• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA - WARGA NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA - WARGA NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN

WARGA NEGARA INDONESIA - WARGA NEGARA AUSTRALIA

YANG DILANGSUNGKAN DI

NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA

TESIS

IRA RASJID

0906582614

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

MAGISTER KENOTARIATAN

JAKARTA

JANUARI 2013

(2)

TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN

WARGA NEGARA INDONESIA - WARGA NEGARA AUSTRALIA

YANG DILANGSUNGKAN DI

NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kenotariatan

IRA RASJID

0906582614

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

MAGISTER KENOTARIATAN

JAKARTA

JANUARI 2013

(3)
(4)
(5)

Nama : Ira Rasjid Program Studi : Kenotariatan

Judul : Tinjauan Perjanjian Perkawinan terhadap Perkawinan Campuran Warga negara Indonesia – Warga negara Australia yang

Dilangsungkan di New South Wales – Australia

Tesis ini membahas mengenai tinjauan akta perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia oleh notaris di Indonesia untuk perkawinan campuran beda kewarganegaraan antar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Australia yang mana perkawinannya itu dilangsungkan di negara bagian New South Wales – Australia berdasarkan hukum perkawinan Australia. Maka timbul permasalahan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia dalam hukum perkawinan di Australia. Apakah akta perjanjian perkawinan tersebut berlaku dan diakui kedudukannya sebagai perjanjian perkawinan di Australia atau tidak. Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan pendekatan metode yuridis normatif dan deskripsi analitis, yaitu berupa kajian terhadap asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan campuran beda kewarganegaraan dan dilihat dari teori-teori Hukum Perdata Internasional yang terkait dengan masalah perjanjian perkawinan yang bersifat internasional ini. Serta peraturan dan perundang-undangan Australia yang mengatur mengenai perkawinan, perjanjian perkawinan dan pengakuan perjanjian perkawinan yang dibuat di luar Australia. Sebagai hasil dari penelitian ini, bahwa Australia hanya mengakui perjanjian perkawinan asing bilamana segala persyaratan tentang tata cara pembuatan perjanjian perkawinan Bindin Financial Agreement di Australia. Jadi dalam kasus tesis ini akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia tidak diakui dan secara hukum tidak mengikat. Perjanjian perkawinan tersebut hanya dipakai oleh hakim di Pengadilan Keluarga Australia sebagai bahan pertimbangan saja.

Kata Kunci:

Perkawinan Campuran, Perjanjian Perkawinan, Akta Perjanjian Perkawinan Indonesia dalam Hukum Australia

(6)

Name : Ira Rasjid Program of Study : Notary

Title : Review on Prenuptial Agreement of Mixed Marriage between Indonesia and Australia, where the wedding was held in New South Wales – Australia

This thesis is the review of a prenuptial agreement deed that made in Indonesia by Indonesian Public Notary for a mixed marriage with different nationalities between an Indonesian nationality and an Australian nationality, where the wedding was held in New South Wales – Australia. Is the prenuptial deed above valid and recognise as prenuptial agreement in Australia. The above conflicts, has been reviewed and obsereved by the writer using a yuridis normative method and deskriptive analitic, law principles rules by Indonesian regulation related with mixed marriage prenuptial agreement subject, also using the principles by International Private Law, Australian Acts and regulation that rules international mixed marriage on how foreign prenuptual agreement is recognise in Australia. The result has come up that Australian only recognise foreign prenuptial agreement as long as it meet with all the requirements on how Australian make a binding financial agreement. So in this case, the prenuptial agreement deed made by Indonesian public notary in Indonesia does not recognise and does not binding in Australian. Its use for the judge in Family Court for a concideration only.

Key Word:

Mixed Marriage, Prenuptial Agreement, Indonesian Prenuptial Agreement Deed in Australian Marriage Law.

(7)

 

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan Tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Lita Arijati, SH, LL.M, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.

2. Atika Rasyid, Reni Rasyid, dan Ery Rasyid yang selalu menjadi teman dan saudara kandung terbaik dan tak tergantikan yang penulis miliki.

3. Robert Reid, for being the best husband one could ever have.

4. Ibu Tati, ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan moriil yang sangat berarti buat penulis.

5. Ayahanda H.M. Rasjid Umar SH, dear bapak, tesis dan gelar Magister Notariat ini Ira persembahkan hanya untuk bapak.

Akhir kata, saya berharap tesis ini dapat diterima dan membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, 14 Januari 2013

(8)
(9)

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ABSTRACT

KATA PENGANTAR

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DAFTAR ISI

BAB I……….1

PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang Pemilihan Judul……….1

B. Rumusan Permasalahan………..4

C. Tujuan Penelitian………5

D. Metode Penelitian………...6

E. Sistematika Penulisan……….8

BAB II………..10

TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA – WARGA NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI NEW SOUTH WALES – AUSTRALIA………...10

A. Perkawinan Campuran di Indonesia……….10

1. Keadaan Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974………..………..……….10

2. Keaadaan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974……….……12

3. Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Kewarganegaraan Isteri dan Suami……….16

4. Teori-teori dalam Hukum Perdata Internasional yang Terkait dalam Perkawinan Campuran………...18

(10)

2. Alasan-alasan untuk Membuat Perjanjian Perkawinan………..42

3. Peraturan Perkawinan di Indonesia………50

a. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Perkawinan……….51

b. Sesudah Berlakunya Undang-Undang Perkawinan……….52

4. Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata………52

5. Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974……….54

6. Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Notaris……….…..56

C. Perjanjian Perkawinan di Australia……….…….64

1. Sejarah Perjanjian Perkawinan di Australia……….……..66

2. Pelaksanaan Binding Financial Agreement sebagai Perjanjian Perkawinan di Australia……….……70

D. Analisis Kasus pada Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Notaris di Indonesia untuk Perkawinan di New South Wales – Australia………...75

1. Status Personal para Pihak yang Terlibat dalam Perkawinan………75

2. Tinjauan terhadap Akta Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Australia………...76

3. Pengaruh terhadap Kewarganegaraan Isteri………..79

BAB III……….81 PENUTUP………81 A. Kesimpulan………...81 B. Saran……….82 DAFTAR PUSTAKA………...…84 LAMPIRAN - LAMPIRAN

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Judul

Dengan era globalisasi yang lebih terbuka untuk lintas batas antar negara yang satu dan negara yang lain menjadikan interaksi yang tidak bisa dihindari antara orang dari satu warga negara dengan warga negara lainnya, dimana tidak jarang dari interaksi tersebut sampai pada dilakukannya proses perkawinan dengan beda kewarganegaraan . Begitu juga yang terjadi di Indonesia, telah banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah menikah dengan Warga Negara Asing (WNA).

Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok tanah air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.

Perkawinan merupakan salah satu kaidah hukum yang termasuk dalam bidang hukum keluarga. Perkawinan campuran di Indonesia sudah umum dan banyak terjadi. Semakin bertambah dan berkembangnya hubungan-hubungan dengan luar negeri, maka semakin banyak sesama Warga Negara Asing di Indonesia, maupun antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia. Hubungan-hubungan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum yang mengandung unsur asing saat ini sudah sangat sering terjadi.

Jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, bekas teman kerja/ bisnis, berkenalan saat berlibur, atau bekas teman sekolah/ kuliah. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum

(12)

dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Mengenal sistem hukum dan budaya calon pasangan merupakan keniscayaan bagi perempuan Indonesia yang ingin menikah dengan pria warga negara asing. Atau sebaliknya, pria Indonesia yang akan menikah dengan perempuan warga negara asing. “Dalam perkawinan campuran, akan muncul banyak masalah hukum1. Agar problema hukum tidak merepotkan pada saat

melangsungkan pernikahan atau sesudah membina rumah tangga, pasangan perkawinan campuran harus memahami sistem hukum masing-masing. Perempuan Indonesia yang ingin menikah dengan pria warga negara asing perlu memahami hukum di negara calon suaminya, termasuk tata cara dan aturan perkawinan lintas negara.

Dorongan agar Warga Negara Indonesia (WNI) lebih memahami sistem hukum negara calon pasangan sebenarnya juga tersirat dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apalagi kalau perkawinan itu berlangsung di negara calon pasangan yaitu dalam tesis ini adalah Australia. Simak saja rumusan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan: “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan                                                                                                                

1 Merry Girsang, Ketua Umum KPS Melati, Perkawinan Campuran, KPC Melati Center,

http://www.kpcmelaticenter.com/id/pernak-pernik-perkawinan-campuran/kenali-lebih-dekat-sistem-hukum-dan-budaya-calon-pasangan.html, Hukum Online 25 April 2008.

(13)

menurut hukum yang berlaku di negara perkawinan itu dilangsungkan”. Dalam

Australian Marriage Act 1961 juga disebutkan dalam Section 88C (1)(a)2 yaitu

bahwa perkawinan dianggap sah bilamana diresmikan/dilangsungkan menurut hukum tempat dimana perkawinan tersebut dilangsungkan.

Pemahaman perempuan Indonesia atas budaya calon suami sangat penting artinya dalam menjalin komunikasi lanjutan. Budaya dalam berkeluarga di tiap negara berbeda-beda. Suatu perbuatan menjadi biasa di negara tertentu, sebaliknya menjadi aib di negara lain.

Pada masyarakat yang individualistik, segala sesuatu dilandaskan pada tataran hukum (law). Cara berpikirnya adalah menghindari ketidakpastian. Tidak mengherankan, perjanjian pranikah atau perjanjian kawin adalah hal yang lazim dilakukan agar di belakang hari tidak menimbulkan masalah pelik.

Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah atau lazimnya disebut juga Perjanjian Kawin adalah suatu Perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau isteri secara otentik di hadapan Notaris, yang menyatakan bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak.

Dengan dibuat dan ditanda-tanganinya perjanjian ini, maka semua harta mereka, baik itu berupa harta yang mereka bawa sebelum mereka menikah, maupun pendapatan yang mereka peroleh setelah mereka menikah kelak adalah hak dan milik mereka masing-masing. Demikian pula dengan hutang-hutang dari masing-masing pihak tersebut.

Perjanjian Kawin merupakan kesepakatan antara para pihak calon pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan. Maka sangatlah penting agar kedua pasangan datang dan hadir untuk mengetahui pro dan kontra serta seluk                                                                                                                

(14)

beluk perkawinan campuran. Sebab kedua belah pihak harus benar-benar paham apa yang tertuang di dalam perjanjian perkawinan dan apa yang tertulis tersebut adalah benar-benar apa yang kedua belah pihak inginkan.

Permasalahan bisa saja timbul, ketika Notaris yang bersedia membuatkan draft perjanjian kawin, bertemu dengan calon mempelai pria yang berkebangsaan Australia, ia malah menjadi sasaran kemarahan sang calon suami, karena ternyata apa yang tertuang ternyata tidak seperti apa yang diinginkan oleh pihak calon suami. Disinilah dibutuhkan sikap ketelitian dari seorang Notaris yang hendak membuat perjanjian perkawinan bagi pasangan beda kewarganegaraan. Notaris harus bisa merubah draft perjanjian perkawinan standard dan mengubah isi dari apa yang diatur dalam perjanjian tersebut sesuai dengan kebutuhan dari kedua belah pihak. Serta memperhatikan penggunaan perjanjian perkawinan tersebut dikemudian hari. Sebab mengingat bahwa pasangan tersebut akan menikah di luar negeri yang secara hukum maka berlaku hukum perkawinan negara dimana mereka menikah.

Oleh karena itu penulis memilih judul dalam tesis ini, “Tinjauan

Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia terhadap Perkawinan Campuran Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Australia yang dilakukan di New South Wales – Australia”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diangkat adalah mengenai Perjanjian Perkawinan yang di buat oleh notaris di Indonesia terhadap perkawinan beda warga negara yaitu antara seorang wanita yang berkewarganegaraan Indonesia dengan seorang pria yang berkewarganegaraan Australia yang tunduk pada peraturan perkawinan Australia dikarenakan melangsungkan pernikahannya di Australia. Perjanjian perkawinan dibuat sebelum pasangan melaksanakan pernikahan di Australia, pasangan tersebut

(15)

membuat perjanjian kawin yang dibuat di Indonesia oleh Notaris Indonesia. Dengan alasan bahwa pasangan pihak istri berkewarganegaraan Indonesia dan pasangan ini berdomisili di Indonesia. Hal tersebut membuat pasangan wanita yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki segudang pertanyaan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan yang mereka buat di Indonesia oleh Notaris di Indonesia di Australia.

Penulis mengemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang harus di perhatikan oleh Notaris di Indonesia dalam hal pembuatan perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) terhadap perkawinan campuran/ beda warga negara?

2. Bagaimana kedudukan akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris di Indonesia terhadap perkawinan yang dilaksanakan di Australia dan tunduk pada hukum perkawinan Australia (dalam hal ini yaitu negara bagian New South Wales - NSW)?

Pada akhir tesis ini penulis akan membahas dan menjawab apa yang menjadi permasalahan dalam kasus tesis ini.

C. Tujuan Penelitian

Fenomena tersebut diatas diangkat oleh penulis untuk diteliti lebih lanjut mengenai perkawinan dua kewarganegaraan yang berbeda yaitu Indonesia dan Australia. Harapan penulis dari penelitian tesis ini yaitu:

1. Agar dapat membantu memberi masukan serta argumentasi untuk menjamin rasa kepastian hukum mengenai perkawinan campuran, supaya wanita Indonesia yang ingin menikah dengan Warga Negara Australia dapat memahami seluk beluk hukum perkawinan di Negara Kangguru tersebut.

