• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kesehatan dan gizi merupakan hak asasi bagi setiap manusia dan merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Dengan semakin pesatnya kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi termasuk didalamnya bidang kesehatan maka dirumuskanlah “paradigma sehat” dengan visi yaitu “Indonesia sehat 2010” dimana pembangunan dilaksanakan di semua sektor agar mempertimbangkan dampak positif dan negatif pada status kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat (Depkes, 2003 ).

Keberhasilan pembangunan Indonesia terutama dalam bidang kesehatan secara tidak langsung telah menurunkan angka kesakitan dan kematian penduduk serta meningkatkan usia harapan hidup penduduk Indonesia. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap perubahan struktur penduduk dan sekaligus akan menambah jumlah penduduk yang berusia lanjut (Arisman, 2004).

Peningkatan proporsi penduduk usia tua dari total populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga mengalami kenaikan jumlah penduduk lanjut usia (lansia). Di tahun 2010 ini populasinya mencapai 9,77% atau sekitar 23,9 juta jiwa. (Fatmah, 2010). Peningkatan populasi ini akan disertai dengan peningkatan angka harapan hidup di tahun 2020 yaitu sekitar 71,7 tahun (Depkes, 2003).

Saat ini, jumlah lansia di Jawa Barat mencapai 2.880.548 jiwa. Dari jumlah itu ada sekitar 264.080 jiwa yang dikategorikan masuk lansia terlantar dan tersebar di 26 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, ada yang ditampung di sejumlah panti milik pemerintah maupun swasta mencapai 1.580 jiwa. Para lansia itu ditampung di 4 Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) milik pemerintah sebanyak 350 jiwa dan di 40

(2)

PSTW milik swasta sebanyak 1.230 jiwa. Semua PSTW itu tersebar di seluruh wilayah Propinsi Jawa Barat (Heryawan, 2010)

Angka kesakitan akibat penyakit degeneratif kini semakin meningkat jumlahnya disamping masih ada kasus penyakit infeksi dan kekurangan gizi. Dari pengamatan diperkirakan 74% usia lanjut menderita penyakit kronis. Selain itu penyakit yang umum diderita adalah anemia (50%), ISPA (12,2%), kanker (12,2%), TBC (11,5%) dan penyakit jantung pembuluh darah (29%). Masalah gizi yang sering diderita di usia lanjut adalah kurang gizi, keadaan ini tanpa disadari karena gejala yang muncul hampir tak terlihat sampai usia lanjut tersebut telah jatuh dalam kondisi gizi buruk. Hal ini sebagai akibat dari kurangnya asupan energi dan protein yang terjadi dalam waktu singkat maupun dalam jangka panjang (Depkes,2003).

Energi sangat diperlukan sebagai bahan bakar untuk beraktivitas. Energi yang digunakan dalam tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi seperti sumber protein, lemak dan karbohidrat. Asupan energi bagi pemeliharaan sel lebih diutamakan daripada asupan protein, karena apabila asupan energi tidak mencukupi maka sebagian masukan dari protein makanan akan digunakan sebagai sumber energi sehingga akan mengurangi bagian yang diperlukan oleh tubuh (Almatsier, 2001).

Selain energi protein juga penting bagi lansia. Protein merupakan unsur terpenting yang terdapat dalam semua makhluk hidup. Oleh karena itu, protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Bila asupan energi cukup dapat dikatakan semua makanan mengandung cukup protein, tetapi jika makanan yang dikonsumsi tidak cukup protein maka makanan yang dikonsumsi pun tidak cukup memberikan energi (Almatsier, 2001).

Keadaan kesehatan gizi sangat tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari hidangan. Kualitas dari hidangan menunjukan adanya semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh di dalam

(3)

hidangan tersebut. Begitupula dilihat dari jumlahnya apabila kualitas dan kuantitasnya sudah memenuhi syarat maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan yang sebaik-baiknya (Sediaoetama, 2000)

Selain dari faktor kualitas dan kuantitas, asupan juga dipengaruhi oleh cita rasa makanan yang merupakan pertimbangan terpenting dalam memilih makanan. Cita rasa merupakan syarat dari suatu makanan yang berkualitas. Cita rasa terdiri dari penampilan dan rasa. Penampilan meliputi warna, konsistensi, bentuk, besar porsi dan penyajian. Sedangkan aspek rasa meliputi aroma, bumbu, tekstur, suhu dan tingkat kematangan (Winarno, 2008)

Salah satu upaya peningkatan gizi ini yaitu diadakannya penyelenggaraan makanan institusi. Di berbagai lembaga baik pemerintah ataupun lembaga pendidikan kini sudah banyak diadakan penyelenggaraan makan. Penyelenggaraan makanan ini diklasifikasikan kedalam delapan kelompok. Panti sosial merupakan salah satu dari lembaga yang mengadakan penyelenggaraan makanan tersebut.` Panti merupakan sebuah lembaga sosial sebagai suatu sistem organisasi yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial. (Mukrie, 1990)

Untuk memenuhi kebutuhan gizi para lansia, Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi mengadakan penyelenggaraan makanan untuk 37 orang (33 orang lansia, 3 orang juru masak dan 1 orang tukang kebun) yang dikelola sendiri. Makanan yang disajikan yaitu makan pagi, siang dan makan malam. Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi belum memiliki standar resep dan standar bumbu.

Sebelumnya tidak pernah dilakukan penelitian mengenai penilaian terhadap penampilan dan rasa makanan di panti lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara penampilan dan rasa makanan dengan asupan energi dan protein makan siang lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

(4)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui “apakah ada hubungan antara penampilan dan rasa makanan dengan asupan energi dan protein makan siang lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara penampilan dan rasa makanan dengan asupan energi dan protein makan siang lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengetahui gambaran umum institusi (jumlah lansia, struktur organisasi institusi, sumber dana panti dan jumlah pekerja yang mengelola panti)

1.3.2.2 Mengetahui karakteristik sampel (umur sampel )

1.3.2.3 Mengetahui sistem penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung. (Mengetahui menu yang ada di panti, pola menu, siklus menu, standar resep, standar porsi, standar bumbu, dana yang tersedia, proses produksi dan distribusi serta jumlah tenaga kerja yang mengelola penyelenggaraan makanan di panti).

1.3.2.4 Memperoleh informasi mengenai penampilan makanan (konsistensi dan besar porsi) dari makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

(5)

1.3.2.5 Memperoleh informasi mengenai rasa makanan (bumbu, suhu, tekstur dan tingkat kematangan) dari makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.3.2.6 Memperoleh informasi mengenai asupan energi lansia dari makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.3.2.7 Memperoleh informasi mengenai asupan protein lansia dari makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.3.2.8 Melihat ketersediaan zat gizi (energi dan protein) dari makan siang yang disediakan oleh panti.

1.3.2.9 Mengetahui hubungan antara penampilan makanan dengan asupan energi makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.3.2.10 Mengetahui hubungan antara penampilan makanan dengan asupan protein makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.3.2.11 Mengetahui hubungan antara rasa makanan dengan asupan energi makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.3.2.12 Mengetahui hubungan antara rasa makanan dengan asupan protein makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian di bidang gizi institusi. Dibatasi untuk mengetahui hubungan antara penampilan dan rasa

(6)

dengan asupan energi dan protein pada lansia yang tinggal di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menembah wawasan bagi peneliti mengenai penyelenggaraan makanan di suatu institusi dan dapat bermanfaat sebagai bekal apabila peneliti bekerja di suatu institusi yang mengadakan penyelenggaraan makanan.

1.5.2 Bagi Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai literatur bacaan bagi mahasiswa dan sebagai sumber informasi mengenai gambaran umum pelayanan makan yang dilakukan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

1.5.3 Bagi institusi Panti Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam hal penyelenggaraan makanan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

1.6 Keterbatasan Penelitian

1.6.1 Kemungkinan pertanyaan mengenai penampilan dan rasa yang disampaikan tidak dimengerti dan tidak didengar jelas dan sampel tidak jelas dalam berbicara sehingga memberi jawaban yang tidak sesuai. Oleh karena itu pada saat penelitian peneliti meminta pendamping dari pihak panti/pengurus panti untuk mendampingi proses wawancara. Jumlah sampel yang didampingi yaitu sebanyak 4 sampel.

(7)

1.6.2 Terdapat faktor lain yang mempengaruhi asupan makan selain penampilan dan rasa seperti penyakit yang diderita, serta keadaan lingkungan saat makan serta sanitasi yang tidak diteliti.

