• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia akan terus mengalami perubahan secara berkelanjutan hingga rentang kehidupannya usai. Perubahan tersebut tidak terlepas dari pemenuhan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu. Santrock (dalam Soetjiningsih, 2012) mengatakan bahwa perkembangan manusia dapat dibagi ke dalam beberapa tahap dan setiap tahap memiliki tugas perkembangannya masing-masing. Dalam proses pemenuhan tugas-tugas perkembangan inilah tak jarang individu memiliki banyak sekali pertanyaan tentang kehidupan, tentang diri dan tujuan hidup, serta tidak sedikit pula individu yang mengalami kebingungan dalam menentukan arahan hidupnya di masa depan. Erikson (dalam Feist & Feist, 2010) menjelaskan bahwa pada setiap tahap perkembangan, akan ditandai dengan munculnya krisis identitas yang dianggap sebagai periode krusial terhadap meningkatnya kerapuhan dan memuncaknya potensi. Kondisi ini cenderung muncul pada remaja khususnya pada masa transisi dari remaja akhir menuju ke dewasa awal. Erikson juga mengungkapkan bahwa kebingungan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan kemunduran dalam tahapan perkembangan seperti menunda tanggung jawab kedewasaan, berpindah-pindah pekerjaan tanpa sasaran yang jelas, maupun berganti dari satu ideologi ke ideologi lainnya (Feist & Feist, 2010). Apabila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut tentu akan menghambat individu dalam pemenuhan tugas perkembangan di tahap selanjutnya.

Terdapat beberapa persoalan dalam pemenuhan tugas perkembangan yang diakibatkan oleh kebingungan identitas. Persoalan-persoalan ini

(2)

2

cenderung dihadapi individu pada tahap perkembangan dewasa awal. Santrock (2002) menjelaskan bahwa individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal akan memasuki masa transisi, baik transisi secara fisik, intelektual, maupun transisi dalam peran sosial. Berbagai masalah akan muncul pada masa transisi ini karena individu beralih dari ketergantungan menuju kemandirian baik dari segi ekonomi, peran sosial, maupun arahan tentang masa depan yang lebih realistis. Erikson (dalam Feist & Feist, 2010) berpendapat bahwa persoalan pada dewasa awal muncul ketika individu tidak yakin akan identitas mereka sendiri sehingga menyebabkan penarikan diri dari keintimain psikososial, atau dengan kata lain individu kehilangan identitasnya ketika melebur dengan identitas orang lain dan lingkungan sosialnya. Situasi ini akan menghambat pemenuhan kebutuhan pada dewasa awal seperti membentuk keluarga, meniti karir atau melanjutkan pendidikan, atau bergabung di kelompok sosial yang sejalan dengan nilai-nilai yang dianutnya (Havighrust dalam Lemme, 1995).

Salah satu persoalan yang sering muncul pada tahap dewasa awal adalah persoalan dalam hal meniti karir dan pekerjaan. Saat ini banyak ditemukan pekerjaan seseorang yang tidak sesuai dengan jalur pendidikan yang ditempuh. Survey yang dilakukan oleh CNN Money terhadap mahasiswa yang lulus sepanjang tahun 2011-2012 menghasilkan temuan bahwa 41% Sarjana memiliki pekerjaan yang berbeda dengan studi mereka di Universitas, sementara 11% lainnya merupakan pengangguran (Merdeka.com, 2013). Selanjutnya survei yang dilakukan oleh Badan Pengembang Sumber Daya Manusia Kementerian Perikanan mengungkapkan bahwa hanya sebesar 20% dari Sarjana kelautan dan perikanan yang mendapatkan pekejaan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya (Sulawesi.bisnis.com, 2015). Kecenderungan untuk memilih

(3)

3

bidang lain diketahui disebabkan oleh kurangnya kompetensi yang dimiliki mengenai bidang pekerjaan yang hendak dituju. Sebuah survei lain yang dilakukan terhadap Insinyur Teknik menemukan bahwa akibat dari terbatasnya lapangan pekerjaan, sebanyak 50% dari 700.000 insinyur di Indonesia bekerja tidak sesuai dengan bidang akademik, dan banyak dari Sarjana Teknik yang bekerja di bank atau bidang pekerjaan lainnya (Antaranews.com, 2015).

Persoalan lain yang juga muncul adalah tingginya angka pengangguran di Indonesia, termasuk diantaranya pengangguran yang bergelar Sarjana. Tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi didasari dari keinginan untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Namun pada kenyatannya, Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas naik sebesar 1,13% pada tahun 2018. Hal tersebut berarti sebanyak 7 juta pengangguran, 630.000 diantaranya merupakan Sarjana (kompas.com, 2018). Akibatnya, banyak dari

fresh graduate yang cenderung menerima pekerjaan tanpa

mempertimbangkan bidang studinya ataupun bidang pekerjaan yang hendak dituju karena telah lama menganggur. Penulis mengamati bahwa selama penyelenggaraan Job Fair, fresh graduate cenderung untuk mempersiapkan sejumlah CV yang akan dimasukkan ke beberapa perusahaan yang memiliki lowongan pekerjaan untuk semua jurusan, tanpa mempertimbangkan bidang studi yang telah ia tempuh. Hal ini menjadi salah satu penyebab fresh graduate cenderung berpindah-pindah pekerjaan. Data yang dihimpun oleh The Boston Consulting Group (BCG) mengungkapkan bahwa sebesar 60% karyawan yang baru lulus kuliah cenderung berpindah- pindah kerja dalam 3 tahun pertama (bisnis.liputan6.com, 2013).

