• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur-unsur Pengembangan Ekowisata

DAFTAR GAMBAR

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Perkembangan Ekowisata

2.2.1 Unsur-unsur Pengembangan Ekowisata

Pengembangan ekowisata sangat dipengaruhi oleh keberadaan unsur-unsur yang harus ada dalam pengembangan itu sendiri, yaitu:

1. Sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya

Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk pengembangan ekowisata. Ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar untuk mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional maupun lokal.

2. Masyarakat

Pengetahuan tentang alam dan budaya serta daya tarik wisata kawasan, pada dasarnya dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat menjadi mutlak, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan.

3. Pendidikan

Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat

1

http://www.ekowisata.info/study_kelayakan_ekowisata.htm. diakses tanggal 6 april 2009 jam 19.24 WIB

dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya.

4. Pasar

Kenyataan memperlihatkan kecendrungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berperilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai sejarah dan budaya setempat.

5. Ekonomi

Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan- kegiatan yang non ekstraktif, sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata mewujudkan ekonomi berkelanjutan.

6. Kelembagaan

Pengembangan ekowisata pada mulanya lebih banyak dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, pengabdi masyarakat dan lingkungan. Hal ini lebih banyak didasarkan pada komitmen terhadap upaya pelestarian lingkungan, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan namun kadang kala komitmen tersebut tidak disertai dengan pengelolaan yang baik dan profesional, sehingga tidak sedikit kawasan ekowisata yang hanya bertahan sesaat. Sementara pengusaha swasta belum banyak yang tertarik menggarap bidang ini, karena usaha seperti ini dapat dikatakan masih relatif

baru dan kurang diminati karena harus memperhitungkan social cost dan

ecological-cost dalam pengembangannya.

Masalah yang mendasar adalah bagaimana membangun pengusaha yang berjiwa pengabdi masyarakat dan lingkungan atau lembaga pengabdi masyarakat yang berjiwa pengusaha yang berwawasan lingkungan. Pilihan kedua, yaitu mengembangkan lembaga pengabdi masyarakat yang berjiwa pengusaha berwawasan lingkungan dilihat lebih memungkinkan, dengan cara memberikan pelatihan manajemen dan profesionalisme usaha. Untuk hal ini diperlukan bentuk kerja sama dan kemitraan yang nyata yang bersifat lintas sektor, baik ditingkat lokal, nasional, bahkan jika memungkinkan tingkat internasional, secara sinergis saling menguntungkan, tidak bersifat eksploitatif, adil dan transparan dengan pembagian tugas yang jelas.

Aktualisasi dari kerja sama ini, juga dimungkinkan bagi daerah yang akan mengembangkan Daerah Tujuan Ekowisata dengan memanfaatkan potensi Taman Wisata Alam dan Taman Nasional yang ada di wilayahnya. Pemerintah daerah setempat dapat memprakarsai pembentukan suata “Badan” (“board”) yang akan mengelola ekowisata secara profesional.

2.2.2 Prinsip-Prinsip Pengembangan Ekowisata

Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekowisata adalah sebagai berikut:

1. Konservasi

o Pemanfaatan keanekaragaman hayati tidak merusak sumber daya alam itu

o Relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan

kegiatannya bersifat ramah lingkungan.

o Dapat dijadikan sumber dana yang besar untuk membiayai pembangunan

konservasi.

o Dapat memanfaatkan sumber daya lokal secara lestari.

o Meningkatkan daya dorong yang sangat besar bagi pihak swasta untuk

berperan serta dalam program konservasi. Mendukung upaya pengawetan jenis.

2. Pendidikan

Meningkatkan kesadaran masyarakat dan merubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

3. Ekonomi

o Dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelola kawasan,

penyelenggara ekowisata dan masyarakat setempat.

o Dapat memacu pembangunan wilayah, baik di tingkat lokal, regional

mapun nasional.

o Dapat menjamin kesinambungan usaha.

o Dampak ekonomi secara luas juga harus dirasakan oleh kabupaten/kota,

propinsi bahkan nasional.

4. Peran Aktif Masyarakat

o Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat

o Pelibatan masyarakat sekitar kawasan sejak proses perencanaan hingga

o Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk

pengembangan ekowisata.

o Memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan daerah setempat agar

tidak terjadi benturan kepentingan dengan kondisi sosial budaya setempat.

o Menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin

bagi masyarakat sekitar kawasan.

