• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAM dan keudalatan dan negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAM dan keudalatan dan negara"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Hak Azasi Manusia dan Kedaulatan Negara.

“Kedaulatan negara” adalah sebuah konsep yang intinya bermakna identitas legal sebuah negara di dalam hukum internasional. Ide ini merupakan produk dari konsep “Westphalian” mengenai kedaulatan negara yang dikembangkan di era Eropa modern selama beberapa ratus tahun terakhir. Konsep inilah yang menciptakan tatanan dan stabilitas di dalam hubungan internasional karena negara-negara berdaulat, di bawah sistem Westphalian, dipandang setara, tanpa memandang ukuran atau kekayaan yang berbeda-beda satu sama lain. Prinsip kedaulatan yang setara dari semua negara adalah salah satu prinsip dasar di dalam Piagam PBB (perjanjian yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 1945). Sebuah negara berdaulat memiliki yurisdiksi atau kontrol penuh atas wilayah kekuasaannya. Di bawah sistem kedaulatan negara, negara-negara lain tidak semestinya melakukan intervensi di dalam urusan internal dari negara lain. Kedaulatan negara, dalam arti yang paling sederhana sedang didefnisikan ulang oleh globalisasi dan kerjasama internasional. Apa yang disepakati melalui perjanjian Westphalia 1648, yang meletakkan dasar-dasar masyarakat internasional modern, degan mendasarnya pada kedaulatan negara-negara, mulai tereduksi oleh instrumen lintas batas, seperti hak azasi manusia. Begitu dengan piagam PBB yang mengatur tentang prinsip kedaulatan negara seperti pasal 2 (1), pasal 2 (4) dan pasal 2 (7), telah mulai ditafsirkan dengan tidak rigid. Komitmen atas perlindungan Hak Azasi Manusia telah menjadi intrumen yang melampaui batas teritorial. Arguman didasarkan bahwa kewenangan negara atas penduduknya harus dibatasi. Menurut sebahagian pihak pembatasan ini bukan pemangkasan terhadap kedaulatan negara, tapi lebih pada pencegahan dan upaya untuk menumbuhkan kesadaran dalam pihak internasional untuk meningkatkan kerjasamanya dalam hal perlindungan dan penghormatan hak-hak azasi manusia.

Intervensi kemanusiaan, pelanggaran kedaulatan negara ?

Intervensi kemanusiaan adalah salah satu alasan yang biasa digunakan oleh negara-negara dan komunitas internasional dalam upaya menegakkan hak-hak azasi manusia. Dalam pelaksanaan nya kemudian menimbulkan berbagai perdebatan, apakah itu intervensi melanggara kedaulatan? Atau apakah intervensi itu harus dilakukan dengan seizin negara yang bersangkutan? Atau apakah itu telah melanggar prinsip non-intervenso yang menurut sebagian pendapat ahli telah sampai pada peremptory norm. Ketika sebuah prinsip dalam hukum internasional telah mencapai derajat ini, maka prinsip tersebut tidak dapat dikecualikan dalam kondisi dan keadaan bagaimanapun. Walau pun penentuan Jus Cogens dalam hukum internasional juga masih mengalami perdebatan.

(2)

hukum internasional, dalam hal ini hak azasi manusia, maka sebenarnya kedaulatan negara itu diperoleh dari individu yang mendelegasikan kewenangannya kepada negara. Saat hak-hak azasinya telah dilanggar maka para individu-individu tersebut dapat meminta bantuan kepada pihak lain untuk membantu mencegah dan memulihkan hak-hak mereka. Pada tingkat inilah intervensi kemanusiaan kemudian muncul dan kewajiban negara untuk melakukan kerjasama untuk saling menghormati, melindungi dan memenuhi hak azasi manusia individu-individu yang telah memberi kewenangannya.

Selain itu, ada juga beberapa pihak yang menerjemahkan bahwa “intervensi kemanusiaan” tidak merupakan sebuah intervensi dana melanggar prinsip dasar PBB pasal 2 (1), (4) dan (7). Pasal tersebut bukanlah sebuah pelarangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggara territorial integrity, political independence, dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB. Kesatuan wilayah yang dimaksudkan adalah apabila dalam intervensi, sebuah negara telah kehilangan wilayahnya secara permanen. Sedangkan intervensi kemanusiaan, tidak dalam tujuan itu, tindakan ini dilakukan hanya untuk memulihkan hak azasi manusia. Intervensi kemanusiaan juga tidak melanggar kebebasan politik sebuah negara. Individual dan negara tidak dirampas kebebasan politiknya lewat intervensi ini.

Responsibility to protect ; sovereignty as responsibility

Negara-negara tidak punya satu kesepakatan tentang intervensi, negara-negara terpecah menjadi dua dalam perdebatan tentang perlu atay tidaknya melakukan intervensi. Pandangan pertama adalah yang berpendapat bahwa menjadi kebutuhan untuk melakukan intervensi jika negara-negara mengalami krisis kemanusiaan (intervensi kemanusiaan). Sedangkan pendapat yang lain adalah yang berpegang teguh pada state sovereignty tradisonal ala perjanjian westphalian.

