Jurnal Psikologi Volume 19 Nomor 1 Juni 2021 34
PERILAKU AGRESI ORANG TUA TERHADAP ANAK DI KOTA
MAKASSAR DITINJAU DARI SELF CONTROL DAN KEMAMPUAN
KOMUNIKASI
Aswar, Faizal Ramadan Syah PusadanPsikologi Universitas Indonesia Timur Makassar, Indonesia Email: aswar.phobia@gmail.com,
Abstract
Children are often forced to follow their parents' wishes, which often leads to aggressive behavior, so that self-control is needed to minimize aggression. This research used a quantitative approach. The population of this research is all citizens of Makassar who are married and have children. To determine the sample used the Krejcie table and Morgan with a total sample of 384 respondents. Methods of data collection through questionnaires by Likert scale model, and hypothesis testing with simple regression analysis. The results of the study showed a significant negative effect of self control and communication skills on the aggression behavior of parents towards children in the city of Makassar. With the magnitude of the coefficient of determination or R Square. From the data analysis, the R Square is 0.07 or equal to 7%. This figure means that self control (X1) and communication skills (X2) simultaneously (together) affect the aggressiveness of parents to children in Makassar City by 7%. While the remaining 93% is influenced by other variables not examined in this study. The partial effect of self control is -0.172 and communication ability is -0.128, the coefficient is negative, which means that there is a significant negative effect between self-control and communication skills on the aggressiveness of parents to children. It means that the increased self-control and communication skills of parents, the more able to reduce the aggression behavior of parents towards their children.
Keywords: Self Control, Communication Skills, Aggression, Parents Abstrak
Anak seringkali dipaksa mengikuti keinginan orang tuanya, tak jarang berujung pada perilaku agresi, sehingga dibutuhkan self control untuk meminimalisir perilaku agresi. Penelitian ini dengan pendekatan kuantitatif, Populasi penelitian yaitu seluruh warga kota Makassar yang telah menikah dan memiliki anak. Penentuan sampel dengan tabel Krejcie dan Morgan jumlah sampel sebanyak 384 responden. Metode pengumpulan data melalui kuesioner dengan skala model Likert, serta uji hipotesis dengan analisis regresi sederhana. Hasil penelitian terdapat pengaruh negatif signifikan self control dan kemampuan komunikasi terhadap perilaku agresi orang tua kepada anak di kota Makassar. Dengan besarnya koefisien determinasi atau R Square. Dari analisis data maka diperoleh besaran R Square sebesar 0,07 atau sama dengan 7 %. Angka tersebut berarti bahwa self control (X1) dan kemampuan komunikasi (X2) secara simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap agresivitas orang tua kepada anak di Kota Makassar sebesar 7%. Sedangkan sisanya sebesar 93% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Pengaruh secara parsial Self control Sebesar -0,172 dan Kemampuan komunikasi sebesar -0,128, Koefisien bernilai negatif berarti terdapat pengaruh negatif signifikan antara self control dan kemampuan komunikasi terhadap agresivitas orang tua kepada anak. Maksudnya yaitu semakin meningkat self control dan kemampuan komunikasi orang tua maka semakin mampu mengurangi perilaku agresi orang tua kepada anaknya.
Kata Kunci : Self Control, Kemampuan Komunikasi, Agresi, Orang tua.
Pendahuluan
Orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga. Sedangkan ayah bertugas untuk memberikan bimbingan nilai dan moral sehingga sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat serta memberikan kebutuhan ekonomi dalam keluarga, sedangkan Ibu bertugas untuk memastikan anaknya dapat berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya (Santrock, 2007).
Walaupun berbeda dalam proses pembentukan tugasnya, namun mereka bekerjasama dalam membentuk anak berkarakter dan memiliki nilai-nilai.