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyelenggaraan Makanan 2.1.1 Pengertian

Penyelenggaraan makanan merupakan suatu sistem yang mencakup berbagai kegiatan atau sub sistem dalam penyusunan anggaran belanja makanan, perencanaan menu, pembuatan perkiraan kebutuhan bahan makanan, penyediaan atau pembelian bahan makanan, penerimaan dan penyaluran bahan makanan, persiapan, pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan laporan serta evaluasi yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi suatu kelompok masyarakat di institusi. Dalam suatu penyelenggaraan makanan terdapat hal yang penting mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen (PGRS, 2006).

Dalam suatu penyelenggaraan makanan sasarannya adalah konsumen, baik itu siswa, karyawan, dan lain sebagainya. Dalam penyelenggaraan makanan, standar masukan (input) meliputi biaya produksi, tenaga kerja, sarana dan prasarana, metode serta peralatan pemasakan, sedangkan standar proses meliputi penyusunan anggaran belanja bahan makanan, perencanaan menu, perencanaan kebutuhan, bahan makanan, pembeliaan bahan makanan, penerimaan dan penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, serta pengolahan makanan dan pendistribusian makanan. Sedangkan standar keluaran (output) adalah mutu makanan dan kepuasaan konsumen terhadap makanan yang disajikan (Depkes RI, 2006).

(9)

Berdasarkan sifatnya penyelenggaraan makanan ini terbagi ke dalam tiga, yaitu :

a. Penyelenggaraan makanan komersial

Pada penyelenggaraan makanan komersial, persiapan dan pelayanan makanan merupakan kegiatan yang sangat diutamakan. Biasanya mereka telah menetapkan menu mereka sendiri, struktur kerja dan jam pelayanan. Berikut beberapa contoh dari penyelenggaraan makanan komersial diantaranya makanan capat saji, buffet, catering, supermarket, dan lain-lain.

b. Penyelenggaraan makanan non komersial

Pada penyelenggaraan makanan non komersial, persiapan dan pelayanan makanan masih diutamakan tapi bukan prioritas utama. Restoran hotel termasuk kedalam jenis ini.

c. Penyelenggaraan makanan institusi

Penyelenggaraan makanan institusi menyediakan makanan bagi konsumen dalam jumlah banyak yang berada dalam kelompok masyarakat yang terorganisir di institusi seperti perkantoran, perusahaan, pabrik, industri, asrama, rumah sakit, panti sosial, lembaga permasyarakatan, pusat transito, dan lain sebagainya (PGRS, 2006).

2.2 Klasifikasi penyelenggaraan makanan institusi

Perbedaan dari penggolongan atau klasifikasi makanan dapat diidentifikasikan dari tujuan penyediaan makanan serta cara pengelolaanyang ditetapkan oleh milik berbagai institusi.

(10)

Macam penyelenggaraan makanan institusi berdasarkan klasifikasi adalah sebagai berikut :

a. Penyelenggaraan makanan institusi industri (tenaga kerja) b. Penyelenggaraan makanan institusi sosial (panti sosial) c. Penyelenggaraan makanan institusi asrama

d. Penyelenggaraan makanan institusi sekolah e. Penyelenggaraan makanan institusi rumah sakit f. Penyelenggaraan makanan institusi komersial g. Penyelenggaraan makanan institusi khusus

h. Penyelenggaraan makanan institusi untuk keadaan darurat (Mukrie, 1990)

2.2.1 Penyelenggaraan makanan institusi sosial

Merupakan pelayanan gizi yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh swasta yang berdasarkan asas sosial dan bantuan. Yang termasuk ke dalam jenis ini misalnya panti asuhan, panti jompo, panti tuna netra, tuna rungu, dan lembaga lain sejenisnya yang mengelola makanan institusi secara sosial.

Makanan yang disediakan di institusi sosial dipersiapkan dan dikelola untuk masyarakat yang ada di dalamnya tanpa memperhitungkan keuntungan dari institusi tersebut. Dalam pelaksanaannya, pelayanan makan institusi sosial berada dalam lingkup dan pembinaan departemen sosial (Mukrie, 1990).

2.2.2 Karakteristik pelayanan makanan di institusi sosial

a. pengelolaannya dilaksanakan oleh/mendapat bantuan dari Departemen Sosial atau badan amal lainnya.

b. Melayani sekelompok masyarakat dari usia 0-75 tahun, sehingga memerlukan kecukupan gizi yang berbeda-beda

(11)

c. Mempertimbangkan bentuk makanan menurut kondisi klien dan berdasarkan kecukupan gizinya.

d. Tidak mengambil keuntungan dari makanan yang disajikan e. Makanan bisa diberikan 3x sehari ditambah makanan f. selingan. Diberikan secara kontinyu setiap hari.

g. Macam konsumen dan jumlah konsumen yang dilayani tetap. h. Susunan hidagan umumnya sederhana dan variasi terbatas.

(Mukrie, 1990)

2.3 Lanjut Usia

2.3.1 Definisi Lanjut Usia

Lanjut usia (lansia) adalah orang-orang yang telah berusia 65 tahun ke atas (Arisman, 2004). Lansia merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu (Fatmah, 2010).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengelompokkan lanjut usia menjadi 4 kelompok yaitu :

- Usia pertengahan (middle age) yaitu usia 45 - 59 tahun - Lanjut usia (elderly) yaitu usia antara 60 - 74 tahun - Lanjut usia tua (old) yaitu usia antara 75 – 90 tahun - Usia sangat tua (very old) yaitu diatas 90 tahun

Departemen kesehatan RI (2006) memberikan batasan lansia sebagai berikut :

- Virilitas (prasenium), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)

- Usia lanjut dini (senescen), yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun)

(12)

- Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif (usia diatas 65 tahun).

(Fatmah, 2010).

2.3.2 Proses Penuaan

Manusia dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya berlangsung sepanjang masa hidupnya sejak bayi hingga dewasa sampai masa tua. Di dalam struktur anatomis proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran di dalam sel. Menjadi tua/menua merupakan suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri secara perlahan-lahan dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta kerusakan yang diderita (Fatmah, 2010).

Saat proses menua berlangsung maka akan terjadi perubahan-perubahan secara bertahap dalam kurun waktu tertentu. Perubahan yang terjadi merupakan proses alamiah dan berkesinambungan. Perubahan yang terjadi diantaranya yaitu perubahan anatomi, fisiologis, dan perubahan biokimia pada jaringan atau organ tubuh yang pada akhirnya mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Darmojo, 1999).

Proses menua terjadi sangat individual dan berbeda perkembangannya pada setiap individu karena proses penuaan ini dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yang saling berhubungan. Asupan zat gizi atau konsumsi makanan sangat mempengaruhi proses penuaan dikarenakan aktifitas metabolisme dalam tubuh memerlukan zat gizi yang cukup disamping faktor penyakit yang menyertai atau faktor lingkungan (Depkes,2003)

(13)

Selama proses penuaan terjadi beberapa perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya:

a. Perubahan fisiologis

Usia tua hampir selalu datang bersama dengan kemunduran dalam hal fisik, psikis, sosial dan ekonomi. Kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka berkurang, akibatnya kepala dan leher terefleksi ke depan sementara ruas tulang belakang mengalami pembengkokan, panggul dan lutut juga sedikit terfleksi. Keadaan tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu (Arisman, 2004).

Kemunduran yang terjadi pada usia lanjut diantaranya: 1. Terganggunya pergerakan dan kestabilan tubuh 2. Terganggunya intelektual

3. Depresi

4. Inkontinensia dan impotensia 5. Defisiensi imunologis

6. Infeksi konstipasi dan malnutrisi 7. Iatrogenesis dan insomnia

8. Kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi, dan intergritas kulit

9. Kemunduran proses penyembuhan.

Selain itu, berbagai perubahan yang terjadi pada usia lanjut diantaranya :

1. Rongga Mulut. Ketika memasuki masa lansia sekresi air ludah berkurang sampai kira-kira 75% sehingga mengakibatkan pengeringan rongga mulut&berkemungkinan menurunkan cita rasa.

(14)

2. Esofagus. Penuaan mengakibatkan esophagus melebar sehingga memperlambat pengososongan esophagus dan terjadinya gangguan menelan di daerah esophagus sehingga frekuensi makan berkurang dan asupan makan tidak mencukupi. 3. Lambung. Lapisan lambung pada usia lanjut menipis. Diatas usia 60 tahun, sekresi HCl dan pepsin berkurang. Dampaknya penyerapan vitamin B12 dan zat besi menurun.

4. Usus. Penyerapan Kalsium dan Zat Besi pada usus berkurang jika dibandingkan dengan zat gizi lain pada umumnya disaat umur melebihi 60 tahun.

