• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Kriminalitas

Tindak kriminal atau tindakan kejahatan umumnya dilihat bertentangan dengan norma hukum, norma sosial, dan norma agama. Beberapa tindakan yang termasuk dalam tindakan kriminal antara lain adalah pencurian, penganiayaan, pembunuhan, penipuan, pemerkosaan, dan perampokan. Tindakan kejahatan ini biasanya menyebabkan pihak lain kehilangan harta benda, cacat tubuh, bahkan kehilangan nyawa. Tindakan kejahatan mencakup pula semua kegiatan yang dapat mengganggu keamanan dan kestabilan negara, seperti korupsi, makar, subversi, dan terorisme (Kusnarto, 2013).

Apabila berbicara tentang kejahatan seringkali yang dimaksudkan adalah jenis kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti pembunuhan, perampokkan, penganiayaan, pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan, penipuan, atau berbagai jenis kejahatan yang disebut sebagai violent offens (kejahatan yang disertai kekerasan pada orang lain) dan property offens (kejahatan yang menyangkut hak milik orang). Namun ada ahli sosiologi yang membuat klasifikasi berbeda dengan klasifikasi yang dianut masyarakat atau penegak hukum. Light, Keller, dan Calhoun membedakan tipe kejahatan menjadi empat, yaitu sebagai berikut (Kusnarto, 2013):

(2)

Kejahatan ini tidak mengakibatkan penderitaan pada korban akibat tindak pidana orang lain. Contoh : perbuatan berjudi, penyalahgunaan obat bius, mabuk-mabukan, hubungan seks yang tidak sah yang dilakukan secara sukarela oleh orang dewasa. Meskipun tidak membawa korban, perilaku-perilaku tersebut tetap di golongkan sebagai perilaku menyimpang dan ini merupakan permasalahan sosial juga. Kejahatan jenis ini dapat mengorbankan orang lain apabila menyebabkan tindakan negatif lebih lanjut, misalnya seseorang ingin berjudi tapi karena ia tidak memiliki uang lalu ia mencuri harta milik orang lain.

2. Kejahatan terorganisasi (organized crime)

Pelaku kejahatan merupakan komplotan yang secara berkesinambungan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang atau kekuasaan dengan jalan menghindari hukum. Misalnya, komplotan korupsi, penyediaan jasa pelacur, perjudian gelap, penadah barang curian, atau pinjaman uang dengan bunga tinggi.

3. Kejahatan kerah putih (white collar crime)

Kejahatan ini merupakan tipe kejahatan yang mengacu pada kejahatan yang dilakukan oleh orang terpandang atau orang yang berstatus tinggi dalam rangka pekerjaanya. Contoh : penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan oleh pemilik perusahaan, atau pejabat negara yang melakukan korupsi.

4. Kejahatan korporat (corporate crime)

Kejahatan ini merupakan kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian. Misalnya, suatu

(3)

perusahaan membuang limbah beracun ke sungai dan mengakibatkan penduduk sekitar mengalami berbagai jenis penyakit.

Sullivan (2009:309) menjelaskan data yang diperoleh oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) tentang fakta kriminalitas yang terjadi selama ini dapat dibagi menjadi dua garis besar yakni : kriminalitas pada perseorangan (personal

crime) dan kriminalitas property/kepemilikan (property crime). Korban dari personal crime sangat beragam dan berada dalam bahaya yang cukup besar,

contoh dari tindakan kriminalitas ini adalah pembunuhan, pemerkosaan, penyerangan, dan sebagainya. Sedangkan property crime berupa tindakan pencurian kendaraan dan barang berharga, pembongkaran disertai pencurian, pencopetan, dan sebagainya.

Kejahatan, seperti yang dituliskan oleh Kusnarto (2013) dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai pelanggaran terhadap hukum pidana atau hukum lainnya yang ditetapkan oleh negara, dan secara sosiologis kejahatan dipandang sebagai setiap tindakan yang dianggap melukai secara sosial dan yang dipidana oleh negara apa pun bentuk pidananya. Para kriminolog menganggap pendefinisian kejahatan tidak hanya dalam pengertian hukum saja, tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai setiap tindakan yang dapat dipidana oleh negara, terlepas apakah pidana kejahatan, administrasi atau umum. Para kriminolog membedakan antara kejahatan hukum adat/kejahatan konvensional (Common law Crime), kejahatan kerah putih (White Collar Crime) dan kejahatan remaja (Adolescent

(4)

Kejahatan konvensional adalah kejahatan yang dianggap oleh semua orang sebagai kejahatan, misalnya pembunuhan, perkosaan, perampokan, dan penyerangan. Sedangkan Occupational crime atau kejahatan kerah putih adalah kejahatan umum oleh orang-orang dari kalangan bisnis, pekerja, politikus, dan lain-lain dalam hubungannya dengan okupasi (pekerjaan) mereka. Pelaku kejahatan yang berusia di bawah 18 tahun biasanya dianggap sebagai seorang

Juvenile Delinquent, atau bukan penjahat. Pelanggaran yang remaja lakukan

berkisar sekitar ketidakdisiplinan, lari dari rumah dan membolos sekolah. Kejahatan kekerasan seperti pembunuhan, penyerangan yang mematikan dan perkosaan biasanya didahului dengan penyerangan atau ancaman penyerangan terhadap korban. Oleh hukum, kejahatan seperti itu dianggap sebagai kejahatan serius.

