• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAMBUTAN DEPUTI PERLINDUNGAN PEREMPUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SAMBUTAN DEPUTI PERLINDUNGAN PEREMPUAN"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

SAMBUTAN

DEPUTI PERLINDUNGAN PEREMPUAN

Assalamualaikum Wr Wb.

Perdaganganorang merupakan pelanggaran HAM berat dalam bentuk perbudakan modern dengan mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak, berakibat penderitaan fi sik dan psikis dan, menurunnya kualitas hidup serta berdampak tidak saja kepada korban, tetapi juga keluarga, bangsa dan negara.

Saat ini Perdagangan orang bukan lagi merupakan fenomena sosial biasa, tetapi merupakan kejahatan luar biasa yang dilakukan sindikat baik secara terorganisir maupun tidak terorganisir. Guna merespon hal ini pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan ditindaklanjuti dengan peraturan perundangan lainnya yang senantiasa dilengkapi dan disempurnakan. Selain membentuk lembaga koordinatif sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2009 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga telah melahirkan beberapa kebijakan. Namun diakui pelaksanaannya masih belum optimal.

Banyak faktor pendorong terjadinya perdagangan orang, antara lain, kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, penegakan hukum yang belum optimal, tradisi kawin usia dini, gaya hidup konsumtif dan instan, serta mulai memudarnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai akibat arus informasi global.

Menyadari hal tersebut di atas, penting untuk mendorong masyarakat untuk menggali, mengangkat dan menghidupkan

(4)

kembali nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini telah mulai pudar ditengah masyarakat. Dengan mengangkat potensi kearifan lokal akan menjadi daya tangkal dan mengurangi kerentanan individu terutama perempuan dan anak untuk dapat terhindar dari perangkap perdagangan orang. Aspek pencegahan perdagangan orang secara dini ditengah masyarakat dapat ditingkatkan melalui kontribusi positif kearifan lokal.

Tersusunnya Kebijakan Pencegahan Perdagangan Orang melalui pendekatan kearifan bukanlah semata-mata hasil kerja dari jajaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja namun lebih dari itu merupakan output bersama dengan berbagai pihak, baik Kementerian/Lembaga terkait maupun LSM dan kalangan Perguruan Tinggi sebagai bagian dari upaya pelibatan berbagai pihak dalam penyusunan kebijakan yang implementatif.

Dengan terbitnya kebijakan yang menitikberatkan pada kontribusi kearifan lokal untuk mencegah terjadinya perdagangan orang ini saya berharap akan dapat memperkaya referensi dalam upaya mencegah perempuan dan anak terperangkap dalam mata rantai perdagangan orang.

Akhirnya, sekali lagi ucapan terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan pemikiran dan waktunya untuk menjadikan kebijakan ini lebih baik dan bisa diimplementasikan. Semoga yang kita karya ini bisa berguna bagi masyarakat dan generasi penerus bangsa.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Deputi Perlindungan Perempuan ttd

(5)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN DEPUTI PERLINDUNGAN PEREMPUAN iii

DAFTAR ISI v BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Dasar Hukum 15 1.3 Tujuan 18 1.4 Sasaran 18 1.5 Manfaat Kebijakan 19 1.6 Pengertian Umum 19

BAB II KEARIFAN LOKAL 23

2.1 Konsep Kearifan Lokal 23

2.2 Praktik Kearifan Lokal Dalam Perlindungan

Terhadap Perempuan dan Anak 26

BAB III STRATEGI DAN PROGRAM PELAKSANAAN

KEBIJAKAN 31

3.1 Aplikasi Kearifan Lokal 31

3.2 Upaya Menumbuhkan Kearifan Lokal 31

3.3 Peran Serta Masyarakat 33

3.3.1 Tokoh Masyarakat 35

3.3.2 Tokoh Adat 36

3.3.3 Tokoh Agama 37

(6)

BAB IV MONITORING DAN EVALUASI 39

4.1 Monitoring 39

4.2 Evaluasi 39

BAB V PENUTUP 41

(7)

KEBIJAKAN PENCEGAHAN

PERDAGANGAN ORANG MELALUI

PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

(8)
(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perdagangan orang atau traffi cking merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bersifat kejahatan kriminal luar biasa (extra ordinary crime) dan dan saat ini sudah menjadi permasalahan global yang telah menimbulkan korban ratusan ribu orang setiap tahunnya dan sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak. United Nations International Labour Organization (ILO) melaporkan bahwa terdapat 215 juta anak terperangkap dalam pekerjaan berbahaya yang menempatkan mereka beresiko cedera, sakit atau kematian, dan rentan menjadi korban perdagangan orang.1

Indonesia merupakan negara sumber, transit dan tujuan dari perdagangan orang terhadap perempuan, anak dan laki-laki, terutama untuk tujuan prostitusi dan kerja paksa. Berdasarkan data International Organization For Migration (IOM), sedikitnya terdapat 76% perempuan dan anak-anak direkrut oleh pelaku perdagangan orang dengan modus menawarkan bekerja ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI)2. Saat ini

diperkirakan terdapat 6.5 juta hingga 9.0 juta TKI bekerja di luar Indonesia, termasuk diantaranya 2.6 juta di Malaysia dan 1.8 juta di Timur Tengah3. Sedangkan di Bareskrim POLRI pada tahun

1 United States Department of State, Traffi cking in Persons Report 2010 -

Indonesia, 14 June 2010, available at: http://www.unhcr.org/refworld/

docid/4c1883ecc.html [accessed 15 June 2011]

2 International Organization for Migration, Counter-Traffi cking Database Maret

2004-Desember 2010

3 United States Department of State, Traffi cking in Persons Report 2010 -

Indonesia, 14 June 2010, available at: http://www.unhcr.org/refworld/

(10)

2010 tercatat ada 105 kasus perdagangan orang dengan korban dewasa sejumlah 86 orang dan korban anak 57 orang. Dari hasil rekapitulasi data penempatan tahun 2008 hingga Juli 2010, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI melaporkan, lebih dari 70% TKI adalah perempuan yang bekerja di sektor informal sebagai Pekerja Rumah Tangga.4

Perempuan dan anak-anak menjadi target perdagangan orang untuk diekploitasi baik secara seksual ataupun tenaganya (forced labour), di dalam dan di luar negeri. Fenomena perdagangan orang di dalam negeri juga semakin beragam bentuk dan modusnya. Pelacuran baik di area lokalisasi maupun ditempat-tempat pelacuran terselubung seperti di kafe, panti pijat, salon kecantikan plus-plus, hotel dan lain-lain mulai menjamur, baik di kota besar maupun di pedesaan. Database IOM (Maret 2005-2011) menggambarkan bahwa 90.36 % korban perdagangan orang adalah perempuan, yang terdiri dari 2,692 orang perempuan dewasa dan 749 orang perempuan anak. Sementara 23,61% korban adalah anak-anak, dengan komposisi 150 orang anak laki-laki dan 749 orang anak perempuan5. Di

lingkungan perkotaan, pengemis dan anak jalanan juga menjadi modus paling banyak dipakai untuk mengeksploitasi anak-anak untuk tujuan ekonomi. Ironisnya, ditemukan fakta bahwa pelaku dalam kasus pemaksaan anak untuk mengemis di sepanjang jalan raya justru orang dewasa dan bahkan adalah orang tua mereka sendiri.

4 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Data Penempatan Tenaga Kerja Indonesi di Luar Negeri, Rekapitulasi data penempatan Tahun 2009 s/d juli 2010: Dilporkan bahwa jumlah keseluruhan TKI yang ditempatkan adalah 1,459,621 dengan komposisi TKI formal (yang mayoritas adalah laki-laki) sebanyak 315.180 dan TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga (yang mayoritas adalah perempuan) sebanyak 1.44.441.