5. Massa otot yang berkurang dan massa lemak bertambah mengakibatkan jumlah cairan tubuh berkurang.

6. Penurunan indera penglihatan akibat katarak yang berhubungan dengan asupan vitamin A, vitamin C, dan asam folat. Sementara itu, perubahan pada indera pengecap berhubungan dengan defisiensi Zinc.

7. Gigi tanggal mengakibatkan gangguan fungsi mengunyah dan berdampak pada kurangnya asupan gizi.

8. Kemampuan motorik yang menurun dapat mengganggu kegiatan sehari-hari (Arisman, 2004)

9. Penurunan fungsi sel otak mengakibatkan penurunan daya ingat, kesulitan berbahasa, dan lain-lain. (Depkes 2003)

10. Perubahan pada organ jantung, syaraf, system pencernaan dan komposisi tubuh. (Soekirman,2006)

2.3.3 Masalah Gizi yang Terjadi Pada Lansia

Masalah gizi pada lansia merupakan manifestasi dari masa muda. Masalah tersebut bisa kurang maupun lebih akan zat gizi yang dapat memacu timbulnya penyakit degeneratif.

(15)

a. Kegemukan atau Obesitas

Keadaan ini disebabkan karena konsumsi yang berlebihan yang disertai aktivitas yang kurang. Proses metabolisme akan menurun pada usia lanjut, bila tidak diimbangi dengan peningkatan aktifitas fisik atau penurunan jumlah makanan, maka energi yang berlebih akan dikonversi menjadi lemak yang mengakibatkan kegemukan atau gizi lebih (Depkes, 2003).

b. Kekurangan Energi Kronis

Ketika usia lanjut nafsu makan akan semakin berkurang karena fungsi organ pengecapan juga telah mengalami perubahan, sehingga apabila hal ini terjadi dalam masa yang berkepanjangan pada usia lanjut dapat menyebabkan penurunan berat badan secara drastis. Jaringan yang mulai keriput menyebabkan terlihat sangat kurus (Proverawati,2010).

c. Osteoporosis

Osteoporosis merupakan keadaan berkurangnya massa tulang sedemikian rupa sehingga hanya dengan trauma minimal saja dapat menyebabkan patah tulang. Massa tulang ini akan menurun saat wanita usia diatas 35 tahun dan pria diatas 45 tahun. Hal ini memang secara alami terjadi, namun apabila selama usia muda dapat menabung kalsium dalam jumlah yang cukup maka kebutuhan kalsium akan mencukupi, namun sebaliknya apabila kurangnya asupan dalam jangka waktu yang lama makan akan menimbulkan tulang keropos atau osteoporosis (Fatmah, 2010).

d. Asam urat

Penyakit ini merupakan kelainan dalam metabolism protein yang disebabkan karena kadar asam urat dalam darah meningkat

(16)

sehingga menimbulkan kristal asam urat di bagian persendian. Timbulnya kristal ini sangat sakit, selain itu kadar asam urat yang meningkat dapat mengakibatkan terjadinya batu ginjal (Soenarto dalam Darmojo, 1999).

e. Kekurangan zat gizi mikro

Hal ini disebabkan karena kurangnya asupan, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kecukupan zat gizi mikro lainnya (Proverawati, 2010)

f. Kurang serat

Karena usia lanjut umumnya jarang mengkonsumsi serat sehingga asupan serat tidak mencukupi. Keadaan ini dapat memicu resiko terjadinya kanker usus besar, konstipasi, sembelit dan wasir. (Soekirman, 2006).

2.4 Kebutuhan Energi dan Protein Lansia 2.4.1 Kebutuhan Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik (Almatsier, 2001). Energi dibutuhkan oleh tubuh berasal dari zat gizi yang merupakan sumber utama, ialah karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat dalam makanan (Sediaoetama, 2000). Bagi lansia makanan harus menyediakan cukup energi untuk mempertahankan fungsi tubuh, aktivitas otot dan pertumbuhan serta membatasi kerusakan yang menyebabkan penuaan dan penyakit. (Barasi, 2007).

(17)

Energi yang digunakan dalam tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi. Kebutuhan energi orang yang sehat dapat diartikan sebagai tingkat asupan energi yang dapat dimetabolisme dari makanan yang akan menyeimbangkan keluaran energi, ditambah dengan kebutuhan tambahan untuk pertumbuhan, kehamilan dan penyusuan yaitu energi makanan yang diperlukan untuk memelihara keadaan yang telah baik (Arisman, 2004).

Kebutuhan energi pada masa lansia akan menurun sejalan dengan pertambahan usia karena metabolisme seluruh sel dan kegiatan otot berkurang. Disamping itu kebutuhannya berbeda dengan kebutuhan energi orang dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain untuk beraktivitas, energi dibutuhkan lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ tubuh agar tetap berfungsi dengan baik meski tak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah, 2010).

Energi yang diperlukan tubuh dapat diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak. Masyarakat Indonesia umumnya menggunakan karbohidrat sebagai penyumbang energi terbesar karena seringkali dijadikan sebagai makanan pokok. Asupan energi apabila berlebihan maka akan mempengaruhi terjadinya penyakit degeneratif karena kelebihan energi akan disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Hal ini dapat mengakibatkan berat badan melebihi berat seharusnya (Proverawati, 2010).

Konsumsi karbohidrat sebagai penyumbang energi terbesar harus disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Selain asupan yang berlebihan yang akan menyebabkan kelebihan berat badan, maka apabila asupan kurang maka keadaan kurang energi protein (KEP) pada lansia tidak dapat dihindari lagi (Budianto, 2009).

(18)

Untuk menjaga kondisi tubuh tetap sehat maka sangat diperlukan pengaturan pola makan. Dengan demikian sudah selayaknya lansia membatasi jumlah asupan makanan agar terhindar dari risiko kegemukan. Sebaliknya selain asupan yang berlebih, lansia sangat rentan mengalami asupan energi yang kurang karena perubahan fisiologis yang menyebabkan sulit makan/mengunyah, perubahan pengecapan dan perubahan lainnya yang berdampak pada asupan makanan (Fatmah, 2010).

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi tahun 2004 yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan, kecukupan energi dibedakan menurut jenis kelamin dan golongan umur.

Tabel 2.1

ANGKA KECUKUPAN ENERGI LANSIA BAGI PEREMPUAN Kategori umur

50 - 60 tahun > 60 tahun 1750 kkal 1600 kkal

Sumber : Widya Karya Pangan dan Gizi. LIPI. Jakarta. Tahun 2005

2.4.2 Kebutuhan Protein

Protein merupakan zat gizi yang sangan penting bagi tubuh karena disamping sebagai penghasil energi, zat ini juga berguna sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein sebagai pembentuk energi akan menghasilkan 4 kalori tiap gram protein. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan yang baru yang selalu terjadi di dalam tubuh (Winarno, 2008). Fungsi

(19)

utama protein bagi tubuh adalah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada atau mengganti yang sudah rusak (Sediaoetama,2000).

Protein digunakan sebagai bahan bakar apabila energi yang diperlukan tubuh tidak terpenuhi dari karbohidrat dan lemak. Protein ikut pula mengatur berbagai proses tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung dengan membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh. Pada sebagian besar jaringan tubuh protein merupakan komponen terbesar setelah air ( Budianto, 2009).

Oleh karena itu, protein merupakan zat gizi yang paling banyak dalam tubuh. Bila energi makanan cukup, boleh dikatakan semua makanan mengandung cukup protein akan tetapi jika tidak cukup protein dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan biasanya hal ini berarti makanan yang dikonsumsi tidak cukup memberikan energi (Almatsier, 2001).

Selain itu juga protein sebagai zat pengatur, mengatur proses- proses metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon, juga untuk mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh yang terdapat dalam intraselular (di dalam sel), ekstraselular atau interselular (diantara sel) dan intarvaskular (di dalam pembuluh darah). (Soekirman, 2006).

Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Protein merupakan bagian dari semua sel- sel hidup. Seperlima dari berat tubuh orang dewasa merupakan protein. Protein mempunyai beberapa fungsi sbb :

1. Membentuk jaringan baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh

2. Memelihara jaringan tubuh, memperbaiki serta mengganti jaringan yang aus, rusak atau mati

(20)

3. Menyediakan asam aminoyang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolisme serta antibodi yang diperlukan

4. Mengatur keseimbangan air

5. Mempertahankan kenetralan (asam- basa) tubuh. (Yuniastuti, 2008).

Pada masa lansia terjadi penurunan berbagai fungsi sel seiring dengan bertambahnya usia. Akibatnya adalah kemempuan sel untuk mencerna protein jauh lebih menurun dibandingkan yang bukan lansia, sehingga secara keseluruhan akan terjadi penurunan kebutuhan asupan protein yang akan terjadi pada semua lanjut usia. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi tubuh yang terjadi secara alamiah dan tidak dapat dihindari (Fatmah, 2010).