(16)

2. Agar dapat memberikan informasi yang kuat mengenai kedudukan hukum akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris di Indonesia dalam perkawinan campuran Indonesia - Australia, baik dalam hukum perkawinan Indonesia dan dalam hukum perkawinan Australia.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan bahan Hukum Sekunder yang dimulai dengan analisis mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, buku-buku mengenai Hukum Perdata Internasional Indonesia, Australian Marriage Act Law

1961, dan Australia Family Law Act 1975, sedangkan untuk permasalahan

hukumnya penulis mengambil bahan dari literatur Indonesia dan literatur asing, buku kumpulan mata kuliah Pembuatan Akta Perorangan dan Keluarga, The

Practioner’s Guide to International Law, serta peraturan pelaksanaannya dan

ketentuan hukum yang terkait. Setelah itu dilanjutkan dengan menggunakan data primer yang bertujuan untuk menemukan korelasi antara beberapa gejala yang ditelaah3 serta studi dokumen-dokumen.

Untuk bahan Hukum Primer penulis menggunakan akta perjanjian perkawinan campuran yang dibuat oleh notaris di Indonesia untuk pasangan dalam kasus tesis ini, serta Marriage Certificate mereka yang di keluarkan oleh negara bagian New South Wales, Australia.

Bahan Hukum Tersier dalam tesis ini yaitu berupa berbagai artikel yang di buat oleh pengacara-pengacara Australia yang ahli dalam bidang family law dan artikel dari kalangan praktisi Hukum Indonesia dalam bidang Hukum Perdata,

                                                                                                               

(17)

Hukum Keluarga dan Hukum Perdata Internasional, kamus Inggris-Indonesia, Black’s Law Dictionary, dan ensiklopedia hukum. .4

 

Metode penelitian tersebut digunakan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundang-undangan, yaitu hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya bahkan peraturan di negara lain yang melintasi batas negara yang ada kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. Selain itu penelitian ini juga didukung dengan hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber.

Tipe penelitian yang dipergunakan adalah tipe penelitian eksplanatoris, khususnya peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teori-teori hukum di Indonesia dan teori-teori-teori-teori hukum yang berlaku di Australia serta praktek pelaksanaan yang menyangkut dengan perkawinan campuran beda warganegara.

Alat Pengumpul Data dalam penulisan ini berupa studi dokumen yaitu mencari dan mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan yang terjadi dalam perkawinan campuran.

Metode Analisis Data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis data kualitatif, yaitu penelitian yang menekankan pada data-data yang diperoleh penulis dari buku-buku, artikel, penulis juga menekankan pada peraturan perundang-undangan.

Bentuk hasil penelitian-penelitian yang penulis lakukan adalah bentuk normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak pada penelitian                                                                                                                

4 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo

(18)

terhadap peraturan perundang-undangan serta pandangan hukum para ahli. Kualitatif karena analisa data berasal dari perilaku sikap dan pandangan dalam praktek dalam rangka menerapkan peraturan perundang-undangan.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penulisan tesis ini disusun secara sistematis terbagi atas tiga bab. Pembagian ini dibuat agar dalam pengembangannya dapat lebih sistematis dan terarah pada apa yang menjadi pokok permasalahan serta dapat dihindarinya penyimpangan dari yang sudah digariskan. Secara garis besar sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

BAB 1 : PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah yang terjadi dalam masyarakat mengenai perkawinan campuran beda negara, pokok permasalahan yang timbul dari adanya perkawinan campuran beda negara yaitu antara Indonesia dan Australia dan metodelogi penulisan tesis ini.

BAB 2 : TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP

PERKAWINAN CAMPURAN INDONESIA- AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI AUSTRALIA

Bab ini berisi perkawinan campuran menurut Hukum Perdata dan Hukum Perdata Internasional, perjanjian dalam bidang kenotariatan, perjanjian perkawinan menurut hukum di Indonesia, perjanjian perkawinan menurut hukum Australia dan macam-macam jenis akta perjanjian kawin yang dibuat oleh notaris di Indonesia, tinjauan secara yuridis dan analisa terhadap perjanjian kawin Indonesia yang dibuat oleh notaris di Indonesia pada perkawinan yang dilaksakan di Australia yang tunduk pada hukum perkawinan Australia.

(19)

BAB 3 : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari penulis mengenai pelaksanan akta perjanjian kawin yang dibuat oleh notaris di Indonesia pada perkawinan campuran (beda Warga Negara) yang salah satu pihaknya adalah Warga Negara Indonesia namun perkawinan tersebut tunduk pada hukum perkawinan Australia.

(20)

BAB II

TINJAUAN PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP

PERKAWINAN CAMPURAN WARGA NEGARA INDONESIA – WARGA NEGARA AUSTRALIA YANG DILANGSUNGKAN DI

NEW SOUTH WALES - AUSTRALIA A. Perkawinan Campuran di Indonesia.

1. Keadaan Sebelum Berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran diatur dalam Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) (S 1898 No. 158)5.

Pasal-pasal penting dalam Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) yaitu pasal 1,2,6 ayat (1), 7 ayat (2), 10. Dalam Pasal 1 berisi bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan. Pasal 2 berisi bahwa seorang perempuan yang melangsungkan perkawinan campuran, selama perkawinan itu belum putus, perempuan tersebut tunduk pada hukum suami, baik di bidang hukum publik maupun hukum perdata. Intinya yaitu karena perkawinan campuran, isteri memperoleh status suami. Terdapat anasir memilih: persetujuan/ pilihan dari pihak perempuan selalu diisyaratkan sebelum perkawinan campuran dilangsungkan.

Pasal 2 Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) ini merupakan pasal terpenting dalam seluruh ketentuan Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR), karena mencerminkan asas persamarataan dari semua stelsel hukum. Tidak ada kesan mengeloni salah satu stelsel hukum. Pasal 2 Reglement op de Gemende

Huwelijken (GHR) ini merupakan kebalikan dari pasal 15 OV (S. 1840/ 10) yang

berisi bahwa seorang bukan Eropah yang ingin menikah dengan perempuan Eropah harus tunduk lebih dahulu kepada hukum Perdata Eropah.

                                                                                                               

5 Zulfa Djoko Basuki, Hukum Perkawinan di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas

(21)

Luas Lingkup Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR)6: a) Aliran Luas.

Meliputi perkawinan antar golongan, perkawinan antar agama, perkawinan antar tempat, termasuk perkawinan berbeda kewarganegaraan. Penganut: Nederburg, Lemaire, Kollewijn dan Sudargo Gautama. Menurut Sudargo Gautama, masalah hukum antar tempat merupakan pengaruh dari pada percampuran dengan suku bangsa asli dan persatuan dengan masyarakat hukum setempat.

Perkawinan Antar Golongan diartikan sebagai perkawinan antara orang-orang dari golongan penduduk yang berbeda, karena berlakunya Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda pula, Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS). Contohnya: perkawinan antara orang-orang dari golongan bumiputera (berlaku hukum ada) dengan orang-orang dari golongan Eropah yang tunduk pada BW (Burgerlijk

Wetboek).

Perkawinan antar tempat, misalnya perkawinan antara laki-laki Palembang dengan perempuan Sunda. Perkawinan antar agama misalnya perkawinan antara penduduk yang beragama Islam dengan yang beragama Nasrani.

Perkawinan berbeda kewarganegaraan misalnya antara warga Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

b) Aliran Sempit.