Pendapat senada diungkapkan oleh Hurlock (dalam Hartini, 2015) dimana orang tua memiliki peran signifikan dalam membentuk nilai pada anak, sehingga sesuai dengan norma dan nilai-nilai pada masyarakat. Keberhasilan anak
Jurnal Psikologi Volume 19 Nomor 1 Juni 2021 35
merupakan cerminan keberhasilan orang tua. Namun fatalnya beberapa orang tua memiliki sikap egois yang tinggi. Sehingga anak menjadi objek yag tidak berdaya untuk mengikuti keinginan orang tuanya, yang kadang berujung pada aksi agresi/kekerasan pada anak baik yang dilakukan secara fisik atau verbal.
Berdasarkan data dari dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar pada tahun 2019 terdapat 1.305 kasus pada anak dan pada tahun 2020 periode bulan Januari–Maret 72 anak (data prime). Adapun bentuk kekerasan yang terjadi adalah pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan non fisik dalam istilah psikologi ini disebut perilaku agresi.
Pendapat senada diungkapkan oleh Buss dan Perry (dalam Ayu & Pratidina, 2019) agresi adalah kecenderungan perilaku (verbal dan/atau fisik) dengan tujuan untuk menyakiti orang lain, sebagai bentuk dari perasaan negatif agar tujuannya dapat tercapai. Pendapat senada diungkapkan oleh Myers (dalam Diponegoro & Malik, 2016) agresi adalah perilaku yang dilakukan oleh seseorang baik fisik atau verbal yang bertujuan menyakiti orang lain. Perilaku agresi pada orang tua dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti yang diungkapkan oleh Krahe (dalam Auliya, 2015) terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku agresi faktor kepribadian dan faktor situasional. faktor kepribadian yaitu iritabilitas, pikiran kacau, kerentanan emosional dan perenungan, harga diri, self control, gaya atribusi. Hal ini juga senada dengan pendapat Byrne (dalam Diponegoro & Malik, 2016) mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis faktor yang menyebabkan perilaku agresi yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor dari luar diri individu (eksternal), dimana faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan seperti kepribadian, hubungan interpersonal, usia, jenis kelamin, rasa frustasi, deindividuasi, pola asuh, suhu udara. Hubungan interpersonal merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan interaksi dengan orang lain, yang berhubungan dengan keterampilan komunikasi. Sehingga bila seseorang memiliki kemampuan komunikasi yang kurang baik, maka akan dapat memicu agresi saat seseorang berinteraksi dengan orang lain, begitupun sebaliknya.
Tentunya perilaku agresi dapat memiliki dampak yang negatif bagi korban dan pelaku itu sendriri. Myers (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005) menyebutkan bahwa dampak yang dimaksud disini ada 2 yaitu fisik dan mental, dimana ketika orang tua melakukan agresi secara verbal dan fisik berupa memukul, menendang, mengatai anak dengan kata-kata yang tidak pantas untuk didengar oleh anak, secara mental anak yang menerima perilaku seperti itu akan trauma kepada orang tuanya sendiri dan berdampak pada perkembangan anak nantinya. Sehingga self control sangat dibutuhkan oleh
orang tua untuk mengendalikan emosi dan mengatur perilakunya agar tidak melakukan agresi pada anaknya, tentunya hal ini juga, berkaitan
dengan kemampuan seseorang dalam
berkomunikasi (dalam Auliya, 2015)
Menurut Book (dalam Cangara, 2011) kemampuan komunikasi adalah proses simbolik yang dilakukan seseorang agar dapat mengatur lingkungannya melalui pertukaran informasi, untuk mengubah sikap dan perilaku orang lain. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Devito (dalam Aswar, 2017) kemampuan komunikasi
merupakan kemampuan seseorang dalam
memahami konteks, konten dan bentuk pesan, sehingga komunikasi berlangsung secara efektif. Kemampuan komunikasi merupakan kemampuan personal yang dimiliki oleh individu yang dapat
dipelajari. merupakan keterampilan yang
dibutuhkan dalam menjalin hubungan sosial baik. Kemampuan komunikasi ini tentunya dapat dilihat dari bentuknya yaitu mendengar responsif
menjadi pendengar yang responsif,
mempertahankan perhatian dalam pembicaraan dan memberikan umpan balik terhadap lawan bicara. Kemampuan komunikasi merupakan salah satu ciri-ciri keterampilan sosial. Seseorang yang
memiliki kemampuan mendengar secara
responsif, akan dapat merespon pesan dari orang lain secara proporsional, disesuaikan dengan situasi dan kondisi komunikan.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pemilihan kata-kata yang tepat, Sehingga dalam proses komunikasi akan
menciptakan suasana yang nyaman dalam
melakukan proses interaksi sosial. Sedangkan menurut Santrock (dalam Diponegoro & Malik,
2016) menyatakan bahwa kemampuan
komunikasi merupakan kemampuan yang
dibutuhkan dalam mendegar, berbicara,
memahami komunikasi verbal dan non verbal, dalam mengatasi hambatan komunikasi verbal, serta dapat menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan komunikasi yang baik, namun hal ini tidak lepas self control telah diungkapkan oleh beberapa ahli salah satunya Chaplin (dalam Jaradala, 2017)
berpendapat bahwa self control adalah
kemampuan dalam menekan dorongan-dorongan
spontan atau tingkah laku impuls yang
berpengaruh pada perilaku seseorang dalam bertindak atau mengambil keputusan. Sedangkan pendapat Baumeister, Vohs, dan Tice (dalam Khoir, 2019) mendefinisikan bahwa self control
Jurnal Psikologi Volume 19 Nomor 1 Juni 2021 36
adalah sumber daya internal yang dimiliki oleh
seseorang untuk menghambat, menimpa, atau
mengubah respon yang muncul sebagai akibat dari proses fisiologis, belajar, kebiasaan, atau situasi lingkungan.
Hurlock (dalam Serena, 2014) menyatakan self
control berkaitan dengan bagaimana individu
mengendalikan diri yang berkaitan dengan kemampuan dan pengaturan diri terhadap lingkungan sekitar atau pada dirinya sendiri. Self control yang rendah pada individu dipandang sebagai sifat-sifat yang didalamnya termasuk ketidakpekaan, impulsive, pengambilan keputusan yang tidak tepat dan lain sebagainya. Jika seorang individu kurang mampu mengendalikan dirinya maka akan memunculkan perilaku yang dapat merugikan orang lain yang berada disekitarnya.
Hasil penelitian Aroma dan Seminar (dalam Rahayu, 2018) menemukan bahwa Individu dengan self control yang rendah senang melakukan resiko dan melanggar aturan tanpa memikirkan efek panjangnya, sebaliknya pada self control yang tinggi tentunya hal ini juga, berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi. Temuan ini senada dengan hasil
penelitian Diponegoro dan Malik, 2016 yang
menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan komunikasi, pola asuh dan control diri terhadap perilaku agresi. Dimana kemampuan komunikasi memiliki kontribusi sebesar 13,44 % dan self control sebesar 3, 92% terhadap penurunan perilaku agresi orang tua. Serta penelitian yang dilakukan oleh Pratidina dan Marheni (2019) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara komunikasi efektif orang tua –remaja dan control diri terhadap perilaku agresi remaja.
Berdasarkan berbagai uraian diatas maka peneliti dapat dirumusankan suatu masalah pada penelitian ini yaitu apakah terdapat pengaruh yang signifikan self control dan kemampuan komunikasi terhadap perilaku agresi orang tua kepada anak di Kota Makassar?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian
kuantitatif, adapun populasi yaitu seluruh warga kota Makassar yang telah menikah dan memiliki anak. Namun karena data warga yang telah menikah tidak dapat diakses, sehingga jumlah populasi dilihat dari jumlah daftar pemilih tetap di kota Makassar pada tahun 2019, yang lebih dari 1.000.000 jiwa, maka sampel pada penelitian ini ditentukan menggunakan tabel Krejcie dan Morgan (dalam Sugiono, 2016). Sehingga
diperoleh jumlah sampel sebanyak 384 orang
responden. Metode pengumpulan data penelitian ini dengan kuesioner. Waktu pengambilan sampel yaitu periode Februari–April 2020 dengan cakupan lokasi
penelitian adalah Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Skala yang digunakan pada penelitian ini adalah self control, kemampuan komuniasi dan agresi dalam bentuk skala Likert (metode skala rating yang dijumlahkan) yang telah dimodifikasi (Azwar, 2012) yang ditetapkan oleh penelitian dengan bentuk favorable dan
unfavorable, dengan menggunakan empat
alternatif jawaban, yaitu sangat Setuju (SS) = 4, Setuju (S3, Tidak Setuju (TS) = 2, Sangat Tidak Setuju (STS) = 1. Uji asumsi pada penelitian ini yaitu uji normalitas dengan kriteria nilai signifikan > 0,05 maka data berdistribusi normal, begitu juga sebaliknya. Selanjutnya untuk linearitas jika nilai signifikan < 0,05 maka data memiliki hubungan linear, begitu juga sebaliknya. serta uji heteroskedastisitas jika nilai signifikan > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas dalam model regresi (dalam Azwar, 2012).
Uji hipotesis yang digunakan pada
penelitian ini yaitu uji analisis regresi sederhana untuk melihat bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, nilai signifikan p> 0,05, maka H0 diterima, Jika nilai signifikan p< 0,05, maka Ha diterima (dalam Sugiono, 2016). Semua data penelitian diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) IBM 23.
Hasil dan Pembahasan
Self control merupakan hal yang wajib untuk dimiliki oleh seseorang khususnya orang tua dalam mengendalikan perilaku saat mendidik anaknya. Pada orang tua di Kota Makassar ini bukanlah kendala yang dihadapi, hal ini disebabkan karena hampir seluruh responden memiliki kemampuan dalam melakukan control terhadap perilaku dan lingkungan yang ada disekitarnya. Kemampuan melakukan self control tentunya harus sejalan dengan kemampuan komunikasi yang dimiliki oleh setiap orang tua di kota Makassar. Kemampuan komunikasi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam menyampaikan pesan (verbal dan nonverbal) kepada orang lain dengan tujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku baik secara langsung maupun tidak langsung (dalam Aswar & Tawany, 2015)
Berdasarkan hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa secara umum responden dalam penelitian memiliki self control yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Jurnal Psikologi Volume 19 Nomor 1 Juni 2021 37
Gambar 1. Self Control
Pada gambar 1 di atas, memperlihatkan bawah secara berturut-turut tingkat kemampuan self control sebanyak 362 orang responden atau 94,3% responden dengan kategori tinggi, 21 orang responden atau 5,5% dengan kategori sedang, dan 1 orang responden atau 0.3% dengan kategori rendah. Perilaku agresi diukur dari tiga aspek pada self control seperti yang dikemukakan oleh Averil (dalam Risnawati & Ghufron, 2010) bahwa ada tiga aspek penting dalam self control yaitu a) kontrol perilaku (behavior control), b) kontrol kognitif (cognitive control), dan c) mengontrol keputusan (decision control).
Selanjutnya dilakukan analisis pada kemampuan komunikasi yang secara umum berada pada kategori tinggi. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2. Kemampuan Komunikasi
Dari gambar di atas memperlihatkan bawah secara berturut-turut tingkat kemampuan komunikasi yaitu sebanyak 231 orang responden atau 60,2% responden dengan kategori tinggi, 105 orang responden atau 27,3% dengan kategori sedang, dan 48 orang responden atau 12,5% dengan kategori rendah. Kemampuan komunikasi pada penelitian ini diukur dari empat aspek seperti yang diungkapkan oleh Cangara (2011) menjelaskan kriteria seorang komunikator yang baik yaitu a) Mengenal Diri sendiri. b) Kepercayaan. c.) Daya tarik, d). Kekuatan dapat dijelaskan di bawah ini: Mengenali diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.
Pada penelitian diperoleh gambaran perilaku
agresi secara keseluruhan berada pada kategori rendah Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 3. Agresi
Gambar 3 di atas memperlihatkan bawah secara berturut-turut perilaku agresi yaitu sebanyak 159 orang atau sebesar 41,4 % berada pada kategori yang sedang sebanyak 128 orang atau sebesar 33,3 % dan berada pada kategori yang tinggi sebanyak 97 orang atau sebesar 25,3 %. Perilaku agresi dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti yang diungkapkan oleh Buss dan Perry (dalam Ayu & Pratidina, 2019) yang membagi menjadi empat aspek yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi kemarahan dan agresi hostility.
