• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. dan tanah, yang membentuk senyawa fluorida bersama dengan elemen lain seperti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. dan tanah, yang membentuk senyawa fluorida bersama dengan elemen lain seperti"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Fluorida merupakan komponen alami dari lapisan kerak bumi dan tanah (ATSDR, 2003). Fluor adalah unsur penting dari mineral yang terdapat di batuan dan tanah, yang membentuk senyawa fluorida bersama dengan elemen lain seperti natrium fluorida (Ayoob dan Gupta, 2006; Perumal et al., 2013). Natrium fluorida (NaF) sering ditambahkan ke pasokan air minum, berbagai produk gigi, pasta gigi dan larutan kumur untuk mencegah kerusakan gigi (ATSDR, 2003). Sumber fluorida di alam sangat banyak. Sejumlah kecil fluorida ada di air, udara, tumbuhan, dan hewan (ATSDR, 2003). Fluorida secara alami ditemukan pada semua air seperti air laut, danau dan sungai pada konsentrasi tertentu (WHO, 1994). Fluorida juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan seperti sereal, teh, ikan laut, daging, telur, dan buah-buahan. Namun sumber utama asupan unsur ini adalah air minum (WHO, 2004). Air dengan kadar tinggi fluorida terdapat di pegunungan dan di daerah yang secara biologis terdapat endapan yang berasal dari laut (WHO, 1994).

Konsentrasi fluorida dalam air tanah di beberapa negara berbeda-beda, seperti kadar fluorida di Cina adalah 8 mg/L, kadar fluorida di air sumur Kanada sekitar 3,3 mg/L. Di Amerika Serikat, 0,2% dari populasi terpapar fluorida lebih dari 2,0 mg/L. Di beberapa negara Afrika tingkat fluorida dalam air minum bisa sangat tinggi (misalnya, 8 mg/L di United Republic of Tanzania) (WHO, 2004). Pada studi pendahuluan bulan September 2014, peneliti melakukan pemeriksaan kadar fluorida beberapa sampel air minum di Yogyakarta. Hasilnya kadar

(2)

fluorida air UGM (0,351 mg/L), air minum isi ulang RO (<0,027 mg/L), air sumur (0,298 mg/L) dan air mineral Aqua® (0,330 mg/L). Hasil ini masih dikategorikan normal, karena kadar yang dianjurkan adalah < 1,5 mg/L (BLKY, 2014). Nilai 1.5 mg/L fluor di dalam air minum telah direkomendasikan oleh WHO (1999). Depkes (2010) telah menetapkan nilai 1.5 mg/L fluorida sebagai nilai maksimum di dalam air minum. Menurut Hodge dan Smith (1965) Certainly Lethal Dose (CLD) pada manusia dewasa adalah 5-10 g NaF atau 32-64 mg F/kg BB, serta pada anak-anak 2,5 g NaF. Safely Tolerated Dose (1/4 CLD) dewasa adalah 1,25- 2,5 g NaF atau 8-16 mg/kg BB F.

Reputasi fluorida masih dianggap baik sampai tahun 1990-an karena dianggap dapat mencegah karies gigi. Fluorida menjadi toksik karena efek buruk pada konsentrasi tinggi dalam populasi manusia (Nayak et al., 2009). Pada masyarakat yang tinggal di daerah yang terkontaminasi fluorida, ditemukan fluorosis berupa kerusakan tidak hanya pada gigi dan masalah tulang, tetapi juga pada sistem organ lain, termasuk otak dan fungsinya (WHO, 1994; Perumal et al., 2013). Paparan fluorida dalam jangka waktu lama dan konsentrasi tinggi menyebabkan perubahan patologis jaringan dan organ, terutama tulang, gigi, struktur dan fungsi otot rangka, otak dan sumsum tulang belakang (Mullenix et al., 1995; Vani dan Reddy, 2000). Efek buruk tersebut dapat bervariasi, dari fluorosis gigi ringan (keadaan gigi menjadi kekuningan atau kecoklatan dan terdapat bintik-bintik pada email gigi) hingga fluorosis skeletal, seiring dengan meningkatnya kadar dan lamanya paparan. Oleh karena itu, asupan fluorida

(3)

haruslah dibatasi agar dapat mencegah karies namun tidak menimbulkan terjadinya fluorosis (WHO, 2002; Fawell et al., 2006).

