• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSATAKA. dalam diri seseorang untuk bertindak. Sedarmayanti (2007) mendefinisikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSATAKA. dalam diri seseorang untuk bertindak. Sedarmayanti (2007) mendefinisikan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSATAKA 2.1 Motivasi Kerja

Menurut Fuad (2004), motivasi adalah pendorong (penggerak) yang ada dalam diri seseorang untuk bertindak. Sedarmayanti (2007) mendefinisikan motivasi sebagai keseluruhan proses pemberian dorongan kepada bawahannya, sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasional dengan efektif dan efisien. Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seorang agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan kerja.

Rivai (2003) menyatakan bahwa, motivasi dapat dikatakan sebagai kemauan seseorang untuk berusaha mencapai tujuan yang ditentukan, sehingga setiap karyawan memiliki kepuasan dalam bekerja yang tentunya didasari atas dorongan yang kuat baik internal maupun eksternal pada diri demi tercapainya motivasi kerja. Lebih lanjut dinyatakan bahwa karyawan yang memiliki motivasi kerja dicirikan oleh hal-hal berikut.

1. Cenderung bertanggung jawab.

2. Senang membahas kasus yang menantang. 3. Menginginkan prestasi yang lebih baik. 4. Suka memecahkan masalah.

5. Senang menerima umpan balik atas hasil karyanya. 6. Senang berkompetisi untuk mencapai hasil yang optimal.

(2)

7. Melakukan segala sesuatu dengan cara yang lebih baik.

Delfgauw dan Robert (2009) menyatakan bahwa para karyawan yang memiliki motivasi adalah mereka yang bersemangat dalam melakukan pekerjaan demi kepentingan perusahaan dan selalu mengacu pada visi dan misi yang sudah dibentuk, sehingga timbul keselarasan diantara keduanya.

Kreitner dan Kinicki (2004) mengasumsikan bahwa motivasi mengandung proses psikologis yang menyebabkan gairah dan ketekunan tindakan sukarela dari para karyawan yang diarahkan oleh suatu organisasional. Motivasi merupakan hasil kolaborasi antara karyawan yang berkomitmen penuh untuk tujuan suatu organisasional. Bull (2005) berpendapat bahwa, salah satu faktor kesuksesan motivasi karyawan adalah ketika karyawan mengalami keberhasilan dalam pekerjaan menantang mental untuk latihan keterampilan, karyawan akan mengalami kepuasan kerja. Eastman (2009) menemukan bahwa motivasi intrinsik untuk menghasilkan karya kreatif yang dapat ditunjukan bagi perusahaan, sedangkan motivasi ekstrinsik sifatnya membantu memproduksi karya kreatif. Gagne (2009) mengemukakan bahwa, motivasi adalah kemauan keras yang ada dalam diri sendiri untuk bekerja lebih giat dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Robbins (1996) mengatakan bahwa motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual. Ali dan Ahmed (2009) menegaskan bahwa, ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan motivasi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa jika

(3)

karyawan merasa puas, maka akan ada perubahan positif pada motivasi kerja karyawan. Ada beberapa indikator motivasi yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Maslow (1950) dalam Susanty dan Baskoro (2012) adalah sebagai berikut.

1. kebutuhan akan aktualisasi diri adalah kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri dalam rangka mencapai kinerja secara optimal

2. kebutuhan akan harga diri adalah kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain dalam lingkungan kerjanya. Situasi seperti ini akan mendukung orang tersebut untuk bekerja lebih baik

3. kebutuhan sosial adalah kebutuhan akan rasa memiliki untuk diterima dalam kelompok serta kebutuhan untuk berinteraksi dalam melakukan pekerjaan

4. kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan untuk mendapatkan jaminan dan rasa aman tenteram terlepas dari bahaya pisik serta terbebas dari rasa ketakutan kehilangan pekerjaan serta mendapatkan ancaman untuk masa depannya.

