Pendekatan Kebijakan
di Hulu ke Hilir
1
Upaya Penurunan Kematian Ibu dan Bayi
melalui Pemberdayaan Masyarakat
dengan Perbaikan
Ditujukan kepada Pengambil Kebijakan di:
• Bappenas
• Kementerian Dalam Negeri
• Kementerian Pemberdayaan Perempuan • Kementerian Kesehatan
• Pemerintah Propinsi (Bappeda, Dinas Kesehatan/SKPD yang mengurusi Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat, dan KB)
• Pemerintah Kabupaten/Kota (Bappeda, Dinas Kesehatan/SKPD yang mengurusi Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat, dan KB)
• Tim Penggerak PKK
• LSM peduli kesehatan perempuan dan anak
• PMI
• Rumah Sakit,dll
Pengantar
•
Policy Brief ini membahas percepatan upaya
penurunan kematian ibu dan bayi melalui
Pemberdayaan Masyarakat dengan Perbaikan GSI
(di sektor hulu)
•
GSI adalah suatu gerakan yang dilaksanakan oleh
masyarakat, bekerjasama dengan pemerintah
untuk peningkatan kualitas hidup perempuan
melalui berbagai kegiatan yang mempunyai
dampak terhadap upaya penurunan angka
kematian ibu karena hamil, melahirkan, dan nifas,
serta penurunan angka kematian bayi.
Mengapa Pelaksanaan Gerakan Sayang
Ibu (GSI) Belum Maksimal?
• GSI dicanangkan oleh Presiden pada tahun 1996
• Ada 5 prinsip dasar dalam GSI yaitu: 1) Pendekatan lintas sektoral dan multi disiplin ilmu; 2) Intervensi yang integrative dan sinergis; 3) Partisipasi dan tanggungjawab pihak laki-laki; 4) Sistem
pemantauan yang terus menerus; 5) Koordinasi yang efektif oleh pemerintah daerah. Selain itu juga harus meningkatkan fungsi fasilitas kesehatan rujukan.
• Kegiatan masyarakat dalam GSI, antara lain: 1) Melaksanakan pendataan ibu hamil; 2) Melaksanakan KIE; 3) Menyediakan pondok sayang ibu; 4) Menggalang dana bersalin; 5) Menggalang donor darah; 6) Menyediakan ambulance desa; 7) Menyelenggarakan forum pertemuan teratur.
•
Seharusnya kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara rutin dan
teratur oleh masyarakat di seluruh wilayah karena
seharusnya betul-betul menjadi gerakan oleh masyarakat
•
Kenyataannya masyarakat hanya bersemangat kalau ada
lomba
•
Juga masih banyak masyarakat yang belum memahami apa
itu GSI
•
Tidak mengetahui bagaimana bisa berpartisipasi dalam GSI
•
Tidak jelas siapa yang bertanggungjawab untuk
pemberdayaan masyarakat dan bagaimana teknik
pemberdayaan tersebut.
Pengalaman
• Pada 7 Oktober 2013 PKMK FK UGM melakukan diskusi dengan topik: Upaya penurunan kematian ibu dan bayi melalui Pemberdayaan Masyarakat dengan Gerakan Sayang Ibu (GSI).
• Nara sumber Kepala BPPM (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat) DIY.
• Ada 6 upaya utama GSI yaitu: 1) Meningkatkan status perempuan; 2)
Pemberdayaan bumil, keluarga, dan masyarakat; 3) Pelayanan KB bagi PUS; 4) ANC pada bumil; 5) Pengembangan pendataan dan rujukan oleh masyarakat;
6)Pelayanan gawat darurat obstetrik terhadap bumil resti.
• Peserta: para peneliti, konsultan, dosen (FK UGM), Dinas Kesehatan DIY dan 5 kab/kota, beserta mahasiswa S2 di lingkungan IKM FK UGM (dari berbagai pelosok Indonesia).
• Muncul kritik dan ide-ide bagus untuk memperbaiki GSI di masa mendatang, yang dirangkum dalam 7 rekomendasi kebijakan.
Rekomendasi Kebijakan
1. Dalam GSI perlu mempertajam manajemen dan siapa pemimpinnya yang jelas.
2. Perlu dibuat “peta” kegiatan nyata GSI di masing-masing daerah, bukan hanya waktu ada lomba.
3. Perlu ada indikator yang memperlihatkan gerakan masyarakat, bukan gerakan pemerintah.
4. Perlu mengkaitkan hasil AMP (Audit Maternal Perinatal) dalam kegiatan GSI.
5. Masyarakat perlu membuat web site khusus GSI (suara masyarakat). 6. Perlu penyederhanaan sistem pencatatan yang ada di masyarakat.