Senyawa fluorida diserap di lambung dan usus, didistribusikan melalui plasma ke jaringan dan dikeluarkan mealui urin, keringat, dan feses. Konsentrasi tinggi dalam urin mendukung diagnosis klinis fluorosis (Nayak et al., 2009). Banyak studi yang menunjukkan akumulasi fluorida di berbagai jaringan tubuh dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Zang et al., 2008; Sharma et al., 2009). Fluorida telah ditemukan dapat menembus sawar darah otak dan dengan mudah berakumulasi dalam jaringan otak (Mullenix et al., 1995). Asupan harian natrium fluorida dalam jangka waktu lama dapat menghasilkan efek neurotoksik (Mullenix et al., 1995; Paul et al., 1998). Jika konsentrasi mencapai tingkat yang sangat tinggi pada pasien dengan fluorosis, fluorida menghasilkan efek berbahaya di otak dan kecerdasan pada anak-anak yang tumbuh di daerah endemik fluorida (Mullenix et al., 1995; Tang et al., 2008). Fluorosis kronis tampaknya memiliki peran dalam Alzheimer's Disease (AD), karena penyakit ini lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah yang terkontaminasi tinggi fluorida (Nordberg, 2001).

Efek toksik pada SSP (Sistem Saraf Pusat) terjadi setelah konsentrasinya mencapai tingkat adekuat di otak. Pemberian kronis NaF (2,1 ppm) di dalam air minum mengakibatkan kerusakan hippocampus, sel Purkinje cerebellum dan pembentukan plak beta-amyloid (kelainan pada penyakit Alzheimer) pada otak tikus (Varner et al., 1998). Peningkatan stres oksidatif, peroksidasi lipid, dan penurunan aktivitas enzim antioksidan ditemukan dalam otak tikus yang terpapar

(4)

fluorida 100 ppm melalui air minum (Kaur et al., 2009). Baru-baru ini, paparan fluorida 100, 200 ppm telah ditemukan dapat meningkatkan peroksidasi lipid dan mengurangi aktivitas enzim antioksidan dalam 3 generasi tikus. Dengan demikian, stres oksidatif yang disebabkan induksi fluorida dapat berperan sebagai mediator dalam toksisitas fluorida di otak (Basha et al., 2011).

Fluorida memiliki efek pada sintesis protein di otak, menyebabkan perubahan degeneratif dan hilangnya neuron di berbagai tingkat grey matter dan perubahan sel-sel Purkinje di cortex cerebelli. Selain itu fluorida juga menyebabkan pembengkakan mitokondria, retikulum endoplasma, pengelompokan granular kromatin, kerusakan membran nuklear dan penurunan jumlah sinapsis, vesikel sinaptik, serta kerusakan pada membran sinaptik, mitokondria dan mikrotubulus (Li Du et al., 1992; Shivarajashankara et al., 2002). Fluorida terbukti menginduksi stres oksidatif yang mengarah ke peningkatan ROS, peroksidasi lipid, dan perubahan dalam aktivitas enzim antioksidan, serta menghambat glikolisis, sehingga menyebabkan penurunan produksi ATP seluler dan gangguan dalam metabolisme sel (Agalakova dan Gusev, 2012). Fluorida juga menyebabkan perubahan ekspresi gen apoptosis dan menyebabkan stres retikulum endoplasma yang menyebabkan penghambatan sintesis protein (Agalakova dan Gusev, 2012).

