STUD1 KONSTRUKSI KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN SEA
FARMING
(
KASUS DI
PULAU PANGGANG
KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU)
AGUS
IWAN
HASWANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITLJT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMAS1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)" adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau hkutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak hterbitkan dari penuiis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Mei 2006
Agus Iwan Haswanto
ABSTRAK
AGUS W A N HASWANTO, Studi Konstndsi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). (SETIA HAD1 sebagai Ketua dan LUW ADRJANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Penerapan konsepsi sea f m i n g di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yang pengelolaannya bersifat limited enhy memerlukan konstruksi kelernbagaan Penelitian
ini
bertujuan memberikan inputdalam proses konshuksi kelembagaan, berupa kajian kelembagaan existing dan
kajian kelembagaan sea farming. Kajian kelembagaan existing didekati dari
beberapa isy yaitu pola pemanfaatan sumberdaya selama ini, stukehoIders yang terlibat, aturan formal dan non formal yang
ada
xata persepsi masyarakat terhadap sumberdaya perikanan dan laut Kajian terkait kelembagaan sea f m i n g (berdasar konsepsi) didekati melalui potensi interaksi stakeholders (analisis game theory). Ditemukan akiivitas pemaufaatan sumberdaya selama ini telah sesuaidengan konsepsi sea farming walau belum terorganisasi secara utuh, mencakup 13 stakehoIders terkait yang didasarkan pada atumn formal (pemerintah). Persepsi masyarakat menunjukkm adanya kesiapan dalam penerapan konsepsi seafarming dan basil analisis game theory menunjukkan adanya potensi penerapan limited entry namun harus disertai dengan aturan yang jelas dan tegas. Dirasa perlu adanya komunikasi yang tepat antar stakeholders agar kelembagaan pengelolaan sea farming &pat terbentuk.
STUD1 KONSTRUKSI KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN SEA FARMING
(
KASUS Dl
PULAU P NGGANG
KAsuPATEN
ADMINIS~RASI
h
PZnAuAN sERrBU)
AGUS IWAN HASWANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanam Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu) Nama Mahasiswa : Agus Iwan Haswanto
NRP
: A155030061Disetujui
Komisi Pembimbing
.
Dr. 1r.Setia Hadi. M.Si Dr. Ir.Lukv Adrianto. M.Sc
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembanrmnan
Wilayah dan ~ e r d e & n
-
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D11 Mei 2006 Tanggal Ujian : ...
-kan Sekolah Pascasarjana
d'
O
Hak cipta milik Agus Iwan Haswanto, Tahun
2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengut.@ dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul "Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)
".
Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Penulis merasa, hampir tidak mungkin stud^ dan tesis ini bisa selesai tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh karenannya wajib kiranya mengucapkan terima kasih terutama kepada Dr. Ir.Setia Hadi, MSi dan Dr. Ir.Luky Adrianto, MSc atas kesabarannya didalam membibing dan mengarahkan penulis, serta kepada Dr. Ir. Ahmad Fauzi, MSc yang berkenan menguji demi sempurnanya tesis ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bupati Rembang atas kesempatan yang diberikan, Bappenas atas pembiayaannya, Ketua Program studi, dosen dan staf Program Studi PWD atas ilmu dan pelayanannya, Rekan-rekan PWD 2003
atas kebersamaannya dan PKSPL-IPB atas kerjasama dan kesempatan yang diberikan kepada penulis, untuk lebih mendalami tentang pesisir dan laut.
Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak, ibu, kakak dan adik baik di Rembang maupun di Singkil atas doa dan dorongan yang tak pernah henti- hentinya. Tak lupa kepada istri dan anakku tercinta atas doa, kesabaran dan pengertiannya. Mohon maaf jika banyak melupakan kewajiban karena tesis ini.
Akhimya, bersama rangkaian kata berikut, penulis berharap semoga hasil penelitian ini ada manfaatnya.
" Belajar ifu ibarat mendaki ke tempat finggi, agar dapat melilzat jauh di bawah
sana, untuk lebih tahu siapa kita, danpuncaknya adalah semakin b ~ a k s m "
Bogor, Mei 2006
RIWAYAT HIDW
Penulis dilahirkan di Demak Jawa Tengah pada Tanggal 19 Agustus 1975, dari pasangan Ayahanda Moch Hasyim dan Ibunda Suwami, sebagai anak pertama dari lima bersaudara.
Pada Tahun 1987 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN I Dempet Demak, Tahun 1990 menamatkan pendidikan sekolah m e n e w pertarna di SMPN I Lasem Rembang dan Pada Tahun 1993, penulis lulus dan
SMA Negeri I Rembang.
Pada tahun yang sarna, penulis melanjutkan studi di Fakultas Peternakan
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Diponegom Semarang dan
berhasil meraih gelar sarjana pada Tahun 1997. Pada Tahun 1998 penulis diterima sebagai PNS di Pemerintah daerah Kabupaten Rembang
dan
di Tahun 2003berkesempahn melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi
nmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan
Perdesaan atas beasiswa dari Bappenas.DAFTAR IS1
Halaman
...
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR ...
...
DAFTAR LAMPIRAN...
I.
PENDAHULUAN...
1.1, Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah . . ...
1.3. Tujuan Penellban
. .
... 1.4. Kegunaan Penelltian ......
I1.
TINJAUAN PUSTAKA... 2.1. Kelembagaan
2.1.1. Konsep Umum
...
2.1.2. Kelernbagaan Masyarakat Pesisir ... 2.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ...2.2.1. Pengelolaan Berdasar Sifat Open Access
..
2.2.2. Pengelolaan Berdasar Sifat Limited Entry...
2.3. Sea Farming
2.3.1. Konsep Dasar ...
2.3.2. Teknis Sea Fanning ... 2.3.3. Pengelolaan Sea Fanning
...
2.3.4. Konsepsi Kelembagaan Sea Fanning .......
111
.
METODOLOGI PENELITIAN... 3.1. Kerangka Pemikiran
...
3.2. Kerangka Pendekatan Operasional3.3. Metode Penelitian
...
... 3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...
3.3.2. Jenis dan Sumber Data3.4. Metode Analisis ...
3.4.1. Analisis Deskriptif Pemanfaatan Sumber
...
Daya Laut Puiau Panggang...
3.4.2. Analisis Stakeholder
...
3.4.3. Analisis Peraturan Perundangan
...
3.4.4. Analisis Persepsi Masyarakat
... 3.4.5. Analisis Game Theory
IV . KAJIAN KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
. . . .
4.1. Kondrs~ F I S I ~ ... 4.2. Kondisi Kependudukan ...
4.3. Kondisi Sosial dan Budaya ...
...
4.3.1. Kelembagaan Formal4.3.2. Kelembagaan Adat ...
...
4.4. Kondisi perekonomian wilay ah
xi
... 4.5. Kondisi Sarana Infrastruktur
...
4.5.1. Fasilitas Pendidikan
...
4.5.2. Fasilitas Penerangan
...
4.5.3. Fasilitas Air Bersih
...
4.5.4. Fasilitas Jalan dan Darmaga...
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN5.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Laut Pulau Panggang ...
...
5.1.1. Perikanan Tangkap5.1.2. Budidaya ...
... 5.1.3. Wisata Bahari
5.1.4. Konservasi ... 5.1.5. Interaksi Antar Akhvitas Pemanhatan ....
5.2. Stakeholder Pemanfaat Sumber Daya Laut Pulau ... Panggang
5.3. Peraturan Perundangan dalam Pemanhtan Sumber Daya Laut Pulau Panggang ... 5.3.1. Hukum Tertulis ... 5.3.2. Hukum Tak Tertulis (Norma)
...
5.3.3. Peraturan perundangan sebaga~ Landasan...
Penerapan Sea Farming5.4. Persepsi Masyarakat Pulau Panggang ...