(11)

Lebih dari itu, saat ini telah terjadi praktik penjeratan korban perdagangan orang dengan target remaja putri melalui situs jejaring internet. Fenomena jejaring sosial melalui internet telah menghubungkan banyak orang terutama remaja dalam lingkungan maya yang bisa sangat berbahaya. Para pelaku melakukan kontak maya melalui berbagai situs seperti facebook dan friendster untuk menjebak dan mengksploitasi perempuan dan anak-anak terutama remaja putri. Seperti yang pernah juga diberitakan oleh media massa bahwa remaja putri di bawah umur telah dijebak untuk dieksploitasi sebagai korban perdagangan orang melalui facebook.6

Modus lain yang juga memprihatinkan, semakin banyak perempuan dewasa dan remaja menjadi korban perdagangan orang dengan melakukan pekerjaan sebagai kurir “narkoba” karena janji akan menerima sejumlah hadiah berupa uang, dipacari atau akan dinikahi oleh pelaku. Setelah modus pengantin pesanan di Kalimantan Barat ke beberapa negara tujuan seperti Hong Kong dan Taiwan, sekarang muncul modus baru melalui kawin kontrak yang berlangsung hanya beberapa hari atau minggu yang diperantarai oleh pemandu wisata (guide), terjadi antara wisatawan asal Timur Tengah dengan remaja atau perempuan Indonesia kemudian tinggal beberapa hari di daerah tujuan wisata seperti di Cisarua Kabupaten Bogor.7

Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai fakta perdagangan orang seperti disebut di atas telah menjadi sedemikian rumit mengingat berbagai aspek turut mempengaruhinya. Berbagai

6 lihat berita online: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=60912:-facebook-modus-baru-dunia-traffickin g&catid=95&Itemid=146);http://cop1past3.wordpress.com/2011/02/19/ facebook-mulai-jadi-alat-jual-diri/http://www.eocommunity.com/showthread. php?tid=4230

(12)

faktor turut mendorong dan menyebabkan baik langsung maupun tidak langsung. Secara umum dapat dijelaskan bahwa dua faktor utama yaitu mikro ditingkat individual maupun faktor makro yang juga secara signifi kan telah berkontribusi pada keberlangsungan praktik kejahatan perdagangan orang. Tuntutan dan permintaan terhadap buruh murah dan keberlangsungan industri seks terus meningkat bahkan sampai di daerah-daerah terpencil akibat dari industrialiasasi dan investasi modal asing yang seringkali tidak dibarengi dengan perlindungan terhadap masyarakat, termasuk masyarakat adat.

kerja dan rendahnya upah pekerja di Indonesia, implementasi kebijakan yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat terutama masyarakat adat, kebijakan dan budaya migrasi yang rawan menempatkan pekerja sebagai korban perdagangan orang. Kemiskinan menjadi faktor pendorong masyarakat untuk bermigrasi dan mencari alternatif penghasilan di luar desa, daerah, bahkan negara dimana mereka berasal. Kendati angka kemiskinan tahun 2010 telah menurun menjadi 13,3% dari keseluruhan jumlah penduduk dibandingkan dengan tahun sebelumnya (14,2%)8

ternyata hal ini tidak secara signifi kan menurunkan jumlah korban perdagangan orang di Indonesia.9 Kemiskinan yang dialami oleh

masyarakat adat melalui kebijakan industrialiasi dan investasi asing memaksa mereka untuk mencari sumber kehidupan lain karena hutan tempat mereka mencari makan telah menjadi area tambang, sekaligus menjadi lokasi munculnya industri sek. Akses informasi dan transportasi memperkuat jejaring pelaku kejahatan perdagangan orang dengan mudah dapat memindahkan dan mentransportasikan korban, ditambah dengan

8 Detik Finance, Hatta: Kemiskinan Masih Banyak, Mungkin Rambut Saya Hitam Lagi, Rabu, 26 January 2011

(13)

lemahnya sistem penjagaan daerah perbatasan (border control) menjadikan Indonesia sebagai sumber/asal, transit dan tujuan dari perdagangan orang dan penyelundupan manusia.

Di tingkat masyarakat, lemahnya daya tangkal individu dan keluarga dalam mencegah terjadinya perdagangan orang juga secara kritis menyebabkan orang mudah terjebak menjadi korban perdagangan orang. Kemiskinan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, keinginan mendapatkan gaji tinggi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal, perubahan gaya hidup (life style) turut memperlemah daya tangkal individu dalam menghindari jeratan perdagangan orang. Beberapa kasus belakangan ini juga ditemukan adanya korban anak dan remaja yang terjerat dalam tipu daya pelaku kejahatan perdagangan orang karena keinginan untuk menikmati gaya hidup mewah seperti yang selalu ditayangkan oleh berbagai media baik cetak maupun televisi.

Konstruksi sosial masyarakat yang bias gender telah memunculkan ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender hingga menempatkan dan mengakibatkan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan kejahatan perdagangan orang. Berbagai ketidakadilan gender seperti posisi subordinat, pelabelan, marginalisasi dalam pengambilan keputusan, diskriminasi dalam ruang publik dan politik, serta beban ganda (double burden). Dimensi ketidakadilan gender semakin nyata ketika perempuan menjadi objek eksploitasi dan kekerasan, salah satunya berupa perdagangan orang. Dalam mata rantai perdagangan orang, perempuan dan anak tak ubahnya menjadi barang dagangan dan dieksploitasi secara fi sik, psikis, seksual dan ekonomi.

Akibat kekerasan berbasis gender itu, ribuan perempuan dan anak-anak terjebak dalam perangkap perdagangan orang.

(14)

Dampak yang dialami korban sungguh luar biasa. Penderitaan fi sik seperti cacat, kerusakan organ tubuh, gangguan reproduksi, HIV/ AIDS dan penyakit menular seksual (PMS) sampai kematian banyak dialami oleh korban perdagangan orang.10 Secara

mental, sebagian besar korban mengalami depresi, trauma dan goncangan yang tidak sebentar fase penyembuhannya.11 Secara

material, korban perdagangan orang jelas dirugikan baik karena menanggung hutang, upah tidak dibayar maupun hilangnya mata pencaharian. Bagi keluarga, trauma dan rasa malu sering dialami mereka yang anggota keluarganya menjadi korban perdagangan orang. Masyarakat sekitar juga menerima dampak buruk akibat praktik perdagangan orang seperti hilangnya ketertiban umum dan nilai sosial yang dianut. Praktik kejahatan perdagangan orang umumnya akan dibarengi dengan praktik pencucian uang, perdagangan narkoba dan senjata gelap yang dapat mengancam perkembangan generasi muda dan anak-anak di komunitas. Regenerasi di komunitas pun dapat terhambat karena banyak individu yang kemudian keluar meninggalkan desa, atau kembali dengan mengalami cacat fi sik dan/atau mental, serta kematian.

Perlindungan anak menjadi melemah, penghancuran pola pergaulan tradisional dan seks bebas, serta penyebaran penyakit menular sebagai dampak dari migrasi dan eskploitasi pada saat seseorang diperdagangkan menjadi semakin tidak terdeteksi di masyarakat. Lebih dari itu, pemalsuan dokumen dan identitas

10 International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Database Counter-Traffi cking & Labour Migration Unit, (Maret 2005 – Juni 2011): Data tersebut menggambarkan fakta-fakta kekerasan yang dialami oleh korban baik secara fi sik, psikis, dan medis: Terkait dengan data medis, dari keseluruhan korban sebanyak 3,943 orang, terdapat 1,431 ditemukan mengidap infeksi menular seksual (PMS), 41 orang terkena HIV positive, 115 terkena Hepatitis B. 11 Ibid: Terkait dengan psikis korban, 30% korban dari total korban mengalami

Post-trauma stess symtoms, 73% mengalami Depression symtoms seperti

(15)

korban umumnya melibatkan pelaku di tingkat desa seperti RT/RW, lurah dan camat. Dengan demikian, praktik kejahatan perdagangan orang pun semakin menyuburkan praktik korupsi di lembaga-lembaga pemerintah yang kemudian melibatkan oknum pelaku dari pemerintah dan aparat penegak hukum baik di tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Pemerintah menanggung kerugian yang tidak sedikit dari praktik perdagangan orang, karena hilangnya pendapatan negara akibat korupsi yang membolehkan praktik ilegal, tingginya beban anggaran untuk penanganan perdagangan orang dan hilangnya reputasi dan martabat negara dan bangsa di mata dunia internasional. Derasnya arus globalisasi melalui teknologi dan informasi yang membanjiri dan masuk tanpa fi lter ke dalam kehidupan masyarakat, serta industrialisasi dengan bungkus pembangunan yang tidak memperhatikan tatanan sosial sangat mempengaruhi dan mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat, terutama masyarakat adat. Masyarakat adat, terutama perempuan dan anak menjadi semakin terasing dan terpinggirkan, bahkan tidak memiliki pilihan untuk bertahan hidup secara layak. Kepedulian masyarakat melalui sistem perlindungan yang secara alami dipercaya dan dianut selama ini juga semakin menipis akibat terkikis oleh pengaruh negatif globalisasi dan industrialisasi.

Beberapa aspek yang menyebabkan semakin meluasnya indikasi perdagangan orang antara lain disebabkan terjadinya “feminisasi kemiskinan”. Faktor ini menjadi sebab utama bermigrasinya perempuan ke kota-kota maupun ke luar negeri karena lapangan kerja yang semakin terbatas di desa dan kurangnya akses perempuan terhadap pengelolaan sumberdaya alam termasuk kepemilikan tanah.