2.1.1 Teori Motivasi Kerja

Teori Hirarki Kebutuhan Maslow

Teori hirarki kebutuhan yang dikembangkan oleh Maslow dalam buku Robbins (1996) mengatakan bahwa didalam semua manusia ada suatu jenjang kelima kebutuhan manusia seperti kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, aktualisasi diri dan tiap kebutuhan secara berurutan dipenuhi,

(4)

kebutuhan berikutnya menjadi dominan. Kelima kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faali (fisiologis): antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), dan kebutuhan ragawi lainnya

2. Keamanan: antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional

3. Sosial: mencakup kasih sayang, rasa dimiliki dan persahabatan

4. Penghargaan: Mencakup faktor rasa hormat internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi dan faktor rasa hormat eksternal seperti misalnya status, pengakuan, dan perhatian.

5. Aktualisasi diri: Dorongan untuk “menjadi apa yang seseorang mampu menjadi” mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya, dan pemenuhan diri.

Dari titik pandang motivasi teori ini mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang pernah dipenuhi secara lengkap, suatu kebutuhan yang dipuaskan secara cukup banyak sudah dapat memotivasi seseorang. Teori ini mengatakan jika ingin memotivasi seseorang, perlu memahami sedang berada pada anak tangga manakah karyawan tersebut dan menfokuskan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itu atau kebutuhan diatas tingkat yang dapat ditunjukan pada gambar 2.1 sebagai berikut.

(5)

Gambar 2.1 Hirarki Kebutuhan dari Maslow

Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu menjadi dua bagian sebagai urutan order tinggi yakni kebutuhan yang dipenuhi secara internal: kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri serta urutan rendah yakni kebutuhan-kebutuhan yang dipenuhi secara eksternal meliputi kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan keamanan. Teori ini yang digunakan oleh peneliti untuk variabel motivasi kerja karyawan karena sesuai dengan kondisi yang diharapkan oleh karyawan mengacu pada indikator yang digunakan dalam penelitian yakni kebutuhan akan aktualisasi diri untuk mengembangkan potensi diri dalam rangka mencapai kinerja secara optimal, kebutuhan akan harga diri untuk dihargai oleh orang lain dalam lingkungan kerjanya, kebutuhan sosial untuk diterima dalam kelompok serta kebutuhan interaksi dalam melakukan pekerjaan, dan kebutuhan rasa aman untuk mendapatkan jaminan rasa aman terlepas dari bahaya pisik serta terbebas dari rasa ketakutan kehilangan pekerjaan atau mendapat ancaman untuk masa depan.

(6)

Teori X dan Y McGregor

Douglas Mc-Gregor dalam Robbins (1996) mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia: secara dasar satu negatif, yang ditandai sebagai Teori X, dan yang lain pada dasarnya positif, yang ditandai dengan Teori Y. Mc-Gregor berpandangan bahwa Teori X adalah pengandaian bahwa karyawan-karyawan tidak menyukai kerja, malas, tidak menyukai tanggung jawab, dan harus dipaksa agar berprestasi. Teori Y adalah Pengandaian bahwa karyawan-karyawan menyukai kerja, kreatif, berusaha bertanggung jawab, dan dapat menjalankan pengarahan diri.

Menurut Teori X, keempat pengandaian yang dipegang para manajer adalah sebagai berikut:

1. Karyawan secara inheren (tertanam pada dirinya) tidak menyukai kerja, dan bilamana memungkinkan akan mencoba menghindarinya.

2. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.

3. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bilamana dimunkinkan.

4. Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua faktor lain yang dikaitkan dengan kerja dan akan memperagakan ambisi sedikit saja.

Kontras dengan pandangan negatif ini mengenai kodrat manusia, Mc-Gregor mendapat empat pengandaian positif, yang disebut dengan Teori Y adalah sebagai berikut:

(7)

1. Karyawan dapat memandang kerja sebagai sama wajarnya seperti istirahat atau bermain.

2. Orang-orang akan menjalankan pengarahan-diri dan pengawasan diri jika mereka janji terlibat pada sasaran-sasaran.

3. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima-baik, bahkan mengusahakan, dan tanggung jawab.

