihkan keseimbangan. Langkah ini dilakukan dengan meminta masing-masing
pihak untuk mengungkapkan apa yang dibutuhkan agar hubungan dapat dipulihkan.
3.Menjelaskan niat untuk masa depan. Langkah yang ketiga ini dilaksanakan dengan
menanyakan kepada masing-masing pihak mengenai apa yang perlu dilakukan agar konflik
tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
4.Membuat rangkuman dan menuliskan hasil persetujuan. Untuk melaksanakan langkah
ini yang perlu ditanyakan kepada pihak-pihak yang bertikai, yaitu: Apakah hal-hal yang
tidak seimbang disadari oleh kedua pihak? Apakah persetujuan cukup jelas sehingga
perselisihan yang sama tidak akan terulang lagi? Apakah persetujuan telah memuat
penghargaan, membangun rasa simpati satu sama lain, dapat dipahami dan mempunyai
landasan yang jelas dan dapat diterima oleh semua pihak.
5.Langkah yang terakhir adalah menandatangani, merayakan, dan kemudian
menindaklanjuti.
Selain langkah di atas, Hefflebower menuliskan bahwa sangat penting untuk
menyelaraskan kepentingan. Dalam menyelaraskan kepentingan ini, ia menyusunnya
dalam tiga tahap, yaitu53:
1.Mengidentifikasikan keprihatinan-keprihatinan utama.
2.Membuat alternatif jalan keluar.
3.Memilih jalan alternatif yang terbaik.
3.Rekonsiliasi Menurut John W. De Gruchy
John W. de Gruchy lebih menekankan teorinya pada pemahaman kontribusi
spiritualitas Kristen demi terwujudnya suatu rekonsiliasi dan sebagai saksi teologi publik.
de Gruchy menunjukkan karakter relasional spiritualitas Kristen, yang memperlihatkan
nilai keterlibatan dalam praktek rekonsiliasi dan penegakan keadilan. Konsep inti ini
ditemukan untuk menjadi pelekat dalam hubungan perjanjian antara Tuhan dan manusia.
de Gruchy menggambarkan rekonsiliasi sebagai restorasi, yakni kontur keadilan dan
hubungan yang benar dalam transendental. Ia melihat spiritualitas, rekonsiliasi dan
keadilan sebagai tiga hal yang saling berhubungan. Menurutnya, dunia dalam semua
penderitaan dan harapan adalah tema teologis yang harus dikembangkan.54
de Gruchy membedakan empat cara membicarakan rekonsiliasi, yaitu:
1.Upaya untuk menggambarkan berbagai tingkatan rekonsiliasi.
53 Ibid, 47-51.
2.Memahami inti untuk mengatasi keterasingan.
3.Berlangsung secara teologis.
4.Interpersonal, sosial dan politik.55
Rekonsiliasi dapat berhubungan dengan setiap cara ini untuk mengatasi keterasingan
secara terpisah atau bersama-sama. Rekonsiliasi biasa mengambil tempat dalam urutan
atau sebagai sebuah proses - perjalananan yang membutuhkan kesadaran masa lalu,
sekarang dan langkah-langkah untuk masa depan.56 de Gruchy menyatakan bahwa
rekonsiliasi harus dilakukan melalui identitas: memahami identitas seseorang dalam
kaitannya dengan identitas umum “yang lain” dan menemukan identitas baru.57
Kebutuhan akan rekonsiliasi adalah sesuatu yang relevan dalam setiap komunitas
manusia di mana orang teralienasi dan berduka, demi terwujudnya suatu penyembuhan dan
harapan.58 de Gruchy mengatakan:
The doctrine of reconciliation will be most relevant to social and political life when it is most true to its own distinct character. How pointless it would be if we were simply to provide religious terms in which the discussion about political reconciliation could be clothed in order to make it more palatable to religious people.59
de Gruchy telah membuat suatu kontribusi yang unik dan cukup relevan dengan
konteks saat ini. Para politisi bahkan pemuka-pemuka agama seringkali menggunakan
agama sebagai sarana untuk mengadakan rekonsiliasi. Tetapi ternyata itu belum cukup. Ia
menawarkan suatu perspektif interdisipliner, ekumenis yang ditanam dalam tradisi Kristen.