Hanya berlaku untuk perkawinan antar golongan. Reglement op de Gemende

Huwelijken (GHR) tidak berlaku untuk perkawinan antar agama dan antar

tempat. Sulit dikatakan suami ikut isteri bila keduanya dari golongan yang sama. Penganut aliran ini : Van Vollenhoven, Winckel, Carpentir Alting. c) Aliran Setengah Luas Setengah Sempit.

Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) berlaku untuk perkawinan antar

                                                                                                               

(22)

golongan dan perkawinan antar agama. Tidak berlaku untuk perkawinan antar tempat. Penganut aliran ini: Van Hasselt. Dalam hukum antar tempat sering suami ikut status isteri. Misalnya dalam kasus perkawinan antara laki-laki Palembang dengan perempuan Sunda.

Jadi dalam kasus tesis, keadaan perkawinanan campuran di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 maka perkawinan antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Australia, masuk kedalam ruang lingkup Reglement op de Gemende Huwelijken (GHR) dalam ruang lingkup aliran luas, sebab meliputi perkawinan berbeda kewarganegaraan.

2. Keadaan Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia7. Dalam Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan menentukan mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, yaitu8:

1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.

2) Dalam waktu satu tahun setelah suami-istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

                                                                                                               

7 Wahyono Darmabrata, dan Surini Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cetakan ke

II, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 155.

(23)

Ketentuan pasal tersebut diatas, jika dibandingkan dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat kemiripan. Dapat dikatakan bahwa Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan mengambil prinsip yang terdapat dalam Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut menentukan bahwa perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia baik antara warga negara Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dengan warga negara lain, adalah sah, jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri dimana perkawinan-perkawinan itu dilangsungkan, dan suami/isteri warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini diatur juga dalam Pasal 23 Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 15 Tahun 1999. Setelah itu barulah dilakukan pelaporan. Dalam surat pelaporan perkawinan akan tertulis dengan tegas bahwa surat pelaporan perkawinan ini bukan merupakan akta perkawinan9. Dinyatakan bukan sebagai akta perkawinan karena yang merupakan akta perkawinan adalah akta perkawinan yang dibuat dihadapan kantor catatan sipil di luar negeri tersebut, dan bukti pelaporan itu hanya untuk memenuhi syarat dalam Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan. Akta Perkawinan bersama-sama dengan bukti pelaporan perkawinan dapat dijadikan sebagai bukti bila pasangan itu ingin bercerai di hadapan pengadilan di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai masalah pelaporan perkawinan. Pasal 84 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri pulang kembali di wilayah indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar Indonesia harus dipindah bukukan dalam register kawin umum di tempat tinggal mereka10.

Kaitan Pasal 83 dan Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat dipisahkan dengan prinsip dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memandang perkawinan hanya dari segi perdatanya saja. Dengan demikian, dapat kiranya diambil kesimpulan bahwa lazimnya perkawinan antara                                                                                                                

9 Zulfa Djoko Basuki, op.cit., hal 91. 10 Ibid., hal. 154.

(24)

mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri tidak menjadi masalah karena tidak memperhatikan hukum agama. Formalitas-formalitas yang berlaku di negara tempat perkawinan dilangsungkan lebih mudah untuk dapat diterima dan diberlakukan berdasarkan prinsip perkawinan perdata yang dianut dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan berbeda agama. Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan memiliki hubungan yang unik dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang konsepsinya sudah berbeda dengan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang hanya memperhatikan segi perdata dalam perkawinan. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Dikalangan ahli hukum, terdapat pendapat bahwa perkawinan antara mereka yang berbeda agama juga merupakan perkawinan campuran. Karena perbedaan agama, merupakan perkawinan antara mereka yang tunduk pada hukum yang berbeda, bukan hanya karena perbedaan kewarganegaraan.

Hal ini mengakibatkan pengaturan dalam Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan dijadikan sebuah jalan keluar bagi Warga Negara Indonesia yang ingin menikah namun berbeda agama. Sehingga yang lazim terjadi di masyarakan yaitu pasangan berbeda agama ini menikah di luar negeri secara sipil, setelah kembali ke Indonesia mereka melaporkan dan mendaftarkan perkawinan mereka di Kantor Pencatatan Perkawinan di tempat tinggal mereka.

Sehubungan dengan masalah tata cara pelaporan dan pendaftarannya itu sendiri, diatur lebih lanjut dan rinci dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dalam Pasal 37 yang menentukan : Perkawinan Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia. Sebagai pedoman mengenai tata cara pelaporan dan pendaftarannya diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 dan 15 Peraturan Menteri Nomor

(25)

12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan oleh Negara Lain.

Perkawinan campuran, meskipun dilakukan di luar negeri tetapi memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi mengenai syarat-syarat sah nya suatu perkawinan oleh negara. Syarat mengenai diri pribadi yang harus dipenuhi ialah bahwa bagi warga negara Indonesia harus memenuhi persyaratan yang diatur atau ditentukan di dalam Undang-Undang Perkawinan. Sedangkan bagi orang asing harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh hukum negara yang bersangkutan. Untuk membuktikan bahwa persyaratan tersebut telah dipenuhi, mereka harus dapat menunjukkan surat keterangn yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu, menurut hukumnya yang menerapkan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi syarat. Hal ini diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Perkawinan menentukan:

1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan. Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

4) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).

5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam)

(26)

bulan sesudah keterang itu diberikan.

Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa:

1) Perkawinan campuran dicatat oleh Pegawai Pencatatan yang berwenang. 2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan

lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-Undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

 

      Oleh karena kompleksnya masalah perkawinan campuran yang melangsungkan perkawinan diluar Indonesia, kiranya perlu mendapatkan perhatian dan pemahaman agar justru tidak terdapat kesimpang siuran penafsiran, dan dijadikan sebagai sarana upaya penyelundupan hukum11.

3. Terhadap Kewarganegaraan Isteri dan Suami.

Pasal 19 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur tentang perolehan kewarganegaraan Indonesia melalui perkawinan. Ini adalah suatu hal yang didalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama tidak dikenal bagi seorang laki-laki. Perolehan kewarganegaraan Indonesia semacam itu cukup dengan menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga negara Indonesia dihadapan pejabat dengan syarat sudah bertempat tinggal di Indonesia paling sedikit 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, kecuali mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Apabila tidak memperoleh Warga Negara Indonesia karena mengakibatkan kewarganegaraan ganda, kepada yang bersangkutan dapat diberikan izin tinggal tetap. Ketentuan dalam pasal ini bagi perempuan asing yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Indonesia tidak menyebutkan berapa tahun setelah perkawinan, seperti diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama, UU No 62 Tahun 1958,                                                                                                                

(27)

yaitu satu tahun setelah perkawinannya untuk dapat menjadi Warga negara Indonesia apabila ia menyatakan hal untuk itu, tetapi menyebutkan jangka waktu telah bertempat tinggal di Indonesia yang berlaku baik bagi perempuan asing maupun laki-laki asing yang menikah dengan seorang Warga negara Indonesia. Ketentuan ini bagi perempuan asing yang menikah dengan laki-laki Warga negara Indonesia dapat merupakan kemunduran tetapi mungkin pula tidak bila ia telah bertempat tinggal di Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, ia tidak perlu menunggu jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya. Bagi laki-laki asing ini suatu kemudahan yang baru, karena berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan lama, si suami tidak mungkin menjadi Warga negara Indonesia kecuali melalui naturalisasi dengan syarat-syarat yang ketat dan tidak ada ketentuan yang memberikan izin tinggal tetap di Indonesia apabila ia menikah dengan perempuan Warga negara Indonesia. Sekarang dengan telah dipenuhinya jangka waktu yang ditetapkan, si suami dapat dengan mudah menjadi Warga negara Indonesia dengan hanya menyampaikan pernyataan kepada Pejabat untuk menjadi Warga negara Indonesia.