5.5. Potensi Interaksi Stakeholder ...
5.5.1. Pemerintah dengan Nelayan
...
5.5.2. Nelayan dengan Nelayan ...5.6. Konstruksi Kelembagaan pengelolaan Sea Farming (Rekomendasi) ... 5.6.1. Proses Konstruksi ...
5.6.2. Output Konstruksi Kelembagaan ...
VI
. SIMPULAN DAN SARAN ...6.1. Simpulan ...
6.2. Saran ...
DAFTAR TABEL
I
.
Pendekatan pemelihaman sumberdaya perikanan &lam...
konteks sea farming di Jepang
.
....
2 Jadwal kegiatan penelltlan
... 3
.
Aspek.
variabel dan sumber data penelitian4 . Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan
...
stakeholder
... 5
.
resultan posisi stakeholder pada kuadran...
6 . Pemain, pilihan stmtegi danpay-offanalisis game theory 7
.
M a h k sbtegi dan pahala permainan...
... 8 . Pulau-pulau di Kelurahan Pdau Panggang
9 . Parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan reefflat
dan laguna pulau-pulau di gugus Pulau Panggang
... Kepulauan Seribu
10
.
Jumlah Kepala Keluarga (KK) dan Penduduk Pulau Panggang ... 1 1 Pertumbuhan penduduk di Kelurahan Pulau Panggang12
.
Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang menurut umur....
13 . Jumlah penduduk berdasar tingkat pendidikan...
14 . Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ...15
.
Data warung dan toko di Pulau Panggang ...16
.
Layanan transportasi di Kelurahan Pulau Panggang ... 17.
Data Wisatawan dan tujuan Kunjunganya ...18 . Data fasilitas pendidikan m u m di Kelurahan Pulau Panggang 19
.
Karakteristik alat tangkap nelayan Pulau Panggang ... 20 . Identitas stakeholder dan peranannya ... 21.
Perbedaan antara UU No 9 Tahun 1985 dengan...
UU No 3 1 Tahun 2004
22 . Landasan Hukurn Konsepsi Sea Farming
...
23.
Daftar pendapat responden terkait kondisi sumber daya...
dan konsepsi sea farming
24 . Hasil analisis regresi nilai WTA terhadap karakteristik
responden ...
25 . Matrik pahala permainan pemerintah dengan nelayan ...
26
.
Matrik pahala permainan nelayan dengan nelayan ...27
.
Matrik pahala permainan nelayan dengan nelayan ...28 . Rincian informasi terkait proses konstruksi kelembagaan ...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 . Spektrum kontinum dari kemunglanan bentuk-bentuk organisasi
...
ekonomi (Anwar. 2001)
2
.
Konsep Teknis Sea farming dengan beberapa teknologi budidaya perikanan laut yang saling bersinergi ... 3.
Konsepsi kelembagaan sea fanning di Pulau Panggang( Adrianto. 2005) ... ... 4
.
Pilar.
pilar kelembagaan sea farming (Adrianto. 2005)5 . Kerangka pemikiran penelitian
...
6 . Kerangka pendekatan operasional ...7 . Peta lokasi penelitian (Soebagio, 2005)
...
8
.
Matrik analisis stakeholder Abbas (2005) ...9 . Pemanfaahn ~ a n g laut Pulau panggang selama ini
...
10
.
Kelembagaan ekonomi dan rantai pemasaran hasil tangkapan . . ... 1 1 . ~ e l e m b a & n lransPlantasi h g d i Pulau Panggang ...12 . Interaksi antara berbagai pemanfaatan ruang laut di perairan Pulau Panggang p a d o p s i dari Harahap, 2005)
...
13 . Pemetaan stakeholder pemadaatan perairan Pulau Panggang ...14
.
Urutan permainan, pilihan strategi danpay ofpermainanpemerintah dengan nelayan
...
15.
Interaksi stakeholder dalam proses konstruksi kelembagaan ...DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut
Pulau Panggang ... ... ... 2. Data persepsi ekonomi masyarakat Pulau Panggang ...
I.
PENDAHULUAN
Dahuri et. al. (2001) menyebutkan bahwa wilayah pesisir dan laut Indonesia yang menyusun sekitar 70% dari keseluruhan wilayah teritorial, merupakan salah satu sistem ekologi yang produktif, beragam dan kompleks serta menjadi andalan Di wilayah ini terkandung berbagai kekayaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan, misalnya : perikanan, pariwisata, hutan mangrove, terumbu karang, bahan tambang dan jasa perhubungan. Secara logika seharusnya Indonesia sangat mungkin untuk menjadi negara yang berkecukupan, minimal bagi penduduk yang hidupnya tergantung pada laut, jika mampu mengelolanya dengan benar.
Namun fakta yang kita jumpai saat ini ternyata be- bahwa masyarakat nelayan sebagian besar masih tergolong sebagai penduduk miskin. Degradasi sumberdaya laut pun terus terjadi, mulai dari overjshing hingga perusakan terumbu karang. Status sumberdaya laut dan perikanan sebagai milik negara (state property), pengaturannya dikendalikan oleh pemerintah pusat melalui berbagai peraturan perundangan. Namun luasnya wilayah perairan laut negara ini menjadikan hampir tidak mungkin untuk mengklaim/menegaskan
hak
negara atas seluruh sumber daya yang ada karena biaya transaksi yang diperlukan sangatlah besar, terutama biaya monitoring. Kondisi ini mejadikan smberdaya laut kitabersifat quasr open access.
Seperti yang diramalkan oleh Garret Hardin, yang dikenal dengan istilah The Tragedy of Commons, sumber daya yang bersifat open access dengan tidak adanya ketegasan hak pengelolaan akan mendorong banyak pihak untuk ikut serta memanfaatkan secara maksimal namun tidak satupun berinisiatif untuk menjaganya. Tidak adanya kepastian juga mendorong sernakin tingginya persaingan dan konflik yang pada gilirannya akan menyingkirkan nelayan- nelayan tradisional sebagai akibat ekstemalitas teknologi. Dampak lebih lanjut adalah semakin tidak pedulinya nelayan setempat terhadap sumberdaya laut di
Kondisi serupa dapat dijumpai dalam pemanfaatan sumberdaya laut di Kepulauan Seribu umumnya dan Pulau Panggang khususnya. Digunakannya potassium untuk menangkap ikan maupun dirusaknya terumbu karang oleh nelayan setempat bukan karena tidak phamnya akan manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup ikan dan juga dirinya, namun lebih karena penilaii bahwa t~dak ada jaminan jika dia tidak melakukannya, maka nelayan yang lain
juga tidak akan me-a (diLema).
S e p d umumnya masyarakat pesisir dan pulau kecil, ketergantur~gan masyarakat Pulau Panggang terhadap laut sangatlah tinggi. Sebagian besar bekeda sebagai nelayan (>SO??) dengan cara menangkap (berburu) yang merupakan cara
turun-temurun Rusaknya sumberdaya laut di sekitar Pulau Panggan& menjadikan semakin tidak pasti hasil tangkapan, sementara modal (input) yang hams dikeluarkan cenderung tern meningkat. Hal ini merupakan masalah penting
ba@
keberlangsungan kehidupan masyamkat Pulau Panggang secara keseluruhan. Oleh karenanya perlu upaya mengelola sumberdaya laut ini dengan pengelolaan yang mengarah pada kondisi lestari.Merespn kondisi ini, dengan mempertimbangkan berbagai basil kajian
terkait, Pemerintah Kabupaten Administmi Kepulauan Seribu men& mengembangkan budidaya laut berdasar pada konsepsi sea fmming. Pada area gosong Pulau Semak Daun yang memiliki karang dalam seluas 315 ha dengan reeffrat seluas 303 ha, laguna 10 ha dan teluk seluas 2 ha (PKSPL, 2004) akan dimanfaatkan untuk budidaya dengan berbagai teknologi seperti karamba jaring apung, karamba tancap serta area penebaran benih (sea ranching).