4. Kemampuan untuk mengambil kepuasan inovatif tersebar luas dalam populasi dan tidak perlu merupakan milik dari mereka yang berada dalam posisi manajemen.

Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)

Teori yang dikembangkannya dikenal dengan model dua faktor dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan hygiene factor atau pemeliharaan. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan hygiene factor atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupannya.

Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para

(8)

penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku. Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.

Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )

Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.

Teoti harapan berkata bahwa, jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

Kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para karyawan tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya daripada untuk memperolehnya.

(9)

2.2 Kepuasan Kerja

Robbins (2001) menyatakan kepuasan kerja adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi karyawan dalam memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2000). Menurut Koesmono (2006) kepuasan kerja dapat diartikan sebagai reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya. Fairbrother dan Warn (2003) menyatakan, kepuasan kerja sebagai persepsi reaksi emosional seseorang bahwa pekerjaan mereka memenuhi kebutuhan pribadi.

Menurut Pujilistiyani (2007), kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidak menyenangkanya pekerjaan mereka. Jurges (2003) berpendapat bahwa, kepuasan kerja adalah hasil yang penting dalam aktivitas pasar tenaga kerja. Motivator atau pemuas seperti pencapaian, tanggung jawab, dan dukungan organisasional mendukung kepuasan kerja, karena hal ini berhubungan erat dengan isi pekerjaan itu sendiri (Mullen et al., 2006).

Ada beberapa indikator kepuasan kerja yang mengacu pada penelitian yang dikemukakan oleh Feldmann dan Arnold (1985) dalam Aydogdu dan Asikgil (2011) mengemukakan ada lima indikator kepuasan kerja meliputi:

1. Pekerjaan itu sendiri adalah sebuah persepsi positif dan negatif dari karyawan terhadap pekerjaan yang diambil, apakah pekerjaan itu menarik atau membosankan, sulit atau mudah, dan menantang atau tidak menantang.

(10)

2. Gaji adalah rasa kepuasan yang dimiliki karyawan mengenai berapa besar gaji yang diterima, serta kecukupan penghasilan upah atau gaji.

3. Kondisi kerja adalah lingkungan fisik kerja, ventilasi, alat-alat, penerangan, ruangan atau fasilitas beserta rasa aman untuk menunjang melakukan pekerjaan.

4. Rekan kerja adalah suatu interaksi antara individu dan atasan, rekan-rekan baik hubungan kerja atau murni hubungan sosial ditempat kerja.

5. Promosi adalah suatu kemunkinan seseorang dapat berkembang melalui kenaikan jabatan.

2.2.1 Teori Kepuasan Kerja

Menurut Wexley dan Yukl (1977) teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu:

Discrepancy Theory yakni teori ini menerangkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang ada. Kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Teori yang kedua adalah Equity Theory yakni teori ini memiliki prinsip bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas,tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Menurut teori ini equity terdiri dari tiga elemen, yaitu :

1. Input, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan atas pekerjaannya

(11)

2. Out comes, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya

3. Comparison persons, yaitu kepada orang lain atau dengan siapa karyawan membandingkan rasio input – outcomes yang dimilikinya. Comparison Persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri diwaktu lampau.

Teori ini memiliki kesimpulan bahwa setiap karyawan akan membandingkan rasio input – out comes dirinya dengan rasio input – out comes orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka ia akan merasa cukup puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak. Dan teori yang ketiga adalah Two Factor Theory Prinsip dari teori ini adalah kepuasan dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan kerja terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu. Teori ini membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Kelompok satisfiers, yaitu situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari tanggung jawab, prestasi, penghargaan, promosi, dan pekerjaan itu sendiri. Kehadiran faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan.

