• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONVENSI SASTRA DAN KESUSASTRERAAN DI INDONESIA. Oleh : Drs. Syahrudin M. Staf Pengajar Politeknik Negeri Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONVENSI SASTRA DAN KESUSASTRERAAN DI INDONESIA. Oleh : Drs. Syahrudin M. Staf Pengajar Politeknik Negeri Medan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KONVENSI SASTRA

DAN KESUSASTRERAAN DI INDONESIA Oleh : Drs. Syahrudin M.

Staf Pengajar Politeknik Negeri Medan Pendahuluan

Menurut Prof. A. Teeuw (1984:100-101) istilah konvensi masuk bidang sastra dan ilmu sastra dari dunia hukum, lewat ilmu sosial : konvensi mula-mula dianggap lembaga, aturan sosial, yang disetujui oleh anggota masyarakat; kemudian masuk bidang sastra lewat orang Romantik dalam abad 19.

Keterangan Prof. A. Teeuw yang demikian ini memberi petunjuk bahwa yang dimasuki konvensi pada abad 19 itu ialah sastra di Barat, bukan sastra di Indonesia.

Lebih lanjut Prof A. Teeuw menjelaskan pula bahwa orang-orang Romantik (para seniman pengikut aliran romantisme) menentang konvensi sosial, karena mereka mau kembali ke alam tanpa konvensi yang mengikat secara sosial. Dengan mengutip Lavin (1950) Prof. A. Teeuw mengemukakan bahwa betapa kuat kita menentang adanya dan perlunya kovensi, sastra seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan-aturan dan kebebasan, mimesis dan kreasi, antara tiruan dan ciptaan, antara tehnique dan talent, limit dan license, antara convention dan invention.

Bagaimanakah halnya dengan konvensi sastra dan perkembangan kesusateraan di Indonesia selama ini?

Kovensi Sastra

Prof. A. Teeuw (1984:101) mengemukakan bahwa menurut Diderot (seorang tokoh rationalis dan ensiklopedis Perancis yang terkenal dalam abad 18), konvensi adalah persetujuan gentlemen (pertunjukan tokoh-tokoh terpercaya). Seperti yang telah dikemukakan di atas, konvensi dapat juga berarti aturan sosial yang disetujui oleh anggota masyarakat. Konvensi sastra adalah aturan sosial yang disetujui oleh anggota masyarakat yang berlaku untuk bidang sastra.

Dikemukakan oleh Prof. A. Teeuw bahwa dalam ilmu sastra modern peranan konvensi dalam perwujudan sastra dan karya sastra sangat ditekankan; bukan sebagai sistem yang baku dan ketat, tetapi sistem yang luwes dan penuh dinamika. Konvensi itu sangat berbeda-beda sifatnya; ada yang sangat umum, ada pula yang sangat khas dan spesifik, dan yang terbatas pada jenis atau golongan karya sastra tertentu. Misalnya ada konvensi umum mengenai drama dan

(2)

lirik, jadi konvensi yang cukup umum sifatnya; ada pula konvensi pantun atau sonata, yang cukup spesifik (A. Teeuw 1984:103).

Setelah kita ketahui apa yang dimaksud dengan konvensi satra, tentu perlu juga kita ketahui untuk siapakah konvensi satra itu berlaku?

Konvensi sastra sebagai aturan yang disetujui dalam satra, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat sangat khas atau spesifik berlaku bagi para sastrawan sebagai pencipta karya sastra. Dalam hal ini, berlakunya konvensi sastra bagi sastrawan tidak dapat dipaksakan oleh siapapun. Artinya para sastrawan dapat saja menolak atau mematuhi konvensi sastra yang berlaku dalam masyarakatnya dalam melakukan kegiatan mereka menciptakan karya sastra.

Karena karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan pasti memerlukan pembaca, maka konvensi sastra juga berlaku bagi pembaca karya sastra.

Menurut A. Teeuw, dalam buku Culler (1975) dengan panjang lebar dibicarakan masalah konvensi sebagai dasar pemahaman karya sastra bagi pembaca.

