• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Fenomena Mesoscale Convective Complex (MCC) di Selat Karimata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Identifikasi Fenomena Mesoscale Convective Complex (MCC) di Selat Karimata"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi Fenomena Mesoscale Convective Complex (MCC) di Selat Karimata

Estri Diniyati 1*, Yosafat Donni Haryanto 1

1 Jurusan Meteorologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan-Indonesia

* corresponding author: [email protected]

AbstractIndonesia located in the equatorial region which has potential major impact on atmospheric physical conditions during extreme weather events such as the Mesoscale Convective Complex (MCC). MCC is a phenomenon that was first discovered by (Maddox, 1980) which characterized by presence of a quasi-circular (almost circular) cloud shield with an eccentricity of 0.7 with a cloud cover area of 100,000 km², cloud core area covers 50,000 km² and cloud top temperature IR1 -52 . These cloud conditions last for a minimum of 6 hours and cause bad weather and extreme rain. This study aims to identify the MCC phenomenon in the Karimata Strait on 19-20 September 2020 which caused flooding in the Pontianak and Ketapang areas using Himawari-8 Satellite image data. The data used in this study are Himawari-8 satellite data to identify MCC, weather radar data with CMAX products to determine reflectivity of MCC clouds, and rainfall data for verification while the method used is descriptive statistical method by briefly describing table data and diagrams chart. The results showed that on September 19, MCC was identified at 09.00-18.00 UTC then on September 20, 2020 MCC was identified at 16.00-23.00 UTC which caused extreme rain with rainfall reaching 43.4 mm/hour.

Keywords: MCC, rainfall, cumulonimbus cloud

AbstrakIndonesia terletak diwilayah ekuator yang berpotensi memiliki dampak besar terhadap kondisi fisik atmosfer saat terjadi cuaca ekstrem seperti Mesoscale Convective Complex (MCC). MCC merupakan fenomena yang pertama kali ditemukan oleh (Maddox, 1980) yaitu fenomena yang dicirikan dengan adanya perisai awan yang berbentuk quasi circular (hampir lingkaran) dengan eksentrisitas ≥ 0,7 dengan luas area selimut awan ≥ 100.000 km², luas area inti awan mencakup ≥ 50.000 km² serta suhu puncak awan IR1 ≤ -52 ℃. Kondisi awan tersebut bertahan minimum selama 6 jam dan menyebabkan cuaca buruk dan hujan ekstrem. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fenomena MCC di Selat Karimata pada tanggal 19-20 September 2020 yang menyebabkan banjir di wilayah Pontianak dan Kabupaten Ketapang menggunakan data citra Satelit Himawari-8. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data satelit Himawari-8 untuk mengidentifikasi MCC, data radar cuaca dengan produk CMAX untuk mengetahui reflektivitas awan MCC, serta data curah hujan untuk verifikasi sedangkan metode yang digunakan yaitu metode statistik deskriptifdengan mendeskripsikan secara singkat data tabel serta diagram grafik. Hasil penelitian menunjukkan pada tanggal 19 September, MCC teridentifikasi pada pukul 09.00-18.00 UTC selanjutnya tanggal 20 September 2020 MCC teridentifikasi pada pukul 16.00-23.00 UTC yang menyebabkan hujan ekstrem dengan curah hujan mencapai 43,4 mm/jam.

