• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jñānasiddhânta Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jñānasiddhânta Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Kain Tenun Cagcag pada Upacara Manusa Yadnya di

Kelurahan Sangkaragung Kabupaten Jembrana

Oleh

Ida Bagus Putu Eka Suadnyana STAHN Mpu Kuturan Singaraja E-mail: idabaguseka09@gmail.com

ABSTRACT

The manusa yadnya ceremony, the woven cloth is very synonymous in the community of Sangkaragung Village. Each region or regency in Bali is unique in its various motives and rules for its use. Traditionally woven fabrics are clothing used in the form of cloth that covers the body by both men and women, containing many elements such as history, fine arts and educational values. Why the cagcag woven cloth is used in the Manusa Yadnya ceremony is certainly very interesting to examine. In this study, the design and method used are qualitative research methods with data collection techniques, namely observation, interviews and document study. From the research results, it is found that the community uses the cagcag woven cloth in the manusa yadnya ceremony and the creation of the cagcag woven cloth still uses simple tools, but does not leave the traditions of their ancestors. From these findings, it can be concluded that, as a result of art, the community uses cagcag woven cloth at the manusa yadnya ceremony. 2, the process of making woven fabrics, the community still adheres to the customs and traditions in preserving the weaving craft in their village.

Keywords: Cagcag Woven Fabric, Manusa Yadnya Ceremony

I. PENDAHULUAN

Pelaksanaan kegiatan upacara umat Hindu berpedoman pada tiga kerangka dasar agama Hindu yakni:

Tattwa (Filsafat), Susila (etika), dan Upacara (Ritual) (wijayananda,2004).

Kerangka dasar ini walaupun secara teori berbagi-bagi, tetapi dalam pelaksanaannya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena sifatnya yang saling menyempurnakan. Terkait dengan hal tersebut Manusa

Yadnya adalah bagian upacara yang

dilakukan untuk keselamatan termasuk upacara-upacara pada hari lahir, potong gigi, dan upacara Manusa Yadnya lainnya. Upacara Manusa Yadnya di Bali, dalam pelaksanaannya mempunyai perbedaan yang signifikan

baik di dalam pelaksanaannya, jenis upakara serta busana yang digunakan saat upacara berlangsung. Dalam pembahasan ini, akan dibahas mengenai kain yang di pergunakan saat upacara

manusa yadnya di salah satu daerah di

Bali. Menentukan busana adat dalam upacara manusa yadnya di daerah Bali juga berlaku asas “desa, kala, patra” (tempat, waktu dan keadaan) sehingga busana adat Bali terlihat sama namum berbeda dan sangat rumit. Masing-masing daerah atau kabupaten di Bali memiliki keunikan tersendiri dalam ragam motif maupun aturan-aturan penggunaanya salah satunya adalah kain tenun. Secara tradisional, kain tenun adalah busana yang digunakan dalam bentuk kain yang menutupi tubuh (kamben atau wastra) baik oleh pria

(2)

maupun wanita, sebagai penutup bagian luar pria (saput atau kamben),

selendang wanita, dan penutup kepala pria udeng atau dastar (windia, 2019). Selain sebagai busana, digunakan pula untuk tujuan dekoratif pada tempat-tempat untuk seremonial pada upacara

Manusa Yadnya.

Dari sisi pragmatisnya pakaian adat Bali pada upacara agama memang tidak mudah untuk memisahkannya karena kesatuan adat dan agama dalam masyarakat Bali melekat dalam kehidupan ritual, magis dan kesenian. Dari sisi tingkatannya pakaian dalam masyarakat Bali digolongkan menjadi tiga tingkatan: 1) payas nista 2) payas

madia 3) payas agung (Soedarso,

2006). Untuk kain sejenis prada dan

songket, merupakan kain-kain tradisional Bali yang mendapatkan tempat secara eksklusif bagi wangsa utama di Bali. Karena itu songket merupakan kain tradional Bali yang sering digunakan dalam tata busana

payas agung.

Selain itu, kain tenun adalah salah satu hasil dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali yang menjadi ciri khas masyarakat Bali. Kain tenun tumbuh dan berkembang seirama dengan peradaban manusia dan kebudayaan daerah setempat. Kain bukan hanya hasil kerajinan turun– temurun bagi masyarakat, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual yang terus berkembang sebagai komoditas berbasis budaya. Beberapa daerah di Bali memiliki kerajinan tenun dengan ciri khas tersendiri, baik dari segi motif hias, jenis benang yang digunakan, maupun pewarna (Sosanto, 2002). Kain tenun khususnya pada upacara Manusa Yadnya dalam pembahasan ini di

fokuskan di wilayah kabupaten Jembrana, tepatnya di Kelurahan Sangkaragung, Kecamatan Jembrana,

Kabupaten Jembrana. Berdasarkan data yang ada di Kelurahan Sangkaragung , terdapat kelompok usaha kerajinan tenun cagcag yang tersebar di seluruh Kelurahan Sangkaragung yang memiliki nama kelompok “menuh

“.Alat yang digunakan untuk mengerjakan kain tenun tersebut berupa alat tradisional yakni cagcag, atau sering dikatakan dengan sebutan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). ATBM yaitu alat yang digunakan untuk menenun yang tidak menggunakan tenaga mesin melainkan menggunakan peralatan kayu yang tradisional.

Tenun identik dengan kain tradisional yang terkait oleh ketentuan atau nilai – nilai tertentu yang mengikat pengerajin tenun itu sendiri, tetapi dalam kenyataannya, pengerajin tenun yang ada di Kelurahan Sangkaragung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana dalam memproduksi kain tenun tidak selalu mengikuti ketentuan – ketentuan atau aturan tradisi. Fenomena yang tampak dimana pengerajin tenun di Kelurahan Sangkaragung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana justru bukan hanya memproduksi kain dengan motif tradisional, tetapi juga motif - motif modern. Adapun pengerajin tenun di Kelurahan Sangkaragung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana memproduksi motif tradisional dan motif modern yang dilatar belakangi oleh tiga faktor yakni faktor budaya, ekonomi, dan lingkungan. Faktor awal munculnya pengerajin tenun cagcag memproduksi motif tradisional dan modern, seperti kita ketahui masyarakat Bali sudah terkenal sebagai masyarakat yang mempunyai tingkat budaya, adat istiadat dan pemeluk agama Hindu yang taat Koentjaraningrat,(1985 : 44). Hal tersebut mempengaruhi sikap masyarakat Bali secara umum.

(3)

Faktor lingkungan, lingkungan tempat tinggal juga berhubungan dengan pemilihan pekerjaan di sektor informal (Wiana, 1998 : 12). Selain tempat tinggal hal yang perlu di perhatikan dalam usaha mewariskan kerajinan tenun cagcag ini tidak dapat dilepaskan dari peran keluarga, tetangga, dan anggota masyarakat sebagai agen pewarisan nilai budaya (Sujipta, 1989 : 78). Kain tenun cagcag di kelurahan Sangkaragung ini juga diharapkan kedepannya dapat dijadikan sebagai sumber dalam pelaksanaan Pembelajaraan seni rupa Hindu khususnya, dan nilai-nilai kebudayaan yang ada didalam alat – alat yang digunakan dalam proses pembuatan kerajinan tenun cagcag sangat penting untuk digunakan dalam dunia pendidikan.

Beranjak dari permasalahan di atas, penulis sangat tertarik dan ingin menelusuri lebih jauh lagi dengan melakukan penelitian pada objek kain tenun cagcag ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan di pergunakannya kain tenun cagcag pada upacara manusa yadnya di kelurahan Sangkaragung, yang nantinya dapat menjadi Sumber Pembelajaran dalam usaha untuk melestarikan kain tenun

cagcag yang ada dikelurahan Sangkaragung, kecamatan Jembrana, kabupaten Jembrana. Adapun alat pemecahan masalah di atas akan digunakan beberapa teori yang ada relevansinya terhadap apa yang di bahas dalam penelitian ini. Teori yang digunakan adalah teori Religi yaitu untuk membedah masalah alasan kain tenun cagcag di pergunakan dalam upacara Manusa Yadnya di kelurahan Sangkaragung, kecamatan Jembrana, kabupaten Jembrana dan jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif.

II. METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif karena fokus dalam penelitian ini tentang Kain Tenun Cagcag pada upacara Manusa Yadnya di Kabupaten Jemberana. Oleh karena itu penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dengan tujuan mendapatkan data deskriftif sesuai dengan pengertian dia atas maka ada beberapa syarat metodelogi yang harus diikuti. Metode yang digunakan dapat dibagi dalam, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, tahap analisis data, dan cara penyajian analisis data.

Adapun Lokasi Penelitian ini berlokasi di sebuah kelompok pengerajin tenun yang mereka beri nama kelompok menuh yang bertempat di kelurahan Sangkaragung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana. Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif sehingga jenis data kecendrungannya pada jenis data kualitatif. Jenis data kualitatif pada penelitian ini basa berbentuk data hasil wawancara, data hasil observasi dan data hasil studi dokumen. sedangkan sumber data yang digunakan ada dua yaitu sumber data primer dan sekunder. Data dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara dan study dokumen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriftif (Satori dan Komariah, 2011 : 149).

III. PEMBAHASAN

3.1 Alasan Dipergunakan Kain Tenun Cagcag Pada Upacara

Manusa Yadnya Di Kelurahan

Sangkaragung

Terkait dengan hal tersebut ada beberapa alasan masyarakat memakai kain tenun cagcag pada upacara manusa

(4)

3.1.1 Secara Historis

Menenun merupakan salah satu teknik pembuatan kain yang telah ada sejak berabad-abad lalu. Budaya menenun tumbuh dan berkembang di berbagai tempat bersamaan dengan peradaban manusia dan kebudayaan di daerah setempat, begitu pula dengan warna dan ragam hias atau corak dari hasil tenunan mempunyai kekhasan tersendiri di setiap daerah. Sebagaimana daerah lain di Indonesia, Bali juga memiliki kain tradisional berupa kain tenun yang menjadi kebanggaan masyarakat Bali, yaitu kain tenun

cagcag yang dihasilkan oleh masyarakat Sangkaragung, kabupaten Jembrana. Pada upacara adat keagamaan di kelurahan Sangkaragung, Umat Hindu desa setempat tidak pernah lepas dari upacara-upacara keagamaan (Diantary, 2019). Dalam pelaksanaan upacara-upacara tersebut, berbagai sarana dan prasarana digunakan sebagai pendukung dan pelengkap upacara maupun upakara. Salah satunya berupa kain yang memiliki sentuhan sakral dan mempunyai nilai penting dalam pelaksanaan upacara yang juga mempunyai nilai-nilai filsafat tinggi yang disebut kain bebali.

Pada zaman dahulu kain bebali atau wastra wali dibuat oleh orang-orang yang sudah tua (orang-orang yang sudah baki), sebab orang yang sudah baki (yang tidak mengalami menstruasi lagi dianggap bersih/suci). Sementara itu, orang yang sedang mengalami menstruasi dilarang menenun kain karena dianggap masih kotor. Hal ini dilakukan karena kain tersebut merupakan kain sakral yang digunakan untuk kepentingan upacara ritual keagamaan. Dalam masyarakat Hindu di kelurahan Sangkaragung, kain tenun

cagcag tidak jauh berbeda fungsinya

dengan kain (pakaian), yaitu sebagai

pelindung tubuh dari sengatan matahari, hujan, dingin, gangguan serangga, dan gangguan-gangguan yang lain. Fungsi dalam hal ini merupakan fungsi dalam pengertian umum, yang berlaku dalam ranah budaya. Fungsi tersebut berperan memberi manfaat atau nilai kegunaan bagi sesuatu, baik intrinsik maupun eksterensik. Seperti diungkapkan Koentjaraningrat (1987:165), fungsi tidak hanya sekedar hubungan biologis manusia, tetapi juga bersifat interaktif dalam arti mempunyai hubungan dengan alam yang berkaitan dengan kompleksitasnya. Pendapat tersebut sesuai dengan fungsi kain bebali bagi masyarakat Hindu Bali.

