BAB II
EKSPLORASI ISU BISNIS
2.1. Conceptual Framework
Gagasan konsep pengembangan manufaktur pupuk organik berbahan baku sampah kota dilandasi oleh 8 faktor pertimbangan, sebagaimana Gambar 2.1. Faktor‐faktor pertimbangan dimaksud meliputi :
• Kelangkaan pasokan LNG (Liquefied Natural Gas) sebagai bahan baku
pupuk kimia yang telah memberi implikasi menurunnya produksi pupuk
secara nasional;
• Permintaan dan kebutuhan pupuk secara nasional semakin meningkat, baik untuk subsektor tanaman pangan maupun perkebunan;
• Adanya Kebijakan Pemerintah melalui Departemen Pertanian dalam mengalokasikan pupuk organik bersubsidi;
• Kerusakan struktur tanah sebagai akibat pemakaian pupuk kimia telah menurunkan kesuburan lahan pertanian dan perkebunan
• Pupuk organik belum banyak diproduksi dalam skala industri manufaktur;
• Ketersediaan teknologi proses dekomposisi secara singkat untuk memproses sampah kota menjadi pupuk organik dengan metoda
thermophilic aerobic digestion;
• Laju timbulan sampah (municipal solid waste generation) di perkotaan, khususnya kota‐kota besar dan metropolitan belum dapat tersolusikan secara terpadu;
• Iklim kerjasama antara Pemerintah dan Swasta dalam penanganan
prasarana perkotaan (urban infrastructure) untuk pengelolaan
persampahan semakin memberikan format yang lebih jelas Gambar 2.1. Faktor Pertimbangan Pengembangan Industri Pupuk Organik Sampah
Berdasarkan 8 faktor kunci terhadap potensi pengembangan bisnis pupuk organik berbahan baku sampah kota tersebut di atas, PT. Kwarsa Hexagon berencana untuk mengembangkan industri pupuk organik berbahan baku sampah kota dalam sekala industri manufaktur. INDUSTRI PUPUK ORGANIK Kelangkaan LNG menurunkan Produksi Pupuk Kimia Kebijakan Pemerintah tentang Subsidi Pupuk Organik Pupuk Organik belum banyak dibuat secara manufacturing Kerusahan struktur tanah akibat pemakaian pupuk kimia Timbulan Sampah Kota yang memerlukan pengelolaan Kerjasama Pemerintah-Swasta dalam Pengelolaan Sampah Permintaan terhadap pupuk secara Nasional Ketersediaan Teknologi Proses Produksi Pupuk Organik
Strategi pendekatan studi yang digunakan dalam melakukan eksplorasi terhadap isu‐isu bisnis pengembangan manufacturing pupuk organik berbahan baku sampah kota ini, didasarkan pada pemikiran konseptual (conceptual
framework), yang dimodifikasi dari konsep New Product & Process Development,
[Kim B. Clark, p.163] meliputi :
• Strategi Marketing • Strategi Manufacturing
• Analisis Industri menggunakan pendekatan Industry Analysis yang dikembangkan oleh Michael Porter
Conceptual framework Analisis Strategi Pengembangan Manufacturing Pupuk
Organik berbahan baku sampah kota secara diagramatis sebagaimana
disajikan pada Gambar 2.2. berikut. Gambar 2.2. Peta Pemikiran Konseptual Market Size Market Segmentation Marketing Mix Threat of New Entrants Bargaining Power of Buyers Threat of Substitute Products Bargaining Power of Suppliers Relative Power of Stakeholders Rivalry Among Existing Firms Process Technology Production Facilities Cost Structure Investment Cost Industry Analysis Marketing Strategy Manufacturing Strategy Strategi Pengembangan Bisnis Pupuk Organik
Analisis terhadap strategi marketing dilakukan terhadap Market Size, Market
Segmentation, dan Marketing Mix (Product Profile, Price Segment, Placement, dan Promotion) sebagai program marketing untuk produk pupuk organik.
Industry Analysis bertujuan untuk memperoleh gambaran kondisi persaingan
dengan menganalisis tingkat persaingan industri sejenis di pasar (Rivalry
Among Existing Firms), ancaman terhadap masuknya ‘pemain’ baru (Threat of New Entrants), posisi tawar pembeli (Bargaining Power of Buyers), posisi tawar
para pemasok (Bargaining Power of Suppliers), ancaman terhadap produk‐ produk substitusi (Threat of Substitute Product), dan tekanan berbagai stakeholder (Relative Power of Stakeholders).
Analisis terhadap strategi manufaktur (Manufacturing Strategy) bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan teknologi proses produksi, komponen‐ komponen proses produksi, struktur biaya produksi, dan biaya investasi awal yang diperlukan,
Dengan melakukan analisis secara rinci terhadap komponen‐komponen pemikiran konseptual tersebut di atas maka akar masalah dari isu bisnis pengembangan pupuk organik berbahan baku sampah kota ini dapat diidentifikasi, sehingga akan membantu dalam menyusun strategi pengembangan manufacturing yang paling feasible untuk dilaksanakan sebagai solusi bisnis.
2.2. Analisis Situasi Bisnis
2.2.1. Strategi Marketing 2.2.1.1. Market Size
Market Size Pupuk Organik
dipengaruhi oleh pertumbuhan
demand terhadap pangan
nasional, maupun oleh
pertumbuhan produk‐produk
industri hilir (downstream
industry) pada industri makanan
dan minuman dan industri
produk‐produk perkebunan
(seperti produk‐produk karet/latex). Gambar 2.3. menjelaskan struktur demand
(market size) pupuk organik.
Untuk mengetahui trend pertumbuhan sektor‐sektor yang memberikan pengaruh langsung terhadap kebutuhan pupuk organik, dilakukan pendekatan analisis terhadap pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) pada sektor‐sektor industri terkait. Basic Needs Pangan Industri Makanan & Minuman Industri Produk‐ produk Perkebunan Produksi Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura Produk Pupuk Organik Produksi Komoditi Perkebunan Gambar 2.3. Struktur Market Size Pupuk Organik
Pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) Sektoral
Kontribusi sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan terhadap GDP dari tahun 2003‐2006 rata‐rata sebesar 9,1% (subsektor tanaman pangan 7,0% dan perkebunan 2,1%). Angka kontribusi sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan ini hampir 2 kali dari kontribusi sektor Pertambangan Minyak dan Gas Alam yang hanya sebesar 5,5%.
Komoditi Tanaman Pangan dan Perkebunan yang merupakan bahan baku bagi
industri pangan dan produk‐produk perkebunan yang telah memberikan kontribusi
GDP pada sektor industri manufaktur kelompok Industri Makanan, Minuman dan
Tembakau sebesar 6,9%, serta kelompok industri Produk‐produk Karet sebesar
2,8%. 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2003 2004 2005 2006 Tahun Gambar 2.4. Distribusi GDP Sektoral Services Keuangan, Real Estate, Jasa Bisnis Transportasi dan Komunikasi Perdagangan, Hotel, Restoran Konstruksi Listrik, Gas, Air Bersih Industri Manufaktur Lainnya Pupuk dan Produk‐produk Karet & Kimia Industri Makanan, Minuman, Tembakau Liquefied Natural Gas (LNG) Petroleum Refineray Tambang Non Migas & Kuari Minyak dan Gas Alam Peternakan, Kehutanan, Perikanan PERKEBUNAN TANAMAN PANGAN & HORTIKULTURA Sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan Industri Makanan, Minuman Tembakau, dan Produk Karet Produk Bahan Baku Minyak & Gas Alam
Kontribusi sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan dari kelompok sumberdaya alam yang sebesar 9,1% ini, tidak saja memberikan indikasi bahwa sektor ini masih menjadi fundamental perekonomian nasional yang perlu dipertahankan, namun perlu dikembangkan hingga menjadi produk‐produk industri pangan sehingga dapat memberikan peningkatan ekonomi nasional.
Pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2. disajikan masing‐masing angka distribusi dan pertumbuhan sektor‐sektor GDP Nasional.
Berdasarkan data distribusi
GDP sektoral pada Tabel 2.1. dan Gambar 2.4., sektor Industri
Manufaktur merupakan
kontributor terbesar pada
pertumbuhan ekonomi nasional, yakni memberikan kontribusi
rata‐rata 28,0%, disusul
berikutnya oleh sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran
sebesar 15,8%, dan sektor
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan sebesar 13,9%. Sementara itu,
subsektor Minyak dan Gas
hanya memberikan
kontribusi sebesar 5,5%,
lebih rendah jika
dibandingkan dengan
subsektor tanaman pangan
dan hortikultura. ‐8.0 ‐6.0 ‐4.0 ‐2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 2003 2004 2005 2006 % Pe rt u m bu ha n Tahun Gambar 2.5. Pertumbuhan GDP Tanaman Pangan & Hortikultura Perkebunan Minyak & Gas Liquefied Natural Gas Industri Makanan, Minuman, Tembakau NASIONAL Pupuk, Produk Karet & Kimia Tabel 2.1.
Distribusi Gross Domestic Product (GDP) Sektoral
NO. 2003 2004 2005 2006 Rata‐ rata 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan 15.2 14.4 13.0 12.9 13.9 Perikanan Tanaman Pangan & Hortikultura 7.8 7.2 6.5 6.4 7.0 Perkebunan 2.3 2.2 2.0 1.9 2.1 Peternakan, Kehutanan, Perikanan 5.1 5.0 4.5 4.6 4.8 2. Tambang & Kuari 8.2 8.9 11.1 10.6 9.7 Minyak dan Gas 4.7 5.2 6.4 5.6 5.5 Tambang Non Migas & Kuari 3.5 3.7 4.7 5.0 4.2 3. Industri Manufaktur 28.4 28.0 27.8 28.0 28.1 Petroleum Refinery 2.5 2.6 3.3 3.6 3.0 Liquefied Natural Gas (LNG) 1.4 1.5 1.7 1.6 1.6 Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau 7.7 7.1 6.4 6.4 6.9 Pupuk dan produk‐produk Kimia dan Karet 2.8 2.8 2.8 2.9 2.8 Industri Manufaktur Lainnya 14.0 14.0 13.6 13.5 13.8 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih (Infrastruktur) 1.0 1.0 1.0 0.9 1.0 5. Konstruksi 6.2 6.6 7.0 7.5 6.8 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 16.6 16.1 15.4 14.9 15.8 7. Transportasi dan Komunikasi 5.9 6.2 6.5 6.9 6.4 8. Keuangan, Real Estate, dan Jasa Bisnis 8.6 8.5 8.3 8.2 8.4 9. Services (Jasa) 9.9 10.3 9.9 10.1 10.1 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2007 dalam % JUMLAH SEKTOR INDUSTRI
Pertumbuhan sektor Tanaman Pangan mengalami penurunan dari tahun 2003‐ 2005 (dari 3,6% menjadi 2,6%). Untuk sektor Perkebunan mengalami penurunan secara drastis dari tahun 2003 (4,4%) menjadi 0,4% pada tahun 2004, kemudian pulih pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 pertumbuhan GDP sektor Perkebunan meningkat menjadi 3,2%.
Sektor Industri Makanan,
Minuman, Tembakau
mulai tahun 2004 terus
mengalami kenaikan,
hingga pada tahun 2006
melebihi pertumbuhan
GDP Nasional.
Pertumbuhan Sektor
Industri Pupuk dan
Produk‐produk Karet serta Kimia menurun tajam dari angka pada tahun 2003 (10,7%) menjadi 4,5% pada
tahun 2006.
Sementara itu, sektor Minyak dan Gas serta LNG (Liquefied Natural Gas) masih mengalami pertumbuhan negatif. Pada Gambar 2.5. disajikan grafik pertumbuhan GDP untuk beberapa sektor. Kenaikan harga minyak dan gas dunia hingga masing‐masing mencapai U.S. $135 per barrel dan U.S. $9.0 per MMBTU diindikasikan belum memberikan perbaikan perekonomian nasional, mengingat pertumbuhan GDP di sektor tersebut selama tahun 2003‐2006 secara konsisten tumbuh secara negatif, dengan rata‐rata pertumbuhan sebesar ‐3,0%.
Pertumbuhan negatif di subsektor Tambang Minyak dan Gas memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan subsektor LNG (Liquefied Natural Gas) yang
Tabel 2.2.
Pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) Sektoral
NO. 2003 2004 2005 2006 Rata‐ rata 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan 3.8 2.8 2.7 3.0 3.1 Perikanan Tanaman Pangan & Hortikultura 3.6 2.9 2.6 2.7 3.0 Perkebunan 4.4 0.4 2.5 3.2 2.6 2. Tambang & Kuari (1.4) (4.5) 3.1 2.2 (0.2) Minyak dan Gas (4.7) (4.3) (1.8) (1.3) (3.0) 3. Industri Manufaktur 5.3 6.4 4.6 4.6 5.2 Liquefied Natural Gas (LNG) (0.4) (3.2) (6.7) (1.4) (2.9) Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau 2.7 1.4 2.7 7.2 3.5 Pupuk dan produk‐produk Kimia dan Karet 10.7 9.0 8.8 4.5 8.3 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih (Infrastruktur) 4.9 5.3 6.3 5.9 5.6 5. Konstruksi 6.1 7.5 7.4 9.0 7.5 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 5.4 5.7 8.4 6.1 6.4 7. Transportasi dan Komunikasi 12.2 13.4 13.0 13.6 13.1 8. Keuangan, Real Estate, dan Jasa Bisnis 6.7 7.7 6.8 5.6 6.7 9. Services (Jasa) 4.4 5.4 5.0 6.2 5.3 5.3 5.5 6.4 6.2 5.9 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2007 NASIONAL dalam % SEKTOR INDUSTRI
tumbuh sebesar negatif 2,9% per tahun selama periode 2003‐2006. Kemerosotan kondisi produksi LNG yang merupakan bahan baku pupuk kimia bagi para industri pupuk nasional, menjadi penyebab utama kelangkaan pupuk
kimia di pasar nasional, seperti Urea, SP‐36, ZA, dan NPK.
Di sisi lain, Pemerintah berencana untuk tetap meningkatkan produktivitas subsektor tanaman pangan dan hortikultura serta perkebunan, untuk menjaga
stabilitas pertumbuhan ekonomi nasionalnya, mengingat kedua sektor tersebut
masih menjadi salah satu fundamental perekonomian nasional. Perkuatan dan pengembangan terhadap sektor tanaman pangan khususnya, akan mampu mewujudkan ketahanan pangan secara nasional, yaitu melalui swasembada pangan.
