BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Hemofilia adalah gangguan koagulasi yang disebabkan defisiensi kongenital faktor koagulasi di dalam darah. Penyakit ini diturunkan secara X-linked recessive dan bermanifestasi sebagai perdarahan spontan seperti hemarthrosis, hematoma otot dan luka yang sulit berhenti. Hemofilia dibedakan menjadi tiga yaitu hemofilia A (defisiensi faktor VIII), hemofilia B (defisiensi faktor IX) dan hemofilia C (defisiensi faktor XI) (Scott and Montgomery, 2011).
Hemofilia yang paling sering terjadi adalah hemofilia A dilanjutkan dengan B. Di berbagai negara yang sedang berkembang, prevalensi hemofilia sebenarnya tidak diketahui karena keterbatasan fasilitas diagnosis, tetapi dari berbagai kejadian di negara berkembang, diperkirakan prevalensi terjadi pada 1 dari 10.000 untuk hemofilia A dan 1 dari 50.000 untuk hemofilia B dari setiap kelahiran laki – laki (Carcao et al., 2013). Menurut Ragni (2012) insiden hemofilia diperkirakan terjadi pada 1 dari 5000 untuk hemofilia A dan 1 dari 30.000 untuk hemofilia B dari setiap kelahiran laki-laki. Menurut Stonebreaker (2010), prevalensi hemofiia A (per 100.000 laki-laki) bervariasi di tiap negara. Sebagai contoh, prevalensi yang dilaporkan pada awal tahun 1970 di United Kingdom sekitar 10 per 100.000 laki-laki sedangkan di United States sekitar 20 per 100.000 laki-laki. Tiga puluh tahun kemudian terjadi sebaliknya, prevalensi pada tahun 2006 di United States adalah 8 per 100.000 laki-laki sedangkan di
United Kingdom adalah 20,7 per 100.000 laki-laki (Stonebreaker, 2010; Ragni, 2012; Carcao et al., 2013).
Di Indonesia sangat sedikit penderita hemofilia yang dilaporkan. Berdasarkan data tahun 2011, jumlah pasien hemofilia yang terdaftar di Indonesia mencapai 1.388 pasien. Angka itu diperkirakan tidak mencerminkan jumlah penderita sebenarnya. Informasi di masyarakat yang masih minim mengenai penyakit hemofilia membuat penderita hemofilia tidak langsung dapat terdeteksi (IZN, 2012). Menurut Carcau et al., prevalensi di negara berkembang tidak diketahui karena tidak tersedianya fasilitas diagnosis (Carcao et al., 2013).
Keparahan penyakit hemofilia berbanding terbalik dengan besarnya aktifitas faktor VIII atau faktor IX. Bila aktifitas faktor VIII atau faktor IX kurang dari 1% dari normal (hemofilia berat), pasien sering mengalami perdarahan spontan pada persendian atau jaringan lunak. Bila aktifitas faktor VIII atau faktor IX berkisar 1% - 5% (hemofilia sedang) terkadang bisa terjadi perdarahan spontan atau perdarahan berat akibat trauma. Bila faktor VIII atau faktor IX lebih dari 5%, pasien jarang mengalami perdarahan spontan, tetapi perdarahan berat tetap bisa terjadi sebagai akibat trauma berat atau pembedahan (Unger et al., 2004).
Selain penurunan aktivitas faktor VIII atau IX, ciri khas yang ditemui pada pasien hemofilia adalah adanya pemanjangan activated partial thromboplastin time (APTT). Pemanjangan ini disebabkan defisiensi faktor VIII dan faktor IX yang berada pada jalur intrinsik (Unger et al., 2004). Plasma pasien hemofilia A atau B memiliki nilai APTT yang panjang sedangkan nilai Prothrombin Time
(PT) normal. Pada penyakit hemofilia yang ringan, hasil APTT beberapa detik lebih panjang dari normal (Hilman & Ault, 1995).
Pada pasien dengan kecurigaan hemofilia disertai pemanjangan APTT, dapat dilakukan pemeriksaan mixing study secara manual untuk mengkonfirmasi apakah terdapat defisiensi faktor VIII atau IX. Pada mixing study, plasma pasien dengan pemanjangan activated partial thromboplastin time (APTT) dicampur dengan plasma normal (mempunyai PT dan APTT normal). Activated partial thromboplastin time (APTT) dari plasma campuran kemudian diukur kembali. Apabila terdapat nilai koreksi APTT setelah dicampur dengan plasma normal berarti terindikasi adanya defisiensi faktor koagulasi (Miller, 2013, Raffini et al., 2011).