Pola kejahatan kekerasan adalah serupa walaupun terkadang tidak sama. Pelaku dan korbannya umumnya orang muda dari kelas bawah dari daerah kumuh kota (slump areas) (Kusnarto, 2013). Pembunuhan dan penyerangan adalah perilaku yang cenderung tidak direncanakan. Ini berkaitan dengan situasi emosi pelaku dan pengaruh alkoholisme atau kecanduan obat-obatan. Sebaliknya, perkosaan cenderung direncakan pelakunya. Perkosaan telah mengalami perubahan definisi sehingga saat ini dianggap sebagai kejahatan kekerasan. Kekerasan juga terjadi dalam hubungan keluarga. Biasanya yang menjadi korban adalah istri, anak dan orang lanjut usia.

Pelaku kejahatan kekerasan dapat dijatuhi hukuman berat oleh sistem peradilan pidana. Kasus kejahatan kekerasan seperti pembunuhan banyak yang

(5)

dilaporkan ke polisi, tetapi untuk perkosaan seringkali tidak dilaporkan oleh korbannya. Kejahatan terhadap ekonomi dan keteraturan politik perilaku kejahatan adalah sangat beragam, dapat dilakukan secara berkelompok atau sendiri-sendiri. Beberapa kejahatan melibatkan unsur kekerasan dan yang lainnya tidak, seperti yang terjadi dalam kejahatan pencurian. Kejahatan dapat dilakukan oleh orang-orang dari berbagai status dan kelas sosial berkaitan dengan pekerjaannya ataupun dilakukan secara berkelompok, seperti halnya organisasi guna mencapai tujuan organisasi. Penjahat berbeda-beda menurut identifikasi mereka kepada kejahatan dan penjahat lain, tingkat keterlibatannya dengan kejahatan sebagai perilaku, dan peningkatan dalam mengambil alih teknik-teknik dan norma-norma kejahatan.

Para pelaku kejahatan terhadap properti yang okupasional adalah pelaku kejahatan yang terkait dengan situasi tertentu. Mereka biasanya mendukung tujuan masyarakat yang umum dan mendapatkan sedikit dukungan bagi perilakunya dari norma-norma subkebudayaan. Kebanyakan mereka tidak meningkatkan karier kejahatannya dan reaksi masyarakat mencair bila pelaku tidak mempunyai catatan kejahatan sebelumnya.

Pemerintah membuat peraturan dan hukum guna melindungi kepentingan dan keberadaannya. Perilaku kejahatan yang melanggar hukum ini dianggap sebagai perilaku kejahatan politik. Peraturan hukum yang khusus mengatur suatu masalah misalnya hukum tentang konspirasi, sebagaimana halnya hukum tradisional dibuat untuk mengawasi dan menghukum mereka yang mengancam negara.

(6)

Selanjutnya, Sullivan (2009:310) juga menjelaskan tentang korban dari tindak kriminalitas. Seperti yang sudah disinggung pada bab 1, bahwa korban kejahatan dapat dilihat berdasarkan 3 hal, yakni :

1. Tingkat pendapatan 2. Tempat tinggal 3. Ras/ warna kulit

Penjelasan tentang ketiganya adalah bahwa dengan pendapatan yang lebih tinggi akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi korban dari tindak kriminalitas. Atau dapat diartikan bahwa, orang dengan pendapatan kecil lebih berpeluang menjadi korban, sedang orang dengan pendapatan tinggi akan sulit menjadi korban. Masyarakat dengan pendapatan tinggi cenderung lebih selektif dalam memilih tempat tinggal dan faktor keamanan, sehinggalebih kecil kemungkinan untuk mereka menjadi korban tindak kejahatan.

Selanjutnya yakni, orang yang tinggal di kawasan perdesaan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menjadi korban daripada orang yang tinggal di kawasan tengah kota. Hal ini sesuai dengan pendapat yang pertama tadi, dimana seseorang dengan pendapatan yang tinggi akan lebih memilih tinggal di kawasan perkotaan. Sullivan membantah dengan data yang ditunjukkan pada criminal

victimization rates tahun 2003 (2009:311). Orang yang tinggal di kawasan

perdesaan juga identik dengan masyarakat dengan pendapatan lebih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan.

Terakhir, yang dapat menjadi korban adalah menurut Ras, penjelasan dari Sullivan mengungkapkan bahwa orang kulit hitam lebih berpotensi menjadi

(7)

korban tindak kriminalitas dibandingkan dengan orang kulit putih. Pada penelitian ini nantinya juga akan melihat ras atau suku dari mana penduduk itu berasal. Jadi akan dilihat apakah berpengaruh atau tidak perbedaan pada ras atau suku asli, dengan suku pendatang yang menjadi korban tindak kriminalitas.