Disamping itu, kuatnya arus informasi dan komunikasi baik melalui media cetak, radio dan TV serta pesatnya kemajuan IT

(16)

telah mengubah gaya hidup masyarakat pedesaan dari pola hidup sederhana masuk ke dalam pusaran globalisasi. Gaya hidup serba mewah dan instan mendorong orang-orang muda, termasuk perempuan untuk bermigrasi dan mencari pekerjaan di kota-kota besar dan luar negeri. Namun keterampilan yang minim dan jaringan kerja yang terbatas membuat para perempuan ini terpaksa bekerja di sektor-sektor yang membahayakan, seperti menjadi waitress, pekerja seks atau pekerja rumah tangga.

Masih kurangnya akses dan keadilan bagi perempuan dibidang pendidikan dan bertemu dengan budaya patriarki dimana anak laki-laki yang lebih di harapkan punya masa depan lebih baik (sebagai calon kepala rumah tangga), maka perempuan didorong mengambil tanggungjawab untuk bekerja dengan pendidikan yang minim, misalnya menjadi tenaga kerja di luar negeri atau menjadi pekerja seks untuk mendapatkan uang dan membiayai pendidikan dan kehidupan keluarga serta saudara-saudaranya.

Disisi lain, meningkatnya pengangguran dipedesaan akibat eksplorasi lahan, berkembangnya industri yang kurang memperhatikan aspek lingkungan, menyebabkan banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Proses berubahnya hutan dan lahan pertanian menjadi area pertambangan, perumahan dan industri, menyebabkan tidak ada pilihan bagi perempuan dan anak-anak kecuali meninggalkan rumah dan desa mereka untuk mengais rejeki ke daerah dan negara lain. Dengan pengetahuan dan pendidikan yang sangat minim tidak menutup kemungkinan mereka pun akan terjebak menjadi korban perdagangan orang.

Menyadari tingkat keseriusan kejahatan perdagangan orang baik di dalam maupun di luar negeri, pemerintah Indonesia

(17)

kemudian melakukan berbagai langkah serius guna mencegah dan menangani tindak pidana perdagangan orang. Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan upaya konkrit dari pemerintah dalam rangka penghapusan perdagangan orang. Upaya ini kemudian didukung dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Gugus tugas nasional ini melibatkan sedikitnya 19 lintas kementerian dan lembaga yang diketuai oleh Kementerian Koordinasi dan Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) sebagai ketua hariannya. Hingga saat ini sedikitnya telah terbentuk 21 gugus tugas provinsi dan 72 gugus tugas ditingkat kabupaten/kota. Tidak hanya itu, KPP & PA juga telah mendorong terbentuknya 121 P2TP2A di provinsi dan kabupaten/kota, guna memberikan panduan kepada anggota gugus tugas dan petugas pemberi layanan korban perdagangan orang. Telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Perdagangan Orang. Dalam rangka memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak korban kekerasan, termasuk korban perdagangan orang, KPP & PA telah mengeluarkan Permeneg PP & PA, No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang sudah disetujui oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah pada tanggal 17 Desember 2009.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang, seperti Kepolisian Republik Indonesia telah membentuk 306 Unit Pelayanan Perempuan & Anak (UPPA) atau yang sering disebut

(18)

dengan Unit Remaja, Anak dan Wanita (Renata) di 31 provinsi seluruh Indonesia yang terdapat pada setiap Polda dan Polres untuk melakukan upaya bantuan hukum bagi korban guna menjerat para pelaku tindak pidana perdagangan orang. Kementerian Sosial dan Dinas Sosial di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga memiliki peran yang cukup signifi kan terkait dengan bantuan rehabilitasi sosial dan pemulangan bagi korban perdagangan orang. Terdapat 3 shelter utama yang disebut dengan Rumah Perlindungan dan Trauma Centre (RPTC) sebanyak 41 shelters yang terdapat di 19 provinsi di seluruh Indonesia12, Rumah Perlindungan Sosial

Anak (RPSA) sebanyak 27 shelters yang terdapat di 27 provinsi di seluruh Indonesia13, serta Panti Sosial Karya Wanita (PKSW)

di seluruh Indonesia sebanyak 20 Shelters yang terdapat di 19 provinsi14. Lebih dari itu, Rumah Perlindungan Sosial Wanita

(RPSW) khusus didirikan untuk memberikan perlindungan rumah aman bagi korban perdangangan orang yang di ekploitasi secara seksual di Jakarta dibawah perlindungan Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Kementerian Sosial RI. Terkait dengan pelayanan kesehatan bagi korban perdangangan orang, Kementerian Kesehatan membentuk Pusat Krisis Terpadu (PKT) di 29 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dan Daerah (RSUD) yang ada di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Kementerian Luar Negeri melalui peraturan Nomor 4 Tahun 2008, mendirikan ”Pelayanan Perlindungan Warga Negara Indonesia” yang terdapat di seluruh Perwakilan RI (KBRI/KJRI), terutama di

12 Kementerian Sosial Republik Indonesia, Direktorat Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migrant, Daftar Rumah Perlindungan dan Trauma

Centre (RPTC) Se-Indonesia, Hasil Rekapitulasi Data Tahun 2010.

13 Kementerian Sosial Republik Indonesia, Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, Daftar Rumah Perlindungan Sosial Anak 2010

14 Kementerian Sosial Republik Indonesia, Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Nama dan Alamat Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) di Seluruh

(19)

24 perwakilan RI di Luar Negeri dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dan memperkuat perlindungan bagi Warga Negara Indonesia di luar negeri khususnya TKI yang rentan untuk menjadi korban perdagangan orang. BNP2TKI melakukan pelatihan kompetensi dan Pelatihan Akhir Pemberangkatan (PAP) bagi calon TKI sebelum berangkat ke luar negeri untuk membekali calon TKI dengan pengetahuan mengenai pengetahuan bahasa, budaya, dan hukum negara setempat (domestic law); krisis centre dan sistem pendataan TKI online; Kelompok Berlatih Berbasis Masyarakat – KBBM, yang juga bisa digolongkan sebagai upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang bagi TKI. Kementerian Pendidikan Nasional, sebagai penangung jawab Sub-Gugus Tugas Pencegahan dan Partisipasi Anak telah melakukan berbagai upaya kreatif termasuk memberikan bantuan dana kepada lembaga-lembaga yang bekerja untuk isu perdangangan orang hingga di tingkat kabupaten/kota. Tidak kalah pentingnya, Kementerian Agama pun turut serta berperan dalam upaya pencegahan dengan membentuk pelayanan keluarga sakinah, majelis taqlim, serta memberikan penyuluhan kepada calon pengantin agar terhindar dari bahaya perdagangan orang.

Selain berbagai kebijakan hukum dan program yang telah dilakukan oleh pemerintah, lembaga non-pemerintah seperti Organisasi Internasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia juga telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pemerintah guna mencegah dan menangani perdagangan orang. Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga non-pemerintah juga sangat beragam, dari advokasi kebijakan, sosialisasi kepada masyarakat, pelatihan dalam rangka menguatkan kapasitas petugas lembaga pemerintah dan non pemerintah, hingga kampanye ke berbagai daerah yang diindikasikan sebagai daerah sumber, transit dan tujuan dari kejahatan perdagangan orang.

(20)

Berbagai inisiatif juga dilakukan Komnas Perempuan, lembaga dibawah Badan PBB dan organisasi kemasyarakatan lainnya termasuk organisasi keagamaan. Banyak upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan dalam rangka mencegah dan menangani kejahatan perdagangan orang di Indonesia. Koordinasi dan kerjasama antar berbagai elemen baik nasional maupun daerah juga terus dikembangkan. Namun demikian, angka kejahatan perdagangan orang yang ditemukan masih tinggi.15 Dari laporan

Bareskrim POLRI, terhitung sejak tahun 2007 hingga September 2011, terdapat 646 kasus yang telah ditangani oleh kepolisian baik di tingkat pusat ataupun daerah, dengan jumlah keseluruhan korban dewasa sebanyak 1,134 (mayoritas perempuan) dan korban anak sebanyak 312.16 Tingkat kerentanan masyarakat

terhadap kejahatan perdagangan orang juga semakin meningkat. Banyak upaya pencegahan telah dilakukan, namun demikian masih banyak juga masyarakat yang tetap menempuh cara yang sangat beresiko hingga kemudian menjadi korban perdagangan orang. Faktor yang mempengaruhi antara lain adalah menipisnya daya tangkal masyarakat dan menipisnya nilai-nilai perlindungan sosial yang selama ini dipercaya dan dianut oleh masyarakat. Padahal nilai-nilai itu yang selama ini dipercaya mampu mempertahankan struktur dan stabilitas kehidupan masyarakat.

Didalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dinyatakan Negara dan Pemerintah berkewajiban melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

15 International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Database Counter-Traffi cking and Labour Migration Unit, Maret 2005 – Juni 2011

(21)

Sementara itu, dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 56 menyebutkan bahwa pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dan pada Pasal 57 disebutkan bahwa (1) Pemerintah, Pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.

Berdasarkan data dan fakta serta kesadaran terhadap aspek fi losofi s, yuridis dan sosiologis, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merasa penting mendorong masyarakat untuk menggali, mengangkat dan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini telah mulai pudar ditengah masyarakat. Dengan mengangkat potensi kearifan lokal akan menjadi daya tangkal dan mengurangi kerentanan individu terutama perempuan dan anak untuk dapat terhindar dari perangkap perdagangan orang. Aspek pencegahan perdagangan orang secara dini ditengah masyarakat dapat ditingkatkan melalui kontribusi positif kearifan lokal.

Berdasarkan kajian yang dilakukan di tiga daerah sasaran, didapatkan gambaran kearifan lokal yang dapat berperan dalam menangkal perempuan dan anak masuk dalam perangkap perdagangan orang antara lain seperti falsafah Sunda yaitu “Silih asih, silih asah, silih asuh” yang artinya saling mengasihi, saling mengingatkan dan saling membina serta membimbing.

Sementara itu di Sulawesi Selatan mempunyai kearifan lokal yang dikenal dengan tiga malu yang dalam bahasa Bugis

(22)

diungkapkan sebagai : “capalillah, capa kawali dan capa laso” yang mengandung arti rasa malu di tiga ujung yaitu ujung lidah, ujung badik dan ujung kemaluan laki-laki. Jika seseorang ternoda dari ke tiga ujung itu maka dianggap hidupnya tidak berarti atau sia-sia.

Di Sumatera Barat, kearifan lokal yang dianut masyarakatnya dikenal dengan “Alam Takambang Jadi Guru” maksudnya kita belajar dari apa yang terjadi dilingkungan dan alam sekitar, yang didasarkan pada “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabulah” yang berarti adat (kebiasaan) berdasarkan kepada hukum dan hukum berdasarkan kepada agama. Ke tiga contoh nilai-nilai kearifan lokal tersebut di atas dapat berperan dalam mendorong masyarakat setempat untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut yang mendorong pemberdayaan perempuan menuju perwujudan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sehingga dapat berkontribusi terhadap pencegahan perdagangan orang. Tentunya demikian pula di daerah lain, pastinya ada nilai-nilai kearifan lokal yang dapat memberi kontribusi terhadap pemberdayaan perempuan dan pencegahan perdagangan orang.

Untuk mendapatkan acuan yang sistematis dan implementatif maka perlu disusun suatu kebijakan terkait pencegahan perdagangan orang melalui pendekatan kearifan lokal yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan baik Pemerintah maupun masyarakat dalam meminimalisir kasus perdagangan orang. Kebijakan ini disusun berdasarkan hasil kajian pada beberapa wilayah sasaran dengan kondisi spesifi k dan Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Discussion Group) dengan masyarakat adat perempuan nusantara yang berasal dari berbagai daerah serta masukan dari berbagai kalangan masyarakat di tingkat pusat dan di tiga propinsi sasaran tempat dilakukannya uji publik draft kebijakan ini.

(23)

1.2. Dasar Hukum

1) Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 termasuk Amandemen Pasal 28

2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277).

3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).

5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

(24)

6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635). 7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720).

8) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960).

9) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Traffi cking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4990).

10) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

(25)

Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

11) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4818).

12) Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

13) Peraturan presiden No. 23/2011 ttg Rencana Aksi Hak asasi Manusia Indonesia thn. 2011-2014.

14) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifi kasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 57).

15) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kabupaten/Kota.

16) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

(26)

17) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu.

18) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1259 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Jamkesmas Bagi Masyarakat Miskin Akibat Bencana, Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial, dan Masyarakat Miskin Penghuni Lembaga Pemasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara.

19) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1226 Tahun 2009 tentang Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.

20) Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 25 Tahun 2009 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Ekploitasi Seksual Anak Tahun 2009-2014.

1.3. Tujuan

Tujuan kebijakan adalah menyediakan acuan bagi masyarakat dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan upaya pencegahan perdagangan orang melalui pendekatan kearifan lokal.

1.4. Sasaran

Sasaran kebijakan ini ditujukan untuk : 1) Pemerintah Pusat dan Daerah

(27)

2) Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang

3) Lembaga Masyarakat (Lembaga Adat, Lembaga Agama, Lembaga Politik, organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang peduli perempuan dan anak) 4) Masyarakat dan Keluarga

5) Koorporasi (Dunia usaha dan dunia industri) 6) Lembaga Pendidikan formal dan non formal 7) Aparat Penegak Hukum (APH)

8) Korban dan Pelaku Perdagangan Orang

1.5. Manfaat Kebijakan

1) Menjadi acuan bagi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam melakukan upaya pencegahan Perdagangan Orang dengan pendekatan Kearifan lokal 2) Menumbuhkan rasa kepedulian masyarakat terhadap

korban perdagangan orang serta meningkatkan efektifi tas upaya pencegahan Perdagangan Orang

3) Meningkatkan kreatifi tas kerja aparat pemerintah dan instansi terkait dalam upaya pencegahan perdagangan orang.

4) Memberikan masukan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan.

1.6. Pengertian Umum

(28)

1) Kearifan Lokal adalah nilai-nilai yang tumbuh, hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang bersifat orisinil dan berasal dari akar budaya setempat.

2) Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memberi kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

3) Pencegahan adalah upaya menghindari atau meminimalisir dari suatu tindakan atau proses.

4) Lembaga Masyarakat adalah Organisasi atau forum yang bersifat fungsional yang ada dan berkembang ditengah masyarakat dibentuk oleh masyarakat, beranggotakan masyarakat dan untuk masyarakat.

5) Tokoh Masyarakat adalah sosok atau person yang berada ditengah masyarakatnya dan mempunyai kewibawaan dan pengaruh dilingkungannya

6) Tokoh adat adalah seseorang yang berasal dari kalangan masyarakat adat yang diangkat dan menjadi orang yang memelihara nilai-nilai lokal yang harus dilestarikan, menjadi rujukan dan sebagai pihak yang harus mengambil peran terdepan ketika persoalan-persoalan masyarakat menabrak nilai-nilai kearifan lokal.

(29)

7) Tokoh Agama adalah sosok yang berasal dari kalangan agama dan kepribadiannya dijadikan contoh dan ketauladanan.

8) Organisasi Sosial adalah kumpulan dari dua orang lebih dalam wadah untuk tujuan kepentingan sosial.

9) Korporasi (Dunia Usaha dan Dunia Industri) adalah wadah usaha yang dibangun untuk kepentingan ekonomi.

10) Komunitas adalah sekumpulan orang yang hidup dalam lingkungan dan budaya yang sama.

11) Keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat yang mempunyai fungsi regenerasi dan reproduksi.

(30)
(31)

BAB II

KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal atau local genius atau local wisdom adalah kekayaan leluhur yang bersifat turun temurun berupa tata nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat serta berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat baik dalam bentuk pola fi kir maupun perilaku. Jika diamati lebih dalam akan ditemukan cukup banyak kearifan lokal yang mendukung pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak serta bisa berkontribusi dalam pencegahan perdagangan orang dan hampir diseluruh wilayah nusantara bisa ditemukan beragam bentuk kearifan lokal yang dapat mencegah terjadinya perdagangan orang. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, dikarenakan berbagai faktor, banyak kearifan lokal yang telah mengalami pergeseran nilai, sehingga nilai-nilai lokal yang bersifat positif tersebut pun menjadi terpendam dan hanya tinggal cerita masa lalu atau nilai-nilai tersebut justru disalah gunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang kemudian memposisikan perempuan dan anak menjadi rentan terhadap berbagai kekerasan dan kejahatan termasuk perdagangan orang.

Untuk melihat seperti apa kearifan lokal yang dapat memberikan kontribusi dalam pencegahan perdagangan orang, maka lebih jauh perlu dielaborasi berbagai bentuk konkrit kearifan lokal dan gambaran dimana saja kearifan lokal itu bisa berperan dan berfungsi dalam pencegahan perdagangan orang.

2.1. Konsep Kearifan Lokal

Secara terminologi kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) berarti bijak atau kebijaksanaan dan lokal (local)

(32)

secara leterlek berarti “setempat” tetapi secara hakiki maksudnya adalah tumbuh atau muncul dari tempat/komunitas itu sendiri dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat atau komunitas itu sendiri.