Produksi komoditi dan luas panen kelompok
sektor tanaman pangan
berdasarkan data tahun
2003‐2007, yang
mencakup padi, jagung, kedelai, dan ubi‐ubian (ubi kayu dan ubi jalar),
sebagaimana disajikan
pada Gambar 2.6. dan
Gambar 2.7. Rata‐rata
produksi padi 54,4 juta ton/tahun (luas panen 11,8 juta Ha), jagung 11,9 juta ton/tahun (luas panen 3,5 juta Ha), ubi‐ubian 21,1 juta ton/tahun (luas ‐ 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 50,000 55,000 60,000 2003 2004 2005 2006 2007 Rib u To n Tahun Gambar 2.6. Produksi Komoditi Tanaman Pangan Padi Jagung Kedelai Ubi‐ubian Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI ‐ 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 2003 2004 2005 2006 2007 Ri b u He kt ar Tahun Gambar 2.7. Luas Panen Komoditi Tanaman Pangan Padi Jagung Kedelai Ubi‐ubian Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
panen 1,4 juta Ha), sementara kedelai sebesar 712 ribu ton/tahun (luas panen 552 ribu Ha).
Pertumbuhan produksi dan luas panen berdasarkan data tahun 2003‐2007, untuk komoditi padi mengalami pertumbuhan produksi rata‐rata sebesar 2,3% per tahun dengan pertumbuhan luas panen rata‐rata sebesar 1,46% per tahun. Komoditi jagung mengalami pertumbuhan produksi rata‐rata sebesar 5,4% per tahun dengan pertumbuhan luas panen sebesar 1,46% per tahun. Komoditi ubi‐ubian tumbuh sebesar 0,43% pertahun dengan pertumbuhan luas panen mengalami pertumbuhan ‘negatif’ sebesar ‐2,04% per tahun. Sementara itu, komoditi kedelai mengalami pertumbuhan produksi ‘negatif’ sebesar ‐1,7% per tahun dan luas panen juga tumbuh secara ‘negatif’ sebesar ‐2,36% per tahun.
Perkembangan produksi dan luas panen pada
kelompok hortikultura,
yang meliputi sayuran, bawang merah, kentang,
dan cabe merah,
sebagaimana disajikan
pada Gambar 2.8. dan
Gambar 2.9.
Produksi komoditi
sayuran berdasarkan data tahun 2002‐2006, rata‐rata
sebesar 5,9 juta ton
dengan pertumbuhan 7,92% per tahun. Luas panen komoditi sayuran rata‐rata 603 ribu Ha dengan pertumbuhan rata‐rata 5,18% per tahun. ‐ 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 2002 2003 2004 2005 2006 To n Tahun Gambar 2.8. Produksi Komoditi Hortikultura Sayur Bawang Merah Kentang Cabe Merah Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI ‐ 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 2002 2003 2004 2005 2006 He kt ar Tahun Gambar 2.9. Luas Panen Komoditi Hortikultura Sayur Bawang Merah Kentang Cabe Merah Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
Produksi komoditi bawang merah rata‐rata sebesar 762,9 ribu ton per tahun dengan pertumbuhan rata‐rata 1,01%. Luas panen komoditi bawang merah rata‐rata sebesar 85,9 ribu Ha dengan pertumbuhan 2,98% per tahun.
Produksi komoditi kentang rata‐rata sebesar 999,5 ribu ton per tahun dengan luas panen sebesar 62,0 ribu Ha. Pertumbuhan produksi dan luas panen komoditi kentang rata‐rata sebesar 3,39% dan 1,34% per tahun.
Produksi dan luas panen komoditi cabe merah rata‐rata sebesar 1,0 juta ton per tahun dan 182,7 ribu Ha, dengan pertumbuhan produksi tahunan rata‐rata sebesar 19,82% dan pertumbuhan luas panen tahunan sebesar 8,25%.
Komoditi perkebunan merupakan penyumbang devisa negara dari surplus
neraca perdagangan (ekspor‐impor). Berdasarkan data dari tahun 2003‐2006
(Gambar 2.10.), komoditi sawit memberikan surplus neraca perdagangan tertinggi, yakni mencapai rata‐rata U.S. $3,68 milyar, dimana surplus neraca
perdagangan komoditi sawit tertinggi dicapai pada tahun 2005, yakni U.S. $5,54 milyar. ‐ 1,000,000.0 2,000,000.0 3,000,000.0 4,000,000.0 5,000,000.0 6,000,000.0 2003 2004 2005 2006 da la m 000 U. S. $ Tahun Gambar 2.10. Neraca Perdagangan Komoditi Perkebunan Surplus Neraca Ekspor‐Impor Kakao Surplus Neraca Ekspor‐Impor Sawit Surplus Neraca Ekspor‐Impor Kopi Surplus Neraca Ekspor‐Impor Karet Surplus Neraca Ekspor‐Impor Lada Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
Komoditi karet merupakan penyumbang devisa terbesar kedua dari sektor perkebunan, yakni dengan surplus neraca perdagangan rata‐rata sebesar U.S. $2,30 milyar, disusul berikutnya komoditi kakao dengan surplus neraca
perdagangan rata‐rata sebesar U.S. $927,15 juta, komoditi kopi senilai U.S.
$347,58 juta, dan komoditi lada senilai U.S. $63,86 juta.
Produksi komoditi sawit berdasarkan data tahun
2002‐2006 rata‐rata sebesar 11,23 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sebesar 8,66% pertahun.
Luas panen komoditi sawit rata‐rata sebesar 5,43 juta Ha, dengan pertumbuhan luas panen rata‐rata 4,72% per tahun.
Sementara itu, produksi komoditi karet rata‐rata sebesar 2,02 juta ton
dengan pertumbuhan
sebesar 9,8% per tahun. Luas panen komoditi karet rata‐rata sebesar 3,3
juta Ha, dengan
pertumbuhan ‘negatif’ sebesar ‐0,06% per tahun. Produksi kakao rata‐rata tumbuh sebesar 8,41% per tahun atau 697,7 ribu ton per tahun dengan pertumbuhan luas panen rata‐rata 6,94% per tahun atau 1,06 ‐ 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 8,000,000 9,000,000 10,000,000 11,000,000 12,000,000 13,000,000 14,000,000 15,000,000 2002 2003 2004 2005 2006 To n Tahun Gambar 2.11. Produksi Komoditi Perkebunan Kakao Sawit Kopi Karet Lada Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI ‐ 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 2002 2003 2004 2005 2006 He kt ar Tahun Gambar 2.12. Luas Panen Komoditi Perkebunan Kakao Sawit Kopi Karet Lada Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
juta Ha. Sementara itu untuk Komoditi kopi dan lada mengalami pertumbuhan ‘negatif’, baik pada angka produksi maupun luas panennya.
Pertumbuhan produksi komoditi kopi mengalami pertumbuhan ‘negatif’ sebesar ‐1,08% per tahun atau rata‐rata produksi selama tahun 2003‐2006 sebesar 657,20 ribu ton per tahun dengan luas panen rata‐rata 1,32 juta Ha, pertumbuhan luas panen rata‐rata sebesar ‐2,0%.
Pertumbuhan produksi komoditi lada sebesar ‐2,77% per tahun dan luas panen sebesar ‐1,57% per tahun. Produksi komoditi lada rata‐rata sebesar 83,2 ribu ton per tahun dengan luas panen rata‐rata sebesar 198,6 ribu Ha.