Kain tenun cagcag sebagai hasil karya seni yang memiliki ciri khas dan fungsi yang sangat sinkron dengan karya-karya seni pada zaman prasejarah ini memiliki sifat magis dan religius, karena tujuan pembuatannya adalah untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan yang dapat mempertahankan hidup. Bentuk dan motifnya yang sederhana dengan menggunakan pewarnaan alami, seperti darah binatang, getah pohon, kulit kayu, daun-daunan merupakan salah ciri dari karya seni jaman pra sejarah. Pada umumnya, kain tenun

cagcag memiliki tiga warna dasar, yaitu

putih (atau putih tulang) yang menggambarkan angin, hitam yang menggambarkan air, dan merah yang menggambarkan api. Sesuai dengan penggambaran karakter dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa (Gunawijaya, 2019). Pada masyarakat Hindu Bali tiga warna tersebut disebut juga sebagai warna

tridatu. Warna tridatu dianggap sebagai

warna sakral karena merupakan simbol dari dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, sehingga dalam setiap upacara ritual selalu digunakan untuk warna berbagai media, seperti kain poleng merah-putih-hitam atau benang tridatu (Suadnyana, 2020).

(5)

Kain tenun cagcag sebagai kain

bebali atau wastrawali merupakan hasil

budaya masyarakat Bali. Dalam sistem sosial budaya masyarakat tradisional, kain tenun cagcag memiliki keterkaitan sangat erat dengan berbagai aktivitas maupun upacara adat. Pesan moral yang disajikan melalui bentuk-bentuk simbol, sehingga dapat dijadikan tuntunan, tatanan, dan tontonan bagi masyarakat pendukungnya (Suadnyana, 2020).

3.1.2 Secara Filosofis

Motif kain tenun di Indonesia, pasti tidak ada habisnya. Adanya unsur tradisi dan adat istiadat kerap membuat motif memiliki makna filosofi dan banyak lagi motif-motif tenun cagcag yang menyimpan kekayaan makna filosofi yang menambah kekayaan budaya daerah Sangkaragung.

Awal mulanya pembuatan kain tenun cagcag merupakan sebuah rangkaian upacara tersendiri. Motif-motif tenun ikat yang didapatkan oleh penenun berasal dari nenek moyang. Para pendahulu meneruskan berbagai motif pada generasi setelahnya secara turun temurun. Tenun dipandang bukan lagi hanya sekedar sebagai sebuah karya semata-mata tetapi juga sebagai sesuatu yang memiliki roh dan energi hidup. Tenun cagcag adalah sesuatu yang sakral, yang mampu memberi tempat bagi pertemuan antara realitas fisik dan metafisik magis. Kehidupan masyarakat Sangkaragung yang telah ditempa oleh alam, waktu, dan berbagai fenomena jagat telah membuatnya memiliki suatu pemahaman-pemahaman tertentu yang terkonsentrasi menjadi suatu kristalisasi format tertentu pula. Lebih lanjut komang ani, menyatakan bahwa tradisi menenun masyarakat Sangkaragung merupakan salah satu komponen dalam satu kesatuan proses bagaimana masyarakat sangkaragung menjaga

keseimbangan tatanan kehidupan jagat agar tetap selaras. Lebih jauh lagi tenun

cagcag di kelurahan Sangkaragung

telah menjadi suatu kekhasan, dari percampuran antara keindahan dan kesakralan, sebagai suatu ekspresi jiwa manusia, di mana tenun cagcag telah dilahirkan, hadir dan melembaga menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari seluruh fenomena kehidupan masyarakat Sangkaragung.

3.1.3 Guna Pelestarian Hasil Kebudayaan Leluhur Agar Tidak Punah

Kita mengetahui bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan budaya, terdapat ratusan bahkan lebih suku bangsa dan bahasa yang mendiami wilayah nusantara dengan ribuan budaya yang beraneka ragam. Namun keaneka ragam budaya tersebut justru seringkali diremehkan oleh warga negaranya sendiri. Budaya bangsa Indonesia perlahan mulai menghilang karena tidak diimbangi dengan kecintaan dan kesadaran masyarakat terutama generasi muda untuk ikut berpartisipasi melestarikan budaya bangsanya sendiri.

Kain tenun Cagcag juga merupakan salah satu bentuk hasil dari kebudayaan leluhur yang perlu mendapat perhatian kusus yang dalam hal ini berupa pelestarian. Tidak hanya menghasilkan sebuah produk seni rupa yang akan dipakai sebagai sarana upacara namun di dalam kebudayaan terdapat pola perilaku yang merupakan cara manusia untuk bertindak sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat, artinya kebudayaan merupakan suatu garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai bagaimana masyarakat harus bertindak, dan melakukkan hubungan dengan orang lain atau bersosialisasi. E.B. Taylor

(6)

(dalam Teori-Teori Sosial Budaya, 1989: 23) yang menyatakan bahwa kebudayaan itu adalah seluruh yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Perubahan sosial yang terjadi didalam masyarakat, tidak semuanya membawa dampak positif termasuk dampak positif terhadap kebudayaan negara kita. Dinamika perubahan sosial dalam konsepsi Marx menyatakan, bahwa perubahan sosial ada pada kondisi historis yang melekat pada perilaku manusia. Perubahan sosial tidak dapat dipisahkan dari perubahan kebudayaan. Pada umumnya, perubahan-perubahan budaya menekankan pada perubahan sistem nilai, sedangkan perubahan sosial pada sistem pelembagaan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Sejalan dengan pemikiran tersebut Keesing (1991:48-49) menambahkan bahwa waktu merupakan salah satu aspek perubahan sosial. Beliau juga menambahkan fungsi waktu apabila dikaitkan dengan perubahan sosial. Waktu muncul dalam dua fungsi yaitu membantu sebagai kerangka eksternal untuk mengukur peristiwa dan proses dan yang kedua adalah waktu sebagai kerangka internal suatu peristiwa.

Mengingat pentingnya suatu kebudayaan bangsa bagi bangsa itu sendiri, maka kebudayaan-kebudayaan bangsa yang ada di Indonesia harus tetap dilestarikan. Banyak cara dalam melestarikan budaya bangsa. Hal yang paling mendasari pelestarian budaya adalah faktor dari dalam diri kita sendiri. Seperti yang diterapkan di kelurahan Sangkaragung dengan penggunaan kain tenun cagcag pada setiap prosesi upacara maka akan dapat

membantu pelestarian kebudayaan leluhur untuk tetap eksis dan juga tetap lestari. Disamping bentuknya yang mengandung banyak nilai namun juga keikut sertaan karya seni tersebut dalam kegiatan upacara juga memberikan dampak yang positif dalam kehidupan.

3.1.4. Sebagai Identitas Masyarakat Jembrana

Identitas daerah adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu daerah yang secara filosofis membedakan daerah tersebut dengan daerah lain. Berdasarkan pengertian yang dimiliki ini maka setiap wilayah di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Berdasarkan hakikat pengertian identitas nasional bangsa sebagaimana dijelaskan diatas maka identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih populer disebut kepribadian suatu bangsa atau dapat diartikan sebagai sekolompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya. Identitas adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang, kelompok, lembaga atau bangsa lainnya, dengan adanya ciri-ciri yang berbeda itu maka akan muncul kekhasan serta keunikan tersendiri sehingga akan mampu memberikan kebanggaan bagi pemiliknya. Salah satu peluang untuk menyatakan identitas-diri ini adalah melalui kegiatan seni.

Kegiatan seni dianggap potensial oleh karena mampu mengekpresikan identitas-diri kelompok secara alamiah. Melalui seni, simbol budaya, mitos, keyakinan, dan harapan dari suatu kelompok dapat dinyatakan secara efektif dan otentik. Melalui kekayaan seni kita mampu menunjukkan jati diri bangsa Indonesia di tengah budaya global. Indonesia

(7)

memiliki berbagai suku dengan sejarah dan latar belakang budaya yang sangat beragam. Hal tersebut tercermin pula dari keragaman bentuk dan sifat kesenian yang muncul serta dapat kita wariskan hingga saat ini salah satunya adalah karya seni tenun cagcag. Dengan kehidupan masyarakat yang lebih didominasi oleh masyarakat agraris hal ini tertuang juga dalam motif karya kain tenun yang berupa hiasan bercorak agraris.