Dalam konteks kearifan lokal untuk pencegahan perdagangan orang, berarti kemampuan seseorang dengan menggunakan akal pikirannya untuk menghindari, menolak atau menyikapi indikasi atau situasi serta perilaku yang mengarah terjadinya perdagangan orang. Setiap daerah umumnya mempunyai ciri khas dan warna kearifan lokal tersendiri, berbeda antara satu daerah dengan daerah lain atau antara satu komunitas dengan komunitas lainnya, sesuai dengan kondisi, demografi dan sejarah keberadaan komunitas tersebut.

Di Sumatera Barat misalnya, kearifan lokal untuk mencegah perdagangan orang dapat diartikan sebagai norma yang berlaku dalam masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh orang Minangkabau dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari dan merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitas ”ke-Minangkabauan-nya” dalam mencegah terjadinya perdagangan orang. Di dalam adat Minangkabau terkenal pola “kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka kabanaran, kabanaran barajo ka kapatutan”, maksudnya dalam tatanan pergaulan masyarakat minang pada setiap generasi atau strata ada fungsi pengawasan dari orang yang lebih disegani baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan berkaum (suku).

Sementara itu di Sulawesi Selatan yang terkenal dengan etnik Bugis dan Makasar misalnya, mempunyai kearifan lokal yang dikenal dengan sebutan “Siri” yang berarti rasa malu. Rasa malu bagi orang bugis disebutkan pada tiga ujung, pertama

(33)

“cappa lilah ujung lidah” bermakna pada tidak boleh berkata-kata dan dikata-katai dengan kata-kata kotor dan hina. Kedua, “cappa kawali ujung badik” berarti pantang menghindar apalagi lari dari serangan fi sik dan bentuk-bentuk ancaman lainnya, ketiga “cappa laso ujung kemaluan laki-laki” dimaknai pantang melakukan hubungan seksual diluar nikah (berzina atau dizinahi anggota keluarga dan saudara dekatnya atau oleh siapapun juga). Bila seseorang sudah tidak bisa mengendalikan ketiga “cappa” tadi, maka dianggap sudah mati sebelum mati. Dari ungkapan tersebut nampak bahwa nilai budaya bila diterapkan dengan baik dapat mencegah perdagangan orang.

Sedangkan di Jawa Barat juga ada konsep budaya yang patut digali dan ditumbuhkan kembali yaitu karakter kesundaan yang disebut “cageur” berati sehat, “begeur” berarti baik, dan “bener” yang artinya benar, serta “sieger” berarti mawas diri dan “pinter” (cerdas). Kelima konsep budaya lokal tersebut bila dipahami secara lebih dalam sangat mendukung upaya pencegahan perdagangan orang dan masing-masing unsur tersebut dapat saling memperkuat dalam mencegah terjadinya perdagangan orang. Hidup sehat akan terwujud dengan cara hidup yang baik dan benar, hidup yang baik dan benar bisa diwujudkan bila kita selalu mawas diri dan cerdas dalam menghadapi dan mencari solusi dari permasalahan.

Namun demikian, kendati terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang sebenarnya dapat menjadi daya tangkal masyarakat dalam menghindari kejahatan perdagangan orang, perdagangan orang diberbagai daerah masih saja terus terjadi, termasuk di tiga provinsi tersebut di atas. Diduga salah satu penyebabnya adalah karena telah bergeser dan tenggelamnya nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat saat ini. Untuk itu, diperlukan kajian khusus guna menggali dan mengangkat kembali

(34)

nilai-nilai kearifan lokal tersebut sehingga nilai-nilai luhur yang dimiliki masing-masing daerah dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kajian yang dilakukan di tiga provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat serta masukan-masukan ketika ujipublik dan FGD dengan melibatkan perwakilan komunitas adat dari tujuh propinsi adalah upaya untuk melihat bagaimana dan kearifan lokal yang seperti apa yang mendukung pemberdayaan perempuan dan dapat memberikan kontribusi terhadap pencegahan perdagangan orang. Lebih jauh perlu dielaborasi berbagai bentuk konkrit kearifan lokal dan gambaran dimana saja kearifan lokal itu bisa berperan dan berfungsi dalam pencegahan perdagangan orang (traffi cking).

2.2. Praktik Kearifan Lokal Dalam Perlindungan Terhadap Perempuan dan anak

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang bagaimana nilai-nilai kearifan lokal telah turut serta memberikan perlindungan dan penghormatan kepada perempuan. Dalam praktik dilapangan, ternyata banyak ditemukan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipakai sebagai upaya pencegahan terhadap kejahatan perdagangan orang, terutama kepada perempuan dan anak. Di beberapa daerah kearifan lokal masih mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat seperti selalu hidup dalam suasana tolong menolong, gotong royong, saling bantu dan menghargai perempuan seperti dalam ungkapan kata-kata adat Batak “Dalihan na tolu” yang bermakna hormat sama hula-hula (saudara laki-laki), hormat sama boru (anak perempuan), hormat sama dongan tubu (satu marga).

(35)

Di Propinsi Banten, khususnya di kabupaten Cilegon terdapat nilai budaya yang cukup lama terpendam dan tidak diaplikasikan, yaitu yang dikenal dengan istilah “ngebantoni dulur sekabean”, artinya saling membantu dengan sesama baik dalam keluarga atau pun dalam kehidupan di masyarakat. Jika ditelaah lebih jauh, nilai ini juga dapat memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak yang seringkali menjadi target kejahatan perdagangan orang, dimana setiap individu didalam keluarga dan masyarakat memiliki kewajiban untuk saling membantu dan melindungi satu sama lain.

Sebagai suku dengan populasi terbanyak di Indonesia, masyarakat Jawa sangat terkenal dengan ungkapan “Mangan Ora Mangan Asal Ngumpul”. Ini bermaknakan bahwa pada hakikatnya orang Jawa selalu hidup dalam kesederhanaan dan penuh kasih sayang serta sangat kuat ikatan kekeluargaannya. Orang Jawa lebih mengutamakan rasa nrimo, suka mengabdi dan melayani. Nilai-nilai budaya Jawa biasanya disebarluaskan melalui kesenian dan budaya tradisional. Nilai ini juga dapat dimaknai sebagai proteksi keluarga termasuk kepada perempuan dan anak untuk tetap selalu hidup bersama-sama anggota keluargannya yang lain dan tidak perlu bersusah payah mengais rejeki ke luar daerah atau keluar negeri yang dapat membawa resiko. Kesengsaraan dan kebahagiaan menjadi milik bersama, tidak mengenal derajat, status, dan jenis kelamin.

Di Sorowako, masyarakat Karonsi’e Dongi mempertahankan kearifan lokal misalnya dengan prinsip “fatugua dan nai togu-togu” artinya menolong manusia dengan manusia. Sedangkan masyarakat Muara Enim-Sumatera Selatan kearifan lokalnya dipertahankan melalui sikap bergotongroyong dalam “bertani” yang dilakukan perempuan dan laki–laki. Hal yang sama juga terjadi di Manado-Sulawesi Utara yang dikenal dengan istilah

(36)

“Mapalus” atau gotong-royong, artinya kalau hari ini bekerja di kebun A, besok dia akan bekerja di kebun tetangga yang lain.

Dalam kehidupan komunitas Dayak di Kabupaten Landak-Kalimantan Barat ditemukan budaya “karamidi” maknanya perempuan mempunyai hak pengelolaan atas tanah sama dengan laki-laki dan juga dalam menentukan kepemilikan, antara perempuan dan laki–laki mempunyai hak yang sama.

Kearifan lokal yang demikian juga berkembang di Ambon-Maluku dimana perempuan mempunyai hak untuk mengelola tanah. Ketika dia kawin, dan tanah itu adalah hak dia dan orangtua membaginya. Di Maluku Tengah, perempuan punya hak untuk memutuskan pengelolaan hak atas tanahnya. Dalam diskusi keluarga itu perempuan selalu dimintai pendapatnya. Bahkan kalau ada persoalan tanah, maka perempuan berhak memberikan pendapatnya dan berhak memutuskan. Perempuan juga diberikan peran penting untuk memutuskan jenis tanaman yang akan dibudidayakan di tanah keluarganya. Walaupun perempuan sudah menikah tapi dia tetap diberikan hak untuk memutuskan pengelolaan tanahnya.