Kebijakan Pembangunan Sektor Pertanian
Kebijakan pembangunan sektor pertanian didasarkan pada RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional), dengan 6 agenda pembangunan
pertanian, yang mencakup : a. Revitalisasi pertanian b. Peningkatan investasi dan ekspor komoditi non‐migas; c. Pemantapan stabilitas ekonomi makro; d. Penanggulangan kemiskinan; e. Pembangunan perdesaan; dan
f. Perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
Agenda Revitalisasi Pertanian diarahkan untuk meningkatkan :
a. Kemampuan produksi beras dalam negeri sebesar 90‐95% dari kebutuhan nasional;
b. Diversifikasi produksi dan konsumsi pangan; c. Ketersediaan pangan asal ternak;
d. Nilai tambah dan dayasaing produk pertanian; dan e. Produksi dan ekspor komoditi pertanian
Pemerintah melalui Departemen Pertanian RI telah menetapkan strategi pembangunan pertanian yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005‐2009, dimana 2 strategi penting diantaranya adalah :
1. Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan; 2. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian
Strategi dalam memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan diarahkan pada :
• Perluasan dan pemanfaatan basis produksi secara berkelanjutan melalui
konsolidasi; • Optimalisasi pemanfaatan lahan; • Pembukaan lahan baru terutama di luar Jawa; dan • Pelestarian dan konservasi sumberdaya lahan dan hayati
Pemanfaatan dan perluasan lahan pertanian diarahkan pada : • Pemanfaatan lahan terlantar;
• Perluasan lahan sawah di luar Jawa dengan potensi sekitar 16 juta Ha,
terutama di Papua, Kalimantan dan Sumatera;
• Perluasan lahan kering dengan potensi sekitar 25 juta Ha dan dapat digunakan
untuk tanaman perkebunan dan buah‐buahan di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua
Sementara itu, peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian diarahkan khususnya pada jaminan ketersediaan sistem sarana dasar produksi yang mencakup benih, pupuk, pestisida, dan peralatan mekanisasi pertanian.
Berkaitan dengan kebijakan dan strategi pembangunan pertanian tersebut di atas, maka program pembangunan sektor pertanian yang dirumuskan Pemerintah, terdapat 3 Program Pokok, yaitu :
1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan; 2. Program Pengembangan Agribisnis; dan 3. Program peningkatan Kesejahteraan Petani
Program peningkatan Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis, meliputi peningkatan produksi dan produktivitas pada :
• Subsektor Tanaman Pangan (padi, jagung, kedelai, ubi‐ubian)
• Subsektor Hortikultura (sayur, bawang merah, kentang, dan cabe merah) • Subsektor perkebunan (sawit, karet, kakao, kopi, dan lada)
Peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura akan dapat menjaga
stabilitas harga pangan nasional yang pada gilirannya akan mampu menahan
laju inflasi pada indeks harga makanan. Sementra itu produktivitas perkebunan diharapkan dapat ditingkatkan untuk memberikan peningkatan
pendapatan nasional dari surplus neraca perdagangan komoditi perkebunan, seperti kakao, sawit, dan karet. Departemen Pertanian RI melalui Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005‐ 2009 telah menetapkan sasaran pertumbuhan GDP untuk sektor pertanian dari 2,7% pada tahun 2005 menjadi 3,58% pada tahun 2009. Sasaran pertumbuhan produksi sektor pertanian sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005‐2009 adalah seperti yang disajikan pada Tabel 2.3.
Berdasarkan angka pertumbuhan
produksi pertanian sebagaimana
Tabel 2.3., maka proyeksi produksi
dan luas panen untuk subsektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan dari basis tahun 2005 hingga tahun 2025 dapat dilihat sebagaimana disajikan pada Tabel 2.4 untuk subsektor tanaman pangan,
Tabel 2.5. untuk subsektor
hortikultura, dan Tabel 2.6. untuk
subsektor perkebunan. Tabel 2.3.
Sasaran Pertumbuhan Produksi dan Produktivitas Pertanian
Sasaran Sasaran
NO. Pertumbuhan Produktivitas
Produksi
(% per tahun) (Kwintal/Ha)
1. Tanaman Pangan Padi 1.21 45.92 Jagung 4.23 34.36 Kedelai 6.50 12.90 Ubi-ubian 0.39 151.07 2. Hortikultura Sayuran 4.00 97.80 Bawang Merah 7.65 88.95 Kentang 3.68 161.27 Cabe Merah 2.74 54.73 3. Perkebunan Kakao 5.30 9.55 Sawit 6.21 29.33 Kopi 4.37 6.91 Karet 4.79 8.06 Lada 6.48 7.36
Sumber : Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009, Departemen Pertanian RI, 2005
Proyeksi produksi dan luas panen dipergunakan untuk menghitung jumlah pupuk yang dibutuhkan.
Jumlah pupuk yang dibutuhkan adalah dosis pemupukan untuk setiap jenis tanaman (kg per Ha) dikalikan dengan luas tanam atau luas rencana panen. Tabel 2.4.
Proyeksi Produksi dan Luas Panen Komoditi Tanaman Pangan (Basis data Tahun 2005)
NO. 2005 2010 2015 2020 2025
1. Padi Produksi (000 Ton) 54,151 57,507 61,072 64,857 68,877
Luas Panen (000 Ha) 11,839 12,525 13,301 14,125 15,001
Produktivitas (Ku/Ha) 45.74 45.92
2. Jagung Produksi (000 Ton) 12,524 15,407 18,953 23,315 28,681
Luas Panen (000 Ha) 3,626 4,485 5,517 6,786 8,348
Produktivitas (Ku/Ha) 34.54 34.36
3. Kedelai Produksi (000 Ton) 808 1,107 1,517 2,078 2,847
Luas Panen (000 Ha) 622 858 1,175 1,610 2,207
Produktivitas (Ku/Ha) 12.99 12.90
4. Ubi-ubian (Ubi Kayu dan Produksi (000 Ton) 21,178 21,594 22,019 22,451 22,893
Ubi Jalar) Luas Panen (000 Ha) 1,391 1,429 1,458 1,486 1,515
Produktivitas (Ku/Ha) 152.25 151.07
Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI & Hasil Analisis
Tabel 2.6.
Proyeksi Produksi dan Luas Panen Komoditi Perkebunan (Basis data Tahun 2005)
NO. 2005 2010 2015 2020 2025
1. Kakao Produksi (Ton) 748,828 969,447 1,255,064 1,624,829 2,103,534
Luas Panen (Ha) 1,167,046 1,015,553 1,314,754 1,702,104 2,203,576
Produktivitas (Kg/Ha) 921 955
2. Sawit Produksi (Ton) 11,861,615 16,031,379 21,666,957 29,283,633 39,577,832
Luas Panen (Ha) 5,453,816 5,465,864 7,387,302 9,984,191 13,493,976
Produktivitas (Kg/Ha) 2,925 2,933
3. Kopi Produksi (Ton) 640,365 793,060 982,165 1,216,362 1,506,403
Luas Panen (Ha) 1,255,272 1,148,364 1,422,191 1,761,312 2,181,296
Produktivitas (Kg/Ha) 683 691
4. Karet Produksi (Ton) 2,270,891 2,869,429 3,625,724 4,581,354 5,788,861
Luas Panen (Ha) 3,279,391 4,068,723 5,048,044 6,263,082 7,770,573
Produktivitas (Kg/Ha) 862 806
5. Lada Produksi (Ton) 78,327 107,214 146,755 200,878 274,962
Luas Panen (Ha) 191,992 145,632 199,341 272,858 373,488
Produktivitas (Kg/Ha) 688 736
Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI & Hasil Analisis
KOMODITI KETERANGAN
Tabel 2.5.