Kata kunci: MCC, curah hujan, awan cumulonimbus

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang terletak diwilayah ekuator dimana berpotensi memiliki dampak besar terhadap kondisi fisik atmosfer saat terjadi cuaca ekstrem seperti Mesoscale Convective Complex (MCC) (Rinaldy et al., 2017). MCC merupakan fenomena yang pertama kali ditemukan oleh (Maddox, 1980) dimana fenomena ini dicirikan dengan adanya perisai awan yang berbentuk quasi circular (hampir lingkaran) dengan eksentrisitas ≥ 0,7 dengan luas area selimut awan ≥ 100.000 km² , luas area inti awan mencakup ≥ 50.000 km² serta suhu puncak awan IR1 ≤ -52 ℃. Kondisi awan tersebut bertahan minimun selama 6 jam dan menyebabkan cuaca buruk dan hujan ekstrem (Pandjaitan, 2015). Fenomena MCC dapat memiliki cakupan awan konvektif yang luas dengan durasi hidup yang panjang karena MCC termasuk dalam kategori fenomena Mesoscale Convective System (MCS) yang terbentuk dengan mekanisme low level jet saat proses konveksi (Saragih, Silitonga, Andreas Kurniawan Asmita dan Winarso, 2018). Fenomena MCS ini memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan durasi hidup yang lebih lama karena memiliki sistem hidup awan konvektif dan statiform secara bersamaan (Fatmasari, Swastiko dan Ismail, 2017). Putri dkk. (2017) dan Trismidianto (2018) dalam (Rais et al., 2021) menjelaskan bahwa fenomena MCS di wiliayah Indonesia banyak ditemui di wilayah pesisir Barat Pulau Sumatera.

Original Research

(2)

Wilayah Indonesia yang dominan ditumbuhi fenomena MCC meliputi Samudra Hindia bagian barat (Pulau Sumatera), Pulau Papua, Samudra Pasifik bagian barat, Papua bagian utara, Pulau Kalimantan dan Samudra Hindia bagian utara Australia (Saragih, 2019). Peristiwa MCC telah banyak diteliti sebelumnya, sepanjang tahun 2018 terdapat 6 fenomena MCC yang telah melanda Indonesia meliputi wilayah Sulawesi Tengah, Papua, Laut Maluku, dan Laut Jawa bagian utara dengan fase inisiasi hingga dewasa terjadi pada malam hari dan durasi mencapai 8-15 jam (Septiadi dan S. Nugraha, 2020). Pada tahun 2016, (Aiqiu, Lestari dan Mulsandi, 2018) melakukan identifikasi fenomena MCC pada saat monsun Asia aktif pada bulan Desember, Januari dan Februari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat monsun Asia aktif di wilayah Indonesia, jumlah MCC yang terbentuk lebih banyak dibandingkan pada saat jeda monsun Asia. Penelitian MCC juga pernah dilakukan dengan menggunakan satelit Himawari-8 Kanal IR di wilayah Bangka Belitung dimana fenomena MCC bertahan selama lebih dari 6 jam dan menyebabkan hujan lebat mencapai 183,9 mm pada tanggal 8-9 Februari 2016 (Saragih et al., 2019). Selain itu, pada tanggal 9 Mei 2018 MCC (Perdana et al., 2019) melakukan penelitian MCC yang tumbuh di wilayah Papua bagian selatan dengan luasan > 300.000 km2 dan waktu hidup 14 jam sehingga menyebabkan intensitas curah hujan mencapai 40 mm/jam sepanjang 800 km. Identifikasi fenomena MCC dapat membantu prakirawan cuaca untuk menentukkan penyebab terjadinya hujan ekstrem di suatu wilayah.

Di lansir dari website resmi BNPB dan media berita antaranews.com tejadi bencana banjir di wilayah Pontianak dan Kabupaten Ketapang pada tanggal 19-22 September 2020, dimana hal ini disebabkan karena meluapnya Sungai Kapuas Hulu akibat curah hujan yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fenomena MCC di Selat Karimata pada tanggal 19-20 September 2020 dengan memanfaatkan data citra satelit Himawari-8 serta data citra radar Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak.

METODE

Gambar 1. Peta lokasi penelitian.

Lokasi penelitian yaitu pada wilayah Selat Karimata (Gambar 1) yang merupakan selat penghubung antara Laut Jawa dengan Laut Natuna. Selat ini terletak diantara Pulau Sumatera dan Kalimantan. Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data satelit Himawari-8 Kanal IR, data radar cuaca Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak serta data curah hujan pada AWS Digi Stamet Pontianak. Data satelit diolah dengan aplikasi MATLAB dengan algoritma yang telah disesuaikan dengan kriteria MCC, kemudian diperoleh hasil identifikasi dari MCC. Sedangkan data radar cuaca digunakan produk CMAX untuk mengetahui reflektvitas awan saat peristiwa MCC. Selain itu data satelit Himawari-8 juga diolah dengan aplikasi GrADS untuk memperoleh tampilan sebaran awan. Sedangkan data curah hujan diolah dengan Microsoft Excel menjadi tampilan grafik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode statistik deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan secara singkat data tabel serta diagram grafik.