Sedangkan di Toraja-Sulawesi Selatan, perempuan berhak atas tanah dan warisan. Meski perempuan sudah menikah, namun ia tetap memiliki hak atas tanah waris dan hak untuk mengelola tanah. Tanah waris dari pihak perempuan tidak boleh dijual oleh suaminya karena itu dianggap aib di masyarakat. Laki-laki tidak boleh mengutak-atik tanah perempuan. Di komunitas suku Bugis Sulawesi Selatan masyarakatnya sangat meyakini budaya siri’na pesse/siri’ na pacce, masih dipahami sebagai nilai yang mengandung ‘malu’ jika melakukan pelanggaran adat kebiasaan di masyarakat seperti ada rasa malu yang tinggi jika melakukan ‘kawin lari’.

(37)

Sementara itu di Kutai Barat-Kalimantan Timur, khususnya di komunitas Dayak Benoaq, ada peraturan kampung yang melarang aktifi tas perkebunan dan pertambangan dalam radius 3 kilometer dari wilayah kelola masyarakat adat. Ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengelolaan sumberdaya alam dan masuknya pengaruh “asing” ke wilayah adat masyarakatnya. Mereka sangat peduli dengan anak-anak khususnya anak perempuan karena dianggap sebagai penerus keturunan keluarga. Di Benuaq, tidak ada anak yang menikah di bawah umur 17 tahun. Orang tua yang menikahkan anaknya di bawah umur 17 tahun akan menerima sanksi dari ketua Adat berupa denda. Namun seiring dengan masuknya pengaruh luar ke wilayah mereka, misalnya para pekerja tambang, pekerja perkebunan dan pekerja seks, para ibu khawatir, anak-anak yang rendah pendidikannya, terutama anak perempuan akan melihat gaya hidup mereka yang berbeda, dan mereka tergiur untuk bekerja sebagai pekerja seks juga.

Di Kabupaten Kapuas Hulu-Kalimantan Barat (dekat entikong) masih banyak masyarakatnya yang tinggal dan hidup bersama di rumah panjang, sehingga sosial kontrol dan nilai-nilai kebersamaan masih terpelihara dan sikap individualistis lebih rendah.

Di Sumatera Barat, masyarakatnya mempunyai nilai kekerabatan yang sangat kental dan mempunyai rasa saling percaya yang tinggi. Dalam pepatah adat ada ungkapan “sahino samalu” yang mengandung makna bahwa bila seorang kerabat atau anggota keluarga berprestasi atau berhasil maka itu akan menjadi kebanggaan kelurga, kaum dan orang kampungya. Sebaliknya bila seseorang berbuat sesuatu yang menumbuhkan rasa malu maka itu akan mempermalukan keluarga, kaum dan orang kampungnya. Namun demikian, budaya ini yang menyebabkan masyarakat Minang kalau sudah percaya kepada

(38)

seseorang, maka akan jauh dari rasa curiga. Hal itu kemudian menyebabkan sebagian masyarakat Minangkabau tidak begitu terusik dengan istilah calo, karena calo tersebut berasal dari lingkungan yang sama dan telah mereka kenal, sehingga umumnya tidak menyadari bahwa calo tersebut juga dapat menjadi pelaku kejahatan perdagangan orang. Banyak masyarakat berpendapat menjadi agen pencari kerja atau calo adalah hal biasa dan bukan untuk menjual sanak saudara dan orang sekampung, sebaliknya untuk menolong mencarikan jalan dan mendapatkan pekerjaan. Begitu juga dari sisi korban, pada dasarnya menganggap biasa jika pergi merantau dan mencari kerja dengan mengikuti orang yang telah mereka kenal atau pindah ke daerah atau kota yang ada saudara atau orang sekampungnya.

Sebenarnya cukup banyak nilai-nilai dalam kearifan lokal yang dimiliki dan telah ada di daerah yang dapat dipakai untuk melindungi perempuan dan anak dari ancaman dan eksploitasi sehingga perempuan dan anak dapat terhindar dari indikasi dan perangkap perdagangan orang.

(39)

BAB III

STRATEGI DAN PROGRAM PELAKSANAAN KEBIJAKAN

3.1. Aplikasi Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan masyarakat dalam mencegah dan menangani suatu persoalan di tengah masyarakat. Kearifan lokal yang masih hidup di tengah masyarakat, oleh sebagian anggota masyarakat tetap dipertahankan dan dipraktikan dalam kehidup sehari-hari. Warga masyarakat juga tetap mendengar, menghargai serta menghormati pemimpin adat, agama, dan masyarakat. Misal, di beberapa daerah, anak-anak dari keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan, karena warga dan para tokoh adat, agama, dan masyarakat mendorong dan mendukung orang tua untuk menyekolahkan anak ke tingkat lebih tinggi, agar setelah anak tersebut lulus dapat mengabdikan diri di kampung.

Kearifan lokal ini tetap tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, selain diterapkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan di tengah masyarakat, kearifan lokal juga terus menerus diperkenalkan masyarakat dan pemerintah kepada anak-anak melalui berbagai upaya, antara lain upacara-upacara adat, praktik sehari-hari, dan kurikulum muatan lokal di tingkat usia dini dan dasar.

3.2. Upaya Melestarikan Kearifan Lokal

Banyak nilai-nilai dalam kearifan lokal yang sudah mulai tergusur dan tergeser, sehingga diperlukan upaya untuk melestarikan nya kembali, antara lain:

(40)

Pertama, penguatan ikatan kekerabatan. Keluarga merupakan unsur utama dalam masyarakat lebih berperan sebagai pengayom, pengontrol, dan penanggung jawab terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Orang tua, misal malu jika terdapat anggota keluarga yang tidak bersekolah. Orang tua dan keluarga mencari pemecahan masalah untuk mengatasi masalah anak tersebut melalui musyawarah secara kekeluargaan untuk saling menghargai, mengingatkan, dan membantu agar anaknya dapat bersekolah.

Kedua, membentuk Gerakan Hening Sejam Usai Magrib. Gerakan ini dimaksudkan agar komunitas atau keluarga melakukan gerakan massif sehabis magrib sekalipun hanya satu jam sebagai wadah dialog, konsultasi, edukasi (penanaman nilai budaya dan religi sebagai fi lter) antar anggota keluarga. Antara anak dan orang tua terbuka mengemukakan pendapat dan persoalan masing-masing, menceritakan atau berbagi hal-hal yang menyenangkan serta dijadikan sebagai bentuk kedekatan emosional. Kalau bentuk “kedekatan” (attachment) terjalin dan dikomunikasikan secara intensif, maka ‘keluarga bahagia dan berhasil’ akan terwujud dan kecil kemungkinan ada di antara anggota keluarga yang merasa diisolasikan oleh keluarga. Anak-Anak tidak akan mencari lagi idola lain atau tempat konsultasi lain selain keluarganya karena kenyamanan dan kedekatan tadi.

Ketiga, memasukan materi kearifan lokal ke dalam kurikulum muatan lokal yang dikonkritkan dan didesain melalui gambar-gambar (visualisasi) sehingga anak-anak mudah menerimanya di semua tingkat pendidikan.

(41)

3.3. Peran serta masyarakat

Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah tindak pidana perdagangan orang. Masyarakat memiliki mekanisme sosial yang sangat efektif yang melindungi perempuan dan anak-anak dari kehidupan yang beresiko dan berbahaya. Orang tua selalu menanamkan kehidupan yang bertanggungjawab terhadap anak-anak supaya mereka tidak mudah tergoda dengan rayuan-rayuan yang bisa menyesatkan. Masyarakat juga menganut sistem nilai yang menganjurkan supaya orang-orang yang rentan seperti perempuan dan anak-anak mendapatkan perhatian dari keluarganya. Keluarga yang menelantarkan perempuan dan anak-anak akan dianggap sebagai keluarga yang tidak bertanggungjawab. Masyarakat pula yang mengambil peran langsung ketika menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang-orang yang rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

Peran masyarakat dalam mencegah tindak pidana perdagangan orang terlihat dari upaya-upaya yang berkembang di masyarakat dalam menghadapi dan memecahkan faktor-faktor pendukung dan penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang dari sisi masyarakat, seperti kemiskinan, pendidikan rendah, serta minimnya daya tangkal masyarakat dalam menghadapi kejahatan perdagangan orang. Masyarakat juga berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap keberlangsungan kehidupan mereka yang berkualitas, sejahtera dan bebas dari segala macam bentuk kekerasan seperti perdagangan orang.

Masyarakat yang memiliki nilai luhur baik yang lahir atas proses budaya maupun kepercayaan pada agama, memiliki tanggungjawab baik secara individu maupun kolektif untuk melakukan kebaikan kepada sesama, terlebih lagi orang-orang

(42)

yang berada pada posisi tidak beruntung, rentan dan korban kekerasan termasuk perdagangan orang. Pemanfaatan potensi kelembagaan masyarakat.

Masyarakat memiliki mekanismenya sendiri dalam membahas dan memecahkan persoalan-persoalan bersama yang berkembang dan dihadapinya. Kelembagaan masyarakat dibentuk dalam rangka menjebatani fungsifungsi tersebut. Kelembagaan masyarakat sekarang ini telah berkembang sedemikian rupa. Prinsip kerja kelembagaan masyarakat yang mengedapankan aspek komitmen dan sukarela sangat dibutuhkan untuk memecahkan berbagai persoalan kekerasan termasuk perdagangan orang yang tidak mungkin dilakukan hanya oleh lembaga negara. Potensi lembaga masyarakat dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain:

1) Komitmen; kelembagaan masyarakat selalu dibentuk atas dasar nilai-nilai yang menghormati hak-hak asasi manusia dan cita-cita tentang kehidupan yang lebih baik. 2) Sukarela; kelembagaan masyarakat masih sangat kuat

mempertahankan semangat voulentary atau kesukarelaan yang tinggi tanpa mengharapkan balasan materi ketika mengabdi. Orang-orang yang bekerja pada kelembagaan masyarakat selalu memiliki semangat sukarela untuk berjuang demi masyarakatnya baik berupa pikiran, materi, waktu maupun sumberdaya lainnya.

3) Konsisten dengan nilai-nilai kearifan lokal; lembaga masyarakat pada umumnya selalu mempertimbangkan posisi dan perannya di masyarakat, sehingga mereka selalu mendefi nisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan memelihara nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang. Program dan kegiatan kelembagaan masyarakat biasanya dipedomani oleh nilai-nilai tersebut.

(43)

4) Lembaga masyarakat memiliki peran untuk turut serta dalam mengatur tatanan dan sistem sosial masyarakatnya.

Pengorganisasian yang efektif dan mengakar; selain jaringan kuat, kelembagaan masyarakat juga memiliki sistem pengorganisasian yang sangat handal. Mereka dengan cepat mampu mengorganisir orang-orang untuk memperjuangkan persoalan bersama.

Pemanfaatan potensi-potensi tersebut di atas sangat berkontribusi positif dalam pelaksanaan program-program pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang di masyarakat.

3.3.1. Tokoh Masyarakat

Tokoh masyarakat merupakan orang yang dipercaya oleh warga masyarakat. Keberadaan tokoh masyarakat sangat didengar, diikuti, dan dipatuhi oleh masyarakat. Mereka bisa jadi bukan pemimpin formal yang ada, tetapi mereka memiliki kharisma dan wibawa, bahkan di berbagai daerah juga diikuti oleh para pemimpin formal masyarakat seperti lurah/ kepala desa.

Tokoh masyarakat juga bisa merupakan orang yang menjadi anutan karena memiliki kelebihan dalam satu bidang yang bisa merangkum masyarakat disekitarnya, misal Prof. DR. Haryono Soeyono dengan konsep Pos Daya, Anne Avanti dengan design kebayanya, Prof. Arif Rachman dibidang pendidikan, dan banyak tokoh masyarakat lainnya yang menjadi agen perubahan berfi kir untuk menjadikan kearifan lokal sebagai pencegahan perdagangan.

(44)

Membangun jejaring dengan tokoh masyarakat sangat membantu dalam mengkomunikasikan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pencegahan yang berbasis pada pemanfaatan nilai-nilai lokal masyarakat. Tokoh masyarakat pada umumnya masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang berkembang di masyarakat. Selain itu, tokoh masyarakat sangat berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal tersebut sekaligus memberikan penyadaran kepada masyarakat agar tidak ikut-ikutan mengikuti ajakan orang lain untuk mencari kerja di tempat (negara) lain apalagi melalui jalur tidak resmi.

3.3.2. Tokoh Adat

Salah satu strategi yang perlu ditempuh untuk mencegah dan menangani tindak pidana perdagangan orang adalah menjalin hubungan dan membangun jaringan dengan para tokoh adat. Mereka memiliki posisi strategis dalam menggerakkan masyarakat dan dipercaya sebagai tumpuan masyarakat dalam menghadapi berbagai persoalan kekerasan yang terjadi termasuk perdagangan orang.

Tokoh adat dianggap memiliki otoritas tertentu sebagai pemelihara nilai-nilai lokal yang harus dilestarikan. Mereka menjadi rujukan dan sebagai pihak yang harus mengambil peran terdepan ketika persoalan-persoalan masyarakat menabrak nilai-nilai kearifan lokal. Tokoh adat dapat berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal dan memberikan penyadaran kepada masyarakat agar tidak ikut-ikutan mengikuti ajakan orang lain untuk mencari kerja di tempat (negara) lain apalagi melalui jalur tidak resmi yang bisa mengakibatkan terjebak dalam praktek perdagangan orang. Kalaupun mau bekerja ke luar negeri, perlu mengetahui prosedur atau cara migrasi yang aman.

(45)

Perlu dilakukan pertemuan yang difasilitasi tokoh adat untuk penyadaran tersebut, terutama menjelaskan tentang tindak pidana perdagangan orang dan bentuk kejahatan lain yang berhubungan dengan perdagangan orang yang merupakan bagian dari tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal.

3.3.3. Tokoh Agama

Tokoh kunci lain di tengah masyarakat adalah tokoh agama. Mereka sangat berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal yang berkaitan dengan ajaran agama. Tokoh agama dapat memberikan penyadaran kepada masyarakat agar tidak mudah terbujuk rayu oleh rentenir untuk meminjamkan uang, apalagi yang berbunga tinggi harus mewaspadai bisa jadi hal ini sebagai bentuk jeratan hutang. Jika orang tua berhasil meminjam uang, maka siap-siap anak gadisnya dipaksa menjadi alat pembayar, dengan cara bekerja di kota atau di luar daerah.

3.4. Program

Program pencegahan perdagangan orang melalui kearifan lokal dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Aspek utama adalah menekankan nilai-nilai lokal dan adat yang berpihak pada kepentingan terbaik perempuan dan anak dalam memberikan dampak positif terhadap pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Program yang dapat dikembangkan antara lain:

1) Kampanye penyadaran tentang kearifan lokal yang mendukung pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dan bermanfaat di dalam pencegahan perdagangan orang.

(46)

2) Mendorong tokoh masyarakat, adat, dan agama untuk berperan dan bertanggung jawab dalam menumbuhkan kembali kearifan lokal dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang.

3) Penyebarluasan informasi tentang kearifan lokal yang bermanfaat dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang melalui media (media cetak, elektronik dan media seni budaya tradisional).

4) Mendukung pembuatan berbagai modul pendidikan tentang kearifan lokal yang bermanfaat dalam pencegahan perdagangan orang.

(47)

BAB IV

MONITORING DAN EVALUASI

4.1. Monitoring

Monitoring merupakan kegiatan memantau pelaksanaan kebijakan kearifan lokal ini baik strategi, program dan keluaran (hasil). Monitoring dilakukan untuk memantau apakah kebijakan ini menjadi rujukan dalam program pencegahan dan tindak pidana perdagangan orang di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/ kota.

Monitoring ini dilakukan secara berjenjang dan terkoordinasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Pemerintah Daerah khususnya unit Kerja Pemberdayaan Perempuan di daerah.

Monitoring bisa dilaksanakan secara berkala setiap enam bulan sekali atau setahun sekali melalui berbagai metode dengan menggunakan intrumen pemantauan yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Hasil monitoring disampaikan dalam bentuk laporan yang menyatu dengan kegiatan lainnya terkait Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hal-hal yang dimonitoring antara lain implementasi kebijakan ini ditengah masyarakat.

4.2. Evaluasi

Evaluasi merupakan kegiatan menilai dan membandingkan antara perencanaan dan pelaksanaan dari suatu program untuk menilai apakah kebijakan yang dibuat dapat diimplementasikan atau diintegrasikan di dalam masyarakat dan bagaimana dampak

(48)

pelaksanaan program pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui pendekatan kearifan lokal dapat mencegah terjadinya perdagangan orang baik secara nasional maupun provinsi dan kabupen/ kota.

Evaluasi ini dapat dilakukan oleh Tim Independen atau Pusat setiap tahun. Hasil evaluasi menjadi bahan Laporan dalam rapat Koordinasi Nasional pada setiap tahun.