7. Masyarakat yang sudah tercatat sebagai calon donor darah dalam GSI, seharusnya ditindaklanjuti oleh PMI sebagai donor darah tetap.
2
PENGGUNAAN DATA KEMATIAN
“ABSOLUT” UNTUK MEMICU
PENURUNAN KEMATIAN IBU & BAYI
DI KAB/KOTA
Pengamatan
•
Sistem monitoring program KIA di kab/kota menggunakan
cakupan-cakupan, dan angka “rates” kematian.
•
Dilakukan setahun sekali setelah tutup tahun, dan survey
kematian dilakukan sekitar 3- 5 tahun kemudian.
•
Tidak memacu adrenalin para pemangku kepentingan
untuk berreaksi cepat aroma kematian telah lama berlalu.
•
Yang dihadapi adalah angka semata, tidak sempat
membayangkan bahwa yang mati itu adalah manusia nyata.
•
Pimpinan Dinkes tdk bisa menerangkan kenapa ada
Apa Akibat tidak Menggunakan Angka
“Absolut” di Kab/Kota?
• Ketinggalan dengan kejadian riil di lapangan tdk ada pacuan adrenalin tdk tanggap terlena!!!
• Contoh:
1. Seorang istri pejabat (pd th 2012) menyatakan bhw AKI & AKB di wilayahnya terbaik di Indonesia (data 2008), sementara scr
absolut terjd kenaikan kematian 2008-2011 tdk ada sistem yang memberi tahu beliau!
2. Seorang pejabat Pemda , mempertanyakan mengapa hrs ada program pengurangan kematian ibu & bayi, pdhal AKI & AKB di wilayahnya sdh lbh baik r angka nasional
• Sebenarnya sbhgn besar kematian tsb bisa dicegah mereka terlena!!!
Bagaimana Pendapat Ahli dlm Penggunaan angka
“Absolut” utk Kematian Ibu & Bayi
•
Dlm ASM FK UGM 8-9 Maret 13 dibahas ttg
penggunaan angka “absolut” utk kematian Ibu
& Bayi , disamping penggunaan angka “rates”
•
Ahli Epidemiologi & Ahli Kesehatan
Masyarakat menyetujui penggunaan angka
“absolut” utk indikator keberhasilan program
KIA
•
Laporan lengkapnya: Silahkan klik di:
Apa Buktinya?
•
Di DIY & NTT menggunakan angka “absolut” utk
meningkatkan “adrenalin” para pelaku kegiatan.
•
NTT sejak 2010 (pd program Sister Hospital). DIY
sejak 2012 (menggunakan prinsip Surveilans
Respons) pd kematian nyata di lapangan.
•
Ke 2 Prov ini jg mengembangkan Manual Rujukan
KIA.
•
Dgn angka Absolut kegairahan & perhatian pd
upaya menurunkan kematian ibu & bayi menjadi
bertambah.
Rekomendasi Kebijakan
1. Kepala DinKes Kab/Kota/Prov. memimpin perubahan utk
menggunakan angka absolut sbg pengukur kinerja
program KIA.
2. Data absolut dipergunakan utk pengambilan keputusan
segera dan terencana melalui pendekatan Surveilans
Respons berdasar Rekomendasi AMP.
3. Kalau ada kasus kematian harus segera dilakukan audit
dalam bentuk Death Conference di RS, dan AMP di Dinas
Kesehatan Kab/Kota.
4. Angka” absolut” dibuat secara time series /longitudinal,
dipakai jg utk menghitung rates, di sebuah wilayah.
5. Angka “rates” digunakan utk membandingkan kenerja
KIA antar beberapa wilayah, pd saat yang sama.
3
PENGGUNAAN SURVEILANS RESPONS
UNTUK PENURUNAN KEMATIAN
Pengamatan
•
Sistem monitoring program KIA di kab/kota menggunakan
cakupan-cakupan, dan angka “rates” kematian.
•
Dilakukan setahun sekali setelah tutup tahun, dan survey
kematian dilakukan sekitar 5 tahun kemudian.
•
Tidak memacu adrenalin para pemangku kepentingan
untuk berreaksi cepat aroma kematian telah lama
berlalu.
•
Yang dihadapi adalah angka semata, tidak sempat
membayangkan bahwa yang mati itu adalah manusia nyata.