5. Wisata

o Menyediakan informasi yang akurat tentang potensi kawasan bagi

pengunjung.

o Kesempatan menikmati pengalaman wisata dalam lokasi yang mempunyai

fungsi konservasi.

o Memahami etika berwisata dan ikut berpartisipasi dalam pelestarian

lingkungan.

o Memberikan kenyamanan dan keamanan kepada pengunjung.

2.2.3 Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati

Terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan, dalam rangka pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati, antara lain:

1. Aspek Pencegahan

o Menguragi dampak negatif dari kegiatan ekowisata dengan cara:

ƒ Pemilihan lokasi yang tepat (menggunakan pendekatan tata ruang)

ƒ Rancangan pengembangan lokasi yang sesuai dengan daya dukung

ƒ Rancangan atraksi/kegiatan yang sesuai denan daya dukung kawasan dan kerentanan.

o Merubah sikap dan perilaku stakeholder, mulai dari pengelola kawasan,

penyelenggara ekoturisme (tour operator) serta wisatawan itu sendiri.

o Memilih segmen pasar yang sesuai.

2. Aspek Penanggulangan

o Menyeleksi pengunjung termasuk jumlah pengunjung yang diperkenankan

dan minat kegiatan yang diperkenankan (control of visitor).

o Menentukan waktu kunjungan

o Mengembangkan pengelolaan kawasan (rancangan, peruntukan,

penyediaan fasilitas) melalui pengembangan sumber daya manusia, peningkatan nilai estitika serta kemudahan akses kepada fasilitas.

3. Aspek Pemulihan

o Menjamin mekanisme pengembalian keuntungan ekowisata untuk

pemeliharaan fasilitas dan rehabilitasi kerusakan lingkungan.

o Peningkatan kesadaran pengunjung, pengelola dan penyedia jasa

ekowisata.

2.3 Hubungan antara Ekonomi dan Konservasi dalam Ekowisata

Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan perkembangan ekowisata. Peran serta masyarakat di dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat diabaikan (Sugiarti, 2000). Adapun keuntungan ekonomi yang diperoleh dari

ekowisata harus dimanfaatkan untuk melestarikan lingkungan, misalnya digunakan untuk mengadakan sarana yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Kegiatan pariwisata yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi dipergunakan untuk menunjang usaha konservasi kekayaan alam dan budaya.

Perkembangan ekowisata yang mendasarkan pada lingkungan alam dan budaya sebagai daya tarik utamanya akan berimplikasi pada pelestarian lingkungan. Semua bentuk pariwisata pada prinsipnya, perlu dikelola berdasarkan asas kesinambungan baik secara ekologis, sosial, kultural, maupun finansial. Ekowisata berbeda dengan bentuk pariwisata lainnya dalam hal ketergantungannya kepada perlindungan ekosistem dan unsur budaya yang terkandung didalamnya. Alam dan budaya adalah aset mutlak ekowisata. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari ekowisata harus dimanfaatkan untuk melestarikan lingkungan, misalnya digunakan untuk mengadakan sarana yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Sarana tersebut antara lain dapat berupa lokasi perkemahan, kamar kecil, pusat interpretasi. Program konservasi murni yang tidak dikaitkan dengan kegiatan lain seperti rekreasi adalah konsep masa lalu yang kurang efektif sehingga perlu direvisi. Kegiatan pariwisata yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi dipergunakan untuk menunjang usaha konservasi kekayaan alam dan budaya.

Manfaat dari pengembangan ekowisata ini dengan demikian adalah semakin terpeliharanya kelestarian lingkungan, karena tanpa lingkungan yang berkualitas ekowisata tidak akan dapat dikembangkan. Ekowisata dan konservasi adalah kegiatan yang saling melengkapi. Di satu sisi ekowisata tergantung pada kelestarian lingkungan alam yang menarik para wisatawan untuk datang dan

sebaliknya keuntungan yang didapatkan dari kegiatan ekowisata akan dimanfaatkan bagi konservasi lingkungan disekitarnya. Tentu saja untuk mencapai hal ini diperlukan pengelolaan aset ekowisata secara baik dan profesional. Para pengelola pariwisata dihadapkan pada tugas berat untuk menjaga keseimbangan antara tetap lestarinya daya tarik wisata alam dan meningkatkan pendapatan ekonomi dari kegiatan ekowisata tersebut. Manfaat lainnya dari perkembangan ekowisata berhubungan dengan pendapatan ekonomi yang diberikan oleh pengembang ekowisata, penduduk setempat akan tergerak untuk ikut menjaga kelangsungan daya tarik ekowisata.

2.4 Keterlibatan Masyarakat dalam Ekowisata

Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan ekowisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan perkembangan ekowisata. Peran serta masyarakat di dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat diabaikan. Hal yang terpenting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan ekowisata. Pengelola harus dapat menghimbau masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif secara positif dalam perkembangan ekowisata dengan memelihara lingkungan di sekitar mereka. Agar perkembangan ekowisata dapat berkelanjutan dan efektif, pandangan dan harapan masyarakat setempat memiliki hak mutlak, perkembangan ekowisata lestari tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan, dan hanya dimanfaatkan serta merasa terancam oleh kegiatan ekowisata.

Masyarakat yang merasakan hasil dari ekowisata akan merasa tergerak untuk ikut melindungi alam yang menjadi daya tarik ekowisata tersebut dan menjaga lingkungan dari kerusakan. Hal yang paling penting adalah meyakinkan dan membuktikan kepada penduduk setempat bahwa ekowisata memang dapat memberikan keuntungan kepada penduduk setempat (Panos, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000), sebab tanpa bukti nyata mereka tidak akan termotivasi untuk mendukung dan terlibat didalamnya (Harrison, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000). Keterlibatan masyarakat dalam usaha ekowisata pada penelitian ini akan ditinjau berdasarkan konsep partisipasi

2.4.1 Konsepsi Partisipasi Masyarakat

Secara umum partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, yang dimulai dari perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Ada pula yang mengartikan partisipasi atau peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok, kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non elit) dan yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elit) (Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992).

Adapun tentang partisipasi masyarakat ini ada yang beranggapan bahwa tidak diperlukan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat secara langsung karena masyarakat telah terwakili oleh wakil mereka di lembaga perwakilan (legislatif) yang dipilih melalui pemilihan umum. Namun melihat kenyataan bahwa para wakil rakyat tersebut sering kali tidak lagi menyuarakan kepentingan konstituennya. Hampir semua keputusan yang menyangkut hajat hidup orang

banyak dilakukan oleh eksekutif maka partisipasi masyarakat diperlukan untuk proses pendemokratisasian dalam pengambilan keputusan di tingkat legislatif dan eksekutif (Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992).

Melibatkan masyarakat dalam usaha ekowisata juga dapat menimbulkan perasaan memiliki dan keinginan untuk berkontribusi dari masyarakat terhadap penerapan program ekowisata di daerah tersebut. Untuk melakukan hal ini, diperlukan pendekatan partisipatif yang akan memakan waktu yang lama, tetapi dengan pendekatan ini ternyata akan dapat mengurangi atau menghindari terjadinya konflik antar pihak yang terlibat. Lebih jauh lagi, dengan partisipasi akan terjadi peningkatan harapan masyarakat luas terhadap pemenuhan kebutuhan mereka.

Masyarakat akan bersedia untuk menerima tanggung jawab, peran dan resiko ketika bekerjasama dengan pihak pemerintah, swasta maupun mitra dalam proses pengembangan program ekowisata. Ketika kondisi ekonomi menjadi semakin sulit, serta lebih sedikit dana masyarakat yang tersedia untuk melaksanakan program pengembangan ekowisata ini maka mitra di luar lembaga pemerintah dapat selalu berperan, baik dalam hal uang ataupun hal lain. Kemitraan dapat membantu memelihara atau meningkatkan pelayanan kepada publik.

Tingkat keterlibatan masyarakat melalui kemitraan terhadap usaha ekowisata diharapkan tinggi. Pengelola kawasan ekowisata biasanya selalu enggan untuk melibatkan masyarakat, dengan alasan bahwa masyarakat biasanya apatis dan membuang-buang waktu. Dampaknya, masyarakat juga tidak merasa memiliki dan tidak ingin berkontribusi pada program ekowisata tersebut.

Kemitraan yang dibina dalam usaha ekowisata lebih diarahkan bagi para pihak yang telibat di dalamnya untuk saling bertukar informasi, dana dan tenaga sehingga terdapat pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang nantinya diterima oleh semua pihak yang terlibat.