(3)

HASIL DAN BAHASAN

MCC Tanggal 19 September 2020 Tabel 1

Hasil Pengolahan Data Satelit Himawari-8 dengan MATLAB pada MCC 19 September 2020

Tanggal

Pukul Inti MCC Selimut MCC

Jam Menit Eksentrisitas Piksel Luas Inti Lon Lat Piksel Luas Selimut Lon Lat Eksentrisitas 19 8 0 0.860 9912 48850 108.30 -5.11 18993 93605 108.28 -5.22 0.660 19 9 0 0.969 12486 61536 107.73 -5.38 30809 151839 107.71 -5.70 0.448 19 9 50 0.974 13176 64937 107.31 -5.66 37507 184849 107.57 -5.81 0.374 19 10 50 0.951 15913 78426 106.60 -5.98 43981 216756 107.27 -6.01 0.833 19 12 0 0.996 20924 103122 107.52 -6.24 51141 252043 107.12 -6.30 0.917 19 13 0 0.977 21538 106148 107.55 -6.55 51057 251629 107.32 -6.24 0.929 19 13 50 0.990 19077 94019 107.50 -6.81 49882 245838 107.04 -6.57 0.924 19 15 0 0.880 18886 93078 107.26 -7.13 46356 228461 106.59 -7.07 0.862 19 16 0 0.703 17994 88682 106.92 -7.33 47751 235336 106.11 -7.44 0.823 19 16 50 0.846 15865 78189 106.68 -7.65 46991 231590 106.24 -7.55 0.848 19 18 0 0.965 13589 66972 106.39 -8.06 47267 232951 106.29 -8.05 0.899 19 19 0 0.981 9568 47155 105.47 -8.11 58045 286069 105.80 -8.17 0.750

Tabel 1 menunjukkan hasil olahan MATLAB dengan algoritma yang telah diatur untuk mengidentifikasi fenomena Mesoscale Convective Complex (MCC) pada tanggal 19 September 2020 di sekitar Selat Karimata. Fenomena MCC mulai tumbuh (baris berwarna kuning) pada pukul 08.00 UTC dengan luasan inti 48.850 km2, luasan selimut 93.605 km2 serta eksentrisitas inti sebesar 0,85 dimana luasan inti dan luasan selimut belum memenuhi kriteria MCC.

Selanjutnya, awan semakin meluas hingga MCC terdeteksi pada saat fase matang dimulai pukul 09.00 UTC (baris berwarna merah) dengan luasan inti 61.536 km2, luasan selimut 151.839 km2 serta eksentrisitas inti awan sebesar 0,96. Kondisi MCC paling puncak terjadi pada pukul 13.00 UTC dengan luasan inti 106.148 km2, luasan selimut 251.629 km2 serta eksentrisitas inti awan sebesar 0,997 dan eksentrisitas selimut sebesar 0,92. Kondisi ini bertahan selama 7 jam dan mulai meluruh pada pukul 19.00 UTC (baris berwarna hijau) dimana nilai luasan dan eksentrisitas mulai mengalami penurunan.

Fase Pertumbuhan

Gambar 2. Awan MCC pada pukul 08.00 UTC.

Berdasarkan Gambar 2, citra satelit Himawari-8 mulai mendeteksi adanya pertumbuhan awan yang luas pada sekitar wilayah Perairan Kalimatan Barat. Pada gambar tersebut, fase pertumbuhan awan MCC terdeteksi dimulai pada pukul 08.00 UTC di sekitar Kalimantan Barat hingga Laut Natuna. Pada fase ini dimulai dengan terbentuknya awan dengan eksentrisitas inti 0,85 dan luasan inti 48.850 km2 serta luasan selimut 93.605 km2. Kemudian

(4)

pada jam-jam berikutnya luasan inti dan selimut terus bertambah hingga mencapai nilai ≥ 50.000 km2 untuk luasan inti dan ≥100.000 km2 untuk luasan selimut.