Tindakan kriminalitas atau kejahatan bersifat universal dan tidak terbatas ruang dan waktu disebabkan ia bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan terhadap siapa saja. Pada kenyataannya, seperti yang diungkapkan oleh Sullivan di atas, tindak kriminal di perkotaan (kota besar) lebih sering terjadi daripada di perdesaan (kota kecil). Berdasarkan Laporan Statistik Kriminal tahun 2007 (Parasati, 2011:12) diketahui bahwa persentase penduduk yang pernah menjadi korban kejahatan di perkotaan adalah sebesar 1,3%, sedangkan di perdesaan 1,0%. Sementara itu, hampir separuh (49,8%) jumlah tindak pidana yang tercatat pada tahun 2006 terjadi di wilayah Pulau Jawa, yang menjadi konsentrasi wilayah perkotaan di Indonesia.

Beberapa penyebab tingkat kriminalitas di kota besar lebih tinggi dibandingkan dengan kota kecil menurut Sullivan ada tiga hal utama. Pertama, kesempatan yang lebih besar, yakni 25% lebih besar dibandingkan dengan kota kecil. Jadi, target korban di kota besar lebih menguntungkan karena selain variatif, tingkat pendapatan juga lebih besar. Kedua, tingkat kemungkinan penangkapan dari pihak kepolisian adalah cukup rendah (perbedaan sekitar 15% dibandingkan kota kecil). Selain karena banyaknya jumlah tersangka/orang yang dicurigai, di kota besar juga sangat minim jiwa sosial antar tetangga sehingga akan sedikit menyulitkan kepolisian. Ketiga, kepala keluarga di kota besar lebih banyak

(8)

dipegang oleh wanita (sekitar 50%). Sullivan menambahkan, faktor ini belum cukup meyakinkan, tetapi Sullivan beranggapan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga dengan orang tua tunggal akan lebih sulit mencari pekerjaan dan lebih lemah dalam menghadapi tindak kriminal (karena tidak adanya asuhan dari ayah). Kriminalitas yang terjadi di perkotaan selain jumlah banyak tentu sangat bervariasi jenisnya. Begitu juga dengan tindak kriminalitas yang ada di perumahan, Tindak kriminalitas di lingkungan perumahan dapat beragam, tetapi nantinya dalam penelitian ini hanya dibatasi pada kejahatan yang dikategorikan dalam kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan yang ada di lingkungan perumahan lebih sering ditujukan kepada kejahatan terhadap harta benda, dimana besamya kerugian materiil menjadi tolok ukur tingkat kejahatan. Jenis kejahatan yang menyangkut kejahatan harta benda adalah perusakan dan pencurian.

Tindakan pencegahan kriminalitas sangat diperlukan agar tidak semakin berkembang di masyarakat. Sullivan (2009:315-320) menjelaskan tentang beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak kriminalitas. Selain dengan interaksi sosial lingkungan, beberapa hal lainnya yakni meningkatkan hukuman bagi pelakunya. Dengan hukuman yang setimpal diharapkan ada hukum yang tegas bagi pelaku tindak kriminalitas agar meninggalkan efek jera. Sullivan juga menambahkan, bahwa dengan hidup mapan berupa penghasilan tinggi, masyarakat akan lebih tidak tertarik untuk melakukan tindak kriminalitas. Dengan kata lain, sebuah komunitas dengan masyarakat berpenghasilan tinggi akan sedikit sekali melakukan tindak kriminal dan menjadi korban. Selain itu, perbaikan moral

(9)

dan pendidikan di dalam tempat rehabilitasi menjadi alternatif lain yang dapat diandalkan.

Moral yang baik tersebut akan dapat menjadi pembeda karakteristik individu yang tinggal di masyarakat. Begitu juga halnya dengan pendidikan. Sullivan menyatakan bahwa :“Education reduces crime by increasing the

opportunities for lawful work. … So, the link between education and crime is the graduation premium : graduation increases wages, decrease crime”. Jadi, dengan

pendidikan yang semakin tinggi, standar kehidupan meningkat, pendapatan yang juga tinggi berkaitan erat dengan turunnya tindak kriminalitas di masyarakat.

Pencegahan dan pendekatan tradisional, adalah faktor yang tidak termasuk dalam kegiatan ini, namun perlu diketahui sebagai bagian dari pemahaman terhadap perilaku pengamanan (Astuti, 2005). Pendekatan tersebut adalah dengan melakukan:

• Peningkatan efektifitas hukum serta peningkatan jumlah dan kinerja aparat penegak hukum.

• Melakukan pengentasan akar-akar kriminalitas (seperti kemiskinan dan pengangguran), serta mencegah atau menetralisir faktor-faktor penyebab kejahatan. Namun demikian pendekatan tradisional tersebut tidak secara langsung dapat mengatasi fear of crime, yaitu rasa takut terhadap kriminalitas itu sendiri.