Ide mengenai “Responsibility to Protect” pada awalnya berkembang dari bidang kerja yang digeluti oleh Francis Deng – seorang mantan diplomat asal Sudan yang menjadi Perwakilan Khusus PBB untuk Masalah Pengungsi Internal (Internally Displaced Persons/IDPs) selama dekade 1990-an – dan juga sejumlah ahli lainnya yang berkecimpung dalam bidang yang sama. Deng dan para ahli lainnya itu berpendapat bahwa ide mengenai „kedaulatan negara‟ harus didasarkan bukan pada hak dari setiap negara untuk melakukan apa yang dikehendakinya tanpa ada campur tangan internasional, tetapi bahwa kedaulatan negara harus diasaskan pada perlindungan terhadap rakyatnya yang tinggal di wilayah tersebut. Secara sederhana, kedaulatan negara harus dibangun di atas konsep “kedaulatan sebagai tanggung jawab (sovereignty as responsibility)‟.

(3)

mendukung intervensi kemanusiaan dan mereka yang mendukung pemahaman secara tradisional mengenai kedaulatan negara. Pada intinya, Komisi ini dibentuk di atas hasil pemikiran Deng yang berpendapat bahwa negara tidak semestinya mengambil keuntungan dari hak dan kewenangan yang terkandung di dalam kedaulatannya, tetapi negara seharusnya menerima tanggung jawab untuk melindungi rakyat yang tinggal di dalam batas-batas wilayahnya.

Instrument “responsibility to protect” adalah sebuah prinsip dalam hubungan internasional yang bertujuan untuk mencegah pelanggaran HAM berat, seperti kejahatan perang, pemusnahan massal, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. Prinsip ini menyatakan bahwa komunitas internasional mempunyai tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam memenuhi tugasnya tersebut. Jika negara tertentu tidak mampu melaksanakan itu dan berpotensi tidak mencegah itu. Maka komunitas internasional bertanggung jawab untuk melakukan intervensi dalam rangka melindungi masyarakat. Prinsip ini telah didukung oleh komunitas internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia (KTT) PBB tahun 2005. Pada KTT tersebut, negara-negara di dunia berjanji untuk menjunjung prinsip “Responsibility to Protect” agar dunia tidak pernah lagi menyaksikan tragedi kemanusiaan.

Ada tiga pilar untuk menerapkan “Responsibility to Protect”. Setiap pilar adalah penting dan ketiganya dirancang secara berkesinambungan satu sama lain untuk mencegah kejahatan kemanusiaan. Ketiga pilar tersebut yaitu:

1. Tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnahan massal (genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut.

2. Komitmen komunitas internasional untuk membantu negara-negara menjalankan tanggung jawabnya itu.

3. Tanggung jawab setiap negara anggota PBB untuk merespon secara kolektif, tepat waktu dan tegas ketika suatu negara gagal memberikan perlindungan yang dimaksud.

Beberapa tahun kemudian, banyak masyarakat dan organisasi dari berbagai penjuru dunia mendukung ide tentang “Responsibility to Protect” ini. Sebagai contoh, sejumlah komitmen telah dinyatakan oleh organisasi-organisasi regional untuk melindungi rakyat di negara mereka. Piagam Uni Afrika (African Union‟s Charter) tahun 2002, contohnya, mencantumkan pasal tentang intervensi ke dalam wilayah negara anggotanya ketika terjadi kejahatan perang, pemusnahan massal atau kejahatan terhadap kemanusiaan di sana. Sebagai tambahan, pada tahun 2007, Komisi Afrika atas Hak-hak Manusia dan Masyarakat (African Commission on Human dan Peoples‟ Rights) mengadopsi sebuah resolusi tentang penguatan terhadap prinsip “Responsibility to Protect” di Afrika.

(4)

Referensi

Dokumen terkait

Rasa kompeten, etos kerja dan semangat belajar inovatif, akan mempengaruhi kualitas pengembangan kerja sama kelompok secara positif; dan pengaruhnya akan

Acara ini dimaksudkan untuk memberikan pema- haman kepada anak-anak binaan Tangan Pengharapan tentang pentingnya mem- perhatikan pergaulan serta menjaga dan

Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas 4 SD menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan media

Setelah berhasil menemukan informasi yang sesuai dengan kebutuhan, Anda membandingkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada untuk menentukan nilai tambah

Untuk memudahkan Anda dalam memahami uraian materi wujud akulturasi Kebudayaan Indonesia dengan Kebudayaan India, maka simaklah ikhtisar dari wujud akulturisasi tersebut seperti

Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan media atau sarana yang diberikan oleh Negara untuk pergantian pemegang kekuasaan baik dieksekutif maupun

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau