IDENTIFIKASI MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC) DI SELAT KARIMATA
Samuel Sutanto Sidauruk 1, Mulyono R. Prabowo 2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
email: sam.sidauruk@gmail.com
ABSTRAK
Berdasarkan pemantauan citra satelit Himawari pada tanggal 9 Desember 2015 jam 17 UTC teridentifikasi pertumbuhan Mesoscale Convective Complex (MCC) di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat meluas hingga wilayah perairan Selat Karimata pada fase matang hingga punah. Data yang digunakan adalah data reanalisis ECMWF, data citra satelit Himawari, dan data estimasi curah hujan TRMM. Hasil analisa menggunakan program GrADS menunjukkan bahwa karakteristik pertumbuhan MCC di Selat Karimata bersifat nocturnal dan menyebabkan curah hujan lebih dari 160 mm di wilayah kejadian. Pola dinamika atmosfer menunjukkan adanya konvergensi di lapisan bawah, nilai kelembaban hudara yang tinggi, nilai kecepatan vertikal negatif dari permukaan sampai lapisan atas, dan nilai vortisitas maksimum pada saat fase matang. Terdapat perbedaan dengan konsep MCC di wilayah subtropis, dimana shearline berada di lapisan bawah, dan tidak terdapat low level jet di wialyah kejadian.
Kata kunci : Mesoscale Convective Complex, Selat Karimata, ECMWF, Himawari
ABSTRACT
Based on the monitoring satellite images of Himawari on December 9th 2015 17 hours UTC identified growth Mesoscale Convective Complex (MCC) in the region of Ketapang, West Kalimantan extends to the territorial waters of the Strait of Karimata at ripe stage to extinction. The data used is ECMWF reanalysis of data, satellite imagery data Himawari, data and TRMM rainfall estimates. Results of analysis using GrADS program shows that MCC growth characteristics in the Strait Karimata are nocturnal and cause precipitation of over 160 mm in the
incident. The pattern of atmospheric dynamics indicate a convergence in the bottom layer, hudara high humidity values, the value of the negative vertical velocity from the surface to the top layers, and the vorticity maximum value at the time ripe stage. There are differences with the concept of MCC in the subtropical regions, where shearline located in the bottom layer, and there are no low-level jet in area of events.
Keywords : Mesoscale Convective Complex, Karimata Strait, ECMWF, Himawari
1. PENDAHULUAN
Pada tahun 1980, Robert A. Maddox memperkenalkan konsep MCC menggunakan data tahun 1978 dari citra satelit IR1 3 jam-an
di Amerika Serikat bagian tengah.
Berdasarkan kajian tersebut, disebutkan bahwa MCC merupakan fenomena yang punya keunikan dibandingkan fenomena-fenomena cuaca skala meso yang lain, sehingga dibuatlah konsep MCC. Konsep tersebut menyebutkan bahwa MCC harus mempunyai perisai awan (suhu puncak awan IR1 ≤ -32 º C) yang terhubung hingga area ≥ 100.000 km² dan memiliki inti awan dingin (suhu puncak awan IR1 ≤ -52 º C) yang mencakup ≥ 50.000 km² dengan durasi aktif minimum 6 jam. Selain itu, inti awan harus
quasi circular (memiliki bentuk yang hampir
lingkaran) atau mempunyai tingkat
kelonjongan (eksentrisitas) ≥ 0,7 saat luasan areanya mencapai maksimum. (Maddox, 1980).
MCC mulai muncul pada wilayah baroklinik dengan nilai-nilai besar secara lokal dari geser angin vertikal di troposfer bawah dan Convective Avalaible Potential
Energy (CAPE). Selain itu, muncul juga
sebuah Low Level Jet (LLJ) dengan stabilitas yang rendah, suhu potensial ekuivalen tinggi, lapisan udara permukaan yang relatif dingin serta adveksi hangat disertai dengan veering lapisan troposfer bawah yang kuat melapisi lapisan dingin permukaan. Nilai kelembaban yang tinggi dan nilai minimum lokal untuk stabilitas udara, konvergensi lapisan rendah (low level convergence) yaitu pada ketinggian permukaan hingga 850 mb, divergensi lapisan atas (upper level divergence) yaitu pada ketinggian 200 mb dan vortisitas maksimum di dekat lapisan menengah yang terkait dengan palung gelombang pendek merupakan wilayah yang cocok untuk pembentukan MCC (Laing dan Fritcsh, 1999).
Gambar 1. Suhu puncak awan pada saat MCC fase matang di Selat Karimata
2. DATA DAN METODE 2.1 Lokasi Penelitian
Wilayah penelitian pada koordinat 10
LU – 50 LS dan 1030 BT – 1130 BT yang meliputi wilayah Ketapang, Bangka Belitung dan Selat Karimata bagian tengah
Gambar 2. Wilayah penelitian
2.2 Data
Pada penelitian ini, teknik
pengumpulan data yang digunakan penulis untuk data satelit adalah dengan mengunduh
data melalui ftp://satelit.bmkg.go.id/
menggunakan software FileZilla. Untuk pengumpulan data estimasi curah hujan satelit TRMM berupa akumulasi hujan tiap tiga jam pada tanggal 9 – 10 Desember 2015 dilakukan dengan masuk ke alamat website
http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=TRMM_3B42R T, setelah itu mengatur koordinat wilayah
data yang diperlukan dan melakukan
pengunduhan dengan pilihan
accumulated_precipitation.
Untuk pengumpulan data reanalisis Era Interim ECMWF tiap 6 jam dari tanggal 9 – 10 Desember 2015 dilakukan dengan
mengakses alamat web
http://apps.ecmwf.int/datasets/data/interim_f ull_daily/. Setelah itu memilih surface pada Type of level, lalu memilih tanggal dan waktu penelitian lalu memilih parameter yang akan diunduh yang meliputi “surface pressure, mean sea level pressure, 10 metre u wind component, 10 metre v wind component, 2 metre temperature, 2 metre dewpoint temperature”. Setelah itu mengatur koordinat wilayah data yang diinginkan dan memilih grid resolusi data reanalisis sebesar 0.1250 x 0.1250. Untuk pengambilan data reanalisis ketinggian selanjutnya hingga ketinggian 200 mb, maka dilakukan dengan memilih “pressure levels”, lalu memilih tanggal dan waktu penelitian. Setelah itu memilih parameter yang akan diunduh yang meliputi “temperature, vertical velocity,
relative humidity, u component of wind, v component of wind”. Setelah itu mengatur
koordinat wilayah data yang diinginkan dan memilih grid resolusi data reanalisis sebesar 0.125° x 0.125°.
2.3 Metode
Langkah – langkah yang dilakukan untuk mengidentifikasi pola MCC melalui citra satelit Himawarisebagai berikut:
a. Data citra inframerah untuk suhu puncak awan di buka di software GrADS
b. Beri tanda atau pewarnaan yang berbeda untuk suhu puncak awan ≤ -52 0C
c. Lihat apakah wilayah dengan suhu puncak awan ≤ -52 0C berbentuk hampir bulat
d. Jika pola bebentuk hampir bulat, maka ukur eksentrisitas seperti pada gambar 3.1
e. Jika eksentrisitas bernilai ≥ 0,7 maka ukur diameter atau jari-jari wilayah tersebut
f. Tentukan Luas wilayah tersebut, jika luasnya memenuhi kriteria dari Maddox (1980) pada tabel 2.1, maka dapat disebut dengan pola MCC
Langkah-langkah diatas juga untuk
menetukan apakah MCC masuk pada fase dewasa (mature) atau belum. Selain itu, berdasarkan suhu puncak awan, bentuk dan luasan dari citra satelit Himawari kanal inframerah dapat dilakukan analisa untuk melihat waktu fase muncul (inisialisasi), matang (mature), dan punah (decay) dari pola MC tersebut. Selanjutnya dilakukan analisa
data presipitasi wilayah dimana pola MCC tersebut muncul dengan menggunakan data hujan estimasi akumulasi tiap 3 jam dari TRMM untuk melihat jumlah presipitasi dan volume presipitasi yang terdapat di wilayah kemunculan pola MCC tersebut. Analisis ini untuk mengetahui presipitasi yang terjadi akibat pola MCC tersebut.
Setelah itu, dilakukan analisis berbagai parameter meteorologis dari data reanalisis Era Interim ECMWF. Dari analisa ini diharapkan dapat diketahui pola dinamika atmosfer seperti apa yang terjadi sebelum,
saat, dan setelah pola MCC ini terjadi.
3. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan gambar 3, terlihat fase inisiasi MCC muncul di sekitar wilayah Ketapang tanggal 9 Desember 2015 jam 17 UTC dengan ditandai nilai suhu inframerah yang mencapai -52 °C yang berarti muncul sel-sel awan konvektif (Cumulonimbus) dan meluas hingga Selat Karimata pada jam 19 UTC. Pada jam 20 UTC, blok awan sudah memenuhi syarat sebagai MCC pada fase matang (mature) berdasarkan ukuran, suhu puncak awan, dan bentuk perisai awan
dingin.
Gambar 3. Suhu puncak awan kanal IR tanggal 9 Desember 2015 jam 17 UTC hingga tanggal 10 Desember 2015 jam 01 UTC
Gambar 4. Curah hujan estimasi TRMM akumulasi 3 jam (mm) dari tanggal 9 Desember 2015 jam 12 UTC – 10 Desember 2015 jam 03 UTC
Hasil analisis menggunakan data estimasi curah hujan TRMM akumulasi per 3
jam menunjukkan bahwa MCC memberikan dampak presipitasi secara spasial di wilayah
kejadian. Pada fase muncul, hujan terjadi di wilayah daratan hingga wilayah pesisir Kalimantan Barat dengan akumulasi curah hujan mencapai 80 mm. Pada fase matang, sebaran hujan meluas hingga Selat Karimata dengan curah hujan mencapai lebih dari 160 mm. Pada fase punah, curah hujan mencapai 180 mm tetapi formasi awan tidak memenuhi syarat sebagai MCC.
Gambar 5. Streamline pada fase muncul tanggal 9 Desember 2015 jam 12 UTC
Gambar 5. Streamline pada fase matang tanggal 9 Desember 2015 jam 20 UTC
Gambar 7. Streamline pada fase punah tanggal 10 Desember 2015 jam 00 UTC
Hasil analisa streamline per lapisan
menunjukkan adanya pola konvergensi di lapisan bawah pada saat kejadian MCC.
Pada gambar 8, terlihat untuk area I yaitu wilayah fase muncul MCC pada tanggal 9 Desember 2015 jam 17 UTC memiliki kondisi kelembaban udara yang sangat lembab dari lapisan permukaan hingga 800 mb (≥ 80%), pada lapisan 800 mb hingga 600 mb cukup lembab (60 – 80%). Terdapat nilai
divergensi negatif di lapisan bawah
menunjukkan terdapat konvergensi angin lapisan bawah (low level convergence). Untuk nilai kecepatan vertikal pada fase ini
terlihat bernilai negatif dari lapisan
permukaan hingga atas menunjukkan
terdapat gerakan udara ke atas dari lapisan bawah hingga atas dengan nilai terbesar pada lapisan 800 mb hingga 700 mb. Vortisitas
bernilai negatif menujukkan terdapat gerakan siklonik udara dari lapisan bawah hingga atas. Secara umum semua nilai parameter
tersebut menunjukkan kondisi awal yang mendukung pertumbuhan sel-sel awan konvektif pembentuk MCC.
Untuk area II yaitu wilayah fase matang MCC pada tanggal 9 Desember 2015 jam 20 UTC memiliki kondisi kelembaban udara yang sangat lembab dari lapisan permukaan hingga 700 mb (≥ 80%), pada lapisan 700 mb hingga 500 mb cukup lembab (60 - 80 %).Terdapat nilai divergensi negatif di lapisan bawah menunjukkan terdapat konvergensi angin lapisan bawah (low level convergence). Untuk nilai kecepatan vertikal pada fase ini terlihat bernilai negatif dari lapisan permukaan hingga atas menunjukkan terdapat gerakan udara ke atas dari lapisan bawah hingga atas dengan nilai terbesar pada lapisan 800 mb hingga 700 mb. Vortisitas bernilai negatif menujukkan terdapat gerakan siklonik udara dari lapisan bawah hingga atas. Dibandingkan dengan kondisi pada fase muncul, kecepatan vertikal pada fase matang terlihat lebih kuat. Secara umum semua nilai parameter tersebut menunjukkan kondisi yang mendukung perkembangan MCC di Selat Karimata.
Untuk area III yaitu wilayah fase punah MCC pada tanggal 10 Desember 2015 jam 01 UTC memiliki kondisi kelembaban udara yang masih sangat lembab dari lapisan permukaan hingga 700 mb (≥ 80%), pada lapisan 700 mb hingga 500 mb cukup lembab (60 - 80 %). Terdapat nilai divergensi negatif
di lapisan bawah menunjukkan terdapat konvergensi angin lapisan bawah (low level
convergence). Untuk nilai kecepatan vertikal
pada fase ini terlihat bernilai positif di lapisan permukaan, serta nilai negatif dari lapisan 900 mb hingga atas namun tidak sekuat pada
fase-fase sebelumnya, kondisi ini
menunjukkan bahwa MCC sulit bertahan. Vortisitas bernilai negatif menujukkan terdapat gerakan siklonik udara dari lapisan bawah hingga atas. Secara umum semua nilai parameter tersebut menunjukkan pelemahan, sehingga MCC akan punah.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :
a. Kejadian MCC yang terjadi di Selat
Karimata bersifat nocturnal, dimulai dengan fase muncul di wilayah Ketapang pada tanggal 9 Desember 2015 jam 17 UTC, fase matang di wilayah Selat Karimata pada tanggal 9 Desember 2015 jam 20 UTC, dan fase punah di wialyah Selat Karimata pada tanggal 10 Desember 2015 jam 01 UTC.
b. Dari hasil analisa estimasi curah
hujan menggunakan data akumulasi TRMM per 3 jam menunjukkan bahwa MCC memberikan dampak presipitasi berupa nilai akumulasi curah hujan lebih dari 160 mm pada saat fase matang di Selat Karimata.
c. Pola dinamika atmosfer menunjukkan beberapa kondisi yang mendukung untuk pertumbuhan MCC di wilayah Selat Karimata tanggal 9 – 10 Desember 2015, antara lain terdapat konvergensi di lapisan bawah, kelembaban udara yang tinggi, nilai kecepatan vertikal secara umum bernilai negatif dari permukaan hingga lapisan atas, nilai vortisitas maksimum pada saat fase matang, dan shearline di lapisan bawah.
d. Ditemukan kemiripan pola dinamika
atmosfer antara kejadian MCC di Selat Karimata dengan penelitian sebelumnya di Selat Makassar (Pandjaitan, 2015), yaitu terdapat pola shearline di lapisan bawah dan tidak ditemukan low level jet di wilayah kejadian MCC. Pola tersebut berbeda dengan konsep MCC di wilayah subtropis dimana shearline ditemukan di lapisan menengah dan low level jet terdapat di wilayah kejadian MCC.
5. Daftar Pustaka
Durkee, J. D. dan Mote, T. L. 2009. A
Climatology of Warm Season Mesoscale Convective Complexes in Subtropical South America. Int J.
Clim., 12 pp.
Fritsch, J.M., Kane, R.J. dan Chelius, C.R.
1986. The Contribution of
Mesoscale Convective Weather System to the Warm Season Precipitation in the United States. J.
Climate Appl. Meteor., 25, 1333 – 1345.
Holton, J. R. 2004. An Introduction to
Dynamic Meteorology (4th ed.). Elsevier Academic Press. San
Diego-California.
Houze, R.A. Jr. 1993. Cloud Dynamics.
Academic, San Diego-California, 573 pp.
Ismanto, Heri. 2011. Karakteristik Kompleks
Konvektif Skala Meso Di Benua Maritim. Tesis pada Institut Teknologi Bandung.
Laing, A. G. dan Fritsch, J. M. 1996. The
Global Population of Mesoscale Convective Complexes. Q. J. R.
Meteorology Society, 123, 389-405. Laing, A. G. dan Fritsch, J. M. 1999. The
Large-Scale Environments of the Gloal Populations of Mesoscale.
Monthly Weather Review.128,
2756-2776.
Maddox, R.A. 1980. Mesoscale Convective
Complexes, Bull. Ametsoc., 61.
1374-1387.
Pandjaitan, B. S. 2015. Analisis Kejadian
Mesoscale Complex di Selat Makassar. Skripsi pada Sekolah
Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Riehl, H. 1954. Tropical Meteorology. New York: McGraw-Hill
Tjasyono, B. H. K dan Harijono, Sri Woro B. 2006. Meteorologi Indonesia 2:
Awan dan Hujan Monsun. Jakarta.
Threwartha, G. T. dan Horn, L.H. 1980. An
Introduction to Climate, 5th editon.
Mc Graw-Hill Company.
Winarso, P. A. 2011. Analisis Cuaca 1 .
Akademi Meteorologi dan
Geofisika.
Wirjohamidjojo, S. dan Swarinoto, Y. S. 2013. Meteorologi Sinoptik. Jakarta. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.