Berdasarkan sumbernya, protein diklasifikasikan menjadi : a. Protein hewani

Yaitu protein dalam bentuk makanan yang berasal dari hewan seperti daging, susu dan sebagainya.

b. Protein nabati

Yaitu protein yang berasal dari bahan makanan tumbuhan seperti

kacang hijau, kacang kedelai dan sebagainya.

Pemilihan protein yang baik untuk lansia sangat penting mengingat sintesis protein di dalam sel tidak sebaik waktu muda. Dengan bertambahnya usia perlu pemilihan makanan yang kandungan protein yang bermutu tinggi dan mudah dicerna seperti telur, susu, ikan, daging yang mengandung banyak asam amino esensial. Selain itu sumber protein lainnya yaitu tahu, tempe, kacang-kacangan dan

(21)

lain-lain. Sumber protein hewani lebih banyak dianjurkan karena kebutuhan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut (Barasi, 2007).

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi tahun 2004 yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan, kecukupan protein dibedakan menurut jenis kelamin dan golongan umur.

Tabel 2.2

ANGKA KECUKUPAN PROTEIN LANSIA BAGI PEREMPUAN Kategori umur

50 - 60 tahun > 60 tahun

50 gram 50 gram

(22)

2.5 Penampilan dan Rasa Makanan

Penampilan dan rasa merupakan dua aspek yang termasuk dalam cita rasa. Cita rasa makanan ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap berbagai indera dalam tubuh manusia terutama indera pengecapan, penciuman dan penglihatan. Baik aspek penampilan maupun rasa keduanya sangat penting untuk diperhatikan untuk menghasilkan makanan yang baik dan memuaskan (Khan, 1998).

2.5.1 Penampilan Makanan a. Bentuk Makanan

Bentuk makanan adalah tampilan/rupa dari makanan yang disajikan. Bentuk makanan yang menarik dan serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan Bentuk makanan dapat juga digunakan untuk menimbulkan ketertarikan dalam menu karena terdiri dari macam- macam bentuk makanan yang disajikan. Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan (Khan, 1998).

b. Konsistensi

Konsistensi makanan adalah tingkat kekerasan, kepadatan atau kekentalan pada suatu hidangan. Konsistensi merupakan aspek yang berhubungan dengan tingkat kepadatan atau kekeringan pada makanan. Selain itu keadaan berkuah, padat, kering, kental juga digunakan sebagai gambaran konsistensi (Khan, 1998).

(23)

Warna makanan dapat memberikan penampilan yang lebih menarik terhadap makanan yang disajikan sehingga dapat meningkatkan selera. (West and Wood, 1998). Kombinasi warna dalam penyajian makanan merupakan hal yang sangat membantu dalam penerimaan suatu makanan. Makanan yang penuh warna mempunyai daya tarik untuk dilihat dan bahkan cenderung lebihmenarik perhatian karena warna juga mempunyai dampak psikologis bagi konsumen (Khan, 1998).

d. Besar Porsi

Besar porsi adalah banyaknya makanan yang disajikan. Porsi untuk setiap individu berbeda sesuai dengan kebutuhan makan masing-masing. Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan dan selera makanan. Hal ini penting untuk diperhatikan karena berkaitan dengan perencanaan bahan makanan (Muchatob, 1991).

e. Cara Penyajian

Penyajian makanan adalah perlakuan terakhir dalam suatu penyelenggaraan makanan sebelum dihidangkan kepada konsumen untuk dikonsumsi. Penyajian makanan meliputi pemilihan alat, cara penyusunan makanan, dan penghiasan hidangan. Penyajian makanan juga merupakan faktor penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan (Khan, 1998).

Jika penyajian makanan tidak dilakukan dengan baik maka seluruh upaya untuk mempertahankan cita rasa hidangan akan menjadi tidak berarti karena penyajian secara langsung merangsang indera penglihatan apakan hidangan menerik atau tidak. (Moehyi, 1992).

(24)

2.5.2 Rasa Makanan

Rasa dapat menunjukan keakuratan yang lebih dalam menilai kualitas suatu produk makanan jika dibandingkan dengan aspek yang lainnya karena rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperature dan tingkat sensitivitas rasa perorangan ( West Wood, 1998).

Aspek rasa lebih banyak melibatkan indera pengecapan yang terdiri dari 4 rasa dasar diantaranya yaitu asin, manis, pahit, dan rasa asam. Mengkombinasi berbagai rasa sangat diperlukan untuk menghasilkan rasa yang unik. Biasanya dominasi satu macam rasa sangat tidak disukai karena lidah mudah merasa jenuh terhadap makanan yang dicicipi (Winarno, 2008). Yang termasuk ke dalam rasa diantaranya yaitu :

a. Tekstur

Tekstur menunjukkan sifat dari struktur makanan yang dapat dilihat dengan jelas dan dirasakan oleh mulut. Gambaran dari tekstur makanan meliputi kerenyahan/garing, lembut, kasar, halus, keras, kenyal, empuk (West Wood, 1998).

Keempukan dan kerenyahan itu sendiri ditentukan oleh mutu bahan makanan yang digunakan dan cara memasaknya. Kombinasi dari berbagai tekstur akan lebih menarik dan tidak mudah bosan (Moehyi, 1992).

b. Aroma

Aroma makanan adalah aroma yang disebarkan oleh makanan yang mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga mampu membangkitkan selera makan. Aroma yang dikeluarkan oleh makanan berbeda- beda. Demikian pula

(25)

cara memasak makanan yang berbeda akan memberikan aroma yang berbeda pula.

Aroma yang dimiliki suatu hidangan akan mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga menimbulkan selera (Moehyi, 1992).

c. Suhu

Suhu merupakan tingkat panas atau dingin makanan yang disajikan. Suhu makanan waktu disajikan memegang peranan dalam menentukan cita rasa hidangan makanan. Hal ini sangat mempengaruhi sensitivitas pada saraf pengecap terhadap rasa makanan sehingga dapat mempengaruhi selera makan (Moehyi, 1992). Pengaturan suhu dalam penyajian bahan makanan harus benar-benar diperhatikan karena berpengaruh terhadap penilaian cita rasa dan kenikmatan. Suhu mempengaruhi kemampuan kuncup cecapan untuk menangkap rangsangan rasa. Makanan yang panas akan membakar lidah dan merusak kepekaan cecapan sedangkan makanan yang dingin dapat membius kuncup cecapan sehingga tidak peka lagi (Winarno, 2008).

d. Tingkat Kematangan

Tingkat kematangan yaitu keadaan mentah atau matangnya hasil pemasakan pada setiap jenis bahan makanan yang dimasak dan makanan akan mempunyai tingkat kematangan sendiri. Tingkat kematangan suatu makanan itu tentu saja mempengaruhi cita rasa makanan (Muchatob, 1991).

e. Bumbu

Bumbu masakan adalah bahan yang ditambahkan dengan tujuan untuk mendapatkan rasa makanan yang enak dan khas dalam setiap pemasakan. Tanpa penambahan bumbu masakan akan terasa

(26)

hambar karena bumbu dan tempah memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan cita rasa hidangan (Khan, 1998).

2.7 Survey Konsumsi

Salah satu pengukuran status gizi secara tidak langsung adalah dengan melakukan pengukuran konsumsi makanan (survei konsumsi makanan) baik pada perorangan maupun pada kelompok. Tujuan dari pengukuran konsumsi makanan adalah untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan gizi dan bahan makanan pada individu, rumah tangga maupun kelompok (Supariasa, 2002).

2.7.1 Food Weighing

Food weighing merupakan metode penimbangan makanan sampel. Responden / petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama 1 hari. Sisa makanan juga ditimbang untuk mengetahui konsumsi yang sebenarnya. Biasanya berlangsung beberapa hari tergantung tujuan, dana, dan tenaga yang ada (Supariasa, 2002).

Kelebihan penimbangan makanan: a. Data yang diterima lebih akurat dan teliti b. Relatif murah dan sederhana

c. Dapat dilakukan sendiri oleh responden d. Tidak membutuhkan latihan khusus

e. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan (Supariasa, 2002).

Kekurangan penimbangan makanan:

(27)

b. Bila dilakukan dalam kurun yang lama, responden dapat merubah kebiasaan

c. Tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil

d. Memerlukan kerja sama yang baik dengan responden (Supariasa, 2002).