3.1.5. Menambah Kesan Magis/Taksu Pada Setiap Prosesi Upacara Manusa Yadnya

Agama secara mendasar dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib khususnya dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Perilaku keagamaan sesungguhnya merupakan perilaku yang terdapat dalam kenyataan dan karenanya dapat diamati dan diteliti, antara keduanya saling berkaitan secara erat, bila fenomena sosial berubah maka akan diikuti perubahan fenomena keagamaan dan sebaliknya. Agama sangat mempengaruhi dalam kehidupan sosial (lahir, hidup, perkawinan, mati), setiap perbuatan manusia baik sosial, politik, ekonomi dan budaya dilakukan berdasarkan oleh pemikiran yang timbul akibat dari agama itu sendiri, di dalam diri setiap individu terdapat pikiran yang dimana isi pikiran tersebut dapat mempengaruhi tindakan berlanjut lewat proses interaksi sosial dan fakta sosial.

Dalam kehidupan beragama maka tidak akan dapat dipisahkan antara agama dan juga kesenian, tanpa terkecuali seni rupa. Seni adalah sebuah kehidupan karena telah menyatu dalam jiwa. Seni sakral dalam konteks

perwujudan seni rupa adalah karya seni yang mengajarkan tentang ajaran tinggi, yang mempunyai suatu kekuatan magis religius dan berkaitan dengan upacara keagamaan. Kain tenun cagcag dalam kontek seni rupa di pakai hanya pada waktu tertentu, yaitu hari-hari yang ada hubungannya dengan upacara tertentu yang dianggap sakral.

Kebudayaan Bali yang mewahanai kesenian Bali telah diyakini oleh masyarakatnya sebagai wujud persembahan. Estetika budaya yang dibingkai oleh religiusitas Hinduisme tetap menarik untuk dinikmati dan dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Tiap tindakan Agama Hindu dapat menumbuhkan perasaan seni yang sangat mendalam pada masyarakat terutama dalam bidang seni pahat, seni gamelan, seni lukis, seni tari dan seni hias. Kesenian apa pun bentuknya pada dasarnya merupakan hasil ekspresi dan kreativitas seniman. Sebagai sebuah hasil olah rasa, cipta dan karsa seniman, kesenian tidak akan bisa dilepaskan dari ikatan nilai-nilai luhur budaya senimannya. Kesenian adalah sebuah ekspresi yang memancarkan naluri seseorang dalam menggelutinya, sehingga menimbulkan rasa estetis (lango) baik bagi pencipta, pelaku, maupun penikmatannya karena pada dasarnya seni adalah menghaluskan jiwa. peristiwa multidimensional (kultural, sosial, politik, dan ekonomi) ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menanamkan nilai budaya tradisi Bali, terutama nilai-nilai estetika Hindu melalui berbagai sajian kesenian dalam bentuk pawai, lomba, parade, pergelaran dan sebagainya.

Masyarakat agama Hindu umumnya dan Bali khususnya, umat Hindu dalam berkomunikasi dengan Ida

Sang Hyang Widhi atau Tuhan tidak

(8)

namun juga melalui media-media tertentu (Kariarta, 2020). Hal ini merupakan hakikat hidup manusia yang universal yaitu sebagai makhluk yang menggunakan simbol (animal

symbolicum) sebagai alat komunikasi.

Media-media yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh umat Hindu di Bali tak terbatas jumlahnya salah satunya adalah penggunaan kain tenun

cagcag. Mitologis selalu dihubungkan

dengan manifestasi Tuhan, ketidakmampuan manusia berhubungan langsung dengan Tuhan melalui batiniah, menimbulkan cara lain untuk mencapai alam Ketuhanan. Cara-cara tersebut adalah dengan membuat upakara atau ritual dari berbagai bahan (banten=Bali) sehingga di sana terpusat emosi keagamaan umat manusia melalui simbol benten (Heriyanti, 2020). Di samping itu adanya seni ritual yang mendukung juga sistem komunikasi manusia dengan Tuhan adalah penciptaan bentuk-bentuk patung perwujudan (arca, pretima, dll) sehingga dalam bentuk-bentuk seperti itu tersirat atau terpadu antara emosi keagamaan, etika, kebenaran, estetika dan filosofis yang menjadi kekuatan sebuah simbol yaitu simbol dari pemikiran manusia yang merupakan bagian dari kekuatan yang Maha Besar yaitu, Tuhan Yang Maha Esa.

