Oleh : HESTI WORO TRIUTAMI
I34051032
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009ADIWIBOWO)
One of natural resource management form which is becoming a public attention recently is ecotourism exertion. Several nation park has developed this ecotourism activities. For instance, is “Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu”. The utilization opportunities of the ecotourism area depends on accses and control patterns that given by national park to involve community’s participation in managing ecotourism areas, so that ecotourism can give economic and ecological benefits to community at the same time. This reaserch was review about community’s participation level in ecotourism exertion and the economic and ecoligic benefit for the community in Pramuka Island, Kepulauan Seribu.
Perkembangan pariwisata yang amat pesat dewasa ini cenderung melaju ke arah spesifikasi minat wisatawan terhadap jenis perjalanan atau jenis wisata yang dilakukan. Salah satu jenis wisata yang akhir-akhir ini semakin mendapatkan perhatian dan banyak dilakukan adalah ekowisata. Beberapa destinasi dari taman nasional mencoba untuk mengembangkan ekowisata ini. Salah satunya adalah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Hal ini menunjukkan potensi obyek yang terdapat dalam kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai pilihan tujuan wisata alam yang menarik. Kawasan pariwisata dipandang memiliki keunggulan dalam hal peningkatan nilai tambah dalam hal merangsang pertumbuhan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar.
Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan ekowisata. Agar pengembangan ekowisata dapat berkelanjutan dan efektif, pandangan dan harapan masyarakat setempat memiliki hak mutlak dan akses terhadap kawasan ekowisata, pengembangan ekowisata lestari tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan. Peluang masyarakat dalam mengakses kawasan tergantung pada sejauhmana struktur akses dan kontrol dari Taman Nasional dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengelola kawasan ekowisata. Peluang akses terhadap kawasan ekowisata yang didapatkan masyarakat ternyata mampu menumbuhkan peluang ekonomi. Salah satunya adalah usaha ekowisata yang dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat. Kegiatan usaha dalam bidang ekowisata yang terbentuk di masyarakat ini menimbulkan manfaat bagi kehidupan masyarakat, diantaranya adalah manfaat ekologi dan ekonomi.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam usaha ekowisata di Kepulauan Seribu dan untuk mengetahui manfaat ekonomi bagi warga Pulau Pramuka dan Manfaat Ekologi bagi Kepulauan Seribu akibat keterlibatan warga tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survei yang dilengkapi dengan metode wawancara dengan informan, dan observasi. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta. Lokasi ini dipilih secara purposive (sengaja) karena pulau ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (zona pemukiman) yang tengah giat menyelenggarakan usaha ekowisata. Responden yang diambil sebanyak 20 orang yang berasal dari 2 kelompok usaha pemandu wisata yang ada di Pulau Pramuka. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan metode purposive
sampling
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan reponden adalah SMA dan sebagian besar dari reponden masih berstatus aktif sebagai pelajar. Bagi responden pelajar, rata-rata pendapatan mereka adalah Rp. 200.000,00-Rp. 700.000,00. Sedangkan sisanya adalah repsonden yang berkerja dalam usaha yang berkaitan dengan ekowisata dengan rata-rata pendapatan mencapai Rp. 500.000,00-Rp. 2.500.000,00. Hasil dari
ekonomi yang didapatkan masyarakat dari kegiatan ekowisata ini adalah terbukanya peluang bekerja bagi para pemuda, sedangkan masnfaat ekologi yang dirasakan oleh masyarakat antara lain adalah semakin membaiknya kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Pramuka akibat adanya kegiatan transplantasi karang.
KETERLIBATAN WARGA PULAU PRAMUKA DALAM
USAHA EKOWISATA DI KEPULAUAN SERIBU
Oleh :
HESTI WORO TRIUTAMI I34051032
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama : Hesti Woro Trutami NRP : I34051032
Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Keterlibatan Warga Pulau Pramuka dalam Usaha
Ekowisata di Kepulauan Seribu
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembagan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Insitut Pertanian Bogor.
Menyetujui , Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KETERLIBATAN WARGA PULAU PRAMUKA DALAM USAHA EKOWISATA DI KEPULAUAN SERIBU” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, September 2009
Hesti Woro Triutami I34051032
Penulis bernama Hesti Woro Triutami yang dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1987 di Jakarta. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak (Alm.) Heru Santoso dan Ibu Sukesti. Pendidikan yang pertama kali ditempuh penulis adalah Tman Kanak-Kanak Tunas Harapan Bogor pada tahun 1992-1993. Kemudian penulis melanjutkan di Sekolah Dasar Mekarsari II Bogor pada tahun 1993-1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 7 Depok pada tahun 1999-2002, dan Sekolah Menengah Umum 1 Ciputat pada tahun 2002-2005.
Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan memilih Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, khususnya anggota kepanitiaan Event besar di IPB seperti Art IPB’s Days 2006 (AIDS 2006), Futsal Nasional tahun 2006 dan 2007, Indonesian Futsal League (IFL) 2007, COOL AND KEEN
IN ART IPB CONTEST (COOKIES) 2007, Communication and Comunity Development Expo (COMMNEX) 2008 serta tergabung sebagai anggota Divisi
Jurnalistik, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) 2007-2008.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah memberikan nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Pengembangan Usaha Ekowisata: Partisipasi Masyarakat dan Manfaat Ekowisata bagi Kehidupan Masyarakat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu”. Dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji tipologi dan proses partisipasi masyarakat terhadap pengembangan usaha ekowisata serta manfaat ekowisata bagi kehidupan masyarakat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun materi sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. selaku dosen pembimbing Studi Pustaka, serta pembimbing skripsi yang selama ini telah memberikan bimbingan dan arahan penuh kesabaran.
2. Dosen penguji yaitu bapak Ir.Saharudin, MS dan Ir. Murdianto, MSi yang telah memberikan banyak masukan dan saran kepada penulis.
3. Orang tua dan kakak tercinta yang telah memberikan dukungan, perhatian dan semangat kepada penulis untuk melakukan segala aktivitas pendidikan. Terima kasih atas doanya
4. Tantri, teman sekamarku, yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan perhatian selama penulis melakukan penelitian.
6. Para Staf Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian ini.
7. Teman-teman seperjuangan D3 Ekowisata IPB Angkatan 43, Universitas Nusa Bangsa dan PSP 42: Wawan, Dayu, Fajar, Hasbi, Abay, Ray, dan Nano. Terima kasih atas bantuan dalam melakukan penelitian, keceriaan yang diberikan, dan berbagai pengalaman yang diberikan kepada penulis selama penelitian.
8. Sahabat-sahabat KPM 42 : Koe, Puty, Nits, Taye, Egi, Indah, dan yang lainnya yang sering saya repotkan. Vina dan Rio yang menjadi teman selama di Pulau Pramuka. Semoga persahabatan kita tidak hanya di masa perkuliahan saja.
9. Aida, selaku rekan seperjuangan dan sebimbingan mulai dari Studi Pustaka sampai skripsi. Terima kasih atas dorongan, kritikan dan masukan untuk penulis.
10. Serta semua pihak yang telah membantu penyusunan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini. Oleh karena itu penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Bogor, September 2009 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL ...v DAFTAR GAMBAR...vi BAB I PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang ...1 1.2 Perumusan Masalah ...3 1.3 Tujuan Penelitian ...4 1.4 Kegunaan Penelitian ...4BAB II TINJAUAN PUSTAKA...5
2.1 Ekowisata ...5
2.2 Perkembangan Ekowisata ...11
2.3 Hubungan antara Ekonomi dan Konservasi dalam Ekowisata ...15
2.4 Keterlibatan Masyarakat dalam Ekowisata...17
2.5 Akses Masyarakat terhadap Kawasan Ekowisata ...28
2.6 Kerangka Pemikiran...29
2.7 Hipotesis Penelitian...31
2.7 Definisi Operasional...31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...33
3.1 Metode Penelitian ...33
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...33
3.3 Penentuan Responden dan Informan...34
3.4 Teknik Pengumpulan Data...35
3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ...37
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...38
4.1 Keadaan Wilayah ...38
4.2 Kondisi Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang ...43
4.3 Karakteristik Responden di Pulau Pramuka ...46
BAB V TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU DAN PELUANG EKOWISATA ...50
5.2 Karakteristik dan Keunikan Wilayah ...51
5.3 Wilayah dan Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu ...55
5.4 Peluang Ekowisata di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu...67
BAB VI KETERLIBATAN MASYARAKAT PULAU PRAMUKA DALAM USAHA EKOWISATA DI KEPULAUAN SERIBU ...70
7.1 Perkembangan Kelompok Usaha Ekowisata di Pulau Pramuka ...70
7.2 Keterlibatan Masyarakat di Pulau Pramuka ...89
BAB VII MANFAAT EKOWISATA SECARA EKOLOGI DAN EKONOMI BAGI MASYARAKAT DI PULAU PRAMUKA ...84
8.1 Manfaat Ekonomi Ekowisata terhadap Peluang Kerja dan Peningkatan Pendapatan Responden ...84
8.2 Manfaat Ekologi Ekowisata terhadap Rehabilitasi Karang ...88
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ...93
8.1 Kesimpulan ...93
8.2 Saran...94
DAFTAR PUSTAKA ...97
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman Teks
Tabel 1 Delapan Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arnstein (1969) ...21
Tabel 2 Jenis Data yang Diperlukan dalam Penelitian ...36
Tabel 3 Luas Wilayah Pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang ...41
Tabel 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang...44
Tabel 5 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin ...45
Tabel 6 Jumlah Jiwa dan KK di Tiap RW ...45
Tabel 7 Jumlah Penduduk di Tiap Pulau Pemukiman ...45
Tabel 8 Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan ...46
Tabel 9 Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Pekerjaan ...46
Tabel 10 Atribut Individu Responden...47
Tabel 11 Kegiatan yang dapat dilakukan di Taman Nasional menurut Zona menurut SK Dirjen PHKA nomor SK 05/IV-KK/2004 (diadaptasi berdasarkan PP No 68 Tahun 1998 dan Permenhut NoP.56/MenhutII/2006) ...64
Tabel 12 Pola Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Kawasan TNLKpS ...66
Tabel 13 Kegiatan Ekowisata di Taman Nasional Kepulauan Seribu ...67
Tabel 14 Perkembangan Pengunjung Dolphin Ecotourism ...74
Tabel 15 Rata-rata Pendapatan Responden Umum (Non Pelajar) ...86
Lampiran Tabel 1 Data Potensi Terumbu Karang di Seksi Wilayah III Pulau Pramuka ...102
Tabel 2 Rekapitulasi Monitoring Pembangunan Kebun Induk (F0) Budidaya Karang Hias di Kepulauan Seribu pada Tanggal 5 Maret 2005...103
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman Teks
Gambar 1 Kerangka pemikiran Partisipasi Masyarakat dalam Ekowisata ...30 Gambar 2 Pulau Pramuka dalam gugusan Kepulauan Seribu...39 Gambar 3 Pulau Pramuka...42 Gambar 4 Peta Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Sesuai SK
1.1 Latar Belakang
Indonesia termasuk salah satu negara ”megadiversity“ sumberdaya hayati di dunia, kekayaan satwa dan flora yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati di nusantara ini adalah nyata. Keanekaragaman hayati merupakan aset bangsa yang harus dimanfaatkan secara bijak dan hati-hati agar tidak rusak dan berguna tidak hanya bagi negara Indonesia saja tetapi juga bagi negara lain. Konsep taman nasional muncul sebagai upaya untuk melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Sejalan dengan perkembangan pembangunan, konsep taman nasional juga mengalami perkembangan tidak hanya sebagai daerah konservasi saja maka diperkenalkanlah pariwisata alam sebagai perwujudan konsep ekowisata (Riyanto, 2005).
Perkembangan pariwisata yang amat pesat dewasa ini cenderung melaju ke arah spesifikasi minat wisatawan terhadap jenis perjalanan atau jenis wisata yang dilakukan. Salah satu jenis wisata yang akhir-akhir ini semakin mendapatkan perhatian dan banyak dilakukan adalah “ekowisata”. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini. Salah satunya adalah Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Saat ini ada kecenderungan masyarakat untuk berwisata ke daerah yang masih asli dan alami. Hal ini menunjukkan peluang pemanfaatan kawasan konservasi sebagai pilihan tujuan wisata alam. Potensi obyek wisata alam yang berada dalam kawasan taman nasional dan kawasan pelestarian alam yang lain, apabila dikembangkan dengan baik akan dapat memberikan sumbangan
pendapatan bagi negara dan penciptaan lapangan kerja serta sumber pendapatan bagi masyarakat setempat (Riyanto, 2005).
Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan perkembangan ekowisata. Peran serta masyarakat di dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat diabaikan. Hal yang terpenting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan ekowisata (Brandon, 1993 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000). Untuk itu pengelola harus dapat menghimbau masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif secara positif dalam perkembangan ekowisata dengan memelihara lingkungan di sekitar mereka.
Agar perkembangan ekowisata dapat berjalan dengan baik, masyarakat setempat yang berada di sekitar daerah tujuan ekowisata seharusnya memiliki hak mutlak dan akses terhadap kawasan ekowisata, perkembangan ekowisata lestari tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan, dan hanya dimanfaatkan serta merasa terancam oleh kegiatan ekowisata. Menurut Ribot dan Peluso, 2003 seperti dikutip oleh Adiwibowo et al., 2009 akses diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits
from things) dan dimaknai sebagai ”sekumpulan kekuasaan” (”a bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai ”sekumpulan
hak” (”bundle of rights”). Sehingga bila dalam studi properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Hal ini yang paling penting adalah meyakinkan dan membuktikan
kepada penduduk setempat bahwa ekowisata memang dapat memberikan keuntungan kepada penduduk setempat (Panos, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000), sebab tanpa bukti nyata mereka tidak akan termotivasi untuk mendukung program pelestarian lingkungan (Harrison, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000).
Namun apakah kelompok-kelompok usaha ekowisata ini memang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam perkembangan ekowisata yang berada di kawasan Taman Nasional? sejauhmana tingkat partisipasi yang dicapai oleh mereka? bagaimana proses yang ditempuh sehingga tumbuh partisipasi tersebut? serta sejauhmana manfaat yang terbentuk di masyarakat sekitar kawasan ekowisata? Maka dalam penelitian ini akan dicoba untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perumusan masalah penelitian.
1.2 Rumusan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang akan dikaji adalah:
1. Apa bentuk keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam memanfaatkan usaha ekowisata di Kepulauan Seribu?
2. Sejauhmana keterlibatan warga tersebut membuahkan manfaat ekonomi bagi warga Pulau Pramuka dan manfaat ekologi bagi Kepulauan Seribu?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin peneliti dapatkan dari perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bentuk keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam memanfaatkan usaha ekowisata di Kepulauan Seribu
2. Mengetahui manfaat ekonomi bagi warga Pulau Pramuka dan manfaat ekologi bagi Kepulauan Seribu yang terjadi akibat keterlibatan warga dalam usaha ekowisata.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai konsep dan teori partisipasi dalam perkembangan sesuai dengan realita yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini juga dilakukan untuk memperoleh gambaran serta informasi mengenai manfaat ekowisata bagi kelompok masyarakat lokal di bidang ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, memberi masukan berupa data dan informasi mengenai partisipasi masyarakat yang memberikan peluang besar terhadap upaya peningkatan pengelolaan daerah ekowisata. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan mampu menyumbangkan pemikiran bagi kepentingan pengelola sektor pariwisata untuk mewujudkan perkembangan ekowisata di kawasan wisata alam pada khususnya dan daerah tujuan ekowisata lain pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekowisata
2.1.1 Perkembangan Ekowisata di Indonesia
Menurut Gatot (1999), ekowisata mulai menjadi isu nasional di Indonesia semenjak Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Nasional yang diselenggarakan oleh Pact-Indonesia dan WALHI, bulan April 1995. Acara tersebut menghasilkan suatu rumusan dalam kegiatan ekowisata, masyarakat setempat harus dilibatkan dalam pengelolaan ekowisata secara proporsional.
Sejak saat itu, ekowisata mulai menjadi perhatian beberapa kalangan seperti LSM, Instansi Pemerintah, Lembaga Usaha Pariwisata, Lembaga Penelitian, dan Perguruan Tinggi. Sudah banyak pertemuan seperti seminar, lokakarya, dan forum diskusi dilakukan, dan sudah banyak pula kajian dan kebijakan yang dihasilkan. Akan tetapi produk ekowisata yang ada di Indonesia masih terbatas. Perkembangan ekowisata semenjak mulai dikenal pada awal tahun 1990-an, hingga akhir tahun 1999 masih sangat lambat. Padahal bila melihat dari potensinya seharusnya jumlah produk ekowisata sudah cukup banyak. Banyak hal yang menyebabkan lambatnya perkembangan ekowisata di Indonesia, antara lain: 1. Belum adanya pedoman yang dapat mendorong ekowisata menjadi kegiatan
pelestarian alam dan ekonomi berkelanjutan
2. Masih rendahnya pemahaman ekowisata oleh berbagai stakeholder terutama dari kaum birokrat yang dapat dianggap sebagai pendorong maupun pelaksana kegiatan ekowisata
3. Masih adanya keraguan terhadap kebenaran konsep ekowisata yang dapat dijadikan sebagai kegiatan ekonomi berkelanjutan yang sekaligus mampu memberdayakan masyarakat setempat.
Untuk mempercepat perkembangan ekowisata harus dilakukan suatu kajian yang mendalam, karena metoda dan pendekatan ekowisata di setiap daerah akan berbeda-beda; proses sosialisasi ekowisata kepada kalangan pemerintah daerah, pengusaha swasta bidang perjalanan wisata, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan persepsi dan pemahaman yang benar terhadap bidang ekowisata ini; serta penyebarluasan kisah keberhasilan (succes stories) berbagai lembaga yang berada di dalam dan di luar negeri dalam mengembangkan ekowisata yang berdampak langsung terhadap pelestarian alam serta meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar daerah tujuan ekowisata.
2.1.2 Pengertian Ekowisata
Beberapa istilah yang muncul dan berkaitan dengan usaha pembaharuan bidang usaha pariwisata, seperti alternative tourism, nature tourism, responsible
tourism, spesial interest, dll. Ecotourism merupakan istilah yang dianggap tepat,
karena arti dan komitmen yang sangat jelas terhadap kelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat (Gatot, 1999).
Istilah ecotourism, berasal dari kata :
1. Ecological 2. Economical
bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ekowisata berasal dari kata :
1. Ekologi, artinya ekologi sebagai sumberdaya dan daya tarik ekowisata, dan ekowisata memberikan kontribusi positif terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan
2. Ekonomi, artinya bahwa ekowisata merupakan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan
3. Evaluasi Kepentingan dan Opini masyarakat, artinya ekowisata mempunyai kepedulian terhadap peningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan tersebut, serta ekowisata merupakan suatu upaya peningkatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang diharapkan masyarakat yang diberdayakan ekonominya tersebut dapat memberikan kontribusinya pula terhadap pelestarian alam dan lingkungan.
Menurut Gatot (1999), belum ada istilah yang tepat dalam menerjemahkan istilah ecotourism ke dalam bahasa Indonesia, ada yang menerjemahkan ekowisata dengan istilah wisata ekologis dan ada pula yang menterjemahkan sebagai ekowisata walaupun ekowisata sebagai istilah yang paling enak didengar dan ringkas, istilah ini sebenarnya tidak memenuhi kaidah bahasa indonesia yang benar yaitu wisata ekologi. Kesepakatan yang disepakati dalam simposium dan semiloka ecotourism pada April 1995 yang diselenggarakan PACT/WALHI dan Januari serta Juli 1996 yang diselenggarakan kembali oleh INDECON, dihasilkan rumusan yang merupakan hasil pengembangan dari defenisi yang dikeluarkan oleh The Ecotourism Society yaitu :
”Ekowisata adalah kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana
tujuannya selain untuk menikmati keindahan juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata” Definisi diatas menjelaskan, ada lima hal yang mendasari kegiatan ekowisata yaitu :
1. Perjalanan wisata yang bertanggung jawab,
2. Di daerah-daerah yang masih alami (nature mode) atau di daerah yang dikelola secara kaidah alam,
3. Tujuannya selain untuk menikmati pesona alam, juga untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai fenomena alam dan budaya,
4. Memberikan dukungan terhadap upaya-upaya konservasi alam, dan 5. Meningkatkan pendapatan masayarakat setempat
Daya tarik objek dan kegiatan ekowisata
Unsur yang paling penting yang menjadi daya tarik dari sebuah daerah tujuan ekowisata adalah:
1. Kondisi alamnya, contoh : hutan tropis dan terumbu karang
2. Kondisi flora dan fauna yang unik, langka, dan endemik, seperti raflesia, badak jawa, komodo dan orang utan
3. Kondisi fenomena alamnya, seperti : Gunung Krakatau dan Danau Kelimutu 4. Kondisi adat dan budaya, seperti Baduy dan Sumba
Kegiatan (activity) ekowisata juga merupakan daya tarik dalam sebuah produk ekowisata. Atraksi dan kegiatan ekowisata dapat berbentuk antara lain :
o Diving
o Bird watching o Game fishing o Wild life viewing
Mengemas Produk Ekowisata
Sesuai dengan definisi ekowisata, maka sebuah produk ekowisata dapat dikategorikan sebagai produk ekowisata jika memenuhi kriteria sebagai berikut : o Bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan alam dan budaya yang
ditimbulkannya,
o Dilakukan di daerah alami atau yang dikelola sesuai dengan kaidah alam, o Melibatkan unsur-unsur pendidikan dan pemahaman terhadap lingkungan dan
budaya daerah tujuan ekowisata, serta
o Mendukung upaya konservasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Berdasarkan kategori di atas maka tentunya sebuah produk ekowisata harus direncanakan dengan baik dan sebuah produk ekowisata harus bermuatan pendidikan dengan informasi yang relevan berdasarkan hasil interpretasi para pelaksana kegiatan ekowisata, dan mampu mendukung upaya konservasi kawasan tersebut (Gatot, 1999).
2.2 Perkembangan Ekowisata
Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Secara umum pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan
kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan1.
2.2.1 Unsur-unsur Pengembangan Ekowisata
Pengembangan ekowisata sangat dipengaruhi oleh keberadaan unsur-unsur yang harus ada dalam pengembangan itu sendiri, yaitu:
1. Sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya
Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk pengembangan ekowisata. Ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar untuk mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional maupun lokal.
2. Masyarakat
Pengetahuan tentang alam dan budaya serta daya tarik wisata kawasan, pada dasarnya dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat menjadi mutlak, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan.
3. Pendidikan
Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat
1 http://www.ekowisata.info/study_kelayakan_ekowisata.htm. diakses tanggal 6 april 2009 jam
dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya.
4. Pasar
Kenyataan memperlihatkan kecendrungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berperilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai sejarah dan budaya setempat.
5. Ekonomi
Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non ekstraktif, sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata mewujudkan ekonomi berkelanjutan.
6. Kelembagaan
Pengembangan ekowisata pada mulanya lebih banyak dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, pengabdi masyarakat dan lingkungan. Hal ini lebih banyak didasarkan pada komitmen terhadap upaya pelestarian lingkungan, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan namun kadang kala komitmen tersebut tidak disertai dengan pengelolaan yang baik dan profesional, sehingga tidak sedikit kawasan ekowisata yang hanya bertahan sesaat. Sementara pengusaha swasta belum banyak yang tertarik menggarap bidang ini, karena usaha seperti ini dapat dikatakan masih relatif
baru dan kurang diminati karena harus memperhitungkan social cost dan
ecological-cost dalam pengembangannya.
Masalah yang mendasar adalah bagaimana membangun pengusaha yang berjiwa pengabdi masyarakat dan lingkungan atau lembaga pengabdi masyarakat yang berjiwa pengusaha yang berwawasan lingkungan. Pilihan kedua, yaitu mengembangkan lembaga pengabdi masyarakat yang berjiwa pengusaha berwawasan lingkungan dilihat lebih memungkinkan, dengan cara memberikan pelatihan manajemen dan profesionalisme usaha. Untuk hal ini diperlukan bentuk kerja sama dan kemitraan yang nyata yang bersifat lintas sektor, baik ditingkat lokal, nasional, bahkan jika memungkinkan tingkat internasional, secara sinergis saling menguntungkan, tidak bersifat eksploitatif, adil dan transparan dengan pembagian tugas yang jelas.
Aktualisasi dari kerja sama ini, juga dimungkinkan bagi daerah yang akan mengembangkan Daerah Tujuan Ekowisata dengan memanfaatkan potensi Taman Wisata Alam dan Taman Nasional yang ada di wilayahnya. Pemerintah daerah setempat dapat memprakarsai pembentukan suata “Badan” (“board”) yang akan mengelola ekowisata secara profesional.
2.2.2 Prinsip-Prinsip Pengembangan Ekowisata
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekowisata adalah sebagai berikut:
1. Konservasi
o Pemanfaatan keanekaragaman hayati tidak merusak sumber daya alam itu
o Relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan
kegiatannya bersifat ramah lingkungan.
o Dapat dijadikan sumber dana yang besar untuk membiayai pembangunan
konservasi.
o Dapat memanfaatkan sumber daya lokal secara lestari.
o Meningkatkan daya dorong yang sangat besar bagi pihak swasta untuk
berperan serta dalam program konservasi. Mendukung upaya pengawetan jenis.
2. Pendidikan
Meningkatkan kesadaran masyarakat dan merubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
3. Ekonomi
o Dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelola kawasan,
penyelenggara ekowisata dan masyarakat setempat.
o Dapat memacu pembangunan wilayah, baik di tingkat lokal, regional
mapun nasional.
o Dapat menjamin kesinambungan usaha.
o Dampak ekonomi secara luas juga harus dirasakan oleh kabupaten/kota,
propinsi bahkan nasional. 4. Peran Aktif Masyarakat
o Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat
o Pelibatan masyarakat sekitar kawasan sejak proses perencanaan hingga
o Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk
pengembangan ekowisata.
o Memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan daerah setempat agar
tidak terjadi benturan kepentingan dengan kondisi sosial budaya setempat.
o Menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin
bagi masyarakat sekitar kawasan. 5. Wisata
o Menyediakan informasi yang akurat tentang potensi kawasan bagi
pengunjung.
o Kesempatan menikmati pengalaman wisata dalam lokasi yang mempunyai
fungsi konservasi.
o Memahami etika berwisata dan ikut berpartisipasi dalam pelestarian
lingkungan.
o Memberikan kenyamanan dan keamanan kepada pengunjung.
2.2.3 Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati
Terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan, dalam rangka pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati, antara lain:
1. Aspek Pencegahan
o Menguragi dampak negatif dari kegiatan ekowisata dengan cara: Pemilihan lokasi yang tepat (menggunakan pendekatan tata ruang) Rancangan pengembangan lokasi yang sesuai dengan daya dukung
Rancangan atraksi/kegiatan yang sesuai denan daya dukung kawasan
dan kerentanan.
o Merubah sikap dan perilaku stakeholder, mulai dari pengelola kawasan,
penyelenggara ekoturisme (tour operator) serta wisatawan itu sendiri.
o Memilih segmen pasar yang sesuai.
2. Aspek Penanggulangan
o Menyeleksi pengunjung termasuk jumlah pengunjung yang diperkenankan
dan minat kegiatan yang diperkenankan (control of visitor).
o Menentukan waktu kunjungan
o Mengembangkan pengelolaan kawasan (rancangan, peruntukan,
penyediaan fasilitas) melalui pengembangan sumber daya manusia, peningkatan nilai estitika serta kemudahan akses kepada fasilitas.
3. Aspek Pemulihan
o Menjamin mekanisme pengembalian keuntungan ekowisata untuk
pemeliharaan fasilitas dan rehabilitasi kerusakan lingkungan.
o Peningkatan kesadaran pengunjung, pengelola dan penyedia jasa
ekowisata.
2.3 Hubungan antara Ekonomi dan Konservasi dalam Ekowisata
Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan perkembangan ekowisata. Peran serta masyarakat di dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat diabaikan (Sugiarti, 2000). Adapun keuntungan ekonomi yang diperoleh dari
ekowisata harus dimanfaatkan untuk melestarikan lingkungan, misalnya digunakan untuk mengadakan sarana yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Kegiatan pariwisata yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi dipergunakan untuk menunjang usaha konservasi kekayaan alam dan budaya.
Perkembangan ekowisata yang mendasarkan pada lingkungan alam dan budaya sebagai daya tarik utamanya akan berimplikasi pada pelestarian lingkungan. Semua bentuk pariwisata pada prinsipnya, perlu dikelola berdasarkan asas kesinambungan baik secara ekologis, sosial, kultural, maupun finansial. Ekowisata berbeda dengan bentuk pariwisata lainnya dalam hal ketergantungannya kepada perlindungan ekosistem dan unsur budaya yang terkandung didalamnya. Alam dan budaya adalah aset mutlak ekowisata. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari ekowisata harus dimanfaatkan untuk melestarikan lingkungan, misalnya digunakan untuk mengadakan sarana yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Sarana tersebut antara lain dapat berupa lokasi perkemahan, kamar kecil, pusat interpretasi. Program konservasi murni yang tidak dikaitkan dengan kegiatan lain seperti rekreasi adalah konsep masa lalu yang kurang efektif sehingga perlu direvisi. Kegiatan pariwisata yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi dipergunakan untuk menunjang usaha konservasi kekayaan alam dan budaya.
Manfaat dari pengembangan ekowisata ini dengan demikian adalah semakin terpeliharanya kelestarian lingkungan, karena tanpa lingkungan yang berkualitas ekowisata tidak akan dapat dikembangkan. Ekowisata dan konservasi adalah kegiatan yang saling melengkapi. Di satu sisi ekowisata tergantung pada kelestarian lingkungan alam yang menarik para wisatawan untuk datang dan
sebaliknya keuntungan yang didapatkan dari kegiatan ekowisata akan dimanfaatkan bagi konservasi lingkungan disekitarnya. Tentu saja untuk mencapai hal ini diperlukan pengelolaan aset ekowisata secara baik dan profesional. Para pengelola pariwisata dihadapkan pada tugas berat untuk menjaga keseimbangan antara tetap lestarinya daya tarik wisata alam dan meningkatkan pendapatan ekonomi dari kegiatan ekowisata tersebut. Manfaat lainnya dari perkembangan ekowisata berhubungan dengan pendapatan ekonomi yang diberikan oleh pengembang ekowisata, penduduk setempat akan tergerak untuk ikut menjaga kelangsungan daya tarik ekowisata.