2. Kelompok dissatisfiers, ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari kondisi kerja, gaji, penyelia, teman kerja,

(12)

kebijakan administrasi, dan keamanan. Perbaikan terhadap kondisi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja. Yang menarik dari teori ini justru terletak pada konsep dasar tentang pemisahan kepuasan dan ketidakpuasan kerja, karena dianggap kontroversial.

2.3 Dukungan Organisasional

Lam dan Zang (2003) mendefinisikan dukungan organisasional adalah salah satu konsep organisasi yang paling penting untuk menjaga karyawan dalam organisasi, karena dukungan organisasional dikenal sebagai faktor kunci dalam meningkatkan motivasi karyawan. Baranik et al. (2010) mengatakan bahwa, dukungan organisasional dapat merangsang motivasi dan menyediakan sarana bagi pemuasan berbagai kebutuhan para pekerja, maka dukungan organisasional bagi motivasi kerja diharapkan cukup besar dalam keinginan yang wajar dari setiap karyawan untuk meniti karir dengan sebaik-baiknya. Hal ini diimplementasikan dengan keinginan untuk dapat meraih jabatan yang setinggi-tingginya dalam strata kepegawaian yang ada, sebab masih banyak karyawan yang berasumsi bahwa dengan jabatan yang didapat, rejeki juga akan lebih mudah diperoleh. Peluang jabatan tersebut tercipta untuk meningkatkan motivasi dari karyawan yang mendapat dukungan penuh dari organisasional terkait.

Aube et al. (2007) mendefinisikan dukungan organisasional meliputi persepsi karyawan tentang perhatian organisasi terhadap kesejahteraan mereka dan kontribusi mereka. Dukungan organisasional meliputi sejauh mana karyawan merasa bahwa organisasi bersedia untuk cukup mengimbangi mereka dengan

(13)

pertukaran usaha mereka, membantu mereka ketika membutuhkan bantuan, membuat pekerjaan menjadi menarik, dan menyediakan kondisi kerja yang memadai. Dukungan organisasional dibagi menjadi dua yakni dukungan organisasional internal dan eksternal. Dukungan organisasi internal adalah suatu keinginan internal dalam diri para karyawan untuk mengembangkan diri dan mendukung organisasi agar berkembang dan mencapai tujuan bersama yang diinginkan organisasi sehingga terjadi sinergi didalam organisasi sebagai reaksi yang positif dari karyawan. Dukungan organisasi eksternal adalah persepsi karyawan antara besarnya dukungan organisasi yang memberikan kontribusi dan perhatian tentang kesejahteraan mereka (Soekiman, 2007).

Ada banyak cara yang diterapkan organisasional untuk mendorong motivasi di antara karyawan. Teori dukungan organisasional menyatakan bahwa perlakuan yang menguntungkan mempengaruhi persepsi dalam memotivasi karyawan. Temuan empiris menunjukkan bahwa perlakuan yang adil, dukungan pengawasan, serta imbalan dan kondisi kerja yang menguntungkan berpengaruh dalam kepuasan karyawan untuk meningkatkan motivasi (Rhoades et al., 2002).

Rosen et al. (2006) menyatakan bahwa dukungan organisasional adalah pandangan karyawan tentang karir mereka yang dilihat dari dua sisi yaitu organisasi tempat bekerja dan hubungan antar individu dalam organisasional. Dukungan organisasional juga terkait bagaimana organisasional menghargai kontribusi karyawan dan peduli tentang mereka (Allen dan Brady, 2008). Yanez et al. (2011) menjelaskan dukungan organisasional sebagai persepsi global diantara karyawan terhadap cara organisasional untuk menilai kontribusi

