• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Gemblak dalam Novel Tembang Tolak Bala Karya Han Gagas Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasi Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tradisi Gemblak dalam Novel Tembang Tolak Bala Karya Han Gagas Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasi Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Tradisi Gemblak dalam Novel

Tembang Tolak Bala

Karya

Han Gagas Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasi

Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA

Siti Wahyu Wulandari1, Budiono2, Irsyadi Shalima3

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Tidar

sitiwahyuwulandari97@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tradisi gemblak yang terdapat dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas, dan menyusun rancang bangun pembelajaran apresiasi sastra novel di SMA mengenai tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala. Penelitian ini menggunakan tinjauan sosiologi sastra yang berfokus pada sastra sebagai cermin masyarakat didasarkan pada beberapa teori milik Ratna, Faruk, dan Wiyatmi. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka, dengan teknik simak catat. Metode analisis datanya menggunakan deskriptif analitik. Hasil penelitian ini berupa bentuk tradisi gemblak yang terdapat dalam novel Tembang Tolak Bala meliputi (1) eksistensi tradisi gemblak, (2) warok, (3) gemblak, (4) lamaran gemblak, (5) hubungan warok dan gemblak, (6) warok dan reog, (7) akhir status gemblak. Selain itu, hasil penelitian ini juga diimplementasikan dalam bentuk rancang bangun pembelajaran apresiasi satra yang berisi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kurikulum 2013 kelas XII semester genap menggunakan pendekatan saintifik. Tepatnya KD 3.9 menganalisis isi dan kebahasaan novel, dan KD 4.9 merancang novel dengan memperhatikan isi dan kebahasaan.

Kata Kunci: sosiologi sastra, tradisi gemblak, novel Tembang Tolak Bala

Abstract

The purpose of this study is to describe the gemblak tradition that is contained in the novel of Tembang Tolak Bala by Han Gagas, and to arrange the design of learning literature appreciation of the novel in high school regarding the gemblak tradition in the Tembang Tolak Bala novel. This study uses a review of the sociology of literature that focuses on literature as a mirror of society based on several theories belonging to Ratna, Faruk, and Wiyatmi. The type of this research is qualitative research. The data of this research is the novel of Tembang Tolak Bala by Han Gagas. The method of this research is literature study, by the techniques of reading, marking, recording, and reducing. The data analysis method uses descriptive analytics. The results of this study in the form of the gemblak tradition that is contained in the Tembang Tolak Bala novel include (1) the Existence of gemblak tradition, (2) warok, (3) gemblak, (4) the gemblak application, (5) the warok and gemblak relations, (6) warok and reog, (7) the end of the gemblak status. In addition, the

(2)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

results of this study is also implemented in the form of a literature appreciation learning design that is contained a Leson Plan (RPP) 2013 curriculum in class XII even using the scientific approach. Precisely in KD (basic competencies) 3.9 analyzing the content and language of the novel, and KD (basic competencies) 4.9 designing the novel by paying attention to content and language.

Keywords: literature sociology, gemblak tradition, Tembang Tolak Bala novel

PENDAHULUAN

Kehidupan masyarakat tidak lepas dari adat, budaya, dan tradisi (Widyanti, 2015). Setiap tradisi memiliki pesan dan tujuan tertentu (Thaib, 2018). Tradisi dimiliki bersama oleh sekelompok orang di setiap daerah dan diwariskan kepada generasi muda (Sussanti, 2013). Sebagai generasi muda yang cinta tanah air, sudah menjadi kewajiban untuk mengetahui tradisi yang dimiliki suatu daerah di Indonesia (Y.Tyas Catur Pramudi, Fikri Budiman, Sunardi, 2010). Salah satu tradisi yang ada di Indonesia, yakni tradisi gemblak di Ponorogo (Sepiolita, 2017). Tidak banyak masyarakat yang mengetahui tradisi gemblak di Ponorogo (Sari, 2018). Masyarakat justru lebih mengenal keseniannya yaitu Reog Ponorogo. Realitanya, dibalik kesenian reog yang begitu tersohor, ternyata tidak lepas dari tradisi gemblak yang dilakukan oleh pemainnya. Kesenian reog dimainkan oleh seorang warok. Tradisi gemblak di Ponorogo berupa kebiasaan seorang warok yang memelihara gemblak. Istilah warok mengacu pada seseorang yang berkuasa di daerah Ponorogo, sedangkan gemblak sebutan untuk anak laki-laki berusia belasan tahun yang dipelihara warok. Tradisi gemblak berakar dari adanya ilmu kanuragan yang dimiliki warok.

Tradisi gemblak juga diceritakan dalam karya sastra berupa novel yang ditulis oleh Han Gagas. Novel tersebut berjudul Tembang Tolak Bala. Tradisi gemblak yang terdapat pada novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas, mengandung penyimpangan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala

menarik untuk dikaji.

Praktik gemblak yang terdapat dalam novel Tembang Tolak Bala berupa tradisi memelihara gemblak yang terjadi pada masa pra kemerdekaan Indonesia. Tepatnya pada saat Jepang menjajah Indonesia. Gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala berupa seorang anak laki-laki berusia 12-17 tahun, rupawan, muda, dan berkulit bersih. Gemblak juga mengalahkan pesona wanita serta menggantikan posisinya sebagai sumber birahi bagi para pelakunya. Kendati demikian, tidak semua gemblak hidup bahagia. Konon, ada gemblak yang bernasib tragis. Gemblak tersebut mati disiksa oleh tuannya karena menceritakan perihal hubungan badannya kepada orang lain. Kasus tersebut merupakan kejadian nyata yang bersumber dari laporan Pos Polisi Sumoroto yang terjadi di daerah Sumoroto, Jawa Timur tahun 1942 menjelang kedatangan Jepang di Indonesia yang tertuang dalam novel Han Gagas .

(3)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Peneliti menggunakan novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas sebagai sumber penelitian karena tradisi gemblak yang ada dalam novel termasuk tradisi kontroversial. Dikatakan kontroversial karena dalam tradisi tersebut mengandung unsur penyimpangan seksual dan perampasan hak seorang anak dalam kehidupan sehari-hari. Dampak yang timbul dari penyimpangan tersebut adalah trauma berkepanjangan bagi pelakunya. Oleh karena itu, jika dikaji lebih dalam, tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala akan menimbulkan pro dan kontra.