Hal ini terjadi karena orang tua merasa belum mampu dalam mengendalikan emosinya hubungan antar variabel kemampuan komunikasi dan perilaku agresi terhadap orang tua di kota
Makassar. Kemampuan komunikasi yang
diungkapkan oleh DeVito dan DeVito (2013)
merupakan kemampuan seseorang dalam
memahami konteks, konten dan bentuk pesan, sehingga komunikasi berlangsung secara efektif. Kemampuan komunikasi merupakan kemampuan personal yang dimiliki oleh individu yang dapat dipelajari.
Dari pendapat ahli di atas maka kita akan
mampu menjelaskan bahwa kemampuan
komunikasi merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh semua orang, khususnya orang tua dalam mengendalikan perilakunya dan anaknya. Sehingga perilaku agresi tidak terjadi. Agar para orang tua memiliki kemampuan komunikasi tentunya ada beberapa yang harus dimiliki oleh orang tua Seperti yang diungkapkan oleh Cangara (2011) menjelaskan kriteria seorang komunikator yang baik yaitu a) Mengenal Diri sendiri. b) Kepercayaan. c.) Daya tarik, d). Kekuatan.
Sehingga kemampuan komunikasi yang harus dimiliki oleh orang tua harus dipelajari dan diamati dengan melihat kondisi lingkungan dan
Jurnal Psikologi Volume 19 Nomor 1 Juni 2021 38
kondisi anak. Agar orang tua mampu memahami
kondisi anak, sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan kepercayaan dari anaknya. Sehingga hambatan-hambatan dalam peristiwa komunikasi antara anak dan orang tua tidak terjadi. Karena pada hakikatnya bahwa memiliki kemampuan komunikasi
yang baik maka akan menciptakan hubungan
interpersonal yang baik antara anak dan orang tua
sehingga kecenderungan untuk menghindari
miskomunikasi yang dapat memunculkan perilaku agresi dapat diminimalisir.
Karena orang tua (komunikan) dan anak (komunikator) dapat berlangsung secara efektif. Karena hubungan antara orang tua dan anak dapat secara harmonis terjalin. Tentunya kemampuan komunikasi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yang seperti yang diungkapkan oleh Soler dan Jordan (dalam Aswar & Tawany, 2015) yang membagi menjadi enam
faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan
komunikasi seseorang diantaranya a) Acquisition Context, b) Usia pertama kali belajar bahasa,c) frekuensi penggunaan bahasa, di) Jenis kelamin, e) Usia, f) Tingkat Pendidikan. Keseluruhan faktor dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini berasal dari dalam diri komunikator/orang tua misalnya pengetahuan diri, kepercayaan, kompetensi, sikap dan perilaku. Sedangkan faktor eksternal belajar dari lingkungan dimana tempat berlangsungnya komunikasi juga berkontribusi terhadap kemampuan berkomunikasi termasuk respon komunikan dalam hal ini anak, sejauh mana mampu merespon dengan baik setiap pesan yang disampaikan oleh orang tuanya.
Menciptakan hubungan yang baik antara orang tua dan anak. Kemampuan komunikasi merupakan
keterampilan yang dibutuhkan dalam menjalin
hubungan sosial baik. Kemampuan komunikasi ini tentunya dapat dilihat dari bentuknya yaitu mendengar
responsif menjadi pendengar yang responsif,
mempertahankan perhatian dalam pembicaraan dan memberikan umpan balik terhadap lawan bicara. Kemampuan komunikasi merupakan salah satu ciri-ciri keterampilan sosial. Seseorang yang memiliki kemampuan mendengar secara responsif, akan dapat merespon pesan dari orang lain secara proporsional, disesuaikan dengan situasi dan kondisi komunikan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pemilihan kata-kata yang tepat, Sehingga dalam proses komunikasi akan menciptakan suasana yang nyaman dalam melakukan proses interaksi sosial.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi memiliki pengaruh secara negatif signifikan terhadap perilaku agresi pada orang tua di kota Makassar sebesar 4.1%. Temuan peneliti ini
sejalan dengan hasil penelitian Issom (2020) yang menemukan bahwa terdapat pengaruh negatif signifikan komunikasi interpersonal orang tua-anak terhadap agresi siswa kepada guru sebesar 4,4 %. Artinya jika semakin intens komunikasi antar orang tua dan anak maka akan menekan perilaku agresi pada anak (siswa). Hal ini memberikan kita gambaran bahwa kemampuan komunikasi merupakan hal yang penting untuk diperbaiki sehingga perilaku agresi dapat dihindari. Tentunya hal ini harus didukung dengan adanya self control baik dari seluruh komunikator khususnya orang tua. Dimana pada hipotesis selanjutnya menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara self control terhadap perilaku agresi pada orang tua kepada anaknya.
Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi self control seseorang maka dapat menekan perilaku agresi orang tua khususnya kepada anaknya. Temuan ini juga senada dengan penelitian Sentana dan Kumala (2017) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self control dengan perilaku agresi pada remaja di Banda Aceh, dengan besaran hubungan yaitu 44, 8%.
Hal tersebut di atas juga didukung oleh penelitian Aroma dan Seminar, (dalam Rahayu, 2018) menemukan bahwa Individu dengan self control yang rendah senang menanggung resiko dan melanggar aturan tanpa mempertimbangkan efeknya, sebaliknya pada self control yang tinggi tentunya dapat menekan perilaku agresi. Juga dikuatkan oleh hasil penelitian Rahayu (2018) yang juga menemukan bahwa kontrol diri berpengaruh terhadap perilaku agresi pada remaja di SMP 27 Samarinda.
Pendapat Brookings, De Roo, dan Grimone (dalam Hastuti, 2018) yang menyatakan bahwa self control dan agresi merupakan dua sisi mata koin yang saling bertolak belakang. Pendapat ini
berdasarkan pada hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa sifat agresif mampu
mendorong seseorang untuk perilaku marah, sementara di sisi lain jika seseorang memiliki self controlyang baik maka akan dapat mengurangi munculnya perilaku marah. Sehingga jika situasi lingkungan memaksa seseorang untuk berperilaku agresif, maka self control dapat meminimalisir atau menekan dorongan pemenuhan kebutuhan agresinya, dan membantu seseorang untuk merespon sesuai dengan norma yang berlaku pada lingkungan.
Pendapat di atas senada dengan ungkapan Risnawati dan Ghufron (2010) menyatakan bahwa
Jurnal Psikologi Volume 19 Nomor 1 Juni 2021 39
self control merupakan usaha yang dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif baik secara individu maupun kelompok dan lingkungannya, akibat dari keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Sehingga Self control yang baik sangat dibutuhkan oleh orang tua untuk mengendalikan emosi dan mengatur perilakunya agar tidak melakukan agresi kepada anaknya (dalam Auliya, 2015). Tentunya Self control ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dinyatakan oleh Risnawati dan Ghufron (2010) bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi self control adalah faktor internal yaitu usia dan faktor eksternal yaitu lingkungan.
Jika kita melihat berbagai uraian diatas maka kita dapat memberikan gambaran bahwa sangat penting untuk mengetahui hal apa saja yang dapat menurunkan self control sehingga akan memicu munculnya perilaku agresi orang tua terhadap anak, sebaliknya jika kita
mampu mengetahui faktor-faktor yang dapat
meningkatkan Self control maka, kita akan dapat meminimalisir perilaku agresi orang tua terhadap anak Kemudian hasil uji secara simultan ditemukan bahwa
secara bersama-sama antaraSelf control dan
kemampuan komunikasi berpengaruh negatif signifikan terhadap perilaku agresi orang tua terhadap anaknya. Artinya semakin tinggi self control dan kemampuan komunikasi orang tua maka akan dapat menurunkan perilaku agresi orang tua kepada anaknya.