Pembaca karya sastra memerlukan, atau perlu memahami konvensi sastra, karena dengan memahami konvensi sastra pembaca akan terbantu dalam memahami karya satra yang dibacanya. Dalam hubungan ini, A. Teeuw (1984:103) menyatakan

“Kita (sebagai pembaca-penulis) hanya dapat memahami sebuah sajak oleh karena kita tahu apakah puisi itu dalam bahasa tertentu; oleh karena kita menguasai internalized grammar of poetry; tata puisi yang direncanakan oleh pembaca…”

Menurut A. Teeuw, Culler (1950: 116) menyatakan bahwa sajak adalah pengutaraan yang mendapat arti hanya dalam kaitannya dengan sistem konvensi yang diakrabkan oleh pembaca.

Selanjutnya yang akan dibicarakan dalam tulisan ini terutama ialah beberapa masalah yang berkenan dengan hubungan konvensi sastra dengan penciptaan karya sastra sebagai bahagian yang tak terpisahkan dari perkembangan kesusasteraan di Indonesia.

Konvensi dan Penciptaan Karya Sastra

Sejauh yang dapat diketahui, masalah yang berkenan dengan konvensi sastra dan menciptakan karya sastra Indonesia, selama ini belum banyak dibicarakan baik oleh para sarjana sastra maupun oleh sastrawan Indonesia. Kita tahu mengapa demikian keadaanya. Apakah karena masalah tersebut dianggap tidak penting atau karena hal-hal lain, tidak dapat dipastikan.

Kapankah sebenarnya sastra atau kesusasteraan Indonesia mulai lahir? Jawaban terhadap pertanyaan yang demikian ini bermacam-macam yang sudah muncul selama ini. Karena

(3)

kelahiran apa yang diisebut sebagai sastra atau kesusasteraan Indonesia terkait secara tak terpisahkan dengan bahasa Indonesia yang awal kelahirannya pun ditafsirkan secara berbeda-beda. Hal itulah yang menyebabkan selama ini mucul bermacam-macam pendapat mengenai awal kelahiran sastra atau kesusasteraan Indonesia.

Apabila sajak-sajak (puisi) yang dilakukan oleh Muhammad Yamin menjelang akhir tahun 1920-an dapat diterima sebagai bahagian dari pertanda awal munculnya sastra atau kesusasteraan Indonesia, maka dapatlah dikatakan bahwa awal lahirnya sastra atau kesusasteraan Indonesia sebahagian ditandai oleh penolakan terhadap konvensi penciptaan puisi (pantun dan syair) yang berlaku di Nusantara. Sebab sajak-sajak (puisi) yang diciptakan oleh Muhammad Yamin berbentuk sonata, bukan berbentuk pantun dan syair. Sonata adalah salah satu bentuk puisi Barat yang penciptaannya dilakukan menurut konvensi sastra Barat. Penolakan terhadap konvensi sastra yang berlaku untuk penciptaan pantun atau syair yang dilakukan oleh Muhammad Yamin dapat juga disebut pembaharuan. Sebab Muahammad Yamin melakukan sesuatu yang baru dalam menciptakn puisi. Baru dalam arti tidak sama dengan yang lama, yaitu penciptaan pantun dan syair yang berlaku sebelumnya dalam masyarakat Melayu di Nusantara.

Selain itu, penciptaan puisi yang dilakukan oleh Muhammad Yamin dapat juga disebut meniru penciptaan sonata Barat. Oleh karena itu dapat jugalah disebutkan bahwa awal lahirnya sastra Indonesia, sebahagian ditandai oleh penulisan puisi (sonata) Barat.

Pada masa selanjutnya, setelah penulisan sonata yang dipelopori oleh Muhammad Yamin di Nusantara, bermunculanlah puisi-puisi yang diciptakan oleh para penyair dengan tidak lagi atau dengan menolak konvensi penciptaan puisi lama (pantun atau syair). Puisi-puisi yang diciptakan oleh para penyair dengan cara yang demikian itu, kemudian dinamakan antara lain oleh Sutan Takdir Alisyahbana, puisi baru.

Setelah masa pembaharuan penulisan puisi yang dipelopori oleh Muhammad Yamin menjelang akhir tahun 1920-an, dengan menolak konvensi sastra dalam penciptaan puisi (pantun dan syair), tidak lama kemudian muncullah Angkatan Pujangga Baru pada awal tahun 1930-an. Dengan munculnya Angkatan Pujangga Baru, awal lahirnya kesusasteraan Indonesia makin berkembang keadaanya terutama dalam penciptaan puisi yang mengingkari konvensi sastra untuk penciptaan puisi (pantun dan syair).

Malahan masalah seorang satrawan terkemukan pada masa itu, Rustam Effendi, melalui salah satu puisi ciptaanya dengan terang-terangan mengungkapkan sikapnya yang sengaja mengingkari konvensi sastra yang sudah lama berlaku pada masa sebelumnya. Pengingkarannya terhadap konvensi sastra tersebut diungkapkan oleh Rustam Effendi melalui bait-bait puisi ciptaanya yang berbunyi sebagai berikut :

Bukan beta bijak berperi

(4)

Bukan beta budak negeri Musti menurut undangan mair.

Sarat saraf saya mungkiri, Untai rangkaian seloka lama, Beta buang beta mungkiri

Sebab laguku menurut sukma

Dengan mengamati kedua bait puisi Rustam Effendi ini kita dapat melihat meskipun melalui isi kedua bait puisi ini Rustam menyatakan pengingkarannya terhadap konvensi sastra lama untuk penulisan puisi (pantun, syair dan seloka), tetapi sebenarnya bentuk dan persajakan kedua bait puisi Rustam Effendi ini masih menunjukkan kesetiannya sampai batas tertentu terhadap konvensi sastra lama yang mengatur jumlah larik dan persajakannya dalam bait-bait pantun. Kita dapat melihat, sebagaimna lazimnya bentuk pantun, bait puisi Rustam Effendi ini masih terdiri dari empat larik. Dan persajakan-nya pun masih mengikuti pola persajakan pantun, yaitu pola persajakan ab ab. Tetapi berbeda dari bentuk bait pantun yang larik pertama dan kedua ditampilkan sebagai sampiran, pada kedua bait puisi Rustam Effendi ini larik pertama dan kedua tidak ditampilkan sebagai sebagai sampiran. Semua larik dalam kedua bait puisi Rustam Effendi ini ditapilkan sekaligus sebagai isi. Sedang konvemsi sastra yang berlaku untuk penciptaan pantun mengatur bahwa larik ketiga dan keempatlah dalam sebait pantun yang ditampilkan sebagai isi.

Dalam melakukan penolakan atau pengingkaran terhadap konvensi sastra lama yang diberlakukan untuk menulis puisi (pantun dan syair) Muhammad Yamin dan Rustam Effendi berbeda sekali. Muhammad Yamin melakukan penolakan dan pengingkaran terhadap konvesi sastra lama dengan meniru dan mengadopsi konvensi sastra Barat dalam hal ini penciptaan sonata. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad Yamin menolak atau mengingkari sama sekali konvensi sastra lama dalam hal penciptaan puisi (pantun dan syair), dan sebagai penggantinya dia ambil dan pergunakan konvensi sastra Barat yang berkenaan dengan penciptaan sonata. Sedangkan Rustam Effendi sebagaimana dibuktikan oleh kedua bait puisinya yang diatas, boleh dikatakan melakukan penolakan atau pengingkaran terhadap konvensi sastra lama dengan cara yang masih mengandung kompromi. Artinya, secara terbatas Rustam Effendi masih merasa perlu melakukan kompromi dengan konvensi satra lam dalam hal penciptaan puisi. Dan dia pun tidak menggunakan sepenuhnya konvensi sastra Barat seperti yang dilakukan oleh Muhammad Yamin untuk menggantikan sama sekali konvensi sastra lama dalam kegiatannya menciptakan puisi baru yang menjadi bahagian dari awal berkembangnya kesusasteraan Indonesia.

Pujangga Baru sebagai suatu angkatan yang berusaha mempelopori gerakan atau aliran dalam kesusasteraan pada awal tahun 1930-an berangkat dari keyakinan seperti yang

(5)

dikemukakan oleh tokoh-tokoh pemukanya (Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisyahbana) melalui prospectus penerbitan majalh Pujangga Baru pada tahun 1933, bahwa bangsa kita sudahlah menjejak zaman baru yakni zaman kebangunan.

Ketiga tokoh tersebut juga menyatakan : kami yakin seyakin-yakinnya, bahwa semangat kebangunan inilah yang kelak akan menjelmakan masyarakat Indonesia sempurna, yang akan dapat dibandingkan di sisi negeri yang lain di muka bumi ini.