Tradisi gemblak sudah ada sejak tahun 60-an, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Krismawati dkk (2018) dalam artikelnya yang berjudul “Eksistensi Warok dan Gemblak di Tengah Masyarakat Muslim Ponorogo Tahun 1960-1980 di Ponorogo”. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keberadaan warok dan gemblak dalam struktur sosial masyarakat Ponorogo serta usaha warok untuk melanggengkan tradisi gemblak di kalangan masyarakat muslim sebagai mayoritas. Warok dan Gemblak di Ponorogo memiliki peran yang menonjol. Terutama pada kepemimpinan dan kesenian. Hal tersebut selaras dengan salah satu artikel jurnal yang meneliti mengenai peranan tokoh warok dan gemblak dalam kehidupan sosial masyarakat. Hasil penelitiannya berupa menguak pentingnya peran gemblak dalam kehidupan warok. Begitupula pentingnya sosok warok dalam kehidupan masyarakat Ponorogo (Wahyu Wiranata & Nurcahyo, 2018).

Kenyataan empiris bahwa sebagian masyarakat Ponorogo, khususnya kelas warok sepakat untuk mempertahankan tradisi timur melalui eksplorasi non tradisional, yaitu perilaku ritual dalam dimensi mistik. Warok melakukan lelakon tirakat dengan mengurangi makan, tidur, dan mencegah nafsu alami mereka termasuk hasrat birahi terhadap perempuan. Untuk itulah warok melampiaskan hasrat birahinya terhadap gemblak. Meski demikian, tidak semua gemblak menerima perlakuan warok tersebut dengan suka rela. Ada pula yang terpaksa, sehingga menimbulkan perlawanan dari dalam diri gemblak. Faktor pemicu perlawanan tokoh gemblak adalah hubungan seksualitas antara warok dan gemblak yang mendapat penolakan dari tokoh gemblak. Walaupun dipandang kurang pantas perihal hubungan seks antara warok dan gemblak dalam tradisi gemblak, terdapat hal positif berupa nilai-nilai kehidupan seperti nilai agama, nilai sosial, nilai penyimpangan sosial, dan nilai seni tari. Hal serupa mengenai nilai-nilai kultural dan nilai kehidupan juga terdapat dalam artikel sosiologi sastra (Octaviana, 2018).

Menurut Ratna, pendekatan soiologi menganalisis mengenai manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu serta menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat. Sosiologi sebagai studi ilmiah yang objektif mengenai manusia dalam masyarakat, dan studi tentang lembaga dan proses-proses sosial (M. Arif Khoiruddin, 2014). Menurut Wiyatmi, sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai cara masyarakat memungkinkan sesuatu, seperti apa cara kerjanya, dan usaha serta alasan manusia bertahan hidup. Salah satu bagian dari sosiologi sastra adalah sastra sebagai cermin masyarakat (Akbar, 2013). Pada bukunya Faruk yang berjudul Pengantar Sosiologi

(4)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Sastra, sastra sebagai cemin masyarakat memiliki beberapa hal, antara lain (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis, (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang memengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya, (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat.

Salah satu bagian dari masyarakat yang tercermin dalam karya sastra yakni tradisi (Verulitasari & Cahyono, 2016). Terutama tradisi gemblak dalam novel

Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. Hartika, tradisi merupakan khasanah yang selalu hidup dalam masyarakat secara turun temurun dan keberadaannya akan terus dijaga dalam setiap generasi. Tradisi gemblak merupakan tradisi yang dilakukan oleh seorang warok yang memiliki ilmu kanuragan atau ilmu kekebalan (Mabrur, 2016). Ilmu kanuragan yang dimiliki warok biasanya digunakan untuk menopang topeng dadak merak yang ada dalam kesenian. Tradisi gemblak tidak lepas dari seni tari yang disebut reog. Menurut Bedudu, reog merupakan kesenian tradisional yang berasal dari daerah Ponorogo dan sifatnya menghibur (Hidayanto, 2012). Kesenian reog mengandung unsur magis. Tokoh atau pemain dalam seni reog meliputi Singo Barong, Kelana Sewandono, Bujangganong, Jathilan, dan Warok. Semua pemain dalam seni reog adalah laki-laki.

Hasil penelitian relevan dengan pembelajaran apresiasi sastra di SMA (Kusdiana, 2010). Berdasarkan silabus Bahasa Indonesia kurikulum 2013 revisi tahun 2016 kelas XII semester genap, penelitian ini relevan dengan KD 3.9 menganalisis isi dan kebahasaan novel, dan KD 4.9 merancang novel atau novelet dengan memperhatikan isi dan kebahasaan novel. Menurut Nurgiyantoro, pembelajaran sastra Indonesia di sekolah tidak berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran yang mandiri, melainkan hanya menjadi bagian mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Menurut Rahmanto, untuk memahami sastra secara mendalam, ada tiga dorongan yang mendasari kehidupan manusia dalam penulisan karya sastra. Tiga dorongan itu meliputi sifat religius, sifat sosial, dan sifat personal (Sopini, 2014). Penelitian yang akan dilakukan saat ini fokus pada dorongan sosial (Handono & Bashori, 2013). Penilaian dalam pembelajaran sastra dilakukan dengan cara pemberian tugas kepada peserta didik (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2014). Dalam hal ini siswa diminta menganalisis isi dan kebahasaan novel. Meliputi unsur intrinsik dan ekstrinsik yang ada dalam novel. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan tradisi gemblak yang terdapat dalam novel Tembang Tolak Bala

karya Han Gagas. (2) menyusun rancang bangun pembelajaran apresiasi sastra yang dikembangkan dari tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas di SMA.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kalimat tertulis (Koyan, 2014). Pendekatan penelitian tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas adalah pendekatan

(5)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

sosiologi sastra. Sumber data yang digunakan adalah novel Tembang Tolak Bala

karya Han Gagas. Di dalamnya menceritakan tradisi gemblak yang ada di Ponorogo, Jawa Timur. Objek penelitian ini adalah tradisi gemblak yang terdapat dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas yang dianalisis menggunakan kajian sosiologi sastra.

Wujud data dalam penelitian ini berupa kalimat-kalimat dalam teks yang menunjukkan bentuk tradisi gemblak beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Asmarani & Santoso, 2014). Data tersebut tercermin melalui narasi atau dialog dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. Menurut Sudaryanto (2015, p. 9), metode dan teknik adalah dua istilah yang yang menunjukkan konsep berbeda namun saling berhubungan satu sama lain. Metode merupakan cara yang harus diterapkan. Teknik merupakan cara menerapkan suatu metode. Metode penyediaan data yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah metode studi pustaka (Rahardjo, 2010). Metode ini secara khusus akan meneliti teks dalam novel

Tembang Tolak Bala karya Han Gagas yang berkaitan dengan tradisi gemblak. Teknik yang digunakan pada penelitian mengenai tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala adalah teknik simak catat. Tahapannya adalah membaca, menandai, dan mengklasifikasi data yang berhubungan dengan objek penelitian tradisi gemblak yang terdapat dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. Langkah-langkah penyediaan data tersebut sebagai berikut: (1) Menyiapkan novel (Koesnandar, 2018). Peneliti menyiapkan novel yang akan dianalisis peneliti yaitu novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. (2) Membaca novel Tembang Tolak Bala secara teliti. Peneliti membaca novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas secara berulang-ulang, cermat dan teliti untuk memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitian. (3) Menandai, Mencatat, dan Mengode (Slamet Riyadi, Riza Azyumarridha Azra, 2014). Peneliti menandai teks yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. Data ini diperlukan untuk mempermudah peneliti dalam memilih data sesuai dengan tujuan penelitian (Rahardjo, 2010). Data yang diteliti kemudian diberi kode sesuai dengan judul penelitian (Dewi, 2009).

