• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PROBLEMATIC INTERNET USE DENGAN HAPPINESS PADA MAHASISWA PENGGUNA FACEBOOK DI JAKARTA*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PROBLEMATIC INTERNET USE DENGAN HAPPINESS PADA MAHASISWA PENGGUNA FACEBOOK DI JAKARTA*"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PROBLEMATIC

INTERNET USE DENGAN HAPPINESS PADA

MAHASISWA PENGGUNA FACEBOOK DI

JAKARTA*

Nadiana Anandita S. dan Esther Widhi, S.Psi., M.Psi.,

Bina Nusantara University, Jakarta Barat, Indonesia, nsoemodihardjo@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara problematic internet use dengan happiness pada mahasiswa pengguna Facebook. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kuantitatif. Penelitian menggunakan teori Caplan untuk problematic internet use dan teori Watson untuk happiness. Pengukuran pengukuran yang digunakan adalah Generalized Problematic Internet Use Scale 2 (GPIUS2) untuk problematic internet use dan Positive Affectivity and Negative Affectivity Scale (PANAS) untuk happiness. Responden berjumlah 137 orang mahasiswa yang berusia 18-25 tahun dan sedang menempuh perkuliahan minimal semester tiga, serta memiliki akun Facebook. Hasil yang diterima dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara problematic internet use dengan positive affectivity pada mahasiswa pengguna Facebook di Jakarta (NAS).

(2)

ABSTRACT

This study aimed to determine the relationship between problematic Internet use with happiness on student Facebook users. The method used in this study is a quantitative method. Caplan Theory is used for problematic internet use and Watson Theory is used to determine happiness. The measurement used is Generalized Problematic Internet Use Scale 2 (GPIUS2) for problematic internet use and Positive and Negative affectivity Scale (PANAS) for happiness. Total respondents for questionaires are 137 students aged 18-25 years and is pursuing a course of at least three semesters, and has a Facebook account. The results of this study is there a relationship between problematic internet use and positive affectivity on the student Facebook users in Jakarta has been accepted (NAS).

Keywords :Problematic Internet Use, Happiness, College Student, Facebook

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi kian maju dewasa ini, khususnya pada perkembangan teknologi komputer. Dari yang digunakan hanya untuk mengetik hingga sekarang penggunaan komputer sudah menjadi sumber pencarian informasi bagi banyak orang. Apalagi kini komputer sudah dilengkapi dengan fitur canggih yang dikenal dengan sebutan internet. Menurut Elia (dalam Pratama, 2012) penggunaan internet semula untuk menjadi sistem komunikasi militer yang kemudian berkembang menjadi penghubung banyak komputer sekaligus kepada satu jaringan. Kini internet bukan lagi hanya sebagai alat pengiriman, pertukaran, dan pengambilan data, namun juga untuk memenuhi fungsi lainnya, seperti kemudahan berbisnis, berkarir, berkomunikasi, menjalankan proses belajar-mengajar, menjadi relasi, menyiarkan berita, hingga berkampanye. Tentu saja bisa dipastikan bahwa jumlah pengguna internet akan terus bertambah seiring dengan semakin mudahnya koneksi internet, meluasnya jaringan, serta semakin lengkapnya peralatan komputer, telepon genggam, hingga iPhone dan Blackberry.

Sebuah penelitian mengatakan bahwa seseorang yang merasa bahwa “dia mengatur web” lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang merasa “diatur oleh web” (cnn.com, 2009). Terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford menyatakan bahwa anak perempuan berusia delapan

(3)

sampai 12 tahun menghabiskan lebih banyak waktu untuk menggunakan multimedia, merasa kurang bahagia dan kurang kenyamanan secara sosial dibandingkan dengan kelompok yang mengatakan bahwa mereka menghabiskan waktu lebih sedikit di depan layar (NYtimes.com, 2012). Apalagi kini jejaring sosial kian merajalela di kalangan masyarakat, salah satunya seperti Facebook.

