LAPORAN PENELITIAN
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN TABANAN
TENTANG
PERLINDUNGAN PEREMPUAN
DAN
ANAK KORBAN KEKERASAN
TAHUN 2015
TIM PENELITI
1. I Ketut Sudiarta.,SH.,MH
2. Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH
3. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi.,SH.,MH
KATA PENGANTAR
Negara memiliki kewajiban memberikan perlindungan kepada setiap warga negara sesuai dengan pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa perempuan dan anak termasuk kelompok rentan yang cenderung mengalami kekerasan sehingga perlu mendapatkan perlindungan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya tanpa adanya diskriminasi.Kekerasan merupakan setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Selanjutnya Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat perempuan dan anak.
Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Tabanan agar terhindar dari kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, perlu dilakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk peraturan daerah.
Denpasar, 2 November 2015
ABSTRAK
Perempuan dan anak termasuk kelompok rentan yang cenderung mengalami kekerasan sehingga perlu mendapatkan perlindungan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya tanpa adanya diskriminasi.Kekerasan merupakan setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Selanjutnya Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat perempuan dan anak.
DAFTAR ISI
Narasi Pengantar
……….
ii
Daftar Isi
……….
iv
Daftar Tabel
……….
Bab I Pendahuluan
A.
Latar Belakang ……….
1
B
Identifikasi Masalah……….
5
C.
Tujuan dan Kegunaan……….
6
D.
Metode………..
7
Bab II Kajian Teoritis
A.
Kajian Teoritis ………...
9
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan
Penyusunan Norma ……….
14
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi
yang ada, serta permasalahan yang dihadapi
masyarakat………..
18
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru
yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap
aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya
terhadap aspek beban keuangan daerah………..
19
Bab III Evaluasi Dan Analisis Peraturan
Perundang-undangan Terkait
A. Kondisi Hukum Dan Satus Hukum Yang Ada... 21
B. Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-Undangan
Yang Lain...
24
Bab V. Jangkauan Arah Pengaturan Dan Ruang Lingkup
Materi Muatan Peraturan Daerah
A. Ketentuan Umum... 36
B. Materi Muatan Yang Akan Diatur... 37
Bab V Penutup
A. Simpulan... 38
B. Saran ...
39
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN:
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Data jumlah kekerasan terhadap perempuan, laki-laki
dan anak………. 1 Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5
UU 12/2011 dan Penjelasannya)……… 14
Tabel 3 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6
ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)…….. 15 Tabel 4 : Asas-asas Yang Melandasi Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dalm Pasal 3 UU KDRT………. 17 Tabel 5 : Jumlah pelaku dan korban kekerasan terhadap
perempuan, laki-laki dan anak 18
Tabel 6 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan
yang lain ... 24
Tabel 7 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
menurut Para Sarjana Indonesia ……….… 29 Tabel 8 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kabupaten Tabanan sebagai salah satu kabupaten di
Provinsi Bali belum memiliki Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan. Segala
bentuk kekerasan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk
diskriminasi. Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
Berdasarkan data jumlah korban kekerasan terhadap perempuan,
laki-laki dan anak di Kabupeten Tabanan sebagaimana dalam
tabel dibawah ini :
Tabel 1 : Data jumlah kekerasan terhadap perempuan, laki-laki dan anak
No Kesatuan Tahun Jumlah Korban KET
Perempuan
Laki-laki
Anak-anak
Polres Tabanan
2012 21 2 10
2013 17 3 11
2014 20 6 13
Tingginya angka kekerasan tersebut menunjukkan sangat
perlu pengaturan tentang Perlindungan terhadap korban
kekerasan. Dalam KUHP Bab XIV yaitu Pasal 285,286, 287,288
dan 297 pengaturan tersebut dimaksud lebih untuk mengatur
kesusilaan seseorang bukan melindungi perempuan yang menjadi
korban dari tindak pidana tersebut dan hanya mengatur
kekerasan yang berakibat perlakuan secara fisik.1 Dalam Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita ( CEDAW) pengaturan kekerasan terhadap perempuan
tidak saja kekerasan fisik, namun juga kekerasan psikis dan
kekerasan seksual.2
Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengatur bahwa Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (UU KDRT) mengatur bahwa
negara jaminan untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban
kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah
Perempuan dan anak, harus mendapat perlindungan agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan,
penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
Dalam UU KDRT, Pasal 1 angka 2 mengatur bahwa
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan
1 Niken Savitri.2008,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis
yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga.Berdasarkan Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 UUKDRT
mengatur bahwa :
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga;
Pasal 12
(1)Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah:
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri.