Mengenai kesusasteraan, mereka menyatakan : Bangkitnya kesusasteraan Indonesia. Di tengah-tengah kebangunan sekarang seni bangsa kita pada khususnya sekarang ini, makin sehari makin ketara kependudukan kesusasteraan. Satu persatu timbul pujangga dan pengarang menyajikan lagunya, selaras dengan getar semangat sekelilingnya : roman, kumpulan sajak, kupasan, pemandangan kesusasteraan, makin sehari makin banyak memperhatikan dirinya. (Sumardjo :245-246-247)

Demikianlah antara lain pernyataan yang dikemukakan oleh ketiga tokoh pelopor Pujangga Baru tersebut. Dari pernyataan mereka yang demikian dapatlah dipahami bahwa tokoh-tokoh Pujangga Baru tersebut menginginkan bangunnya kesusasteraan Indonesia. Bangun sebagai sebagai kesusasteraan yang tidak sama dengan keadaan kesusasteraan yang sejak lama(sebelum munculnya Pujangga Baru) sudah terdapat di Nusantara ini. Kesusasteraan yang mereka maksud itu tentu bukan kesusasteraan yang masih mematuhi konvensi sastra lama. Dengan perkataan lain, konvensi sastra lama, seperti misalnya konvensi sastra Melayu yang berlaku sebelum tahun 1930-an, sebaiknya tidak dibiarkan lagi mengatur penciptaan karya sastra agar tercipta kesusasteraan baru.

Selanjutnya dapat dilihat bahwa Armijn Pane sebagai salah seorang tokoh penting Pujangga Baru pada tahun 1940 menyiarkan sebuah novel karyanya yang berjudul Belenggu.

Menurut pendapat Prof. Dr. A. Teeuw (1953:108-109), novel karya Armijn Pane tersebut, cerita lepas dari masa Indonesia-purba, lepas dari masalah Timur dan Barat, lepas dari perkawinan-perkawinan ada dan pertentangan-pertentangan tua dan muda. Lebih lanjut A. Teeuw menyatakan bahwa novel Belenggu menurut bentuk dan isinya cerita ini bersifat baru. Suatu cerita roman yang berdasarkan kepuasan jiwa, yang tidak memperkatakan hal-hal dan peristiwa-peristiwa di luar badan pelaku-pelakunya, akan tetapi yang mengupas perjuangan batin serta pikiran pelakunya.

Mengenai Armijn Pane sendiri, baik sebagai pengarang novel maupun sebagai penyair, A. Teeuw berpendapat bahwa bolehlah dia disebutkan yang kurang mengandung sifat-sifat Indonesia lama, dialah yang lebih bersifat Barat antara keempat pujangga (Rustam Effendi, St. Takdir Alisyahana, Amir Hamzah dan Armijn Pane) sebagai seniman dia lebih terlepas dari masa lampau… (A. Teeuw 1953: 101-102).

(6)

A. Teeuw (1953:103) mengatakan bahwa sebagai penyair dapatlah Armijn Pane dinamakan pelopor angakatan baru penyair Indonesia, yang lebih-lebih lagi memperlihatkan terbongkarnya, terlepasnya mereka (para sastrawan Pujangga Baru) dari urat-urat masa lampau.

Berdasarkan beberapa pendapat A. Teeuw yang telah dikemukakan di atas, dapatlah dikatakan bahwa Armijn Pane sebagai salah seorang tokoh sastrawan Pujangga Baru tidak lagi mengikuti konvensi sastra lama dalam menciptakan karya sastra disumbangkannya untuk mendukung perkembangan baru kesusasteraan Indonesia di zaman Pujangga Baru (1933-1943).

Bagaimana halnya dengan tokoh (Pujangga Baru yang lain, yaitu Amir Hamxah, yang di gelar oleh H.B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, dan juga hingga saat ini masih di akui sebagai salah seorang penyair Indonesia terkemuka. Menurut A. Teeuw (1953:88) Amir Hamzah penyair sejati yang terpenting antara golongan Pujangga Baru masa sebelum perang.

Banyak orang yang berpendapat bahwa sebagai seorang penyair Amir Hamzah jelas ke Melayuan dan ke Islamannya. Hal itu kelihatan pada sajak-sajak atau puisi yang diciptakannya. Menurut A. Teeuw (1953:82) Amir Hamzah yang dididik dalam lingkungan yang kukuh kepada adat lama serta taat kepada ibadat Islam, sehingga boleh dikatakan bahwa dia hidup pada sumber kebudayaan lama. Lebih lanjut A. Teeuw menyatakan bahwa pada Amir Hamzah perumpamaan-perumpamaan serta perlambangan turun-temurun telah menjadi darah daging (1953:86).

Hal-hal yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa meskipun Amir Hamzah tergolong dalam Pujangga Baru yang melakukan gerakan untuk menumbuhkan kesusasteraan baru di Indonesia, tetapi dia tidak menolak sama sekali konvensi sastra lama dalam menciptakan karya sastra (puisi). Dalam hubungan ini, Amir Hamzah menyatakan : kita dapat menjadi pujangga baru, meskipun masih berurat berakar pada Indonesia, yakni Indonesia purba kala yang oleh Takdir banyak sedikitnya diejek sebagai zaman jahiliah (Teeuw, 1953:81).

Sutan Takdir Alisyahbana terkenal sebagai pelopor terkemuka gerakan Pujangga Baru yang berambisi untuk mengembangkan kesusasteraan baru di Indonesia. Dia banyak mengarang novel dan juga menulis sajak serta esai sastra. Menurut A. Teeuw (1953:81) Takdir sunguh-sungguh bersifat Barat dan dalam teori-teorinya mengatakan, bahwa seniman muda Indonesia lebih dahulu harus menelan kebudayaan Barat (kebudayaan internasional katanya) sebelum kembali ke tanah airnya sendiri lagi memperoleh ilham untuk hal yang sungguh-sungguh baru. A. Teeuww juga menyatakan, Alisyahbana amat keras dan bersifat tetap sekali pada pendiriannya (1953:66).

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, kiranya dapat dibuat hipotesis. Yaitu hipotesis yang mengemukakan bahwa dalam perkembangan kesusasteraan di Indonesia sejak masa Muhammad Yamin (menjelang akhir tahun 1920-an) sampai kemasa terjadinya gerakan Pujangga Baru (1933-1943) yang berambisi menumbuhkan kesusasteraan baru di negeri ini, banyak muncul tokoh sastrawan yang mencoba menolak dan mengingkari konvensi sastra lama, dan ada di antaranya yang sekaligus mencoba mengadopsi konvensi sastra

(7)

Barat dalam kegiatan mereka menciptakan karya sastra. Bersamaan dengan itu pula tokoh-tokoh sastrawan yang masih mengikuti konvensi sastra lama sampai pada batas tertentu dalam menciptakan karya sastra.

Selanjutnya gerakan Pujangga Baru di susul (digantikan) oleh apa yang popular dikenal sebagai Angkatan 45 dengan penyair Chairil Anwar yang disebut-sebut sebagai pelopornya yang terkemuka.

Meskipun tidak secara tegas dikaitkan gerakan Angkatan 45, pada bulan Oktober 1950 dalam majalah Siasat yang terbit di Jakarta dikemukakan Surat Kepercayaan Gelanggang yang dapat dipandang sebagai pernyataan sikap para sastrawan (seniman) pada masa itu. Surat Kepercayaan Gelanggang diawali dengan pernyataan yang mengatakan : “Kami adalah ahli waris yang syah dari kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”. Selain itu ada pula pernyataan yang mengatakan: “Kalau kami bicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat”. Surat Kepercayaan Gelanggang dengan pernyataan yang mengatakan : “Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman”.

Dari ketiga kutipan Surat Kepercayaan Gelanggang yang dikemukakan di atas dapatlah diperoleh pengertian bahwa para sastrawan (seniman) yang setuju dan yakin dengan isi Surat Kepercayaan Gelanggang, tidak ,merasa perlu lagi mengikat diri mereka sepenuhnya dengan hasil kebudayaan lama, tentunya termasuk konvensi sastra lama, karena mereka memandang diri mereka sebagai ahli waris yang syah dari kebudayaan dunia dan mereka lebih memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Namun demikian sikap yang demikian itu tidak berarti bahwa mereka mengingkari sama sekali secara mutlak segala sesuatu yang sudah lebih dahulu ada dalam masyarakat mereka (seperti misalnya konvensi sastra lama). Sebab mereka mengetahui (menyadari) adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman (satrawan).