Facebook merupakan sebuah alat online sosial yang dapat membantu manusia untuk berkomunikasi lebih efisien dengan teman-teman, keluarga, serta kerabat mereka (Facebook, 2010 dalam O’Brien. S. J, 2011). Semenjak kemunculan Facebook di tahun 2004 (Facebook, 2011 dalam O’Brien.S.J, 2011), ternyata Facebook mendapatkan sambutan yang meriah di kalangan masyarakat dari segala penjuru, termasuk Indonesia. Hal ini nampak dari sebuah kenyataan bahwa pengguna Facebook di Indonesia mencapai 48.134.040 orang di bulan April 2013 menurut SocialBakers. Walaupun jumlah ini telah mengalami penyusutan dibandingkan jumlah pengguna Facebook di bulan Januari 2013 yaitu 51juta lebih, angka 48.134.040 tidak bisa dianggap remeh (Merdeka.com, 2013).

Menurut statistik pada tahun 2011, pengguna Facebook di Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia dengan pengguna yang memiliki rata-rata usia yang paling muda yaitu 20 tahunan (Kompas.com, 2011). Penggunaan Facebook di Indonesia juga tergolong cukup aktif, dengan 1,29 juta posting-an setiap harinya, dengan rata-rata 15 posting setiap detik. Seluruh aktifitas tersebut sebanyak 87% dilakukan lewat media ponsel, tablet, atau laptop (beritasatu.com, 2013). Ternyata bukan hanya itu saja, Jakarta yang selama ini dikenal hanya menjadi ibukota negara Indonesia, berkat jumlah penggunanya yang fantastis yaitu mencapai 17,48 juta pengguna, Jakarta pun disebutkan menjadi ibukota di Facebook. Angka tersebut melewati kota-kota besar lainnya seperti New York yang hanya tercatat memiliki 4,3 juta pengguna (Kompas.com, 2012).

Menyadari bahwa Facebook merupakan sebuah produk yang juga berbasis internet dan banyak digemari oleh pengguna internet di Indonesia termasuk kalangan mahasiswa, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Facebook juga memiliki permasalahan-permasalahan sendiri terkait penggunaan internet yang tentu saja menarik untuk diulas. Apalagi kini masyarakat termasuk mahasiswa telah mendapatkan akses tidak terbatas untuk menggunakan internet dengan alat-alat tanpa kabel (wi-fi) demi kelancaran berhubungan melalui internet. Mahasiswa sendiri memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktu untuk online, maka dari itu mereka memiliki potensi yang signifikan untuk

(4)

mengalami tanda-tanda dari problematic internet use (PIU). Misalnya seperti melakukan online lebih lama dibanding dengan waktu yang sudah ditentukan sebelumnya (Chen, 2012). Penggunaan internet oleh mahasiswa sekarang ini banyak yang mengacu kepada tujuan sosial, aktifitas yang menimbulkan kesenangan, pencarian informasi, dan belanja online (Morgan & Cotten, 2003 dalam Chen, 2012).

Griffths dan Banyard (2005 dalam Chen, 2012) memberikan bukti yang mengindikasikan bahwa problematic internet users memiliki kecenderungan untuk memiliki self-esteem yang rendah. Namun terdapat juga ahli yang percaya bahwa PIU memiliki efek kepada self-esteem, namun tidak memicu secepat rasa depresi atau loneliness (Shaw dan Gant 2002 dalam Chen, 2012). Chen (2012) menyimpulkan dari banyaknya penelitian bahwa PIU memang memiliki keterkaitan dengan self-esteem, kecemasan sosial, loneliness, depresi, dan psychological being. Terdapat empat aspek pada well-being, yaitu: 1) arti dari hidup; 2) ketiga “kebutuhan psikologis dasar” dari kompetensi autonomi dan keterhubungan, seperti teori self-determination; 3) spesifik-domain dan kepuasan hidup secara keseluruhan; dan 4) happines (Samman, 2007). Terdapat sebuah penelitian yang mengungkap bahwa jumlah dari teman yang ada pada Facebook seseorang dan self-presentation memiliki asosiasi yang positif terhadap subjective well-being. Namun dukungan sosial yang dirasakan tidak menjadi penengah hubungan positif antara jumlah teman Facebook dengan subjective well-being. Maka dari hal ini ditarik kesimpulan bahwa happiness yang berasal dari jumlah teman Facebook mungkin dikarenakan dari koneksi sosial mereka, dan penguatan atau ketajaman dari self-worth (Kim. J & Lee. J. R, 2011).