1.2. Perumusln Masalah
Mengkonstruksi suatu kelembagaan umumnya bukanlah proses yang sederhana, namun sebaliknya m e ~ p a k a n proses bertahap, memerlukan waktu dan bersifat multidisiplin. Oleh karenanya penelitian ini membatasi dengan penekanan
pada kajian sosial ekonomi terkait kelembagaan lama (existing) serta konsepsi kelembagaan barn sebagai bahan pertimbangan (input) dalam proses konstruksi kelembagaan pengelolaan sea fanning. Lebih rinci pennasalahan yang akan
diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan
dan
laut di Pulau Panggang KAKS selama ini?2. Siapa saja stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
dan
laut Pulau Panggang KAKS?3. Apa saja aturan formal
dan
non formal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanandan
laut di Pulau Panggang?4. Bagaimana persepsi masyarakat tentang kondisi sumberdaya perikanan clan
laut Pulau Panggang saat ini serta tentang konsepsi sea farming?
5. Bagaimana potensi interaksi antar stokeholder dalam konsepsi kelembagaan sea farming?
1 3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengetahui pola pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang KAKS selama ini.
2.
Mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan clan laut Pulau Panggang KAKS.3. Mengetahui aturan formal dan non formal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan hut di Pulau Panggang
4. Mengetahui persepsi masyarakat tentang kondisi sumberdaya perikanan dan laut Pulau Panggang saat ini serta tentang konsepsi sea farming
1.4 Kegunaan Penelitiari
11.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelembagaan
2.1.1. Konsep Umum
Poloma (2000) mendefinisikan kelembagaan sebagai organisasi atau
kaidah-kaidah baik formal maupun informal yang mengatur prilaku dan tindakan
anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-haxi maupun dalam usahanya untuk mencapai tujltiln tertentu. Sedangkan menurut Kherallah dan
Kirsten dalam Fauzi (2005), secara mum kelembagaan diartikan sebagai suatu
gugus aturan ( d e of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial,
dan
lain sebagamya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok.Kelembagaan itu sendiri sebagian besar muncul dari kehidupan bersama
dan merupakan ha1 yang tidak direncanakan Para warga masyarakat pada
awalnya menCan cara-cara yang &pat digunakan sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kemudian mereka menemukan beberapa pola yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan
hidup dan dalam proses selanjutnya diperkuat melalui kebiasaan yang dibakukan (Taneko, 1984). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kelembagaan memberi ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Disamping itu tiap anggota mendapat suatu jaminan hak dan perlindungan dari masyarakatMenurut Anwar (2001), agar kelembagaan dapat berjalan dan Qtaati oleh
para anggotanya, maka dalam kelembagaan tersebut harus ada struktur insentif yang mengandung pahala(reward) dan sanksi (sanction). Tanpa sbuktur insentif, kelembagaan yang berbentuk hukum (legal) sekalipun tidak akan berjalan, sehingga hukum tertulis hanya ada & atas kertas saja.
Kelembagaan &pat diartikan sebagai organisasi atau aturan main Dari perspektif ekonomi, lembaga dalam artian organisasi biasanya menggambarkan abvitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administmi atau komando. Pasar bisa menjadi batas ektemal dari suatu organisasi akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordiiikan secara administratif.
Selanjutnya dijelaskan kembali oleh Pakpahan (1991), bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga ha1 yaitu : hak-hak kepemilikan (propery right) yaitu berupa hak atas benda materi rnaupun non materi, batas yuridiksi (juridictional b o w d a y ) dan aturan representasi (role of representatian). Perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan dari salah satu atau lebih unsur- unsur kelembagaan tersebut di atas.
a Hak-halt kepemilikan @roper@ rigw, mengandung pengertian tentang hak dm kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat &lam hal kepentingannya terhadap surnber daya , situasi atau kondisi. Dalam bentuk formal, property right merupakan produk dari sistem hukum formal, dalam bentuk lainnya merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang &pat menyatakan hak
milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Memiliki property right berarti memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penggunaan sumberdaya untuk menciptakan ongkos bagi orang lain apabila ia menginginkan sumberdaya tersebut
b. Batas yuridiksi (iuridictional boundary), menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaaan atau otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Duelaskan oleh Shaffer dan Schmid bahwa perubahan batas yuridiksi akan menghasilkan performance seperti yang diharapkan ditentukan oleh paling tidak empat hal, yaitu : perasaan sebagai satu masyamkat(sense of community), ekstemalitas, homogenitas dan skala ekonomi.
dengan sumberdaya yang dibicarakan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap per$omance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Ekonomi kelembagaan merupakan suatu sistem dalam pengambilan keputusan yang dianut oleh masyarakat dan melahirkan suatu aturan main yang menyangkut alokasi sumberdaya serta cam memanfaatkannya guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Menurut Anwar (2001) dalam dunia nyata pa& dasamya ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu (1) transaksi melalui pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya dan ( 2 ) transaksi melalui sistem organisasi yang berhierarkhi di luar sistem pasar (extra marker institution) dimana otoritas dan kewenangan berperan sebagai koordinator dalam mengatur alokasi sumberdaya. Keterkaitan kedua bentuk organisasi ekonomi dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya, dijelaskan oleh Anwar (2001) seperti pada Gambar 1.
Garis diagonal mencerminkan pencampuran (mixed) dari peranan harga sebagai invisrble hand dan karakteristik organisasi yang dikelola secara koordinasi yang terdapat dalam kelima alternatif strategi untuk koordinasi integral vertikal. Pada ujung kin spektrum dicirikan oleh karakteristik invisible hand yang
dilakukan oleh peranan harga sebagai sumber informasi.
Pada
ujung lain, koordinasi yang terkendali dibangun atas dasar mutual interest dari aktor ekonorni yang mempexkhrkan barang dan jasa dan mengikuti hubungan yang bersifat jangka panjang, mambagi keuntungan dan terbuka pada aliran informasi yang mantap yang saling mendukung dalam hubungm saling ketergan-2.1.2. Kelembagaan Masyarakat Pesisir
produksi tradisional tersebut. Praktek institusi yang berdasarkan tradisi lokal sangat dihormati oleh m a s y h t n y a .
Gambar 1. Spektrum kontinum dan kemunglanan bentuk-bentuk organisasi ekonomi (Anwar,200 1)
Pilihan-Pilihan Strategi ke arah koordinasi v e d a l
Spo1/Cmh
Market
Sitem
kontrak
Karakteristik Karakteristik
kcordinasi dari kcordinasi
Invisible Hand yeng dikelola
SeIfInierest
Huburn Mutual
jangka pendek Inieresl
Hubungan
Bwnded Longterm
rafionali~,
m y a
kornpleksitas Pembagian
mengarah pada hntungan
opportunisme
Pembagian
Ke&hmsm (distdibusi)
Distribusi informasi yg
I n f o m i m h k a
FIexbifiiy Interdipen- Stabilitas
independem &MY Aliansi Stintegis Pengenda- lian Ekskmat via harga dan pembaku- ankualitas Koperasi Fonnal
Sistem Pengendalian (Control System) Pengenda-
lian Ekstemsl via Spesifikasi dan ikatan legal
Int-i
Vertikai
Saling mengontrol pihak yang
satu temadap yang lain Pengenda- lian internal via
s t ~ h r terdesemra lisasi
Peagendali an internal
[image:24.532.29.490.60.651.2]Terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut, Ruddle (1997) merinci unsur-unsur kelembagaan pengelolaannya sebagai berikut :
a. A ~ h o r i t y (wewenang). Sumberdaya laut biasanya dikontrol penggunaannya oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencenninkan organisasi sosial lokaL Ada 4 (empat ) prinsipal yang diienali yaitu : kepala desa, pemimpin agama, ketua organisasi masyarakat, dan pemilik hak (ownership). Kategori- kategori ini sering ditemui secara bersamaan pada satu individu (overlapping). Pengaturan di sini Giasanya terkait dalam pemdaatan dan perlind~mgan sumberdaya.