Menurut Ratna, metode dan teknik digunakan sebagai cara, strategi yang digunakan untuk memahami realitas, dan sebagai langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Peneliti menggunakan metode deskriptif analitik (Rahmat, 2009). Metode deskriptik analitik digunakan untuk mendeskripsikan tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. Teknik analisis data yang digunakan, disesuaikan dengan metode deskriptif analisis. Hasil analisis disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga memperoleh pemahan secara utuh. Berikut langkah-langkah menganalisis data penelitian. (1) Memahami kalimat yang menunjukkan bentuk tradisi gemblak. (2) Menyediakan data penelitian. Peneliti mencatat setiap teks yang berkaitan dengan tradisi gemblak dan menjadikannya data. (3) Melakukan analisis data. Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan landasan teori secara mendalam. (4) Melakukan penafsiran hasil analisis data agar memiliki pemahaman utuh. Setelah

(6)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

data dianalisis, selanjutnya peneliti melakukan tafsiran terhadap analisis data. (5) Menguraikan data yang diperoleh. Peneliti menguraikan hasil tafsirannya dalam kalimat-kalimat sehingga membentuk paragraf. (6) Membuat simpulan hasil penelitian. Peneliti membuat simpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi gemblak merupakan tradisi dari daerah Ponorogo, Jawa Timur. Gemblak adalah anak laki-laki berusia sekitar 12 sampai 17 tahun yang dipelihara warok. Warok identik dengan pendekar berperawakan besar, kebal senjata, sakti, dan juga disegani. Warok biasanya menjadi pembarong atau pemanggul reog saat pertunjukan kesenian reog Ponorogo. Tradisi gemblak dilakukan warok yang didasari oleh larangan untuk berhubungan badan dengan perempuan. Hubungan badan dengan perempuan diyakini mampu melunturkan ilmu kesaktian. Untuk menyalurkan hasrat seksual tanpa berhubungan badan (intim) dengan perempuan, warok menyalurkan hasrat birahinya kepada gemblak.

Tradisi gemblak mengandung nilai-nilai kehidupan, antara lain nilai agama, sosial, penyimpangan sosial, dan seni tari. Tradisi gemblak merupakan dokumen sosial budaya yang ada pada masyarakat Ponorogo pada masa itu. Kehidupan sosial budaya yang ada di daerah Ponorogo tersebut dikemas dan di abadikan dalam karya sastra yang berupa novel. Melalui novel yang berjudul Tembang Tolak Bala, Han Gagas menyampaikan suatu tradisi yang menyatu dengan kesenian Reog yang juga mengandung nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut terlihat dalam analisis data yang diperoleh dari novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. Alur cerita yang terdapat dalam novel Tembang Tolak Bala adalah alur campuran. Analisis data dan pembahasan mengenai tradisi gemblak sebagai berikut.

1. Eksistensi Tradisi Gemblak

Tradisi gemblak dilakukan oleh seorang warok yang memiliki ilmu kanuragan. Warok sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Hal itu terlihat dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas yang terdapat pada data berikut ini.

(1)“Majapahit boleh habis, namun daerah di barat Pegunungan Wilis dan timur Gunung Lawu, Prana Raga, mulai muncul pergerakan baru. Daerah bekas Kerajaan Wengker ini termasuk dalam persemakmuran Majapahit.” (TTB/TG/ETG/S/15)

Data (1) tersebut termasuk dalam bagian yang menunjukkan eksistensi tradisi gemblak. Tradisi gemblak merupakan salah satu ritual warok. Warok tidak bisa terlepas dari kesenian reog. Kesenian reog sudah ada sejak masa kerajaan Majapahit. Daerah yang bernama Prana Raga merupakan daerah yang ada di bawah pemerintahan kerajaan Majapahit pada abad XIV di daerah Jawa Timur. Saat ini daerah “Prana Raga” dikenal dengan nama Ponorogo. Ponorogo merupakan tempat yang melahirkan banyak warok yang biasa menjadi pemanggul reog dalam kesenian Reog Ponorogo.

(7)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Berdasarkan novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas, tradisi gemblak sudah ada sejak Raja Brawijaya V mengangkat puteranya, Raden Katong untuk menjadi adipati di daerah Wengker. Daerah Wengker dipilih karena hutannya sangat lebat dengan binatang-binatang hutan yang buas. Raden Katong beserta empat pengiringnya, Ki Ageng Kutu, Ki Ageng Mirah, Ki Gentan, dan Honggolono bahu membahu membangun daerah itu. Empat pengiring Raden Katong tersebut adalah seorang warok. Terdapat nilai sosial yang dilakukan oleh Raden Katong beserta empat pengiringnya, berupa sikap gotong royong untuk bersama-sama membangun wilayah pemukiman demi mewujudkan kemakmuran masyarakat yang kelak akan menempati wilayah tersebut.

(2)”Ki Ageng Kutu segera menghimpun penduduk lalu dilatih ilmu kanuragan, dan warok. Orang-orang sakti dilahirkan sebanyak mungkin. (TTB/TG/ETG/A/17)

Data (2) termasuk dalam bagian yang menunjukkan eksistensi tradisi gemblak mengenai kelahiran warok. Setelah daerah yang dibangun oleh empat warok tersebut terwujud dan memiliki banyak penduduk, maka empat warok tersebut menyebar untuk membangun daerah di sekitarnya lagi. Ki Ageng Kutu mendapat tugas untuk berada di daerah Prana Raga (Ponorogo). Pada data (2), Ki Ageng Kutu merupakan seorang warok sakti yang merupakan guru dari para warok di daerah Ponorogo. Ia menghimpun penduduk yang ada di daerah kekuasaannya untuk diajari ilmu kekebalan yang disebut ilmu kanuragan. “…orang-orang sakti dilahirkan sebanyak mungkin” pada penggalan kalimat tersebut, Ki Ageng Kutu ingin melahirkan banyak warok untuk menularkan ilmu yang dimilikinya. Ilmu kanuragan yang dimiliki mampu digunakan untuk melindungi diri dari serangan luar atau ancaman yang tak terduga. Ki Ageng Kutu merupakan seorang yang taat pada agama yang dianutnya yakni agama Hindu. Akan tetapi, saat Majapahit sudah tidak berjaya, sahabat Ki Ageng Kutu yang bernama Ki Ageng Mirah menyarankan agar Ki Ageng Kutu mengikuti perkembangan zaman untuk mengenal agama Islam yang mulai tersebar.

