BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Teori Struktural Fungsional
Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan menggunakan defenisi ini, Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua sistem yaitu adaptation (A), goal attainment (G), integratioan (I), dan latensi (L) atau pemeliharaan pola. Secara bersama-sama, keempat imperatif fungsional ini dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan (survive), suatu sistem harus memiliki empat fungsi ini:
1. Adaptation (Adaptasi)
Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
2. Goal attainment (Pencapaian tujuan)
Sebuah sistem harus mendefenisikan dan mencapai tujuan utamanya. Tindakan diarahkan bukan untuk mencapai tujuan pribadi individu, melainkan tujuan bersama para anggota sistem sosial.
3. Integration (Integrasi)
Sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,L).
4. Latency (latensi atau pemeliharaan pola)
Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Parsons mendesain skema AGIL untuk digunakan di semua tingkatan dalam sistem teoritisnya. Dalam bahasan tentang empat sistem tindakan, akan dicontohkan bagaimana cara Parsons menggunakan skema AGIL. Organisme Perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikam diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Terakhir, sistem
kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor
seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak (Ritzer, 2007: 121).
Strategi pedagang kerajinan tenun ulos dalam menarik pelanggan diwujudkan dalam bentuk tindakan sosial yang penuh arti yang dilakukan oleh pedagang itu sendiri. Tindakan pedagang kerajinan tenun ulos Pusat Pasar Medan menyangkut
perilaku perdagangan yang merupakan pertukaran perilaku dalam memberikan pelayanan kepada konsumen. Dalam hal ini termasuk melakukan adaptasi trend dan model yang beredar dipasaran. Mereka memperhitungkan strategi dengan tujuan agar memperoleh keuntungan sebagai pendapatan hidup sehingga strategi yang dilakukan dapat mempertahankan usahanya.
Pedagang kerajinan tenun ulos dalam strategi mempertahankan usahanya berusaha melebarkan jaringannya dan menarik pelanggan melalui teori aksi tentang tindakan sosial sebagai konsep dasar dari Tallcott Parsons, mengatakan bahwa manusia merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya dan memiliki kebebasan untuk bertindak. Menurut teori aksi manusia merupkan aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosial. Asumsi teori aksi yakni:
1. Tindakan manusia mulai dari kesadaran sendiri sehingga subjek dan situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek.
2. Sebagai subjek manusia bertindak untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi tidak dapat dapat dirubah dengan sendirinya.
5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan dilakukannya.
Talcott Parsons menggunakan istilah “action” mengatakan secara tidak langsung aktifitas, kreatiftas, dan proses penghayatan diri individu dengan menyusun skema unit-unit dasar tindakan sosial dan karakteristik sebagai berikut:
1. Adanya individu sebagai aktor
2. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan tertentu.
3. Aktor mempunyai alternatif cara, alat serta teknik untuk mencapai tujuan. 4. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi/situasi serta dapat membatasi
tindakan untuk mencapai tujuan.
5. Aktor berada di bawah kendali nilai-nilai, norma-norma dan ide abstrak yang mempengaruhi dalam memilih dan mementukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan (Ritzer, 2004:57)
2.2. Teori Modal Sosial
Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil yang kokoh, maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggungjawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate,1997; Suharto,2005a; Suharto,2005b).
Dua tokoh utama yang mengembangkan konsep modal sosial, Putnam dan Fukuyama, memberikan definisi modal sosial yang penting. Meskipun berbeda, definisi keduanya memiliki kaitan yang erat (Spellerberg, 1997), terutama menyangkut konsep kepercayaan (trust). Putnam mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas. Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun demikian, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Melainkan, hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Sebuah interaksi dapat terjadi dalam skala individual maupun institusional. Secara individual, interaksi terjadi manakala relasi intim antara individu terbentuk satu sama lain yang kemudian melahirkan ikatan emosional. Secara institusional, interaksi dapat lahir pada saat visi dan tujuan satu organisasi memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya.
Meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi dan kemudian menjalin kerjasama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan untuk berbagi cara mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri secara pribadi. Keadaan ini terutama terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi semacam ini melahirkan modal
sosial, yaitu ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Seperti halnya modal finansial, modal sosial seperti ini dapat dilihat sebagai sumber yang dapat digunakan baik untuk kegiatan atau proses produksi saat ini, maupun untuk diinvestasikan bagi kegiatan di masa depan.
Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya ‘kelompok kita’ dan ‘kelompok mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya muncul ‘kambing hitam’.
Parameter dan Indikator Modal Sosial
Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Namun demikian, modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya. Karenanya, modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal social lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak
dipergunakan. Berbeda dengan modal manusia, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain. Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995).
Merujuk pada Ridell, ada tiga parameter modal sosial, yaitu rasa percaya (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks).
Rasa Percaya
Sebagaimana dijelaskan Francis Fukuyama (1995), rasa percaya (trust) adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini.
Dalam bisnis, trust mengurangi kebutuhan merumuskan kontrak yang berkepanjangan, menghindari situasi tidak terduga, mengurangi pertikaian, dan mengurangi kebutuhan proses hukum seandainya terjadi pertikaian. Trust mengurangi biaya dan waktu yang sering dikaitkan dengan sistem pengawasan tradisional dan kontrak hukum yang formal, hal-hal yang sangat penting dalam organisasi yang mementingkan pengetahuan. Fukuyama menyatakan bahwa trust membantu orang-orang bekerja sama dengan lebih efektif, karena mereka lebih bersedia menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Jika bawahan merasa bahwa hal tersebut adil, mereka bersedia mengorbankan hak-hak pribadi demi kebaikan organisasi (The Economist 1995:61).
Untuk mendukung hipotesanya, Fukuyama mengajukan kategori masyarakat yang dikotomis: masyarakat high-trust dan masyarakat low-trust. Jenis pertama menunjukkan tingkat trust yang tinggi dan terus berkelanjutan di bawah otoritas politik yang sudah didesentralisasi pada tahap pra-modern (Fukuyama 1995). Organisasi kecil yang punya banyak koneksi bisa memanfaatkan ekonomi skala sambil menghindari biaya overhead dan birokrasi yang membebani organisasi besar. Ekonomi masyarakat yang demikian mempunyai keunggulan fleksibilitas yang tinggi, karena rakyatnya mempunyai tingkat kepercayaan tinggi bahwa sistem sosial mereka akan selalu adil. Contoh masyarakat high-trust adalah Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat. Masyarakat ini mempunyai solidaritas komunal sangat tinggi yang mengakibatkan rakyat mereka mau bekerja mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Sementara itu masyarakat jenis kedua, masyarakat
low-trust, dianggap lebih inferior dalam perilaku ekonomi kolektif. Contoh
masyarakat low-trust adalah Cina, Korea, Perancis dan Italia (http://www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/2006/61/1/11tinjbk61.pdf
Cox kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya ‘We expect others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work co-operatively, to collaborate with others in collegial relationships`. (Cox, 1995:5). Rasa percaya pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial
melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).
Norma
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.
Fukuyama menunjuk pada serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di anatara para anggota suatu kelompok memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. (Lawang, 2004:180). Norma-norma akan berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk hubungan antar individu. Norma yang tercipta diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh individu pada suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, namun demikian dipahami oleh setiap individu dalam konteks hubungan sosial-ekonomi. Aturan-aturan tersebut misalnya, bagaimana cara menghormati dan menghargai orang lain, norma untuk tidak mencurangi orang lain, norma untuk selalu bekerjasama dengan orang lain, merupakan contoh norma yang ada. Norma dan aturan yang terjaga dengan baik akan berdampak positif bagi kualitas hubungan yang terjalin serta merangsang keberlangsungan kohesifitas sosial hidup yang kuat (Hasbullah, 2006:13).
Jaringan
Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal. Putnam berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat dari partisipasinya itu (http://www.policy.hu/suharto). Satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu, mungkin pula kelompok dan perusahaan dan masyarakat. Hubungan dapat terjadi di tingkat struktur sosial skala luas maupun di tingkat yang lebih mikroskopik (George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2007:383).
Untuk melihat bagaimana dan menjelaskan fenomena perilaku ekonomi dalam hubungan sosial, Granovetter mengajukan konsep keterlekatan. Konsep keterlekatan menurut Granovetter, dalam (Damsar, 2002:27) merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor. Ini tidak hanya terbatas terhadap tindakan aktor individual sendiri, tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi, yang semuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial. Artinya, tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan adalah “terlekat” karena ia
diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seorang terlekat dalam jaringan hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil institusional. Begitu pula yang terjadi pada fenomena-fenomena ekonomi, sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan individu dalam hubungan sosial. Jaringan senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprosikal seketika, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang guna memenuhi kebutuhan hidup serta mencapai tujuan yang ingin dicapai.