(14)

karyawan dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Persepsi ini memiliki kepentingan tertentu, seperti meningkatkan motivasi karyawan untuk organisasional, menyebabkan konsepsi bahwa keuntungan dan kerugian organisasional adalah tanggung jawab karyawan yang berakibat karyawan akan memberikan nilai lebih bagi organisasional. Pathak (2012) membahas proses psikologis yang mendasari konsekuensi dukungan organisasional. Pertama, atas dasar norma timbal balik, dukungan organisasional menghasilkan kewajiban untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasional dan membantu organisasional untuk mencapai tujuannya. Kedua, perhatian, persetujuan, dan rasa hormat, yang berarti dukungan organisasional harus memenuhi kebutuhan sosio emosional. Ketiga, dukungan organisasional dapat memperkuat keyakinan karyawan dalam bekerja. Menurut Chiang dan Hsieh (2012) ada lima indikator untuk mengukur variabel dukungan organisasional:

1. Kepedulian terhadap pendapat karyawan 2. Kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan 3. Pengakuan diri karyawan

4. Bersedia membantu dalam permasalahan yang dihadapi karyawan. 2.4 Kepemimpinan

Menurut Yukl (2010) kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Robbins (2003) kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu

(15)

kelompok ke arah tercapainya suatu tujuan. Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasional, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok, selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasionalan, dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasional (Rivai, 2003). Demikian halnya Locander et al. (2002) menjelaskan bahwa kepemimpinan mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang dipimpin tapi hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat saling menguntungkan kedua belah pihak. Lok dan Crawford (2001) memandang kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas suatu organisasional dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan.

Menurut Siagian (1995) perilaku kepemimpinan memiliki kecenderungan pada dua hal yaitu konsiderasi atau hubungan dengan bawahan dan struktur inisiasi atau hasil yang dicapai. Kecenderungan kepemimpinan menggambarkan hubungan yang akrab dengan bawahan misalnya bersikap ramah, membantu dan membela kepentingan bawahan, bersedia menerima konsultasi bawahan dan memberikan kesejahteraan.

2.4.1 Gaya Kepemimpinan Transformasional

Awalnya, konsep kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978 yang menyatakan bahwa pemimpin transformasional meningkatkan kebutuhan dan motivasi bawahan dan mempromosikan perubahan

(16)

dalam individual, grup, dan organisasi. Bass (1997) mendefinisi bahwa pemimpin transformasional adalah seseorang yang meningkatkan kepercayaan diri individual maupun grup, membangkitkan kesadaran dan ketertarikan dalam grup dan organisasi, dan mencoba untuk menggerakkan perhatian bawahan untuk pencapaian dan pengembangan eksistensi. Bass dan Avolio (1993) menyatakan bahwa pemimpin transformasional adalah membimbing atau memotivasi pengikutnya kearah tujuan yang telah ditentukan dengan cara menjelaskan ketentuan-ketentuan tentang peran dan tugas.

Pada awalnya kepemimpinan transformasional ditunjukkan melalui tiga perilaku seperti karisma, konsiderasi individual, dan stimulasi intelektual. Namun pada perkembangannya, perilaku karisma kemudian dibagi menjadi dua, yaitu idealisasi pengaruh dan motivasi inspirasional (Avolio et al., 1999). Pada dasarnya karismatik dan motivasi inspirasional tidak dapat dibedakan secara empiris tetapi perbedaan konsep antara kedua perilaku tersebut membuat kedua faktor di atas dapat dipandang sebagai dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, pada perkembangan berikutnya, kepemimpinan transformasional diuraikan dalam empat ciri utama, yaitu: idealisasi pengaruh, motivasi inspirasional, konsiderasi individual, dan stimulasi intelektual (Bass dan Avolio, 1993; Bass, 1997).