Pendapat di atas senada dengan hasil penelitian Diponegoro dan Malik (2016) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan komunikasi, pola asuh dan control diri terhadap perilaku agresi. Dimana kemampuan komunikasi memiliki kontribusi sebesar 13,44% dan Self control sebesar 3,92% terhadap penurunan perilaku agresi orang tua. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh (dalam Ayu & Pratidina, 2019) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara komunikasi efektif orang tua –remaja dan control diri terhadap perilaku agresi remaja. Hal ini menunjukkan bahwa self control dan kemampuan komunikasi secara bersama-sama dapat menurunkan perilaku agresi pada remaja.
Sehingga self control dan kemampuan
komunikasi menjadi hal yang harus dimiliki oleh orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga perilaku agresi dapat diminimalisir. Karena sesungguhnya perilaku agresi tidak dapat dihilangkan namun dapat diminimalisir.
Hal ini didukung oleh pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa perilaku agresi pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi tiga seperti yang diungkapkan oleh Sarwono (1999) yang memandang bahwa teori agresivitas terbagi dalam beberapa sudut pandang, yaitu teori bawaan, teori environmentalis
(lingkungan), dan teori kognitif. Pada hakikatnya teori bawaan menyatakan bahwa dorongan agresi
tersebut dapat muncul kapanpun sangat
tergantung terhadap stimulus-stimulus yang ada. Sebagai upaya manusisa atau individu untuk mencapi kesimbangan. Timbulnya perilaku pada individu menurut Freud lebih dimotivasi oleh pleasure principle yakni keinginan memperoleh
kesenangan semaksimal mungkin dan
menghindari rasa sakit.
Pendapat ini didukung oleh K. Lorenz (dalam Sarwono, 1999) Perilaku laku agresi merupakan salah satu naluri hewan dengan tujuan untuk bertahan (survival) dalam proses evolusi. Agresi yang bersifat survival ini, bersifat adaptif (menyesuaikan diri terhadap lingkungan) bukan destruktif (merusak lingkungan).
Dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa agresi merupakan dorongan dasar pada manusia yang harus dinyatakan. Kedua ialah teori lingkungan. Teori ini berpendapat perilaku agresi adalah respon terhadap peristiwa atau stimulus yang terjadi pada lingkungan seseorang. Bila lingkungan tidak memberikan situasi yang
mendukung akan menyebabkan timbulnya
frustasi. Selain itu agresi tidak hanya pelampiasan dari frustasi tetapi juga merupakan hasil proses belajar. Menurut Bandura (dalam Sarwono, 1999) bahwa perilaku agresi merupakan perilaku yang dipelajari dari model yang dilihat dalam
lingkungan sehari-hari, misalnya dalam
lingkungan keluarga, pertemanan dan kebudayaan yang dapat diperoleh baik langsung maupun tak langsung (melalui media massa). Bila lingkungan memberikan pengaruh yang buruk, membenarkan tindakan antisosial, maka dapat menyebabkan munculnya reaksi emosional yang buruk pada seseorang, sebagai upaya untuk mempertahankan diri atau membenarkan perilakunya.
Sehingga peran orang tua dalam proses ini sangat dibutuhkan agar anak mampu belajar dengan baik dalam menanggapi atau menjalani kehidupan sehingga dapat meminimalisir perilaku agresi. Hal ini sejalan dengan pendapat Gunarsa dan Gunarsa (dalam Nisfiannoor & Yulianti, 2005) menyatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama, saat anak memperoleh pengalaman-pengalaman pertama yang dapat mempengaruhi hidupnya, sehingga keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak. Pada teori kognisi, teori ini, menitikberatkan pada kesadaran dalam membentuk klasifikasi, pemberian sifat-sifat (pengatribusian) dan membuat keputusan.
Jurnal Psikologi Volume 19 Nomor 1 Juni 2021 40
Kesalahan dalam proses ini maka akan menjadi pemicu dalam terbentuknya perilaku agresi. Kemampuan individu atau seseorang dalam mengendalikan dirinya dalam berkomunikasi dan berperilaku sehingga perilaku agresi ini dapat dihindari. Dengan meminimalisir kesalahpahaman antara orang tua dan anak. Karena keduanya terhadap kepercayaan dan kesamaan dalam peristiwa ini.