Proyeksi Produksi dan Luas Panen Komoditi Hortikultura (Basis data Tahun 2005)
NO. 2005 2010 2015 2020 2025
1. Sayuran Produksi (Ton) 6,301,734 7,667,023 9,328,106 11,349,067 13,807,875
Luas Panen (Ha) 612,288 783,916 953,753 1,160,386 1,411,788
Produktivitas (Ton/Ha) 10.29 9.78
2. Bawang Merah Produksi (Ton) 732,610 1,059,115 1,531,134 2,213,520 3,200,026
Luas Panen (Ha) 83,614 119,065 172,129 248,842 359,745
Produktivitas (Ton/Ha) 8.76 8.90
3. Kentang Produksi (Ton) 1,009,619 1,209,574 1,449,130 1,736,130 2,079,971
Luas Panen (Ha) 61,557 75,002 89,857 107,653 128,973
Produktivitas (Ton/Ha) 16.40 16.13
4. Cabe Merah Produksi (Ton) 1,058,023 1,211,136 1,386,407 1,587,042 1,816,713
Luas Panen (Ha) 187,236 221,307 253,334 289,995 331,962
Produktivitas (Ton/Ha) 5.65 5.47
Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI & Hasil Analisis
Penyediaan Pupuk Nasional
Pemberian pupuk bertujuan untuk memberikan masukan hara (unsur yang dibutuhkan tanaman) guna mengisi kekurangan unsur hara (N, P, K, dan S) yang tidak dapat disediakan oleh tanah itu sendiri. Kandungan unsur hara di dalam tanah secara alamiah diperoleh antara lain melalui residu tanaman, kandungan zat organik dalam air irigasi, dan zat organik dari kotoran hewan.
Pemenuhan kebutuhan pupuk di Indonesia selama ini bersumber dari pupuk kimia (berbahan baku gas alam – LNG), yang terdiri dari Urea (untuk memenuhi unsur hara Nitrogen), SP‐36/TSP (untuk memenuhi unsur hara
Posfor), ZA (untuk memenuhi unsur hara Sulfur), dan pupuk majemuk NPK
(untuk memenuhi unsur hara Nitrogen, Posfor, dan Kalium).
Pemakaian pupuk kimia secara nasional pada tahun 2006‐2007, berdasarkan alokasi pupuk bersubsidi menurut Peraturan Menteri Pertanian No.
505/Kpts/SR.130/12/2005 untuk subsektor tanaman pangan dan perkebunan,
untuk Urea mencapai 6,9 juta ton, SP‐36 sebanyak 3,25 juta ton, ZA mencapai 1,95 juta ton, dan NPK sebanyak 1,49 juta ton.
Saat ini kebutuhan pupuk kimia nasional sebagian besar dipenuhi oleh 5 (lima) industri pupuk nasional, yakni PT. Pupuk Sriwijaya (Palembang), PT. Pupuk Kaltim (Bontang), PT. Petrokimia Gresik (Gresik), PT. Pupuk Kujang (Purwakarta), dan PT. Pupuk Iskandar Muda (Banda Aceh).
Tabel 2.7.
Kebutuhan Pupuk Kimia Tahun 2006-2007
NO. Rata-rata 2006 2007 2006 2007 2006 2007 1. Urea 4,300,000 4,300,000 2,600,000 2,600,000 6,900,000 6,900,000 6,900,000 2. SP-36 700,000 800,000 2,500,000 2,500,000 3,200,000 3,300,000 3,250,000 3. ZA 600,000 700,000 1,300,000 1,300,000 1,900,000 2,000,000 1,950,000 4. NPK 400,000 700,000 940,000 940,000 1,340,000 1,640,000 1,490,000
Sumber : Pedoman Pengawasan Pupuk dan Pestisida, Direktorat Sarana Produksi - Ditjen. Tanaman Pangan Departemen Pertanian RI, 2006
KEBUTUHAN PUPUK
dalam Ton
KIMIA
Kapasitas produksi secara nasional dari seluruh industri pupuk di Indonesia (Tabel 2.8.) untuk pupuk kimia yang terdiri dari Urea sebesar 8,03 juta ton, SP‐ 36 sebesar 1,0 juta ton, ZA sebesar 650 ribu ton, dan NPK sebesar 460 ribu ton. Sementara untuk jenis pupuk organik hanya diproduksi oleh PT. Petrokimia Gresik sebesar 3.000 ton. Tabel 2.8 menyajikan kapasitas produksi pupuk dari setiap industri pupuk nasional.
Total kebutuhan pupuk secara nasional (Tabel 2.7.) pada subsektor tanaman
pangan dan perkebunan untuk tahun 2006, sebagaimana dijelaskan di atas,
Tabel 2.8.
Kapasitas & Realisasi Produksi Pupuk Kimia
NO. 2005 2006 1. PT. Pupuk Sriwidjaja Urea 2,262,000 28.2% 2,045,860 2,051,250 2,048,555 90.56% SP-36 - 0.0% - - -ZA - 0.0% - - -NPK - 0.0% - - -2. PT. Petrokimia Gresik Urea 462,000 5.8% 404,364 331,677 368,021 79.66% SP-36 1,000,000 100.0% 819,704 647,868 733,786 73.38% ZA 650,000 100.0% 644,320 631,645 637,983 98.15% NPK 460,000 100.0% 333,132 496,690 414,911 90.20% Pupuk Organik 3,000 100.0% 3,000 3,000 3,000 100.00% 3. PT. Pupuk Kujang Urea 1,156,000 14.4% 537,563 851,579 694,571 60.08% SP-36 - 0.0% - - -ZA - 0.0% - - -NPK - - -
-4. PT. Pupuk Kalimantan Timur
Urea 2,980,000 37.1% 2,665,021 2,214,961 2,439,991 81.88% SP-36 - 0.0% - -
-ZA - 0.0% - - -NPK - 0.0% - -
-5. PT. Pupuk Iskandar Muda
Urea 1,170,000 14.6% 195,847 205,225 200,536 17.14% SP-36 - 0.0% - - -ZA - 0.0% - - -NPK - 0.0% - - -Urea 8,030,000 100.0% 5,848,655 5,654,692 5,751,674 71.63% SP-36 1,000,000 100.0% 819,704 647,868 733,786 73.38% ZA 650,000 100.0% 644,320 631,645 637,983 98.15% NPK 460,000 100.0% 333,132 496,690 414,911 90.20% Pupuk Organik 3,000 100.0% 3,000 3,000 3,000 100.00%
Sumber : PT. Pupuk Sriwijaya, http://www.pusri.co.id/indexB07.php
RATA-RATA REALISASI PRODUKSI (Ton) TOTAL REALISASI (Ton)
PRODUK & PRODUSEN PRODUKSI
(Ton)
PRODUKSI KAPASITAS
adalah Urea sebesar 6,9 juta ton, SP‐36 sebesar 3,25 juta ton, ZA sebesar 1,95 juta ton, dan NPK 1,49 juta ton.
Sementara itu, realisasi produksi pupuk dari kelima industri pupuk nasional tersebut (Tabel 2.8.) di tahun 2006 untuk Urea sebesar 5,75 juta ton, SP‐36 sebesar 733,79 ribu ton, ZA sebesar 637,98 ribu ton, dan NPK sebesar 414,91 ribu ton.
Berdasarkan data kebutuhan pupuk dan realisasi produksi pupuk yang dihasilkan oleh kelima industri pupuk nasional tersebut di atas, memperlihatkan bahwa terjadi ‘gap’ antara produksi dan kebutuhan sesuai ketentuan Pemerintah. Produksi Urea (dengan kapasitas produksi terpakai 71,63%) hanya dapat memenuhi 83,36% dari kebutuhan, produksi SP‐36 (dengan kapasitas produksi terpakai 73,38%) hanya dapat memenuhi 22,58% dari total kebutuhan, produksi ZA (dengan kapasitas produksi terpakai 98,15%) baru dapat memenuhi 32,72% dari total kebutuhan, dan produksi NPK (dengan kapasitas produksi terpakai 90,20%) baru dapat memenuhi 27,85% dari total kebutuhan.