(3)Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Pasal 21 ayat (3) UU No 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan anak mengatur, untuk menjamin pemenuhan Hak
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan
Anak.
Dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat
Pelayanan Terpadu
Pasal 4
(1) Panduan Pembentukan dan Pengembangan PPT memuat tahapan pembentukan dan pengembangan PPT, struktur organisasi, bentuk-bentuk pelayanan, mekanisme pelayanan, penyediaan sarana prasarana, penyediaan petugas pelaksana atau petugas fungsional, materi yang akan diatur dalam Peraturan Daerah tentang Pembentukan dan Pengembangan PPT, pemantauan, evaluasi dan pelaporan
(2) Pembentukan dan pengembangan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Panduan Pembentukan dan Pengembangan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 5
Mengenai struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang memuat kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja PPT diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah.
Pasal 8
(1) Dalam pembentukan dan pengembangan PPT Gubernur, Bupati dan Walikota bertugas untuk :
b. memfasilitasi pembentukan dan pengembangan PPT; c. menyediakan petugas pelaksana dan petugas
fungsional yang diperlukan;
d. menyediakan sarana dan prasarana;
e. menyediakan anggaran untuk operasional PPT;
f. melakukan pembinaan terhadap pembentukan dan pengembangan PPT; dan
g. menyampaikan laporan tentang pelaksanaan Pembentukan dan Pengembangan PPT kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f meliputi pemberian petunjuk pelaksanaan, bimbingan, supervisi, monitoring dan evaluasi
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan
identifikasi masalah, yakni bahwa perlindungan perempuan dan
anak korban kekerasan di Kabupaten Tabanan merupakan suatu
hal yang mendapat perhatian sehingga perlu dilakukan
pengaturan, oleh karena itu perlu Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan
Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat
dirumuskan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1.Permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan?.
2.Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan
3.Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan?.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik
dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan Perempuan dan
Anak Korban Kekerasan.
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah
sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang Perlindungan
D. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah
Akademik - digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian
hukum.3
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
penyusunan Naskah Akademik ini melalui cara-cara sebagai
berikut:
1.Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum
yaitu pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan
dan kebijakan publik (kebijakan negara) secara kritikal dan
dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum
(terutama dalam hal ini adalah perempuan dan anak
korban kekerasan).
2.Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan
konteks saat peraturan perundang-undangan itu dibuat
ataupun ditafsirkan dalam rangka pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Tabanan tentang perempuan dan anak
korban kekerasan.
Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam
penelitian penyusunan Naskah Akademik ini berada dalam
paradigma interpretivisme terkait dengan hermeneutika hukum4.
Hermeneutika hukum pada intinya adalah metode interpretasi
atas teks hukum, yang menampilkan segi tersurat yakni bunyi
teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan yang ada
di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh tentang makna teks hukum itu perlu
3 Diadaptasi dari Soelistyowati Irianto, “Memperkenalkan Studi
Sosiolegal …”, Ibid., hlm. 177-178.
memahami gagasan yang melatari pembentukan teks hukum dan
wawasan konteks kekinian saat teks hukum itu diterapkan atau
ditafsirkan. Kebenaran dalam ilmu hukum merupakan kebenaran
intersubjektivitas, oleh karena itu penting melakukan konfirmasi
dan konfrontasi dengan teori, konsep, serta pemikiran para
sarjana yang mempunyai otoritas di bidang keilmuannya
berkenaan dengan tematik penelitian penyusunan Naskah
Akademik ini5.