2.4 Keterlibatan Masyarakat dalam Ekowisata
Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan perkembangan ekowisata. Peran serta masyarakat di dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat diabaikan. Hal yang terpenting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan ekowisata. Pengelola harus dapat menghimbau masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif secara positif dalam perkembangan ekowisata dengan memelihara lingkungan di sekitar mereka. Agar perkembangan ekowisata dapat berkelanjutan dan efektif, pandangan dan harapan masyarakat setempat memiliki hak mutlak, perkembangan ekowisata lestari tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan, dan hanya dimanfaatkan serta merasa terancam oleh kegiatan ekowisata.
Masyarakat yang merasakan hasil dari ekowisata akan merasa tergerak untuk ikut melindungi alam yang menjadi daya tarik ekowisata tersebut dan menjaga lingkungan dari kerusakan. Hal yang paling penting adalah meyakinkan dan membuktikan kepada penduduk setempat bahwa ekowisata memang dapat memberikan keuntungan kepada penduduk setempat (Panos, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000), sebab tanpa bukti nyata mereka tidak akan termotivasi untuk mendukung dan terlibat didalamnya (Harrison, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000). Keterlibatan masyarakat dalam usaha ekowisata pada penelitian ini akan ditinjau berdasarkan konsep partisipasi
2.4.1 Konsepsi Partisipasi Masyarakat
Secara umum partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, yang dimulai dari perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Ada pula yang mengartikan partisipasi atau peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok, kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non elit) dan yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elit) (Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992).
Adapun tentang partisipasi masyarakat ini ada yang beranggapan bahwa tidak diperlukan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat secara langsung karena masyarakat telah terwakili oleh wakil mereka di lembaga perwakilan (legislatif) yang dipilih melalui pemilihan umum. Namun melihat kenyataan bahwa para wakil rakyat tersebut sering kali tidak lagi menyuarakan kepentingan konstituennya. Hampir semua keputusan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak dilakukan oleh eksekutif maka partisipasi masyarakat diperlukan untuk proses pendemokratisasian dalam pengambilan keputusan di tingkat legislatif dan eksekutif (Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992).
Melibatkan masyarakat dalam usaha ekowisata juga dapat menimbulkan perasaan memiliki dan keinginan untuk berkontribusi dari masyarakat terhadap penerapan program ekowisata di daerah tersebut. Untuk melakukan hal ini, diperlukan pendekatan partisipatif yang akan memakan waktu yang lama, tetapi dengan pendekatan ini ternyata akan dapat mengurangi atau menghindari terjadinya konflik antar pihak yang terlibat. Lebih jauh lagi, dengan partisipasi akan terjadi peningkatan harapan masyarakat luas terhadap pemenuhan kebutuhan mereka.
Masyarakat akan bersedia untuk menerima tanggung jawab, peran dan resiko ketika bekerjasama dengan pihak pemerintah, swasta maupun mitra dalam proses pengembangan program ekowisata. Ketika kondisi ekonomi menjadi semakin sulit, serta lebih sedikit dana masyarakat yang tersedia untuk melaksanakan program pengembangan ekowisata ini maka mitra di luar lembaga pemerintah dapat selalu berperan, baik dalam hal uang ataupun hal lain. Kemitraan dapat membantu memelihara atau meningkatkan pelayanan kepada publik.
Tingkat keterlibatan masyarakat melalui kemitraan terhadap usaha ekowisata diharapkan tinggi. Pengelola kawasan ekowisata biasanya selalu enggan untuk melibatkan masyarakat, dengan alasan bahwa masyarakat biasanya apatis dan membuang-buang waktu. Dampaknya, masyarakat juga tidak merasa memiliki dan tidak ingin berkontribusi pada program ekowisata tersebut.
Kemitraan yang dibina dalam usaha ekowisata lebih diarahkan bagi para pihak yang telibat di dalamnya untuk saling bertukar informasi, dana dan tenaga sehingga terdapat pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang nantinya diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Pengelola memiliki tanggung jawab untuk melakukan pendekatan partisipasi terhadap masyarakat. Hal inilah yang coba diterapkan dalam ekowisata berbasis masyarakat dimana terdapat distribusi sebagian kekuasaan dari pengelola kepada masyarakat agar mereka juga dapat mengelola kawasan sesuai dengan kebutuhan dan pengetahuan lokal masyarakat. Sebagaimana pengamatan Arnstein (1969) seperti dikutip oleh Mitchell (1997), sebuah pendekatan partisipasi menunjukkan distribusi kekuasaan dari pengelola ke masyarakat. Berdasarkan hal ini, Arnstein berpendapat bahwa berbagai tingkatan pelibatan dapat diindentifikasikan, mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pelimpahan kekuasaan seperti yang dipaparkan pada Tabel 1. Critical review terhadap kelemahan teori Arnstein ini adalah bahwa konsep partisipasi yang didefinisikan ternyata diukur dari delapan variabel yang ditinjau dari sudut pandang pihak yang mendorong partisipasi (dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu).
Tabel 1. Delapan Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arnstein (1969) Tingkatan Partisipasi Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian
Kekuasaan 1. Manipulasi 2. Terapi Komitmen resmi Pemegang kekuasaan mendidik masyarakat
Tidak ada partisipasi
3. Pemberitahuan
4. Konsultasi
5. Placation
Hak-hak masyarakat dan pilihan-pilihannya diidentifikasikan Masyarakat didengar, tetapi tidak dipakai sarannya
Saran masyarakat
diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan Tokenism 6. Kemitraan 7. Pendelegasian kekuasaan 8. Kontrol Masyarakat Timbal balik dinegosiasikan Masyarakat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program
Tingkatan kekuasaan masyarakat
Tingkatan 1 dan 2 yaitu manipulasi dan terapi merupakan partisipasi yang bersifat mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua ini Arnstein menganggap itu bukan bentuk partisipasi. Tingkatan 3 sampai dengan 5 yaitu pemberitahuan, knsultasi dan placation termasuk dalam tingkatan kekuasaan
״tokenism ״, dimana rakyat/masyarakat diperbolehkan mengeluarkan pendapat dan pendapat mereka didengarkan namun masyarkat tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan dipertimbangkan oleh pihak pengambil keputusan. Pemegang kekuasaan lebih menentukan semua keputusan. Sedangkan pada tingkatan 6 sampai dengan 8 yaitu kemitraan, pendelagasian kekuasaan dan kontrol masyarakat, rakyat mempunyai pengaruh didalam proses pengambilan keputusan, pada tingkatan ini masyarakat dan pemerintah melakukan proses tawar menawar. Dalan studi ini, tingkatan
partisipasi Arnstein akan diaplikasikan dari sudut pandang warga masyarakat yang memanfaatkan usaha ekowisata yang terdapat di Kepulauan Seribu. Tingkatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau ”menyembuhkan” partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum).
2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.
3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back).
4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan
bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.
5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.
Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.
6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan.
7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.
8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.
2.4.2 Manfaat Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat diperlukan dalam konteks ekowisata dan kaitannya untuk menunjang konservasi sumberdaya alam (Mitchell, 1997) agar:
1. Dapat menampung reaksi dan mendapatkan umpan balik terhadap keputusan yang akan diambil sehingga dengan demikian dapat mengeliminir dampak, meningkatkan kualitas dari keputusan yang diambil, dan menghindari konflik yang berkepanjangan
2. Dapat mengakomodasi aspirasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya yang pada akhirnya akan lebih menjamin dukungan masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam.
3. Proses penyampaian informasi dan pendidikan kepada masyarakat dapat berlangsung lebih efektif.
4. Dapat menjamin adanya proses pengidentifikasian permasalahan yang sesungguhnya terjadi dan kebutuhan-kebutuhan bagi alternatif penanggulangannya yang pada akhirnya akan menjamin adanya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam.
5. Dapat menggali ide dan menumbuhkan kreatifitas masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dari pengelolaan sumberdaya hutan
6. Terjaminnya proses demokratisasi sehingga jaminan untuk pencapaian yang nyata dari tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Untuk menentukan bentuk partisipasi masyarakat itu, maka perlu ditentukan masyarakat mana yang dimaksud. Kelompok masyarakat yang terkait atau berkepentingan terhadap sumberdaya hutan tidak selalu berarti masyarakat yang secara fisik berada dekat dengan sumberdaya tersebut namun bisa termasuk juga kelompok masyarakat kota misalnya yang menikmati atau mengkonsumsi sumberdaya tersebut. Tidak semua kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya hutan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan yang berdampak pada kehidupannya, maka masyarakat yang dimaksudkan khususnya adalah masyarakat yang paling besar terkena dampak dari kebijaksanaan alokasi sumberdaya hutan yang saat ini berlangsung yaitu masyarakat yang hidupnya didalam atau diperbatasan kawasan sumberdaya hutan.. Ciri-ciri kelompok masyarakat ini umumnya mempunyai
״bargaining power ״ yang sangat lemah, tidak punya sarana dan kemampuan untuk memperjuangkan kepentingannya, karena sering menjadi “kambing hitam” dari kerusakan hutan (Afif, 1992).
2.4.3 Bentuk-bentuk Partisipasi
Adapun bentuk-bentuk partisipasi itu sendiri sangat luas. Umumnya bentuk partisipasi yang muncul dan berkembang di Indonesia adalah bentuk “support participation” dimana partisipasi yang diarahkan pada mobilisasi dukungan program-program (Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992).
Partisipasi masyarakat sering pula diterjemahkan sebagai kerelaan masyarakat untuk menerima ganti rugi meskipun dalam musyawarah tidak terjadi kesepakatan, kerelaan berkorban untuk orang banyak, kesediaan untuk menerima kehadiran sebuah proyek. namun jarang sekali yang mempermasalahankan partisipasi masyarakat dari sudut kepentingan masyarakat itu sendiri.
Bentuk-bentuk partisipasi yang selain mobilisasi hampir kurang dikembangkan (Santosa, 1990 dalam Afif, 1992), seperti misalnya:
1. Peluang untuk turut serta dalam merencanakan pemanfaatan,
2. Peluang untuk turut serta dalam investasi yang disesuaikan dengan kemampuan yang mereka miliki,
3. Peluang untuk memberikan saran dan umpan balik terhadap suatu kebijaksanaan dan atau rencana pengelolaan,
4. Peluang untuk mengambil inisiatif dan memutuskan bentuk-bentuk pengelolaan,
5. Peluang untuk merumuskan permasalahan dan merencanakan alternative, 6. Peluang untuk terlibat dalam monitoring,
7. Peluang untuk turut serta melakukan pengelolaan lingkungan.
2.2.4 Sosialisasi Kegiatan Ekowisata pada Masyarakat
Ketika menjalankan kegiatan ekowisata salah satu persyaratan utamanya adalah mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat. Proses sosialisasi ekowisata biasanya dilakukan pada saat pengurusan perijinan sedang berlangsung. Mekanisme sosialisasi terhadap kegiatan ekowisata ini dapat dilakukan melalui saresehan, lokakarya tingkat desa, maupun melalui pertemuan dan pendekatan
yang bersifat door to door (Sudarto, 1999). Menurut Kelsey dan Hearne (1955) seperti dikutip oleh Mugniesyah (2006) setiap tipe pendekatan akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perubahan perilaku subyek penyuluhan. Adapun jenis-jenis metode yang ada dalam kategori pendekatan kepada masyarakat adalah:
1. Pendekatan individual mencakup: demonstarasi, kunjungan rumah, panggilan kantor, korespondensi dan telepon,
2. Pendekatan kelompok mencakup: pertemuan umum, metode demonstrasi, pelatihan, kursus,
3. Pendekatan massal mencakup: berita/kisah keberhasilan, surat edaran, pameran, buletin, dan poster,
4. Pengaruh tidak langsung, seperti dari tetangga ke tetangga, ngobrol dan kunjungan, pengamatan sepanjang jalan.
Media penyampaian program menurut Mugniesyah (2006) terdiri dari beberapa teknik yaitu:
1. Dari luar sistem yaitu dengan menggunakan publikasi lewat mass media (TV, radio, surat kabar, majalah), ceramah dan dialog terpimpin,
2. Dari dalam sistem yaitu dengan diskusi keompok dan dialog non terpimpin, 3. Latihan keterampilan yaitu dengan demonstrasi cara dan hasil.
Secara perlahan-lahan, akan timbul perasaan cinta dan memiliki terhadap sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Jika perasaan ini telah tercipta pada masyarakat setempat, maka kelanggengan dan pelestarian sumberdaya alam yang ada di Taman Nasional maupun di daerah konservasi akan terjaga dengan sendirinya.
2.5 Akses Masyarakat terhadap Kawasan Ekowisata
Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menekankan perlu adanya partisipasi masyarakat, tetapi partisipasi itu akan diatur kembali dengan peraturan perudangan-undangan. Partisipasi yang diatur berlebihan justru akan menghambat kerelaan, keinginan sendiri dan kreatifitas dalam upaya melibatkan diri dalam proses pengambilan keputusan untuk suatu perubahan yang dikehendaki, dalam hal ini partisipasi masyarakat partisipasi yang dimaksud adalah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan wisata.
Jaminan bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati sebetulnya sangat positif dalam hal kontrol akses ke sumberdaya alam hayati dan pengetahuan tradisionalnya, termasuk hak menyangkut pemberian izin akses ke pihak lain. peluang kontrol masyarakat yang mestinya cukup efektif terhadap praktek-praktek pencurian sumberdaya genetika jadi mandul karena proses izin eksploitasi/penelitian sepenuhnya ada di tangan pemerintah (LIPI atau Departemen terkait). Masyarakat tidak mempunyai wewenang dan tidak terlibat dalam proses pemberian izin tersebut. Di sisi lain, jaminan dan peluang keikutsertaan masyarakat dalam proses pengontrolan kemungkinan pengambilan illegal sumberdaya hayati tidak secara eksplisit dinyatakan (LATIN, 1997).
2.6 Kerangka Pemikiran
Daerah Kepulauan Seribu merupakan salah satu daerah kunjungan wisata alam. Salah satu tempat tujuan wisata alam yang diminati wisatawan adalah Pulau Pramuka yang berada dalam wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu. Taman Nasional ini dikelola oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan kegiatan konservasi.
Kawasan pariwisata dipandang memiliki keunggulan dalam hal peningkatan nilai tambah bagi masyarakat sekitar maupun pemerintah sehingga mampu merangsang pertumbuhan kesempatan kerja secara langsung dan tidak langsung, baik di sektor formal maupun informal. Untuk mempersiapkan masyarakat agar mampu berkontribusi mengelola kawasan secara lebih baik di masa yang akan datang, maka pemerintah melalui Balai Taman Nasional menyusun program-program yang melibatkan masyarakat secara langsung diantaranya pemberdayaan masyarakat dan pendidikan lingkungan.
Peluang masyarakat dalam mengakses kawasan tergantung pada sejauhmana struktur akses dan kontrol dari Taman Nasional dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengelola kawasan ekowisata. Terkait dengan pola akses dan kontrol terhadap kawasan tersebut, perlu dikaji tentang tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat yang diukur pada kelompok/golongan tertentu dilokasi tertentu yang menerima atau memperoleh program tertentu dari ekowisata di Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Menurut Arnstein, 1969 tingkatan partisipasi terdiri dari: manipulasi (komitmen resmi), terapi (pemegang kekuasaan mendidik rakyat), pemberitahuan (hak-hak masyarakat dan pilihan-pilihannya mulai diidentifikasikan), konsultasi
(masyarakat didengar tetapi tidak dipakai sarannya), placation (saran masyarakat diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan), kemitraan (timbal balik dinegosiasikan), pendelegasian kekuasaan (masyarakat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program), dan kontrol oleh masyarakat. Tingkat partisipasi juga dipengaruhi oleh karakteristik program ekowisata yang disosialisasikan di dalam masyarakat. Adapun sosialisasi kegiatan diukur dari tipe pendekatan dan media penyampaian pesan yang dilakukan oeh pihak pengembang ekowisata. Kerangka pemikiran ini dikonstruksikan seperti yang terlihat pada gambar 1.
Keterlibatan/partisipasi warga
Manfaat: • Ekonomi • Ekologi
Struktur akses dan kontrol TNLKpS
Peran para pihak dalam kegiatan ekowisata Peluang ekonomi ekowisata Kelompok usaha ekowisata Karakteristik alam kepulauan seribu Keterangan: = mempengaruhi = saling mempengaruhi
2.8 Hipotesis Penelitian
Untuk mengarahkan penelitian ini, dirumuskan hipotesis berikut:
Keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam usaha ekowisata di Kepulauan Seribu mampu menimbulkan manfaat ekonomi dan ekologi masyarakat.
Atas dasar hipotesis tersebut, dikembangkanlah hipotesis uji sebagai berikut: Ho : Keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam usaha ekowisata tidak mampu membangkitkan manfaat ekonomi dan ekologi
H1 : tolak Ho
2.9 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan konsep-konsep yang dibuat untuk membantu dalam pengumpulan data di lapangan, yang selanjutnya membentu dalam mengolah serta menganalisis data.
Sejumlah konsep operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Struktur akses dan kontrol adalah jenis kegiatan pemanfaatan yang dapat dilakukan di setiap zona yang ada di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu berdasarkan menurut SK Dirjen PHKA nomor SK 05/IV-KK/2004.
2. Karateristik alam Kepulauan Seribu adalah potensi alam yang ada di Kepulauan Seribu yang dimanfaatkan menjadi objek wisata.
3. Peluang ekonomi adalah jenis kegiatan ekonomi yang tumbuh di masyarakat Pulau Pramuka akibat adanya keterlibatan masyarakat dalam usaha ekowisata. 4. Peran para pihak dalam kegiatan ekowisata adalah kegiatan sosialisasi dari
pihak-pihak yang berperan dalam ekowisata. Ukurannya terdiri dari pendekatan individu, kelompok, massal, dan pengaruh tidak langsung.
5. Tingkatan keterlibatan warga masyarakat diukur berdasarkan konsep partisipasi yang dikembangkan oleh Arnstein (1969) yang terdiri dari manipulasi (komitmen resmi), terapi (pemegang kekuasaan mendidik rakyat), pemberitahuan (hak-hak masyarakat dan pilihan-pilihannya mulai diidentifikasikan), konsultasi (masyarakat didengar tetapi tidak dipakai sarannya), placation (saran masyarakat diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan), kemitraan (timbal balik dinegosiasikan), pendelegasian kekuasaan (masyarkat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program), dan kontrol oleh masyarakat
6. Kelompok usaha ekowisata adalah kelompok swadaya masyarakat yang berkembang di Pulau Pramuka yang bergerak di bidang usaha ekowisata khususnya pemandu wisata.
7. Manfaat ekowisata adalah keuntungan yang diterima dan dirasakan oleh masyarakat berkaitan dengan pengembangan kegiatan ekowisata di sekitar tempat tinggal mereka. manfaat ekowisata akan dibagi menjadi manfaat ekonomi yaitu peningkatan pendapatan dan peluang kerja, serta manfaat ekologi yaitu adanya rehabilitasi terumbu karang.
BAB III METODOLOGI
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang di dukung dengan metode wawancara dengan informan, dan observasi. Data tentang karakteristik masyarakat lokal, tingkat partisipasi, bentuk partisipasi masyarakat, sosialisasi ekowisata serta manfaat ekowisata dikumpulkan dengan menggunakan metode survei. Metode penelitian survei adalah metode pengambilan sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, Masri dan Effendi, 1989). Untuk memperkuat hasil survei dan wawancara dengan masyarakat lokal, juga dilakukan wawancara dengan pedoman pertanyaan dengan informan untuk menelaah tingkat keterlibatan masyarakat lokal terhadap usaha ekowisata dan manfaat ekowisata. Tipe penelitian ini adalah
eksplanatory, yakni berusaha mengetahui ada atau tidak pengaruh variabel
keterlibatan masyarakat dengan manfaat ekonomi dan ekologi yang diperoleh masyarakat.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Lokasi ini dipilih secara purposive (sengaja) karena pulau ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (zona pemanfaatan) yang tengah giat menyelenggarakan usaha ekowisata. Konsep taman nasional juga mengalami perkembangan tidak hanya dikenal sebagai daerah konservasi saja tetapi sebagai daerah pariwisata alam sebagai perwujudan konsep ekowisata. Penelitian ini telah dilaksanaan pada bulan Mei-Juni 2009.
3.3 Penentuan Responden dan Informan
Unit pengamatan dari penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah unit individu. Responden dipilih dengan teknik pengambilan sampel tertentu setelah mengetahui gambaran kondisi setempat. Responden diambil secara
purposive sampling berdasarkan kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang
terkait atau mendukung kegiatan ekowisata. Usaha ekowisata yang terdapat di pulau Pramuka lebih banyak dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat, sehingga kelompok-kelompok ini dipilih secara sengaja karena dianggap mampu memberikan gambaran ekowisata dan partisipasi masyarakat terhadap perkembangan ekowisata di pulau Pramuka. Terdapat sebelas kelompok swadaya masyarakat yang terdapat di Pulau Pramuka. Mereka tergabung dalam Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP). Kelompok swadaya yang dipilih adalah yaitu Dolphin Ecotourism dan Elang Ekowisata.
Data kualitatif diperoleh juga dari informan yang dipandang mengetahui kondisi masyarakat setempat dengan prinsip snowball sampling (bola salju), untuk melengkapi data serta informasi yang diperoleh dari responden. Informan yang diwawancarai terdiri dari pihak pengelola wisata, tokoh-tokoh masyarakat, serta anggota kelompok swadaya masyarakat. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 20 orang yang merupakan anggota tour operator ekowisata dan orang-orang yang telah menjadi pelaku lama dalam kegiatan ekowisata.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode survei dengan menggunakan kuesioner pada sejumlah responden yang berjumlah 20 orang. Dilakukan pula wawancara dengan panduan pertanyaan kepada sejumlah informan untuk memperkuat dan validasi hasil wawancara dengan metode survei. Selama studi di lapangan telah dilakukan observasi terhadap kegiatan pendampingan wisatawan yang dilakukan oleh para anggota tour operator, pengamatan objek wisata dan kegiatan konservasi yang dilakukan dalam ekowisata oleh Taman Nasional dan masyarakat.
Data sekunder juga diperoleh dari instansi terkait (Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya) berupa dokumen-dokumen tentang potensi wilayah ekowisata dan profil kawasan ekowisata. Data primer yang diambil meliputi karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendapatan, mata pencaharian, dan tingkat pendidikan), tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat, sosialisasi kegiatan ekowisata serta manfaat ekonomi dan ekologi yang dirasakan oleh masyarakat.
Dalam hal ini pengamatan pola hidup masyarakat dan diskusi dengan informan kunci juga membantu dalam pengumpulan data primer. Informan kunci berasal dari pihak-pihak terkait baik dari masyarakat maupun dari pengelola kawasan wisata. Data sekunder meliputi keadaan umum wilayah desa, dokumen-dokumen bersejarah serta data-data penunjang data primer lainnya. Jenis data yang diperlukan dan dikumpulkan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Data yang Diperlukan dalam Penelitian
No. Aspek Variabel Sasaran Pengumpulan Data 1. Atribut individu umur, jenis
kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, serta tingkat pendapatan Responden Kuesioner
2. Struktur akses dan
kontrol TNLKpS Informan Data Sekunder 3 Karateristik alam Kepulauan Seribu Pemandangan, pantai, kekhasan atraksi budaya, adat istiadat, Data sekunder 4. Kelompok
ekowisata • lingkup kegiatan ekowisata • pihak-pihak yang terlibat dalam mendorong partisipasi masyarakat pengelola ekowisata Pedoman wawancara, observasi,studi pustaka
5. Peran para pihak dalam kegiatan ekowisata Sosialisasi kegiatan ekowisata: • Tipe pendekatan Responden, informan dan pengelola Kuesioner dan wawancara terstruktur 6. Keterlibatan/ partisipasi masyarakat Bentuk kegiatan partisipasi yang di tinjau dari segi level partisipasi (pemberitahuan, konsultasi, placation, kemitraan, pendelegasian, kontrol) Responden Kuesioner, wawancara terstruktur.
7. Manfaat ekowisata Ekonomi: peningkata pendapatan, peluang usaha Konservasi: rehabilitasi terumbu karang Responden dan pengelola Kuesioner, wawancara terstruktur, observasi,studi pustaka.
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data kuantitatif dilakukan melalui tabel frekuensi. Data dari hasil kuesioner akan diolah kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi.. Data yang dianalisa secara kualitatif yaitu data tentang usaha ekowisata, sosialisasi kegiatan ekowisata, manfaat ekowisata. akan diinterpretsikan dalam bentuk matriks, tabel dan deskripsi kata untuk melengkapi data kuantitatif.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Wilayah
Kepulauan Seribu merupakan sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang terbentang dari teluk Jakarta sampai dengan Pulau Sibera. Luas total Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 11 kali luas daratan kota Jakarta dengan luas lautan 6.997.50 Km2 dan luas daratan 864.59 Ha. Pulau-pulau di Kepulauan Seribu berjumlah 106 pulau dengan peruntukan yang beragam diantaranya 11 pulau untuk pemukiman, 9 pulau wisata umum, 36 pulau wisata lainnya, 4 pulau dengan bangunan sejarah, 2 pulau cagar alam serta sisanya digunakan untuk penghijauan atau untuk peruntukan khusus.
Sesuai dengan peruntukan dan karakteristik tersebut, maka kebijaksanaan pembangunan DKI Jakarta dalam mengembangkan Kepulauan Seribu lebih diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata, meningkatan kualitas kehidupan masyarakat nelayan dengan peningkatkan budidaya laut, pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang dan mangrove Hal ini sejalan dengan visi dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yaitu “Menjadikan Kepulauan Seribu sebagai ladang dan taman kehidupan bahari yang berkelanjutan”.
Penduduk Kepulauan Seribu terdiri dari beberapa suku diantaranya Bugis, Banten, Madura dan Betawi. Jumlah penduduk di Kepulauan Seribu mencapai 20,376 jiwa dengan pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 3,5% pertahun. Sebagai masyarakat pesisir, sebagian besar mata pencaharian mereka adalah nelayan dan sebagian kecilnya bekerja di bidang pertukangan dan jasa. Sebagai
akibat dari krisis ekonomi global yang terjadi saat ini membuat sektor pariwisata semakin lesu, keadaan ini membuat pulau-pulau peruntukan pariwisata eksklusif menjadi sepi wisatawan dan pengembangan infrastruktur pulau-pulau indah lainnya yang berpotensi sebagai tempat wisata menjadi tertunda.
Untuk meningkatkan upaya pelayanan kepada masyarakat khususnya di sektor pertambangan dan energi, pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu telah mengupayakan tersedianya pasokan listrik yang memadai bagi masyarakat Kepulauan Seribu. Suplai listrik kini mulai tersedia di wilayah Kepulauan Seribu bagian selatan dan secara bertahap menyusul di Kepulauan Seribu bagian utara.
Pramuka
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2001, Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya dari kecamatan di bawah Kotamadya Jakarta Utara menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan ibukota Pulau Pramuka. Sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah gugusan Kepulauan Seribu (gambar 1). Dahulu Pulau Pramuka dikenal dengan sebutan Pulau Elang. Pulau ini mulai dihuni penduduk yang sebagian besar berasal dari Pulau Panggang pada tahun 1972. Saat itu, Pulau Panggang yang berjarak seperempat jam dengan speedboat dari Pulau Pramuka memiliki kepadatan penduduk yang dinilai sangat tinggi. Untuk itu, melalui SK. Gubernur DKI, dimulailah proses transmigrasi dari Pulau Panggang ke Pulau Pramuka.
Pulau Pramuka merupakan salah satu dari 11 pulau peruntukan penghunian yang ada di Kepulauan Seribu. Jumlah penduduk dari pulau ini mencapai 1004 jiwa. Pulau ini termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Luas pulau Pramuka mencapai 16 hektar. Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1986/2000, wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 13 pulau dengan luas yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas Wilayah Pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang No Nama pulau Luas (ha) Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Pulau panggang Pulau pramuka Pulau karya Pulau peniki
Pulau karang bongkok Pulau karang congkak Pulau kotok besar Pulau air besar Pulau gosong sekati Pulau semak daun Pulau gosong pandan Pulau opak kecil Pulau kotok kecil
9 16 6 3 0,50 0,60 20,75 2,90 0,20 0,75 - 1,10 1,30 Pemukiman Pemukiman
perkantoran/Tempat Pemakaman Umum (TPU) Navigasi Peristirahatan Peristirahatan Pariwisata Peristirahatan Peristirahatan
Pulau Hunian Utama (PHU) Peristirahatan
Peristirahatan
Pulau Hunian Utama (PHU)
Jumlah 62,10
Sumber: Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, April 2008
Berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta tersebut jumlah pulau yang ada di Kelurahan Pulau Panggang berjumlah 16 pulau namun akibat abrasi air laut sampai saat ini secara fisik berkurang menjadi 13 pulau. Adapun batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang sebagai berikut:
Sebelah utara : berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Kelapa Sebelah timur : berbatasan dengan perairan Pulau Jawa
Sebelah barat : berbatasan dengan perairan Laut Jawa
Sebelah selatan : berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Tidung.
Untuk menuju ke pulau Pramuka dapat ditempuh melalui dermaga Muara Angke. Sebagai pusat pemerintahan kabupaten, pulau Pramuka mulai menyediakan sarana dan prasarana dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat Kepulauan Seribu seperti rumah dinas bupati dan pejabat kabupaten, RSUD Kepulauan Seribu yang mampu menyediakan pelayanan rawat inap dan penanggulangan hiperbari, Masjid Agung, doking kapal nelayan, Tempat