Simbol-simbol religi seperti itu dalam masyarakat Hindu Bali sangat disakralkan oleh orang Bali melalui tradisi yang ditanamkan kepada masyarakat dalam berbagai media, baik dalam media seni maupun lainnya. Media seni yang mendapat pengakuan religius/keagamaan disebut dengan seni sakral oleh karena disebut dengan seni sakral maka atribut yang disandangnyapun terbawa oleh kesakralannya. Sedangkan seni yang tidak mendapatkan pengakuan/

pengukuhan religius disebut seni profan/sekuler.

Menurut I Wayan Dibia (2000:3-7) bahwa untuk pemahaman terhadap suatu karya seni yang terkait dengan religi (estetis religius) yang juga disebut seni sakral, kita tidak boleh lepas dengan ruang pikir Ke-Hindu-an (Bali). Konsep seni dalam ruang pikir manusia Hindu khususnya Bali sangat terkait dengan sifat kemahakuasaan Tuhan yang meliputi tiga unsur penting, Satyam (kebenaran), Siwam (kebaikan/kesucian), dan Sundaram (keindahan). Sehingga dalam tiap upacara jelas akan terasa tingkat ke sakralannya ketika kita memakai sarana yang memiliki nilai religious yang tinggi seperti kain tenun cagcag.

3.1.6 Menumbuhkan Rasa Bangga Terhadap Produk Lokal

Kain tenun cagcag merupakan salah satu karya seni yang di buat dan juga

dikembangkan sendiri oleh masyarakat Sangkaragung. Dalam pembuatannya dilakukan oleh masyarakat Sangkaragung disamping merupakan warisan turun temurun dalam proses pembuatannya juga ada nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur sehingga ada semacam local genius yang dijaga dalam pembuatan kain tenun tersebut. Bahan baku yang dipergunakan dalam pembuatan juga merupakan bahan baku yang hanya dapat ditemui di wilayah Sangkaragung sehing hal ini akan meminimalisasi proses duplikasi atau plagiat hasil karya yang merupakan khas dari wilayah Sangkaragung. Secara naluri dengan pembuatan dan

(9)

juga bahan serta motif dan corak yang khas akan menambah rasa percaya diri dan juga bangga akan produk sendiri. Hal ini diungkapkan oleh masyarakat setempat dimana dalam setiap kegiatan upacara utamanya upacara manusa

yadnya masyarakat akan dengan senang

hati dan juga perasaan banga memakai kain tenun cagcag.

Tidak hanya dalam bidang bentuk, corak, maupun bahan baku disisilain rasa bangga ditunjukan oleh masyarakat dalam menggunakan kain tenun cagcag adalah terkandungnya nilai kearifan lokal, yang ada pada daerah tersbut. Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.

Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba. Sehingga rasa bangga dan juga percaya diri tehadap produk local merupakan salah satu unsur kenapa sampai saat ini penggunaan kain tenun cagcag masih dapat berkembang dan juga bertahan.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dibahas diatas tentang kain tenun

cagcag pada upacara Manusa Yadnya di

kelurahan Sangkaragun, kecamatan Jembrana, kabupaten Jembrana adalah sebagai berikut: Alasan Penggunaan kain tenun cagcag pada

upacara manusa yadnya di kelurahan Sangkaragung, 1). Secara Historis, kain tenun cagcag sangat memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan berbagai aktifitas maupun upacara adat di desa setempat. 2) Secara filosofi, dalam setiap helai kain, terkandung kehidupan bumi di dalamnya. 3) Bahwa setiap penggunaan kain tenun cagcag pada setiap prosesi upacara, maka akan dapat membantu pelestarian kebudayaan leluhur agar tetep lestari. 4). Perwujudan bentuk serta motif karya seni tenun menjadi salah satu identitas daerah. 5). Mengandung unsur kesucian, sehingga dalam setiap upacara jelas akan terasa tingkat kesakralan ketika memakai hasil karya seni yaitu kain tenun cagcag. 6). Menumbuhkan rasa bangga terhadap produk lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Cudamani. 1989. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Surabaya : Paramita Dibia, I Wayan. Pengantar Kerawitan

Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia. 1978.

Diantary, N. M. Y. A. (2019). KECANTIKAN WANITA DALAM TEKS RUKMINI

Gambar 3.1 Rangkaian Upacara Manusa

Yadnya

(10)

TATTWA. Jñānasiddhânta:

Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

Djelantik, A.AM.1992 Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I Estetika Instrumental,Denpasar : STSI. Gunawijaya, I. W. T. (2019).

KELEPASAN DALAM PANDANGAN SIWA TATTWA PURANA. Jñānasiddhânta:

Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

Heriyanti, K. (2020). KEUTAMAAN API SEBAGAI SIMBOL DEWA AGNI DALAM AKTIVITAS RITUAL KEAGAMAAN UMAT

HINDU. Jñānasiddhânta: Jurnal

Teologi Hindu, 2(1).

Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Keesing, M Roger. 1981. Culture Anthropology a Contemporary Perspective. New York : CBS Colleg Publishing

Kartiwa. S. 1989. Tenun Ikat Indonesia Ikats. Jakarta: Djambatan. Kartiwa, Suwati. (2007). Tenun Ikat:

Ragam Kain Tradisional Indonesia. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Kariarta, I. W. (2020). Paradigma Materialisme Dialektis di Era Milenial. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 11(1), 71-81.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia

Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka Satori, Djam’an dan Aan Komariah.

2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : Alfabeta Soedarso S. P. 2006. Trilogi Seni

Penciptaan, Eksistensi, dan

Kegunaan Seni. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Soekarto dan Winardi. 1991. Menejemen Pemasaran. Jakarta : Erlangga.

Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Dharma Yudha Karma dalam Kitab Suci Bhagavadgita. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 10(2), 119-134.

Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Nilai yang Terkandung dalam Gaguritan Mituturin Angga. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 9(2), 165-178.

Sujipta, 1989. Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Hubungannya dengan masyarakat dan pariwisata Bali. Universitas Udanyana, Bali

Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa.Yogyakarta : Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI) Senaya, I Made. 1988. Pengerajin

Tradisional di Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal kebudayaan Sejarah dan Nilai Tradisonal Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Bali

Taylor, E.B. 1891. Primitive Culture .London : J. Murray,

Wiana, I Ketut. 1998. Berbakti pada Leluhur Upacara Pitra Yadnya dan Upacara Nuntun Dewa Hyang. Surabaya : Paramitha. Windya, I. M. (2019). KONSEP

TEOLOGI HINDU DALAM TATTWAJÑĀNA. Jñānasiddhâ

nta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

Wijayanandha, Mpu Jaya. 2003. Tetandingan Lan Sorohan Bebanten. Denpasar: Paramita.

Gambar

Gambar 3.1 Rangkaian Upacara Manusa  Yadnya

Referensi

Dokumen terkait

dan padat, Pengisian data Statistik, Laporan Pemakaian Anggaran Belanja Tahunan (ABT), Laporan Data Jumlah Realisasi Ekspor, Laporan Tenaga Kerja Asing, Laporan

Guru meminta siswa bersama kelompoknya mencari informasi dari surat kabar bekas atau majalah bekas contoh peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan mengidentifikasi

.. Kurikulum yang menggabungkan sejumlah disiplin ilmu melalui pemaduan area isi, keterampilan dan sikap. Anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui

Dengan demikian hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan dari Implementasi Kebijakan Peraturan Bupati Ciamis Nomor 1-A Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan

 Peta yang menunjukkan daerah yang harus dihindari dan daerah potensial untuk penanaman baru  Tabel dan bagan yang meringkaskan emisi GHG yang terkait dengan pembuatan

Glaukoma adalah sekelompok gangguan yang melibatkan beberapa perubahan atau gejala patologis yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) dengan segala

Tingkat persepsi tertinggi petani terhadap alih fungsi lahan padi sawah menjadi lahan hortikultura dan jagung berada pada faktor produksi dengan pencapaian skor

Nestlé sebagai perusahaan besar senantiasa responsif terhadap tuntutan perdagangan global agar produknya berdaya saing tinggi, mengantisipasi masyarakat yang dinamis dan