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Pembaharuan hukum terjadi yang ditandai oleh adanya
berbagai instrument hukum yang menjamin kesetaraan dan
keadilan bersumber dari beberapa kovensi internasional, hukum
positif nasional, termasuk yurisprudensi dimana perempuan
mendapatkan keadilan. Namun terdapat jurang yang dalam di
antara apa yang seharusnya ( das sollen) dikehendaki terjadi oleh
hukum dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari ( das
sein) sehingga hukum hanya dipandang sebagai payung fantasi.6
Dari studi yang dilakukan analisis gender banyak
ditemukan ketidakadilan terhadap perempuan, antara lain: 1).
terjadi marginalisasi/pemiskinan ekonomi terhadap perempuan;
2). terjadi sub ordinasi terhadap salah satu jenis kelamin, yaitu
perempuan; 3) terjadi stereotype jenis kelamin dalam rumah
tangga yang mengakibatkan pembatasan terhadap perempuan; 4)
terjadi kekerasan violence terhadap jenis kelamin tertentu
umumnya perempuan karena perbedaan gender; 5) kerena peran
gender perempuan adalah mengelola pekerjaan domestic lebih
banyak dan lebih lama/burden.
Kekerasan berbasis gender seperti yang diserukan
Rekomendasi Umum CEDAW merupakan pelanggaran HAM Anak
adalah harapan bangsa dimasa mendatang. Perlindungan hukum
terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan
hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
6 Jurnal Perempuan, 2006,Sejauh Mana Komitmen Negara ?,jurnal YJP, No 25 thun 2006, ISSN1410-153X,hal 34-35
(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai
kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.
Setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka ia
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial
dan berakhlak mulia, oleh karenanya perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak.
Penelantaran anak merupakan salah satu bentuk kekerasan
dalam rumah tangga, hal ini diakibatkan dari orang tua yang tidak
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap anak
untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka.
Orang tua tidak memperdulikan keselamatan anaknya, sepanjang
ia dapat memberikan keuntungan financial bagi keluarga. Di
kota-kota besar, anak di eksploitasi untuk bekerja menafkahi keluarga.
Pelaksanaan perlindungan anak yang baik harus memenuhi
persyaratan yang sebagai berikut :7
1. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya
perlindungan anak harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak agar dapat bersikap dan betindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan anak.
2. Perlindungan anak harus dilakukan bersama antara setiap
warganegara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama.
3. Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan
kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat antar para partisipan yang bersangkutan.
Dalam penyusunan Ranperda ini mempergunakan beberapa
konsep antara lain:
1). Konsep perlindungan.
Perlindungan adalah segala tindakan pelayanan untuk
menjamin dan melindungi hak-hak korban tindak
kekerasan yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan
Terpadu;
2) Konsep kekerasan,
Kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat atau
yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan baik
fisik, seksual, psikologis termasuk penelantaran,
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
depan umum atau dalam kehidupan pribadi;
3) Konsep perempuan, perempuan adalah manusia dewasa
berjenis kelamin perempuan dan orang yang oleh hukum
diakui sebagai perempuan;
4) Konsep anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.Menurut
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 1 ayat (1)
Tentang Perlindungan Anak sebagi berikut: “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pelaksanaan perlindungan anak yang baik harus memenuhi
persyaratan yang sebagai berikut :8
1. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya
perlindungan anak harus mempunyai
pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah
perlindungan anak agar dapat bersikap dan betindak
secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi
8 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta
permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan
perlindungan anak.
2. Perlindungan anak harus dilakukan bersama antara
setiap warganegara, anggota masyarakat secara
individual maupun kolektif dan pemerintah demi
kepentingan bersama.
3. Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan
kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung
jawab dan bermanfaat antar para partisipan yang
bersangkutan.
4. Dalam membuat kebijakan dan rencana kerja perlu
diusahakan inventarisasi faktor-faktor yang menghambat
dan mendukung kegiatan perlindungan anak.
5. Perlu adanya kepastian hukum dalam upaya
perlindungan anak dengan mengutamakan perspektif
yang diatur dan bukan yang mengatur.
6. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan
dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
7. Mengupayakan pemberian kemampuan dan kesempatan
pada anak unuk ikut serta melindungi diri sendiri.
8. Perlindungan anak yang baik harus mempunyai
dasar-dasar filosofi, etis dan yuridis.
9. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh
menimbulkan rasa tidak dilindungi pada yang
bersangkutan, oleh karena adanya penimbulan
penderitaan, kerugian oleh partisipan tertentu.
10. perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas
pengembangan hak dan kewajiban asasinya.
a. Anak tidak dapat berjuang sendiri Salah satu prinsip
yang digunakan dalam perlindungan anak adalah anak
itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa,
dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi.
Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak
pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan
masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan
perlindungan hak-hak anak.9
b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child)
Agar perlindungan anak diselenggarakan dengan baik
dianut prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan
terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount
importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap
keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini
perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami
banyak batu sandungan. Prinsip the best interest of the
child digunakan karena dalam banyak hal anak “korban”,
disebabkan ketidaktahuan (ignorance) karena usia
perkembangannya. Jika prinsip ini diabaikan, maka
masyarakat menciptakan monster-monster yang lebih
buruk dikemudian hari. 10
c. Ancangan daur kehidupan (life circle approach)
Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa
perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus
menerus. Janin yang berada dalam kandungan perlu
diindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium
yang baik melalui ibunya. Jika ia telah lahir, maka
diperlukan air susu ibu dan pelayanan kesehatan primer
9 Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam
dengan memberikan pelayanan imunisasi dan lain-lain,
sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan cacat
dan penyakit.11
B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum, yakni adanya
keadilan dan kepastian hokum, adalah telah dipositipkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam undang-undang
sebagaimana dimaksud, asas yang bersifat formal diatur dalam
Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.
Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam
penjelasan pasal dimaksud. Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, asas yang bersifat formal
pengertiannya dapat dikemukakan dalam tabel berikut.
Tabel 2 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Formal (berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasannya)
Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011 Dalam membentuk
Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
bahwa setiap jenis PPu harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk PPu yang berwenang. PPu tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
bahwa dalam Pembentukan PPu harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki PPu.
d. dapat dilaksanakan bahwa setiap Pembentukan PPu harus memperhitungkan efektivitas PPu tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
bahwa setiap PPu dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. kejelasan rumusan bahwa setiap PPu harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan PPu, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan bahwa dalam Pembentukan PPu mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan PPu.
Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan
Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya,
sebagaimana tampak dalam tabel berikut.
Tabel 3 : Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil (berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan)
PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU 12/2011
Ayat (1)
Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus
mencerminkan asas:
a. Pengayoman bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan (PPu) harus
berfungsi memberikan pelindungan untuk
menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta
dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c. Kebangsaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan bahwa setiap Materi Muatan PPu
senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan PPu yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika bahwa Materi Muatan PPu harus
memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah serta budaya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
g. Keadilan bahwa setiap Materi Muatan PPu harus
mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan Kedudukan
dalam Hukum dan
Pemerintahan
bahwa setiap Materi Muatan PPu tidak
boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan Kepastian Hukum
j. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
bahwa setiap Materi Muatan PPu harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2)
PPu tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan
Asas-asas tersebut kemudian membimbing para legislator
dalam perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum, yang
berlangsung dengan cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak
bagi permusan norma hukum dalam aturan hukum.
Tabel 4 : Asas-asas Yang Melandasi Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalm Pasal 3 UU KDRT
Pasal 3 UU 23/2004
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban
Penyusunan Raperda Kabupaten Tabanan didasarkan pada
asas-asas tersebut di atas, baik asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang formal dan materiil, maupun
asas yang termuat dalam UU KDRT.
Ada tiga asas yang relevan untuk diperhatikan dalam
dan Anak Korban Kekerasan. Asas tersebut adalah sebagai
berikut: asas kemanusiaan, asas keadilan, dan asas kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga asas ini pada
dasarnya merupakan hakekat dari hak asasi manusia, yakni asas
yang utama dalam paham hak asasi manusia yaitu non
diskriminasi.
Sedangkan asas keterbukaan, selain menjadi landasan
dalam pembentukan Perda adalah juga sebagai asas yang
melandasi pokok pengaturan di dalam Peraturan daerah yang
sedang dirancang ini.
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT
Dalam pratik penyelengaraan perlindungan perempuan dan
anak korban kekerasan di Kabupaten Tabanan, terdapat beberapa
jenis tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan
dan anak .Adapun data tindakan kekerasan tersebut terdapat
dalam tabel berikut :
Berdasarkan data dari BP3A & KB Kabupaten Tabanan
jumlah pelaku dan korban kekerasan terhadap perempuan,
laki-laki dan anak tahun 2012,2013,2014 sebagaimana dalam table
dibawah ini.
Tabel 5 : Jumlah pelaku dan korban kekerasan terhadap perempuan, laki-laki dan anak
No Pelaku dan Korban
Kekerasan
Tahun
2012
Tahun
2013
Tahun
1 Jumlah Pelaku Kekerasan a. Perempuan b. Laki-laki c. Anak-anak 6 25 6 6 23 4 6 30 10
2 Jumlah Korban Kekerasan d. Perempuan e. Laki-laki f. Anak-anak 21 2 10 17 3 11 20 6 13
Sumber : BP3A & KB dan data yang ada di P2TP2A Kabupaten Tabanan
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak
di Kabupaten Tabanan menunjukkan perlunya perlindungan
perempuan dan anak korban kekerasan. Perlunya pengaturan ini
diharapkan mampu menanggulangi dan menangani korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga, kewajiban
pemerintah daerah dalam pemenuhan hak asasi manusia
terpenuhi.
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PADA ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASPEK BEBAN KEUANGAN DAERAH.
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
akan membawa implikasi pada aspek kehidupan masyarakat,
yakni:
1. Adanya pembatasan terhadap perilaku masyarakat,
terutama perlakuan kekerasan terhadap perempuan dan
anak, berupa kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya.
2. Adanya tuntutan kesadaran hukum masyarakat, untuk
memahami jalur hukum yang disediakan untuk
menyelesaikan masalah hukum berkenaan perlindungan
3. Adanya tuntutan sikap profesional kepada pemerintah dan
masyarakat yang mengemban tugas pengawasan bagi
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
4. Adanya tuntutan bagi Pemerintah yang mengemban tugas
dan ngawasan terhadap untuk mengadakan sosialisasi dan
konsultasi publik untuk meningkatkan kesadaran hukum
berkaitan dengan melakukan perlindungan Perempuan dan
Anak Korban Kekerasan.
Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
akan membawa implikasi pada aspek keuangan daerah, sehingga
sangat diperlukan adanya pengaturan sebagai dasar
penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban
kekerasan di Kabupaten Tabanan oleh Pemerintah Daerah
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI DASAR HUKUM DAN YANG TERKAIT
A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA
Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
adalah:
1. Pasal Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 10 ).
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4419).
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Pelindungan Anak ( Lembaran Negara Tahun 2014 No
297 dan Tambahan lembaran Negara Nomor 5606 ).
7. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 44 37) sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor
473 ).
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama
Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama
Tentang Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
11. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang
12. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.
13. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu
Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
14. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang `
Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat
Pelayanan Terpadu.
15. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan
16. Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 2
Tahun 2008 tentang Penetapan Urusan Pemerintahan
Kabupaten Tabanan (Lembaran Daerah Kabupaten
Tabanan Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 2);
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum
konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah.
Pemerintahan daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
(Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintahan daerah menjalankan
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat
(Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).
Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan
peraturan daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan. Sebagai dasar hukum formal pembentukan
perda ini adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, sebagaimana juga
ditentukan pada Pedoman 39 Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan (TP3U) Lampiran UU 12/2011, yang
menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah
adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945..
B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN
Materi pokok yang diatur mengenai Perlindungan
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang akan diatur dalam
Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademisnya ini
mempunyai keterkaitan dengan sejumlah peraturan
[image:31.595.112.563.569.739.2]perundang-undangan.
Tabel 6 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lain
Materi Muatan
KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANAN YANG LAIN
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita ( CEDAW)
PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah an Antara Pemerintah, Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan No. 4 Tahun 2008 tentang
Pemerintah an Daerah Provinsi, Dan
Pemerintah an Daerah Kabupaten/ Kota Tabanan Mengen ai struktu r organis asi kedudu kan, tugas, fungsi, susuna n organis asi, dan tata kerja PPT Pasal 49 Wanita (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan , jabatan, dan
profesi sesuai dengan persyarat an dan peraturan perundan
g-undanga n.
(2) Wanita berhak untuk mendapat kan perlindun gan khusus dalam pelaksan aan pekerjaan atau profesiny Pasal 12
Negara wajib menghapus diskriminasi terhadap
perempuan di bidang
pemeliharaan dan pelayanan kesehatanreprod uksi
Pasal 2
(1) …..
(2) ……
a terhadap hal-hal yang dapat menganc am keselamat an dan atau kesehata nnya berkenaa n dengan fungsi reproduk si wanita.
(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenak an fungsi reproduk sinya, dijamin dan dilindung i oleh hukum. Pasal 52 Anak (1) Setiap anak berhak atas perlindun gan oleh orang tua, keluarga,
(4) Urusan pemerint ahan sebagai mana dimaksu d pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerint ahan meliputi : ……. k. pemberdaya an perempuan dan perlindunga n anak; …..
an dan perlindu ngan anak.
Pasal 5
masyarak at, dan negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepenting annya hak anak itu diakui dandilind ungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandunga n.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. PANDANGAN AKHLI DAN UU 12/2011
Validitas hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen,
adalah eksistensi spesifik dari norma-norma. Dikatakan bahwa
suatu norma adalah valid adalah sama halnya dengan mengakui
eksistensinya atau menganggap norma itu mengandung
“kekuatan mengikat” bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh
peraturan tersebut12.
Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang
menyatakan bahwa norma-norma hukum itu mengikat dan
mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan yang
diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma
hanya dianggap valid apabila didasarkan kondisi bahwa norma
tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.
Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo
dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch
mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlakunya
suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum
tersebut. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi
berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar
dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum13.
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas
hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum
12 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 40
didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum
mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan
sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan
didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu
mencerminkan nilai kepastian hukum.
Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan
hukum dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan
di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah buku yang ditulis
oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie14, Bagir
Manan15, dan Solly Lubis16.. Pandangan ketiga sarjana itu dapat
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 7: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana Indonesia17
Landasan Jimly
Asshiddiqie
Bagir Manan M. Solly Lubis
Filosofis Bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Contoh, nilai-nilai filosofis Negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila Mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah Dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan
14 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 169-174, 240-244
15 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hlm. 14-17.
16 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hlm. 6-9.
[image:36.595.119.513.350.565.2]sebagai
“ staatsfunda-mentalnorm”.
laku
masyarakat.
) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan Negara.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum. [Juga dikatakan, keberlakuan sosiologis berkenaan dengan (1) kriteria pengakuan terhadap daya ikat norma hukum; (2) kriteria penerimaan terhadap daya ikat norma hukum; dan (3) kriteria faktisitas menyangkut norma hukum secara faktual memang berlaku efektif dalam masyarakat]. Mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. -
sebagai norma hukum
berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi; (2) menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya; (3) menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; dan (4) oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu. peraturan perundang-undangan; (2) adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukanny a. pembuatan suatu peraturan, yaitu:
(1) segi formal, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan untuk membuat peraturan tertentu; dan (2) segi materiil, yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu.
kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen].
otonomi dalam GBHN (Tap MPR No. IV Tahun 1973) memberi pengarahan dalam
pembuatan UU Nomor 5 Tahun 1974.
Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan
perundang-undangan tersebut menunjukan:
1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan
pada ranah (1) normatif; dan (2) sosiologis. Pemahaman
dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan Jimly
Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang
terdapat dalam tanda kurung ([…]). Dalam konteks
landasan keabsahan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pembentukan peraturan
perundang-undangan, lebih tepat memahami landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan dalam ranah normatif.
2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly
Asshiddiqie, mengambarkan politik hukum, yakni adanya
cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD NRI
1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang dapat
diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.
3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang
menggambarkan garis politik hukum dalam Ketetapan MPR,
yang dapat diakomodasi dalam landasan yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang
perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis,
[image:40.595.109.519.81.454.2]sosiologis, dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:
Tabel 8: Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan 18
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang
terdapat dalam cita hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan
masyarakat yang memerlukan penyelesaian.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut
dasar kewenangan dan prosedur pembentukan,
maupun jenis dan materi muatan, serta tidak
adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang
sederajat dan dengan yang lebih tinggi.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian
hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) mengadopsi
validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang yang memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang– undangan, ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis,
dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis
rancangan peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah
dikemukakan di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan19 dan teknik
penyusunan naskah akademik20 yang diadopsi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat
disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 8 Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN
Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu,
pada dasarnya berkenaan dengan keadilan yang
mesti dijamin dengan adanya peraturan
perundang-undangan.
Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian,
yang sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan
dengan kemanfaatan adanya peraturan
perundang-undangan.
Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan
diatasi, yang sesungghunya menyangkut persoalan
19 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
[image:41.595.120.516.192.687.2]hukum yang berkaitan dengan substansi atau
materi yang diatur.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada
dasarnya berkenaan dengan kepastian hukum
yang mesti dijamin dengan adanya peraturan
perundang-undangan, oleh karena itu harus ada
konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar
kewenangan dan prosedur pembentukan, jenis dan
materi muatan, dan tidak adanya kontradiksi
antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan
yang lebih tinggi.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan
UUD 1945 alenia ke 4 anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap
bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; dan 2)
memajukan kesejahteraan umum. Perlindungan yang menjadi
tanggung jawab Negara itu tidak saja terhadap setiap orang baik
dari arti individual dan kelompok berikut identitas budaya yang
melekat padanya, tetapi juga perlindungan terhadap tanah air,
yang tercakup di dalamnya sumber daya alam dan lingkungan
hidup. Perlindungan tersebut diarahkan dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum yang juga merupakan tanggung jawab
Negara. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintahan
Kabupaten Tabanan perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Materi
yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi antara lain
kewajiban dan tanggung jawab, layanan pengaduan, layanan
rehabilitasi kesehatan, layanan rehabilitasi social, layanan
bantuan hokum, pemulangan, pemantauan dan evaluasi,
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. KETENTUAN UMUM
Pedoman 98 TP3U menentukan, ketentuan umum berisi:
a.batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim
yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi;
dan/atau c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi
pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab.
Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata
atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.
pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi
pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu;
dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian
di atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan
umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
diantaranya adalah:
1. Perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, dilaksanakan berdasarkan asas:
b. keadilan dan kesetaraan gender; c. nondiskriminasi; dan
4. Layanan Pengaduan dan Rehabilitasi 5. Layanan Pemulihan
6. Pemantauan 7. Evaluasi 8. Pembinaan 9. Pendanaan
10. Pengawasan
B. MATERI YANG AKAN DIATUR
Materi Pokok Yang Diatur adalah Perlindungan Perempuan
dan Anak Korban Kekerasan Pembagian materi pokok ke dalam
kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang
dijadikan dasar pembagian (Pedoman 111 TP3U), yakni:
1. Bab I : Ketentuan Umum
2. Bab II : Asas dan Tujuan
3. Bab III : Hak Korban.
4. Bab IV : Kewenangan dan Tanggung Jawab
5. Bab V : Kelembagaan
6. Bab VI : Standar Pelayanan Minimal
7. BabVII : Rumah Perlindungan Sosial
8. Bab VIII : Pemantauan dan Evaluasi
9. Bab IX : Pelaporan
10. Bab X : Pembinaan dan Pengawasan
11. Bab XI : Peran Serta Masyarakat
12. Bab XII : Pendanaan
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu,
dapat ditarik konklusi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten
Tabanan belum mempunyai Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
Berdasarkan keseluruhan tersebut di atas dirumuskan simpulan
yaitu :
Kabupaten Tabanan mempunyai kewenangan membentuk
Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan. Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Selanjutnya dalam. Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (UU KDRT)
mengatur bahwa negara menjamin untuk melakukan pencegahan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah
tangga, yang kebanyakan adalah Perempuan dan anak, harus
mendapat perlindungan agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan
yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
UU KDRT, Pasal 1 angka 2 mengatur bahwa Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Pasal 5
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat
Pelayanan Terpadu, Mengenai struktur organisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang memuat kedudukan, tugas,
fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja PPT diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Daerah.
B. Saran
1. Menyiapkan segera Peraturan Bupati tentang
pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan mekanisme kerja
PPT untuk melaksanakan Peraturan Daerah
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang
partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1989).
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992).
Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum
dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan
Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012).
Gultom, Maidin Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama,
Bandung
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006),.
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006).
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989).
Niken Savitri.,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama, 2008.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000).
Jurnal Perempuan ( Untuk Pencerahan dan Kesetaraan ),
Sejauh Mana Komitmen Negara ? Diskriminasi Terhadap
Perempuan, ISSN : 1410-153X,2006.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109 ).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Ri Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737 ).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Tentang Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesianomor 2 Tahun 2008tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Perempuan.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesianomor 3 Tahun 2008tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesianomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesianomor 5 Tahun 2010 Tentang ` Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu.
PERATURAN DAERAH
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN,
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BADUNG,
Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan ;
b. bahwa kekerasan terhadap perempuan dan
anak merupakan tindakan yang melanggar hak
asasi manusia yang harus mendapat
perlindungan hukum;
c. bahwa penyelenggaraan perlindungan perempuan
dan anak korban kekerasan di Kabupaten Tabanan belum memiliki dasar pengaturan;
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan;
Mengingat : 1.Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1555);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4419);
4.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
6. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perlindungan Perempuan;
7. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak;
8. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan;
9. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu;
10. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pedoman penanganan anak Korban Kekerasan;
11. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737 );
13. Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 4 tahun 2008 tentang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten Tabanan
Nomor…, Tambahan Lembaran Daerah Nomor
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TABANAN
dan
BUPATI BADUNG,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN
PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Kabupaten adalah Kabupaten Tabanan.
2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Tabanan. 3. Bupati dalah Bupati Badung.
4. Perlindungan adalah segala tindakan pelayanan untuk menjamin dan melindungi hak-hak korban tindak kekerasan yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Terpadu.
5. Perempuan adalah manusia dewasa berjenis kelamin perempuan dan orang yang oleh hukum diakui sebagai perempuan.
6. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
7. Kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat atau yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan baik fisik, seksual, psikologis termasuk penelantaran, ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
8. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan sec