Adapun definisi rincian masing-masing ciri utama tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengaruh Idealisme (Idealized Influence) adalah perilaku yang menghasilkan standar perilaku yang tinggi, memberikan wawasan dan

(17)

kesadaran akan visi, menunjukkan keyakinan, menimbulkan rasa hormat, bangga dan percaya, menumbuhkan komitmen dan unjuk kerja melebihi ekspektasi, dan menegakkan perilaku moral yang etis. Pemimpin yang memiliki idealisasi pengaruh akan menunjukkan perilaku antara lain: mengembangkan kepercayaan bawahan kepada atasan, membuat bawahan berusaha meniru perilaku dan mengidentifikasi diri dengan pemimpinnya, menginspirasikan bawahan untuk menerima nilai-nilai, norma-norma, dan prinsip-prinsip bersama, mengembangkan visi bersama, menginspirasikan bawahan untuk mewujudkan standar perilaku secara konsisten, mengembangkan budaya dan ideologi organisasi yang sejalan dengan masyarakat pada umumnya, dan menunjukkan rasa tanggung jawab social dan jiwa melayani yang sejati.

2. Motivasi Inspirasional (Inspirational Motivation) adalah sikap yang senantiasa menumbuhkan tantangan, mampu mencapai ekspektasi yang tinggi, mampu membangkitkan antusiasme dan motivasi orang lain, serta mendorong intuisi dan kebaikan pada diri orang lain. Pemimpin mampu membangkitkan semangat anggota tim melalui antusiasme dan optimisme. Pemimpin juga memanfaatkan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana. Pemimpin yang memiliki motivasi inspirasional mampu meningkatkan motivasi dan antusiasme bawahan, membangun kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai sasaran kelompok. Bass (1997) menyatakan bahwa pemimpin

(18)

yang memiliki motivasi inspirasional akan menunjukkan perilaku membangkitkan gairah bawahan untuk mencapai prestasi terbaik dalam performasi dan dalam pengembangan dirinya, menginspirasikan bawahan untuk mencapai masa depan yang lebih baik, membimbing bawahan untuk mencapai masa depan yang lebih baik, membimbing bawahan mencapai sasaran melalui usaha, pengembangan diri, dan unjuk kerja maksimal, menginspirasikan bawahan untuk mengerahkan potensinya secara total, dan mendorong bawahan untuk bekerja lebih dari biasanya.

3. Konsiderasi Individual (Individualized Consideration) adalah perilaku yang selalu mendengarkan dengan penuh kepedulian dan memberikan perhatian khusus, dukungan, semangat, dan usaha pada kebutuhan prestasi dan pertumbuhan anggotanya. Pemimpin transformasional memiliki perhatian khusus terhadap kebutuhan individu dalam pencapaiannya dan pertumbuhan yang mereka harapkan dengan berperilaku sebagai pelatih atau mentor. Bawahan dan rekan kerja dikembangkan secara suksesif dalam meningkatkan potensi yang mereka miliki. Konsiderasi ini sangat mempengaruhi kepuasan bawahan terhadap atasannya dan dapat meningkatkan produktivitas bawahan. Konsiderasi ini memunculkan antara lain dalam bentuk memperlakukan bawahan secara individu dan mengekspresikan penghargaan untuk setiap pekerjaan yang baik.

4. Stimulasi Intelektual (Intelectual Stimulation) adalah proses meningkatkan pemahaman dan merangsang timbulnya cara pandang baru dalam melihat

(19)

permasalahan, berpikir, dan berimajinasi, serta dalam menetapkan nilai-nilai kepercayaan. Dalam melakukan kontribusi intelektual melalui logika, analisa, dan rasionalitas, pemimpin menggunakan simbol sebagai media sederhana yang dapat diterima oleh pengikutnya. Melalui stimulasi intelektual pemimpin dapat merangsang tumbuhnya inovasi dan cara-cara baru dalam menyelesaikan suatu masalah. Melalui proses stimulasi ini akan terjadi peningkatan kemampuan bawahan dalam memahami dan memecahkan masalah, berpikir, dan berimajinasi, juga perubahan dalam nilai-nilai dan kepercayaan mereka. Perubahan ini bukan saja dapat dilihat secara langsung, tetapi juga perubahan jangka panjang yang merupakan lompatan kemampuan konseptual, pemahaman dan ketajaman dalam menilai dan memecahkan masalah.

Nguni (2005) mengemukakan bahwa, gaya kepemimpinan transformasional membuat peningkatan motivasi dari para pengikut melebihi harapan dan nilai yang dipertukarkan serta memotivasi dengan mengajak para pengikutnya untuk menginternalisasi dan mempioritaskan kepentingan bersama yang lebih besar diatas kepentingan pribadi. Rivai dan Mulyadi (2012) mengemukakan bahwa, pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dengan apa yang sesungguhnya diharapkan bawahan itu sendiri dengan mendorong bawahan mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan organisasional yang dibarengi dengan menaikan tingkat kebutuhan bawahan ketingkat yang lebih baik.

(20)

Menurut Penelitian Bass dan Avolio (1993) dalam Thomas dan Wahyu (2007) indikator gaya kepemimpinan transformasional sebagai berikut.

1. Pengaruh Individual adalah kemampuan untuk menggerakkan individu maupun kelompok untuk meningkatkan rasa percaya diri terhadap pencapaian misi mereka dan bukan untuk kepentingan individu.

2. Motivasi Inspiratif adalah pemimpin memberikan tantangan bagi karyawan dengan maksud menaikkan semangat dan harapan

3. Stimulasi Intelektual adalah pemimpin transformasional menciptakan pemikiran inovatif agar karyawan dapat termotivasi

4. Pertimbangan Individual adalah pemimpin memberikan pelayanan sebagai mentor bagi karyawannya.

Gaya kepemimpinan transformasional adalah gaya pemimpin yang secara langsung berpengaruh terhadap motivasi, budaya organisasional, iklim organisasional, dan membangun kapasitas untuk perubahan serta inovasi dari karakteristik pribadi (Damanpour dan Schneider, 2006). Melalui kepemimpinan transformasional para manajer percaya dapat membantu membangun motivasi yang kuat terhadap karyawan, dengan secara tidak langsung dapat memberikan kontribusi untuk iklim positif bagi inovasi organisasional dan selanjutnya mempengaruhi motivasi karyawan (Elenkov dan Manev, 2005). Studi yang dilakukan oleh Sarros et al. (2008) memberikan kontribusi untuk pengetahuan kepemimpinan dan perilaku organisasional dengan mengungkapkan sejauh mana gaya kepemimpinan transformasional dikaitkan dengan motivasi kerja melalui peran dari karyawan. Penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan

(21)

transformasional dikaitkan dengan motivasi kerja, terutama melalui proses kerja karyawan, dan pada tingkat ekspektasi motivasi yang tinggi untuk para pekerja.

2.4.2 Gaya Kepemimpinan Kharismatik

Kartono (2003) menyatakan bahwa, gaya kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Kepemimpinan kharismatik dianggap memiliki kekuatan supernatural power dan kemampuan-kemampuan yang spesial, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Maha Kuasa. Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar.

Gaya kepemimpinan karismatik berusaha mewujudkan atmosfer motivasi atas dasar komitmen dan identitas emosional pada visi, filosofi, dan gaya pimpinan dalam diri bawahannya (McLaurin dan Amri, 2008). Menurut Ruyatnasih (2013), gaya kepmimpinan karismatik adalah Kepemimpinan yang mana seorang pemimpinnya mempunyai kharisma yang tinggi dalam memimpin kelompoknya, sehingga para anggota atau bawahannya tidak terlalu susah untuk di atur. Menurut Ivancevich (2008) pemimpin karismatik dikelompokkan menjadi dua tipe yakni:

1. Karismatik visioner adalah pemimpin yang mengekpresikan tindakan melalui kemampuan komunikasi, mengaitkan para pengikut dengan target

(22)

dengan visi, misi, dan tujuan organisasi agar lebih mudah jika mereka merasa tidak puas atau tidak tertantang dengan keadaan pada saat ini.

