• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Pendanaan Pembangunan Luar Negeri dalam Rangka Mengurangi Ketergantungan Pada Pinjaman Luar Negeri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengelolaan Pendanaan Pembangunan Luar Negeri dalam Rangka Mengurangi Ketergantungan Pada Pinjaman Luar Negeri"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pengelolaan Pendanaan Pembangunan Luar Negeri dalam Rangka

Mengurangi Ketergantungan Pada Pinjaman Luar Negeri

Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral

ceppie@bappenas.go.id ABSTRAK

Kajian ini diharap dapat menyuguhkan rekomendasi kebijakan mengenai keberadaan CGI. Apakah CGI masih diperlukan jika negara kita ingin membebaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri (exit policy)? Jika CGI tidak diperlukan, apakah diperlukan instrumen pengganti? Atau apa kebijakan yang perlu diambil?

Langkah-langkah yang ditempuh dalam kajian ini adalah: (1) studi literatur dalam rangka mencari informasi sebagai dasar teoritis dalam menyusun kajian mengenai aid

consortium; (2) diskusi (round table discussion) dengan kalangan pemerintah dan mantan

pejabat yang terlibat dalam CGI; (3) diskusi informal dengan donor/kreditor anggota CGI; (4) seminar dengan mengundang para pakar, akademisi dan kalangan civil society untuk mendiskusikan keberadaan dan peran CGI; (5) pengumpulan data lapangan.

Sehubungan dengan keberadaan CGI, dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa tahun ke depan terdapat dua hal penting yang dihadapi Pemerintah Indonesia. Pertama pemerintah diamanatkan mengurangi ketergantungan. Kedua, terdapat fakta bahwa pemerintah masih harus mengatasi berbagai tantangan yang memerlukan dukungan pendanaan yang belum sepenuhnya dapat diandalkan dari sumber-sumber domestik.

Akhirnya kajian ini merekomendasikan sejumlah hal, antara lain: (1) menempatkan CGI dan memfokuskan fungsinya sebagai forum Aid Coordination; (2) melakukan perubahan mekanisme kerja dan kepemimpinan CGI; (3) memfokuskan isu dan agenda pertemuan; (4) “mereorganisasi” dan meningkatkan peran dalam kelompok kerja serta menyusun prioritas agenda kerjanya

1. LATAR BELAKANG

Pendanaan dari luar negeri memegang peran penting dalam pembangunan di Indonesia, terutama sejak masa pemerintahan Orde Baru. Meskipun pendanaan dari luar negeri tersebut selama bertahun-tahun diberi label sebagai pelengkap pendanaan pembangunan, namun setidak-tidaknya dalam 30 tahun, selama Repelita I sampai Repelita VI, jumlah pendanaan dari luar negeri tidak menurun besarannya. Kecenderungan ini mengarah pada situasi bahwa Indonesia menjadi tergantung pada pendanaan dari luar negeri.

Dilihat dari persyaratannya, selama ini pendanaan luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia berupa: hibah, pinjaman lunak, fasilitas kredit ekspor, pinjaman campuran (pinjaman bersyarat lunak dan fasilitas kredit ekspor), dan pinjaman komersial. Sedangkan menurut bentuk dan peruntukannya, dapat dikelompokkan menjadi hibah/pinjaman program dan hibah/pinjaman proyek. Berbagai jenis dan skema pendanaan tersebut diselenggarakan untuk menutup defisit pembiayaan pembangunan dan pembiayaan rutin.

Secara umum, pendanaan luar negeri berasal dari sumber-sumber sebagai berikut: (1) bilateral (pemerintah negara lain) berupa hibah, pinjaman lunak dan pinjaman campuran; (2) lembaga multilateral/internasional berupa hibah dan pinjaman, dan; (3)

(2)

perbankan atau lembaga keuangan internasional berupa fasilitas kredit ekspor dan pinjaman komersial.

Hampir seluruh pemberi pinjaman dan hibah dari luar negeri (kreditor/donor) baik bilateral maupun multilateral tergabung dalam konsorsium atau forum yang dinamakan

Consultative Group for Indonesia (CGI). Dengan demikian bagian terbesar pendanaan luar

negeri Pemerintah Indonesia bersumber dari CGI, sehingga dapat dikatakan bahwa ketergantungan Pemerintah Indonesia terhadap pendanaan luar negeri adalah ketergantungan pada CGI.

Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004 mengamanatkan agar pinjaman luar negeri harus secara bertahap dikurangi sebagaimana tertuang pada Bab IV Arah Kebijakan butir B (angka 7, 9, dan 23). Amanat ini sesunguhnya telah digariskan pula dalam GBHN pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, 1998, dan 1999. Semuanya menyebutkan bahwa bantuan luar negeri hanyalah pelengkap pendanaan pembangunan. Besaran dan peranan bantuan luar negeri harus dikurangi dan diperkecil. Bahkan sebelum itu, Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan menyatakan bahwa kredit luar negeri dan modal asing dapat dimanfaatkan dalam penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan ekonomi, namun harus ada teladan untuk membebaskan diri dari ketergantungan dari luar negeri.

Sementara itu, sejak krisis ekonomi tahun 1997, ketergantungan pada dana luar negeri majub bertambah, bukan hanya jepada CGI tetapi juga pada lembaga International

Monetary Fund (IMF). Ketergantungan ini bukan saja dalam hal pendanaan melainkan

juga pada aspek kebijakan.

Di sisi lain, Ketetapan MPR No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional, merekomendasikan agar dilakukan evaluasi kebijakan, sehingga negara kita tidak makin terjebak dalam ketergatungan kepada negara donor. Hal ini tertera pada Bab III Rekomendasi Kebijakan butir 4.c. Di samping itu, melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002, MPR merekomendasikan kepada presiden dan pemerintah agar tidak memperpanjang perjanjian kerjasama dengan IMF yang berakhir pada akhir tahun 2003. Kemudian pemerintah diminta mempersiapkan rencana mengakhiri kerjasama itu (exit plan) sebaik-baiknya, agar tidak menimbulkan kegoncangan moneter.

Consultative Group for Indonesia merupakan konsorsium negara-negara dan

lembaga-lembaga kreditor dan donor untuk Indonesia (aid coordination) yang dibentuk pada tahun 1992 sebagai pengganti konsorsium yang sama yaitu Inter-Governmental

Group on Indonesia (IGGI).

Selama 11 tahun lebih, CGI telah berperan menopang proses dan pembiayaan pembangunan Indonesia melalui berbagai bantuan dan utang yang diberikan. Dalam perkembangannya, apalagi sejak krisis multidimensi menimpa Indonesia pada akhir dasawarsa 1990-an, terdapat pergeseran dan perubahan dalam forum tersebut. Perubahan itu mencakup mekanisme kerja, agenda dan isu yang dibahas dalam pertemuan, jumlah, skema beserta persyaratan pinjaman dan hibah yang diberikan. Di samping itu terdapat berbagai perubahan kebijakan dari anggota-anggotanya.