Pemberian natrium fluorida 10 mg/kg/hr/oral selama 3 bulan menghasilkan perubahan degeneratif pada cerebellum tikus, terutama sel Purkinje, seperti perubahan lapisan sel, perubahan struktur di retikulum endoplasma, komplek golgi dan pembengkakan mitokondria (Afifi, 2009). Tikus albino yang diinduksi

(5)

sodium fluorida 12 mg/kg BB, mengalami degenerasi sel Purkinje, penyusutan neuron, perubahan pada mitokondria, akumulasi dari apoptosis sel granular (El-Dien et al., 2010). Penelitian Al-Hayani et al. (2013) menunjukkan penurunan ketebalan dan penyusutan lapisan molekular, lapisan Purkinje serta lapisan granular pada tikus Albino dewasa yang diinduksi NaF 20 mg/kg/hari. Pemberian NaF 10 mg/kg BB selama 21 hari juga menyebabkan pembesaran sel Purkinje dan abnormalitas dari sel Purkinje (Akrinrinade et al., 2013).

Paparan 500 ppm natrium fluorida di air minum selama 60 hari dapat menyebabkan gangguan locomotor behavior dan learning and memory (Ekambaram dan Paul, 2001). Pada tikus dan mencit yang diinduksi dengan NaF secara kronik, didapatkan penghambatan locomotor behavior, Spontaneous Motor Activity (SMA) dan kinerja rotarod tikus dewasa (Ekambaram dan Paul, 2001; Banji et al., 2013; Bhatnagar et al., 2002). Pemberian NaF 10 mg/kg BB selama 3 bulan memberikan efek berupa kelemahan gerakan otot, tremor, hilangnya keseimbangan, serta gangguan cara berjalan (Afifi, 2009). Penelitian Ekambaram dan Paul (2001), menunjukkan adanya perubahan dalam aktivitas neurotransmiter, metabolisme, reseptor, dan menyebabkan penghambatan aktivitas asetilkholinesterase (AchE) pada otak tikus yang diinduksi 500 ppm fluorida dalam air minum selama 60 hari pada tikus dewasa. Temuan ini menunjukkan bahwa fluorida memiliki potensi untuk menghasilkan gangguan perilaku dengan merusak fungsi neurotransmiter yang bertanggung jawab untuk aktivitas perilaku.

Cerebellum berperan penting dalam pengaturan aktivitas dan koordinasi motorik (Mauk dan Thach, 2008; Guyton dan Hall, 2011). Neuron cortex

(6)

cerebellum terdiri atas lima tipe sel yaitu : sel golgi, sel Purkinje, sel basket, sel granullar, dan sel stellata (Ganong, 2005; Hendelman, 2006; Hall, 2011). Dalam hal pengaturan koordinasi motorik, sel Purkinje memiliki peranan fungsional yang utama, selain karena jumlahnya yang paling banyak pada tubuh manusia, juga menjadi pusat penjalaran sinyal di cortex cerebellum (Hendelman, 2006; Guyton dan Hall, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dosis natrium fluorida yang dapat menimbulkan efek neurotoksik khususnya pada perubahan jumlah sel Purkinje dan gangguan koordinasi motorik. Dalam hal ini, peneliti akan melakukan penelitian pada tikus dengan memberikan pemberian air minum secara ad libitum (0,351 mg/L F) dan memberikan natrium fluorida peroral menggunakan sonde dengan dosis subkronik 5 mg/kg BB, 10 mg/kg BB dan 20 mg/kg BB.

I.2. Perumusan Masalah

Natrium fluorida merupakan neurotoksika yang dapat menyebabkan kerusakan di berbagai area di otak, termasuk cerebellum yang berfungsi melakukan koordinasi motorik. Gangguan yang disebabkan natrium fluorida pada cerebellum dapat berupa tremor, gerakan tidak stabil dan tidak terorganisasi akibat kerusakan dan apoptosis sel Purkinje cerebellum.

Kerusakan dan kematian sel Purkinje cerebellum oleh natrium fluorida dikarenakan sel mengalami stres oksidatif akibat akumulasi ROS. Natrium fluorida juga menurunkan aktivitas enzim antioksidan seperti SOD, katalase, GSHpx, GSH.