Barangkali perlu juga dicermati bahwa disebut sebagai kebudayaan dunia dalam Surat Kepercayaan Gelanggang itu, terutama adalah kebudayaan Barat, yang disebut kebudayaan internasional oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Kalau memang benar demikian halnya, dapat pulalah dikatakan bahwa para seniman (sastrawan) yang menyetujui isi Surat Kepercayaan Gelanggang, selain tidak mau mengikat diri mereka dengan kebudayaan lama, mereka juga mengarahkan orientasi mereka kepada kebudayaan Barat.

Dalam tahapan-tahapan perkembangan kesusasteraan di Indonesia sampai pada akhir abad 20, tidak terlalu sulit menemukan pengaruh sastra Barat (yang berasal dari Eropa dan Amerika) terhadap penciptaan berbagai karya sastra di Indonesia. Munculnya drama dan novel-novel Indonesia yang dapat digolongkan ke dalam drama atau novel-novel absurd ikut membuktikan kebenaran hal tersebut.

(8)

Penutup

Sebagai penutup dapat dikemukakan kesimpulan sementara bahwa sepanjang terjadinya proses perkembangan baru dalam kesusasteraan di Indonesia, sejak masa Muhammad Yamin hingga akhirnya abad 20, banyak tokoh-tokoh satrawan di Indonesia baik secara sadar maupun secara tidak sadar menolak konvensi satra lama dan mengadopsi sastra Barat dalam menciptakan karya sastra yang diakui sebagai sastra Indonesia. Namun demikian tidak pula sedikit tokoh-tokoh satrawan yang sampai pada batas tertentu masih dapat dilihat kesetiannya kepada konvensi satra yang sejak ama sudah hidup di Nusantara.

Terjadinya penolakan atau pengingkaran terhadap konvensi sastra lama itu, barangkali terutama disebabkan oleh tidak jelasnya keberadaan konvensi sastra yang diduga sejak lama sudah terdapat di Nusantara, seperti misalnya berbagai konvensi sastra etnik yang sejak masa pra-kolonial sudah terdapat di Nusantara.

Selain itu, penolakan atau pengingkaran terhadap konvesi sastra yang sejak zaman dahulu sudah terdapat di Nusantara, mudah terjadi karena sejak munculnya kesadaran kebangsaan muncul pulalah keinginan atau ambisi para tokoh satrawan untuk bergegas menciptakan kesusasteraan baru di Indonesia.

Daftar Bacaan

Culler, Jonathan. 1975. Struturalist Poetics, Atructuralism, Linguistics and the Study of Literature. London : Routledge and Kegan Paul

Levin, Harry. 1950. “Notes on Convenstion” Dalam Harry Lavin (ed), Perspectives of Criticsm. Havard : University Press; 55-83

Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia. Bandung : Alumni.

Teeuw. 1953. Pokok Dan Tokoh Dalam Kesusasteraan Indonesia Baru. Jakarta : Jajasan Pembangunan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar pada mata pelajaran sosiologi siswa kelas XI IPS 1 SMA Negeri 5 Surakarta

Pada Pasal 45 KUHP mendefinisikan anak adalah yang orang belum dewasa atau belum berumur enam belas tahun. Oleh karena itu, apabila seseorang tersangkut dalam

bahwa peran serta masyarakat dalam pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah perlu diatur dalam wadah Penyelenggaraan Konsultasi

Tanpa informasi internal maupun informasi eksternal, sulit bagi para menajer untuk mengambil berbagai keputusan dalam perusahaan. Informasi internal harus disiapkan sendiri

Hal ini merujuk pada al-Qur’an yang menyatakan bahwa pada diri Rasul terdapat uswah (suri tauladan) yang baik. 2) Ulama Ushul Fikih berpendapat bahwa sunnah adalah segala

STUDI METODE KONSERVASI EXSITU PADA BUAYA MUARA (Crocodylus porosus) DI DESA TERITIP KECAMATAN TERITIP KABUPATEN BALIKPAPAN KALIMANTAN

[r]

Dari hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan proses suatu tanaman maka jumlah inokulum harus disesuikan dengan jumlah konsentrasi