Pengelola memiliki tanggung jawab untuk melakukan pendekatan partisipasi terhadap masyarakat. Hal inilah yang coba diterapkan dalam ekowisata berbasis masyarakat dimana terdapat distribusi sebagian kekuasaan dari pengelola kepada masyarakat agar mereka juga dapat mengelola kawasan sesuai dengan kebutuhan dan pengetahuan lokal masyarakat. Sebagaimana pengamatan Arnstein (1969) seperti dikutip oleh Mitchell (1997), sebuah pendekatan partisipasi menunjukkan distribusi kekuasaan dari pengelola ke masyarakat. Berdasarkan hal ini, Arnstein berpendapat bahwa berbagai tingkatan pelibatan dapat diindentifikasikan, mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pelimpahan

kekuasaan seperti yang dipaparkan pada Tabel 1. Critical review terhadap

kelemahan teori Arnstein ini adalah bahwa konsep partisipasi yang didefinisikan ternyata diukur dari delapan variabel yang ditinjau dari sudut pandang pihak yang mendorong partisipasi (dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu).

Tabel 1. Delapan Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arnstein (1969)

Tingkatan Partisipasi Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan 1. Manipulasi 2. Terapi Komitmen resmi Pemegang kekuasaan mendidik masyarakat

Tidak ada partisipasi

3. Pemberitahuan

4. Konsultasi

5. Placation

Hak-hak masyarakat dan pilihan-pilihannya diidentifikasikan Masyarakat didengar, tetapi tidak dipakai sarannya

Saran masyarakat

diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan Tokenism 6. Kemitraan 7. Pendelegasian kekuasaan 8. Kontrol Masyarakat Timbal balik dinegosiasikan Masyarakat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program

Tingkatan kekuasaan masyarakat

Tingkatan 1 dan 2 yaitu manipulasi dan terapi merupakan partisipasi yang bersifat mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua ini Arnstein

menganggap itu bukan bentuk partisipasi. Tingkatan 3 sampai dengan 5 yaitu

pemberitahuan, knsultasi dan placation termasuk dalam tingkatan kekuasaan

״tokenism ״, dimana rakyat/masyarakat diperbolehkan mengeluarkan pendapat

dan pendapat mereka didengarkan namun masyarkat tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan dipertimbangkan oleh pihak pengambil keputusan. Pemegang kekuasaan lebih menentukan semua keputusan. Sedangkan pada tingkatan 6 sampai dengan 8 yaitu kemitraan, pendelagasian kekuasaan dan kontrol masyarakat, rakyat mempunyai pengaruh didalam proses pengambilan keputusan, pada tingkatan ini masyarakat dan pemerintah melakukan proses tawar menawar. Dalan studi ini, tingkatan

partisipasi Arnstein akan diaplikasikan dari sudut pandang warga masyarakat yang memanfaatkan usaha ekowisata yang terdapat di Kepulauan Seribu. Tingkatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau ”menyembuhkan” partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum).

2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.

Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.

3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back).

4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan

bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.

5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.

Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.

6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan.

7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.

8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.

2.4.2 Manfaat Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat diperlukan dalam konteks ekowisata dan kaitannya untuk menunjang konservasi sumberdaya alam (Mitchell, 1997) agar:

1. Dapat menampung reaksi dan mendapatkan umpan balik terhadap keputusan

yang akan diambil sehingga dengan demikian dapat mengeliminir dampak, meningkatkan kualitas dari keputusan yang diambil, dan menghindari konflik yang berkepanjangan

2. Dapat mengakomodasi aspirasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya yang

pada akhirnya akan lebih menjamin dukungan masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam.

3. Proses penyampaian informasi dan pendidikan kepada masyarakat dapat

berlangsung lebih efektif.

4. Dapat menjamin adanya proses pengidentifikasian permasalahan yang

sesungguhnya terjadi dan kebutuhan-kebutuhan bagi alternatif penanggulangannya yang pada akhirnya akan menjamin adanya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam.