Total kapasitas
produksi terpasang di kelima industri pupuk nasional tidak dapat
dioperasikan secara
optimum, seperti yang
terjadi pada
PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. Pupuk Kujang. Investasi untuk penambahan kapasitas produksi pada industri pupuk nasional yang
Tabel 2.9.
Ratio Produksi/Kebutuhan Pupuk Kimia
(Berdasarkan Data Kebutuhan 2006-2007)
Ratio
NO. Kebutuhan Produksi Produksi/
(Ton) (Ton) Kebutuhan
1. Urea 6,900,000 5,751,674 83.36%
2. SP-36 3,250,000 733,786 22.58%
3. ZA 1,950,000 637,983 32.72%
4. NPK 1,490,000 414,911 27.85%
Sumber : Hasil Analisis
PUPUK KIMIA
kesemuanya adalah perusahaan milik Negara dengan status BUMN (Badan
Usaha Milik Negara), bukanlah hal mudah untuk dilakukan di tengah kondisi
keuangan yang belum membaik.
Di samping adanya kendala keuangan, faktor‐faktor lain yang dihadapi oleh para industri pupuk nasional dalam operasional adalah sebagai berikut :
• Kurangnya pasokan gas alam cair (LNG) sebagai bahan baku utama pembuatan pupuk kimia;
• Harga LNG yang terus naik, meningkatkan biaya produksi;
• Harga jual pupuk di pasar dalam negeri yang tidak terjangkau oleh para petani dan pemilik perkebunan, jika disesuaikan dengan kenaikan harga LNG
Dampak Negatif Pemakaian Pupuk Kimia
Penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dan berkepanjangan akan menimbulkan dampak kerusakan struktur tanah, sehingga tanah menjadi tidak subur lagi akibat musnahnya mikroorganisme pengurai yang terdapat di dalam tanah.
Dengan musnahnya mikroorganisme pengurai di dalam tanah, maka residu pupuk yang tidak terserap oleh akar tanaman akan terakumulasi di dalam tanah dan kondisi tanah menjadi bersifat asam, keras dan bergumpal.
Dampak negatif penggunaan pupuk kimia di atas sebagaimana diterangkan Sudaryanto Djamhari dalam Jurnal Sain dan Teknologi BPPT [PEMASYARAKATAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERTANIAN ORGANIK DI DESA SEMBALUN LAWANG NUSA TENGGARA BARAT,
2003], bahwa “produktivitas tanah sebagai daya dukung terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman di atasnya dapat menurun dan apabila kondisi seperti ini tidak diatasi maka akan terjadi leveling‐ off , yaitu kondisi dimana pertambahan input tidak lagi mampu meningkatkan produksi tanaman”.
Kebutuhan Pupuk Organik
Penggunaan pupuk kimia yang telah dilakukan secara besar‐besaran hampir lebih dari 30 tahun terakhir diindikasikan telah memberikan implikasi terhadap degradasi kesuburan tanah pada lahan‐lahan pertanian dan perkebunan. Untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah diperlukan pemupukan dengan pupuk organik atau dengan melakukan pemupukan berimbang antara pupuk kimia khususnya Urea dengan pupuk majemuk organik.
Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah menetapkan kebijakan penting tentang pupuk organik, yaitu melalui Keputusan Menteri Pertanian No.
01/Kpts/SR.130/1/2006 tentang Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K pada padi sawah spesifik lokasi sebagai acuan penerapan pola pemupukan berimbang
antara pupuk kimia dan pupuk organik.
Peraturan lainnya yang menjadi pendorong bagi perkembangan pupuk
organik di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian No.
02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah.
Menyusul kedua peraturan penting tentang pupuk organik tersebut di atas, pada 28 Desember 2007, Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 76/Permentan/O.T.140/12/2007 tentang Subsidi Pupuk Organik yang dialokasikan secara khusus untuk sektor Tanaman Pangan, dengan total alokasi sebesar 345 ribu ton untuk tahun 2008.
Industri pupuk yang ditugasi untuk memproduksi pupuk organik bersubsidi sebagaimana peraturan tersebut, meliputi 4 industri pupuk nasional, yaitu : • PT. Petrokimia Gresik, sebanyak 300 ribu ton • PT. Pupuk Kalimantan Timur, sebanyak 25 ribu ton • PT. Pupuk Sriwijaya, sebanyak 10 ribu ton, dan • PT. Pupuk Kujang, sebanyak 10 ribu ton Dari keempat produsen pupuk nasional tersebut, hanya PT. Petrokimia Gresik saja yang telah mempunyai instalasi pengolahan pupuk organik dengan merk
Petroganik yang memiliki kapasitas produksi 3.000 ton per tahun. Menurut
Bambang Tjahjono, Direktur Pemasaran PT. Petrokimia Gresik
[http://www.antara.co.id], mengatakan “Saat ini memang jumlah pupuk organik bersubsidi
masih kecil, baru sebesar 345 ribu ton, tapi tahun‐tahun mendatang akan terus meningkat terkait
kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas tanah”.
Proyeksi kebutuhan pupuk organik, berdasarkan proyeksi produksi dan luas panen yang disajikan pada Tabel 2.4, Tabel 2.5, dan Tabel 2.6., maka pada Tabel 2.10 berikut disajikan proyeksi kebutuhan pupuk organik. Tabel 2.10. Proyeksi Kebutuhan Pupuk Organik DOSIS
NO. PUPUK Luas Panen Kebutuhan Luas Panen Kebutuhan Luas Panen Kebutuhan Luas Panen Kebutuhan Luas Panen Kebutuhan
ORGANIK Pupuk Pupuk Pupuk Pupuk Pupuk
(Kg/Ha) (000 Ha) (Ton) (000 Ha) (Ton) (000 Ha) (Ton) (000 Ha) (Ton) (000 Ha) (Ton)
I. TANAMAN PANGAN Padi 50 11,839.0 591,950.0 12,524.7 626,236.7 13,301.0 665,052.1 14,125.5 706,273.3 15,001.0 750,049.5 Jagung 60 3,626.0 217,560.0 4,484.5 269,070.4 5,516.7 331,001.2 6,786.4 407,186.4 8,348.4 500,906.8 Kedelai 60 622.0 37,320.0 857.9 51,477.0 1,175.5 70,527.9 1,610.5 96,629.3 2,206.5 132,390.6 Ubi-ubian 25 1,391.0 34,775.0 1,429.5 35,736.3 1,457.5 36,438.6 1,486.2 37,154.7 1,515.4 37,884.9 II. HORTIKULTURA Sayuran 60 612.3 36,737.3 783.9 47,034.9 953.8 57,225.2 1,160.4 69,623.2 1,411.8 84,707.3 Bawang Merah 60 83.6 5,016.8 119.1 7,143.9 172.1 10,327.7 248.8 14,930.5 359.7 21,584.7 Kentang 60 61.6 3,693.4 75.0 4,500.1 89.9 5,391.4 107.7 6,459.2 129.0 7,738.4 Cabe 60 187.2 11,234.2 221.3 13,278.4 253.3 15,200.0 290.0 17,399.7 332.0 19,917.7 III. PERKEBUNAN Kakao 300 1,167.0 350,113.8 1,015.6 304,665.8 1,314.8 394,426.1 1,702.1 510,631.3 2,203.6 661,072.9 Sawit 300 5,453.8 5,465.91,636,144.8 7,387.31,639,759.1 9,984.22,216,190.6 2,995,257.4 13,494.0 4,048,192.8 Kopi 200 1,255.3 251,054.4 1,148.4 229,672.7 1,422.2 284,438.1 1,761.3 352,262.4 2,181.3 436,259.3 Karet 300 3,279.4 983,817.3 4,068.7 5,048.01,220,617.0 6,263.11,514,413.1 1,878,924.5 7,770.6 2,331,171.8 Lada 200 192.0 38,398.4 145.6 29,126.3 199.3 39,868.2 272.9 54,571.6 373.5 74,697.6 4,197,815.4 4,478,318.8 5,640,500.3 7,147,303.5 9,106,574.3 Sumber : Hasil Analisis Data