Selanjutnya Pasal 26 mengatur pula tentang kehilangan kewarganegaraan baik bagi perempuan Warga Negara Indonesia maupun laki-laki Warga negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing apabila negara isteri atau suami menganut ketentuan isteri atau suami mengikuti kewarganegaraan asing pasangannya12. Kemudian dalam ayat 3 dan 4 diatur bahwa, bila perempuan atau laki-laki Warga Negara Indonesia itu tetap ingin memprtahankan kewarganegaraan Indonesianya, dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung dapat menyatakan kepada Pejabat, kecuali hal itu mengakibatkan ia menjadi bipatride. Pasal 32 mengatur mengenai perolehan kembali kewarganegaraan yang hilang sebagimana dimaksud dalam Pasal 23 butir (i) dan                                                                                                                

12 Suatu ketentuan yang di Indonesia dulu dianut dalam Pasal 2 GHR, yang menyatakan dalam hal

suatu perkawinan campuran si isteri mengikuti status si suami baik di dalam hukum perdata maupun hukum publik, sehingga si isteri akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianyayang mengikuti kewarganegaraan suaminya. Dianut adanya kesatuan hukum di dalam keluarga.

(28)

pasal 26 yaitu dapat memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya dengan mengajukan permohonan kepada menteri, atau bila berada di luar negeri ke perwakilan Indonesia yang mewilayahi tempat tinggal si pemohon, dan bagi pasangan yang kehilangan kewarganegaran Indonesianya karena mengikuti status suami atau isteri dapat mengajukan kembali kewrganegaraan Indonesianya sejak putusnya perkawinan. Tidak diperlukan prosedur naturalisasi bagi mereka13.

4. Teori-teori dalam Hukum Perdata Internasional yang terkait dengan Perkawinan Campuran.

Sistem hukum atau aturan-aturan hukum dari suatu negara berdaulat seringkali dihadapkan pada masalah-masalah hukum yang tidak sepenuhnya bersifat intern-domestik tetapi menunjukkan kaitan dengan unsur-unsur asing (foreign

elements). Hubungan atau peristiwa hukum, baik di bidang hukum keperdataan

maupun non keperdataan, yang mengandung unsur-unsur transnasional itulah yang diatur oleh bidang hukum yang dikenal dengan sebutan Hukum Perdata Internasinal (HPI), yang dalam bahasan tesis ini adalah perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Jadi segala hubungan-hubungan hukum yang mengandung unsur asing (foreign elements) masuk kedalam kaidah Hukum Perdata Internasional14. Pengertian dari “foreign element” itu berarti suatu pertautan (contact) dengan sebuah sistem hukum lain di luar sistem hukum negara “forum” (negara tempat pengadilan yang mengadili perkara, dan pertautan itu sebenarnya ada di dalam fakta-fakta dari perkara.

Di sini timbul persoalan-persoalan khas yang dapat dianggap sebagai masalah-masalah pokok Hukum Perdata Internasional, yaitu15 :

a. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing.

                                                                                                               

13 Zulfa Djoko Basuki, op.cit., hal 104-106.

14 Mutiara Hikmah, Artikel Perkawinan Campuran Internasional dan Urgensi kodifikasi hukum

Perdata Internasional bagi Indonesia, Jurnal Keadilan Vol. 2, No. 6, 2002, hal 65.

15 Syaiful Rahayu, Pengertian Hukum Perdata Internasional, Syaiful-Rahayu.com, 2010,

(29)

b. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan / atau menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing.

c. Bilamana, sejauh mana suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan-putusan hukum asing atau mengakui hak-hak yang terbit berdasarkan putusan pengadilan asing.

Masalah pokok ketiga ini berkaitan erat dengan persoalan yang mana apabila berdasarkan pendekatan HPI ternyata hukum asing yang seharusnya diberlakukan atau hak-hak asing yang harus ditegakkan dalam putusan perkara, timbul masalah apakah pengadilan suatu negara harus selalu mengakui dan memberlakukan hukum atau hak asing di wilayah yurisdiksinya. Apakah landasan bagi forum untuk menolak atau membenarkan penerimaan atau pengakuan hukum asing tersebut. Hal inilah yang secara singkat disebut sebagai pengakuan putusan hakim asing (recognition of foreign judgements)

Setiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistem Hukum Perdata Internasional-nya16 masing-masing. Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat juga mempunyai sistem Hukum Perdata Internasional sendiri. Republik Indonesia sebagai bagian dari negara-negara yang melakukan pergaulan internasional dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain, soal-soal yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang yang tunduk dibawah hukum yang berbeda karena keturunan mereka, kini telah berubah menjadi persoalan yang meletak titik berat kepada perbedaan kewarganegaraan / nasionalitas.17

Perkawinan campuran adalah perkawinan dari orang-orang yang tunduk dibawah hukum yang berlainan. Yang dimaksud dengan berlainan disini adalah                                                                                                                

16 Sudargo Gautama, Hukum Antar Tata Hukum, Edisi kedua, Cetakan I (Bandung:Alumni, 1996),

hal.171.

(30)

dulu bisa berupa beda golongan rakyat maka disebut perkawinan antar golongan, beda agama maka disebut perkawinan antar agama, beda karena tempat kediaman maka disebut perkawinan antar tempat, dan beda hukum yang dapat berlangsung dalam suatu suasana internasional. Jika dua orang yang berkewarganegaraan berbeda kemudian menikah, maka terjadilah suatu perkawinan campuran internasional atau disebut juga perkawinan antar warga negara18. Maka yang termasuk perkawinan campuran yang bersifat internasional adalah:

a. Perkawinan WNI dengan WNI di luar negeri b. Perkawinan WNI dengan WNA di Indonesia c. Perkawinan WNA dengan WNA di Indonesia

d. Perkawinan antara WNI dengan WNA di luar negeri.  

Menurut teori Hukum Perdata Internasional untuk suatu perkawinan campuran yang bersifat internasional, harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat materiil berdasarkan hukum status personal para calon mempelai19 dan syarat formil

berdasarkan hukum dimana perkawinan dilangsungkan (Lex Loci Celebrations)20.  

Ada empat macam konsep tentang ruang lingkup Hukum Perdata Internasional yang berlainan. Keempat konsep tersebut adalah:

a. Yang paling sempit.

Pendapat ini yang dianut di negara Jerman dan Belanda. Menurut konsep ini ruang lingkup Hukum Perdata Internasional hanya terbatas pada masalah-masalah tentang “conflict of laws” atau perselisihan hukum. Dalam hal ini, lebih tepat dipakai istilah choice of laws, karena sebenarnya tidak ada suatu perselisihan diantara sistem-sistem hukum yang dipertemukan, melainkan hanya suatu pilihan diantara beberapa sistem hukum, yang mana yang                                                                                                                

18 Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Cet.4, (Bandung:Penerbit Alumni, 1987), hal.

130.

19 Marriage Act 1961, Act No. 12 of 1961 as amended, 2006, section 88D. 20 Ibid, section 88C(1)(a)

(31)

sebaiknya diberlakukan21. Maka Hukum Perdata Internasional sebenarnya merupakan istilah untuk mengatur diberlakukannya suatu hukum yang berlainan dari hukum sendiri. Dengan kata lain hanya mengedepankan

“rechtstoepassingrecht” yaitu untuk menentukan apa yang dianggap

hukum22.

b. Yang lebih luas.

Pendapat ini dianut terutama dalam konsep negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Hukum Perdata Internasional bukan saja terbatas pada masalah-masalah “conflict of laws”. Disamping itu terdapat pula persoalan “conflict of jurisdiction” (persoalan mengenai kompentensi Hakim). Menurut Rabel, maka jurisdiksi justru merupakan suatu persoalan yang harus dijawab terlebih dahulu sebelum kita tiba pada masalah hukum yang harus dipergunakan.

c. Yang lebih luas lagi.

Pendapat ini dianut oleh negara-negara latin, seperti : Italia, Spanyol, Amerika Selatan. Menurut konsep ini, Hukum Perdata Internasional terdiri dari tiga bagian, yaitu: conflict of laws, conflict of jurisdiction and condition des

estrangers (mengenai status orang asing).

d. Yang terluas.

Pendapat ini dianut di dalam sistem Hukum Perdata Internasional negara Prancis. Menurut konsep ini, ruang lingkup Hukum Perdata Internasioanl terdiri dari: conflict of laws,conflict of jurisdiction, condition des estranges

and nationality (masalah kewarganegaraan). Sistem yang dikenal di Prancis

ini dianut oleh kebanyakan penulis, yaitu konsep yang terluas. Demikian pula dengan Hukum Perdata Internasional Indonesia23.

                                                                                                               

21 Hal ini mengutip dari Arthur Kuhn yang berbicara tentang Hukum Perdata Internasional, yaitu: “ a

choice between two or more systems of Laws”, (Lih: Arthur Kuhn, Comparative Commentaries On Private International Law of Conflict of Laws, New York, 1973, page 1.

22 Mutiara Hikmah, op. cit., hal 70.

23 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, buke ke VII, jilid III, cetakan ke-3,

(32)

Dalam teori-teori khusus mengenai Hukum Perdata Internasional, masalah-masalah hukum keluarga sudah menjadi bahan kajian para sarjana-sarjana Hukum Perdata Internasional sejak dulu. Namun keadaan sekarang justru tidak banyak sarjana-sarjana Hukum Perdata Internasional yang tertarik untuk meneliti dan mendalami masalah-masalah hukum keluarga24.

Dalam teori Hukum Perdata Internasional, masalah hukum keluarga diatur sebagai berikut25:

1. Mengenai perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan, maka untuk perkawinan tersebut harus memenuhi syarat materiil dan syarat-syarat formil. Untuk syarat-syarat materiil, maka hukum yang berlaku adalah hukum nasional masing-masing pihak dan untuk syarat formil, maka hukum yang berlaku adalah hukum negara tempat dimana perkawinan dilangsungkan (Lex

Loci Celebrations)26.

2. Mengenai Harta Benda Perkawinan dari suami-isteri yang berbeda kewarganegaraan, maka hukum yang berlaku untuk mengatur harta perkawinan pasangan tersebut adalah hukum domisili bersama pasangan suami-isteri27.

3. Mengenai perceraian, ada dua kategori yaitu perceraian warga negara Indonesia di Luar Negeri dan perceraian orang-orang asing di Indonesia. Untuk perceraian orang-orang Indonesia di Luar Negeri, berlaku hukum Indonesia (hukum nasional para pihak). Untuk perceraian orang-orang asing di Indonesia, jika suami-isteri berkewarganegaraan sama maka berlaku hukum nasional mereka, tetapi jika berkewarganegaraan berbeda maka terdapat

                                                                                                               

24 Mutiara Hikmah, op.cit., hal 70.

25 Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional, yang diterbitkan oleh Dirjen Hukum

Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, tahun 1997-1998.

26 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, buku ke- III bagian I, (Bandung:

Alumni, 1981),hal 118.

(33)

pengecualian, yaitu berlaku hukum domisili bersama28. (hukum dimana perceraiannya diajukan).

4. Mengenai pengesahan / pengakuan seorang anak, hukum yang berlaku adalah hukum orang yang mengesahkan / mengakui29.

5. Menegenai perwalian anak, dipakai hukum yang ditentukan oleh status personal anak yang bersangkutan30.

6. Mengenai Adopsi, hukum yang berlaku adalah hukum adoptant (hukum orang yang mengangkat anak)31.

7. Mengenai Warisan, Hukum Perdata Internasional Indonesia mengatur bahwa hukum yang berlaku adalah hukum nasional si pewaris32.

 

Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia, hukum mengenai perkawinan termasuk bidang status personal. Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet

Geving Voor Indonesie 30 April 1847) berlaku dalam hal hendak dilangsungkannya

perkawinan dan akibat-akibat hukum dari suatu perkawinan dengan unsur-unsur internasional. Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie) mengatur tentang status personel33. Dalam hal ini berlaku hukum nasional warga negara yang bersangkutan (asas lex patriae). Pasal ini harus dianalogikan terhadap orang asing dimana harus dinilai. Misalnya perkawinan harus berlaku hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini erat hubungannya dengan traktat Den Haag 1902 tentang kawin campur yang bersifat internasional (yang berlaku adalah hukum suami). Pasal 17 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie) mengatur tentang hukum yang berlaku bagi suatu benda (Lex Rei Sitae). Yaitu benda-benda tetap atau tidak bergerak. Pasal 18 AB (Algemeene Bepalingen Van Wet

Geving Voor Indonesie) mengatur tentang hukum yang berlaku bagi suatu perbuatan

                                                                                                                28 Ibid, hal 187. 29 Ibid, hal 80. 30 Ibid, hal 25. 31 Ibid, hal 97. 32 Ibid, hal 276.

33 Yang dimaksud dengan status personel adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang

(34)

hukum (Locus Rechit Actum/ Lex Loci Celebrationis).

Melihat dari status personel dari kasus yang diteliti dalam tesis ini. Baik pihak wanita yang berkebangsaan Indonesia dan pihak suami yang berkebangsaan Australia, Hukum Perdata Internasional Indonesia mengatur bahwa status personel adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/ diakui oleh negara untuk mengamankan dan melindungi masyarakat dan lembaga-lembaganya. Status personel ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bersikap tindak di bidang hukum yang unsur-unsurnya tidak dapat diubah atas kemauan pemiliknya34.