Problematic Internet Use

Caplan (dalam Caplan, 2003) mengidentifikasikan sejumlah tanda kognitif dan perilaku dari PIU, yakni: perubahan mood (menggunakan internet untuk memfasilitasi beberapa perubahan pada hal-hal negatif), persepsi dari keuntungan online sosial (merasakan keuntungan sosial dari penggunaan internet), penggunaan kompulsif (kurangnya kontrol seseorang untuk aktifitas online dengan perasaan gelisah akan kurangnya kontrol tersebut), penggunaan berlebihan (penggunaan yang berlebihan dari jam normal atau biasanya atau yang sudah direncanakan sebelumnya, bahkan sampai kehilangan kontrol waktu ketika menggunakan internet), pengulangan kembali (kesulitan untuk jauh dari internet), dan merasakan kontrol sosial (persepsi akan kontrol sosial yang lebih baik ketika berinteraksi dengan orang lain secara online dibandingkan dengan tatap wajah).

(5)

Caplan (2003) juga melaporkan bahwa setiap dari tanda kognitif dan perilaku ini secara signifikan memiliki hubungan negatif dari penggunaan internet seseorang. Caplan meyakini bahwa dua tanda kognitif (merasakan keuntungan online sosial dan merasakan kontrol online sosial) ini akan membantu secara teoritis menjelaskan bagaimana hasil negatif memiliki hubungan dengan penggunaan internet akan terhubung dengan preferensi virtual seseorang, dibandingan dengan hubungan tatap wajah.

Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui skor problematic internet use adalah dengan menggunakan Generelized Problematic Internet Use Scale 2 (GPIUS2). GPIUS2 memiliki empat buah konstruk dengan dua buah konstruk baru yaitu preference for online social interaction (POSI) dan deficient self-regulation. Pada pengukuran sebelumnya, keuntungan sosial dan kontrol sosial merupakan faktor yang terpisah, namun kini pada GPIUS2 item-itemnya telah ditulis sebagai konstruk singel, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Caplan (2003, dalam Caplan, 2010).

GPIUS2 ditulis dalam empat buah dimensi yaitu (Caplan, 2010) :

a. Preference for online social interaction (POSI)

Merupakan sebuah perbedaan karakteristik kognitif individual yang ada karena kepercayaan akan mana yang lebih aman, yang lebih bisa dipercaya, dan mana yang lebih nyaman dengan interaksi interpersonal secara online dan hubungan daripada aktifitas tatap muka secara tradisional.

b. Mood Regulation

Regulasi perasaan merupakan salah satu gejala kognitif pada generelized problematic internet use. Pada penelitian sebelumnya, Caplan (2002, dalam Caplan, 2010) menemukan bahwa regulasi perasaan merupakan sebuah patokan prediksi dari hasil negatif yang diasosiasikan pada penggunaan Internet. Namun pada penelitian selanjutnya, Caplan (2007, dalam Caplan, 2010) menyatakan bahwa secara sosial individu yang mengalami kecemasan akan memilih interaksi melalui internet untuk mengurangi kecemasan tentang presentasi diri mereka sendiri dalam situasi interpersonal.

c. Deficient self-regulation

Model yang diadopsi oleh La Rose dan para ahli lainnya menyatakan bahwa pengurangan regulasi diri dari penggunaan internet merupakan sebuah keadaan dimana kesadaran kontrol diri secara

(6)

relatif berkurang. Namun menurut Bandura (1986, 1991, dalam Caplan, 2010) secara spesifik mengatakan bahwa pengurangan regulasi diri mengacu pada sebuah kegagalan untuk memonitor penggunaan seseorang, menilai perilaku penggunaan seseorang dan menentukan pola seseorang dalam penggunaan. Sebagai konsekuensinya, pengurangan regulasi diri ini akan menyebabkan kesulitan pada hubungan personal seseorang di tempat kerja maupun di sekolah (Kubey., dkk, 2001, dalam Caplan, 2010).

Deficient self-regulation pada GPIUS2 ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu

1. Cognitive Preoccupation

Cognitive preoccupation ini mengacu kepada pola pemikiran yang obsesif mencakup penggunaan internet, seperti pemikiran bahwa seseorang tidak bisa berhenti untuk berinternet atau ketika sedang tidak berinternet seseorang tidak bisa berhenti memikirkan apa saja yang terjadi pada internet (Caplan, 2010).

2. Compulsive Internet Use

Compulsive Internet use merupakan keinginan seseorang untuk terus berinternet bahkan ketika dirinya tidak sedang keperluan berinternet. Individu juga mengalami kesulitan untuk mengontrol waktu yang dihabiskan untuk berinternet, serta kesulitan untuk mengontrol pemakaian Internet (Caplan, 2010).

d. Negative Outcome

Negative outcome merupakan dampak negatif yang dirasakan oleh pengguna Internet seperti kesulitan dalam mengatur hidup, gangguan kehidupan sosial serta permasalahan-permasalahan lainnya (Caplan, 2010).

Happiness

Happiness merupakan status emosional yang secara subjektif dievaluasi oleh faktor yang dapat berubah-ubah, tidak berkelanjutan dan dapat berubah sesuai dengan lingkungan sekitar kapan saja (Eeh-un, 2006). Kata happiness memiliki arti serupa dari ‘kualitas hidup’ atau ‘well-being’. Dalam arti ini diungkapkan bahwa hidup memang baik, namun tidak dispesifikan apa yang baik untuk hidup (Veenhoven, 2006). Happiness dan well-being ini keduanya mengacu kepada perasaan positif, seperti kesenangan atau ketenangan, dan keadaan positif yang mengikuti alur atau penyerapan. Dari sudut

(7)

pandang para ahli, psikologi positif berfokus kepada pengertian dan penjelasan happiness dan subjective well-being dan secara akurat memprediksi faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut. Namun jika dilihat dari sisi klinis, psikologi positif memiliki fokus pada mempertajam subjective well-being dan happiness (Carr, 2005)

.

Ada juga ahli yang mengukur sebuah happiness seseorang dari pengalaman emosi positif dan emosi negatif yang pernah dirasakan.

Seligman (dalam Carr, 2004) mengklasifikasikan emosi positif kepada tiga kategori yang diasosiasikan dengan masa lalu, masa kini dan masa depan. Kepuasan, kesenangan, pemenuhan, harga diri, dan ketenangan merupakan emosi postif utama yang diasosiasikan dengan masa lalu. Terdapat dua kelas berbeda dari emosi positif yang difokuskan dengan masa kini, yaitu kesenangan saat ini dan menerima puji-pujian.

Melakukan beberapa penelitian, Watson (2000,2002 dalam Carr, 2004) menemukan bahwa terdapat dua jenis emosi yang penting yaitu positive affectivity (emosi positif) dan negative affectivity (emosi negatif). Positive affectivity dalam hal ini dijadikan salah satu aspek dari happiness itu sendiri. Dapat disimpulkan disini bahwa seseorang yang memiliki positive affectivity lebih tinggi merasa lebih bahagia, serta memiliki nilai happiness lebih tinggi

Positive Affectivity dan Negative Affectivity

Positive affectivity seringkali dikorelasikan dengan ciri kepribadian extraversi. Afektivitas positif ini mencakup subdimensi sebagai berikut (Carr, 2005):

a. Joviality atau keriangan, bahagia, semangat

b. Self-assurance atau keyakinan, kekuatan serta keberanian

c. Attentiveness atau kewaspadaan, konsentrasi, serta ketekunan

Negative affectivity merupakan sebuah indikator dimana terdapat perasaan yang tidak nyaman dengan intensitas yang beragam. Positive affectivity dan negative affectivity mencermikan sistem neurobiologis yang telah berevolusi untuk kepentingan tugas-tugas evolusinya. Negative affectivity memiliki ciri kepribadian dan neuroticism yang merupakan sebuah aspek dari avoidance-oriented

(8)

behavioral inhibition system. Fungsi dari sistem ini adalah untuk mendorong avoidance-behavior dan mencegah approach-behavior untuk tetap jauh dari situasi yang memungkinkan untuk meninmbulkan bahaya, sakit, atau paksaan (Carr, 2004).

Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan untuk mengukur positive affectivity dan negative affectivity seseorang dengan Positive Affectivity and Negative Affectivity Scale atau yang biasa disingkat menjadi PANAS. PANAS memiliki 20 item yang mengukur positive affectivity dan negative affectivity.

Facebook

Facebook merupakan salah satu media sosial yang berbasis internet dan sangat digemari di kalangan mahasiswa. Facebook juga kurang lebih diakses 28 menit sehari oleh anak-anak dengan usia kuliah, hal ini dapat dilihat bahwa Facebook sangat dekat dengan kehidupan mereka (Kim. J & Lee. J. R, 2011).

Sama seperti jejaring sosial lainnya, Facebook menyediakan fitur menarik bagi penggunanya seperti pembuatan profile diri, penambahan teman, mengunggah foto, gambar dan video, mengirim dan menerima pesan, membuat komentar, bergabung dalam kelompok dan jaringan, dan mengiklankan acara tertentu. Fitur lainnya yang ditawarkan oleh Facebook adalah halaman berita, the wall, permainan, tempat berdagang, berbincang, dan aplikasi pihak ketiga. Komunikasi pengguna Facebook juga dimanjakan dengan pencarian kerabat dengan hanya menuliskan namanya saja, lokasi, tempat kerja, atau sekolah dan mengirimkan mereka undangan untuk menjadi teman di Facebook, yang seringkali dikenal dengan “friend request”. Facebook memiliki berbagai macam dari setting privasi sehingga pengguna Facebook dapat memilih sendiri tipe dari pengguna Facebook yang dapat melihat. Intinya, pengguna Facebook dapat memilih orang-orang yang tidak bisa melihat profile pribadi mereka atau hanya mengizinkan beberapa orang saja untuk melihat profile yang terbatas (O’ Brien, 2012).

Mahasiswa

Mahasiswa merupakan individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana ketika menjalani serangkaian kegiatan kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan dari mahasiswa itu sendiri, sebab pada kenyataannya diantara mahasiswa sudah ada yang

(9)

bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisasi kemahasiswaan (Ganda, 2004). Dalam penelitian ini mahasiswa yang dimaksud adalah mahasiswa dengan umur yang masuk ke dalam kategori dewasa muda yaitu dalam rentan usia 18-25 tahun.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua buah variabel, maka pendekatan yang digunakan adalah penelitian korelasi. Penelitian dengan jenis korelasi merupakan salah satu bentuk penelitian non-eksperimen (Arikunto, 2010)

.

Teknik pengambilan sampel adalah non-probability dan jenis yang digunakan adalah convenience incendental sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan dengan faktor kebetulan, yang memiliki arti bahwa siapa saja yang secara kebetulan bertemu dan dapat digunakan oleh peneliti sebagai sampel bila partisipan yang secara tidak sengaja ditemui memang memiliki

kecocokan untuk digunakan sebagai sumber data (Sugiyono, 2004). Sampel didapatkan dari beberapa Universitas yang berada di Jakarta.Terdapat 137 responden mahasiswa yang diteliti dengan berbagai macam bidang studi kuliah yang diambil serta berusia 18-25 tahun.

Hipotesis yang ada pad a penelitian ini adalah sebagai berikut

H01 : Tidak ada hubungan antara problematic internet use dengan positive affectivity pada mahasiswa.

Ha1 : Terdapat hubungan antara problematic internet use dengan positive affectivity pada mahasiswa.

H02 : Tidak ada hubungan antara problematic internet use dengan negative affectivity pada mahasiswa.

Ha2 :Terdapat hubunga antara problematic internet use dengan negative affectivity pada mahasiswa.

H03 : Tidak ada hubungan antara problematic internet use dengan happiness pada mahasiswa.

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Problematic Internet Use dengan Positive Affectivity Correlations

PIU happiness

PIU Pearson Correlation 1 -.189*

Sig. (2-tailed) .027

N 137 137

Positve affectivity Pearson Correlation -.189* 1

Sig. (2-tailed) .027

N 137 137

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Sumber: Hasil Olah Data SPSS 16.0

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa problematic internet use dan positve affectivity pada happiness memiliki nilai signifikansi sebesar 0,027 pada tingkat 0,05. Dengan nilai korelasi sebesar -0,189 membuktikan bahwa Ha1 diterima, yaitu terdapat hubungan antara problematic internet use dengan positive affectivity mahasiswa pengguna Facebook di Jakarta. Arah dari terbuktinya hipotesis ini adalah negatif,. Hal ini memiliki arti bahwa jika mahasiswa memiliki problematic internet use tinggi maka mahasiswa tersebut memiliki positve affectivity rendah, begitu juga sebaliknya jika memiliki positve affectivity tinggi maka mahasiswa tersebut memiliki problematic internet use yang rendah.

SIMPULAN DAN SARAN

Pada penelitian ini terdapat satu hipotesis yang diterima yaitu Ha1 yang berbunyi bahwa terdapat hubungan negatif antara problematic internet use dengan positive affectivity pada mahasiswa. Hubungan negatif ini mungkin saja terjadi karena mahasiswa yang memiliki PIU tinggi serta memiliki positive affectivity rendah berusaha memenuhi kebutuhan ini dengan menempuh sebuah cara yaitu dengan mengakses Facebook. Ditambah beredarnya gadget ditambah jaringan Internet seperti wi-fi yang mempermudah mahasiswa untuk berinternet dimana saja, sehingga mahasiswa dapat mengakses Facebook kapan saja.

(11)

Saran berikut ini ditujukan kepada para peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian serupa.

a. Menambah jumlah responden serta menambah variasi Universitas yang ada.

b. Menyempurnakan alat ukur PANAS dengan bahasa Indonesia, sebab terdapat beberapa kata yang perlu diteliti kembali agar lebih sesuai maknanya dengan bahasa sebelumnya.

c. Ada baiknya jika dilakukan penelitian selanjutnya dengan variabel yang berbeda seperti loneliness, dan subjective well-being

d. Menambahkan pengukuran keaktifan pemakaian Facebook.

REFERENSI

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Carr, A. (2005). Positive Psychology The Science of Happiness and Human Strengths. New York: Taylor Francis e-Library.

Chen, S.-K. (2012). Internet use and psychological well-being among college students: A latent profile approach. Coumputers in Human Behavior, 2219.

Eeh-un, S. (2006). The Analysis of Relations between Subjective Happiness and Coumputer Usage in South Korea. Department of Sociology.

Kim. J & Lee. J. R. (2011). The Facebook Paths to Happiness: Effects of the number of Facebook Friends and Self-Presentation on Subjective Well-Being. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 14, 359.

O'Brien, S.J. (2011). Facebook and Other Internet Use and The Academic Performance of College Students. Disertasi tidak diterbitkan. United States: Program Master Temple University Graduate Board

Samman, E. (2007). Psychological and Subjective Wellbeing: A Proposal for Internationally Comparable Indicators. Oxford Development Studies, 2.

Veenhoven, R. (2006). How Do We Assess How Happy We Are? New Directions in the Study of Happiness: United States and International Perspectives, 3.

RIWAYAT PENULIS

Nadiana Anandita Soemodihardjo lahir di Los Angeles pada tanggal 1 Maret 1990. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang ilmu Psikologi pada tahun 2013.

(12)

Gambar

Tabel 1. Problematic Internet Use dengan Positive Affectivity  Correlations

Referensi

Dokumen terkait

Indikator self-efficacy berpikir krtiis yang muncul pada S, dan AE adalah merasa berminat, merasa optimis, merasa yakin, dapat meningkatkan upaya, memiliki

Dari hasil survey lapangan yang telah dilakukan, maka didapatlah sebuah kesimpuan bahwa pada saat ini informasi yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa adalah tentang jadwal

Akan tetapi hasil penelitian yang berbeda (pada pengujian hipotesis 7) menunjukkan bahwa secara tidak langsung pengembangan (X2) dapat berpengaruh signifikan

Dari hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jumlah pohon berpengaruh positif di mana nilai t hitung -4,305 dengan signifikasi 0,000 lebih kecil dari taraf

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap naskah kuna BAS dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas menunjukkan keterkaitan teks yang sangat kental dengan teks hipogram

Siswa menyimak informasi dan peragaan materi tentang cara keterampilan gerak permainan bola voli (Passing bawah, passing atas, servis, smesh dan block) serta pengertian

Realisasi belanja daerahsampai dengan triwulan I tahun 2018 juga mengalami kenaikan, yaitu Rp 13,09 triliun, bila dibandingkan dengan belanja daerah pada triwulan I tahun

Sedangkan literasi informasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses,