Oleh : HESTI WORO TRIUTAMI
I34051032
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
towards Ecotourism Exertion in Kepulauan Seribu. (Supervised by SOERYO ADIWIBOWO)
One of natural resource management form which is becoming a public attention recently is ecotourism exertion. Several nation park has developed this ecotourism activities. For instance, is “Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu”. The utilization opportunities of the ecotourism area depends on accses and control patterns that given by national park to involve community’s participation in managing ecotourism areas, so that ecotourism can give economic and ecological benefits to community at the same time. This reaserch was review about community’s participation level in ecotourism exertion and the economic and ecoligic benefit for the community in Pramuka Island, Kepulauan Seribu.
Perkembangan pariwisata yang amat pesat dewasa ini cenderung melaju ke arah spesifikasi minat wisatawan terhadap jenis perjalanan atau jenis wisata yang dilakukan. Salah satu jenis wisata yang akhir-akhir ini semakin mendapatkan perhatian dan banyak dilakukan adalah ekowisata. Beberapa destinasi dari taman nasional mencoba untuk mengembangkan ekowisata ini. Salah satunya adalah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Hal ini menunjukkan potensi obyek yang terdapat dalam kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai pilihan tujuan wisata alam yang menarik. Kawasan pariwisata dipandang memiliki keunggulan dalam hal peningkatan nilai tambah dalam hal merangsang pertumbuhan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar.
Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan ekowisata. Agar pengembangan ekowisata dapat berkelanjutan dan efektif, pandangan dan harapan masyarakat setempat memiliki hak mutlak dan akses terhadap kawasan ekowisata, pengembangan ekowisata lestari tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan. Peluang masyarakat dalam mengakses kawasan tergantung pada sejauhmana struktur akses dan kontrol dari Taman Nasional dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengelola kawasan ekowisata. Peluang akses terhadap kawasan ekowisata yang didapatkan masyarakat ternyata mampu menumbuhkan peluang ekonomi. Salah satunya adalah usaha ekowisata yang dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat. Kegiatan usaha dalam bidang ekowisata yang terbentuk di masyarakat ini menimbulkan manfaat bagi kehidupan masyarakat, diantaranya adalah manfaat ekologi dan ekonomi.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam usaha ekowisata di Kepulauan Seribu dan untuk mengetahui manfaat ekonomi bagi warga Pulau Pramuka dan Manfaat Ekologi bagi Kepulauan Seribu akibat keterlibatan warga tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survei yang dilengkapi dengan metode wawancara dengan informan, dan observasi. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta. Lokasi ini dipilih secara purposive (sengaja) karena pulau ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (zona pemukiman) yang tengah giat menyelenggarakan usaha ekowisata. Responden yang diambil sebanyak 20 orang yang berasal dari 2 kelompok usaha pemandu wisata yang ada di Pulau Pramuka. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan metode purposive sampling
salah satunya bertujuan untuk mengembangkan usaha ekowisata. Manfaat ekonomi yang didapatkan masyarakat dari kegiatan ekowisata ini adalah terbukanya peluang bekerja bagi para pemuda, sedangkan masnfaat ekologi yang dirasakan oleh masyarakat antara lain adalah semakin membaiknya kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Pramuka akibat adanya kegiatan transplantasi karang.
Oleh :
HESTI WORO TRIUTAMI I34051032
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh :
Nama : Hesti Woro Trutami NRP : I34051032
Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Keterlibatan Warga Pulau Pramuka dalam Usaha
Ekowisata di Kepulauan Seribu
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembagan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Insitut Pertanian Bogor.
Menyetujui , Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KETERLIBATAN WARGA PULAU PRAMUKA DALAM
USAHA EKOWISATA DI KEPULAUAN SERIBU” ADALAH BENAR
HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, September 2009
Penulis bernama Hesti Woro Triutami yang dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1987 di Jakarta. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak (Alm.) Heru Santoso dan Ibu Sukesti. Pendidikan yang pertama kali ditempuh penulis adalah Tman Kanak-Kanak Tunas Harapan Bogor pada tahun 1992-1993. Kemudian penulis melanjutkan di Sekolah Dasar Mekarsari II Bogor pada tahun 1993-1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 7 Depok pada tahun 1999-2002, dan Sekolah Menengah Umum 1 Ciputat pada tahun 2002-2005.
Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan memilih Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, khususnya anggota kepanitiaan Event besar di IPB seperti Art IPB’s Days 2006 (AIDS 2006), Futsal Nasional tahun 2006 dan 2007, Indonesian Futsal League (IFL) 2007, COOL AND KEEN IN ART IPB CONTEST (COOKIES) 2007, Communication and Comunity Development Expo (COMMNEX) 2008 serta tergabung sebagai anggota Divisi Jurnalistik, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) 2007-2008.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah memberikan nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Pengembangan Usaha Ekowisata: Partisipasi Masyarakat dan Manfaat Ekowisata bagi Kehidupan Masyarakat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu”. Dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji tipologi dan proses partisipasi masyarakat terhadap pengembangan usaha ekowisata serta manfaat ekowisata bagi kehidupan masyarakat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun materi sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. selaku dosen pembimbing Studi Pustaka, serta pembimbing skripsi yang selama ini telah memberikan bimbingan dan arahan penuh kesabaran.
2. Dosen penguji yaitu bapak Ir.Saharudin, MS dan Ir. Murdianto, MSi yang telah memberikan banyak masukan dan saran kepada penulis.
3. Orang tua dan kakak tercinta yang telah memberikan dukungan, perhatian dan semangat kepada penulis untuk melakukan segala aktivitas pendidikan. Terima kasih atas doanya
4. Tantri, teman sekamarku, yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan perhatian selama penulis melakukan penelitian.
6. Para Staf Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian ini.
7. Teman-teman seperjuangan D3 Ekowisata IPB Angkatan 43, Universitas Nusa Bangsa dan PSP 42: Wawan, Dayu, Fajar, Hasbi, Abay, Ray, dan Nano. Terima kasih atas bantuan dalam melakukan penelitian, keceriaan yang diberikan, dan berbagai pengalaman yang diberikan kepada penulis selama penelitian.
8. Sahabat-sahabat KPM 42 : Koe, Puty, Nits, Taye, Egi, Indah, dan yang lainnya yang sering saya repotkan. Vina dan Rio yang menjadi teman selama di Pulau Pramuka. Semoga persahabatan kita tidak hanya di masa perkuliahan saja.
9. Aida, selaku rekan seperjuangan dan sebimbingan mulai dari Studi Pustaka sampai skripsi. Terima kasih atas dorongan, kritikan dan masukan untuk penulis.
10. Serta semua pihak yang telah membantu penyusunan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini. Oleh karena itu penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
1.1 Latar Belakang
Indonesia termasuk salah satu negara ”megadiversity“ sumberdaya hayati di dunia, kekayaan satwa dan flora yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa
keanekaragaman hayati di nusantara ini adalah nyata. Keanekaragaman hayati
merupakan aset bangsa yang harus dimanfaatkan secara bijak dan hati-hati agar
tidak rusak dan berguna tidak hanya bagi negara Indonesia saja tetapi juga bagi
negara lain. Konsep taman nasional muncul sebagai upaya untuk melakukan
konservasi terhadap keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Sejalan
dengan perkembangan pembangunan, konsep taman nasional juga mengalami
perkembangan tidak hanya sebagai daerah konservasi saja maka diperkenalkanlah
pariwisata alam sebagai perwujudan konsep ekowisata (Riyanto, 2005).
Perkembangan pariwisata yang amat pesat dewasa ini cenderung melaju ke
arah spesifikasi minat wisatawan terhadap jenis perjalanan atau jenis wisata yang
dilakukan. Salah satu jenis wisata yang akhir-akhir ini semakin mendapatkan
perhatian dan banyak dilakukan adalah “ekowisata”. Ternyata beberapa destinasi
dari taman nasional berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini. Salah satunya
adalah Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Saat ini ada kecenderungan masyarakat untuk berwisata ke daerah yang
masih asli dan alami. Hal ini menunjukkan peluang pemanfaatan kawasan
konservasi sebagai pilihan tujuan wisata alam. Potensi obyek wisata alam yang
berada dalam kawasan taman nasional dan kawasan pelestarian alam yang lain,
pendapatan bagi negara dan penciptaan lapangan kerja serta sumber pendapatan
bagi masyarakat setempat (Riyanto, 2005).
Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah
tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang
keberhasilan perkembangan ekowisata. Peran serta masyarakat di dalam
memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat
diabaikan. Hal yang terpenting adalah upaya memberdayakan masyarakat
setempat dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan ekowisata
(Brandon, 1993 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000). Untuk itu pengelola harus
dapat menghimbau masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif secara positif
dalam perkembangan ekowisata dengan memelihara lingkungan di sekitar mereka.
Agar perkembangan ekowisata dapat berjalan dengan baik, masyarakat
setempat yang berada di sekitar daerah tujuan ekowisata seharusnya memiliki hak
mutlak dan akses terhadap kawasan ekowisata, perkembangan ekowisata lestari
tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan, dan hanya
dimanfaatkan serta merasa terancam oleh kegiatan ekowisata. Menurut Ribot dan
Peluso, 2003 seperti dikutip oleh Adiwibowo et al., 2009 akses diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things) dan dimaknai sebagai ”sekumpulan kekuasaan” (”a bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai ”sekumpulan hak” (”bundle of rights”). Sehingga bila dalam studi properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi
tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari
kepada penduduk setempat bahwa ekowisata memang dapat memberikan
keuntungan kepada penduduk setempat (Panos, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti,
2000), sebab tanpa bukti nyata mereka tidak akan termotivasi untuk mendukung
program pelestarian lingkungan (Harrison, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti,
2000).
Namun apakah kelompok-kelompok usaha ekowisata ini memang
memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam perkembangan ekowisata yang
berada di kawasan Taman Nasional? sejauhmana tingkat partisipasi yang dicapai
oleh mereka? bagaimana proses yang ditempuh sehingga tumbuh partisipasi
tersebut? serta sejauhmana manfaat yang terbentuk di masyarakat sekitar kawasan
ekowisata? Maka dalam penelitian ini akan dicoba untuk dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perumusan masalah penelitian.
1.2 Rumusan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang akan
dikaji adalah:
1. Apa bentuk keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam memanfaatkan usaha
ekowisata di Kepulauan Seribu?
2. Sejauhmana keterlibatan warga tersebut membuahkan manfaat ekonomi bagi
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin peneliti dapatkan dari perumusan masalah tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bentuk keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam memanfaatkan
usaha ekowisata di Kepulauan Seribu
2. Mengetahui manfaat ekonomi bagi warga Pulau Pramuka dan manfaat ekologi
bagi Kepulauan Seribu yang terjadi akibat keterlibatan warga dalam usaha
ekowisata.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peneliti dalam
menerapkan berbagai konsep dan teori partisipasi dalam perkembangan sesuai
dengan realita yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini juga dilakukan untuk
memperoleh gambaran serta informasi mengenai manfaat ekowisata bagi
kelompok masyarakat lokal di bidang ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
memberi masukan berupa data dan informasi mengenai partisipasi masyarakat
yang memberikan peluang besar terhadap upaya peningkatan pengelolaan daerah
ekowisata. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan mampu menyumbangkan
pemikiran bagi kepentingan pengelola sektor pariwisata untuk mewujudkan
perkembangan ekowisata di kawasan wisata alam pada khususnya dan daerah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekowisata
2.1.1 Perkembangan Ekowisata di Indonesia
Menurut Gatot (1999), ekowisata mulai menjadi isu nasional di Indonesia
semenjak Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Nasional yang diselenggarakan oleh
Pact-Indonesia dan WALHI, bulan April 1995. Acara tersebut menghasilkan suatu
rumusan dalam kegiatan ekowisata, masyarakat setempat harus dilibatkan dalam
pengelolaan ekowisata secara proporsional.
Sejak saat itu, ekowisata mulai menjadi perhatian beberapa kalangan
seperti LSM, Instansi Pemerintah, Lembaga Usaha Pariwisata, Lembaga
Penelitian, dan Perguruan Tinggi. Sudah banyak pertemuan seperti seminar,
lokakarya, dan forum diskusi dilakukan, dan sudah banyak pula kajian dan
kebijakan yang dihasilkan. Akan tetapi produk ekowisata yang ada di Indonesia
masih terbatas. Perkembangan ekowisata semenjak mulai dikenal pada awal tahun
1990-an, hingga akhir tahun 1999 masih sangat lambat. Padahal bila melihat dari
potensinya seharusnya jumlah produk ekowisata sudah cukup banyak. Banyak hal
yang menyebabkan lambatnya perkembangan ekowisata di Indonesia, antara lain:
1. Belum adanya pedoman yang dapat mendorong ekowisata menjadi kegiatan
pelestarian alam dan ekonomi berkelanjutan
2. Masih rendahnya pemahaman ekowisata oleh berbagai stakeholder terutama dari kaum birokrat yang dapat dianggap sebagai pendorong maupun pelaksana
3. Masih adanya keraguan terhadap kebenaran konsep ekowisata yang dapat
dijadikan sebagai kegiatan ekonomi berkelanjutan yang sekaligus mampu
memberdayakan masyarakat setempat.
Untuk mempercepat perkembangan ekowisata harus dilakukan suatu
kajian yang mendalam, karena metoda dan pendekatan ekowisata di setiap daerah
akan berbeda-beda; proses sosialisasi ekowisata kepada kalangan pemerintah
daerah, pengusaha swasta bidang perjalanan wisata, lembaga penelitian,
perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan persepsi
dan pemahaman yang benar terhadap bidang ekowisata ini; serta penyebarluasan
kisah keberhasilan (succes stories) berbagai lembaga yang berada di dalam dan di luar negeri dalam mengembangkan ekowisata yang berdampak langsung terhadap
pelestarian alam serta meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar
daerah tujuan ekowisata.
2.1.2 Pengertian Ekowisata
Beberapa istilah yang muncul dan berkaitan dengan usaha pembaharuan
bidang usaha pariwisata, seperti alternative tourism, nature tourism, responsible tourism, spesial interest, dll. Ecotourism merupakan istilah yang dianggap tepat, karena arti dan komitmen yang sangat jelas terhadap kelestarian alam dan
pemberdayaan masyarakat (Gatot, 1999).
Istilah ecotourism, berasal dari kata : 1. Ecological
2. Economical
bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ekowisata berasal dari kata :
1. Ekologi, artinya ekologi sebagai sumberdaya dan daya tarik ekowisata, dan
ekowisata memberikan kontribusi positif terhadap upaya pelestarian alam dan
lingkungan
2. Ekonomi, artinya bahwa ekowisata merupakan kegiatan ekonomi yang
berkelanjutan
3. Evaluasi Kepentingan dan Opini masyarakat, artinya ekowisata mempunyai
kepedulian terhadap peningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan
tersebut, serta ekowisata merupakan suatu upaya peningkatan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang diharapkan masyarakat yang
diberdayakan ekonominya tersebut dapat memberikan kontribusinya pula
terhadap pelestarian alam dan lingkungan.
Menurut Gatot (1999), belum ada istilah yang tepat dalam menerjemahkan
istilah ecotourism ke dalam bahasa Indonesia, ada yang menerjemahkan ekowisata dengan istilah wisata ekologis dan ada pula yang menterjemahkan
sebagai ekowisata walaupun ekowisata sebagai istilah yang paling enak didengar
dan ringkas, istilah ini sebenarnya tidak memenuhi kaidah bahasa indonesia yang
benar yaitu wisata ekologi. Kesepakatan yang disepakati dalam simposium dan
semiloka ecotourism pada April 1995 yang diselenggarakan PACT/WALHI dan Januari serta Juli 1996 yang diselenggarakan kembali oleh INDECON, dihasilkan
rumusan yang merupakan hasil pengembangan dari defenisi yang dikeluarkan
oleh The Ecotourism Society yaitu :
”Ekowisata adalah kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah
tujuannya selain untuk menikmati keindahan juga melibatkan unsur pendidikan,
pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam dan
peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata”
Definisi diatas menjelaskan, ada lima hal yang mendasari kegiatan ekowisata
yaitu :
1. Perjalanan wisata yang bertanggung jawab,
2. Di daerah-daerah yang masih alami (nature mode) atau di daerah yang dikelola secara kaidah alam,
3. Tujuannya selain untuk menikmati pesona alam, juga untuk mendapatkan
tambahan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai fenomena alam
dan budaya,
4. Memberikan dukungan terhadap upaya-upaya konservasi alam, dan
5. Meningkatkan pendapatan masayarakat setempat
Daya tarik objek dan kegiatan ekowisata
Unsur yang paling penting yang menjadi daya tarik dari sebuah daerah
tujuan ekowisata adalah:
1. Kondisi alamnya, contoh : hutan tropis dan terumbu karang
2. Kondisi flora dan fauna yang unik, langka, dan endemik, seperti raflesia,
badak jawa, komodo dan orang utan
3. Kondisi fenomena alamnya, seperti : Gunung Krakatau dan Danau Kelimutu
4. Kondisi adat dan budaya, seperti Baduy dan Sumba
o Diving
o Bird watching o Game fishing o Wild life viewing
Mengemas Produk Ekowisata
Sesuai dengan definisi ekowisata, maka sebuah produk ekowisata dapat
dikategorikan sebagai produk ekowisata jika memenuhi kriteria sebagai berikut :
o Bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan alam dan budaya yang
ditimbulkannya,
o Dilakukan di daerah alami atau yang dikelola sesuai dengan kaidah alam,
o Melibatkan unsur-unsur pendidikan dan pemahaman terhadap lingkungan dan
budaya daerah tujuan ekowisata, serta
o Mendukung upaya konservasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat
setempat.
Berdasarkan kategori di atas maka tentunya sebuah produk ekowisata
harus direncanakan dengan baik dan sebuah produk ekowisata harus bermuatan
pendidikan dengan informasi yang relevan berdasarkan hasil interpretasi para
pelaksana kegiatan ekowisata, dan mampu mendukung upaya konservasi kawasan
tersebut (Gatot, 1999).
2.2 Perkembangan Ekowisata
Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata yang mencerminkan
wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian
kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat
setempat dan menjaga kualitas lingkungan1.
2.2.1 Unsur-unsur Pengembangan Ekowisata
Pengembangan ekowisata sangat dipengaruhi oleh keberadaan unsur-unsur
yang harus ada dalam pengembangan itu sendiri, yaitu:
1. Sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya
Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa
pasar ekowisata sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya
alam, peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk
pengembangan ekowisata. Ekowisata juga memberikan peluang yang sangat
besar untuk mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di
tingkat internasional, nasional maupun lokal.
2. Masyarakat
Pengetahuan tentang alam dan budaya serta daya tarik wisata kawasan, pada
dasarnya dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, pelibatan
masyarakat menjadi mutlak, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada
tingkat pengelolaan.
3. Pendidikan
Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai
peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada
pengunjung dan masyarakat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai
tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat
1
dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai
peninggalan sejarah dan budaya.
4. Pasar
Kenyataan memperlihatkan kecendrungan meningkatnya permintaan terhadap
produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. Hal ini
disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berperilaku
positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan
yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan
kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai sejarah dan budaya setempat.
5. Ekonomi
Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi
penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui
kegiatan-kegiatan yang non ekstraktif, sehingga meningkatkan perekonomian daerah
setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata
mewujudkan ekonomi berkelanjutan.
6. Kelembagaan
Pengembangan ekowisata pada mulanya lebih banyak dimotori oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat, pengabdi masyarakat dan lingkungan. Hal ini lebih
banyak didasarkan pada komitmen terhadap upaya pelestarian lingkungan,
pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan
namun kadang kala komitmen tersebut tidak disertai dengan pengelolaan yang
baik dan profesional, sehingga tidak sedikit kawasan ekowisata yang hanya
bertahan sesaat. Sementara pengusaha swasta belum banyak yang tertarik
baru dan kurang diminati karena harus memperhitungkan social cost dan ecological-cost dalam pengembangannya.
Masalah yang mendasar adalah bagaimana membangun pengusaha yang
berjiwa pengabdi masyarakat dan lingkungan atau lembaga pengabdi masyarakat
yang berjiwa pengusaha yang berwawasan lingkungan. Pilihan kedua, yaitu
mengembangkan lembaga pengabdi masyarakat yang berjiwa pengusaha
berwawasan lingkungan dilihat lebih memungkinkan, dengan cara memberikan
pelatihan manajemen dan profesionalisme usaha. Untuk hal ini diperlukan bentuk
kerja sama dan kemitraan yang nyata yang bersifat lintas sektor, baik ditingkat
lokal, nasional, bahkan jika memungkinkan tingkat internasional, secara sinergis
saling menguntungkan, tidak bersifat eksploitatif, adil dan transparan dengan
pembagian tugas yang jelas.
Aktualisasi dari kerja sama ini, juga dimungkinkan bagi daerah yang akan
mengembangkan Daerah Tujuan Ekowisata dengan memanfaatkan potensi Taman
Wisata Alam dan Taman Nasional yang ada di wilayahnya. Pemerintah daerah
setempat dapat memprakarsai pembentukan suata “Badan” (“board”) yang akan
mengelola ekowisata secara profesional.
2.2.2 Prinsip-Prinsip Pengembangan Ekowisata
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekowisata
adalah sebagai berikut:
1. Konservasi
o Pemanfaatan keanekaragaman hayati tidak merusak sumber daya alam itu
o Relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan
kegiatannya bersifat ramah lingkungan.
o Dapat dijadikan sumber dana yang besar untuk membiayai pembangunan
konservasi.
o Dapat memanfaatkan sumber daya lokal secara lestari.
o Meningkatkan daya dorong yang sangat besar bagi pihak swasta untuk
berperan serta dalam program konservasi. Mendukung upaya pengawetan
jenis.
2. Pendidikan
Meningkatkan kesadaran masyarakat dan merubah perilaku masyarakat
tentang perlunya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
3. Ekonomi
o Dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelola kawasan,
penyelenggara ekowisata dan masyarakat setempat.
o Dapat memacu pembangunan wilayah, baik di tingkat lokal, regional
mapun nasional.
o Dapat menjamin kesinambungan usaha.
o Dampak ekonomi secara luas juga harus dirasakan oleh kabupaten/kota,
propinsi bahkan nasional.
4. Peran Aktif Masyarakat
o Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat
o Pelibatan masyarakat sekitar kawasan sejak proses perencanaan hingga
o Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk
pengembangan ekowisata.
o Memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan daerah setempat agar
tidak terjadi benturan kepentingan dengan kondisi sosial budaya setempat.
o Menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin
bagi masyarakat sekitar kawasan.
5. Wisata
o Menyediakan informasi yang akurat tentang potensi kawasan bagi
pengunjung.
o Kesempatan menikmati pengalaman wisata dalam lokasi yang mempunyai
fungsi konservasi.
o Memahami etika berwisata dan ikut berpartisipasi dalam pelestarian
lingkungan.
o Memberikan kenyamanan dan keamanan kepada pengunjung.
2.2.3 Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati
Terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan, dalam rangka
pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati, antara lain:
1. Aspek Pencegahan
o Menguragi dampak negatif dari kegiatan ekowisata dengan cara:
Pemilihan lokasi yang tepat (menggunakan pendekatan tata ruang)
Rancangan pengembangan lokasi yang sesuai dengan daya dukung
Rancangan atraksi/kegiatan yang sesuai denan daya dukung kawasan
dan kerentanan.
o Merubah sikap dan perilaku stakeholder, mulai dari pengelola kawasan,
penyelenggara ekoturisme (tour operator) serta wisatawan itu sendiri.
o Memilih segmen pasar yang sesuai.
2. Aspek Penanggulangan
o Menyeleksi pengunjung termasuk jumlah pengunjung yang diperkenankan
dan minat kegiatan yang diperkenankan (control of visitor).
o Menentukan waktu kunjungan
o Mengembangkan pengelolaan kawasan (rancangan, peruntukan,
penyediaan fasilitas) melalui pengembangan sumber daya manusia,
peningkatan nilai estitika serta kemudahan akses kepada fasilitas.
3. Aspek Pemulihan
o Menjamin mekanisme pengembalian keuntungan ekowisata untuk
pemeliharaan fasilitas dan rehabilitasi kerusakan lingkungan.
o Peningkatan kesadaran pengunjung, pengelola dan penyedia jasa
ekowisata.
2.3 Hubungan antara Ekonomi dan Konservasi dalam Ekowisata
Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah
tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang
keberhasilan perkembangan ekowisata. Peran serta masyarakat di dalam
memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat
ekowisata harus dimanfaatkan untuk melestarikan lingkungan, misalnya
digunakan untuk mengadakan sarana yang dapat mengurangi kerusakan
lingkungan. Kegiatan pariwisata yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi
dipergunakan untuk menunjang usaha konservasi kekayaan alam dan budaya.
Perkembangan ekowisata yang mendasarkan pada lingkungan alam dan
budaya sebagai daya tarik utamanya akan berimplikasi pada pelestarian
lingkungan. Semua bentuk pariwisata pada prinsipnya, perlu dikelola berdasarkan
asas kesinambungan baik secara ekologis, sosial, kultural, maupun finansial.
Ekowisata berbeda dengan bentuk pariwisata lainnya dalam hal
ketergantungannya kepada perlindungan ekosistem dan unsur budaya yang
terkandung didalamnya. Alam dan budaya adalah aset mutlak ekowisata.
Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari ekowisata harus dimanfaatkan untuk
melestarikan lingkungan, misalnya digunakan untuk mengadakan sarana yang
dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Sarana tersebut antara lain dapat berupa
lokasi perkemahan, kamar kecil, pusat interpretasi. Program konservasi murni
yang tidak dikaitkan dengan kegiatan lain seperti rekreasi adalah konsep masa lalu
yang kurang efektif sehingga perlu direvisi. Kegiatan pariwisata yang dapat
mendatangkan keuntungan ekonomi dipergunakan untuk menunjang usaha
konservasi kekayaan alam dan budaya.
Manfaat dari pengembangan ekowisata ini dengan demikian adalah
semakin terpeliharanya kelestarian lingkungan, karena tanpa lingkungan yang
berkualitas ekowisata tidak akan dapat dikembangkan. Ekowisata dan konservasi
adalah kegiatan yang saling melengkapi. Di satu sisi ekowisata tergantung pada
sebaliknya keuntungan yang didapatkan dari kegiatan ekowisata akan
dimanfaatkan bagi konservasi lingkungan disekitarnya. Tentu saja untuk mencapai
hal ini diperlukan pengelolaan aset ekowisata secara baik dan profesional. Para
pengelola pariwisata dihadapkan pada tugas berat untuk menjaga keseimbangan
antara tetap lestarinya daya tarik wisata alam dan meningkatkan pendapatan
ekonomi dari kegiatan ekowisata tersebut. Manfaat lainnya dari perkembangan
ekowisata berhubungan dengan pendapatan ekonomi yang diberikan oleh
pengembang ekowisata, penduduk setempat akan tergerak untuk ikut menjaga
kelangsungan daya tarik ekowisata.
2.4 Keterlibatan Masyarakat dalam Ekowisata
Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah
tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang
keberhasilan perkembangan ekowisata. Peran serta masyarakat di dalam
memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat
diabaikan. Hal yang terpenting adalah upaya memberdayakan masyarakat
setempat dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan ekowisata.
Pengelola harus dapat menghimbau masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif
secara positif dalam perkembangan ekowisata dengan memelihara lingkungan di
sekitar mereka. Agar perkembangan ekowisata dapat berkelanjutan dan efektif,
pandangan dan harapan masyarakat setempat memiliki hak mutlak, perkembangan
ekowisata lestari tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa
diabaikan, dan hanya dimanfaatkan serta merasa terancam oleh kegiatan
Masyarakat yang merasakan hasil dari ekowisata akan merasa tergerak
untuk ikut melindungi alam yang menjadi daya tarik ekowisata tersebut dan
menjaga lingkungan dari kerusakan. Hal yang paling penting adalah meyakinkan
dan membuktikan kepada penduduk setempat bahwa ekowisata memang dapat
memberikan keuntungan kepada penduduk setempat (Panos, 1995 seperti dikutip
oleh Sugiarti, 2000), sebab tanpa bukti nyata mereka tidak akan termotivasi untuk
mendukung dan terlibat didalamnya (Harrison, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti,
2000). Keterlibatan masyarakat dalam usaha ekowisata pada penelitian ini akan
ditinjau berdasarkan konsep partisipasi
2.4.1 Konsepsi Partisipasi Masyarakat
Secara umum partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, yang dimulai dari perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi. Ada pula yang mengartikan partisipasi
atau peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua
kelompok, kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses
pengambilan keputusan (non elit) dan yang selama ini melakukan pengambilan
keputusan (elit) (Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992).
Adapun tentang partisipasi masyarakat ini ada yang beranggapan bahwa
tidak diperlukan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat secara langsung karena
masyarakat telah terwakili oleh wakil mereka di lembaga perwakilan (legislatif)
yang dipilih melalui pemilihan umum. Namun melihat kenyataan bahwa para
wakil rakyat tersebut sering kali tidak lagi menyuarakan kepentingan
banyak dilakukan oleh eksekutif maka partisipasi masyarakat diperlukan untuk
proses pendemokratisasian dalam pengambilan keputusan di tingkat legislatif dan
eksekutif (Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992).
Melibatkan masyarakat dalam usaha ekowisata juga dapat menimbulkan
perasaan memiliki dan keinginan untuk berkontribusi dari masyarakat terhadap
penerapan program ekowisata di daerah tersebut. Untuk melakukan hal ini,
diperlukan pendekatan partisipatif yang akan memakan waktu yang lama, tetapi
dengan pendekatan ini ternyata akan dapat mengurangi atau menghindari
terjadinya konflik antar pihak yang terlibat. Lebih jauh lagi, dengan partisipasi
akan terjadi peningkatan harapan masyarakat luas terhadap pemenuhan kebutuhan
mereka.