Isi dan jangkauan status personel ada 3 yaitu: a. Konsepsi luas.

Mengartikan status personel meliputi berbagai hak, permulaan / lahir dan terhentinya / mati, kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, perlindungan kepentingan pribadi, soal-soal yang berhubungan dengan hukum keluarga dan perkawinan.

b. Konsep yang agak sempit.

Seperti yang dianut Prancis, tidak menganggap sebagai status personel, hukum harta benda perkawinan, pewarisan, dan ketidakmampuan bertindak di bidang hukum dalam hal khusus.

c. Konsepsi yang lebih sempit.

Sama sekali tidak memasukan hukum keluarga dan pewarisan dalam jangkauan status personelnya.

Untuk menentukan status personel seseorang terdapat 2 asas yang mengatur: a. Asas Personalitas / Kewarganegaraan (Lex Patriae)

Untuk personel suatu pribadi berlaku hukum nasionalnya. Biasanya dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental (Civil Law) contohnya: Indonesia yang                                                                                                                

34 Purnadi Purbacaraka dan Agus Broto Susilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu

(35)

mengedepankan segi personalitasnya.

Ada dua asas menentukan kewarganegaraan seseorang:

a) Asas tempat kelahiran (Ius Soli) yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.

b) Asas keturunan (Ius Sanguinis) yaitu kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunannya.

Alasan yang mendukung asas kewarganegaraan adalah: a) Cocok untuk perasaan hukum seseorang. b) Sifatnya lebih permanen.

c) Lebih membawa kepastian. b. Asas Teritorialitas / Domisili (Lex Domicili)

Status personel suatu pribadi tunduk pada hukum di negara mana ia berdomisili. Domisili adalah negara / tempat menetapnya yang menurut hukum dianggap sebagai pusat daripada kehidupan seseorang (center of his

life)35. Banyak dianut oleh negara Anglo Saxon. Alasan yang mendukung asas domisili, yaitu:

a) Hukum dimana yang bersangkutan hidup.

b) Prinsip kewarganegaraan memerlukan bantuan prinsip domisili (dalam hal terdapat perbedaan kewarganegaraan). c) Seringkali hukum domisili sama dengan hukum hakim. d) Cocok dalam negara pluralisme hukum.

e) Menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan.

f) Demi kepentingan adaptasi dari negara imigran.

Sudargo Gautama berpendapat bahwa sebaiknya Indonesia memakai prinsip domisili. Tetapi perlu ditambahkan bahwa beliau tidak menolak untuk memakai

                                                                                                               

(36)

prinsip nasionalitas bahwa sistem Hukum Perdata Internasional Indonesia36. Hanya harus dijaga agar supaya prinsip nasionalitas tidak dipakai secara rigereous / kaku, sehingga membawa kepada “Jurisisch Chauvinisme”. Menurut beliau sebaikanya diadakan kombinasi antara asas kewarganegaraan dan asas domisili. Misalnya dapat ditentukan bahwa asas kewarganegaraan terus berlaku bagi orang-orang asing yang berada di Indonesia selama orang-orang asing tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun berdiam di Indonesia37. Hukum nasional negara asal mereka akan tetap dipergunakan untuk status personel mereka dalam jangka waktu itu. Tetapi setelah 2 (dua) tahun itu dan mereka masih terus menetap disini, maka hukum domisili yaitu hukum Indonesia yang menjadi berlaku terhadap orang asing tersebut.

Masalah dalam perkawinan campuran yang bersifat internasional baru akan timbul bilamana terjadinya perceraian, pembagian harta dan wasiat atau kewarganegaraan anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran tersebut. Hal-hal seperti ini, yang menandakan adanya unsur asing, sehingga ada kemungkinan suatu kaidah hukum asing yang berlaku bagi suatu peristiwa hukum, dinamakan titik-titik taut.

Titik-titik taut dalam suatu peristiwa Hukum Perdata Internasional dapat berbentuk38 :

a. Kewarganegaraan.

b. Domisili seseorang, atau domisili (tempat kediaman) suatu badan hukum.

c. Tempat kedudukan suatu benda tetap (situs rei). d. Bendera kapal asing.

e. Tempat suatu perbuatan dilakukan (locus actus).                                                                                                                

36 Sudargo Gautama, Pengatar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cetakan ke-5, (Bandung:

Binacipta, 1987), hal 87.

37 Masa 2 tahun ini disesuaikan dengan peraturan-peraturan imigratoir tentang Kartu Izin Masuk. 38 Syaiful Rahayu, Pengertian Hukum Perdata Internasional, Syaiful-Rahayu.com, 2010,

(37)

f. Tempat di mana akibat suatu perbuatan hukum timbul (locus

solutionis).

g. Pilihan hukum para pihak.

h. Tempat perbuatan-perbuatan resmi dilakukan

Macam-macam titik taut dalam peristiwa Hukum Perdata Internasional, dapat dibedakan antara :

1. Titik Taut Primer.

Adalah unsur-unsur yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa Hukum Perdata Internasional dan bukan suatu peristiwa Hukum Intern Nasional. Jadi, titik taut primer adalah titik taut yang membedakan Hukum Perdata Internasional dari peristiwa hukum Intern Nasional. Oleh sebab itu titik taut primer juga dinamakan titik taut pembeda.

2. Titik Taut Sekunder.

Adalah unsur-unsur yang akan menentukan hukum manakah yang seharusnya berlaku (lex causae) bagi peristiwa hukum perdata internasional itu. Karena itu titik taut sekunder disebut juga titik taut penentu. Titik taut sekunder dalam hukum perdata internasional pada umumnya merupakan asas-asas Hukum Perdata Internasional yang merupakan kaidah-kaidah penunjuk hukum apa yang seharusnya berlaku, dan tidak bermaksud untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang dimaksud.

Lex Fori adalah hukum sang hakim yang seharusnya berlaku Lex Causae

adalah hukum di mana tempat diadakan atau diajukan nya perbuatan-perbuatan resmi yang penting. Menentukan hukum yang berlaku (Lex Cause) dengan bantuan titik-titik taut. Dalam menghadapi suatu peristiwa hukum atau kasus, pola berpikir yuridik Hukum Perdata Internasional adalah :

a) Pertama kita mencari titik-titik taut primer menurut Lex Fori untuk mengetahui apakah kita berhadapan dengan suatu peristiwa hukum perdata

(38)

internasional atau bukan.

b) Jika ternyata bahwa kita berhadapan dengan suatu peristiwa hukum perdata internasional, maka kita mengadakan kualifikasi fakta menurut Lex Fori. c) Kemudian kita mencari titik-titik taut sekunder menurut Lex Fori untuk

menentukan sistem hukum yang berlaku (Lex Causae).

d) Titik-titik taut menurut Lex Causae lalu akan menentukan apakah kaedah hukum Lex Causae, Lex Fori, atau kaidah hukum asing lain yang harus berlaku.

e) Jika berdasarkan titik-titik taut dari Lex Causae telah dapat ditentukan kaidah hukum materil mana yang seharusnya berlaku, hakim akan menentukan penyelesaian masalahnya dan menjatuhkan putusan.