2.1.2 Kota, Perkotaan dan Kabupaten

Kota (city) pada dasarnya adalah wilayah perkotaan yang telah mempunyai status administrasi sebagai sebuah kota, baik kota kecil, Kota besar, maupun kota metropolitan. Perkembangan sebuah kota sangat erat kaitannya

(10)

dengan jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah perkotaan tersebut. Menurut Adisasmita (2005), pada umumnya kota diartikan sebagai suatu wilayah dimana terdapat pemusatan (konsentrasi) penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya, dan administrasi pemerintahan. Secara lebih rinci dapat digambarkan bahwa sebuah kota meliputi konsentrasi daerah pemukiman berpenduduk cukup besar dan dengan kepadatan yang relatif tinggi dimana kegiatan penduduk didominasi oleh kegiatan non-pertanian seperti industri, perdagangan dan jasa, baik dibidang keuangan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan pariwisata. Sedangkan pola hubungan ke masyarakat pada sebuah kota akan bersifat lebih efisien dan rasional dan tidak terlalu banyak bersifat tradisional dan emosional.

Sumber dari internet, yakni Wikipedia mengartikan kota dengan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri. Jadi, kota merupakan wilayah atau kawasan pemukiman penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi di luar pertanian yang berupa kumpulan rumah-rumah dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.

Wilayah perkotaan (urban areas) menurut Sjafrizal (2012:184) diartikan sebagai konsentrasi penduduk pada suatu wilayah atau daerah tertentu. Ciri-ciri daerah perkotaan dapat dilihat dari tiga aspek utama yaitu jumlah penduduk berdiam di daerah bersangkutan, kepadatannya untuk setiap kilometer persegi serta struktur perekonomiannya. Suatu daerah dikatakan sudah menjadi wilayah

(11)

perkotaan jika telah ditempati oleh penduduk paling kurang 50.000 orang. Dilihat dari segi kepadatan biasanya sebuah kota mempunyai kepadatan penduduk paling kurang 100 orang untuk setiap kilometer persegi. Sedangkan struktur perekonomian kota biasanya tidak lagi didominasi oleh sektor pertanian, tetapi telah mulai menjadi daerah industri, perdagangan, dan jasa yang lebih besar dari sektor pertanian.

Adisasmita (2013: 27) menyebutkan bahwa, dalam suatu wilayah terdapat beberapa pusat (kota) besar dan kecil yang tersusun secara hirarkis, yang berinteraksi satu sama lain secara intensif. Masing-masing pusat (kota) mempunyai jasa distribusi yang sering disebut simpul jasa distribusi, atau biasa disebut simpul. Jasa distribusi merupakan kegiatan jasa perdagangan dan jasa transportasi (pengangkutan). Ketika suatu kota makin besar, maka akan semakin luas pula wilayah pengaruhnya.

Kota yang berfungsi sebagai simpul jasa distribusi merupakan konsentrasi penduduk beserta berbagai kegiatan produktif berupa perdagangan, industri dan jasa (Adisasmita, 2013: 28). Hal tersebut tentunya memiliki daya tarik bagi penduduk di luar kota untuk melakukan urbanisasi dan para pemilik modal dan investor untuk menempatkan kegiatan usahanya di kota. Selanjutnya mereka akan memiliki daya sebar mendistribusikan barang-barang yang diperdagangkan ke wilayah pengaruhnya di luar kota, yang memunculkan kecenderungan bahwa kota-kota berkembang makin besar.

Perkembangan wilayah perkotaan sangat ditentukan oleh tingkat urbanisasi yang terdapat di wilayah bersangkutan. Urbanisasi pada dasarnya

(12)

adalah proporsi jumlah penduduk yang hidup di wilayah perkotaan (Sjafrizal, 2012:185). Sedangkan urbanisasi itu sendiri ditentukan pula oleh tiga unsur yaitu : pertumbuhan penduduk (population growth), perpindahan penduduk dari desa ke kota (urban-rural migration) dan bila terjadi pemekaran wilayah perkotaan. Sedangkan secara alamiah pertumbuhan penduduk ditentukan oleh tingkat kesuburan ibu (fertility) dan tingkat kematian (mortality) rata-rata.

Lebih jauh, BPS telah memberikan penjelasan untuk memahami klasifikasi dan perbedaan antara daerah perkotaan dan pedesaan, sebagai berikut : 1. Daerah perkotaan, adalah suatu wilayah administratif setingkat desa/kelurahan

yang memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas perkotaan, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya.

2. Daerah perdesaan, adalah suatu wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas perkotaan, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya.

Kriteria desa perkotaan yang telah disempurnakan beberapa kali oleh BPS menggunakan 3 (tiga) indikator sebagai ukurannya, yaitu: kepadatan penduduk per km2 (KPD), persentase rumah tangga pertanian (PRT), dan keberadaan atau akses untuk mencapai fasilitas perkotaan (AFU).

Berdasar 3 (tiga) indikator di atas diketahui bahwa suatu desa dapat mencapai skor maksimum yang besarnya 26 dan mencapai skor minimum yang besarnya 2. Batas skor (cut of point) yang digunakan untuk penentuan desa

(13)

perkotaan besarnya 10. Sehingga desa-desa yang mempunyai total skor 10 atau lebih ditetapkan sebagai desa perkotaan, sebaliknya desa-desa dengan total skor kurang dari 10 ditetapkan sebagai desa perdesaan. Pada Tabel 2.1 disajikan secara lengkap variabel, klasifikasi, skor, dan kriteria yang digunakan dalam klasifikasi desa perkotaan-perdesaan.