Masyarakat akan bersedia untuk menerima tanggung jawab, peran dan
resiko ketika bekerjasama dengan pihak pemerintah, swasta maupun mitra dalam
proses pengembangan program ekowisata. Ketika kondisi ekonomi menjadi
semakin sulit, serta lebih sedikit dana masyarakat yang tersedia untuk
melaksanakan program pengembangan ekowisata ini maka mitra di luar lembaga
pemerintah dapat selalu berperan, baik dalam hal uang ataupun hal lain.
Kemitraan dapat membantu memelihara atau meningkatkan pelayanan kepada
publik.
Tingkat keterlibatan masyarakat melalui kemitraan terhadap usaha
ekowisata diharapkan tinggi. Pengelola kawasan ekowisata biasanya selalu
enggan untuk melibatkan masyarakat, dengan alasan bahwa masyarakat biasanya
apatis dan membuang-buang waktu. Dampaknya, masyarakat juga tidak merasa
Kemitraan yang dibina dalam usaha ekowisata lebih diarahkan bagi para pihak
yang telibat di dalamnya untuk saling bertukar informasi, dana dan tenaga
sehingga terdapat pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang
nantinya diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Pengelola memiliki tanggung jawab untuk melakukan pendekatan
partisipasi terhadap masyarakat. Hal inilah yang coba diterapkan dalam ekowisata
berbasis masyarakat dimana terdapat distribusi sebagian kekuasaan dari pengelola
kepada masyarakat agar mereka juga dapat mengelola kawasan sesuai dengan
kebutuhan dan pengetahuan lokal masyarakat. Sebagaimana pengamatan Arnstein
(1969) seperti dikutip oleh Mitchell (1997), sebuah pendekatan partisipasi
menunjukkan distribusi kekuasaan dari pengelola ke masyarakat. Berdasarkan hal
ini, Arnstein berpendapat bahwa berbagai tingkatan pelibatan dapat
diindentifikasikan, mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pelimpahan
kekuasaan seperti yang dipaparkan pada Tabel 1. Critical review terhadap kelemahan teori Arnstein ini adalah bahwa konsep partisipasi yang didefinisikan
ternyata diukur dari delapan variabel yang ditinjau dari sudut pandang pihak yang
mendorong partisipasi (dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Kepulauan
Tabel 1. Delapan Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arnstein (1969)
Tingkatan Partisipasi Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan
Tidak ada partisipasi
3. Pemberitahuan
4. Konsultasi
5. Placation
Hak-hak masyarakat dan pilihan-pilihannya diidentifikasikan Masyarakat didengar, tetapi tidak dipakai sarannya
Saran masyarakat
diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan
Tokenism
6. Kemitraan
7. Pendelegasian kekuasaan
8. Kontrol Masyarakat
Timbal balik dinegosiasikan Masyarakat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program
Tingkatan kekuasaan masyarakat
Tingkatan 1 dan 2 yaitu manipulasi dan terapi merupakan partisipasi yang
bersifat mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua ini Arnstein
menganggap itu bukan bentuk partisipasi. Tingkatan 3 sampai dengan 5 yaitu
pemberitahuan, knsultasi dan placation termasuk dalam tingkatan kekuasaan ״tokenism ״, dimana rakyat/masyarakat diperbolehkan mengeluarkan pendapat
dan pendapat mereka didengarkan namun masyarkat tidak memiliki kemampuan
untuk mendapatkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan dipertimbangkan oleh
pihak pengambil keputusan. Pemegang kekuasaan lebih menentukan semua
keputusan. Sedangkan pada tingkatan 6 sampai dengan 8 yaitu kemitraan,
pendelagasian kekuasaan dan kontrol masyarakat, rakyat mempunyai pengaruh
didalam proses pengambilan keputusan, pada tingkatan ini masyarakat dan
partisipasi Arnstein akan diaplikasikan dari sudut pandang warga masyarakat
yang memanfaatkan usaha ekowisata yang terdapat di Kepulauan Seribu.
Tingkatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk
melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi
untuk mendidik atau ”menyembuhkan” partisipan (masyarakat tidak tahu
sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum).
2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat
tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk
berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan
untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan
oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan
yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.
3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik.
Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan
kesempatan melakukan tangapan balik (feed back).
4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada
bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah
aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.
5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat
dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan.
Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan
keberadaan usulan tersebut.
Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari
partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan
keputusan.
6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada
negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal
perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada
masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan
keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan
kesepakatan.
7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri
beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas
8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya
sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.
2.4.2 Manfaat Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat diperlukan dalam konteks ekowisata dan kaitannya
untuk menunjang konservasi sumberdaya alam (Mitchell, 1997) agar:
1. Dapat menampung reaksi dan mendapatkan umpan balik terhadap keputusan
yang akan diambil sehingga dengan demikian dapat mengeliminir dampak,
meningkatkan kualitas dari keputusan yang diambil, dan menghindari konflik
yang berkepanjangan
2. Dapat mengakomodasi aspirasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya yang
pada akhirnya akan lebih menjamin dukungan masyarakat terhadap konservasi
sumberdaya alam.
3. Proses penyampaian informasi dan pendidikan kepada masyarakat dapat
berlangsung lebih efektif.
4. Dapat menjamin adanya proses pengidentifikasian permasalahan yang
sesungguhnya terjadi dan kebutuhan-kebutuhan bagi alternatif
penanggulangannya yang pada akhirnya akan menjamin adanya penyelesaian
masalah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam.
5. Dapat menggali ide dan menumbuhkan kreatifitas masyarakat yang pada
6. Terjaminnya proses demokratisasi sehingga jaminan untuk pencapaian yang
nyata dari tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat.
Untuk menentukan bentuk partisipasi masyarakat itu, maka perlu
ditentukan masyarakat mana yang dimaksud. Kelompok masyarakat yang terkait
atau berkepentingan terhadap sumberdaya hutan tidak selalu berarti masyarakat
yang secara fisik berada dekat dengan sumberdaya tersebut namun bisa termasuk
juga kelompok masyarakat kota misalnya yang menikmati atau mengkonsumsi
sumberdaya tersebut. Tidak semua kelompok masyarakat yang memiliki
kepentingan terhadap sumberdaya hutan memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi kebijaksanaan yang berdampak pada kehidupannya, maka
masyarakat yang dimaksudkan khususnya adalah masyarakat yang paling besar
terkena dampak dari kebijaksanaan alokasi sumberdaya hutan yang saat ini
berlangsung yaitu masyarakat yang hidupnya didalam atau diperbatasan kawasan
sumberdaya hutan.. Ciri-ciri kelompok masyarakat ini umumnya mempunyai
״bargaining power ״ yang sangat lemah, tidak punya sarana dan kemampuan
untuk memperjuangkan kepentingannya, karena sering menjadi “kambing hitam”
dari kerusakan hutan (Afif, 1992).
2.4.3 Bentuk-bentuk Partisipasi
Adapun bentuk-bentuk partisipasi itu sendiri sangat luas. Umumnya
bentuk partisipasi yang muncul dan berkembang di Indonesia adalah bentuk
“support participation” dimana partisipasi yang diarahkan pada mobilisasi
Partisipasi masyarakat sering pula diterjemahkan sebagai kerelaan masyarakat
untuk menerima ganti rugi meskipun dalam musyawarah tidak terjadi
kesepakatan, kerelaan berkorban untuk orang banyak, kesediaan untuk menerima
kehadiran sebuah proyek. namun jarang sekali yang mempermasalahankan
partisipasi masyarakat dari sudut kepentingan masyarakat itu sendiri.