•
Kemungkinan besar kematian tsb bisa dicegah kalau semua
Mengapa Program P2M bisa segera
menentukan adanya KLB/out break
•
Surveilans respons biasanya digunakan dalam P2M
•
Segera bisa diketahui adanya out break segera
tindakan penanggulangan dan pencegahan lanjut.
•
KLB di suatu wilayah pimpinan wilayah sp masyarakat
umum langsung terperangah dan berreaksi, bukan
hanya jajaran kesehatan saja.
•
Menurut WHO (2004) sureveilans respons meliputi 8
kegiatan utama: 1.Deteksi Kasus; 2.Registrasi;
3.Konfirmasi; 4.Pelaporan; 5.Analisis dan Interpretasi
Kasus; 6.Umpan Balik; 7.Respon Segera; 8.Respon
Pengalaman
•
Selama 2 tahun ini DIY dan NTT menggunakan
prinsip surveilans respons dalam KIA mengamati
terus menerus terjadinya kasus kematian.
•
Setiap 3 bulan dengan difasilitasi PKMK FK UGM
bekerja sama dengan Dinkes Provinsi dilakukan
evaluasi kasus dan hasil AMP dari tiap kab/kota.
•
Jumlah absolut kematian ibu di DIY turun: 56 ibu
(2011), 40 ibu (2012), 26 ibu (sp 30 Sept 2013).
•
Di NTT turun: 252 ibu (2010), 208 ibu (2011), 172
ibu (2012), 98 (sp Juni 2013).
Siklus Surveilans Respons
Deteksi Kasus Registrasi Konfirmasi Kasus Pelaporan Analisis dan Interpretasi kasus Respons Segera Respons Terencana Feedback BULETIN EPIDEMIOLOGI BULETIN EPIDEMIOLOGIRekomendasi Kebijakan
1. Untuk mengurangi kematian ibu dan bayi diperlukan prinsip
surveilans respons untuk memberi adrenalin pada para pemangku kepentingan sampai masyarakat umum.
2. Prinsip surveilans respons merupakan sebuah siklus yang berputar terus menerus, sehingga kalau ada masalah segera bisa diketahui dan ditindaklanjuti segera.
3. AMP untuk kematian ibu dan bayi merupakan bagian dari
surveilans respons yaitu pada “Analisis dan Interpretasi Kasus”. 4. Rekomendasi AMP dipergunakan semaksimal mungkin untuk
melakukan respon segera atau respon terencana.
5. Pemakaian surveilans respons harus dibarengi dengan penguatan sistem informasi dan komunikasi di suatu wilayah.
4
PENYUSUNAN MANUAL RUJUKAN
MATERNAL NEONATAL
DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
(LOKAL SPESIFIK)
Mengapa Pelaksanaan Sistem Rujukan
Belum Maksimal?
•
Pedoman Sistem Rujukan M & N di Kab/Kota
telah ada (nas), belum menjawab kebutuhan
masing-masing daerah .
•
Tata hubungan kerja antar pelaku (Puskesmas,
RSUD, RS Swasta, RS Top Referal) belum terpola
dg jelas.
•
Sistem pembiayaan, sistem informasi/komunikasi,
dan sistem transportasi tidak terkoneksi baik
dengan program & klinis, masing-masing
Pengalaman
•
Mengkaitkan berbagai sistem dalam sebuah
manual rujukan (MR) memudahkan para
pengelola dan pelaksana.
•
DIY dan NTT telah mengembangkan MR MN
difasilitasi FK-UGM, Kemenkes (Direktorat Gizi
KIA), & AIPMNH (NTT).
•
Tersusun dan diterapkan MR MN di 5 kab/kota
Prinsip Utama MR MN
• Mengurangi kepanikan dan kegaduhan yang tidak perlu dg menyiapkan rujukan terencana (pre-emptive strategy)
• Persalinan emergency harus ada alur yang jelas
• Bertumpu pada proses pelayanan KIA yang menggunakan
continuum of care dengan sumber dana & transportasi yg jelas
• Saryankes menjadi 3 jenis: RS PONEK 24 jam, Puskesmas PONED dan sarana pelayanan kesehatan lainnya
• Harus ada RS PONEK 24 jam dengan hotline 24 jam • Ada hotline di Dinas Kesehatan 24 jam
• Memperhatikan ibu-ibu Resti saat ANC dan saat persalinan • Menekankan pada koordinasi antar lembaga dan pelaku