Kabupaten sendiri diartikan sebagai pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang bupati. Selain kabupaten, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kota. Secara umum, baik kabupaten dan kota memiliki wewenang yang sama. Kabupaten maupun kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Dahulu istilah kabupaten dikenal dengan Daerah

Tingkat II Kabupaten. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat II dihapus, sehingga

Daerah Tingkat II Kabupaten disebut Kabupaten saja.

Tingkat kriminalitas meningkat sesuai dengan ukuran sebuah kota. Kota yang luas/besar (dengan populasi minimal 250.000) memiliki dua kali jumlah kriminalitas dibandingkan kota kecil (populasi kurang dari 10.000). Untuk tindak kriminal pada jenis property (barang hak milik), 30% lebih tinggi terjadi di kota besar dibanding kota kecil (Sullivan, 2009:322). Hal ini nantinya akan menjadi acuan untuk melihat tinggi rendahnya tingkat kriminalitas di wilayah Kota Kediri maupun Kabupaten Sumbawa Barat dengan jumlah populasi penduduk dan luas wilayah yang berbeda, dimana salah satu wilayahnya juga berada di pulau Jawa dan luar pulau Jawa.

(14)

Tabel 2.1

Variabel, Klasifikasi, Skor, dan Kriteria Desa Perkotaan

Variabel/ Klasifikasi [1] Skor [2] TOTAL SKOR Skor minimum 2 Skor maksimum 26 1. Kepadatan penduduk 500 1 500 – 1.249 2 1.250 – 2.499 3 2.500 – 3.999 4 4.000 – 5.999 5 6.000 – 7.499 6 7.500 – 8.499 7 8.500  8

2. Persentase rumah tangga pertanian

70,00  1 50,00 – 69,99 2 30,00 – 49,99 3 20,00 – 29,99 4 15,00 – 19,99 5 10,00 – 14,99 6 5,00 – 9,99 7 5,00 8

3. Akses fasilitas umum 0, 1, 2, …, 10 A). Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)

Ada atau 2,5 km 1

2,5 km 0

B). Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Ada atau 2,5 km 1

2,5 km 0

C). Sekolah Menengah Umum (SMU)

Ada atau 2,5 km 1 2,5 km 0 D). Pasar Ada atau 2 km 1 2 km 0 E). Pertokoan Ada atau 2 km 1 2 km 0 F). Bioskop Ada atau 5 km 1 5 km 0 G). Rumah Sakit Ada atau 5 km 1 5 km 0 H). Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti pijat/Salon Ada 1 Tidak ada 0

I). Persentase Rumah Tangga Telepon

8,00 1

8,00 0

J). Persentase Rumah Tangga Listrik

90,00 1

90,00 0

Total Skor 10 Desa Perkotaan (Urban) Total Skor 10 Desa Perdesaan (Rural) Sumber : BPS, 2014

(15)

2.1.3 Perumahan

Perumahan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat pada segala lapisan. Pada daerah perkotaan, perumahan juga menjadi kebutuhan utama yang sangat “urgent” untuk dipenuhi. Permintaan perumahan di perkotaan pada dasarnya akan sebanding dengan keinginan masyarakat akan perumahan itu sendiri. Kebutuhan akan jasa produk perumahan sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan besar-kecilnya ukuran keluarga.

Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, perumahan berada dan merupakan bagian dari permukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (pasal 1 ayat 2). Pembangunan perumahan diyakini juga mampu mendorong lebih dari seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan permukiman (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman ).

Pembahasan tentang perumahan juga pasti akan membahas tentang permukiman. Pengertian permukiman menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3 adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur (pasal 1 ayat 3).

(16)

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Jadi, pemukiman adalah suatu wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia. Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar.

2.1.4 Aglomerasi

Istilah aglomerasi muncul berawal dari ide Marshall tentang penghematan aglomerasi (agglomeration economies) atau dalam istilah Marshall disebut disebut industri yang terlokalisasi (localized industries). Marshall dalam Kuncoro (2011:221) berpendapat bahwa localized industries muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan jika mengikuti tindakan mendirikan usaha di sekitar lokasi tersebut. Aglomerasi menurut Montgomery diartikan sebagai konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena “penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen” (Kuncoro, 2011:222).

Senada dengan yang diungkapkan oleh Montgomery, Markusen dalam Kuncoro (2011:223) berpendapat bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang “tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia

(17)

jasa-jasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Benang merah yang diungkapkan Kuncoro dari definisi diatas bahwa suatu aglomerasi tidak lebih dari sekumpulan kluster industri. Namun, suatu kluster, superkluster bahkan kumpulan kluster tidak dapat diidentikkan dengan suatu kota (Kuncoro, 2011:224). Jadi dapat disimpulkan bahwa, sebesar apapun suatu kluster tetapi jika tidak membangun suatu wilayah menjadi suatu wilayah industri, maka tidak dapat disebut kota, sehingga belum bisa diartikan aglomerasi di wilayah sekitar kota utama tersebut.

2.1.5 Pengertian Crime Prevention Through Environmental Design

Crime Prevention Throught Environmental Design atau CPTED,

merupakan konsep yang digunakan untuk mengevaluasi dan merancang ulang suatu kawasan yang dinilai rawan terhadap kriminalitas (Astuti, 2005). Konsep ini telah diterapkan di negara-negara Barat pada sekitar tahun 60-an. Pencegahan Kejahatan Melalui Perancangan Lingkungan atau PKMPL merupakan terjemahan dari CPTED yakni, merupakan altematif pendekatan dengan mengurangi atau mencegah kriminalitas. Pendekatan ini dilakukan dengan merancang kota atau lingkungan dengan mempersempit atau mengurangi kesempatan untuk berbuat kriminalitas.

Terdapat tiga komponen atau konsep dasar pencegahan kejahatan melalui perancangan lingkungan (Astuti, 2005) , yaitu:

1. Mengurangi akses kriminalitas dengan perlengkapan kunci, jendela dan kamera pengawas.

(18)

2. Perubahan terhadap lingkungan fisik, sehingga mengurangi kesempatan untuk melakukan kejahatan.

Secara alami dikenali adanya upaya untuk mengurangi kriminalitas, yaitu : • Menciptakan ruang yang tanpa disadari dapat mengikut sertakan sebanyak mungkin orang untuk terlibat dalam pengawasan, dan mencegah masuknya orang yang tidak dikenal ke dalam kawasan, melalui konsep 'mudah terlihat dan terawasi dari jalan' .

• Tidak menciptakan ruang yang tertutup dari pengawasan, serta membatasi akses masuk ke kawasan.

• Tidak menciptakan ruang - ruang yang tidak terdefinisi dengan jelas peruntukannya, atau sebaliknya menciptakan batas - batas kepemilikan yang jelas; sehingga orang asing merasa tidak nyaman berada di lingkungan tersebut.

• Menempatkan aktivitas lingkungan yang sekaligus dapat mengawasi keamanan lingkungan.

• Melakukan pemeliharaan rutin, untuk memberikan kejelasan teritorial dan pengawasan alami.

• Komponen lansekap hendaknya tidak membuat ruang-ruang terisolasi atau tersembunyi, hingga berpotensi sebagai tempat bersembunyi.

3. Peningkatan komunikasi dengan lingkungan sosial melalui penguatan organisasi lingkungan atau kemasyarakatan. Secara fisik desain rumah dan lingkungan. yang baik hendaknya dapat mendorong komunikasi sosial,

(19)

interaksi antar tetangga serta menghilangkan fear of crime (rasa takut akan tindak kriminalitas).

Beberapa fungsi dari CPTED atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Pencegahan Kejahatan Melalui Perancangan Lingkungan (PKMPL) ini menurut Astuti (2005) yakni :

a. Sebagai suatu filsafat pencegahan kejahatan.

Adalah suatu filsafat pencegahan kejahatan yang berdasarkan teori bahwa rancangan yang tepat dan penggunaan yang efektif suatu lingkungan terbangun dapat menyebabkan berkurangnya rasa takut dan penurunan kejadian kejahatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Berdasarkan definisi oleh The National Crime Prevention Institute di Amerika Serikat, bahwa:"the

proper design and effective use of the built environment can lead to a reduction in the fear and incidence of crime, an overall improvement of the quality of live." Jadi, dengan lingkungan yang baik berupa penataan yang aman bisa

mengurangi rasa takut dan meningkatkan kualitas hidup. b. Sebagai alat perencana kota.

Merupakan alat bagi perencana kota yang menekankan pada penggunaan ciri-ciri rancangan fisik dan karakteristik pengguna lahan untuk mengurangi atau menyingkirkan kesempatan-kesempatan akan tindak kejahatan dan untuk menghalangi perilaku kejahatan.

c. Sebagai metode altematif.

Merupakan metode aItematif dalam mengurangi kejahatan dengan cara melakukan perubahan-perubahan fisik terhadap lingkungan. Dasar perubahan

(20)

fisik yang dilakukan adalah dengan mengurangi kesempatan dalam melakukan tindak kriminal. Berdasarkan temuan dari Oscar Newman, Jane Jacob clan, dan Elizabeth Wood dituturkan adanya perbedaan nyata dalam tingkat kriminalitas antara lingkungan yang sepi, tidak terawat dengan lingkungan yang ramai, terawat dan pengawasan dari penghuninya. Newman juga menyatakan bahwa perhatian terhadap aktivitas yang terjadi di jalan yang diistilahkan sebagai 'the

eyes on the street' menunjukkan bahwa perhatian penghuni terhadap

lingkungannya sangat efektif dalam menekan adanya potensi kejahatan.

Studi Newman (Astuti, 2005) juga menunjukkan bahwa gedung tinggi dengan loby, elevator, fire escape, tap dan koridor yang terisolir dari pandangan publik, mempunyai angka kejahatan yang tinggi, dari pada gedung rendah. Konsep teritorialitas dapat dijadikan sebagai dasar untuk menciptakan ruang-ruang pengawasan sosial yang bersifat informal, sehingga masyarakat dapat terhindar dari tindak kriminalitas dengan mengambil langkah-Iangkah perlindungan yang perlu dilakukan.

Herdanu (2012) menjelaskan tentang perbandingan konsep awal dari

Crime Prevention Throught Environmental Design (CPTED) dari beberapa ahli.

Konsep utama dari Moffat (Herdanu, 2012) bahwa ada 6 komponen dari CPTED, yakni : Territoriality, Surveillance, Access Control, Image/Maintenance, Activity Programme Support, dan Target Hardening. Sementara itu, komponen yang dikeluarkan dari Dewan Nasional Pencegahan Kejahatan (NCPC) Singapura, yakni : Natural Surveillance, Natural Access Control, Territorial Reinforcement, dan Maintenance and Management.

(21)

Penelitian ini akan menggunakan 3 komponen utama untuk diteliti, yaitu:

Territoriality (pembatas utama perumahan atau pembatas antar rumah dalam

perumahan), Natural surveillance (pengawasan yang dilakukan oleh perumahan),

Access Control (akses kontrol keluar masuk area perumahan). Adanya batasan

dalam komponen yang akan diobservasi diharapkan akan mempermudah responden memberikan jawaban ketika mengisi kuesioner atau menjawab pertanyaan saat wawancara.

2.1.6 Kriminalitas di Lingkungan Perumahan

Kriminalitas (crime) adalah suatu perbuatan melanggar hukum, merupakan isu yang meresahkan masyarakat, dalam penelitian ini dibatasi pada tindakan kriminalitas yang dilakukan di lingkungan perumahan di kota dengan ukuran sedang. Kejahatan kriminal banyak menimpa masyarakat kota, dan terjadi setiap saat baik siang maupun malam hari, menyerang perorangan maupun kelompok, ditempat pribadi maupun umum. Adanya rasa takut terhadap kriminalitas mengakibatkan masyarakat perkotaan melakukan pengamanan terhadap pribadi, keluarga serta harta miliknya, untuk meningkatkan rasa aman atau sense of

secure. Secara fisik hal itu dapat terlihat dari pembuatan pagar rumah yang tinggi

dan kokoh, pembuatan jeruji pada bukaan pintu dan jendela, pembuatan portal-portal sebagai penghalang pada jalan-jalan di permukiman serta pembuatan kelompok hunian tertutup.

Fenomena lain yang terjadi akibat fear of crime menurut Astuti (2005) adalah membatasi kegiatan sosial masyarakat hanya diselenggarakan pada siang hari, kecuali kegiatan yang bersifat entertainment (hiburan). Gejala tersebut

(22)

disebut sebagai cocooning (cocoon = kepompong) karena warga bersikap mengurung diri, dan secara langsung membatasi segala aktivitas yang dilakukan. Astuti (2005) menjelaskan, bahwa Newman dalam bukunya 'Devensible space' banyak melakukan penelitian tentang kriminalitas di perumahan. Perumahan sebenarnya diharapkan merupakan suatu tempat yang aman, dari berbagai gangguan kejahatan. Lingkungan perumahan kota dibangun dengan pertimbangan keamanan terhadap bahaya, seharusnya termasuk juga keamanan terhadap bahaya kriminal, sehingga aktivitas penghuninya dapat terwadahi secara maksimal seperti kegiatan bermukim, bekerja, bersosialisai, beristirahat dan berekreasi.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang tema sejenis sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sakip (2010) menuliskan tentang bagaimana sebuah residen/kawasan tertutup memberikan pengamanan pada penghuni perumahan dengan mengukur tingkat kriminalitasnya. Penelitian oleh Sakip berjudul “Measuring Crime Prevention Through Environmental Design in a Gated Residential Area : a Pilot Survey” melakukan studi panduan dengan mengkhususkan penelitiannya pada sebuah kawasan residen di Penang, Malaysia. Penelitian tersebut mengukur tingkat kriminalitas di kawasan tertutup dengan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif. Selain CPTED, penelitian ini juga melihat tingkat Fear of Crime dan Sense of Community dan diuji hubungan ketiganya dengan analisis Spearman’s rho. Sedangkan untuk analisisi reliabilitas dan validitas menggunakan α (alpha cronbach) tiap komponen dengan hasil rata-rata di atas 0,6 .

(23)

Penelitian selanjutnya yang juga membahas tentang potensi adanya tindak kriminalitas di area perumahan dilakukan oleh Mohit (2010) dengan judul “ a Study of Crime Potentials in Taman Melati Terrace Housing in Kuala Lumpur : Issues and Challenges.” Penelitian yang dilakukan oleh Mohit menggunakan dua pendekatan yakni kualitatif dan kuantitatif dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang benar-benar maksimal. Sejenis dengan penelitian yang dilakukan Sakip sebelumnya, penelitian ini juga menggunakan CPTED sebagai standar menilai kawasan tersebut. Perbedaannya yakni Mohit juga melihat hubungannya dengan main road “TAMR” dan open space “TAOS”. Hubungan antara ketiganya dihitung dengan metode kuantitatif, sedangkan hasil wawancara digunakan untuk menganalisis data kualitatatif. Selain itu, Mohit juga menggunakan 6 variabel CPTED dalam penelitiannya ini. Keenam variabel tersebut adalah: housing location, social interaction, natural surveillance, omnipresence, security dan maintenance. Hasil yang diperlihatkan bahwasanya pada kawasan tersebut tindak kriminalitas sangat rendah dan kebanyakan permasalahan kriminalitas terjadi pada kawasan perumahan terbuka.