5. Dapat menggali ide dan menumbuhkan kreatifitas masyarakat yang pada

6. Terjaminnya proses demokratisasi sehingga jaminan untuk pencapaian yang nyata dari tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Untuk menentukan bentuk partisipasi masyarakat itu, maka perlu ditentukan masyarakat mana yang dimaksud. Kelompok masyarakat yang terkait atau berkepentingan terhadap sumberdaya hutan tidak selalu berarti masyarakat yang secara fisik berada dekat dengan sumberdaya tersebut namun bisa termasuk juga kelompok masyarakat kota misalnya yang menikmati atau mengkonsumsi sumberdaya tersebut. Tidak semua kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya hutan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan yang berdampak pada kehidupannya, maka masyarakat yang dimaksudkan khususnya adalah masyarakat yang paling besar terkena dampak dari kebijaksanaan alokasi sumberdaya hutan yang saat ini berlangsung yaitu masyarakat yang hidupnya didalam atau diperbatasan kawasan sumberdaya hutan.. Ciri-ciri kelompok masyarakat ini umumnya mempunyai

״bargaining power ״ yang sangat lemah, tidak punya sarana dan kemampuan untuk memperjuangkan kepentingannya, karena sering menjadi “kambing hitam” dari kerusakan hutan (Afif, 1992).

2.4.3 Bentuk-bentuk Partisipasi

Adapun bentuk-bentuk partisipasi itu sendiri sangat luas. Umumnya bentuk partisipasi yang muncul dan berkembang di Indonesia adalah bentuk “support participation” dimana partisipasi yang diarahkan pada mobilisasi dukungan program-program (Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992).

Partisipasi masyarakat sering pula diterjemahkan sebagai kerelaan masyarakat untuk menerima ganti rugi meskipun dalam musyawarah tidak terjadi kesepakatan, kerelaan berkorban untuk orang banyak, kesediaan untuk menerima kehadiran sebuah proyek. namun jarang sekali yang mempermasalahankan partisipasi masyarakat dari sudut kepentingan masyarakat itu sendiri.

Bentuk-bentuk partisipasi yang selain mobilisasi hampir kurang dikembangkan (Santosa, 1990 dalam Afif, 1992), seperti misalnya:

1. Peluang untuk turut serta dalam merencanakan pemanfaatan,

2. Peluang untuk turut serta dalam investasi yang disesuaikan dengan

kemampuan yang mereka miliki,

3. Peluang untuk memberikan saran dan umpan balik terhadap suatu

kebijaksanaan dan atau rencana pengelolaan,

4. Peluang untuk mengambil inisiatif dan memutuskan bentuk-bentuk

pengelolaan,

5. Peluang untuk merumuskan permasalahan dan merencanakan alternative,

6. Peluang untuk terlibat dalam monitoring,

7. Peluang untuk turut serta melakukan pengelolaan lingkungan.

2.2.4 Sosialisasi Kegiatan Ekowisata pada Masyarakat

Ketika menjalankan kegiatan ekowisata salah satu persyaratan utamanya adalah mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat. Proses sosialisasi ekowisata biasanya dilakukan pada saat pengurusan perijinan sedang berlangsung. Mekanisme sosialisasi terhadap kegiatan ekowisata ini dapat dilakukan melalui saresehan, lokakarya tingkat desa, maupun melalui pertemuan dan pendekatan

yang bersifat door to door (Sudarto, 1999). Menurut Kelsey dan Hearne (1955) seperti dikutip oleh Mugniesyah (2006) setiap tipe pendekatan akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perubahan perilaku subyek penyuluhan. Adapun jenis-jenis metode yang ada dalam kategori pendekatan kepada masyarakat adalah:

1. Pendekatan individual mencakup: demonstarasi, kunjungan rumah, panggilan

kantor, korespondensi dan telepon,

2. Pendekatan kelompok mencakup: pertemuan umum, metode demonstrasi,

pelatihan, kursus,

3. Pendekatan massal mencakup: berita/kisah keberhasilan, surat edaran,

pameran, buletin, dan poster,

4. Pengaruh tidak langsung, seperti dari tetangga ke tetangga, ngobrol dan

kunjungan, pengamatan sepanjang jalan.

Media penyampaian program menurut Mugniesyah (2006) terdiri dari beberapa teknik yaitu:

1. Dari luar sistem yaitu dengan menggunakan publikasi lewat mass media (TV,

radio, surat kabar, majalah), ceramah dan dialog terpimpin,

2. Dari dalam sistem yaitu dengan diskusi keompok dan dialog non terpimpin,

3. Latihan keterampilan yaitu dengan demonstrasi cara dan hasil.

Secara perlahan-lahan, akan timbul perasaan cinta dan memiliki terhadap sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Jika perasaan ini telah tercipta pada masyarakat setempat, maka kelanggengan dan pelestarian sumberdaya alam yang ada di Taman Nasional maupun di daerah konservasi akan terjaga dengan sendirinya.

2.5 Akses Masyarakat terhadap Kawasan Ekowisata

Dokumen terkait