2. TUJUAN

Kajian ini diharapkan dapat dikeluarkan suatu position paper atau rekomendasi kebijakan berkaitan dengan keberadaan CGI. Dengan demikian tergambar jelas apakah CGI masih diperlukan atau tidak, terutama dalam kerangka melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri (exit policy). Apabila CGI tidak diperlukan lagi, apakah diperlukan forum atau instrumen pengganti, atau apa kebijakan yang perlu

(3)

diambil. Begitu pula, jika CGI masih diperlukan, apakah peran dan bentuknya tetap dipertahankan seperti sekarang, atau perlu disesuaikan?

3. METODOLOGI

Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer didapat melalui diskusi-diskusi dan workshop, wawancara dengan nara sumber baik dari kalangan pemerintah, negara donor/kreditor, civil society di dalam negeri, serta melalui pengumpulan data lapangan. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan kepustakaan. Kajian ini menggunakan analisis kualitatif yang didukung data-data kuantitatif yang mutakhir. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) studi literatur dalam rangka mencari informasi sebagai dasar teoritis dalam menyusun kajian mengenai aid consortium; (2) diskusi (round table discussion) dengan kalangan pemerintah dan mantan pejabat yang terlibat dalam CGI; (3) diskusi informal dengan donor/kreditor anggota CGI; (4) seminar dengan mengundang para pakar, akademisi dan kalangan civil society untuk mendiskusikan keberadaan dan peran CGI; (5) pengumpulan data lapangan.

3.1. Kerangka Analisis

Aid Coordination pada dasarnya merupakan proses perencanaan bantuan

international agar bantuan tersebut mampu mendukung strategi, prioritas, dan tujuan nasional (negara penerima); menghindari duplikasi dan tumpang tindih serta meminimalkan beban bantuan kepada penerima .

Development Assistance Committee – Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah menyusun serangkaian prinsip bagi suatu Aid Coordination Forum, antara lain :

1. Kerjasama pembangunan seharusnya ditempatkan pada tataran atau area yang lebih luas dari pada sekedar urusan proyek (project level). Pemikiran yang berorientasi pada proyek (projectitis) mesti dikurangi. Kerja sama harus dikonsentrasikan pada program pembangunan nasional yang disusun dan dikelola oleh lembaga-lembaga negara penerima.

2. Aid Coordination yang efektif menghendaki adanya pengelolaan sumber-sumber daya domestik dan eksternal yang terpadu.

3. Semua sumber daya pembangunan harus benar-benar dikelola dengan baik sehingga memungkinkan terciptanya lingkungan yang mantap melalui sedikit regulasi yang berkaitan dengan interaksi antara negara dan pasar (a less regulatory interaction of

state and market).

4. Donor harus menawarkan program bantuan kepada negara penerima untuk mengembangkan kapasitas lembaga-lembaga nasional/pemerintah dalam rangka mengefektifkan pengelolaan bantuan.

Dalam kerangka prinsip-prinsip tersebut, aid coordination group mencari cara untuk: 1. Memungkinkan munculnya masukan-masukan komprehensif, sebagai pertanda

kerjasama erat antara negara penerima dan donor, mengenai isu-isu pembangunan di negara penerima dan jumlah dana yang dibutuhkan.

2. Secara umum meningkatkan perhatian dan kesadaran donor kepada tujuan pemerintah negara penerima; juga terhadap strategi, kerangka kebijakan yang dijalankan, dan secara spesifik kepada pendekatan sektor dan program-programnya.

3. Memberi peluang kepada donor untuk menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kepada negara penerima, berkaitan dengan aliran modal, program untuk membantu negara penerima dan isu–isu mengenai investasi, kebijakan dan kelembagaan.

(4)

4. Memungkinkan negara penerima dan donor mencapai kesepakatan umum mengenai investasi perbaikan kebijakan dan kelembagaan untuk dilaksanakan negara penerima, berikut besarannya serta persyaratan keuangan yang ditawarkan donor.

5. Memperkuat keyakinan pemerintah negara penerima untuk melaksanakan kebijakan yang diperlukan dengan dukungan internasional.

6. Menyederhanakan dan meningkatkan koordinasi antar donor.

Dengan kata lain, Aid coordination merupakan mekanisme kunci untuk mengintegrasikan bantuan donor dengan kebijakan dan program-program pemerintah secara tepat.

Aid coordination group umumnya memfokuskan diri pada tiga area yakni: (1)

kerangka ekonomi umum (general economic framework); (2) isu-isu sektoral (sectoral

issues); (3) project issues

Melalui kelompok aid coordination, negara penerima maupun donor dapat

memperoleh manfaat, di antaranya adalah:

1. Fasilitasi pertukaran informasi mengenai kebijakan dan program bantuan luar negeri antara donor dengan negara penerima, maupun antar donor.

2. Melalui aid coordination para donor dapat membangun dialog lebih baik dengan negara penerima mengenai kebijakan pembangunan dan isu-isu yang terkait dengan pinjaman/bantuan luar negeri.

3. Aid coordination memberi jalan pembentukan mekanisme koordinasi sampai pada taraf proyek.

4. Bagi negara penerima, aid coordination mempermudah peningkatan kuantitas maupun kualitas pinjaman/luar negeri.

5. Melalui kelompok aid coordination, negara penerima dapat menggalang dukungan dari para donor. Selanjutnya hal tersebut dapat mengarah pada dukungan publik dalam negeri terutama untuk kebijakan-kebijakan yang tidak popular.

Aid coordination group dapat dibentuk untuk kepentingan satu negara atau satu

kawasan. Aid coordination group yang dibentuk untuk satu negara dapat berupa konsorsium, kelompok konsultasi, sector-level group, atau UNDP-sponsored Round Table. Dalam praktiknya tidak ada perbedaan jelas antara bentuk dan model konsorsium dan kelompok konsultasi.

Selain Bank Dunia, lembaga internasional lain yang juga berperan sebagai koordinator/ketua forum aid coordination adalah UNDP, organisasi dan bank-bank regional, serta IMF. Bank Dunia saat ini mengorganisasi/mengetuai 60 consultative group. Di sejumlah negara Eropa Timur, Bank Dunia mengkoordinasi consultative group bersama dengan Uni Eropa. Setidaknya dalam setahun Bank Dunia menyelenggarakan 25 kali pertemuan consultative group. Tetapi Kolombia, Korea, Malaysia, Maroko, Thailand dan Tunisia telah memutuskan untuk mengakhiri mekanisme consultative group yang sebelumnya diorganisasikan Bank Dunia. Kemudian mereka mengelola berbagai pinjaman publik dan swasta secara mandiri. Sementara itu Argentina, Botswana, Brazil, Cile, dan Cina menolak mekanisme consultative group. Negara-negara penerima bantuan juga dapat mengkoordinasikan forum aid coordination untuk mereka sendiri seperti yang dilakukan Guyana dan Honduras.

Bank Dunia mengidentifikasi dua elemen kunci yang berpengaruh terhadap pembangunan suatu negara, yaitu kinerja kebijakan (policy performance) dan kualitas kelembagaan (institutional quality). Dua variabel lain yang terkait adalah komitmen negara (country commitment) yaitu ownership of sound development priorities and policies dan kapasitas kelembagaan untuk mengelola dan mengkoordinasi bantuan (aid coordination).