(7)

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah koordinasi motorik tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis yang lebih tinggi akan mengalami gangguan yang lebih besar dibandingkan dengan yang terpapar natrium fluorida dengan dosis yang lebih rendah?

2. Apakah jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis yang lebih tinggi akan menimbulkan penurunan lebih banyak dibandingkan dengan yang terpapar natrium fluorida dengan dosis yang lebih rendah?

3. Apakah ada hubungan antara jumlah sel Purkinje cerebellum dan gangguan koordinasi motorik tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida?

I.3. Tujuan Penelitian

I.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui berapa besar perubahan jumlah sel Purkinje cerebellum dan gangguan koordinasi motorik tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis yang berbeda-beda (5 mg/kg BB, 10 mg/kg BB dan 20 mg/kg BB).

I.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengukur kemampuan koordinasi motorik tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis pemberian yang berbeda-beda.

(8)

2. Menghitung jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis pemberian yang berbeda-beda.

3. Mengkaji korelasi antara jumlah sel Purkinje cerebellum dengan koordinasi motorik tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis pemberian yang berbeda-beda.

I.4. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang perubahan jumlah sel Purkinje cerebellum dan gangguan koordinasi motorik pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang diinduksi natrium fluorida dengan dosis yang berbeda-beda, belum pernah diteliti. Perbedaan dengan penelitian lain adalah penghitungan kerusakan sel Purkinje cerebellum menggunakan metode stereologi dan pemberian natrium fluorida dengan dosis 5 mg/kg BB, 10 mg/kg BB dan 20 mg/kg BB selama 30 hari. Penelitian yang berkaitan antara lain :

1. Afifi (2009) dengan judul penelitian ―Effect of sodium fluorida on cerebellar cortex of adult albino rats and the possible protective role of vitamin B6: a light and electron microscopic study‖. Penelitian ini menggunakan 20 tikus albino dewasa dengan berat 180-200 gr. Penelitian ini mengevaluasi dosis natrium fluorida 10 mg/kg/hari melalui per oral dengan gastric tube dan dilakukan selama 3 bulan. Pada penelitian ini didapatkan hasil penurunan aktivitas, kelemahan otot, tremor, hilangnya keseimbangan, berjalan seperti mabuk, dan pada akhir percobaan terjadi paralysis hind limbs. Pada pemeriksan dengan mikroskop transmisi elektron tampak perubahan degeneratif pada cerebellum,

(9)

terutama pada sel Purkinje terjadi perubahan lapisan sel, perubahan struktur di retikulum endoplasma dan komplek golgi, pembengkakan mitokondria, marginasi dari nuklear kromatin, dan gangguan mielinisasi. Perubahan ini dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin B6.

2. El-Dien et al. (2010) dengan judul penelitian ‖Effect of fluorida on rat cerebellar cortex : light and electron microscopic studies‖. Penelitian ini menggunakan 40 tikus betina dewasa berat 200-350 g yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok kontrol diberi air distilasi setiap hari dengan gastric tube dan kelompok perlakuan diberikan secara oral dengan natrium fluorida yang dilarutkan dalam air destilasi dengan dosis 12 mg/kg BB selama 2 bulan. Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron didapatkan hasil perubahan struktur sel Purkinje dengan mengalami penyusutan badan sel Purkinje, perubahan lapisan sel Purkinje, pelebaran lapisan glandular, perubahan pada mitokondria, akumulasi dari sel granular apoptosis, peningkatan infolding pada nuclear envelope dan sitoplasma.

3. Al-Hayani et al. (2013) dengan judul penelitian ―Does vitamin E protect against sodium fluorida toxicity on the cerebellar cortex of albino rats‖ Penelitian ini menggunakan 40 tikus Wistar albino jantan, berat 250-350 g, yang terbagi menjadi 4 grup diberikan 400 mg vitamin E menjadi 5 ml/hr corn oil melalui oral intubation dan 20 mg/kg natrium fluorida secara oral dengan gastric tube diberikan setiap hari selama 6 minggu. Pada pemeriksaan mikroskopik dan immunohistokimiawi didapatkan hasil beberapa sel Purkinje mengalami penyusutan dan penurunan ketebalan lapisan molekul, serta terjadi

(10)

perubahan pada cortex cerebri. Vitamin E memiliki efek perlindungan pada perubahan ini.

4. Sarkozi et al. (2012), dengan penelitian berjudul ―General and Behavioral Toxicological effects of subchronic inorganic arsenic and fluorida treatment in adult Wistar rats‖. Penelitian ini menggunakan 48 ekor etikus Wistar dewasa muda umur 7 minggu, berat 160-200 g, yang dibagi menjadi 4 grup yang diberi sodium (meta)arsenite (NaAsO2, 10 mg/kg BB; As), Natrium fluorida (5 mg/kg

BB) dan diberikan selama 6 minggu. Hasil penelitian menunjukkan penurunan BB setiap minggu, serta penurunan nafsu makan dari minggu kedua. Penelitian ini juga memperlihatkan penurunan aktivitas di kandang, bulu tikus menjadi kasar dan kering, serta pada pemeriksan rotarod tidak ada perubahan yang signifikan.

5. Ekambaram dan Paul (2001), dengan penelitian berjudul ―Calcium preventing locomotor behavioral and dental toxicities of fluorida by decreasing serum fluorida level in rats‖. Penelitian ini menggunakan tikus Wistar betina dewasa berumur 4-5 bulan, dan berat 130-150 g. Natrium fluorida 500 ppm di air minum dan kalsium 0,1/100 g diberikan secara intubasi oral selama 60 hari. Penelitian ini menunjukkan hasil penurunan nafsu makan, peningkatan konsentrasi fluorida serum, penghambatan Asetilkolinesterase, penurunan aktivitas kolinesterase, penekanan aktivitas motorik spontan, penurunan kinerja rotarod dan lesi pada gigi.

(11)

I.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Memberi informasi pada masyarakat, tentang pengaruh penggunaan natrium fluorida dalam air minum terhadap kesehatan khususnya pada otak dan yang berkaitan dengan gerakan dan koordinasi motorik.

2. Menjadi dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan pengaruh natrium fluorida terhadap cerebellum.

3. Menjadi dasar teori untuk penelitian pada manusia terkait dengan pengaruh natrium fluorida pada otak dan koordinasi motorik.

Referensi

Dokumen terkait

Refleksi: Siswa mampu menggali informasi tentang perkembangan teknologi produksi, komunikasi dan transportasi serta membandingkan keunggulan dan kelemahan alat

Perubahan Sosial, 2003), hal.. Upacara kematian adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah keluarga untuk memberikan peringatan terakhir kepada orang yang dikasihinya

Beberapa hambatan dalam menerapkan komunikasi pemasaran digital sebagaimana dijelaskan oleh Bostanshirin (2014) adalah sebagai berikut. a) Permasalahan integrasi, dimana

peningkatan kompetensi kepala sekolah sebagai administrator pendidikan di sekolah. Yang menjadi anggota populasi adalah seluruh kepala sekolah menengah atas , baik sekolah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sistem yang cocok untuk institusi pendidikan tempat pengambilan data, menganalisis data yang diambil, serta

rawat gabung, (2) perawat perlu memiliki pengetahuan yang tinggi tentang pengertian, tujuan, manfaat, dan kegiatan- kegiatan rawat gabung, (3) perawat perlu

Di tanah Ultisol yang belum pernah ditanami kedelai (pH 4,2 dan kejenuhan Al diturunkan hingga 20%), aplikasi Iletrisoy-2 yang dikemas dalam bentuk pelet dapat merangsang

8 Dengan demikian, Sakramen Perjamuan tidak hanya untuk mereka yang telah baptis dewasa atau sidi, tetapi juga bagi anak-anak yang telah dibaptis dan telah