Baker (2005) melakukan penelitian tentang akibat dari tatanan kota yang dapat mengurangi jumlah tindak kriminalitas dalam suatu komunitas atau kawasan. Penelitiannya menggunakan suatu kawasan di Baltimore sebagai case study, dan melakukan penelitian lapangan tentang sudah terintegrasi atau tidaknya prinsip CPTED dalam proses di kawasan tersebut. Hasil di lapangan menunjukkan ternyata lingkungan fisik di suatu kawasan hanya mampu merepresentasikan satu aspek dari pencegahan lingkungan dan sosial, sementara untuk segi ekonomi dan

(24)

politik dapat ditujukan oleh beberapa aspek yang lain CPTED. Disini menunjukkan bahwa, CPTED sebenarnya tidak hanya digunakan untuk melihat keamanan lingkungan secara fisik yang tampak mata, tetapi juga untuk melihat segi sosial, ekonomi bahkan masalah isu-isu politik lainnya.

Beberapa penelitian serupa telah dilakukan di Indonesia, dengan dasar yang sama yakni menggunakan CPTED sebagai standar, tetapi melihat dari aspek yang berbeda, seperti hukum, arsitektur, dan dengan pendekatan perilaku. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Pahlevi (2008) yang berjudul “Penerapan CPTED (Crime Prevention Through Environmental Design) di Kota Semarang Dengan Pendekatan Perilaku” yang mengangkat masalah kriminalitas di dalam kawasan perumahan. Analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah analisis penjajakan (Exploration), analisis statistik deskriptif, analisis deskriptif dan analisis komparasi. Kesimpulan yang diperoleh mengenai penerapan CPTED pada lingkungan perumahan, bahwa pendekatan sosial lebih memberikan dampak yang positif dalam menanggulangi masalah tindak kriminalitas di lingkungan perumahan.

Penelitian lainnya yang juga melihat Meningkatnya tindak kriminal di kawasan perumahan kota dilakukan oleh Laurens dengan judul “Pendekatan Perilaku-Lingkungan Dalam Rancangan Pemukiman Kota, Panduan Desain Bagi Pencegahan Tindak Kriminal.” Dalam penelitian tersebut Laurens mengacu pada pendekatan situasional, atau secara spesifik dikenal sebagai ”pencegahan tindak kriminal melalui perancangan lingkungan” (Crime Prevention Through

(25)

antara tipologi bangunan dan morfologi kawasan dengan perilaku lingkungan. Metode yang digunakan adalah korelasional dan hasil yang diperoleh bahwa dari obyek studi, -kawasan dengan tingkat kriminalitas tinggi, sedang dan rendah-, terlihat bahwa lingkungan dapat berperan dalam mengurangi peluang terjadinya tindak kriminal.

Persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas yakni melihat tingkat kriminalitas dengan menggunakan CPTED sebagai dasar pertimbangan. Untuk lebih terfokusnya penelitian ini, maka peneliti akan melihat tingkat kriminalitas pada area perumahan di dua kota/kabupaten yang memiliki kemiripan dari segi pendapatan daerah masing-masing. Perbedaan mendasar dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah : (1) penelitian ini ingin melihat pertumbuhan ekonomi daerah sebagai akibat tinggi rendahnya tingkat kriminalitas kawasan tersebut, (2) penelitian akan dilakukan di dua kota, di pulau jawa yakni Kota Kediri dan di Luar pulau Jawa yakni Kabupaten Sumbawa Barat. Hal tersebut dengan alasan bahwa kedua kota/ kabupaten sangat menggantungkan perekonomian pada salah satu industri besar di masing-masing daerahnya.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanakah seharusnya kita menghadapi penderitaan saat kita mengetahui bahwa Yesus datang untuk memberikan kepada kita hidup yang berkelimpahan dan

Persoalan pokok dalam skrispi ini adalah bagaimana memberikan pendampingan bagi keluarga muda Katolik yang sesuai dengan kebutuhan dan selaras dengan ajaran Gereja di Paroki

Salah satu puskesmas di Daerah Kabupaten Badung yang memiliki program pengembangan pengobatan tradisional adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas Mengwi II yang mulai

Implementasi sistem adalah langkah – langkah atau prosedur yang dilakukan dalam menyelesaikan desain sistem yang telah disetujui, untuk menguji, meng-install, dan memulai

Dasar hukum pelaksanaan program penyediaan jasa akses telekomunikasi perdesaan KPU/USO Tahun 2009 umumnya juga mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang

Antusiasnya vendor memproduksi smartphone android dikarenakan android adalah os mobile yang open platform karena android sendiri adalah sistem operasi untuk

Oleh karena itu, jika ditinjau dari konvensi ekspresinya, sastra kitab mempunyai ciri-ciri yang khusus yang meliputi struktur penyajian, gaya penyajian, pusat penyajian,

Sementara, secara parsial dari ketiga sumber penerimaan daerah yaitu pajak hotel, pajak restoran dan retribusi pasar Kota Lubuklinggau, hanya retribusi pasar saja yang