Akhirnya Ki Ageng Kutu menuruti nasehat Ki Ageng Mirah dan mulai beralih agama Islam. Akan tetapi, Ki Ageng Kutu masih melakukan laku yang didapatnya saat masih memeluk agama Hindu, yakni ilmu kanuragan yang dijalankan oleh seorang warok seperti dirinya. Ki Ageng Kutu pun masih ingin melahirkan banyak warok di daerah Ponorogo.

Berdasarkan penjelasan data, terdapat nilai agama. Terlihat bahwa ada perkembangan agama dari agama Hindu menuju agama Islam secara perlahan. Sedikit demi sedikit, perkembangan agama tersebut mulai terwujud meskipun tidak secara serta merta. Nilai agama juga tercermin dalam data (3) berikut ini.

(3) “Barangkali memang demikian. Dimas, lebih baik kita ikuti zaman meskipun tidak sampai hanyut. Ngeli ning ojo keli. Ikutilah arus tapi jangan sampai terhanyut. Begitu pedomanku, Islam pembawa perdamaian, kesempurnaan dan persamaan manusia. Islam mengayomi pemeluk agama

(8)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

lain termasuk Hindu, Budha. “Tak ada yang salah dalam Islam.” “Tapi juga tak ada yang salah dengan Hindu.” “Maaf Dimas, saya telah keliru, ini bukan soal betul-salah, tapi siapa bisa melawan zaman!” (TTB/TG/ETG/A/20-21)

Data (3) juga menjelaskan eksistensi tradisi gemblak yang menunjukkan perdebatan awal mengenai perbedaan pendapat Ki Ageng Kutu dan Ki Ageng Mirah tentang kedudukan agama baru, Islam di daerah tersebut. Terlihat pada kalimat “Tapi juga tak ada yang salah dengan Hindu”. Kalimat tersebut berkaitan dengan agama yang akan disebarluaskan di daerah Ponorogo. Ki Ageng Kutu merupakan pemeluk Hindu yang taat. Akhirnya, Ki Ageng Kutu mengalah dan mencoba mengikuti nasehat Ki Ageng Mirah untuk memeluk Islam. Namun meski demikian, ilmu kanuragan tetap diajarkan oleh Ki Ageng Kutu hingga terlahir seorang warok pemberani yang bernama Tejo Wulan. 2. Warok

Warok merupakan lelaki yang memiliki badan kekar dan kuat. Warok adalah sosok yang kaya ilmu dan sakti. Ilmu dan kesaktian yang dimiliki seorang warok adalah ilmu kanuragan (ilmu kekebalan tubuh). Akan tetapi, ilmu kanuragan yang dimiliki warok mengandung pantangan. Selain itu, warok memiliki jiwa spiritual tinggi sehingga disegani oleh masyarakat Ponorogo.

(4) “Kau tahu aku seorang warok berpantang setubuh dengan perempuan.” jawab eyang dengan tenang. (TTB/TG/W/PS/49)

Data (4) termasuk dalam bagian yang menjelaskan tentang warok. Menunjukkan bahwa pantangan dari ilmu kanuragan yang dimiliki warok berupa larangan berhubungan badan dengan perempuan. Pantangan itu berlaku seumur hidup. Meski demikian, warok tetap memiliki istri. Akan tetapi warok tetap tidak boleh menggauli istrinya sendiri. Bersetubuh dengan perempuan walaupun dengan istrinya, diyakini mampu melunturkan ilmu kesaktian. Untuk menyalurkan hasrat birahinya tanpa berhubungan badan dengan perempuan, warok mengangkat anak laki-laki berusia belasan tahun untuk dijadikan gemblak. Terdapat penyimpangan sosial yang dilakukan oleh seorang warok. Menurut norma dan aturan agama, seorang suami wajib memberi nafkah lahir dan batin terhadap istrinya. Akan tetapi, dalam novel Tembang Tolak Bala

seorang warok tidak memberi nafkah batin (kebutuhan biologis) terhadap istrinya. Oleh sebab itu, istri warok sering cemburu, mengeluh dan merasa sedih.

(5) “Terkadang aku cemburu pada bocah itu, ia lebih sering kau sayangi ketimbang aku. Kalaupun kau tidur sekamar denganku, kau hanya mendengkur, sama sekali tak menjamahku. Dulu selagi kita baru kawin, kau mengambil Cokro jadi gemblakmu. Kau hanya menciumku, tak lebih. Bagaimanapun aku perempuan yang juga membutuhkan itu.” (TTB/TG//W/PS/48-49)

(9)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Data (5) termasuk data yang menjelaskan tentang kehidupan warok. Menceritakan mengenai perasaan yang istri warok. Seorang istri warok mengeluh karena selama ia dinikahi oleh warok yang bernama Tejo Wulan, ia belum pernah diperlakukan layaknya hubungan suami istri. “Terkadang aku cemburu pada bocah itu, ia lebih sering kau sayangi ketimbang aku“ kalimat yang dicetak miring tersebut menunjukkan bahwa istri warok juga cemburu kepada bocah yang diangkat oleh suaminya sebagai seorang gemblak. Gemblak tersebut justru lebih disayangi oleh sang warok. Warok bersikap seperti itu bukan tanpa alasan, akan tetapi karena pantangan dari ilmu kanuragan yang dimiliki.

Perilaku warok dalam data mengandung penyimpangan sosial dalam hubungan rumah tangga dengan istrinya. Penyimpangan sosialnya berupa penyimpangan perilaku toleransi dalam hubungan rumah tangga suami istri. Rumah tangga Warok yang tidak melayani istrinya dengan baik menimbulkan kesedihan dan kecemburuan istri. Dalam hubungan rumah tangga seharusnya saling memberi hak satu sama lain. Banyak contoh mengenai timbulnya permasalahan yang berujung pada perdebatan yang disebabkan karena kurangnya toleransi dan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap kewajiban. Misalnya terjadi perceraian akibat salah satu pihak antara suami dan istri yang merasa tidak diberi nafkah lahir maupun batin oleh pasangannya.

(6) “Kau mengetahuinya Nyi. Guru dan lelaku yang kujalani berbeda dengan Wongsopati. Dan kau juga tahu sendiri: Singokobra, Joyosentono, Mangunrogo, dan Giriseto begitu banyak gemblaknya. Mereka satu guru denganku. Mereka tidak pernah puas dengan satu bocah. Dan lihat si Wirolodaya musuh kita, gemblaknya tak hanya banyak tapi juga sering berganti-ganti. Dan jika dibandingkan denganku, ia lebih banyak mempunyai gemblak.” (TTB/TG/W/PS/49)

Data (6) termasuk dalam data yang menjelaskan mengenai warok. Menunjukkan bahwa semua warok tidak selalu memiliki ritual dan lelaku yang sama, terlihat pada kalimat “Guru dan lelaku yang kujalani berbeda dengan Wongsopati”. Guru dari warok yang bernama Tejo Wulan dan Wongsopati tidak sama, sehingga lelaku beserta pantangan yang dijalanipun berbeda. Ada warok lain yang memiliki guru yang sama dengan Tejo Wulan, yakni Singokobra, Joyosentono, Mangunrogo, dan Giriseto. Mereka memiliki lelaku dan pantangan yang sama. Lelakunya berupa melantunkan syair Tembang Tolak Bala, menyalakan dupa setiap hari, dan semedi. Lelaku yang dijalani Tejo Wulan beserta teman warok lainnya memiliki pantangan dalam hal hubungan badan (seksual) dengan perempuan, sehingga untuk menyalurkan hasrat birahinya ia mengangkat seorang gemblak.

Dalam dunia warok, selain sebagai penyalur birahi, gemblak juga disimbolkan sebagai kekayaan dan kekuatan yang tinggi. Semakin banyak gemblaknya, berarti warok tersebut sangat kaya karena mampu menghidupi

(10)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

gemblak-gemblak yang diasuh. Oleh karena itu, ada warok yang memiliki lebih dari satu gemblak. Salah satu warok tersebut adalah Wirolodaya.

Apabila dilihat dari segi kemanusiaan, memelihara lebih dari satu gemblak memang baik jika tujuannya hanya untuk menyejahterakan gemblak tersebut. Akan tetapi, jika dilihat dari peran gemblak sebagai pengganti istri di malam hari, memelihara banyak gemblak dirasa kurang pantas. Hal tersebut disebabkan karena gemblak juga seorang manusia yang tidak bisa diperlakukan seperti barang koleksi, walaupun ia telah dikontrak oleh tuannya.

(7) ”Menurut cerita orang tua, warok merupakan orang pemurah suka memberi pangan pada siapapun. Tiap hari jumat ia membagi-bagikan bahan pangan pada orang yang tak punya. (TTB/TG/W/S/62) Data (7) masuk dalam data yang menjelaskan warok yang memiliki sifat baik. Tampak pada kalimat “Menurut cerita orang tua, warok merupakan orang pemurah suka memberi pangan pada siapapun”, berdasarkan kalimat tersebut juga terdapat sedikit sisi positif dalam diri warok. Warok merupakan orang pemurah yang suka memberi pangan kepada rakyat yang tidak mampu. Di kalangan masyarakat, warok dikenal sebagai seseorang yang dermawan. Warok sering memberi bahan pangan hasil buminya kepada masyarakat sekitar tempat tinggal. Hal tersebut dilakukan karena seorang warok memiliki kekayaan harta benda yang cukup banyak dibandingkan masyarakat lainnya. Warok juga memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat. Terbukti bahwa beberapa pejabat daerah seperti lembaga eksekutif dan legislatif pada zaman Majapahit berasal dari kalangan warok. Selain itu, warok juga seseorang yang ramah dan mau bergaul dengan masyarakat biasa. Bahkan, seorang warok menjadi pemimpin organisasi dari seni Reog Ponorogo. Perilaku warok yang dermawan mencermikan nilai sosial berupa saling tolong menolong terhadap sesama. Selain itu, warok juga ramah dalam bersosial di masyarakat, sehingga menambah citra dirinya semakin bagus.

3. Gemblak

Gemblak merupakan anak laki-laki berusia belasan tahun, berparas tampan dan berkulit bersih yang dipelihara oleh warok. Gemblak ada yang sekolah dan ada juga yang tidak sekolah. Apabila gemblak bersekolah, maka warok harus membiayai sekolahnya sampai selesai. Tetapi apabila gemblak tidak sekolah, maka warok harus memberi satu ekor anak sapi setiap tahunnya. Pemberian seekor sapi dilakukan pada bulan Syuro oleh warok kepada orang tua gemblak. Adanya aturan tersebut merupakan hasil musyawarah dan kesepakatan yang telah disetujui warok dan orang tua gemblak.

(8)”Di SMP tak kutemukan satupun murid satu SD dulu. Sekarang berganti teman-teman baru yang berasal dari segala penjuru Ponorogo.” (TTB/TG/G/S/112)

(11)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Data (8) termasuk dalam data yang menjelaskan gemblak. Gemblak merupakan seorang anak laki-laki yang dipelihara warok. Hargo adalah anak yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hargo merupakan seorang gemblak yang sekolah, maka tuannya (warok) harus menyekolahkan Hargo sampai selesai SMP. Kewajiban warok tersebut sudah ada dalam perjanjian yang telah disepakati warok dan orang tua gemblak. Meskipun Hargo hidup pada masa penjajahan Jepang. Pada masa itu tidak semua anak bisa sekolah karena fasilitas berupa gedung sekolahan masih sangat sedikit. Selain itu, pada masa penjajahan Jepang, anak yang bisa sekolah hanya anak-anak dari golongan yang memiliki status sosial tinggi. anak-anak miskin dan kurang mampu tidak memiliki banyak kesempatan untuk sekolah. Akan tetapi, Hargo beruntung karena bisa merasakan bangku sekolah dengan nyaman. Hal tersebut didapatkan Hargo karena ia digemblak oleh warok, sehingga status sosial hidupnya mengalami peningkatan.

4. Lamaran Gemblak

Sebelum seorang warok menjadikan seorang anak laki-laki pilihannya menjadi gemblak, ia harus melalui prosesi lamaran terlebih dahulu.

(9)”Suatu hari, aku melihat prosesi lamaran gemblak berlangsung. Seorang dandan atau wakil dari pelamar (warok) berserta rombongannya menaiki dokar. Di tengah rombongan dituntun seekor sapi atau kerbau sebagai mahar “perkawinan”. Semua bawaan itu diserahkan pada orang tua calon gemblak.” (TTB/TG/LG/S/56)

Data (9) termasuk data yang menjelaskan mengenai lamaran gembla. Proses melamar gemblak tidak jauh berbeda dengan lamaran pada umumnya. yakni membawa barang-barang seserahan sebagai mahar. Sebelum melakukan lamaran, biasanya ada mak comblang yang sengaja mencarikan anak laki-laki berusia belasan tahun untuk dijadikan gemblak. Setelah mak comblang tersebut memperoleh calon gemblak, maka ia melaporkan pada warok. Apabila warok setuju dan cocok dengan calon gemblak yang telah dipilihkan, maka barulah warok mengutus seseorang yang dipercaya untuk mendatangi rumah calon gemblak yang disetujui. Utusan warok biasa disebut dandan. Seorang dandan

tidak datang sendiri menuju rumah calon gemblak, tetapi dalam perjalanannya ia diiringi oleh rombongan. Rombongan tersebut bertugas membawa bawaan. Bawaan tersebut berfungsi sebagai seserahan yang meliputi berslop-slop rokok, gula tebu, beras, abon pisang raja dan sirih kinang. Tidak hanya itu, di tengah rombongan ada yang menuntun seekor sapi atau kerbau sebagai mahar perkawinan. Seluruh bawaan diserahkan kepada orang tua calon gemblak. Setelah itu, sudah bisa dipastikan orang tua calon gemblak akan menerima pinangan warok.

Ketika lamaran warok diterima oleh orang tua gemblak, kemudian mereka melakukan kesepakatan mengenai kontrak dan syarat yang harus dipenuhi oleh warok selama menggemblak anaknya. Kesepakatan itu meliputi berapa lama waktu yang akan dijalani oleh anak laki-laki yang sudah dilamar menjadi

(12)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

gemblak. Biasanya gemblak dikontrak selama 2-3 tahun, atau sampai ia dewasa (sekitar umur 17 tahun). Selain itu, kesepakatan lain berupa timbal balik yang harus diberikan warok pada gemblak maupun orang tua gemblak. Apabila gemblak tersebut sekolah, maka warok harus membiayainya sampai selesai sekolah. Akan tetapi, apabila gemblak tidak sekolah, maka warok harus memberi satu ekor anak sapi atau kerbau setiap tahunnya kepada gemblak. 5. Warok dan Gemblak

Warok dan gemblak dalam kehidupannya memiliki tiga hubungan yang saling berkaitan. Hubungan tersebut adalah hubungan ayah dan anak, hubungan murid dan guru, serta hubungan kekasih. Penjelasan masing-masing hubungan tersebut sebagai berikut.

a. Hubungan ayah dan anak

Layaknya ayah dan anak, hubungan antara warok dan gemblak juga demikian. Sosok warok sebagai seorang ayah yang bertanggung jawab menjamin terpenuhinya kebutuhan sehari-hari gemblaknya, warok juga memberi perhatian dan nasihat kepada gemblak tentang suatu hal, serta mengayomi dan melindungi gemblaknya.

(10) “Oalah Le, kau sudah sadar tho. Sudah tujuh hari tujuh malam kau tidur, Le. Kau pasti bingung sedang berada di mana. Bapakmu itu menemukanmu tersangkut akar pohon kamboja di sungai belakang.” (TTB/TG/W-G/S/26)

Data (10) termasuk data yang menunjukkan hubungan ayah dan anak antara warok dan gemblak. Terlihat dalam kalimat “Bapakmu itu menemukanmu tersangkut akar pohon kamboja di sungai belakang”, gemblak milik seorang warok yang bernama Tejo Wulan hilang saat diam-diam bermain di sungai belakang rumah warok. Mengetahui hal tersebut, warok pun bergegas mencari gemblaknya dan akhirnya menemukannya tersangkut akar pohon kamboja. Setelah dibawa pulang, gemblak tersebut tak sadarkan diri selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya setelah itu gemblak tersadar. Saat kejadian itu, warok memposisikan dirinya sebagai seorang ayah yang khawatir karena anaknya hilang. Oleh karena itu, ia berusaha mencari sampai ketemu. Hal tersebut menunjukkan adanya rasa kasih sayang dan tanggung jawab sebagai seorang ayah terhadap anaknya.

b. Hubungan guru dan murid

Selain hubungan warok dan gemblak sebagai ayah dan anak, hubungan lainnya adalah warok dan gemblak sebagai guru dan murid. Sebagai guru, warok mengajarkan banyak hal kepada gemblaknya. Mengajarkan cara bersikap baik di masyarakat, dan mengajarkan tentang permainan kesenian reog. Bahkan gemblak akan dilatih untuk menjadi bagian dalam permainan reog tersebut.

(11)“Warok Tejo menginginkan kami agar terus bermain dan berlatih. Kini, aku lebih mahir menabuh kendang daripada menari bujangganong. Lambat laun aku terus dipercayai untuk memegang kendang sewaktu memenuhi undangan pentas.” (TTB/TG/W-G/ST/69)

(13)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Data (11) termasuk data yang menjelaskan hubungan guru dan murid antara warok dan gemblak. Melihat permainan Hargo yang lumayan bagus, Tejo Wulan (warok) menyuruh gemblaknya itu untuk terus berlatih. Apabila gemblak tersebut ingin berlatih peran lain, maka warok dengan senang hati melatihnya. Pada kalimat “Lambat laun aku terus dipercayai untuk memegang kendang sewaktu memenuhi undangan pentas”, setelah puas berlatih peran sebagai bujangganong, ia mencoba berlatih menjadi penabuh kendang. Hargo berlatih menabuh kendang dengan rajin dan semangat setiap harinya. Hal itu membuahkan hasil. Melihat kemahiran Hargo memainkan kendang, Tejo Wulan memercayainya untuk memegang peran sebagai penabuh kendang untuk mengiringi kesenian reog saat bermain memenuhi undangan pentas.

c. Hubungan kekasih

Selain dua hubungan warok gemblak yang telah dijelaskan pada data sebelumnya, ada satu hubungan yang agak samar. Hubungan tersebut adalah hubungan kekasih antara warok dan gemblak. Dalam hubungan ini, gemblak bertugas menemani tidur warok.

(12)“Keganjilan-keganjilan berangsur dilakukan eyang. Mulai dari tangan kirinya yang mengelus-ngelus bibirku, lalu tangan kanannya merayapi paha dan menjamahi kelaminku.” (TTB/TG/W-G/PS/38)

Data (12) termasuk dalam data yang menjelaskan hubungan kekasih antara warok dan gemblak. Tidak hanya memeluk, tetapi warok Tejo juga mulai melakukan hal lain yang dianggap ganjil oleh Hargo. Data (24) yakni

“Keganjilan-keganjilan berangsur dilakukan eyang. Mulai dari tangan kirinya yang mengelus-ngelus bibirku, lalu tangan kanannya merayapi paha dan menjamahi kelaminku”. Perlakuan yang ditunjukkan Eyang Tejo pada kutipan data (24) masuk dalam perlakuan pelecehan seksual pada anak. Hal itu dapat menyebabkan gangguan psikis dan mental pada anak di kemudian hari. Terlebih anak usia di bawah 17 tahun masih belum berani memberontak karena perasaan takut terhadap pelaku. Diperlakukan demikian, Hargo diam saja karena perasaan takut kepada waroknya. Ia tidak berani membantah apalagi menentangnya. Perasaan ganjil terus ia rasakan selama menjadi gemblak. 6. Warok dan Reog

Kehidupan warok tidak terlepas dari kesenian reog. Reog merupakan kesenian tradisional yang berasal dari daerah Ponorogo dan sifatnya menghibur. Kesenian reog mengandung unsur magis. Tokoh atau pemain dalam seni reog meliputi Singo Barong, Kelana Sewandono, Bujangganong, Jathilan, dan Warok. Semua pemain dalam seni reog adalah laki-laki.

(13)“Tak hanya itu, Eyang Tejo juga mahir kucingan. Ia memanggul barongan-kepala macan tanpa umbul-umbul helai bulu merak dan melakukan atraksi meloncat dari satu atap ke atap genteng lain. Atau

(14)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

berjumpalitan di atas pohon kelapa. Lalu meluncur dengan cepat mirip monyet sungguhan.” (TTB/TG/W-R/ST/70)

Data (13) termasuk dalam data yang menjelaskan keterkaitan antara warok dan reog. Berdasarkan data di atas pada kalimat “Tak hanya itu, Eyang Tejo juga mahir kucingan”, atraksi lain yang dilakukan oleh warok adalah kucingan dengan atraksi memanggul barongan kepala macan tanpa helai bulu merak. Aksi yang dilakukan berupa meloncat dari satu atap ke atap genteng lainnya. Dalam novel Tembang Tolak Bala, menceritakan mengenai tradisi gemblak pada masa penjajahan Jepang dan di daerah pedesaan di Ponorogo. Jarak rumah satu dengan lainnya masih cukup jauh, sehingga atraksi yang dilakukan mampu menyedot perhatian masyarakat. Selain itu, atraksi lain yang dilakukan berupa berjumpalitan di pohon kelapa tanpa alat pengaman apapun. Setelah selesai atraksi di pohon, warok langsung meluncur ke bawah secara cekatan serupa hewan monyet. Atraksi-atraksi yang dilakukan warok tersebut menambah rasa segan dan hormat masyarakat terhadap sosok warok yang sakti.

7. Akhir Status Gemblak

Status gemblak akan berakhir apabila kesepakatan yang dibuat dianatara warok dan gemblak sudah habis. Apabila gemblak tidak melalui kontrak dan kesepakatan, maka status gemblaknya akan berakhir ketika dirinya berusia 17 tahun. Setelah itu, warok akan mencari gemblak lain untuk menemani dirinya. Seperti yang terlihat pada data berikut ini.

(14)“Suatu sore, eyang membawa seorang bocah, kelihatannya ia bakal menggantikanku. Aku memang beranjak dewasa, dan kata Nyi Tejo umurku telah 17, berarti aku bukan lagi bocah. Aku merasa bebas dan sangat senang menjadi dewasa.” (TTB/TG/S/73)

Data (14) termasuk dalam data yang menjelaskan akhir status gemblak. Menunjukkan bahwa seorang gemblak terbebas dari tugas dan kewajiban terhadap waroknya setelah berusia 17 tahun. Saat gemblak berusia 17 tahun, ia sudah dianggap dewasa dan berhak menentukan pilihan hidupnya. Selain itu, jika sudah berumur 17 tahun, memang sudah tidak bisa dijadikan gemblak. Ketika seorang laki-laki sudah beranjak dewasa, maka ia sudah mulai merancang masa depannya sendiri, sehingga tidak mudah diatur-atur oleh orang lain. Oleh karena itu, posisi Hargo sebagai gemblak digantikan oleh bocah lain yang telah dibawa oleh Tejo Wulan.

Hasil penelitian mengenai tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala

karya Han Gagas dapat diimplementasikan dalam pembelajaran apresiasi sastra di SMA kurikulum 2013 tepatnya pada kelas XII semester genap. Tepatnya pada KD 3.9 menganalisis isi dan kebahasaan novel Tembang Tolak Bala, dengan indikator pencapaian menganalisis unsur ekstrinsik dalam novel

Tembang Tolak Bala berupa menganalisis dan menyimpulkan isi yang terdapat dalam dalam novel tersebut. KD 4.9 merancang novel atau novelet dengan

(15)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

memperhatikan isi dan kebahasaan, dengan indikator pencapaian mampu merancang novel dengan memperhatikan isi dan kebahasaan. Kegiatan merancang novel dilakukan dengan membuat kerangka cerita berdasarkan isi dari novel Tembang Tolak Bala dengan bahasa sendiri dan mengembangkan isi cerita dengan mencari referensi lain (internet, buku).

Pertemuan pertama pada pembelajaran menganalisis isi dan kebahasaan novel, dilaksanakan menggunakan model gordon. Siswa dibentuk menjadi enam kelompok belajar dengan tugas masing-masing kelompok berbeda sesuai yang telah ditentukan guru. Setiap kelompok diberi waktu 50 menit untuk berdiskusi dan mengerjakan tugasnya. Setelah selesai, setiap kelompok harus mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas. Kelompok lain memberi saran, tanggapan, atau komentar. Pertemuan kedua melaksanakan KD 4.9 merancang novel atau novelet. Pada pertemuan kedua menggunakan model pembelajaran mind mapping. Siswa secara berkelompok membuat rancangan novel mengenai tradisi gemblak yang dikembangkan dari tradisi gemblak yang terdapat dalam novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas. Siswa merancang novel tersebut pada kertas yang telah disediakan berbentuk peta konsep mengenai kerangka novel yang dibuat. Setelah semua selesai, hasil dari peta konsep yang dibuat di tempel pada dinding yang kososng di sekitar kelas. Setiap kelompok berkeliling memahami dan memberi saran pada hasil rancangan dari kelompok lain. Setelah pembelajaran selesai, guru dan murid bersama-sama mengevalusi pebelajaran yang telah dilakukan dan mengulas kembali agar lebih jelas dan dapat dipahami.

PENUTUP

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tradisi gemblak dalam novel

Tembang Tolak Bala karya Han Gagas merupakan tradisi yang berakar dari ilmu kanuragan yang dimiliki warok di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Ilmu kanuragan tersebut mengandung pantangan bagi warok berupa larangan melakukan hubungan tubuh dengan perempuan. Berhubungan tubuh dengan perempuan diyakini mampu melunturkan ilmu kesaktian. Oleh karena itu, untuk menyalurkan hasrat birahinya, warok mengangkat seorang bocah laki-laki berusia belasan tahun untuk dijadikan gemblak. Gemblak diangkat oleh warok melalui proses lamaran. Ada tiga jenis hubungan antara warok dan gemblak, yakni hubungan ayah dan anak, hubungan guru dan murid, dan juga hubungan kekasih. Status sebagai seorang gemblak akan berakhir saat kontraknya habis, atau saat gemblak sudah beranjak dewasa (usia 17 tahun).

Hasil penelitian ini juga dapat diimplementasikan dalam pembelajaran apresiasi sastra di SMA, khususnya kelas XII semester genap pada KD 3.9 menganalisis isi dan kebahasaan novel, dan KD 4.9 merancang novel atau novelet dengan memperhatikan isi dan kebahasaan. Implementasi ini berupa rancang bangun pembelajaran yang berisi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Jumlah pertemuan pembelajaran apresiasi sastra adalah dua kali pertemuan

(16)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

dengan pendekatan saintifik yang meliputi lima tahapan. Tahap mengamati, siswa membaca novel Tembang Tolak Bala. Tahap menanya berupa pengajuan pertanyaan oleh siswa mengenai tradisi gemblak dalam novel Tembang Tolak Bala. Tahap menalar berupa menganalisis isi novel Tembang Tolak Bala. Tahap mencoba, siswa membuat rancangan novel berdasarkan tradisi gemblak. Tahap mengomunikasi berupa presentasi hasil pekerjaan siswa mengenai analisis isi dan kebahasaan novel Tembang Tolak Bala. Pembelajaran pertemuan pertama menggunakan model gordon (diskusi secara kelompok) dengan materi berupa analisis isi novel Tembang Tolak Bala karya Han Gagas mengenai tradisi gemblak meliputi unsur intrinsik dan ekstrinsik (nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi gemblak), dan kebahasaan. Pertemuan kedua menggunakan model mind mapping

merancang novel berdasarkan tradisi gemblak.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. (2013). Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Novel Tuan Guru Karya Salman Faris. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra.

Asmarani, R., & Santoso, B. (2014). Pemanfaatan online dictionary dalam menterjemahkan teks prosedur Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. In Seminar Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi Terapan 2014 (SEMANTIK 2014).

Dewi, R. K. (UNS). (2009). Kekuatan Pembuktian Audit Investigasi oleh BPK dan BPKP sbg Keterangan Ahli thd Penanganan TIPIKOR. Fakultas Hukum Universitas Sebelas MAret. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Handono, O. T., & Bashori, K. (2013). Hubungan antara penyesuaian diri dan dukungan sosial terhadap stres lingkungan pada santri baru. Jurnal Fakultas Psikologi.

Hidayanto, A. F. (2012). Topeng reog ponorogo dalam tinjauan seni tradisi. Eksis. Koesnandar, A. (2018). PENGEMBANGAN INOVASI PEMBELAJARAN BERBASIS TIK

PADA SEKOLAH DI DAERAH 3T PAPUA DAN PAPUA BARAT MELALUI PENDAMPINGAN JARAK JAUH. Kwangsan: Jurnal Teknologi Pendidikan.

https://doi.org/10.31800/jtp.kw.v6n2.p177--198

Koyan, I. W. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. UNDIKSHA Singaraja.

https://doi.org/10.1038/cddis.2011.1

Kusdiana, A. (2010). Pembelajaran apresiasi sastra cerita terpadu model connected untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa sekolah dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan.

(17)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Pemikiran Keislaman.

Mabrur, M. A. (2016). PENGARUH KARYA SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DALAM TRADISI KAJIAN KITAB KUNING (KITAB KLASIK) DI PESANTREN BUNTET.

TAMADDUN.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah.

Pedoman Evaluasi Kurikulum.

https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Octaviana, D. W. (2018). ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL UHIBBUKA FILLAH (AKU MENCINTAIMU KARENA ALLAH) KARYA RIRIN RAHAYU ASTUTI NINGRUM: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA. Jurnal KATA.

https://doi.org/10.22216/jk.v2i2.3334

Rahardjo, M. (2010). Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif.

https://doi.org/10.1360/zd-2013-43-6-1064

Rahmat, S. P. (2009). Penelitian Kualitatif. Penelitian Kualitatif.

Sari, D. A. A. (2018). SELAMETAN KEMATIAN DI DESA JAWENG KABUPATEN BOYOLALI. Haluan Sastra Budaya. https://doi.org/10.20961/hsb.v1i2.15188

Sepiolita, R. T. (2017). Ritual Mengambik Tanah Dalam Upacara Tabut di Kota Bengkulu. Jurnal Seni Tari.

Slamet Riyadi, Riza Azyumarridha Azra, R. S. dan T. K. H. (2014). Deteksi Retak Permukaan Jalan Raya Berbasis Pengolahan Citra Dengan Menggunakan Kombinasi Teknik Thresholding, Median Filter dan Morphological Closing.

Simpsium Nasional Teknologi Terapan.

Sopini, P. (2014). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU PELANGGAN SPEEDY PADA PT. TELKOM JAMBI. JURNAL ILMIAH DIKDAYA.

Sussanti, R. (2013). UPAYA PENANAMAN RASA CINTA BUDAYA INDONESIA MELALUI KELAS PAGUYUBAN PEMINAT SENI TRADISI (PPST) KELAS VIII PPST DI SMP NEGERI 4 KOTA MALANG. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang.

Thaib, E. J. (2018). DAKWAH KULTURAL DALAM TRADISI HILEYIA PADA

MASYARAKAT KOTA GORONTALO. Al-Qalam.

https://doi.org/10.31969/alq.v24i1.436

Verulitasari, E., & Cahyono, A. (2016). Nilai Budaya Dalam Pertunjukan Rapai Geleng Mencerminkan Identitas Budaya Aceh. Catharsis : Journal of Arts Education.

Wahyu Wiranata, A. D., & Nurcahyo, A. (2018). Peranan Gemblak Dalam Kehidupan Sosial Tokoh Warok Ponorogo. AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA. https://doi.org/10.25273/ajsp.v8i01.2036

(18)

http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/

Widyanti, T. (2015). Penerapan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Budaya. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial.

Y.Tyas Catur Pramudi, Fikri Budiman, Sunardi. (2010). Desain Virtual Gamelan Jawa Sebagai Media Pembelajaran. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Selain upaya tersebut, untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran SMPT juga telah dilakukan kegiatan antara lain: (1) meningkatkan kemampuan akademik

Anggota dari kelompok tani ini sangat aktif berpatisipasi dalam mengikuti kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan, hal ini terlihat dari banyaknya pertanyaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencapaian target penerimaan pajak daerah dan pertumbuhan pemungutan pajak daerah di Kabupaten Ngawi. Adapun

The length of the line joining the midpoints of two adjacent sides of the cube is 2 2 , so the cuboctahedron has six square faces (left over from the six faces of the

Í×ÍÉß ÌËÒßÙÎßØ×Ìß Î×ÒÙßÒ ÕÛÔßÍ ×Ê ÍÜÔÞ Þ×Òß ÐËÌÎß. ÍßÔßÌ×Ùß ÍÛÓÛÍÌÛÎ ×× ÌßØËÒ

Pada analisis karakteristik harga produk merek Mitsubishi FE 74 S “Super Speed” mayoritas responden memilih opsi “kurang setuju” terhadap semua pernyataan yang disajikan

PENGARUH KOMITMEN ORGANISASI, PARTISIPASI ANGGARAN, DAN SENJANGAN ANGGARAN TERHADAP KINERJA MANAJERIAL (SURVEY PADA KOPERASI SIMPAN PINJAM DI SUKOHARJO).