Bentuk-bentuk partisipasi yang selain mobilisasi hampir kurang
dikembangkan (Santosa, 1990 dalam Afif, 1992), seperti misalnya:
1. Peluang untuk turut serta dalam merencanakan pemanfaatan,
2. Peluang untuk turut serta dalam investasi yang disesuaikan dengan
kemampuan yang mereka miliki,
3. Peluang untuk memberikan saran dan umpan balik terhadap suatu
kebijaksanaan dan atau rencana pengelolaan,
4. Peluang untuk mengambil inisiatif dan memutuskan bentuk-bentuk
pengelolaan,
5. Peluang untuk merumuskan permasalahan dan merencanakan alternative,
6. Peluang untuk terlibat dalam monitoring,
7. Peluang untuk turut serta melakukan pengelolaan lingkungan.
2.2.4 Sosialisasi Kegiatan Ekowisata pada Masyarakat
Ketika menjalankan kegiatan ekowisata salah satu persyaratan utamanya
adalah mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat. Proses sosialisasi
ekowisata biasanya dilakukan pada saat pengurusan perijinan sedang berlangsung.
Mekanisme sosialisasi terhadap kegiatan ekowisata ini dapat dilakukan melalui
yang bersifat door to door (Sudarto, 1999). Menurut Kelsey dan Hearne (1955) seperti dikutip oleh Mugniesyah (2006) setiap tipe pendekatan akan memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap perubahan perilaku subyek penyuluhan. Adapun
jenis-jenis metode yang ada dalam kategori pendekatan kepada masyarakat
adalah:
1. Pendekatan individual mencakup: demonstarasi, kunjungan rumah, panggilan
kantor, korespondensi dan telepon,
2. Pendekatan kelompok mencakup: pertemuan umum, metode demonstrasi,
pelatihan, kursus,
3. Pendekatan massal mencakup: berita/kisah keberhasilan, surat edaran,
pameran, buletin, dan poster,
4. Pengaruh tidak langsung, seperti dari tetangga ke tetangga, ngobrol dan
kunjungan, pengamatan sepanjang jalan.
Media penyampaian program menurut Mugniesyah (2006) terdiri dari
beberapa teknik yaitu:
1. Dari luar sistem yaitu dengan menggunakan publikasi lewat mass media (TV,
radio, surat kabar, majalah), ceramah dan dialog terpimpin,
2. Dari dalam sistem yaitu dengan diskusi keompok dan dialog non terpimpin,
3. Latihan keterampilan yaitu dengan demonstrasi cara dan hasil.
Secara perlahan-lahan, akan timbul perasaan cinta dan memiliki terhadap
sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Jika perasaan ini telah tercipta pada
masyarakat setempat, maka kelanggengan dan pelestarian sumberdaya alam yang
ada di Taman Nasional maupun di daerah konservasi akan terjaga dengan
2.5 Akses Masyarakat terhadap Kawasan Ekowisata
Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya menekankan perlu adanya partisipasi masyarakat, tetapi
partisipasi itu akan diatur kembali dengan peraturan perudangan-undangan.
Partisipasi yang diatur berlebihan justru akan menghambat kerelaan, keinginan
sendiri dan kreatifitas dalam upaya melibatkan diri dalam proses pengambilan
keputusan untuk suatu perubahan yang dikehendaki, dalam hal ini partisipasi
masyarakat partisipasi yang dimaksud adalah partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan wisata.
Jaminan bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban untuk
berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati sebetulnya sangat
positif dalam hal kontrol akses ke sumberdaya alam hayati dan pengetahuan
tradisionalnya, termasuk hak menyangkut pemberian izin akses ke pihak lain.
peluang kontrol masyarakat yang mestinya cukup efektif terhadap praktek-praktek
pencurian sumberdaya genetika jadi mandul karena proses izin
eksploitasi/penelitian sepenuhnya ada di tangan pemerintah (LIPI atau
Departemen terkait). Masyarakat tidak mempunyai wewenang dan tidak terlibat
dalam proses pemberian izin tersebut. Di sisi lain, jaminan dan peluang
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengontrolan kemungkinan pengambilan
2.6 Kerangka Pemikiran
Daerah Kepulauan Seribu merupakan salah satu daerah kunjungan
wisata alam. Salah satu tempat tujuan wisata alam yang diminati wisatawan
adalah Pulau Pramuka yang berada dalam wilayah Taman Nasional Kepulauan
Seribu. Taman Nasional ini dikelola oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan
kegiatan konservasi.
Kawasan pariwisata dipandang memiliki keunggulan dalam hal
peningkatan nilai tambah bagi masyarakat sekitar maupun pemerintah sehingga
mampu merangsang pertumbuhan kesempatan kerja secara langsung dan tidak
langsung, baik di sektor formal maupun informal. Untuk mempersiapkan
masyarakat agar mampu berkontribusi mengelola kawasan secara lebih baik di
masa yang akan datang, maka pemerintah melalui Balai Taman Nasional
menyusun program-program yang melibatkan masyarakat secara langsung
diantaranya pemberdayaan masyarakat dan pendidikan lingkungan.
Peluang masyarakat dalam mengakses kawasan tergantung pada
sejauhmana struktur akses dan kontrol dari Taman Nasional dapat membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengelola kawasan
ekowisata. Terkait dengan pola akses dan kontrol terhadap kawasan tersebut,
perlu dikaji tentang tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat yang diukur pada
kelompok/golongan tertentu dilokasi tertentu yang menerima atau memperoleh
program tertentu dari ekowisata di Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Menurut Arnstein, 1969 tingkatan partisipasi terdiri dari: manipulasi
(komitmen resmi), terapi (pemegang kekuasaan mendidik rakyat), pemberitahuan
(masyarakat didengar tetapi tidak dipakai sarannya), placation (saran masyarakat diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan), kemitraan (timbal balik
dinegosiasikan), pendelegasian kekuasaan (masyarakat diberikan kekuasaan untuk
sebagian atau seluruh program), dan kontrol oleh masyarakat. Tingkat partisipasi
juga dipengaruhi oleh karakteristik program ekowisata yang disosialisasikan di
dalam masyarakat. Adapun sosialisasi kegiatan diukur dari tipe pendekatan dan
media penyampaian pesan yang dilakukan oeh pihak pengembang ekowisata.
Kerangka pemikiran ini dikonstruksikan seperti yang terlihat pada gambar 1.
Keterlibatan/partisipasi warga
Manfaat: • Ekonomi • Ekologi
Struktur akses dan kontrol TNLKpS
Peran para pihak dalam kegiatan ekowisata Peluang
ekonomi ekowisata
Kelompok usaha ekowisata
Karakteristik alam kepulauan seribu
Keterangan: = mempengaruhi
= saling mempengaruhi
2.8 Hipotesis Penelitian
Untuk mengarahkan penelitian ini, dirumuskan hipotesis berikut:
Keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam usaha ekowisata di Kepulauan Seribu
mampu menimbulkan manfaat ekonomi dan ekologi masyarakat.
Atas dasar hipotesis tersebut, dikembangkanlah hipotesis uji sebagai berikut:
Ho : Keterlibatan warga Pulau Pramuka dalam usaha ekowisata tidak mampu
membangkitkan manfaat ekonomi dan ekologi
H1 : tolak Ho
2.9 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan konsep-konsep yang dibuat untuk
membantu dalam pengumpulan data di lapangan, yang selanjutnya membentu
dalam mengolah serta menganalisis data.
Sejumlah konsep operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Struktur akses dan kontrol adalah jenis kegiatan pemanfaatan yang dapat
dilakukan di setiap zona yang ada di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
berdasarkan menurut SK Dirjen PHKA nomor SK 05/IV-KK/2004.
2. Karateristik alam Kepulauan Seribu adalah potensi alam yang ada di
Kepulauan Seribu yang dimanfaatkan menjadi objek wisata.