b. Right (hak kepemilikatl). Di bawah sistem tradisional, eksploitasi sumberdaya
hut diatur oleh hak kepemilikanlpenggunaan. Hak di sini menegaskan siapa saja yang dapat mengakses area laut Cfihing ground) dan bagi siapa yang melanggar ada sanksi hukumnya Pada umumnya masyarakat pesisir secara
otomatis memiliki hak memanfaatkan sumberdaya laut terkait dengan statusnya sebagai masyarakat nelayan.
c. Rules (aturan). Aturan d i s i ~ menjelaskan : substansi dm struktur hak kepemilikan melalui penentuan bagaimana suatu hak dapat digunakan. Melalui aturan ini ditetapkan area geogafis penangkapan ikan, siapa yang
diphlehkan menangkap dan siapa yang tidak, dan bagaimana aturan jika orang luar ingin ikut memanfaatkan.
d. Monitoring, accuntability dan enforcement. Agar hak-hak dapat diterapkan perlu adanya monitoring pelaksanaan aturan Bagi yang melanggar a& sanksi hukumnya. Pada pengelolaan sumberdaya hut berbasis masyarakat, tugas monitoring dan penegasan ahran dilakukan oleh masyarakat lokal.
e. Sanction (Sanksi) Sanksi diperlukan bagi pelanggaran atas hak pemanfaatan sumberdaya dan pelanggaran atau pemsakan aturan lokal. Empat prinsip tipe sanksi adalah : sosial, ekonomi, hukuman fisik dan supernatural (ha1 gaib).
kompleks, bemgam dan dinamis menjadikan peraturan cenderung tern bertambah, berbeda dengan peraturan pada sumberdayalbidang lain. Pelaksanaan berbagai aturan ini tidak semata-mata tergantung dari keberadaan peraturan formal tersebut, tapi juga tergantung pada nilai moral yang ada pada masyarakat. Contoh kasus terdapat di sebagian wilayah Indonesia dimana nelayan mentaati aturan karena rasa takut pada Tuhan. Pilar kesadaran menunjukkan pentingnya komunikasi antara pemerintah dengan nelayan. Pada kasus tertentu nelayan melanggar aturan bukan karena sengaja namun lebih karena ketidakhhuan Hal ini karena aturan dalam perikanan sangat beragam dan dinamis.
Berbagai bentuk aturan permainan baik yang bersifat formal maupun informal yang mengatur hubungan antara masyarakat nelayan dapat dijumpai di hampir setiap desa pantai di Indonesia (Scott,1994). Dari bentuk tersebut ada 4 (empat) sistem organisasi/kelembagaan yang sering ditemui yaitu : kelembagaan sistem bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan pemasaran dan kelembagaaa perkreditan. Fakta menunjukkan bahwa keempat bentuk kelembagaan ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pada umumnya masyarakat sering terlibat dalam hubungan ganda.
Sistem bag^ hasil merupakan suatu kelembagaan perikanan yang terdapat di desa pantai yang sering kali masih bersifat asli dan merupakan adat kebiasaan masyarakat nelayan secara turun - temurun. Pada umumnya sistem bagi hasil yang berlaku adalah : 1) pembagian hasil antar pemilik modal dengan operator, dan 2) pembagian antar operator (Juragan laut dengan anak buah kapal ). Besamya pembagian untuk masing-masing nelayan bisa berbeda, tergantung pada teknologi yang diterapkan dan komponen biaya yang ditanggung masing-masing pihak
perilcanan sebetulnya sudah melembaga jauh sebelum diundangkannya UU No. 16 Tahuti 1964 yaitu yang dibuat oleh masyarakat komunal setempat.
Kelembagaan hubungan k q a yang mutualistik merupakan suatu hubungan k e j a antar pihak yang memiliki kelebihan dan juga sekaligus kekurangan dalam mengakses sumberdaya tertmtu. Pemilik modal punya kelebihan akses modal, tetapi kekurangan akses tenaga kerja. Sebaliknya terjadi
pada pihak peke
j a
(Mintoro et al., 1993).Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada kondisi ini masing-masing pihak menyadari kelebihan dan kekurangannya, sehingga dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar sesuai dengan apa yang ada pada diri masing-masing pihak tersebut. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia, sistem kelembagaan ini memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan antara "punggawa -
sawi",
di pantai utara jaw d i k e d istilah "juragan - pandega", sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara 'Tauke- nelayan".Kelembagaan pemasaran didefinisikan sebagai badan - badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen ke pihak konsumen (Karsyono dan Syafaat, 2000).
Termasuk dalam kelembagaan ini adalah produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa lainnya. Pemilihan bentuk saluran pemasaran yang panjang tentunya akan melibatkan berbagai stakeholder dalam saluran tersebut. Semakin panjang suatu rantai pemasaran, semakin tinggi harga akhir yang akan ditanggung konsumen dibandingkan harga jual pertama dari tangan produsen. Kelebihan ini
mencerminkan insentif yang dikehendaki oleh pelaku rantai pemasaran sebagai pengganti dari fungsi pengangkutan, pergudangan, grading dan ha1 lainya yang mereka keluarkan.
Namun hasil penelitian Pranadji (1989) menemukan fakta agak berbeda
bahwa rantai pemasaran udang yang pendek di Jawa Timur tidak selalu beratti
Menurut Kusnadi (2001), pada negara berkembang pekejaan sebagai nelayan
tidak
selalu menyenangkan karena rasionalisasi dari hubungan kredit danpemasaran (proses ekonomi). Keadaan ini disebabkan oleh 5 ha1 yaitu : 1) kondisi pasar tidak bersaing sempurna, dan lebih mengarah pada monopsoni, 2) hubungan nelayan kecil dengan para pedagang dalam bentuk kontrak cendenrng menguntungkan pedagang, 3) terkait dengan permintaan dan penawaran ikan melalui penjualan ikan oleh nelayan kecil yang terikat oleh bunga yang tinggi sebagai imbalan kredit yang diterimanya daii pedagang, sehingga pedagang bebas melalrukan proteksi melalui struktur pasar monopsonistik, 4) tidak adanya organisasi nelayan yang solid, sehingga masih menguntungkan &gang dan
pabrik pengolah ikan dm 5) adanya hubungan kumulatif antara pemberi kredit dengan penerima kredit dalam pemasaran hasil-hasil perikanan mengikuti mekanisme yang dikembangkan sepanjang waktu.
Kondisi nelayan yang serba tergantung, menjadikan sumber kredit yang paling penting bagi nelayan adalah dari pedagang pengumpul. Pedagang tidak hanya memberi kredit dalam bentuk uang tapi juga alat-alat produksi sampai dengan kapal dan kebutuhan lainnya dengan jaminan nelayan
harus
menjual hasil tangkapannya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang tentunya relatif rendahdari
harga pasar, ha1 ini menceminkan semakin lemahnya posisi tawar nelayan (Sidik, et al., 2000).Anwar (2001) menjelaskan bahwa disamping berfungsi untuk mengatur, kelembagaan juga dapat menjelaskan siapa saja yang berhak mengambil keputusan dan siapa pemegang hak atas sumber daya Distribusi manfaat dan ongkos dalarn suatu masyarakat bukanlah ditentukan teknologi atau swnber daya
alam, melainkan ditentukan oleh keputusan masyarakat yang tercemin dalam bentuk kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat dan yang sesuai dengan taw-menawar yang telah ditentukan.