(5)

Kedua variabel terakhir ini terkait dengan pengaturan koordinasi dan upaya mengefektifkan bantuan.

Kapasitas kelembagaan yang tinggi dan komitmen negara yang kuat akan mengarah pada country-driven arrangements yang sekaligus memberikan peluang bagi negara penerima bantuan untuk mengefektifkan bantuan untuk pembangunan. Sebaliknya dengan kapasitas kelembagaan yang rendah dan komitmen negara yang lemah, negara tersebut akan mengarah pada donor-driven aid coordination. Tipologi hubungan antara keempat variabel tersebut dapat digambarkan pada diagram berikut ini.

Tabel 1.

Karakteristik Negara dan Aid Coordination

Komitmen negara Kapasitas

kelembagaan

Kuat Lemah

Tinggi country-driven joint-sponshorship

Rendah country –driven

(dengan penguatan kelembagaan) donor-driven

Sumber: The Drive to Partnership: Aid Coordination and the World Bank, 1999 hal.6

Berdasarkan tipologi di atas, sejauh mana suatu negara dapat menuju

country-driven aid coordination, sangat bergantung pada derajat kapasitas kelembagaan dan

komitmen negara itu sendiri. Artinya negara tersebut harus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan memperkuat komitmennya. Namun, kemudahan atau kesulitan yang dihadapi suatu negara ketika ia menuju country-driven aid coordination, juga dipengaruhi oleh jumlah dan karakterisktik, atau orientasi para negara/lembaga kreditor/donor.

Aid coordination yang anggotanya terdiri dari banyak negara/lembaga, lalu

memberi utang atau bantuan bukan dengan motif pembangunan, akan mempersulit negara tersebut menuju country-driven aid coordination. Sebaliknya, jika jumlah negara atau lembaganya sedikit dan mereka mempunyai orientasi pembangunan ketika memberi bantuan, maka akan mempermudah negara yang bersangkutan mewujudkan country-driven

aid coordination. Tabel berikut ini menggambarkan pengaruh jumlah dan orientasi

negara/lembaga kreditor terhadap upaya mereka mewujudkan country-driven aid

coordination.

Tabel 2.

Karakteristik Bantuan Pembangunan dan Aid Coordination Environment

Orientasi pembangunan para kreditor/donor Jumlah

Negara dan lembaga peserta

Kuat Lemah

Sedikit Mendukung ke arah

country-driven

Relatif sulit menuju

country-driven

Banyak Challenging Sangat sulit menuju

country-driven

(6)

Bank Dunia berusaha menyusun kriteria untuk mengukur kapan transfer kepemimpinan dapat dilaksanakan. Salah satu kriteria yang dipakai adalah rasio bantuan pembangunan resmi (ODA) terhadap pendapatan nasional bruto (ODA to GNP Ratio). Atas dasar kriteria ini, negara-negra penerima bantuan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Kelompok pertama adalah negara-negara yang menerima ODA hingga mencapai 0,1 – 4,9 persen dari GNP. Pada kelompok ini kepemimpinan aid coordination seharusnya berada pada negara penerima dan proses transfer kepemimpinan dapat dilakukan dalam waktu dua tahun.

2. Kelompok kedua adalah negara-negara yang menerima ODA hingga mencapai 5 – 9,9 persen dari GNP. Pada kelompok ini persiapan ke arah transfer kepemimpinan membutuhkan waktu setidaknya lima tahun.

3. Kelompok ketiga adalah negara-negara yang menerima ODA lebih dari 10 persen GNP-nya. Negara-negara yang termasuk dalam kelompok ini dapat dikatakan mempunyai sindrom ketergantungan pada bantuan luar negeri.

Berdasarkan data Bank Dunia, ODA yang diterima Indonesia pada kurun waktu 1993–1997 adalah 0,8 persen dari GNP. Sementara berdasarkan data Development

Assistance Committee OECD, rasio ODA yang diterima Indonesia terhadap GNP pada

tahun 1998 adalah 1,47 persen dan pada tahun 2000 rasionya adalah 1,23 persen.

4. HASIL KAJIAN

Selama lebih dari 11 tahun, Consultative Group for Indonesia (CGI) telah menunjukkan peran penting dalam menopang proses pembangunan di Indonesia melalui berbagai bentuk/skema pinjaman dan hibah. Sebagaimana pendahulunya (IGGI) dan forum yang serupa, CGI dibentuk sebagai forum koordinasi bantuan (aid coordination)dan dirancang sebagai: (1) wadah konsultasi dan pertukaran informasi kebijakan antara donor/kreditor dengan Pemerintah Indonesia ataupun antar donor/kreditor; (2) sarana melakukan koordinasi, harmonisasi dan sinergi berbagai pinjaman dan bantuan yang diberikan, sehingga meningkatkan kuantitas maupun kualitas pinjaman.

Bank Dunia mencatat dua variabel yang terkait dengan koordinasi dan upaya mengefektifkan bantuan, yaitu, pertama adalah komitmen negara (ownership of sound

development priorities and policies); kedua, adalah kapasitas kelembagaan untuk

mengelola dan mengkoordinasi bantuan (aid coordination).

Pembentukan CGI sebagai pengganti IGGI dilatarbelakangi pertimbangan politik. Pemerintah Indonesia di era Soeharto merasa bahwa Pemerintah Belanda sebagai Ketua IGGI telah memanfaatkan IGGI sebagai alat intimidasi dan secara semena-mena menggunakan bantuan untuk mengancam. Dengan dibubarkannya IGGI dan dibentuknya CGI, Pemerintah Indonesia mengharapkan agar forum ini dapat memfokuskan pada upaya pemberian pendanaan bagi Indonesia dan tidak membahas hal-hal lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan bantuan yang diberikan.

Sejak dibentuk pada 1992 sampai pertemuan tahunan bulan Januari 2003, CGI telah memberikan komitmen pendanaan (pledge) sejumlah USD 58.824,89 juta. Pledge CGI menunjukkan kecenderungan menaik dari tahun ke tahun. Tetapi cenderung menurun sejak tahun 2000.

Dari 29 negara atau lembaga peserta CGI, Bank Dunia, ADB, dan Jepang merupakan tiga kontributor terbesar. Secara total, pledge ketiga kreditor/donor tersebut mencapai lebih dari 80 persen total pledge CGI. Bila diamati lebih lanjut rata-rata hanya delapan sampai sembilan peserta CGI yang memberi kontribusi pledge satu persen atau lebih dari seluruh pledge yang diberikan tiap pertemuan tahunan. Kemudian, rata-rata

(7)

hanya lima peserta yang memberi kontribusi pledge dua persen atau lebih, dari seluruh

pledge yang diberikan setiap pertemuan tahunan. Secara keseluruhan, sejak tahun 1992

sampai Januari 2003, hanya 11 peserta yang total pledge-nya mencapai satu persen dari total pledge CGI 1992–2003; dan hanya lima peserta yang total pledge-nya mencapai dua persen total pledge CGI 1992–2003.

Pledge dari peserta CGI didasarkan pada perkiraan disbursement dalam satu tahun

anggaran ke depan, atau berdasarkan komitmen yang realisasi pencairannya bergantung pada kesiapan pelaksanaan proyek/kegiatan yang disepakati. Disamping itu, sebagian

pledge dikelola langsung oleh donor dan dialokasikan kepada organisasi non pemerintah.

Dengan demikian, pledge yang diberikan pada pertemuan CGI tidak serta merta terkait dengan defisit APBN tahun berjalan atau APBN setahun berikutnya.

Penyaluran pledge dari kreditor/donor CGI dapat dipandang sebagai kepercayaan dari komunitas internasional terhadap kinerja dan program Pemerintah Indonesia. Pada sisi lain, meskipun tidak serta merta terkait dengan defisit APBN tahun berjalan atau APBN setahun berikutnya, pledge CGI tetap dapat dijadikan salah satu indikator pertambahan utang luar negeri Pemerintah Indonesia. Semakin besar pledge yang diberikan dalam bentuk pinjaman (dengan dasar perkiraan disbursement), semakin besar pula pertambahan utang luar negeri pemerintah. Pada masa awal CGI, sukses tidaknya delegasi Indonesia diukur dari seberapa besar komitmen yang didapatkan dari para peserta CGI. Padahal di saat yang bersamaan terdapat amanat GBHN untuk mengurangi pinjaman luar negeri secara bertahap.

Sesuai dengan maksud penggantian IGGI dengan CGI, pada tahun-tahun awal, isu-isu pertemuan CGI hanya terfokus pada masalah kebijakan ekonomi makro (fiskal dan moneter) dan kebijakan lain yang terkait secara langsung dengan bantuan CGI. Sejak tahun 1997 isu-isu yang dibahas melebar ke arah kebijakan sosial politik. Dengan semakin berkembangnya isu yang dibahas, pejabat-pejabat Indonesia yang terlibat dalam (pertemuan) CGI juga bertambah. Energi yang diperlukan untuk mempersiapkan serta menanggapi berbagai isu yang dibahas dalam pertemuan CGI juga bertambah.

Pada tahun 2000 terdapat perubahan yang cukup mendasar pada pertemuan CGI. Perubahan tersebut meliputi: (1) untuk pertama kalinya pertemuan CGI dilaksanakan di Indonesia; (2) untuk pertama kalinya pertemuan CGI mengundang kehadiran organisasi non pemerintah; (3) dibentuknya kelompok-kelompok kerja (working groups).

Dalam praktiknya, isu-isu yang dibahas dalam pertemuan CGI dan kelompok kerja tidak selalu berkorelasi dengan bantuan dari para kreditor/donor. Kelompok-kelompok kerja pada dasarnya dibentuk sebagai forum tukar pikiran untuk menindaklanjuti pembahasan dan kesepakatan dalam pertemuan CGI. Sampai pertemuan bulan Januari 2003 telah terbentuk sembilan kelompok kerja. Beberapa kelompok kerja telah berjalan baik sesuai dengan action plan yang disusun dan dapat meningkatkan koordinasi antar lembaga di Indonesia dengan pihak kreditor/donor. Sebagian lagi belum menunjukkan kemajuan seperti yang direncanakan. Selama ini pihak kreditor/donor yang lebih banyak mengatur kelompok kerja dan agenda yang dibahas lebih memprioritaskan kepentingan mereka, sehingga terkesan donor driven. Hal ini disebabkan kelompok kerja juga dipimpin pihak kreditor/donor dan Pemerintah Indonesia kurang siap.

Meskipun beberapa kreditor/donor utama telah mempunyai kerangka kerjasama bilateral dengan Pemerintah Indonesia, termasuk perangkat pertemuan bilateral tahunan, para kreditor/donor tersebut tetap memandang penting pertemuan CGI, terutama berkaitan dengan fungsinya sebagai forum dialog kebijakan (policy dialog).

Tahun 2003, Pemerintah Indonesia memutuskan mengakhiri kontrak kerjasama dengan IMF. Salah satu konsekuensi berakhirnya kontrak kerjasama ini adalah tidak

(8)

didapatkan lagi fasilitas penjadwalan utang. Hal ini menyebabkan tekanan yang berat pada APBN.

Pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 APBN diperkirakan masih mengalami defisit. Selanjutnya pada tahun 2006 APBN diperkirakan berada pada posisi surplus terhadap PDB. Walaupun demikian. dengan terbatasnya sumber pendanaan dalam negeri, pembiayaan luar negeri terutama yang bersifatnya konsesional dan pinjaman program dari CGI masih diperlukan. Beberapa estimasi fiskal tahun 2004 sampai dengan 2009 antara lain: 1. APBN tahun 2005 pada posisi berimbang (defisit/surplus 0% dari PDB) selanjutnya

pada tahun 2006 akan mengalami surplus 0,8% dan bergerak ke posisi surplus 2,3% pada tahun 2009.

2. Defisit tersebut akan ditutup dengan pembiayaan pokok. Pada tahun anggaran 2003 (APBN-P) pembiayaan pokok belum dapat menutup defisit sehingga terjadi financing

gap 0,8 persen dari PDB. Sementara itu, pada tahun 2004 pembiayaan pokok

menunjukkan angka negatif akibat pembayaran pokok pinjaman jauh melebihi jumlah pinjaman proyek yang ditarik (lebih dari 2 kali lipat). Hal ini menyebabkan financing

gap melonjak menjadi 1,8 persen dari PDB. Financing gap masih akan terjadi pada

tahun 2005, yaitu sekitar 1,2 persen dari PDB. Meskipun pada tahun 2006 dan 2007 APBN sudah mengalami surplus sebesar 0,8 persen dan 1,4 persen, masih akan terjadi

financing gap sebesar 0,7 persen dan 0,2 persen. Pada tahun 2008 dan 2009

diperkirakan tidak terjadi lagi financing gap.

3. Penarikan pinjaman proyek sebesar 1 persen dari PDB pada tahun 2004 diperkirakan akan terus menurun menjadi 0,8 persen pada tahun 2005; dan 0,6 persen pada tahun 2006 – 2008. Kemudian pada tahun 2009 diperkirakan 0,5 persen. Sedangkan pinjaman program masih akan diterima sampai tahun 2006 sebesar 0,2 persen dari PDB.

4. Seperti terlihat pada tabel lampiran 6 dan 7, rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri maupun rasio stok rasio utang luar negeri terhadap PDB cenderung menurun. Akan tetapi pendanaan luar negeri dapat saja dilanjutkan untuk membayar utang pokok luar negeri (amortisasi) yang belum dapat dipenuhi dari sumber di dalam negeri.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan

Pada saat ini dan beberapa tahun ke depan, secara garis besar terdapat dua hal yang dihadapi Pemerintah Indonesia. Pertama adalah amanat untuk mengurangi ketergantungan. Kedua, adalah fakta bahwa Pemerintah Indonesia masih menghadapi dan harus mengatasi berbagai tantangan yang memerlukan dukungan pendanaan, yang dalam beberapa tahun ke depan belum sepenuhnya dapat diandalkan dari sumber-sumber domestik.

Dalam situasi seperti ini, lebih-lebih bila dikaitkan dengan rencana pemutusan perjanjian kerjasama dengan IMF dan tidak adanya fasilitas Paris Club, pendanaan luar negeri, terutama pinjaman program dan dana ODA menjadi penting bagi Indonesia. Pinjaman program dan dana ODA tersebut selama ini bersumber dari kreditor dan donor yang tergabung dalam CGI. Dengan demikian keberadaan CGI sebagai sumber pendanaan luar negeri dan sarana untuk mengkoordinasi berbagai pinjaman dan hibah luar negeri masih dibutuhkan.

5.2 Rekomendasi

Berdasarkan penelaahan, studi ini menyampaikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Menempatkan CGI dan Memfokuskan Fungsinya sebagai Forum Aid Coordination

(9)

Berdasarkan pertimbangan aspek keberlanjutan fiskal, maka dalam jangka menengah keberadaan dan kontribusi para kreditor dan donor di CGI masih penting. Soalnya Indonesia masih membutuhkan pendanaan luar negeri untuk mengatasi defisit dan financing gap. CGI diperlukan dalam kapasitas dan fungsinya sebagai aid

coordination forum, yaitu untuk mempertajam sinergi dan meningkatkan koordinasi

berbagai pinjaman dan bantuan kreditor/donor.

Oleh karena itu agenda CGI perlu difokuskan atau diprioritaskan untuk membantu mengatasi defisit dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas pemanfaatan kontribusi pendanaan luar negeri.

2. Melakukan Perubahan Mekanisme Kerja dan Kepemimpinan CGI

Dalam jangka menengah, selama keberadaan CGI masih dibutuhkan, diperlukan perubahan mekanisme kerja di CGI, sehingga tidak donor-led, melainkan mengarah pada Indonesia-led. Setidak-tidaknya mekanisme kerja dipimpin bersama-sama atau diubah dari donor-driven aid coordination menuju country-driven aid coordination. Prasyarat menuju Indonesia-led adalah adanya komitmen yang kuat dan kapasitas kelembagaan yang kuat. Melihat banyaknya peserta CGI dan kuatnya orientasi pembangunan para kreditor/donor, upaya ke arah country-driven aid coordination merupakan tantangan yang tidak ringan (challenging). Berdasarkan kriteria yang disusun Bank Dunia (rasio ODA terhadap PNB), transfer kepemimpinan ke arah

Indonesia-led aid coordination dapat dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya dua

tahun.

Dalam rangka menuju Indonesia-led aid coordination dan manager of aid, upaya pertama yang perlu dilaksanakan adalah mengubah kepemimpinan pertemuan tahunan maupun midterm review/meeting. Pemerintah atau delegasi Indonesia perlu menempatkan diri sebagai ketua bersama yang turut mengatur jalannya pertemuan dan bukan sekedar mendampingi Bank Dunia.

3. Memfokuskan Isu dan Agenda Pertemuan

Pemerintah Indonesia perlu mengambil prakarsa lebih banyak dan aktif dalam menentukan agenda-agenda pertemuan. Sesuai semangat pembentukan CGI, isu-isu yang diagendakan dalam pertemuan perlu difokuskan pada isu-isu yang terkait langsung dengan utang/bantuan. Sebagai pimpinan bersama pada pertemuan, Pemerintah (Ketua Delegasi) Indonesia dapat mengambil inisiatif untuk mengarahkan diskusi atau pernyataan-pernyataan yang melebar dari topik yang telah diagendakan. Perluasan agenda bisa saja dilakukan tetapi diarahkan untuk mendorong masuknya lebih banyak private capital inflow, bukan hanya official capital inflow.

4. “Mereorganisasi” dan Meningkatkan Peran dalam Kelompok Kerja serta Menyusun Prioritas Agenda Kerjanya

Untuk mengefektifkan fungsi CGI sebagai aid coordination forum, pembentukan kelompok kerja dapat dipertahankan. Kelompok-kelompok kerja yang diperlukan adalah yang terkait langsung dengan kontribusi peserta CGI, yaitu di sektor-sektor yang banyak mendapatkan pembiayaan dari utang/bantuan CGI. Misalnya kelompok kerja prasarana, kesehatan, dan pendidikan. Namun demikian, Pemerintah Indonesia terlebih dahulu perlu mempunyai blue print yang jelas, sehingga kelompok kerja tersebut dapat berfungsi dan mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu sinergi, harmonisasi, efisiensi dan efektifitas utang/bantuan.

Pemerintah Indonesia harus mengambil prakarsa dan kepemimpinan dalam kelompok kerja. Agenda kerja dalam kelompok kerja harus disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional dan diarahkan untuk sinergi, efisiensi dan efektifitas

(10)

bantuan. Dengan demikian, harus dilakukan pembenahan di pihak Indonesia, antara lain perlu keseriusan, konsistensi keterlibatan dan peningkatan kapasitas pejabat-pejabat pemerintah dalam kelompok kerja. Komunikasi dan koordinasi antar lembaga termasuk dengan organisasi non pemerintah perlu terus diperkuat.

Isu-isu lain yang tidak berkaitan langsung dengan utang/bantuan atau sektor-sektor yang CGI relatif tidak besar kontribusinya, maka tidak perlu dibahas dalam kelompok kerja. Apabila isu-isu lain tersebut berpengaruh terhadap pemanfaatan utang/bantuan secara makro, hal tersebut dapat diakomodasi pada forum dialog kebijakan yang diselenggarakan secara terpisah.

5. Menyelenggarakan Forum Policy Dialog di Luar CGI

Salah satu fungsi aid coordination forum adalah memfasilitasi pertukaran informasi dan dialog kebijakan. Dalam konteks inilah para negara, lembaga kreditor, dan donor sangat berkepentingan atas keberadaan CGI. Hal ini bukan saja karena relevan dengan utang dan bantuan yang diberikan, tetapi juga sangat penting artinya bagi hubungan (bilateral) mereka dengan Indonesia dalam konteks lebih luas, baik secara politik maupun ekonomi.

Karena itu Pemerintah Indonesia perlu mengambil prakarsa mengadakan forum

policy dialog yang dirancang sebagai sarana untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan

strategis dan program-program pembangunan yang direncanakan. Tujuan forum ini adalah membangun saling pengertian dan membantu meningkatkan kepercayaan internasional. Melalui forum ini komunitas internasional dapat memperoleh informasi dan klarifikasi secara langsung dari para pengambil keputusan politik, terutama mengenai hal-hal yang bersifat lintas sektor dan lintas lembaga.

Sebagai suatu forum dialog yang diorganisasi Pemerintah Indonesia, forum ini akan terhindar dari suasana “monitoring” dan “reporting” seperti yang selama ini terjadi di forum CGI. Pemerintah Indonesia juga mempunyai “keleluasaan” dalam menentukan agenda dan isu yang diangkat. Selain melibatkan peserta-peserta CGI yang signifikan kontribusinya, forum ini juga dapat melibatkan negara non-CGI yang memiliki posisi strategis terhadap Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi, seperti negara-negara anggota ASEAN, RRC dan Rusia.

Prakarsa untuk mengadakan forum policy dialog tersebut dapat dilakukan oleh lembaga Pemerintah Indonesia yang mempunyai fungsi dan kapasitas melakukan koordinasi pembangunan nasional, dan yang mempunyai network kuat dengan negara-negara/lembaga-lembaga internasional.

6. Memperkuat, Mengintensifkan dan Menjaga Komitmen Kerjasama Bilateral

Di luar kerangka CGI, Pemerintah Indonesia perlu mengintensifkan kerjasama bilateral dengan kreditor/donor multilateral dan bilateral yang memberikan kontribusi

pledge signifikan (Bank Dunia, ADB, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Belanda,

Jerman, Kanada, IDB, UNDP). Hal ini sangat penting mengingat komitmen dan kesepakatan kerjasama bilateral dengan negara-negara/lembaga-lembaga itulah yang sebenarnya menentukan proses dan keputusan/hasil CGI. Sepanjang Pemerintah Indonesia dan mitra bilateral berpegang pada komitmen dan ikatan yang telah disepakati, dukungan pendanaan berupa hibah dan pinjaman tetap dapat diterima.

Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan seluruh instrumen/mekanisme yang tersedoa dalam kerjasama bilateral untuk menjamin aliran dana, membahas isu-isu penting dan memecahkan permasalahan-permasalahan. Dengan demikian pihak kreditor/ donor tidak terlalu mengandalkan forum CGI yang dapat melemahkan bargaining position Pemerintah Indonesia.

(11)

7. Meningkatkan Pengelolaan Pinjaman dan Bantuan Luar Negeri

Pemerintah Indonesia harus terus menerus melakukan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan utang dan bantuan luar negeri (foreign debt and aid management), baik dari aspek kebijakan maupun kelembagaan, termasuk sumber daya manusianya. Aspirasi dan concern berbagai kalangan civil society perlu juga dijadikan rujukan dalam pengelolaan utang dan bantuan luar negeri. Pengadaan utang baru harus disesuaikan kebutuhan dan kapasitas penyerapan serta pengelolaannya. Perlu dilakukan upaya-upaya lebih kuat untuk mengatasi masalah-masalah klasik sistemik, seperti keterlambatan pelaksanaan dan rendahnya penyerapan, yang berakibat menambah biaya pinjaman. Pada tataran yang lebih luas, perlu usaha yang lebih keras untuk menghapus penyalahgunaan dan kebocoran dana utang dan hibah luar negeri.

Upaya menyelesaikan berbagai permasalahan sistemik tersebut tidak dapat dilakukan secara sepihak atau dari sisi Pemerintah Indonesia saja, melainkan harus melibatkan para kreditor/donor. Dengan kata lain, upaya tersebut harus merupakan komitmen bersama. Sebab permasalahan-permasalahan yang muncul juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan, prosedur dan birokrasi pihak kreditor/donor.

CATATAN BELAKANG

1

Pembiayaan pokok terdiri atas pembiayaan luar negeri (pinjaman proyek ditambah amortisasi) dan pembiayaan domestik (perbankan dan non perbankan berupa privatisasi, penjualan aset penjualan obligasi dan buyback). Defisit/surplus dikurangi pembiayaan pokok akan menghasilkan financing gap. Sumber untuk menutup financing gap berasal dari pinjaman program, penjualan obligasi dollar, dan pengunaan rekening dana investasi ataupun sisa anggaran lebih.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

BPS, Bappenas, UNDP. 2001. Laporan Pembangunan Manusia 2001: Menuju Konsensus Baru

Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia. Jakarta

Departemen Penerangan RI. 1988. Himpunan Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia 1960–1988. Jakarta.

Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia, Government External Debt, Tahun 1993 – 2003 Direktorat Pemantauan dan Evaluasi Pendanaan Bappenas. 2003. Laporan Kinerja Proyek

Pinjaman Luar Negeri

Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral Bappenas. 2003. Prosiding Round Table Discussion. Disch, Arne. 1999. Aid Coordination and Aid Effectiveness. Norway: Royal Norwegian Ministry

of Foreign Affairs.

International Monetary Funds. 1997. Macroeconomic Accounting and Analysis in Transition

Economies. Washingthon D.C.

Krueger, Anne O, Constantine Michalopoulus, dan Vernon W. Ruttan. 1989. Aid and

Development. Baltimore: John Hopkins University Press.

Litbang Kompas. 2003. “Jejak Pendapat Kompas, Simalakama Pinjaman Asing,” Kompas, 27 Januari.

Nota Keuangan dan APBN Tahun Anggaran 1999/2000 dan Tahun Anggaran 2001

Notosusanto, Nugroho, Sartono Kartodirdjo, Marwati D. Pusponegoro. 1976. Sejarah Nasional

Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Percetakan Negara Republik Indonesia. 1969. Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1969/70 –

1973/74. Jakarta.

_________. 1974. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua 1974/75 – 1978/79. Jakarta. _________. 1979. Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga 1979/80 – 1983/84. Jakarta. _________. 1984. Rencana Pembangunan Lima Tahun Keempat 1984/85 – 1988/89. Jakarta. _________. 1989. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima 1989/90 – 1993/94. Jakarta. _________. 1993. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Tahun 1993. Jakarta.

_________. 1994. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kenam 1994/95 – 1998/99. Jakarta. _________. 1995. 30 tahun Indonesia Merdeka: 1960 – 1975. Jakarta.

_________. 1998. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Tahun 1998. Jakarta.

_________. 2000. Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan

Nasional Tahun 2000-2004. Jakarta.

_________. 2002. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang

Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002. Jakarta

Posthumus, G.A. 1971. The Inter Governmental Group on Indonesia. Rotterdam: Rotterdam University Press.

Rencana Pembangunan Tahunan Tahun Anggaran 2004http://www.bppt.go.id/rakorbangnas03

Sekretariat Jenderal MPR RI. 1999. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia: Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1999. Jakarta.

Swasono, S.E. dan Sritua Arief. 1999. “Pembangunan Tanpa Utang: Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia,” Republika, 15 Desember.

World Bank. 1989. World Bank Operational Directive. Washington DC.

World Bank. 1999. The Drive to Partnership: Aid Coordination and the World Bank. Washington D.C.: World Bank.

(13)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perkembangan Pledge IGGI/CGI

Pledge IGGI/CGI

Bilateral Multilateral Total Tahun/Repelita

Juta USD % Juta USD % (Juta USD)

1967/68 - 1968/69 522,87 98,5 8,18 1,5 531,05 I (1969/70 – 1973/74) 2.870,10 81,8 636,53 18,2 3.506,63 II (1974/75 - 1978/79) 3.062,36 46,8 3.481,66 53,2 6.544,02 III (1979/80 – 1983/84) 3.961,58 38,2 6.419,85 61,8 10.381,43 IV (1984/85 – 1988/89) 5.798,17 39,7 8.804,09 60.3 14.602,26 V (1989/90 – 1993/94) 10.041,90 42,5 13.585,90 57,5 23.627,80 VI (1994/95 – 1998/99) 12.245,33 42,2 16.769,76 57,8 29.015,09 1999 - 2003 8.824,30 38,6 14.045,80 61,4 22.870,10 Jumlah 47.326,61 42,6 63.751,77 57,4 111.078,38

Sumber: Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral – Bappenas

Lampiran 2. Proporsi Pledge IGGI/CGI Berdasarkan Kreditor/Donor (dalam persen)