Salah satu bagian dari teori umum Hukum Perdata Internasional yang selalu menarik untuk dibahas adalah masalah “Renvoi”. Masalah Renvoi atau “Penunjukan Kembali” atau dengan kata lain Partial / Single Renvoi ; Renvoi Ersten Grades ;

Remission, timbul karena adanya aneka warna sistem Hukum Perdata Internasional39. Sebab tiap-tiap negara nasional di dunia ini memiliki sistem Hukum Perdata Internasional nya sendiri-sendiri. Hal ini berarti bahwa tidak ada keseragaman cara-cara menyelesaikan masalah-masalah Hukum Perdata Internasional40. Secara khusus, dapatlah dikatakan bahwa masalah Renvoi ini timbul sebagai akibat adanya hukum di dunia yang di satu pihak menggunakan asas Nasionalitas (kewarganegaraan), sedangkan di pihak lain menggunakan asas

domicile untuk menentukan status dan wewenang personal seseorang.

Renvoi atau penunjukan kembali sangat erat hubungannya dengan kualifikasi

dan titik taut41. Memang sebenarnya ketiga soal ini dapat mencakup dalam satu permasalahan, yaitu hukum manakah yang akan berlaku (Lex Cause) dalam suatu                                                                                                                

39 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ketiga, Jilid kedua (bagian kedua),

Cetakan ketiga, Penerbit PT. Eresco, Bandung, 1988, hal. 2-5.

40 Sudargo Gautama, op.cit., hal 14. 41 Ibid, hal 165.

(39)

peristiwa Hukum Perdata Internasional. Renvoi timbul apabila hukum asing yang ditunjuk oleh Lex Fori, menunjuk kembali ke arah Lex Fori itu, atau kepada sistem hukum asing lain42. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan sistem hukum

Perdata Internasional di setiap masing-masing negara. Renvoi merupakan salah satu pranata Hukum Perdata Internasional tradisional yang terutama berkembang di dalam tradisi Civil Law (Hukum Eropa Kontinental) sebagai pranata yang dapat digunakan untuk menghindari pemberlakuan kaidah hukum yang seharusnya berlaku (Lex Cause) yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur Hukum Perdata Internsional yang normal43.

Menunjuk ke arah sistem hukum tertentu, orang dapat melakukan penunjukan kembali dengan 2 pengertian yang berbeda44:

a. Penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu. Penunjukan semacam ini dalam Bahasa Jerman dinamakan sachnormenverweishung.

b. Penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya, prima

facie adalah kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (Kollisionsnormen)

dari sistem hukum tersebut. Penunjukan semacam ini dinamakan

gesamtverweisung.

Perlu disadari sepenuhnya bahwa doktrin renvoi harus digunakan sebagai alat bagi hakim untuk merekayasa penentuan Lex Cause ke arah sistem hukum mana yang dianggap memberikan putusan yang dianggap terbaik. Masalah-masalah Hukum Perdata Internasional yang juga dimungkinkan masih dapat diselesaikan dengan menggunakan doktrin renvoi adalah masalah validitas pewarisan

(testamenter atau intestatis), tuntutan-tuntutan atas benda-benda tetap di negara

                                                                                                               

42 Bayu Seto, Dasar-dasar hukum perdata Internasional, Bandung : PT Citra Aditya bakti, 2001, hal

80.

43 Sudargo Gautama, op.cit, hal 91.

(40)

asing, perkara-perkara yang menyangkut benda bergerak, dan masalah-masalah hukum keluarga dalam kasus tesis ini yaitu perjanjian perkawinan yang berhubungan dengan harta perkawinan dan status personel. Dalam Hukum Perdata Internasional, orang mengenal dua macam kemungkinan Renvoi, yaitu :

a. Penunjukan Kembali (Remission) yaitu Penunjukan oleh kaidah Hukum Perdata Internasional asing kembali kearah lex fori)

b. Penunjukan Lebih Lanjut (Transmission).

Orang dapat menerima renvoi atau menolak renvoi bila:

a) Bila suatu sistem hukum (Lex Fori) menunjuk ke arah suatu sistem hukum asing dan penunjukan itu langsung dianggap sebagai Sachnormverweisung (penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern dari sistem hukum asing itu), maka dapatlah dikatakan bahwa Hakim telah menolak Renvoi.

b) Bila hakim Lex Fori menunjuk suatu sistem hukum asing, dan penunjukan ini dianggap sebagai suatu Gesamtverweisung (penunjukan ke seluruh sistem hukum asing – termasuk kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasionanya), maka ada kemungkinan bahwa kaidah Hukum Perdata Internasional dari sistem hukum asing itu menunjuk kembali ke arah Lex Fori tersebut. Disinilah terjadi Renvoi.

The Foreign Court Theory atau dikenal dengan istilah lain yaitu Double Renvoi atau Total Renvoi atau The English Concept Renvoi. Foreign Court Theory

(FCT) adalah sejenis Renvoi yang dikembangkan di dalam sistem Hukum Perdata Internasional Inggris. Teori ini didasarkan pada fiksi hukum, bahwa Pengadilan Inggris dalam menyelesaikan suatu perkara Hukum Perdata Internasional haruslah bertindak sekan-akan sebagai Forum / Pengadilan Asing, dan memutus perkara dengan cara yang sama seperti suatu badan peradilan asing (yang sistem hukumnya telah ditunjuk oleh Kaidah Hukum Perdata Internasional Lex Fori / Hukum Perdata Internasional Inggris). Ada dua hal yang perlu disadari dalam

Referensi

Dokumen terkait

Dari landasan teori diatas dapat disimpulkan bahwa niat pembelian ulang dipengaruhi tiga faktor yaitu, kualitas layanan, kenyamanan pelanggan dan kepuasan pelanggan yang

Hal ini sesuai dengan acuan pustaka yang menyatakan ambliopia anisometropia ialah gangguan refraksi berbeda dari kedua mata yang menyebabkan gambar di satu retina

Penggunaan Urine sapi sebagai campuran biopestisida mengandung zat perangsang tumbuh dan mengandung zat penolak untuk beberapa jenis serangga hamaPenelitian ini bertujuan

Intinya,ajaran tentang budi pekerti atau akhlak mulia, digubah dalam bentuk tembang macapat DJDU PXGDK GLLQJDW GDQ OHELK ³ membumi ´ 6HEDE sebaik apa pun ajaran itu

Perekonomian suatu wilayah baik secara agregat maupun menurut lapangan usaha dapat dilihat dari angka Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Implementasi fungsi integral eliptik modular baru yang dikembangkan dalam kajian disertasi ini memberikan konfirmasi bahwa hasil perhitungan nilai kapasitansi kapasitor

Sarana dan Umum dalam prosedur penanganan surat masuk dan surat keluar. masih terdapat masalah yang mana kurang disiplin dalam

Seberapa penting bagi perusahaan tempat saya bekerja saat ini, apabila KAP yang mengaudit perusahaan tempat saya bekerja tersebut tidak menggunakan penugasan jasa non audit