2.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
2.2.1. Pengelolaan Berdasar Sifat Open Access
Kondisi open access telah menjadi ciri dari pemanfaatan sebagian besar
perikanan yang bersifat open access pada mulanya &pat memberikan dampak
positif (terutama dalam jangka pendek) bagi nelayan secara keseluruhan atau kelompok masyankat, namun &lam jangka panjang adanya modemisasi sektor bahari yang bersifat tangkapan di wilayah pesisir dapat menimbulkan akibat- akibat yang tidak menguntungkan (Anwar, 2001).
Menurut Christy (1994) ada beberapa dampak nyata dari kondisi open access, yaitu :
1 . Adanya kecendeungan pemborosan sumberdaya secara fisik Tak seorang nelayanpun berminat menangguhkan penangkapannya sehubungan dengan
pemulihan sumberdaya, karena apa yang disisakan untuk esok dapat saja ditangkap orang lain pada hari ini. Selungga stok ikan cenderung dimanfaatkan melebihi batas tangkapan lestari.
2. Terjadinya pemborosan ekonomi. Dalam perikanan akses terbuka , adanya surplus keuntungan bagi nelayan pada awalnya, akan menarik nelayan lebih banyak untuk turut serta melaut, sehingga mendorong meningkatnya biaya total tanpa mampu meningkatkan penerimaan total.
3. Rata-rata pendaptan nelayan skala kecil di negara-negara berkembang cenderung berada atau mendekati angka paling rendah. Hal ini karena akses terbuka d a p t menciptakan eksternalitas teknologi, dimana hasil tangkapan
nelayan yang satu sangat tergantung pada tangkapan nelayan yang lain, dan
kemampuan nelayan menangkap salah s w y a ditelltukan dari teknologi yang digunakan
4. Potensi terjadinya konflik Konflik dapat tejadi diantara nelayan yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan alat tangkap yang sama, atau antara nelayan yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan alat tangkap berbeda khususnya antara nelayan skala besar dengan nelayan skala kecil.
tersebut. Hal ini disebabkan karena setiap individu nelayan atau perusahaan berkeinginan untuk memaksimumkan nilai tangkapannya, sehingga sumberdaya yang terbatas jumlahnya maupun kemampuan daya reproduksiiya mudah mengalami proses pengurasan dan hasil tangkapan per upaya tangkapan (catch per unit effort) makin lama lama semakin turun. SedangLan sumberdaya lain seperti modal dan tenaga keja untuk menangkap ikan yang bersangkutan akibatnya menjadi terlalu mubazir dipakai pada kegiaian yang ti&
pada pertumbuhan ekonomi. Akibat selanjutnya a h l a h bahwa kelestarian sumberdaya pesisir
akan
menjadi terancam sehingga pada gilirannyaakan
terjadi proses pemiskinan para nelayan dan sumbangannya terhadap ekonomi menjadi hilang bahkan akan merugikan masyarakatsecara
keseluruhm Pada akhirnya proses tersebut dapat menimbulkan alribat lebih lanjut dengan punahnyabeberapa
jenis ikan dan biota lainnya yang bermanfaat sebagaimana yang terjadi padabeberapa wilayah di bagian dunia lainnya, seperti yang oleh Garret Hardin (1973) disebut The Tragedy of Commom.
2.2.2. Pengelolaan Berdasar Sifat Limited Entry
Gagalnya pengelolaan yang berdasar si& open access mendorong munculnya bentuk pengelolaan lain yaitu limited enby. Menurut Andersen yang diacli dalam Satria (2001) paling ti& ada 2 kategori
.
yaitu (1) berciasarkw pembatasan input yang membatasi jumlah pelaku, jumlah dan jenis kapal serta jenis alat tangkap, dan (2) berdasarkan pembatasan output yang membatasi berapa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan quota Penerapan pengelolaan dengan adanya batasan-- ini cendenmg membentuk adanya zonasi penangkapn ikan dan adanya Hak Penangkapan Ikan @ P I ) atau fishing rjght kepada sekelompok masyarakat tertenas sekqaimana hasil penelitian Saad (2000) untuk pengelolaan perikanan kepulauan. Selanjutnya ditambahkanbahwa konsep HPI ini memiliki ciriciri yang cendenrng berkesesuaian dengan konsepnpemilikan tunggal" yang merupakan kebalikan dari konsep "milik bersama" (common property).
pengelolaan (decentralitation) yang diberikan kepada komunitas masyarakat nelayan kecil atau pemerintah lokal desa. Pada gilirannya diharapkan dapat menjaga kerberlanjutan pemungutan dan pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir untuk masa yang lebih panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Dilimpahkannya hak-hak untuk memperoleh akses terbadap sumberdaya
perairan pesisir yang dapat menjamin ke- individual nelayan kelompok nelayan atau komunitas masyarakat nelayan
2. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan dari pemerintah pusat kepada kelompok masyarakat pesisir dan nelayan-nelayan lokal.
Proses
yang berlangsung seeam ketergantungan dari kemampuan masyaraka~ setempat untuk dapat mengelola masalah-masalah secara selektif3. Dikembangkannya suatu
zona
pungutan dan tan- yang eksklusif yang disebut hak-hak ulayat atau hak-hak teritorial (teritorial use right).Oleh karenanya kelembagaan
addah
sangat penting bagi surnber daya yang bersifat common resources, sebab tidak akanada
yang mengatur tentangpemakaian sumberdaya yang semakin langka (scarcity) tanpa adanya suatu kelembagaan. Adapun contoh pengelolaan tradisional yang bersifat limited ently dapat dijumpi di Aceh ( H u h A d a t h r ) dan di Maluku (%I) (Anwar, 1992).
Lembaga H u b Adat Laot berpusat di Banda Aceh, meskipun lama dihormati masyarakat tetapi baru diakui sejak Tahun 1972 oleh nelayan dengan dikoordinasikan oleh Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Lembaga
ini membuat peraturan-peraturan secara tertulis yang bersumber dari peraturan-
peraturan yang sebenamya telah lama
ada
narnun tak tertulis. Untuk mengepalai dan mengawasi terlaksananya ketentuan adai laut tersebut diangkat seorang pimpinan yang disebut Panglima Laot sekaligus sebagai Ketua Lembaga Hukum Adat Laot.Penentuan seorang Panglima Laot akan dipilih oleh masyarakat nelayan yang diwakili oleh para pawang. Dahulu jabatan Panglima Laot bersifat turun-
Tugas-tugas Panglima Laot meliputi:
1. mengawasi dan memelihara pelaksanaan Hukum Adat Laot
2. mangatur tata cara penangkapan ikan
3. menyelesaikan berbagai pertikaian yang tejadi dalam hubungannya dengan penangkapan ikan di laut
4. menyelenggarakan upacara adat laut, gotong royong dan masalah-masalah lainnya
5. menjaga/mengawasi kelestarian pohon-pohon di tepi pantai, terumbu karang, biota-biota laut serta ekosistem laut secara keseluruhan
6. merupakan badan penghubung antara nelayan dengan panerintah dan panglima laot lainnya
Kesediaan masyarakat memberikan legitimasi dan pengakuan terhadap kepemimpinannya bukan disebabkan oleh unsur paksaan, tetapi bersifat sukarela
dan hormat,bahkan &pat dikatakan sesuatu yang wajar. Dengan demikian dalam
kepemimpinannya seorang pemimpin memiliki kekuasaan dan wewenang. Wewenang dari kepemimpinan panglima laot merupakan gabungan antara wewenang tradisional dan rasional (legal). Wewenang tradisional dapat dipunyai seseorang maupun kelompok orang, muncul karena kelompoknya sudah lama melembaga dan menjiwai masyarakst, sedangkan wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Adapun hal-ha1 yang diatur dalam Hukum Adat Laot seperti penggunaan alat tangkap, waktu penangkapan ikan, pantang laot atau ban-hari yang dilarang
melaut, adat bag basil, wilayah penangkapan, sanksi hukum, sistem pelaporan,
adat sosial, adat pemeliharaan lingkungan. Jika melihat ini semua maka kelembagaan hukum adat laot mempunyai arah untuk melakukan konservasi terhadap sumberdaya perairan dan desa pantainya.
di antara komunitas penduduk lokal yang lebih adil dan merata untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya alam peraimn pesisir; (2) menjamin sistem pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan secara efektif dari jenis-jenis biota yang berharga
dan menetap di sekitar perairan tempat tinggal komunitas dan, (3) menjamin bahwa anggota komunitas mempunyai kesempatan untuk secara tens-menerus memperoleh sumber makanan dan sumber pendapatan dari jenis-jenis biota wilayah pesisir dan bahari yang sewaktu-walrtu datang atau secara rnenetap hidup dalam wilayah perairan komunitas (Anwar, 1992).