(28)

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep

Salah satu cara untuk mengetahui penerimaan sampel terhadap makanan yang disajikan yaitu dengan menilai cita rasa dari makanan tersebut yaitu dari segi penampilan maupun rasa. Apabila penampilan dan rasa dari makanan yang disajikan baik diharapkan daya terima sampel terhadap hidangan pun akan baik sehingga asupan energi dan protein akan terpenuhi. Namun sebaliknya apabila daya terima terhadap makanan kurang maka asupan dari energi dan protein pun tidak akan terpenuhi.

Faktor-faktor yang dikaitkan dengan penampilan yaitu warna hidangan, bentuk makanan, besar porsi yang disajikan, cara menyajikan serta konsistensi hidangan. Sedangkan dari segi rasa aspek yang diperhatikan yaitu aroma makanan, suhu makanan, tingkat kematangan dan bumbu yang digunakan.

Hubungan antara penampilan dan rasa makanan dengan asupan energi dan protein lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi dapat dilihat pada bagan berikut ini :

Penampilan

Rasa

Asupan energi

(29)

GAMBAR 3.1

HUBUNGAN ANTARA PENAMPILAN DAN RASA DENGAN ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN

Keterangan :

Variabel Independen : Penampilan dan Rasa Variabel dependen : Asupan Energi dan Protein

A. Hipotesis

1. Ada hubungan antara penampilan makanan dari makan siang yang disajikan dengan asupan energi lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung

2. Ada hubungan antara rasa makanan dari makan siang yang disajikan dengan asupan energi lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

3. Ada hubungan antara penampilan makanan dari makan siang yang disajikan dengan asupan protein lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

(30)

4. Ada hubungan antara rasa makanan dari makan siang yang disajikan dengan asupan protein lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

B. Definisi Operasional

1. Penampilan Makanan

Definisi :Penilaian sampel terhadap aspek konsistensi dan besar porsi yang dihitung dengan cara skoring kemudian dijumlahkan dan di hitung meannya.

Alat ukur : Kuesioner / angket Cara ukur : Wawancara

Kategori : - Baik jika total skor ≥ mean (20,71) - Kurang jika total skor < mean (20,71) Skala : Ordinal

2. Rasa Makanan

Definisi :Penilaian sampel terhadap aspek bumbu, suhu, tekstur dan tingkat kematangan yang dihitung dengan cara skoring kemudian dijumlahkan dan di hitung meannya.

Alat ukur : Kuesioner Cara ukur : wawancara

Kategori : - Enak jika total skor ≥ mean (38,34)

- Kurang Enak jika totak skor < mean (38,34) Skala : Ordinal

(31)

3. Asupan Energi

Definisi : Yaitu jumlah energi yang dikonsumsi saat makan siang yang diukur melalui food weighing (dilakukan selama 2 hari tidak berturut-turut) kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan jumlah energi makan siang dan dihitung energinya menggunakan Nutrisurvey.

Alat ukur : Timbangan digital dengan ketelitian 1 gram. Cara ukur : Asupan energi diperoleh dengan

mengurangi berat awal yang dihidangkan dengan berat sisa setelah dimakan kemudian dihitung dan dibandingkan dengan AKG.

Kategori : - baik jika konsumsi energi ≥ 30% AKG tahun 2005 (480 kkal)

- Kurang jika konsumsi energi < 30% AKG tahun 2005 (480 kkal)

Skala : Ordinal

4. Asupan protein

Definisi : Yaitu jumlah protein yang dikonsumsi saat makan siang yang diukur melalui food weighing (dilakukan selama 2 hari tidak berturut-turut) kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan jumlah protein makan siang

(32)

dan dihitung proteinnya menggunakan Nutrisurvey.

Alat ukur : Timbangan digital dengan ketelitian 1 gram Cara ukur : : Asupan protein diperoleh dengan

mengurangi berat awal yang dihidangkan dengan berat sisa setelah dimakan kemudian dihitung dan dibandingkan dengan AKG.

Kategori : - baik jika konsumsi protein ≥ 30% AKG tahun 2005 (15 gram)

- Kurang jika konsumsi protein < 30% AKG tahun 2005 (15 gram)

(33)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional yang merupakan salah satu studi observasional non eksperimental dimana variabel independen dan variabel dependen diukur dalam waktu yang bersamaan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian mengenai hubungan antara penampilan dan rasa makanan ini dilakukan pada Bulan Maret-April 2011 di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung, Jl.Sancang No.2 Bandung.

4.3 Populasi dan sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang ada di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi yang mendapatkan makan siang pada tahun 2011 yaitu 33 orang. 2. Sampel

Lansia yang menjadi sampel pada penelitian ini diambil dari populasi total lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung.

Karakteristik lansia yang dijadikan sampel adalah sebagai berikut :

(34)

a. Tidak menderita sakit yang menyebabkan sulit/tidak mau makan

b. Bersedia untuk dijadikan sampel. c. Masih bisa berkomunikasi.

Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 31 orang. 2 lansia tidak dijadikan sampel dengan alasan lansia tersebut sulit berkomunikasi yang akan menyebabkan peneliti sulit dalam mendapatkan jawaban. 4.4 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

4.4.1 Jenis Data

Data yang dikompulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder.

a. Data primer yang diambil meliputi

1. Data penilan terhadap penampilan makanan meliputi konsistensi dan besar porsi.

2. Data penilaian terhadap rasa makanan meliputi bumbu, tekstur, suhu dan tingkat kematangan.

3. Data jumlah asupan energi dan protein makan siang lansia. b. Data sekunder yang diambil meliputi :

1. Data karakteristik lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi meliputi nama dan umur lansia.

2. Data mengenai gambaran umum institusi Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi meliputi : (Nama institusi, alamat institusi, jumlah lansia, struktur organisasi institusi, sumber dana panti dan jumlah sumber daya pengelola panti) 3. Data mengenai gambaran umum penyelenggaraan makanan

yang dilaksanakan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung meliputi : (menu yang ada di panti, pola menu, siklus menu, standar resep, standar porsi, standar bumbu, dana yang tersedia, proses produksi dan distribusi

(35)

serta jumlah tenaga kerja yang mengelola penyelenggaraan makanan di panti).

4.4.2 Cara pengumpulan Data

a. Data Primer

1. Data penilaian terhadap penampilan makanan dari makan siang sampel meliputi konsistensi dan besar porsi yang diperoleh dari wawancara menggunakan kuisioner selama dua hari tidak berturut-turut.

2. Data penilaian terhadap rasa makanan dari makan siang sampel meliputi bumbu, tekstur, suhu dan tingkat kematangan yang diperoleh dari wawancara menggunakan kuisioner selama dua hari tidak berturut-turut.

3. Data jumlah asupan energi dan protein makan siang yang didapatkan dengan cara menimbang berat awal hidangan dikurangi berat sisa makanan per golongan bahan makanan (makanan pokok, lauk hewani, nabati dan sayur).

b. Data Sekunder

1. Data karakteristik sampel meliputi nama dan umur lansia didapat dengan melihat arsip di panti.

2. Data mengenai gambaran umum institusi Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi meliputi : (Nama institusi, alamat institusi, jumlah lansia, struktur organisasi institusi, sumber dana panti dan jumlah sumber daya pengelola panti) yang diperoleh dengan melihat arsip yang ada di panti.

(36)

3. Data mengenai gambaran umum penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi yang diperolah dengan melihat arsip yang ada di institusi panti.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1 Pengolahan Data

a. Data karakteristik sampel meliputi nama dan umur sampel . Data umur dikelompokan menjadi :

1. Usia 60 - 64 tahun 2. Usia > 65 tahun

(Pengelompokkan umur mengacu pada kebutuhan energi dan protein sampel dalam AKG)

b. Data kuisioner penilaian sampel terhadap penampilan makanan pada makan siang dari setiap hidangan yang diperoleh dari penilaian sampel melalui kuisioner dan diberi skor 1-4, yaitu :

1 = Tidak baik 2 = Kurang baik 3 = Baik

4 = Sangat baik

Untuk mendapatkan nilai penampilan makanan dari makan siang diperoleh dengan menjumlahkan nilai dari seluruh variabel (besar porsi dan konsistensi) dan diambil meannya kemudian dikategorikan menjadi :

 Baik jika skor total ≥ mean (20,71)

(37)

c. Data kuisioner penilaian sampel terhadap rasa makanan pada makan siang dari setiap hidangan yang diperoleh dari penilaian sampel melalui kuisioner dan diberi skor 1-4, yaitu :

1 = Tidak baik 2 = Kurang baik 3 = Baik

4 = Sangat baik

Untuk mendapatkan nilai rasa makanan dari makan siang diperoleh dengan menjumlahkan nilai dari seluruh variabel (bumbu, tekstur, suhu dan tingkat kematangan) dan diambil meannya kemudian dikategorikan menjadi :

 Baik jika skor total ≥ mean (38,34)  Kurang baik jika skor total mean < 38,34

d. Hasil asupan energi makan siang yang telah dihitung menggunakan Nutrisurvey kemudian dikategorikan menjadi dua yaitu :

 Baik apabila jumlah asupan tiap sampel ≥ 30% AKG (480 kkal)

 Kurang apabila jumlah asupan tiap sampel < 30% AKG (480 kkal).

e. Hasil asupan protein makan siang yang telah dihitung menggunakan Nutrisurvey kemudian dikategorikan menjadi dua yaitu :

 Baik apabila jumlah asupan tiap sampel ≥ 30% AKG (15 gram)

(38)

 Kurang apabila jumlah asupan tiap sampel < 30% AKG (15 gram).