Terdapat hubungan secara matematis antara APTT dengan konsentrasi faktor koagulasi sehingga pemeriksaan APTT dapat menilai aktivitas faktor koagulasi. Semakin panjang nilai APTT, semakin rendah konsentrasi faktor koagulasi di jalur intrinsik. Pada plasma dengan defisiensi faktor VIII atau IX, apabila dicampur dengan plasma normal, APTT akan terkoreksi. Selama ini besarnya nilai koreksi APTT sebelum pencampuran dengan APTT campuran, belum diketahui apakah sesuai dengan aktivitas faktor VIII atau IX. Penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi nilai koreksi APTT pada mixing study (APTT awal – APTT campuran) dengan aktivitas faktor VIII dan IX pada pasien hemofilia. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian studi epidemiologi hemofilia berjudul A Study to Estimate the Severity and Inhibitor Status in People
with Haemophilia Registered With HMHI yang diadakan oleh Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI).
Tanpa terapi, pasien-pasien hemofilia berat mempunyai harapan hidup yang terbatas. Pasien hemofilia memerlukan terapi pengganti faktor VIII atau IX. Selama ini, penentuan dosis terapi pengganti faktor VIII atau IX, memerlukan pemeriksaan aktivitas faktor VIII dan IX. Pemeriksaan aktivitas faktor VIII dan IX biasanya dilakukan dengan menggunakan alat koagulometer otomatis. Walaupun alat koagulometer otomatis mempunyai presisi dan akurasi yang baik, tetapi alat tersebut relatif mahal dan tidak semua fasilitas kesehatan mempunyai alat itu, sehingga diperlukan metode yang lebih mudah untuk memperkirakan kadar faktor VIII atau IX pada pasien hemofilia. Nilai koreksi APTT pada mixing study diharapkan menjadi metode alternatif dalam memperkirakan kadar faktor VIII atau IX pada pasien hemofilia, sehingga dapat membantu klinisi untuk menentukan dosis terapi pengganti faktor VIII atau IX pada pasien yang terdiagnosis hemofilia.
B. Perumusan Masalah
Pemeriksaan penetapan aktivitas faktor VIII dan IX menggunakan alat koagulometer otomatis dengan metode optik mempunyai presisi dan akurasi yang baik tetapi alat tersebut relatif mahal dan tidak semua fasilitas kesehatan mempunyai alat tersebut. Diperlukan metode alternatif yang lebih murah dan mudah tetapi mempunyai penampilan analitik yang baik.
Selama ini, metode yang paling mudah untuk memperkirakan adanya defisiensi faktor koagulasi adalah dengan melakukan pemeriksaan mixing study.
Pada mixing study plasma pasien dengan pemanjangan APTT dicampur dengan plasma normal (mempunyai PT dan APTT normal). Apabila terdapat koreksi APTT setelah dicampur, berarti terindikasi adanya kekurangan faktor koagulasi. Namun, pemeriksaan mixing study belum digunakan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit hemofilia. Selama ini besarnya nilai koreksi APTT sebelum pencampuran dengan APTT campuran, belum diketahui apakah sesuai dengan aktivitas faktor VIII atau IX.
C. Pertanyaan Penelitian
Apakah terdapat korelasi antara nilai koreksi APTT pada mixing study dengan aktivitas faktor VIII dan IX pada pasien hemofilia?
D.Keaslian Penelitian
Tabel 1. Keaslian Penelitian
No Autor/jurnal Judul Tujuan n Desain
1. Chang et al., 2002 (Thrombosis Research 134(2), pp.503-509.) A “Percent Correction” formula for Evaluation of Mixing Sudies
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi formula persentase koreksi dalam mixing study 1:1 dengan 4:1; mengusulkan definisi terkoreksi
75 Potong lintang
Hasil:
1. Sampel plasma dengan defisiensi berat faktor koagulasi mempunyai persentase koreksi tinggi (biasanya >50%), sampel dengan defisiensi sedang mempunyai persentase koreksi borderline, sedangkan sampel dengan defisiensi ringan mempunyai nilai koreksi < 50%
2. Persentase koreksi mixing 4:1 mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dibandingkan mixing 1:1
2. Lawrie, et al., 2013 (International Journal of Laboratory Hematology, 35(6), pp.652–657) Determination of APTT factor sensitivity - The misguiding guideline
Penelitian ini bertujuan menentukan sensitivitas dua reagen APTT terhadap penurunan aktivitas faktor koagulasi dengan cara mencampur plasma normal dan plasma dengan defisiensi faktor koagulasi.