Masyarakat komunal nelayan lokal telah menciptakan berbagai pengahuan untuk mencapai tujm-tujuan di atas. Aturan-aturan ini dapat mempeogaruhi :
(1) waktu musim tangkap; (2) mengkinkan atau menolak alat tangkap tertentu; (3) mengizinkan atau menolak tindakan penangkapan atau teknik-teknik tertentu; (4) pengatman panen untuk jenis-jenis b u s atau pengaturan cadangan khusus; (5) menetapkan musim tangkapan khusus dalam wilayah perairan masyarakat komunal; (6) membuat konsepsi batas teritorial dan pemberian tanda-tan& batas secara fisik.
Kata susi sebenarnya memiliki makna harfiah "larangan sementara"
,
seperti larangan untuk memanen kerang lola yang nilainya sangat tingg. Adapun pertimbangan yang digunakan untuk membuka dan menutup susi tersebut &lamsuatu keluasan lahan maupun perairan beragam menurut faktor-faktor berikut : a derajat kebutuhan keuangan dari komunal seperti kebutuhan untuk upacara
agama atau perkawinan yang akan datang, maka susi dapat dibuka, b. tingkat kematangan ikemasakan dari jenis-jenis yang akan dipanen;
c. keadaan cuaca seperti pada musim hujan yang anginnya kencang, maka menyelam untuk mengambil ketimun laut tidak dizinkan
2.3. Sea Fuming
23.1. Konsep Dasar
Di dua negara terakhir, kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak Tahun 1887, dan kegiatan ini terus berlangsung sampai dengan Tahun 1967, namun tanpa dibarengi dengan evaluasi akan keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan ataupun hasil tangkapan
atau dampak ekologis dari akiivitas yang telah d i k h k a n (Plarenw & Bappekap KAKS, 2004)
Dijelaskan lebih lanjut, strategi yang digunakan untuk melepaskan larva ke
laut pada saat itu adalah dzngan mensikronkan waktu pelepasan dengan waktu dimana makanan larva di area pelepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidup larva dapat ditingkatkan. Hal di atas temyata menghadapi banyak hambatan, seperti adanya pemangsa, pola
arus
dan sulitnya penentuan waktu yang tepat (terkait dengan kelimpaban prey). Oleh karenanya dilakukan penelitian-penelitian lanjutan yang memperoleh kesimpulan bahwa pelepasan juvenile atau ikan muda memberikan tingkat keberhasilan temnggi.Pelepasan ikan pada stadia juvenile diawali oleh Jepang pada Tahun 1965, yang kemudian diikuti oleh Norwegia pada Tahun 1976 dan Amerika Serikat pada
Tahun 1979. Selanjutnya teknologi pelepasan ikan tern berkembang dimana
metode evaluasi dan hitungan ekonomis dan dampak sosialnya juga t e r n diiembangkan Sampai saat ini hanya tiga negara tersebut yang memilki perhatian tinggi terhadap kegiatan sea f m i n g tersebut dan Jepang menjadi kiblat dari
kegktan ini.
Tujuan pelepasan ikan ke laut menurut Plarenco & Bappekap KAKS (2004) dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu : membangun suatu populasi atau meningkatkan populasi ikan di suatu areal, menopang kegiatan spor$shing dan
rekreasi serta meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Pelepasan ikan pada daerah tertentu harus memperhatikan aspek ekologis dan ekonomis. Aspek ekologis ini dimaksudkan agar tidak mengganggu proses rantai makanan di suatu areal tertentu dimana ikan yang dilepas haruslah ikan asli dari daerah tersebut atau ikan yang
ada pada daerah tersebut. Aspek ekonomis yang dimaksud adalah bahwa ikan yang dilepas haruslah memiliki nil& ekonomis yang penting pada suatu areal /
2.3.2. Teknis Sea Fanning
Pengembangan perikanan budidaya laut (marikultur) dalam rangka pemadhtan kawasan dapat a x q g m h n konsep sea fanning. Menurut Soebagio (2005), Sea fammng adalah kegiatan berusaha tani di laut yang bisa dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan kemampuamya, yang terdiri dari : pembenihan ikan (hatchery), budidaya ikan dalarn karamba jaring apung (KJA), budidaya nunput laut dengan sistem longline, budidaya ikan dalam k a r a m b h d a n g tancap (pen culture), budidaya ikan dalam kandang sekat (enclosure), dan penangkapan ikan dalam kawasan sea ranching yang telah ditebari ikan (restocking) dimana setiap kegiatan budidaya tersebut saling mendukung dan sinergi (Gambar 2).
PKSPL (2005) menjetaskan bahwa tujuan diterapkannya konsep sea farming meliputi:
1. peningkatan produksi perilranan melalui kegiatan peningkatan stok ikan dan
kegiatan budidaya
2. pe~ngkatan kesejahteraan dengan peningkatan pendapatan dan kegiatan ekonomi lokal
3. menunjang k o n s e ~ a s i -1 perairan
4. membangun sistem pengelolaan perikanan laut terpadu berbasis masyarakat yang berkelanjutan sebagai salah satu altematif mata pencaharian menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Secara teknis masing-masing aktivitas budidaya dalam sea fanning oleh Soebagio (2005) dijelaskan sebagai berikut:
2.3.2.1. Sea Ranching
Sea ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan lam yang terisolasi secara geografi dan alami. Kawasan karang dalam adalah suatu kawasan yang secara geografis dan alamiah mengisolasi ikan-ikan karang (demersal species), teripang, moluska dan crustacea (udang dan lobster). Secara reguler hatchery swasta melakukan kegiatan restocking beberapa benih ikan potensial ke &lam kawasan sea ranching (Nurhakim , 2001). Pemanenan dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap yang ramah
dengan nelayan yang melakukan pemanenan (pemgkapan) maka dibutuhkan kelembagaan yang memadai dan handal.
23.2.2. Enclosure
Enclosure adalah sistem budidaya yang dilakukan di peraim laut dimana sebagian besar dinding wadah dari sistem tersebut mempkan dinding alam (teluk, perairan di antara beberapa pulau) dan sebagian kecil berupa dinding buatan manusia (man made) bempa jaring, pagar kayu atau batu (PiUay, 1990).
Kepadatan organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Prakteknya, budidaya &lam sistem enclosure ini tidak dilakukan pemberian pakan (no feeding) clan hanya mengandalkan ketersedian pakan alami.
Kegiatan ini mengandalkan benih dari hatchery yang berlokasi di dekatnya Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fattening) di sistem cage culture atau pen culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang rendah
23.23. Pen Cultnre
Pen culture adalah sistem budidaya menggunakan wadah dengan dinding buatan manusia yank terbuat dari jaring atau kayu, semen- dasar wadah berupa dinding alam (Pillay, 1990). Kepadatan organisme budidaya tergantung kepada komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Beberapa komoditas yang potensial dalam sistem ini adalah abalon (Fall& 1991), teripang dan ikan kerapu.