4.5.2 Analisis Data

a. Univariat

- Data karakteristik sampel lansia di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan dianalisa secara deskriptif.

- Data penilaian penampilan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan dianalisa secara deskriptif.

- Data penilaian rasa makanan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan dianalisa secara deskriptif.

- Data asupan energi disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan dianalisa secara deskriptif.

- Data asupan protein disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan dianalisa secara deskriptif.

b. Bivariat

Hubungan antara penampilan dan rasa makanan dengan asupan energi dan protein makan siang disajikan dalam tabel silang, kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan rumus fisher exact dengan tingkat kepercayaan 95%.

(39)

Keterangan :

N = jumlah populasi

P = peluang yang diharapkan A,B,C,D = Nilai pada tiap sel Kriteria uji :

Ho ditolak jika p < α, dengan α = 0,05 Ho gagal ditolak jika p ≥ α, dengan α = 0,05 Tingkat kepercayaan : 95 %

P= (A+B)!(C+D)!(A+C)!(B+D)! N!A!B!C!D!

(40)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung

Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi atau disingkat dengan PLTW Budhi Pertiwi merupakan salah satu panti sosial bagi para lanjut usia yang terletak di jalan Sancang No.2 Bandung. Pada mulanya lembaga ini merupakan sebuah perkumpulan yang dinamakan Perkumpulan Budi Istri yang didirikan pada tahun 1947. Melalui kerjasama dengan PMI, perkumpulan budi istri merawat sekitar 30 orang nenek-nenek jompo dan ditempatkan disebuah rumah kosong. Pada tahun 1950 Departemen Sosial membuatkan gedung seluas 1900 m2 yang terletak di jalan Sancang No.2 Bandung.

Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi termasuk ke dalam jenis panti sosial yang dilaksanakan berdasarkan asas sosial dan bantuan. Pengelolaannya dilaksanakan mendapat bantuan dari Departemen Sosial atau badan amal lainnya.

Berdirinya panti sosial ini memiliki visi yaitu menjadikan lansia yang senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, bahagia serta sejahtera. Panti sosial ini sekarang dihuni oleh 33 orang lansia dari berbagai daerah asal. Panti Sosial Tresna Wredha Budhi Pertiwi adalah sebuah organisasi berbadan hukum yang bergerak dalam bidang pelayanan kesejahteraan sosial dalam hal ini para lansia. Panti ini telah diakui keberadaannya oleh pemerintah. Kini panti ini diketuai oleh Ny.Hj.Nia Kurniasih dengan dibantu 15 orang Sumber Daya Manusia yang memegang jabatannya masing-masing diantaranya wakil ketua, sekretaris, bendahara, bagian

(41)

administrasi, bagian kerohanian, olahraga, kesehatan, pendamping lansia, juru masak, sopir dan tukang kebun.

Fasilitas yang terdapat di panti ini diantaranya 20 kamar tidur, 6 buah kamar mandi, 1 buah mushola, 1 buah aula, 1 buah ruang pengajian/kerajinan, 1 buah ruang klinik, 1 buah kamar jenazah, 1 buah dapur umum, 1 unit perkantoran. Sedangkan fasilitas yang didapatkan bagi setiap penghuni panti diantaranya 1 set tempat tidur, 1 set alat makan dan minum, 1 buah lemari pakaian dan 1 buah meja kecil.

Kegiatan yang terdapat di panti diantaranya pelayanan makan, bimbingan keagamaan yang dilaksanakan setiap hari, pelayanan kesehatan setiap 2 minggu sekali, pelayanan olahraga berupa senam bersama setiap hari Senin dan Rabu, penyediaan sarana untuk keahlian dan keterampilan seperti mesin jahit dan alat untuk menyulam, kegiatan kesenian angklung yang dilakukan setiap hari Rabu. Selain itu terdapat pelayanan terminasi yaitu pelaksanaan pengurusan jenazah/kematian.

Semua dana yang digunakan untuk kepentingan di Panti Sosial Tresna Wredha Budhi Pertiwi bersumber dari Subsidi dari Departemen Sosial, pemerintah daerah kota Bandung dan propinsi Jabar, Bantuan dari yayasan Dharmais, donatur tetap, masyarakat dan dari usaha pengurus sendiri dan lain-lain.

5.1 Gambaran Umum penyelenggaraan Makanan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi Bandung

Pelayanan makan bagi para lansia di panti dilaksanakan sejak awal berdiri. Makanan yang disajikan dimasak di dapur oleh 1 orang juru masak dan 2 orang asisten. Palayanan makan ini dilaksanakan secara swakelola, yaitu dilaksanakan oleh pegawai yang ada di panti sendiri.

(42)

Pelayanan makan di panti dilaksanakan dengan tujuan mencapai dan mempertahankan derajat kesehatan serta mencukupi kebutuhan gizi lansia. Proses pemasakan di dapur dilaksanakan oleh 1 orang juru masak sebagai koordinator/penanggung jawab penyelenggaraan makan dengan dibantu oleh 2 orang asisten yang bertugas secara bergantian mengolah makanan untuk 37 orang, yaitu 33 orang lansia dan pegawai yang ada di panti (3 orang juru masak dan 1 orang tukang kebun).

1. Perencanaan Anggaran Belanja Bahan Makanan

Anggaran belanja bahan makanan diperoleh dari dana yang tersedia. Adapun biaya makan untuk setiap orang setiap kali makan tidak ditentukan jumlah rupiahnya, hanya saja ditentukan dalam satu hari anggaran untuk belanja bahan makanan adalah sebesar ± 250.000,- untuk makanan pokok, lauk hewani, nabati, sayur dan buah. Semua lansia mendapatkan makan siang sehingga dalam satu harinya menghasilkan jumlah porsi yang tetap.

2. Menu

Penyelenggaraan makanan di Panti Lansia Tresna Wredha tidak memiliki siklus menu dan menu dibuat 3 hari sebelum proses pengolahan. Menu yang dirancang sebaiknya memilki siklus menu secara tertulis dan menetap dalam jangka waktu tertentu. Menu yang dirancang di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi bersifat fleksibel dan disesuaikan dengan ketersediaan bahan dan harga bahan makanan. Apabila bahan tidak ada atau harga bahan makanan melebihi anggaran, maka menu dapat diganti dengan menu yang lain.

(43)

3. Standar porsi

Di panti ini tidak ada ketentuan standar porsi untuk nasi karena pemorsian nasi dilakukan sesuai dengan kebiasaan makan sampel. Bagi sampel yang kemampuan daya terimanya banyak, nasi diporsi lebih banyak, sedangkan bagi yang makannya hanya sedikit maka pemorsian nasi diberikan sedikit. Petugas yang melakukan pemorsian sudah mengetahui jumlah porsi dari masing-masing sampel karena sudah terbiasa. Selain itu, standar porsi untuk daging ayam, setiap sampel mendapatkan 1 bagian daging. Saat pemesanan bahan makanan ditentukan spesifikasi dari daging ayam yaitu bagian paha saja sehingga ukurannya hampir sama. Pada saat melakukan penelitian, dilakukan penimbangan terhadap beberapa bahan makanan diantaranya standar porsi untuk ikan mas yaitu 1 ekor ikan dengan berat ± 80 gram, untuk ikan yang sudah dipotong yaitu 1 potong sedang dengan berat ± 50 gram. Standar porsi untuk tahu yaitu 1 buah yang berukuran kecil ± 50 gram dan tempe 1 potong sedang dengan berat ± 40 gram. Sedangkan untuk sayur tidak ada standar porsi.