2. Karismatik di masa krisis adalah tipe pemimpin yang menunjukkan pengaruhnya ketika sistem harus menghadapi situasi dimana pengetahuan, informasi, dan prosedur yang ada tidak mencukupi dan mengkomunikasikan dengan jelas tindakan apa yang harus dilakukan dan apa konsekuensi yang dihadapi.

2.4.3 Gaya Kepemimpinan Transaksional

Gaya kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan yang melakukan transaksi dengan cara memotivasi para pengikut dengan menyerukan kepentingan pribadi (Locander et al., 2002). Muhardi dan Siregar (2013) menyatakan kepemimpinan transaksional adalah model kepemimpinan dimana seorang pemimpin cenderung memberikan arahan kepada bawahan, serta memberi imbalan dan hukuman atas kinerja mereka serta menitik beratkan pada perilaku untuk memandu pengikut mereka ke arah tujuan yang ditetapkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas. Karaktersitik yang dapat dilihat dari kepemimpinan transaksional antara lain: imbalan berkelanjutan, manajemen berdasarkan pengecualian (aktif), manajemen berdasarkan pengecualian (pasif), (Robbins, 2008). Kepemimpinan transaksional lebih menekankan pada hubungan pemimpin dan bawahan, mereka lebih banyak memberikan perintah untuk diselesaikan oleh bawahannya. Piccolo and Judge (2004) mengemukakan tiga hal ciri yang tercermin dari kepemimpinan transaksional yakni:

(23)

1. Pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan memberikan apa yang akan mereka dapatkan apabila kinerjanya sesuai dengan harapan.

2. Pemimpin menukarkan usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan imbalan.

3. Pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan.

Menurut Robbins dan Judge (2008) kepemimpinan transformasional lebih unggul daripada transaksional dan karismatik, karena dapat menghasilkan tingkat upaya dan motivasi yang lebih tinggi bagi para bawahan yang bisa dicapai, dan mereka juga beranggapan bahwa gaya kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang dapat memberikan dukungan dan menginspirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasional, dan memiliki pengaruh yang luar biasa bagi para pengikutnya. Khuntia dan Suar (2004) menyatakan bahwa pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan transformasional memberikan pengaruhnya kepada para pengikut dengan melibatkan mereka untuk berpartisipasi dalam penentuan tujuan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, pemberian dukungan, dan pemantuan tugas yang diberikan.

Gambar

Gambar 2.1 Hirarki Kebutuhan dari Maslow

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut meliputi pencegahan pengguna dalam mengakses laman khusus, Internet Protocol (IP), alamat, ekstensi nama domain, penutupan laman dari laman server di mana

Bahan tak larut dalam etanol dalam satuan % fraksi massa b o adalah bobot kertas saring atau cawan gooch kosong, g b 1 adalah bobot contoh uji, g.. b 2 adalah bobot kertas

yang dihasilkan sebagai jenis utama apada areal perluasan di Bodogol masih sangat signifikan dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya yaitu sebesar 108.19% (NP). Untuk pola

Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pemberian glukosa secara intraperitoneal dengan dosis yang diprediksi dapat menyebabkan hiperglikemia pada hewan

Namun target-target ini hanya menyediakan gambaran yang terbatas tentang kualitas pertumbuhan dan pembangunan dan kita perlu memiliki pemahaman yang lebih rinci mengenai

2 Reformasi administrasi yang dilakukan Ditjen Pajak dengan pemanfaatan teknologi informasi mempermudah pelaporan SPT, sehingga mendorong Wajib Pajak untuk melapor sebelum

Pertama ialah pandangan yang menyokong kenyataan bahawa peranan kepemimpinan pengetua meningkatkan pencapaian akademik murid, kedua; keperluan pengetua melaksanakan

 Dengan mengamati nada nada yang digunakan dalam lagu yang disajikan, siswa mampu menentukan jenis tangga nada pada musik yang diperdengarkan secara jelas dan tepat.... 