Prakteknya, budidaya dalam sistem pen cutrure ini bisa dilakukan pemberian pakan atau tanpa pemberian pakan (no feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemelihaman) untuk keperluan pembesaran (fattening) di sistem cage culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuam pembudidayaan menengah.
23.2.4. Cage Culture
wadah adalah buatan manusia. Sistem ini menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengngat kepadatan ikan tinggi , maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik yang mampu mensuplai oksigen yang cukup baik bagi organisme budidaya dm ketersediaan pakan yang cukup. Sistem budidaya hiseyogyanya dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi dengan menggunakan benih yang bermutu (Cowey & Cho, 1991).
2.3.2.5. Hatchery
Hatchery adalah unit pembenihan yang berfungsi menghasilkan benih bagi kebutuhan sistem'budidaya lainnya (Tucker Jr., 1998) untuk memproduksi benih dilakukan serangkaian kegiatan seperti pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan
larva,
pemeliharaan benih dan kultur pakan alami (Woynarovich & Howart, 1980). Dalam kegiatan budidaya perikanan faktor utama yang perlu diperhatikan antarti lain adalah pengaruh yang berasal darilingkungan sekitar lokasi budidaya termasuk aktivitas di lahan atas, dan pengaruh kegiatan budidaya terhadap lingkungan
Pengendalian pengaruh kegiatan budidaya terhadap lingkungan perlu dilakukan secara baik dan terencana. Penggunaan pakan tambalm, pupuk dan obat pembemntas hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya Aplikasi bahan-bahan tersebut dengan takaran yang tidak tepat, baik dosis maupun sifat persistensinya serta rembesan-rembesan (leachmng) dapat mencemari lingkungan perairan pesisir sekitarnya
2.3.3. Pengelolaan Sea Farming
Peran teknologi penangkapan yang ramah lingkungan dan selektif sangat menentukan keberhasilan sea farming. Untuk itu perlu adanya pengaturan terhadap jenis teknologi, metode pengoperasian, waktu penangkapan dan aturan- aturan yang harus dipatuhi oleh nelayan dalam pelaksanaan operasi penangkapan Di jepang pengelolaan sea fanning mensyaratkan penggunaan teknologi ramah
menangkap ikan dalam kondisi hidup dan dalam pengoperasiannya tidak mengganggu atau merusak lingkungan (Plarenco & Bappekap KAKP, 2004).
Duelaskan pula bahwa keberhasilan dari kegiatan sea farming tentunya tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan teknologi budidaya semata dan aspek lainnya yang telah disebutkan, tetapi juga ditentukan oleh aspek sosial dari masyarakat dan peranan pemerintah daerah maupun pusat. Pengertian dari masyarakat pengguna sumberdaya laut dan pesisir secara langsung dan peranan pemerintah baik dalam ha1 dam maupun penyediaan aturan hukum lengkap dengan upaya penegakkannya sangat diperlukan dalam penerapan konsep sea farming.
Menurut OFCF (2002) ada tiga pendekatan pemeliharaan sumberdaya perikanan dalam konteks sea farming di Jepang yaitu (1) pengelolaan sumberdaya; (2) peningkatan kualitas lingkungan; dan (3) produksi benih .
Masing - masing metode pendekatan tersebut di atas memiliki macam kegiatan seperti tertulis di Tabel 1.
,
I2
I
Peningkatan kualitasI
Konservasi daerah pemijahan termasuk Tabel 1. Pendekatan pemeliharaan sumberdaya perikanan dalam konteks seafarming di Jepang
I
I
I
Pencegahan pencemaranI
Jenis Kegiatan No
lingk&an daerah penangkapan
[j - - - - f ~ & x n i h
I
I
Produksi benih dan transplantasi ikan . . . - .Metode Pendekatan
melalui upaya rebolsasi bawah laut
I'emeliharaan kualitas lingkungan air -
I
Produksi dan transplantasi algaLebii lanjut dijelaskan bahwa &lam skala mikro ketiga pendekatan tersebut dilakukan secara aktif oleh koperasi perikanan sebagai representasi dari
nelayan yang sekaligus menjadi anggota. Di Jepang, anggota koperasi dibagi menjadi dm, yaitu anggota penuh dan anggota tambahan. Anggota penuh memiliki kualifikasi sebagai orang yang tinggal di wilayah dimana koperasi berlokasi dan aktif melakukan penangkapan ikan 90
-
120 hari per tahun. Sedangkan anggota tambahanberlaku
untuk
nehym p g tidak tinggal di daerahdimana koperasi berada tapi memiliki keinginan untuk melakukan kegiatan
perikanan di lokasi tersebut
2.3.4. Konsepsi Kelembagaan
Sea
FanningAdrianto (2005) rnenjelaskan bahwa sea farming pada dasamya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output (Gambar 3). Sub-sistem input merupakan prasyarat a w l pembentukan kelembagaan sea farming yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia
falrtor
pendukung (stppoTtingfactors) bagi beroperasinya sea farming di lokasi yang dituju Dalam sub-sistem ini, faktor paling pentingadalah
berfungsinya demrca~ed fnhing rights sebagai penyamtanbatas sistem operasi sea farming secara geografis (system boundary). Penentuan fuhing right ini tidak &pat dilepaskan dari analisis h u a i a n ekosistem sebagai
penyokong keberhasilan operasi sea fanning secara teknis ekologis.
Sub-sistem kedua adalah marikultw (budidaya kelautan) dimana kegiatan pembenihan, pdedemn hingga pembesaran komoditas sea farming dilakukan. Sub-sistem ini merupakan jantung dari kegiatan sea farming karena input dan
output ekonomi sea fanning pada dasarnya b e d dari sub sistem marikultur ini. Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output
dimana
komoditas sea farming akandiperdagangkan rnelalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku sea farming pada saat yang sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi
kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Fungsi konservasi ini &pat melibatkan pemerintah daerah sebagai penjamin pasar bagi pelaku seafanning Dengan kata lain pemerintah daerah mermbeli stok dari pelaku sea farming bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan
Definisi nelayan dan pembudidaya ikan Masvarakat
Sea Farming Fishing Right
Community Based Agribusiness System
4
Pembesar
1
Pendeder 3
Stock Enhancement
Pasar
b
-
T
t
Nelayan Distribusi 4
[image:41.532.33.437.49.609.2]Selanjutnya dijelaskan oleh Adrianto (2005) bahwa terdapat tiga pilar kelembagaan sea farming yaitu Jishing right, insentif teknis, sosial dan ekonomi dan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Secara diagram ketiga pilar kelembagaan sea farming dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Gamber 4. Pilar - pilar kelembagaan sea farming (Adrianto, 2005)
SEA FARMING
v
I
vFISHING RIGHTS INSENTIF TEKNIS, SOSL* PENGELOLAAN
DAN EKONOMI SUMBER DAYA
& v &
Common Fishing Right Demarcated Fishing Right
Set net Fishing Right
SkiUteImis
Skill b i
Jaminan Pasar
Social capitaIizing
Pagelolaan lingkungan
perairan
Pengaturan pemanfaatan
sumber daya
111. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Keberhasilan pembangunan secara umum termasuk sektor perikanan
sekurang-kurangnya ditentukan oleh empat faktor penggerak yaitu sumber daya
alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), teknologi dan kelembagaan. Keempat
faktor ini merupakan syarat kecukupan, artinya satu atau lebih dari faktor tersebut
tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan maka tujuan
untuk menmpaipr$ormance yang diharapkan tidak akan tercapai (Garnbar 5). Sama halnya dalam pengelolaan sumber daya laut dan perikanan Pulau
Panggang, harapan terwujudnya kondisi lestari dari sumber daya yang Eersifat renewable namun terbatas, ternyata sulit terwujud karena ketiga faktor lain belum
sesuai dengan persyaratan yang diharapkan. Faktor teknologi didominasi oleh cara
tangkap dengan sebagian menggunakan alat dan cara yang tidak ramah
lingkungan, sedangkan faktor SDM masyarakat Pulau Panggang masih terbatas
dalam tingkat pendidikan maupun kemampuan dalam berorganisasi. Sementara
faktor kelembagaan yang ada, tidak mampu memberi kepastian dan dorongan kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumber daya secata lestari.
Kondiii ini t e m mendorong terjadinya degradasi sumber daya Iaut dan perikanan
Pulau Panggang.
Merespon kondisi ini, berangkat dari berbagai kajian terkait, Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mencoba mengembangkan model
pengelolaan surnberdaya laut dan perikanan yang berbasis budidaya berdasar pada
konsepsi sea farming. tepatnya di Gosong Semak Daun Kelurahan Pulau
Panggang. Upaya ini diharapkan &pat mewujudkan pemanfaatan SDA laut Pulau
Panggang secara lestari, sehingga diperlukan penyesuaian-penyesuaian pada
faktor lainnya, baik SDM masyarakat Pulau Panggang maupun kelembagaannya.
Sejalan dengan ha1 tersebut di atas, Fauzi (2005) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi akan menjadi driver perubahan kelembagaan perikanan,
sehingga perubahan teknologi yang mengarah ke minimalisasi biaya transaksilah
pang mestinya h a m didorong oleb pemerintah baik di tingkat lokal maupun
/
Kajian dan hasil penelitian selama ini Kebijakan Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan SeribuL
1
x
I1
I,
L
\
Kelembagaan Sumberdaya Alam
]=I
/
Bersifat Quasr open Access7
Laut Pulau Panggang
f
Sumberdaya Alam Kelembagaan.--- *
---
-
yang terdegradasi Laut Pulau Panggang Bersifat Lmrted EntryYang lestari (Konsepsi)
\
J
\
/
t
t
4
, _ _ _ _ _
. . .
...
---.
t
Area Studi KONSTRUKSI KELEMBAGAAN1
1
I
I
+
f
Pola pemanfaatan sumherdaya Interaksi stakeholderIdentitas dan peta stakeholder Rekomendasi Persepsi masyarakat
r -
Aturan format dan non formal .
.
Persepsl masyarakat
Sumber Daya Manusia
[image:44.788.56.760.30.468.2]inasyarakat Pulau Panggang
Gambar 5
.
Kerangka Pemikiran Penelitian Nm
M
Teknologi
Dominan tangkap dan digunakannya cara tidak
ramah lingkungan
\
G u m b e r Days Manusiaf
' masyarakat Pulau
Panggang
Teknologi Marikultur berdasar Konsepsi Sea Farming
Konsepsi sea farming yang pada prinsipnya adalah upaya mengelola potensi laut berbasis budidaya dengan beberapa teknologi yang saling bersinergi dan melibatkan berbagai pihak, tentunya memerlukan pengaturaa-pengaturan. Ruang laut Pulau Panggang utamanya Gosong Semak Daun yang tadinya bersifat terbuka bag^ siapa saja yang ingin memanfaatkan (quasi open uccess), ketika konsepsi sea farming diterapkan maka hams ada pembatasan (limited entry). Pembatasan ini dapat berupa jumlah nelayan, area tangkap, alat tangkap, waktu
tangkap ataupun ukuran ikan yang ditangkap. Oleh karena kelembagaan lama tidak memungkinkan untuk mengatur pemaniktan berdasar konsepsi sea farming,, maka diperlukan upaya konstruksi kelembagaan.
Mengingat proses membangun kelembagaan adalah proses yang bersifat multidisiplin, maka penelitian ini membatasi dengan penekanan pada kajian sosial ekonomi terkait kelembagaan lama (aisting) maupun kelembagaan bam (berdasar konsepsi) untuk memberikan rekomendasi bagi proses konstruksi kelembagaan pengelolaan sea farming.
3.2. Kerangka Pendekatan Operasional
Berdasarkan data primer dan sekunder akan dilakukan kajidanalisii terkait kelembagaan existing dan kelembagaan sea fnrming (berdasar konsepsi). Kajian ten&% kelembagaan existing meliputi pola p e e sumber daya, stakeholder yang terlibat, aturan main dalam memanfaatkan sumber daya serta persepsi masyarakat terkait kondisi sumber daya. Sementara kajian terkait
kelembagaan sea farming, ditekankan pada potensi interaksi antar stakeholder
Kelembagaan Proses Konstruksi
pengelolaan Kelembagaan
sumberdaya laut pengelolaan Seu Farming
Pulau Panggang di Pulau Panggang
(Existing)
-
Data Sekunder Data Primer Data Sekunder Data primer
I
1
1
Analisis Peraturan Analisis Stakeholder Analisis ,Game theory
1
I
Analisis DeskriptifPerundangan
v v
Analisis Deskriptif I
interaksi stakeholder
Rekomendasi
penerapan konsepsidalam memanfaatkan sea farmlng
[image:46.788.15.751.50.497.2]tentang kondisi SDA laut masyarakat tentang SDA Pulau Panggang serta laut W a u Panggang pola pemanfaatannya
daya. Sedangkan analisis Willingness to Accept (WTA) &&an untuk
mengetahui persepsi ekonomi masyarakat Pulau Panggang terkait kondisi sumber daya.
Analisis yang digunakan untuk kelembagaan sea farming (berdasarkan konsepsi) digunakan game theory analysis clan analisis deskriptif. Hasil analisis game teori diharapkan adalah potensi interaksi dan kecenderungan strategi yang dipilih oleh sfakehoIder. Sementara analisis CEeSkriptif ditujukan untuk mengetahui gambaran kesiapan masyarakat di dalam penerapan konsepsi sea farming.
Informasi yang terkumpul baik yang terkait kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan &n hut Pulau Panggang selama ini dan kelembagaan sea farming (berdasar konsepsi), diharapkan dapat menjadi acuan bagi proses
konstruksi kelembagaan pengelolaan sea farming di Pulau Panggang.
33. Metode Penelitian
33.1. Lokasi dan WaMu Penelitian
Lokasi penelitian adaIah di Kelurahan PuIau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, dimana
secara
geografis wilayah ini terletak pada 106°08'00" BT hingga 106?8'W BTdan 5"40'00" hingga 5'47'00" LS. Kelurahan ini terdiri dari 13 pulau kecil dengan
total luas mencapai 62,60 ha . Sementara jika ditambah dengan luas daerah
perairan mencapai 58,5
krn2
(Gambar 7). Adapun waktu penelitian direncanakan selama 6 bulan dari Juli hingga Desember 2005 (Tabel 2).Tabel 2 Jadwal kegiatan penelitian
No 1. 2. Kegiatan Pembuatan Proposal Penelitian 3.
Pengambilan dan
Tabulasi data
Waktu
April
-
Juli 2005Analisis data hasil penelitian dan penyusunan tesis
Keterangan
Studi Pustaka
Juli - Desember 2005 Pengumpulan data sekunder dan primer
Januari -April 2006 Tiap tahapan draft dilakukan konsultasi Perorangan maupun melalui sidang
pur*nseut P 4-
P P e b n b n W
"
*-Ksd,_
,..., '",TorQlnpp*-l I I,'. . '
P Pm-
P P a ( e q K e n
'
-linDBM V K d w DuoP W q a PHasen
Keterangan :
0
: Wilayah Administrasi Kelurahan Pulau Panggang0
: Area Seafarming (stock enhancement) [image:48.532.64.469.61.688.2]0
: Area pemukiman33.2. Jenis dan Sumber Data
Data ya