Fase Matang

Gambar 3. Awan MCC pada pukul 09.00-16.00 UTC.

Pada Gambar 3, awan terus tumbuh dan MCC terdeteksi mengalami fase matang dimulai pada pukul 09.00 UTC, yang ditandai dengan inti yang semakin jelas dan membesar dan suhunya mencapai lebih dari -80℃. Kondisi paling puncak terjadi pada pukul 13.00 UTC, dimana inti meluas paling maksimal dengan ukuran 106.148 km2. Kondisi matang ini berlangsung hingga pukul 19.00 UTC, atau sekitar 9 jam.

Fase Meluruh

Gambar 4. Awan MCC pada pukul 16.50-02.00 UTC.

(5)

Berdasarkan Gambar 4, Awan MCC mulai mengalami fase meluruh dimulai pada pukul 19.00 UTC, dimana inti dan selimut mulai meluruh saat mendekati Pulau Sumatera. Pada pukul 19.00 UTC, nilai luasan inti telah kurang dari 50.000 km2. Meskipun telah meluruh awan MCC tersebut masih cenderung membentuk awan konvektif dengan suhu puncak mencapai -80℃ menuju Selat Sunda dan Banten.

MCC tanggal 20 September 2020 Tabel 2

Hasil Pengolahan Data Satelit Himawari-8 dengan MATLAB pada MCC 20 September 2020

Berdasarkan Tabel 2 dapat diidentifikasi fenomena MCC pada tanggal 20 September 2020 di sekitar Selat Karimata. Awan mulai tumbuh pada pukul 15.00 UTC (baris berwarna kuning) dengan luasan inti 48.486 km2, luasan selimut 127.862 km2 serta eksentrisitas inti sebesar 0,77. Selanjutnya, awan terus tumbuh hingga mengalami fase matang dimulai pukul 16.00 UTC (baris berwarna kuning) dengan luasan inti 68.791 km2, luasan selimut 144.520 km2 serta eksentrisitas inti awan sebesar 0,91. Hingga pada pukul 20.00 UTC MCC mengalami fase paling puncak terjadi dengan luasan inti mencapai 106.513 km2, luasan selimut 202.759 km2 serta eksentrisitas inti awan sebesar 0,78. Kondisi awan yang matang ini bertahan hingga 7 jam kemudian mulai meluruh pada pukul 01.00 UTC tanggal 21 September 2020 (baris berwarna hijau) dimana pada nilai luasan dan eksentrisitas mulai menunjukkan penurunan.

Fase pertumbuhan

Gambar 5. Awan MCC pada pukul 13.50-15.00 UTC.

Pada Gambar 5, MCC tanggal 20-21 September 2020 mulai tumbuh di sekitar Kalimantan Barat pada pukul 10.00 UTC. Fase pertumbuhan ini ditandai dengan adanya pumpunan awan yang menyatu dan membentuk satu inti. Pukul 15.00 UTC inti mulai tumbuh dengan luasan inti awan sekitar 48.486 km2 dan dengan luasan selimut sekitar 127.862 km2.

Tanggal

Pukul Inti MCC Selimut MCC

Jam Menit Eksentrisitas Piksel Luas Inti Lon Lat Piksel Lua

Selimut Lon Lat Eksentrisitas 20 15 0 0.777 9838 48486 109.12 -6.60 25944 127862 108.87 -6.79 0.550 20 16 0 0.919 13958 68791 108.80 -6.66 29324 144520 108.58 -6.82 0.571 20 16 50 0.940 16824 82915 108.38 -6.68 43075 212291 107.33 -6.75 0.654 20 18 0 0.763 18810 92703 107.78 -6.57 39390 194130 108.11 -6.91 0.821 20 19 0 0.851 18781 92560 107.46 -6.52 41021 202168 107.65 -6.79 0.887 20 20 0 0.781 21612 106513 107.24 -6.33 41141 202759 107.29 -6.73 0.816 20 21 0 0.953 19113 94197 106.91 -5.83 59539 293432 106.21 -6.43 0.646 20 22 0 0.898 21261 104783 106.63 -6.01 62293 307005 105.99 -6.46 0.819 20 23 0 0.952 12211 60181 105.86 -7.58 60951 300391 105.83 -6.54 0.829 21 1 0 0.987 8045 39649 105.49 -8.16 36398 179384 104.77 -7.85 0.907 21 2 0 0.826 4147 20438 104.80 -7.90 33699 166082 104.70 -8.23 0.630

(6)

Fase Matang

Gambar 6. Awan MCC pada pukul 16.00-21.00 UTC.

Fase matang terjadi terjadi pada pukul 16.00-23.00 UTC (Gambar 6), dimana pada fase ini luasan inti MCC mulai meluas dengan suhu puncak awan mencapai -80℃. Puncak dari fase matang terjadi pada pukul 20.00 UTC dengan luasan inti mencapai 106.513 km2 dan luasan selimut sekitar 202.759 km2. kemudian mulai pukul 22.00 UTC awan MCC mulai memisah mendekati Pulau Sumatera dan nilai luasan inti mulai menurun.

Fase Meluruh

Gambar 7. Awan MCC pada pukul 00.00-02.00 UTC.

Keesokan harinya pada pukul 00.00 UTC, awan MCC semakin memisah yang menandakan terjadinya fase meluruh. Pada fase ini luasan inti telah ≤50.000 km2 saat mendekati Pulau Sumatera.

(7)

Analisis Citra Radar

Gambar 8. Citra radar saat fase matang MCC tanggal 19 september 2020.

Berdasarkan citra radar pada Gambar 8, menunjukkan bahwa pada saat fase matang MCC tanggal 19 September pada pukul 09.00-16.00 UTC diperoleh reflektivitas sebesar 5-45 dBZ. Menurut BMKG, reflektivitas 25-35 dBZ (warna hijau) menunjukkan adanya potensi hujan ringan, 35-45 dBZ (warna kuning) menunjukkan adanya potensi hujan sedang serta 45-55 dBZ (warna jingga-merah) menunjukkan potensi hujan lebat. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Pontianak dan sekitarnya mengalami hujan dengan intensitas ringan hingga lebat.

Awan MCC pada saat fase matang kurang terlihat jelas pada citra radar, hal ini disebabkan karena posisi awan berada pada lautan yang berada di luar jangkauan radar (>200km).

Gambar 9. Citra radar saat fase matang MCC tanggal 20 september 2020.

(8)

Sedangkan pada citra radar tanggal 20 September 2020 (Gambar 9), menunjukkan saat fase matang MCC juga diperoleh reflektivitas berkisar antara 5-45 dBZ. Pada pukul 16.00-18.00 UTC awan MCC pada fase matang terlihat menutupi wilayah Pontianak dan sekitarnya terutama wilayah sebelah Selatan. Awan ini menunjukkan reflektivitas dominan berkisar 25-35 dBZ (warna hijau), dimana hal ini menunjukkan adanya potensi hujan sedang pada wilayah tersebut. Selanjutnya, pada pukul 19.00-23.00 UTC pada satelit awan MCC mulai bergeser ke perairan Selat Karimata dimana wilayah tersebut berada diluar jangkauan radar (>200 km) sehingga awan MCC tidak terlihat jelas pada radar cuaca.

Verifikasi Curah Hujan

Gambar 10. Grafik curah hujan AWS digi stamet pontianak 19-20 september 2020.

Berdasarkan analisis fase MCC, menunjukkan bahwa pada saat MCC mengalami fase matang tanggl 19 September 2020 pukul 09.00-14.00 UTC terdapat wilayah sebagian Pesisir Kalimantan Barat yang tertutupi awan. Gambar 10 menunjukkan bahwa pada pukul 10.00- 14.00 UTC pada AWS Digi Stasiun Meteorologi Pontianak tercatat curah hujan mencapai 43,4 mm/jam yang dapat dikategorikan sebagai hujan sangat lebat. Selanjutnya, saat fase matang MCC tanggal 20 September 2020 juga menunjukkan adanya tutupan awan pada wilayah disekitar pesisir Kalimantan Barat, hal ini juga bersesuaian dengan grafik curah hujan pada pukul 10.00-19.00 UTC dimana curah hujan mencapai 30,4 mm/jam dan dapat dikategorikan sebagai hujan sangat lebat.