2025 KOMODITI
2005 2010 2015 2020
Berdasarkan Tabel 2.10. di atas, maka proyeksi Market Size pupuk organik adalah sebagai berikut : • Tahun 2010, sebesar 4,48 juta ton • Tahun 2015, sebesar 5,64 juta ton • Tahun 2020, sebesar 7,15 juta ton • Tahun 2025, sebesar 9,11 juta ton
Berdasarkan data proyeksi kebutuhan pupuk organik untuk sektor Tanaman
Pangan dan Perkebunan pada tahun 2010 adalah sebesar 4,48 juta ton, sementara
produksi pupuk kimia NPK (pupuk majemuk) dari kelima industri pupuk nasional sebesar 414.911 ton, atau 9,26% dari total kebutuhan pupuk majemuk. Dengan demikian, market size pupuk organik majemuk adalah sebesar 90,74% dari total kebutuhan, atau 4,1 juta ton. Pada Tabel 2.11. berikut disajikan proyeksi Market Size pupuk organik pada Tahun 2010‐2025. Tabel 2.11. Proyeksi Market Size Pupuk Organik (2010‐2025)
Produksi NPK - Pupuk Kimia
Tahun 2006-2007 414,911 (Ton)
KEBUTUHAN RATIO TAHUN PUPUK MAJEMUK PRODUKSI/
(N, P, K) KEBUTUHAN
(juta Ton) NPK (Kimia) % juta Ton
2010 4.48 9.26% 90.74% 4.1 2015 5.64 7.36% 92.64% 5.2 2020 7.15 5.81% 94.19% 6.7 2025 9.11 4.56% 95.44% 8.7 Sumber : Pengolahan Data
MARKET SIZE PUPUK ORGANIK
2.2.1.2. Segmentasi Pasar
Segmentasi pasar merupakan suatu proses dalam membagi pasar ke dalam beberapa jenis konsumen berdasarkan derajat kebutuhannya dan menentukan segmen yang akan dijadikan sebagai sasaran. Proses segmentasi pasar selanjutnya akan menentukan market share dari produk yang akan dipasarkan. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, [Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006].
Market Segmentation
Produk pupuk organik yang akan diproduksi harus dapat digunakan pada berbagai kelompok tanaman yang membutuhkan unsur‐unsur majemuk (Nitrogen‐N, Posfor‐P, Kalium‐K, dan Belerang‐S), sebagai substitusi pupuk kimia NPK.
Kelompok tanaman, baik yang termasuk dalam golongan tanaman pangan (padi, jagung, kacang, dan kedelai), hortikultura (sayur, buah‐buahan, dan tanaman hias), serta perkebunan (kakao, sawit, kopi, dan karet) sangat membutuhkan masukan unsur‐unsur majemuk N, P, K, dan S.
Daerah pemasaran sebagai segmen geografis masih diprioritaskan bagi pemenuhan pupuk organik di tingkat nasional, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk dapat meraih pasar internasional.
Market Targeting Target pasar yang akan menjadi sasaran untuk dipenetrasi adalah pasar pupuk nasional untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Sementara untuk perkebunan diprioritaskan untuk perkebunan kakao dan sawit. Product Positioning
Produk pupuk organik dengan spektrum penggunaan yang luas, efisien, dan efektif akan menjadi konsep positioning produk yang akan ditawarkan kepada konsumen.
Untuk meraih posisi tersebut maka proses dan rekayasa formula produk akan dilakukan secara menerus melalui program R&D (research & development) dalam bentuk pengujian langsung pada petak‐petak uji (demonstration plot) terhadap berbagai varietas tanaman.
Formula pupuk organik yang akan dipasarkan, baik sebelum dipasarkan maupun selama produksi (secara periodik) akan dilakukan pengujian kualitas dan efektifitas dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006 teranggal 10 Februari 2006 tentang Pupuk Organik dan
Pembenah Tanah.
Gambar 2.13. Diagram Market Segmentation, Targeting, dan Positioning
Pupuk Majemuk dengan aplikasi luas, efektif dan efisien Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura & Perkebunan Sawit, Karet dan Kakao Sektor Pertanian dan Perkebunan
Positioning
Targeting
Segmentation
2.2.1.3. Marketing Mix Profil Produk
Produk pupuk organik berbentuk granule dan cair (liquid), dengan kandungan bahan‐bahan pupuk mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No.
02/Pert/HK.060/2/2006, yaitu sebagaimana tertuang pada Tabel 2.12., berikut : Tabel 2.12. Padat Cair 1. C‐Organik % > 12 ≥ 4,5 2. C/N Ratio 10 ‐25 3. Kadar Air Granule % 4 ‐ 12 Curah % 13 ‐20 4. Kadar Total P2O5 % < 5 < 5 K2O % < 5 < 5 5. Kadar Unsur Mikro
Zn (Seng) % Max. 0.500 Max. 0.250
Cu (Tembaga) % Max. 0.500 Max. 0.250
Mn (Mangan) % Max. 0.500 Max. 0.250
Co (Cobalt) % Max. 0.002 Max. 0.0005
B (Boron) % Max. 0.250 Max. 0.125
Mo (Molibdat) % Max. 0.001 Max. 0.001
Fe (Besi) % Max. 0.400 Max. 0.040
6. pH 4 ‐ 8 4 ‐ 8
7. Mikroba Patogen cell/gram Dicantumkan Dicantumkan
(E.coli, Salmonella sp) 8. Kadar Logam Berat As (Arsen) ppm ≤ 10 ≤ 10 Hg (Merkuri) ppm ≤ 1 ≤ 1 Pb (Timbal) ppm ≤ 50 ≤ 50 Cd (Kadmium) ppm ≤ 10 ≤ 10 9. Bahan Ikutan % Max. 2 (kerikil, beling, plastik, dll.) Sumber : Peraturan Menteri Pertanian, No. 02/Pert/HK.060/2/2006 Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik PARAMETER
Segmen Harga
Harga pupuk organik mempedomani target market, yakni pertanian tanaman
pangan dan hortikultura serta perkebunan, dimana berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian No. 76/Pementan/O.T.140/12/2007 tentang Subsidi Pupuk
Organik, yakni dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) khusus bagi sektor
tanaman pangan di petani adalah Rp 1.000 per kg (dengan subsidi harga dari Pemerintah 50%), artinya harga jual produsen sebesar Rp 2.000 per kg.
Sementara itu untuk segmen harga bagi target market perkebunan, disetarakan dengan harga NPK pupuk kimia yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No. 505/Kpts/SR.130/12/2005, yakni dengan Harga Eceran Tertinggi Rp 1.600 per kg (subsidi dari Pemerintah 50%), atau harga jual produsen sebesar Rp 3.200 per kg. Channel Distribusi Channel distribusi penjualan pupuk organik di pasar dalam negeri dilakukan melalui kolaborasi dengan industri pupuk nasional, yakni : • PT. Pupuk Iskandar Muda untuk distribusi penjualan wilayah Nangroe Aceh Darussalam (NAD);
• PT. Pupuk Sriwijaya (Pusri) untuk distribusi penjualan wilayah Sumatera dan sebagian Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Kalimantan Barat;
• PT. Pupuk Kujang untuk distribusi penjualan wilayah Jawa Barat; • PT. Petrokimia Gresik untuk distribusi penjualan wilayah Jawa Timur; • PT. Pupuk Kalimantan Timur untuk distribusi penjualan wilayah
Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua
Pembagian wilayah distribusi dan penjualan pupuk oleh produsen pupuk nasional tersebut di atas mengacu pada Keputusan Menteri Perdagangan No.
03/M‐DAG/PER/2/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi
untuk sektor Pertanian dan Perkebunan.
Promosi
Strategi promosi pupuk organik dilakukan dengan mekanisme edukasi terhadap pasar melalui kerjasama dengan Departemen Pertanian RI, khususnya dengan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Pusat Penyuluhan Pertanian dan Pusat Data & Informasi Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian.
Edukasi dilakukan baik secara langsung kepada para petani dan perkebunan melalui Mantri Tani dan Penyuluh Pertanian yang tersebar di seluruh desa di Indonesia, maupun tidak langsung melalui penyelenggaraan seminar dan workshop pada Fakultas Pertanian di beberapa Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia.
2.2.2. Strategi Manufacturing
2.2.2.1. Teknologi Proses Produksi
Proses pembuatan pupuk organik dari sampah sejauh ini masih dilakukan secara konvensional dengan metoda pengomposan (composting), sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi produk pupuk organik. Oleh karena itu pembuatan pupuk organik dengan metoda pengomposan umumnya hanya dapat dilakukan dalam jumlah terbatas.
Prinsip dasar pengomposan adalah proses penguaraian senyawa‐senyawa
Karbon (C) oleh bakteri yang digunakan sebagai sumber energi bagi dirinya,
dan dengan adanya senyawa‐senyawa Nitrogen (N) pada bahan baku akan disintesa oleh bakteri tersebut menjadi protein yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya.
Ratio C/N pada suatu bahan akan menentukan tingkat kecepatan proses
pengomposan menjadi pupuk organik. Ratio C/N yang dibutuhkan oleh bakteri untuk tumbuh dan berkembang berkisar antara 30 – 40. Kadar Ratio
C/N yang terlampau tinggi memberikan indikasi bahwa kandungan Nitrogen (N) rendah, oleh karena itu bakteri akan kekurangan Nitrogen yang dapat
disintesa menjadi protein, sehingga tidak berkembang biak.
Melalui rekayasa pemisahan fraksi organik pada sampah kota yang dikenal dengan proses organic fraction separation (OFS), yaitu memisahkan sampah‐ sampah yang memiliki kandungan organik dari sampah‐sampah lainnya seperti plastik, karet, dan logam, maka Ratio C/N sampah akan mencapai angka 30, sehingga dimungkinkan untuk dilakukan proses pengomposan sampah menjadi pupuk organik secara singkat. Metoda pengomposan yang dipercepat ini menggunakan Teknologi Aerobic Digestion dengan bakteri jenis thermophilic.
Penerapan teknologi pengolahan sampah dengan rekayasa pemisahan fraksi
organik dari sampah kota akan mampu menyelesaikan persoalan pengelolaan
persampahan di kota‐kota besar, khususnya dalam meniadakan kesulitan mencari lahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah, seperti yang dihadapi oleh kota Bandung, Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Denpasar dan Makassar.
Sistem Pengelolaan Sampah Kota Besar (Kasus Kota Bandung)
Sumber timbulan sampah kota dikelompokkan berdasarkan 4 kategori, yaitu permukiman, daerah komersial dan fasilitas umum, pasar, dan jalan.
Proses pengumpulan hingga
pengangkutan ke Tempat
Pembuangan Sementara (TPS), untuk sumber dari permukiman, menjadi
tanggungjawab masyarakat, sementara pengangkutan sampah dari TPS menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan oleh Dinas Kebersihan Kota (DKK) atau Perusahaan Daerah Kebersihan Kota (PD Kebersihan).
Sementara, untuk sumber daerah komersial dan fasilitas umum, pasar, dan jalan, pengelolaan sampah dari proses pengumpulan hingga pengangkutan ke TPA seluruhnya menjadi tanggungjawab PD Kebersihan. Tabel 2.13. Timbulan Sampah Kota Besar (Contoh Kasus : Kota Bandung)
NO. Satuan TIMBULAN
1. Permukiman Lt/Org/Hari 1.980 2. Pasar Liter/Hari 256,894.76 3. Jalan Liter/Hari 268,012.00 4. Komersial & Fasilitas Umum Liter/Hari 107,778.810 a. Toko Liter/Hari 30,238.00 b. Kantor Liter/Hari 42,044.00 c. Rumah Makan Liter/Hari 9,976.43 d. Hotel Liter/Hari 7,118.00 e. Industri Liter/Hari 6,628.57 f. Rumah Sakit Liter/Hari 11,773.81 Sumber : Penelitian Timbulan dan Karakteristik Sampah Kota Bandung, LIPI & Teknik Lingkungan ITB, 1994 SUMBER Gambar 2.14. Diagram Pengelolaan Sampah Kota
Berdasarkan data Penelitian Timbulan dan Karakteristik Sampah Kota (Kasus Kota
Bandung) Tahun 1994 yang dilakukan oleh PD Kebersihan Kota Bandung
bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jurusan
Teknik Lingkungan ITB, sebagaimana Tabel 2.13. diperoleh gambaran bahwa laju
timbulan sampah dari sumber permukiman sebesar 1,98 liter/orang/hari. Sementara itu, jumlah timbulan sampah dari sumber pasar, yaitu sebesar
256.894,76 liter/hari yang berasal dari seluruh pasar di kota Bandung. Sampah
yang berasal dari jalan sebanyak 268.012 liter/hari, dan yang berasal dari daerah komersial & fasilitas umum (toko, kantor, rumah makan, hotel, industri, dan rumah sakit) sebanyak 107.778,81 liter/hari.
Komposisi sampah organik (sampah basah dan dedaunan) untuk masing‐masing
sumber, seperti pada
Gambar 2.15. Kandungan
sampah organik tertinggi berasal dari sumber sampah
pasar, yaitu dengan
kandungan sampah organik
sebesar 85,05%, disusul
berikutnya rumah makan sebesar 84,32%, hotel 79,44%, permukiman 76,82%, rumah sakit 72,69%, industri 62,28%. Sementara itu, sumber sampah dari jalan, toko, dan kantor memiliki kandungan organik di bawah 60%, yakni masing‐masing jalan 52,97%, kantor 32,57%, dan toko 25,92%.
Berdasarkan data komposisi sampah kota Bandung (Tabel 2.14), menjelaskan bahwa kandungan sampah organik dari seluruh sumber timbulan sampah, mencapai 63,56%. Dengan kata lain bahwa 63,56% dari jumlah sampah kota Bandung merupakan sampah basah yang dapat di‐dekomposisi secara biologis. 76.82 85.05 52.97 25.92 32.57 84.32 79.44 62.28 72.69 Gambar 2.15. Komposisi Organik Sampah Kota Bandung (%) Permukiman Pasar Jalan Toko Kantor Rumah Makan Hotel Industri Rumah Sakit