50 Potonng Lintang
Hasil:
APTT plasma campuran (plasma normal dengan plasma defisiensi faktor memberikan sensitivitas yang berbeda terhadap penurunan faktor koagulasi, tergantung dari sumber plasma defisiensi faktor.
Penelitian yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini meneliti korelasi antara nilai koreksi APTT pada mixing study dengan aktivitas faktor VIII dan IX pada pasien hemofilia. Penelitian yang dilakukan oleh chang et al. 2002 bertujuan mengevaluasi formula persentase koreksi dari mixing study. Salah satu hasil observasi penelitian adalah sampel plasma dengan defisiensi berat faktor koagulasi mempunyai persentase koreksi tinggi (biasanya >50%), sampel dengan defisiensi sedang mempunyai persentase koreksi borderline, sedangkan sampel dengan defisiensi ringan mempunyai persentase koreksi < 50%. Akan tetapi pada penelitian tersebut tidak diketahui korelasi atau seberapa besar hubungan antara persentase koreksi dengan kadar faktor koagulasi.
Adapun, penelitian yang dilakukan oleh Lawrie et al. 2013 bertujuan untuk menentukan sensitivitas dua reagen APTT terhadap penurunan aktivitas faktor koagulasi dengan cara mencampur plasma normal dan plasma dengan defisiensi faktor koagulasi. Sumber plasma defisiensi faktor berasal dari 3 perusahaan komersial yang berbeda. Ketiga sumber plasma defisiensi faktor tersebut mempunyai defisiensi faktor koagulasi tunggal sebesar <1% sedangkan
3. Kumano, et al., 2014 (International Journal of Laboratory Hematology, 35(6), pp.652–657) Verification of Guidelines for Lupus anticoagulant detection: Usefulness of ICA in APTT mixing test
Penelitian ini bertujuan
menentukan korelasi ICA dengan INR, konsentrasi heparin, aktivitas faktor koagulasi pada pasien hemofilia menggunakan beberapa reagen yang berbeda dan mengevaluasi efek
pemanjangan APTT terhadap ICA
18 pasien hemofilia A Potong Lintang Hasil:
Kumano et al. mendapatkan korelasi yang signifikan (p<0,01) antara ICA dengan aktivitas faktor VIII dengan kekuatan korelasi sebesar 0.754, 0.739, 0.746, dan 0.564
faktor koagulasi yang lain berkisar antara 50 – 150 IU/dl. Pada penelitian tersebut, plasma defisiensi faktor dicampur dengan plasma normal dengan berbagai tingkatan dilusi sehingga tercapai konsentrasi faktor koagulasi 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30%, 20% dan 10%. Dari hasil yang didapat terlihat bahwa semakin rendah konsentrasi faktor koagulasi, semakin tinggi clotting time. Data dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa sensitivitas APTT terhadap penurunan faktor koagulasi dipengaruhi oleh sumber plasma defisiensi faktor dan nilai rujukan yang digunakan (tergantung reagen APTT).
Pada tahun 2014, Kumano et al. meneliti hubungan (korelasi) index circulating coagulant dengan aktivitas faktor VIII menggunakan beberapa reagen yang berbeda yaitu SLA, FSL, SP dan PTT. Dengan menggunakan 4 reagen yang berbeda, Kumano et al. mendapatkan korelasi yang signifikan (p<0,01) antara ICA dengan aktivitas faktor VIII dengan kekuatan korelasi sebesar 0.754, 0.739, 0.746, dan 0.564. (Kumano et al., 2014). Pada penelitian ini, penulis tidak mengevaluasi nilai ICA, namun mengevaluasi nilai koreksi APTT (APTT campuran – APTT pasien) kemudian mengkorelasikannya dengan aktivitas faktor koagulasi VIII dan IX.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan melihat korelasi nilai koreksi APTT pada mixing study dengan aktivitas faktor VIII dan IX pada pasien hemofilia.
F. Manfaat Penelitian
1. Nilai koreksi APTT pada mixing study dapat digunakan sebagai informasi tambahan dalam memperkirakan kadar faktor VIII atau IX pada pasien hemofilia.
2. Nilai koreksi APTT pada mixing study dapat membantu klinisi untuk memperkirakan dosis terapi pengganti faktor VIII atau IX.