Tahun/Repelita Bank

Dunia ADB Jepang

Multilateral Lainnya Bilateral Lainnya 1967/68 - 1968/69 1,5 0,0 32,0 0,0 66,4 I (1969/70 – 1973/74) 14,7 3,2 24,2 0,3 57,6 II (1974/75 - 1978/79) 42,5 10,6 13,5 0,1 33,3 III (1979/80 – 1983/84) 43,6 15,3 14,1 3,0 24,0 IV (1984/85 – 1988/89) 39,7 17,8 21,3 2,8 18,4 V (1989/90 – 1993/94) 32,7 21,7 29,0 3,1 13,5 VI (1994/95 – 1998/99) 27,9 23,8 31,3 5,6 11,3 1999 – 2003 30,7 26,8 26,2 3,9 12,3

(14)

Lampiran 3. Ikhtisar Perkembangan Pledge IGGI/CGI Tahun 1967 – 2003

----oo0oo---

(dalam Juta USD)

Pra Repelita Repelita I Repelita II Repelita III Repelita IV Repelita V Repelita VI 1999 Total No. 1967/69 1969/70 1974/75 1979/80 1984/85 1989/90 1994/95 s.d 1967 s.d s.d s.d s.d s.d s.d s.d 2003 s.d 1968/69 1973/74 1978/79 1983/84 1988/89 1993/94 1998/99 2003 1 Amerika Serikat 224,01 1.120,90 801,40 637,76 581,00 552,10 579,30 1175,00 5.671,47 2 Australia 19,43 112,41 185,87 200,34 168,40 226,80 274,66 272,70 1.460,61 3 Austria 0,00 0,00 0,55 0,00 22,27 54,10 88,40 80,00 245,32 4 Belanda 40,95 207,87 255,07 299,46 378,21 267,20 0,00 198,70 1.647,46 5 Belgia 0,40 25,12 47,32 46,92 19,79 60,70 36,71 13,40 250,36 6 Denmark 0,00 8,30 8,35 0,00 0,00 17,40 15,04 26,20 75,29 7 Finlandia 0,00 0,00 0,00 0,00 4,00 6,20 3,12 1,00 14,32 8 Inggris 5,26 95,66 37,55 59,27 414,40 290,50 387,49 135,80 1.425,93 9 Italia 0,40 6,25 4,58 35,97 186,66 66,70 11,52 27,00 339,08 10 Jepang 170,00 848,45 882,08 1.467,30 3.104,90 6.850,00 9.095,75 6.004,00 28.422,48 11 Jerman 50,50 211,42 317,85 199,56 216,41 511,00 856,96 431,50 2.795,20 12 Kanada 0,78 100,65 162,46 228,45 170,27 144,20 109,79 70,90 987,50 13 Korea 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 27,90 155,86 90,90 274,66 14 Norwegia 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 10,00 10,70 21,70 15 Prancis 11,14 116,95 341,32 783,41 420,59 717,90 379,57 30,00 2.800,88 16 Portugal 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,90 0,90 17 Selandia Baru 0,00 6,52 17,96 0,00 6,03 11,60 15,81 14,00 71,92 18 Spanyol 0,00 0,00 0,00 0,00 60,00 145,00 174,51 208,00 587,51 19 Swedia 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 17,50 17,50 20 Swiss 0,00 9,60 0,00 3,14 45,24 91,60 50,84 16,10 216,52 522,87 2.870,10 3.062,36 3.961,58 5.798,17 10.041,90 12.245,33 8.824,30 47.326,61 21 Bank Dunia 8,18 514,07 2.780,00 4.525,00 5.800,00 7.730,00 8.100,00 7.034,00 36.491,25 22 ADB 0,00 111,82 695,25 1.584,00 2.600,00 5.119,00 6.900,00 6.130,00 23.140,07 23 EU 0,00 10,64 6,41 52,00 83,29 59,90 0,00 40,00 252,24 24 UN Agencies 0,00 0,00 0,00 142,50 206,60 308,00 304,90 489,70 1.451,70 25 UNICEF 0,00 0,00 0,00 42,50 67,20 78,00 58,90 23,90 270,50 26 IFAD 0,00 0,00 0,00 73,85 47,00 111,00 114,07 18,00 363,92 27 EIB 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 244,89 168,20 413,09 28 Saudi Fund 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 45,00 6,40 51,40 29 Kuwait Fund 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 87,00 0,00 87,00 30 IDB 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 70,00 735,00 76,00 881,00 31 NIB 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 110,00 180,00 59,60 349,60 8,18 636,53 3.481,66 6.419,85 8.804,09 13.585,90 16.769,76 14.045,80 63.751,77 531,05 3.506,63 6.544,02 10.381,43 14.602,26 23.627,80 29.015,09 22.870,10 111.078,38

Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral - Bappenas

BILATERAL MULTILATERAL TOTAL Negara dan Lembaga Internasional

(15)

Lampiran 4. Profil Pembayaran dan Penjadwalan Utang Luar Negeri Pemerintah 1993/1994 n/a 56,11 17,68 10,75 - - - 17,04 30,37 96,38 - 0,00 - - -1994/1995 n/a 66,42 27,50 9,84 - 6,14 12,15 18,29 27,54 66,51 - 0,00 - - -1995/1996 n/a 71,34 27,90 9,00 - 6,62 13,87 20,49 28,72 73,44 - 0,00 - - -1996/1997 n/a 86,28 33,22 11,90 - 6,61 16,29 22,90 26,54 68,93 - 0,00 - - -1997/1998 624,38 101,77 34,32 14,39 2,30 10,82 18,67 29,49 28,98 85,93 4,72 0,00 - - -1998/1999 1.049,70 156,41 42,04 26,18 2,49 24,48 30,05 54,53 34,86 129,71 5,19 24,93 15,94 59,30 2,37 1999/2000 1.134,60 200,64 50,70 24,38 2,15 20,50 20,20 40,70 20,29 80,28 3,59 25,20 12,56 49,70 2,22 2000 937,45 205,33 41,92 16,97 1,81 18,80 7,62 26,42 12,87 63,02 2,82 0,80 0,39 1,91 0,09 2001 1.449,40 300,60 102,42 20,21 1,39 28,90 15,88 44,78 14,90 43,72 3,09 6,42 2,14 6,27 0,44 2002 1.610,01 304,89 125,00 20,22 1,26 28,32 13,05 41,37 13,57 33,10 2,57 9,35 3,07 7,48 0,58 2003 1.791,64 337,47 179,55 14,75 0,82 26,79 17,59 44,38 13,15 24,72 2,48 5,74 1,70 3,20 0,32 2004*) 2.003,20 343,24 182,96 23,45 1,17 24,70 44,90 69,60 20,28 38,04 3,47 6,50 1,89 3,55 0,32

Keterangan: PN = Pendapatan Negara , PP = Pengeluaran Pembangunan, DP= Dana Perimbangan

Tahun 2004 merupakan angka RAPBN dan penarikan pinjaman proyek termasuk obligasi internasional Rp 3,5 triliun