4. Standar Resep dan Standar Bumbu

Proses pengolahan makanan di panti ini tidak menggunakan standar resep dan tidak pula menggunakan standar bumbu sehingga rasa masakan tidak tetap dan berubah sewaktu-waktu berdasarkan hasil wawancara kepada sampel. Penggunaan bahan, bumbu serta langkah pengolahan saat memasak yaitu berdasarkan kebiasaan dan perkiraan juru masak.

5. Pola Menu

Pola menu yang terdapat di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi yaitu makanan pokok, protein hewani, protein nabati, sayur dan buah. Namun untuk buah masuk ke dalam snack/selingan karena tidak

(44)

diberikan saat jam makan siang. Pada saat penelitian hari pertama pola menu sudah lengkap (nasi putih, pindang bandeng goreng, perkedel kentang dan sayur tahu buncis), sedangkan pada saat penelitian hari ke dua pola menu tidak lengkap karena tidak ada hidangan nabati (nasi putih, pepes ikan mas, sayur asem).

6. Pembelian Bahan Makanan

Pembelian bahan makanan dilakukan secara oleh penyusun menu. Untuk pembelian bahan makanan segar dilakukan setiap hari sedangkan untuk pembelian bahan makanan kering dilakukan tergantung persediaan. Pada umumnya pembelian bahan makanan dilakukan sehari sebelum pengolahan atau saat hari pengolahan. Dalam pelaksanaannya, tidak ada spesifikasi secara tertulis, namun secara lisan saja. Untuk lauk hewani yang akan dibeli, ada ketentuan khusus yaitu ukurannya harus sama atau memesan bagian daging yang sama. Sedangkan untuk bahan makanan lain tidak ada ketentuan khusus dalam bentuk ataupun ukuran, hanya dilihat dari segi kualitas bahan apakah masih baik atau tidak.

7. Penerimaan Bahan Makanan

Untuk penerimaan bahan makanan dilakukan oleh pemesan bahan makanan. Terkadang tidak dilakukan pemeriksaan kembali terhadap bahan makanan yang dibeli. Hal ini dikarenakan petugas penerimaan bahan makanan sama dengan petugas pemesan bahan makanan sehingga tidak dilakukan pengecekan ulang.

8. Persiapan Bahan Makanan

Kegiatan persiapan dilakukan pada hari pengolahan. Adapun untuk persiapan yang dilakukan yaitu persiapan untuk bumbu seperti mengiris, mencincang dan menghaluskan. Sedangkan persiapan yang

(45)

dilakukan untuk makanan pokok yaitu mencuci beras. Pada lauk hewani dan nabati diantaranya yaitu pencucian, pemotongan, hingga siap untuk dimasak.

9. Pemasakan Bahan Makanan

Pemasakan dilakukan setelah bahan-bahan selesai disiapkan. Dikarenakan jumlah bahan makanan yang diolah tidak terlalu banyak sehingga proses pemasakan berlangsung cepat. Pemasakan lauk nabati biasanya dilakukan lebih awal, kemudian pemasakan lauk hewani bersamaan dengan nasi kemudian sayur. Proses pemasakan selesai pada pukul 11.00 WIB.

10. Disrtibusi dan Pelayanan Makan

Distribusi yang dilakukan adalah sistem desentralisasi, yaitu makanan yang telah selasai dimasak dibawa ke ruang makan untuk diporsikan. Sistem pelayanan makan yang digunakan yaitu sistem cafetaria, dimana makanan telah siap tersaji dan sampel mengambil makanannya sendiri. Distribusi makanan dimulai pada pukul 11.00.

Hidangan disimpan dalam wadah terpisah. Nasi disajikan dalam piring, lauk hewani dan nabati disatukan dalam piring kecil, dan untuk sayur disajikan dalam mangkuk. Alat saji yang digunakan semuanya terbuat dari bahan melamin. Sampel mendapatkan makan sesuai yang diporsikan oleh petugas.

5.3 Karakteristik Sampel

Pada penelitian ini sampel diambil dari jumlah lansia yang mendapatkan makan siang di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi. Semuanya merupakan lansia perempuan karena di Panti lansia Tresna Wredha penghuninya secara keseluruhan merupakan perempuan.Sampel yang diambil sebanyak 31 orang dari 33 orang

(46)

dikarenakan tidak memenuhi karakteristik sampel. Dari hasil penelitian, diperoleh karakteristik sampel berdasarkan umur yang dapat dilihat pada tabel 5.1.

TABEL 5.1

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN UMUR LANSIA DI PANTI TRESNA WREDHA BUDHI PERTIWI BANDUNG

Umur n %

60-64tahun 3 9,7

>65 tahun 28 90,3

Total 31 100 %

Berdasarkan tabel diatas dari 31 sampel diperoleh data jumlah sampel dengan usia 60-64 tahun yaitu sebanyak 3 sampel (9,7%) dan sampel dengan usia > 65 tahun sebanyak 28 sampel (90,3%). Pengkategorian umur dilakukan berdasarkan Departemen Kesehatan RI tahun 2006. Usia sampel tertinggi adalah 90 tahun dan usia terendah adalah 63 tahun. Rata-rata usia sampel adalah 75 tahun.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), yang disebut sebagai lanjut usia (lansia) yaitu terbagi ke dalam 3 batasan diantaranya masa persiapan usia lanjut (usia 55-59 tahun), masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun), dan lansia yang beresiko terkena penyakit degeneratif (usia diatas 65 tahun). Apabila mengacu pada Depkes RI 2006, usia rata-rata lansia yang terdapat di panti yaitu 75 tahun, termasuk ke dalam lansia yang beresiko terkena penyakit degeneratif. Selain itu usia yang semakin tua telah mengalami perubahan fisiologis yang berpengaruh terhadap asupan makan lansia (Darmojo, 1999).

(47)

5.4 Penilaian Sampel Terhadap Penampilan Makanan

Penilaian sampel terhadap penampilan yaitu penilaian yang meliputi aspek konsistensi dan besar porsi. Penilaian dilakukan pada makanan pokok, lauk hewani, nabati dan sayur yang dilakukan selama 2 hari tidak berturut-turut. Hasil penilaian sampel terhadap penampilan makanan dapat dilihat pada tabel 5.2.

TABEL 5.2

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN

PENAMPILAN MAKAN SIANG DI PANTI LANSIA TRESNA WREDHA BUDHI PERTIWI BANDUNG

PENAMPILAN

KONSISTENSI BESAR PORSI

n % n %

KURANG 18 58,1 8 25,8 BAIK 13 41,9 23 74,2

TOTAL 31 100 31 100

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 31 sampel, sebanyak 13 sampel (41,9%) menilai konsistensi dari makanan yang disajikan baik sedangkan 18 sampel (58,1%) menilai konsistensi makanan kurang baik. Untuk besar porsi terdapat 23 sampel (74,2%) yang menilai baik dan 8 sampel (25,8%) manilai besar porsi kurang.

Menurut Khan (1998), konsistensi merupakan salah satu faktor yang menentukan penampilan hidangan yang disajikan. Konsistensi berhubungan dengan tingkat kepadatan, keadaan berkuah/kekentalan serta kekeringan pada suatu hidangan.

(48)

Sejumlah perubahan fisiologis berlangsung dalam proses penuaan. Perubahan fungsi fisik yang terjadi pada lansia salah satunya penurunan kualitas gigi dan berkurangnya aliran saliva sehingga akan berdampak pada kualitas dan kuantitas asupan makanan (Barasi, 2007).

Dari hasil penilaian sampel yang mengatakan konsistensi kurang baik adalah yang menilai bahwa sayur tahu buncis (menu ke-4) yang terlalu pekat/kental karena pemasakannya memang menggunakan santan. Sedangkan penilaian sampel terhadap besar porsi sebagian besar sampel mengatakan sudah baik dan mencukupi. Dari 8 sampel yang mengatakan besar porsinya masih kurang yaitu pada nasi. Porsi makanan untuk setiap individu berbeda sesuai dengan kebutuhan makan masing-masing. Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan dan selera makan (Muchatob,1991).

Dalam menilai penampilan makanan konsistensi dan besar porsi cukup berpangaruh bagi kondisi lansia sehingga aspek penampilan yang diteliti adalah kedua hal tersebut. Sedangkan untuk warna, bentuk dan cara penyajian pada aspek penampilan tidak dilakukan penelitian karena pada lansia warna dan bentuk dan cara penyajian tidak terlalu mempengaruhi terhadap penilaian penampilan pada lanjut usia. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Fatmah (2010) yang menyatakan bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi indera penglihatan yaitu degenerasi retina yang mengakibatkan penurunan sensitivitas kontras warna.

5.5 Penilaian Sampel Terhadap Rasa Makanan

Selain menilai persepsi sampel terhadap penampilan makanan, persepsi sampel terhadap rasa dari makanan juga dinilai. Untuk penilaian sampel terhadap rasa aspek yang dilihat meliputi aspek

(49)

bumbu, suhu, tekstur dan tingkat kematangan. Penilaian dilakukan pada makanan pokok, lauk hewani, nabati dan sayur yang dilakukan selama 2 hari tidak berturut-turut. Hasil penilaian sampel terhadap rasa makanan dapat dilihat pada tabel 5.3.

TABEL 5.3

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN RASA MAKAN SIANG DI PANTI LANSIA TRESNA WREDHA

BUDHI PERTIWI BANDUNG

RASA BUMBU SUHU TEKSTUR

TINGKAT KEMATANGAN n % n % n % n % KURANG 13 41,9 14 45,2 20 64,5 16 51,6 BAIK 18 58,1 17 54,8 11 35,5 15 48,4 TOTAL 31 100 31 100 31 100 31 100

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 31 sampel, terdapat 18 sampel (58,1%) yang menilai bumbu sudah baik dan 13 sampel (41,9%) menilai bumbu dari makanan yang disajikan kurang baik. Alasan sampel menilai kurang baik sebagian besar karena sampel mengatakan sayur tahu buncis (menu ke-4), perkedel kentang(menu ke-14) dan sayur asem (menu ke-14) terlalu asin.

Pendapat Khan (1998) mengatakan bahwa bumbu memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan cita rasa hidangan. Pemberian bumbu pada masakan dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan makanan yang enak dan khas. Dalam menilai bumbu pada suatu hidangan, ketepatan rasa sangat perlu untuk diperhatikan.

(50)

Sedangkan penilaian sampel terhadap suhu terdapat 17 sampel (54,8%) yang menilai suhu makanan baik dan 14 sampel (45,2%) menilai suhu kurang baik. Sampel yang menilai kurang baik mengatakan bahwa pepes ikan mas (menu ke-14) yang disajikan pada hari kedua penelitian dingin sehingga kurang enak untuk dimakan.

Suhu makanan waktu disajikan memegang peranan penting dalam menentukan cita rasa hidangan makanan. Hal ini sangat mempengaruhi sensitivitas pada saraf pengecap terhadap rasa makanan sehingga dapat mempengaruhi selera makan (Moehyi,1992). Oleh karena itu suhu hidangan yang disajikan perlu diperhatikan

Selain itu aspek yang paling banyak dinilai kurang baik yaitu tekstur makanan. Dari 31 sampel, terdapat 20 sampel (64,5%) menilai tekstur kurang dan 11 sampel (35,5%) menilai tekstur sudah baik. Dari hasil wawancara diketahui bahwa bala-bala (menu ke-14) yang disajikan pada hari kedua penelitian keras dan pindang bandeng (menu ke-4) keras karena terlalu kering.

Menurut Fatmah (2010), Penurunan fungsi fisiologis pada rongga mulut akan berpengaruh terhadap mekanisme makan. Pada lansia mulai banyak gigi yang tanggal sehingga mempengaruhi proses pengunyahan makanan, akibatnya lansia akan kesulitan memakan makanan yang bertekstur keras.

Sedangkan penilaian sampel terhadap tingkat kematangan, 16 sampel (51,6%) manilai kurang baik dan 15 sampel (48,4%) manilai tingkat kematangan sudah baik. Dari 16 sampel yang menilai kurang baik mengatakan bahwa pada hidangan sayur asem (menu ke-14) dan sayur buncis (menu ke-4) masih kurang matang sehingga cukup sulit untuk dikonsumsi. Tingkat kematangan pada suatu hidangan akan sangat mempengaruhi cita rasa makanan (Muchatob, 1991).

(51)

5.6 Penilaian Sampel Terhadap Penampilan dan Rasa Makanan Selain dilakukan penilaian secara masing-masing dari tiap aspek penampilan dan rasa, penilaian juga dilakukan pada gabungan komponen dari aspek penampilan (konsistensi dan besar porsi) serta aspek rasa (bumbu, suhu, tekstur dan tingkat kematangan).

Distribusi frekuensi berdasarkan penampilan dan rasa dapat dilihat pada tabel berikut.

TABEL 5.4

DISTRIBUSI FREKUENSI BERDASARKAN PENAMPILAN DAN RASA MAKAN SIANG DI PANTI LANSIA TRESNA WREDHA

BUDHI PERTIWI BANDUNG

PENILAIAN PENAMPILAN RASA n % n % KURANG 15 48,4 13 41,9 BAIK 16 51,6 18 58,1 TOTAL 31 100,0 31 100,0

Berdasarkan tabel 5.4 tersebut dapat dilihat penilaian sampel terhadap gabungan dari aspek penampilan (konsistensi, besar porsi) dan rasa (bumbu, suhu, tekstur, tingkat kematangan). Dari seluruh sampel yang berjumlah 31 orang, terdapat sebanyak 15 orang (48,4%) yang menilai penampilan kurang baik dan sebanyak 16 orang (51,6) yang menilai penampilan baik. Sedangkan penilaian sampel terhadap rasa terdapat 13 orang (41,9%) yang menilai rasa kurang baik dan sebanyak 18 orang (58,1%) yang menilai rasa baik. Aspek penampilan dan rasa merupakan dua hal yang sama pentingnya untuk diperhatikan

(52)

untuk menciptakan suatu makanan yang baik dan memuaskan (Khan,1998).

Pada saat tubuh mengalami tingkat kematangan fisiologik/penuaan terjadi penurunan efisiensi dan gangguan fungsi organ. Kemunduran yang terjadi diantaranya penurunan fungsi pengecapan dan fungsi pencernaan yang berpengaruh terhadap kualitas maupun kuantitas makanan yang dikonsumsi (Barasi,2007). Oleh karena itu pemberian makan bagi usia lanjut juga perlu mempertimbangkan aspek penampilan dan rasa terutama dalam hal konsistensi, besar porsi, bumbu, suhu, tekstur dan tingkat kematangan. Untuk memantau kedua aspek tersebut dapat dilakukan eveluasi terhadap menu yang disajikan sehingga dapat dilihat hidangan mana yang kurang tepat dan kurang disukai sampel.

5.7 Asupan Energi Sampel dari Makan Siang yang Disajikan

Asupan energi dan protein yang cukup sangat penting untuk diperhatikan. Apabila asupan energi kurang maka asupan gizi pun tidak akan mencukupi (Almatsier,2001). Kebutuhan energi akan mulai menurun pada usia lanjut karena terjadinya perubahan komposisi tubuh dan penurunan aktivitas fisik (Soekirman, 2006). Meskipun terjadi penurunan kebutuhan energi pada lansia, namun jumlah energi yang diberikan tidak boleh dibawah Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (Fatmah, 2010).

Asupan energi sampel yang dikonsumsi dari makan siang yang disajikan di Panti Lansia Tresna Wredha Budhi Pertiwi didapatkan dari perhitungan yang dilakukan selama dua hari tidak berturut-turut yang kemudian dirata-ratakan sehingga didapatkan nilai energi makan siang. Perhitungan asupan energi dilakukan pada hidangan yang disajikan saat makan siang yaitu makanan pokok, lauk hewani, nabati dan sayur.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi peneliti selanjutnya yaitu, (1) Pengukuran rasio likuiditas untuk peneliti selanjutnya disarankan untuk tidak menggunakan rumus current ratio tetapi menggunakan

STANDARISASI DAN EKSTRAKSI BAHAN ALAM I.1 Ekstraksi dan Aplikasi Pektin Berbahan Dasar Limbah Kulit Pisang untuk Inhibitor Korosi pada Media Larutan Pembersih Pipa Boiler

(2) Pengirim Informasi Kebencanaan wajib mengirimkan Informasi Kebencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penerima Informasi Kebencanaan paling lambat 2 (dua) menit

Dengan demikian dinyatakan Penelitian Tindakan Kelas ini telah mencapai target keberhasilan pada siklus ke II yang berakhir pada pertemuan ke 2, karena hal itulah

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui kombinasi jenis dan konsentrasi filler (dekstrin dan tepung beras) terbaik sehingga dapat menghasilkan puree jambu

Investasi yang berorientasi padat karya akan berakibat pada semakin besarnya penyerapan tenaga kerja dibandingkan dengan investasi padat modal (Icovoiu, 2012 :

Kerangka pikiran pada dasarnya menggambarkan jalan pikiran rasional dan pelaksanaan penelitian tentang tanggapan remaja terhadap tayangan sinetron Cerita SMA pada

Berdasarkan data ketuntasan hasil belajar kognitif siswa pada siklus II menunjukkan bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan dan telah mencapai indikator