3. Peluang ekonomi adalah jenis kegiatan ekonomi yang tumbuh di masyarakat
Pulau Pramuka akibat adanya keterlibatan masyarakat dalam usaha ekowisata.
4. Peran para pihak dalam kegiatan ekowisata adalah kegiatan sosialisasi dari
pihak-pihak yang berperan dalam ekowisata. Ukurannya terdiri dari
5. Tingkatan keterlibatan warga masyarakat diukur berdasarkan konsep
partisipasi yang dikembangkan oleh Arnstein (1969) yang terdiri dari
manipulasi (komitmen resmi), terapi (pemegang kekuasaan mendidik rakyat),
pemberitahuan (hak-hak masyarakat dan pilihan-pilihannya mulai
diidentifikasikan), konsultasi (masyarakat didengar tetapi tidak dipakai
sarannya), placation (saran masyarakat diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan), kemitraan (timbal balik dinegosiasikan), pendelegasian
kekuasaan (masyarkat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh
program), dan kontrol oleh masyarakat
6. Kelompok usaha ekowisata adalah kelompok swadaya masyarakat yang
berkembang di Pulau Pramuka yang bergerak di bidang usaha ekowisata
khususnya pemandu wisata.
7. Manfaat ekowisata adalah keuntungan yang diterima dan dirasakan oleh
masyarakat berkaitan dengan pengembangan kegiatan ekowisata di sekitar
tempat tinggal mereka. manfaat ekowisata akan dibagi menjadi manfaat
ekonomi yaitu peningkatan pendapatan dan peluang kerja, serta manfaat
BAB III METODOLOGI
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang di dukung dengan
metode wawancara dengan informan, dan observasi. Data tentang karakteristik
masyarakat lokal, tingkat partisipasi, bentuk partisipasi masyarakat, sosialisasi
ekowisata serta manfaat ekowisata dikumpulkan dengan menggunakan metode
survei. Metode penelitian survei adalah metode pengambilan sampel dari satu
populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok
(Singarimbun, Masri dan Effendi, 1989). Untuk memperkuat hasil survei dan
wawancara dengan masyarakat lokal, juga dilakukan wawancara dengan pedoman
pertanyaan dengan informan untuk menelaah tingkat keterlibatan masyarakat
lokal terhadap usaha ekowisata dan manfaat ekowisata. Tipe penelitian ini adalah
eksplanatory, yakni berusaha mengetahui ada atau tidak pengaruh variabel keterlibatan masyarakat dengan manfaat ekonomi dan ekologi yang diperoleh
masyarakat.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Lokasi
ini dipilih secara purposive (sengaja) karena pulau ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (zona pemanfaatan) yang tengah giat
menyelenggarakan usaha ekowisata. Konsep taman nasional juga mengalami
perkembangan tidak hanya dikenal sebagai daerah konservasi saja tetapi sebagai
daerah pariwisata alam sebagai perwujudan konsep ekowisata. Penelitian ini telah
3.3 Penentuan Responden dan Informan
Unit pengamatan dari penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah
unit individu. Responden dipilih dengan teknik pengambilan sampel tertentu
setelah mengetahui gambaran kondisi setempat. Responden diambil secara
purposive sampling berdasarkan kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang terkait atau mendukung kegiatan ekowisata. Usaha ekowisata yang terdapat di
pulau Pramuka lebih banyak dikembangkan oleh kelompok-kelompok
masyarakat, sehingga kelompok-kelompok ini dipilih secara sengaja karena
dianggap mampu memberikan gambaran ekowisata dan partisipasi masyarakat
terhadap perkembangan ekowisata di pulau Pramuka. Terdapat sebelas kelompok
swadaya masyarakat yang terdapat di Pulau Pramuka. Mereka tergabung dalam
Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP). Kelompok swadaya yang dipilih
adalah yaitu Dolphin Ecotourism dan Elang Ekowisata.
Data kualitatif diperoleh juga dari informan yang dipandang mengetahui
kondisi masyarakat setempatdengan prinsip snowball sampling (bola salju), untuk melengkapi data serta informasi yang diperoleh dari responden. Informan yang
diwawancarai terdiri dari pihak pengelola wisata, tokoh-tokoh masyarakat, serta
anggota kelompok swadaya masyarakat. Jumlah responden dalam penelitian ini
adalah 20 orang yang merupakan anggota tour operator ekowisata dan
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode survei dengan menggunakan
kuesioner pada sejumlah responden yang berjumlah 20 orang. Dilakukan pula
wawancara dengan panduan pertanyaan kepada sejumlah informan untuk
memperkuat dan validasi hasil wawancara dengan metode survei. Selama studi di
lapangan telah dilakukan observasi terhadap kegiatan pendampingan wisatawan
yang dilakukan oleh para anggota tour operator, pengamatan objek wisata dan
kegiatan konservasi yang dilakukan dalam ekowisata oleh Taman Nasional dan
masyarakat.
Data sekunder juga diperoleh dari instansi terkait (Dinas Pariwisata, Seni,
dan Budaya) berupa dokumen-dokumen tentang potensi wilayah ekowisata dan
profil kawasan ekowisata. Data primer yang diambil meliputi karakteristik
responden (umur, jenis kelamin, pendapatan, mata pencaharian, dan tingkat
pendidikan), tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat, sosialisasi kegiatan
ekowisata serta manfaat ekonomi dan ekologi yang dirasakan oleh masyarakat.
Dalam hal ini pengamatan pola hidup masyarakat dan diskusi dengan
informan kunci juga membantu dalam pengumpulan data primer. Informan kunci
berasal dari pihak-pihak terkait baik dari masyarakat maupun dari pengelola
kawasan wisata. Data sekunder meliputi keadaan umum wilayah desa,
dokumen-dokumen bersejarah serta data-data penunjang data primer lainnya. Jenis data
Tabel 2. Jenis Data yang Diperlukan dalam Penelitian
No. Aspek Variabel Sasaran Pengumpulan Data
1. Atribut individu umur, jenis
kelamin, jenis
Responden Kuesioner
2. Struktur akses dan
kontrol TNLKpS
Informan Data Sekunder
3 Karateristik alam
Kepulauan Seribu di tinjau dari segi level
7. Manfaat ekowisata Ekonomi:
peningkata pendapatan, peluang usaha Konservasi: rehabilitasi terumbu karang
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data kuantitatif dilakukan melalui tabel frekuensi. Data dari
hasil kuesioner akan diolah kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk
melihat fakta yang terjadi.. Data yang dianalisa secara kualitatif yaitu data tentang
usaha ekowisata, sosialisasi kegiatan ekowisata, manfaat ekowisata. akan
diinterpretsikan dalam bentuk matriks, tabel dan deskripsi kata untuk melengkapi
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Wilayah
Kepulauan Seribu merupakan sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang
terbentang dari teluk Jakarta sampai dengan Pulau Sibera. Luas total Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu adalah 11 kali luas daratan kota Jakarta dengan
luas lautan 6.997.50 Km2 dan luas daratan 864.59 Ha. Pulau-pulau di Kepulauan
Seribu berjumlah 106 pulau dengan peruntukan yang beragam diantaranya 11
pulau untuk pemukiman, 9 pulau wisata umum, 36 pulau wisata lainnya, 4 pulau
dengan bangunan sejarah, 2 pulau cagar alam serta sisanya digunakan untuk
penghijauan atau untuk peruntukan khusus.