SIMPULAN

Pada tanggal 19-20 September 2020, telah terjadi fenomena MCC di wilayah Selat Karimata. Tanggal 19 September, MCC teridentifikasi pada pukul 09.00-18.00 UTC selanjutnya tanggal 20 September 2020 MCC teridentifikasi pada pukul 16.00-23.00 UTC. Pada saat peristiwa MCC Pontianak dan sekitarnya mengalami hujan ekstrem yang tercatat pada AWS Digi Stasiun Meteorologi Pontianak dengan curah hujan mencapai 43,4 mm/jam dimana hal ini menyebabkan bencana banjir akibar curah hujan yang tinggi.

PUSTAKA ACUAN

Aiqiu, L. ., Lestari, R. . and Mulsandi, A. 2018, ‘Identification of Mesoscale Convective Complex (MCC) During Active and Break Period of Asian Winter Monsoon in 2016 Using Himawari 8 Satellite Imagery L’, The 7th International Symposium for Sustainable Humanosphere Proceedings, pp. 116–120.

Fatmasari, D., Swastiko, W. A. and Ismail, P. 2017, Analisis Kondisi Atmosfer MCC (Mesoscale Convective Complex) di Jakarta (Studi Kasus 24 September 2016).

Maddox, R. A. 1980, ‘Mesoscale Convective Complexes’, Bulletin of the American

(9)

Meteorological Society, Vol.61, iss.11, pp. 1374–1387.

Pandjaitan, B. S. 2015, Analisis Kejadian Mesoscale Convective Complex Di Selat Makassar (Studi Kasus Tanggal 27 – 28 Mei 2014) . Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Jakarta.

Perdana, I. F. P. et al. 2019, ‘Studi Kejadian Mesoscale Convective Complex (MCC) Di Wilayah Papua Bagian Selatan Pada 9-10 Mei 2018’, Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Vol.6, No.1, hlm. 58–66.

Rais, A. F., Yunita, R., & Hananto, S. 2021, Pengaruh Mesoscale Convective System terhadap Hujan Ekstrem Pesisir Barat. Majalah Geografi Indonesia, Vol. 35, No. 1, hlm. 8-13 Rinaldy, N. et al. 2017, ‘Identification of Mesoscale Convective Complex (MCC) phenomenon

with image of Himawari 8 Satellite and WRF ARW Model on Bangka Island (Case Study:

7-8 February 2016)’, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Vol. 98, iss. 1, pp. 7–8.

Saragih, R. W. et al. 2019, ‘Identification of Mesoscale Convective Complex (MCC) over Bangka Belitung Area’, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Vol.

303, iss. 1.

Saragih, R. W. 2019, ‘Identifikasi Karakteristik Mesoscale Convective Complex (MCC) di Wilayah Tual: Studi Kasus Hujan Lebat 18 Januari 2019’, Positron, Vol. 9, No.1, hlm. 27.

Saragih, R. W., Silitonga, Andreas Kurniawan Asmita, A. S. and Winarso, P. A. 2018,

‘Identifikasi Mesoscale Convective Complex (MCC) Menggunakan Satelit Himawari-8 Kanal Inframerah (Studi Kasus: Hujan Lebat pada Tanggal 20 Februari 2017 di Lampung)’, Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-5 Tahun 2018 Identifikasi, hlm. 776–783.

Septiadi, D. and S. Nugraha, Y. 2020, ‘Identifikasi Mesoscale Convective Complex (MCC) Dan Dampaknya Terhadap Curah Hujan Di Benua Maritim Indonesia (BMI) Sepanjang Tahun 2018’, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol.20, No.2, hlm. 73.

Referensi

Dokumen terkait