(49)

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dengan berbagai data dan fakta dapat disimpulkan bahwa :

1. Kearifan lokal itu sebenarnya masih ada namun sebagian dari nilai-nilai dasar itu banyak bergeser dan tergusur disebabkan: a. Globalisasi dan konsumerisme, salah satu faktor

pendorong terjadinya migrasi para perempuan dari desa ke kota-kota maupun ke luar negeri. Media cetak dan eletronik (radio, TV, internet) mempercepat arus informasi dan komunikasi yang mampu mengubah gaya hidup. Perubahan gaya hidup tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga masuk ke desa-desa.

b. Godaan bekerja ke luar negeri untuk mendapatkan gaji yang besar dan dapat melihat negeri orang. Informasi kehidupan dirantau lebih baik dan sukses yang diterima dari berbagai penjuru baik informasi kenalan dan kerabat yang telah merantau duluan maupun akibat kemajuan teknologi misalnya handphone, facebook dan lain-lain. c. Feminisasi kemiskinan karena lapangan kerja yang

terbatas di desa, intensifi kasi pertanian (revolusi hijau) dan tiadanya akses perempuan terhadap pengelolaan SDA termasuk kepemilikan tanah. Sistem adat/komunitas yang kurang memberikan akses pada ekonomi seperti soal warisan di keluarga. Tumbuh dan berkembangnya perusahaan nasional dan multinasional/multikorporasi yang kurang memberikan akses, partisipasi dan manfaat bagi perempuan di daerahnya.

(50)

d. Nilai-nilai dan relasi sosial termasuk pengambilan keputusan akibat sistem budaya patriarkhi yang menyebab kan perempuan tersubordinasi dengan dampak antara lain pendidikan yang terbatas, kemiskinan struktural, dan budaya kawin usia muda dengan resiko cerai, rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan segala bentuknya, diskriminasi dll.

2. Ada beberapa Kearifan Lokal yang tidak bias gender dan dapat dipakai sebagai media untuk pencegahan perdagangan orang 3. Perlunya peran tokoh-tokoh masyarakat dan unsur terkait

untuk menjadi agen pembaharuan dan perubahan dengan memberdayakan nilai-nilai kearifan lokal dalam rangka mencegah perdagang orang

4. Memasukan kearifan lokal yang berkontribusi terhadap pencegahan perdagangan orang dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menjadi karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(51)

Lampiran I: Hasil Kajian Kearifan Lokal Sulawesi Selatan

A. Kearifan Lokal di Sulawesi Selatan

Salah satu nilai budaya masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya etnik Bugis dan Makassar, adalah Siri’. Menurut Mattulada (1992) siri’ adalah ‘rasa malu’ yang abstrak tetapi bisa diobservasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan bahasa Bugis dikatakan bahwa “iyana ritu siri’e naonroi tellu cappa” (rasa malu pada tiap-tiap orang terletak pada tiga ujung). Ketiga ujung yang dimaksud adalah: a). “cappa lilah ujung lidah” yang menunjukkan pada makna berkata-kata dan dikata-katai dengan kata-kata kotor dan hina. b). “cappa kawali ujung badik” yang berarti pantang menghindar apalagi lari dari serangan fi sik dan bentuk-bentuk ancaman lainnya. c). “cappa laso ujung kemaluan laki-laki” yang dimaknai pantang melakukan hubungan seksual diluar nikah (berzina atau dizinahi anggota keluarga dan saudara dekatnya oleh siapapun juga). Menurut kepercayaan masyarakat Bugis Makassar jika hidup seseorang telah ternoda oleh ketiga ujung itu, maka hidupnya dianggap telah sia-sia dan tidak berarti lagi atau lebih baik mati saja. Spirit nilai siri’ itu secara turun-temurun terinternalisasi pada diri setiap orang Sulawesi Selatan, khususnya orang Bugis dan Makassar.

Dari tiga aspek rasa malu (siri’) yang disebutkan di atas, “cappa laso (ujung kemaluan laki-laki) sangat menarik untuk dikaji karena ternyata nilai budaya asli Bugis Makassar menegaskan bahwa seorang laki-laki Bugis Makassar tidak akan melakukan hubungan sexual di luar nikah. Artinya, budaya ini secara jelas mencela laki-laki yang berzina dan oleh karena itu laki-laki harus mempertanggungjawabkannya dengan tidak memancing

(52)

perempuan untuk melakukan zina tersebut. Jadi, kesalahan utama jika terjadi perzinaan adalah laki-laki karena mereka tidak mampu menahan nafsu. Argumentasi ini sangat kontradiksi dengan pandangan masyarakat umum bahwa kalau terjadi pemerkosaan, perzinaan dan semacamnya maka perempuan yang selalu disalahkan (blaming victim) karena mereka dianggap sebagai “pemancing atau penyebab” perbuatan tersebut.

Nilai siri’ merupakan aktualisasi potensi rohaniah manusia pendukung kebudayaan itu secara keseluruhan yang tak terpisahkan satu dengan yang lainnya (Mattulada, 1992). Keseluruhan yang dimaksud adalah komponen-komponen yang saling menentukan dan komplementer dalam satu sistem. Cara berpikir menyeluruh dalam konteks budaya yang biasa dikenal dengan the totolitarian way of thinking (Cluckhonhn dalam Mattulada, 1992).

Orang-orang Bugis Makassar menginterpretasikan budaya siri’ sebagai nilai luhur yang harus dijunjung tinggi, sebagai bentuk penghargaan terhadap orang lain (etnik lain), yang bermakna bahwa setiap orang mempunyai “rasa malu” dan rasa malu itu harus dihargai. Jika rasa siri’ orang lain tidak dihargai dan diremehkan harga dirinya (membuatnya menjadi malu), maka orang itu bisa marah, kalap, dan bahkan mungkin membunuh orang lain.

Menggali budaya Bugis Makassar (luhur) diharapkan akan menjadi alat perekat sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sejatinya, nilai siri’ akan mengedepankan makna kontrol internal secara intens, bukan mengontrol orang lain pada kultur yang berbeda, disamping nilai siri’ meninggikan dan mengedepankan penghargaan kultural terhadap orang-orang dari etnik lain, melalui pengetatan kaidah internal. Dalam kaitan ini perlu pemurnian makna hakiki dari nilai

(53)

siri’ oleh setiap individu-individu yang berada dalam kultur Bugis dan Makassar khususnya, serta orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya.

Transformasi nilai siri’ dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang terjadi secara alamiah dalam keluarga dan komunitas, hanya terjadi secara vertikal. Padahal budaya bisa menjadi dinamis jika bentuk pewarisan dan perkembangannya di samping melalui jalur trasformasi vertikal, juga memperoleh pengayaan dari jalur transformasi diagonal dan horisontal (Handarini, 2006). Nilai budaya siri’ praktis tidak pernah menerima pengayaan dari budaya luar sehingga tidak pernah tersosialisasikan apa segi-segi kemanfaatan dan kemudharatannya. Harkat, martabat, dan harga diri sebagai puncak dari Pangaderreng dan Siri’ na Pesse selalu dipertahankan agar pribadi “orang Bugis yang beradat” senantiasa tercermin dalam setiap perilaku dan aktivitas hidup sehari-hari.

Ada beberapa warisan budaya Bugis yang perlu direvitalisasi agar menjadi alat perekat untuk tidak terlibat dalam perdagangan manusia (traffi cking) diantaranya konsep siri’, konsep kewajaran, nasehat leluhur yang menyangkut hidup bermasyarakat dan adat istiadat yang sangat religius dengan mengadopsi : local knowledge, local genius dan local wisdom sebagai warisan cendekiawan Bugis Makassar masa lampau kepada anak cucunya.

Azas budaya Bugis Makassar mengutamakan sifat kemanusiaan dalam konsep Sipakatau (saling menghormati) sesama manusia tanpa membedakan status dan posisi sosialnya, namun tetap membimbing dan mengembangkan potensi untuk tujuan kemanusiaan. Disamping itu, tutur kata yang komunikatif, sopan dan mulia menurut konsep maccapi duppai ada/mabbali ada dengan tujuan atinna tauwe ri attaneng-tanengi (hatinya orang tempat menanam motivasi).

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, pementaan daerah pencemaran antropogenik juga dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari sampel tanah lapisan atas pada daerah yang dekat dan jauh

Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui perbandingan koefisien upah tenaga kerja antara Rencana Anggaran Biaya (RAB) Penawaran dari kontraktor (metode SNI / HSPK 2018), BOW

Akibat Hukum dengan adanya Peraturan Bupati Tuban Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Hasil Pengelolaan Tanah Bengkok bahwa Peraturan Bupati tersebut yang bertentangan dengan

Seratus ayam broiler pada hari 14 sampai 28 dibagi menjadi 5 perlakuan yaitu: pakan dengan penambahan P dari dicalcium phosphate (P1), pakan kontrol (P2), pakan dengan

Pada jenis ikan Acanthuridae merupakan jenis ikan herbivor tipe pemakan bentik alga umumnya berukuran 15-25cm, terdapat banyak pada Stasiun I karena jenis ikan tersebut

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Kesehatan Anak, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.. Direktur Bina Kesehatan Anak,

[r]