Sumber :Diolah dari data-data Nota PAN keluaran Departemen Keuangan Nominal

(Rp triliun) Jumlah

Pembayaran Bunga dan Cicilan Pokok Utang Luar Negeri Pinjaman Program dan Penjadwalan Utang Luar Negeri

Bunga Cicilan Pokok

% terhadap PN non Hibah % terhadap PP Rupiah dan DP % terhadap PN non Hibah % terhadap PP Rupiah dan DP % terhadap PDB Tahun Anggaran PDB (Rp triliun) Pendapatan Negara diluar Hibah (Rp triliun) Pengeluaran Pembangunan Rupiah dan Dana Perimbangan (Rp triliun) Penarikan Pinjaman Proyek Luar Negeri*)

% terhadap PDB Nominal (Rp triliun) % (PDB) Nominal (Rp triliun)

Lampiran 5. Proyeksi Pembayaran Bunga dan Pokok Utang Pemerintah sebagai

Persentase dari PDB 2003 – 2009

Utang Pemerintah 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Pokok utang dalam negeri 0,3 1,1 1,1 1,5 1,5 1,5 1,2

Bunga utang dalam negeri 2,7 2,1 2,0 1,7 1,5 1,2 1,0

Pokok utang luar negeri 1,0 2,2 2,0 1,9 1,7 1,6 1,5

Bunga utang luar negeri 1,3 1,2 1,1 0,9 0,8 0,8 0,7

(16)

Lampiran 6. Proporsi Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah

Lampiran 7. Perkembangan Penyerapan Utang Luar Negeri Pemerintah

31 Desember 1997 60.757.673 43.577.514 104.335.187 47.624.611 29.616.540 77.241.151 12.290.418 11.742.814 24.033.232 31 Desember 1998 69.638.863 45.684.708 115.323.571 52.869.310 38.876.978 91.746.288 13.146.569 4.260.500 17.407.069 31 Desember 1999 74.026.180 48.520.157 122.546.337 59.284.153 40.543.199 99.827.352 14.003.052 5.147.444 19.150.496 31 Desember 2000 71.986.743 52.013.818 124.000.561 59.180.076 42.206.065 101.386.141 11.547.786 7.285.135 18.832.921 31 Desember 2001 68.560.873 48.137.751 116.698.624 57.694.898 40.987.583 98.682.481 7.986.727 1.386.685 9.373.412 31 Maret 2002 68.737.417 47.556.324 116.293.741 58.372.724 41.520.092 99.892.816 8.566.201 1.240.243 9.806.444 30 Juni 2002 72.116.907 50.727.584 122.844.491 61.687.610 45.337.721 107.025.331 8.894.232 738.323 9.632.555 30 September 2002 74.000.766 53.305.810 127.306.576 62.158.845 45.520.247 107.679.092 10.190.261 4.331.308 14.521.569 31 Maret 2003 75.272.273 52.017.461 127.289.734 63.999.374 46.198.003 110.197.377 8.738.895 3.079.588 11.818.483 30 Juni 2003 61.118.354 66.091.739 127.210.093 64.670.473 47.030.693 111.701.166 (6.091.195) 17.327.447 11.236.252 Keterangan:

Data utang tersebut di atas termasuk penjadwalan ulang (rescheduling ) dalam rangka Paris Club I, II, dan III

Sumber: Sumber: Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah , berbagai edisi.

Pada data di atas terdapat ketidaksesuaian matematis antara komitmen awal dengan penyerapan dan sisa dana yang belum terserap. Hal ini disebabkan antara lain oleh (i) penghapusan sisa pinjaman yang belum dipergunakan dari pencatatan bila telah melampaui batas waktu penarikan (ii) adanya currency pooling

system yang diterapkan IBRD dan ADB. Dalam sistem ini nilai penarikan/penyerapan merupakan nilai sesudah penyesuaian kurs valuta yang ada dalam

basket yang besarnya dapat kurang atau melampaui penarikan yang sebenarnya.

Non IGGI/CGI Total Tahun

Pinjaman yang sudah terserap (disbursed ) Pinjaman yang belum terserap (undisbursed )

IGGI/ CGI Non IGGI/CGI Total IGGI/ CGI

Komitmen awal (original commitment ) IGGI/ CGI Non IGGI/CGI Total

No. Tahun PDB

(Ribu US $) (Ribu US $) % PDB % Total (Ribu US $) % PDB % Total (Ribu US $) %

1 1993 157.938.602 36.994.073 23,4 68,7 16.856.943 10,7 31,3 53.851.016 34,1 2 1994 173.736.227 40.810.471 23,5 69,6 17.805.132 10,2 30,4 58.615.603 33,7 3 1995 196.929.853 42.388.600 21,5 71,1 17.199.638 8,7 28,9 59.588.238 30,3 4 1996 223.486.354 38.227.242 17,1 69,1 17.075.396 7,6 30,9 55.302.638 24,7 5 1997 134.275.269 34.662.795 25,8 64,4 19.202.084 14,3 35,6 53.864.879 40,1 6 1998 130.803.738 38.789.147 29,7 57,6 28.526.076 21,8 42,4 67.315.223 51,5 7 1999 159.802.817 45.248.053 28,3 59,8 30.472.192 19,1 40,2 75.720.245 47,4 8 2000 97.701.522 44.099.113 45,1 58,9 30.791.611 31,5 41,1 74.890.724 76,7 9 2001 139.365.202 42.019.914 30,2 60,5 27.383.631 19,6 39,5 69.403.545 49,8 10 2002 178.592.524 44.564.887 25,0 61,1 28.428.815 15,9 38,9 72.993.702 40,9 11 2003*) 52.371.756 45.661.789 87,2 60,7 29.517.245 56,4 39,3 75.179.034 143,5 *) Data utang dan PDB sampai dengan 30 Juni 2003

Sumber : Diolah dari data Bank Indonesia dan BPS. Jumlah PDB dalam US $ berdasarkan kurs Bank Indonesia pada tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan dan 30 Juni 2003 (untuk tahun 2003)

Total IGGI/CGI Non IGGI/CGI

Referensi

Dokumen terkait

Jika orang tua menetapkan patokan (standar) yang jelas maka anak akan mendapat lingkungan yang baik bagi perkembangan sosialnya. Selain itu perlu ada konsistensi dalam

Ekstrudat yang berasal dari bahan baku sorgum yang disosoh memiliki nilai WSI lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum yang tidak disosoh, sedangkan proses ekstrusi pada

1) Berdasarkan pemeriksaan berat satuan, akan diketahui rata – rata berat satuan volume abu batu dan rata – rata berat satuan semen. 2) Perencanaan campuran bata beton pada

bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah yang merupakan pelaksanaan Undang – undang Nomor 18 Tahun 1997 jo, Undang

Ho 2 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengurusan tekanan kerja dengan umur guru di sekolah rendah Zon Sungai Balang, daerah Muar.. 1.7

Dari hasil uji penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa variabel usia, tingkat Pendidikan, dan biaya perjalanan tidak

MS 004 /POKJA/BULUSPESANTREN/2017 YULIANTI P CILACAP, 07 JULI 1981 DS SETROJENAR RT 01/V

Bisnis menggunakan berbagai konsep manajemen strategis menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam penjuaan, profitabilitas, dan produktivitas dibandingkan dengan