Karena setiap keputusan yang diambil oleh orang tua dianggap tepat oleh anaknya sehingga muncul kepercayaan penuh oleh anak terhadap orang tuanya. Karena keberhasilan dalam menciptakan komunikasi yang efektif dan berlangsung dua arah. Karena kemampuan dalam mengendalikan dorongan-dorongan yang bersifat diskruptif dalam proses pengasuhan anak oleh orang tuanya. terdapat dua jenis faktor yang menyebabkan perilaku agresi yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor dari luar diri individu (eksternal) (dalam Diponegoro & Malik, 2016).
Dimana faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan seperti Kepribadian, hubungan interpersonal, Usia, Jenis Kelamin, rasa frustasi, Deindividuasi, Pola Asuh, Suhu udara. Penjelasan sebagai berikut: pada hubungan interpersonal merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Hubungan
interpersonal ini akan berhubungan dengan
keterampilan komunikasi, Sehingga bila seseorang memiliki kemampuan komunikasi yang kurang baik maka akan dapat memicu agresivitas saat berhubungan dengan orang lain, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu kemampuan komunikasi menjadi hal yang paling utama dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Sehingga peneliti melihat bahwa dalam upaya mencegah atau meminimalisir perilaku agresi di tengah-tengah masyarakat khususnya pada masyarakat kota Makassar. Kita harus memutus mata rantai proses munculnya perilaku agresi yaitu keluarga. Pada keluarga yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal, tentunya harus didukung oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial lainya. Self control dan Kemampuan komunikasi terbukti dapat menurunkan perilaku agresi orang tua terhadap anaknya di Kota Makassar. Sehingga jika kedua hal ini dapat dimaksimalkan dan dijalankan secara massif maka akan berkontribusi besar pada kesejahteraan sosial masyarakat kota Makassar dengan menurunnya perilaku agresi pada masyarakat Kota Makassar
Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif signifikan self control dan kemampuan komunikasi terhadap perilaku agresi orang tua kepada anak di kota Makassar. Dengan besarnya
koefisien determinasi atau R Square. Dari analisis data maka diperoleh besaran R Square sebesar 0,07 atau sama dengan 7 %. Angka tersebut berarti bahwa self control (X1) dan kemampuan komunikasi (X2) secara simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap agresivitas orang tua kepada anak di Kota Makassar sebesar 7%. Sedangkan sisanya sebesar 93% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Pengaruh secara parsial self control Sebesar 0,172 dan Kemampuan komunikasi sebesar -0,128, Koefisien bernilai negatif berarti terdapat pengaruh negatif signifikan antara self control dan kemampuan komunikasi terhadap agresivitas orang tua kepada anak. Maksudnya yaitu semakin
meningkat self control dan kemampuan
komunikasi orang tua maka semakin mampu mengurangi perilaku agresi orang tua kepada anaknya
Daftar Pustaka
Aswar. (2017). Hubungan Pelatihan dan
Kemampuan
Komunikasi
Karyawan
Circle K Cabang Makassar. Jurnal
Al-Bayan, 23(1), 40–51.
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bayan/article/view
/2065/1533
Aswar, & Tawany. (2015). Hubungan
pelatihan dan kemampuan komunikasi
karyawan serta kepuasan pelanggan
pada perusahaan circle k cabang
makassar. 4(1), 10–18.
Auliya, M. (2015). Hubungan kontrol diri
dengan perilaku agresi pada siswa SMA
Negeri
1
Padangan
Bojonegoro.
Character: Jurnal Penelitian Psikologi.,
2(3).
Ayu, P., & Pratidina, O. (2019). Peran
komunikasi efektif orangtua-remaja dan
kontrol diri terhadap tingkat agresivitas
remaja SMA di Kota Denpasar. 6(1),
828–837.
Azwar,
S.
(2012).
Penyusunan
Skala
Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Cangara,
H.
(2011).
Pengantar
ilmu
komunikasi. PT RajaGrafindo Persada.
Jurnal Psikologi Volume 19 Nomor 1 Juni 2021 41