55 Ibid, 26.
Ini juga menggambarkan hubungan antara rekonsiliasi dan keadilan. Ia menggunakan
Truth and Reconciliation Commission (TRC) sebagai studi kasus. Baginya, spiritualitas
Kristen dapat berfungsi untuk membentuk identitas orang Kristen mempraktekkan iman
dalam kehidupan politik, menciptakan ruang untuk rekonsiliasi, di mana kebenaran bisa
berbicara, dan pengampunan dapat dicari. Pusat argumennya adalah gagasan perjanjian
antara Tuhan dan penciptaan. Melalui Kristus, mediator antara Allah dan manusia, Allah
telah memperbarui perjanjian-Nya dalam sebuah inisiatif baru ‘untuk mendamaikan segala
sesuatu untuk diri-Nya sendiri’.60
Hubungan interpersonal, sosial dan politik perlu mengadopsi atau menggabungkan
“nilai-nilai, masalah etika, dan teologis serta wawasan antropologis” dari ikatan atau
hubungan ‘perjanjian’, yang memberikan bentuk dan struktur.61 de Gruchy mengusulkan
hubungan ini sebagai kerangka di mana rekonsiliasi harus dipahami. Ikatan perjanjian ini
didasari oleh karakteristik, komitmen, kepercayaan dan menghormati perbedaan. Hal ini
didorong oleh niat murni, untuk berusaha memperoleh solidaritas, altruistik dan
pengorbanan, yang memungkinkan terjadinya kompromi secara terus-menerus.
Argumennya mengembangkan tugas atau tanggung jawab dari kedua pelaku dan
korban. Tugas ini meliputi pengungkapan kebenaran, termasuk bersalah untuk pelaku, dan
pengampunan untuk korban. de Gruchy berpendapat bahwa doktrin dosa menetapkan
semacam solidaritas di antara semua umat manusia. Oleh karena itu ide dari hubungan
perjanjian memperluas tanggungjawab manusia (terutama orang-orang beriman) untuk
bertindak sebagai agen rekonsiliasi di dunia. Menurutnya, tidak ada pemahaman yang
60 Ibid, 69.
koheren mengenai keadilan di dunia modern.62 Keadilan restoratif lebih merupakan upaya
untuk “memulihkan dimensi terabaikan tertentu yang membuat pemahaman yang lebih
lengkap tentang keadilan”.63
Keadilan dalam tradisi Alkitab bersifat sosial dan relasional. Oleh karena itu de
Gruchy menyoroti hubungan antara keadilan, kasih dan kuasa.64 de Gruchy berpendapat
bahwa rekonsiliasi dan keadilan merupakan bagian dari proses dan tujuan, atau sarana dan
tujuan. Dunia yang adil, membutuhkan rekonsiliasi, dunia hanya dapat didamaikan jika
keadilan dipulihkan.65 Spiritualitas, rekonsiliasi dan keadilan saling berhubungan dalam
arti bahwa semua adalah alat untuk mencapai tujuan, dan berakhir dalam diri mereka.
62 Ibid, 200.
Kesimpulan
Konflik dapat diartikan sebagai suatu relasi antagonistik yang terjadi antara lain akibat
adanya ketidaksepahaman, sikap-sikap emosional, struktur-struktur nilai yang berbeda dan
bisa juga karena persaingan masa lalu maupun perbedaan individual. Konflik adalah
sesuatu yang tidak dapat dihindari tapi dapat dihadapi. Selain berdampak negatif, konflik
juga dapat memberikan dampak positif karena dapat dijadikan wadah atau sarana untuk
membangun saling pengertian dan membentuk kedewasaan berinteraksi antar individu
maupun kelompok yang memiliki beragam sifat, sikap dan kepentingan.
Ada berbagai bentuk dan penyebab terjadinya konflik, baik karena adanya
ketidaksepahaman, politik dan lain-lain. Untuk mengelola konflik tersebut, terdapat
beberapa cara yang dapat disesuaikan dengan konteks, bentuk atau sifat konfliknya.
Meskipun demikian, agar dapat menyelesaikan suatu konflik keahlian mengelola konflik
sangat dibutuhkan.
Dalam upaya penanganan konflik, ada banyak pilihan penyelesaian sengketa.
Rekonsiliasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa. Rekonsiliasi mengacu
pada suatu upaya memperbaiki hubungan yang rusak/ perdamaian. Penulis sempat
membahas 3 teori yang dikemukakan para ahli mengenai rekonsiliasi. Ketiga teori ini
dikembangkan dalam konteks berbeda sehingga proses atau tahapannya pun berbeda,
namun tujuannya sama, yaitu mewujudkan suatu perbaikan hubungan. Dari pendapat para
ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa rekonsiliasi hanya dapat terwujud jika ada pihak
yang mengakui kesalahannya dan meminta maaf, sebaliknya pihak lainnya memberi maaf.