Sesuai dengan peruntukan dan karakteristik tersebut, maka kebijaksanaan
pembangunan DKI Jakarta dalam mengembangkan Kepulauan Seribu lebih
diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata, meningkatan kualitas kehidupan
masyarakat nelayan dengan peningkatkan budidaya laut, pemanfaatan sumberdaya
perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang dan mangrove Hal ini
sejalan dengan visi dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yaitu
“Menjadikan Kepulauan Seribu sebagai ladang dan taman kehidupan bahari yang
berkelanjutan”.
Penduduk Kepulauan Seribu terdiri dari beberapa suku diantaranya Bugis,
Banten, Madura dan Betawi. Jumlah penduduk di Kepulauan Seribu mencapai
20,376 jiwa dengan pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 3,5% pertahun.
Sebagai masyarakat pesisir, sebagian besar mata pencaharian mereka adalah
akibat dari krisis ekonomi global yang terjadi saat ini membuat sektor pariwisata
semakin lesu, keadaan ini membuat pulau-pulau peruntukan pariwisata eksklusif
menjadi sepi wisatawan dan pengembangan infrastruktur pulau-pulau indah
lainnya yang berpotensi sebagai tempat wisata menjadi tertunda.
Untuk meningkatkan upaya pelayanan kepada masyarakat khususnya di
sektor pertambangan dan energi, pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu telah mengupayakan tersedianya pasokan listrik yang memadai bagi
masyarakat Kepulauan Seribu. Suplai listrik kini mulai tersedia di wilayah
Kepulauan Seribu bagian selatan dan secara bertahap menyusul di Kepulauan
Seribu bagian utara.
Pramuka
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2001, Kepulauan Seribu
ditingkatkan statusnya dari kecamatan di bawah Kotamadya Jakarta Utara menjadi
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan ibukota Pulau Pramuka.
Sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah gugusan Kepulauan Seribu (gambar
1). Dahulu Pulau Pramuka dikenal dengan sebutan Pulau Elang. Pulau ini mulai
dihuni penduduk yang sebagian besar berasal dari Pulau Panggang pada tahun
1972. Saat itu, Pulau Panggang yang berjarak seperempat jam dengan speedboat dari Pulau Pramuka memiliki kepadatan penduduk yang dinilai sangat tinggi.
Untuk itu, melalui SK. Gubernur DKI, dimulailah proses transmigrasi dari Pulau
Panggang ke Pulau Pramuka.
Pulau Pramuka merupakan salah satu dari 11 pulau peruntukan
penghunian yang ada di Kepulauan Seribu. Jumlah penduduk dari pulau ini
mencapai 1004 jiwa. Pulau ini termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau
Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Luas pulau Pramuka mencapai 16
hektar. Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor:
1986/2000, wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 13 pulau dengan luas
Tabel 3. Luas Wilayah Pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang
Pulau karang bongkok Pulau karang congkak Pulau kotok besar Pulau air besar Pulau gosong sekati Pulau semak daun Pulau gosong pandan Pulau opak kecil Pulau kotok kecil
9
perkantoran/Tempat Pemakaman Umum (TPU)
Pulau Hunian Utama (PHU) Peristirahatan
Peristirahatan
Pulau Hunian Utama (PHU)
Jumlah 62,10
Sumber: Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, April 2008
Berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta tersebut jumlah pulau yang ada di
Kelurahan Pulau Panggang berjumlah 16 pulau namun akibat abrasi air laut
sampai saat ini secara fisik berkurang menjadi 13 pulau. Adapun batas wilayah
Kelurahan Pulau Panggang sebagai berikut:
Sebelah utara : berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Kelapa
Sebelah timur : berbatasan dengan perairan Pulau Jawa
Sebelah barat : berbatasan dengan perairan Laut Jawa
Sebelah selatan : berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Tidung.
Untuk menuju ke pulau Pramuka dapat ditempuh melalui dermaga Muara
Angke. Sebagai pusat pemerintahan kabupaten, pulau Pramuka mulai
menyediakan sarana dan prasarana dalam rangka meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat Kepulauan Seribu seperti rumah dinas bupati dan pejabat
kabupaten, RSUD Kepulauan Seribu yang mampu menyediakan pelayanan rawat
Pelelangan Ikan (TPI), penyediaan instalasi prasarana air bersih, fasilitas olah raga
dan lain sebagainya.
Gambar 3. Pulau Pramuka
Selain sebagai pusat pemerintahan dan pemukiman, pulau dengan luas 16
ha ini juga menjadi tujuan wisata umum bagi masyarakat sehingga disini terdapat
homestay dengan biaya penyewaan yang beragam dan terjangkau, tergantung pada fasilitas yang mampu diberikan. Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu hingga kini berusaha untuk menyediakan fasilitas kegiatan wisata sebagai
upaya untuk meningkatkan potensi wilayah yang ada di pulau Pramuka.
Pulau Pramuka sendiri, berada dalam wilayah Taman Nasional Kepulauan
Seribu yaitu dalam zona pemukiman. Zona pemukiman merupakan zona yang
mengakomodir kepentingan masyarakat setempat termasuk sarana prasarana
pengelolaan dengan memperhatikan aspek konservasi. Penjelasan tentang zonasi
dapat dilihat selengkapnya pada pembahasan subbab Taman Nasional Kepulauan
4.2 Kondisi Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang
Penduduk Kepulauan Seribu berjumlah 4.920 KK (660 Keluarga Pra
Sejahtera), diantaranya 65 % bermukim di Pulau Pemukiman (Pulau Panggang,
Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, dan Pulau Harapan) yang
berada di dalam Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. sebagian
masyarakat melakukan kegiatan budidaya hasil laut berupa budidaya transplantasi
karang hias, budidaya ikan hias, dan pelestarian mangrove.
Adapun jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin di Kelurahan
Pulau Panggang dapat dilihat pada Tabel 4. Jika dilihat dari Tabel 4, maka dapat
dikatakan bahwa penduduk lebih banyak junlahnya di usia muda (0-14 tahun) dan
usia produktif (15-64 tahun), dan cenderung menurun jumlahnya pada penduduk
usia tua (65-75 tahun keatas). Hal ini menunjukkan bahwa angkatan kerja
produktif di Kelurahan Panggang lebih besar dari pada angkatan kerja
non-produktif.
Tabel 5 menjelaskan bahwa populasi penduduk pria di Kelurahan Pulau
Panggang selalu lebih besar dibandingkan populasi penduduk wanita dari tahun ke
tahun. Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa peran kepala keluarga didominasi oleh
laki-laki dan hanya sedikit perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga.
Pulau pemukiman yang ada di Kelurahan Pulau Panggang memang hanya terdiri
dari dua pulau yaitu Panggang dan Pramuka, populasi warga lebih banyak berada
di pulau Panggang dibandingkan pulau Pramuka dan persentase laki-laki selalu
lebih besar dari pada perempuan, seperti yang terlihat pada Tabel 7.
Penduduk Kelurahan Pulau Panggang yang telah mengenyam pendidikan
mencakup lebih dari setengah dari jumlah populasi penduduk yang ada. Meskipun
demikian, jumlah penduduk yang berpendidikan tidak tamat SD dan tidak
bersekolah juga masih menunjukkan angka yang cukup besar yaitu 1937 orang
atau kira-kira sekitar sepertiga dari jumlah populasi dan sisa jumlah penduduk
yang ada serta mampu mengenyam tingkat pendidikan SMA, akademik dan
perguruan kecil relatif sedikit yaitu 699 orang saja, gambaran pupulasi penduduk
berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang
WNI WNA
Tabel 5. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin
Sumber: Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, April 2008
Tabel 6. Jumlah Jiwa dan KK di Tiap RW
KK Jiwa No Tahun Jumlah
RW
Laki-Sumber: Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, April 2008
Tabel 7. Jumlah Penduduk di Tiap Pulau Pemukiman
Penduduk Kepala Keluarga No Nama