(4)

4

lulusan Perguruan Tinggi masih banyak yang belum memiliki arahan karir maupun pekerjaan yang sesuai dengan harapannya. Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar (dalam Marliani, 2013) menyampaikan bahwa hingga saat ini lulusan perguruan tinggi (PT) di Indonesia masih belum memiliki orientasi yang jelas, yang menyebabkan banyak sarjana tidak mampu bersaing di persaingan global. Daya saing yang rendah ini salah satunya juga disebabkan karena Universitas dianggap belum memiliki orientasi tentang lulusan yang terarah. Selain itu banyak ditemukan mahasiswa yang masih bingung dengan apa yang akan dilakukan dengan hidupnya, sehingga tidak memiliki pemikiran dan perencanaan tentang kehidupannya di masa mendatang. Penulis mencoba memetakan fenomena mengenai bagaimana perencanaan dan orientasi masa depan mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan melakukan wawancara terhadap tiga orang mahasiswa semester 5 dan 7 di Fakultas Psikologi UKSW. Berdasarkan hasil wawancara, dua narasumber mengatakan bahwa hingga hari ini mereka masih belum memiliki bayangan akan pekerjaannya di masa depan atau apa yang akan mereka lakukan setelah mereka lulus. Narasumber juga mengatakan bahwa yang terpenting adalah bisa memiliki pekerjaan dan menghidupi diri sendiri sudah lebih dari cukup. Seorang narasumber lainnya menyampaikan bahwa ia sudah memiliki bayangan akan masa depannya untuk melanjutkan studi S2 dan nantinya akan menjadi Psikolog. Narasumber saat ini sedang menyusun perencanaan dan persiapan yang matang untuk meraih masa depannya seperti mengikuti bimbingan TOEFL, dan mencari informasi tentang Universitas yang akan dituju.

Penulis kemudian melanjutkan mewawancarai salah seorang alumni dari Fakultas Psikologi UKSW yang saat ini bekerja sebagai Supervisor Divisi Strategi dan Pengembangan Operasi-Layanan di salah satu bank

(5)

5

swasta di Jakarta. Narasumber diketahui memiliki pekerjaan yang berbeda dengan program studi yang pernah ia ambil sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara, narasumber mengatakan bahwa ia tidak pernah menyangka akan bekerja di bank dan menempati posisi seperti sekarang ini. Narasumber juga mengatakan bahwa beberapa saat sebelum lulus, narasumber sudah berpikir bahwa ia tidak akan bekerja di ranah Psikologi dan merasa salah mengambil program studi ketika kuliah. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa beberapa mahasiswa masih bingung terhadap apa yang akan ia lakukan dalam hidupnya atau gambaran dirinya di masa depan.

Gambaran mengenai masa depan individu yang terbentuk dari sikap dan asumsi dari pengalaman individu disebut dengan orientasi masa depan (Nurmi dalam McCabe & Barnett, 2000). Senada dengan pernyataan tersebut, Seginer (2003) berpendapat bahwa orientasi masa depan merupakan landasan individu dalam menetukan masa depan mereka dengan menetapkan tujuan dan membuat suatu perencanaan. Orientasi masa depan merupakan kajian terhadap bagaimana individu memandang dirinya dalam konteks masa depan, dan bagaimana gambaran dirinya tersebut membantu mengarahkan individu dalam melakukan perubahan-perubahan sistematis untuk mencapai apa yang diinginkan. Nurmi (1989) mengatakan bahwa orientasi masa depan berkaitan dengan harapan-harapan, tujuan, standar, perencanaan, dan strategi pencapaian tujuan. Ketika individu memiliki orientasi masa depan berarti ia telah mengantisipasi kejadian-kejadian yang mungkin akan timbul di masa depan.

Berbicara mengenai orientasi masa depan memang tidak bisa lepas dari konteks tugas-tugas perkembangan yang terbagi ke dalam beberapa aspek kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, dan pemikahan (Seginer, 2009). Sesuai dengan fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya, dari ketiga

(6)

6

aspek tersebut yang perlu mendapat perhatian pada individu usia dewasa awal adalah orientasi masa depan terkait dengan bidang pekerjaan. Menurut Nurmi (1989), orientasi masa depan terkait dengan pekerjaan memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan individu dewasa awal. Individu yang kurang memiliki orientasi masa depan dapat menyebabkan individu gagal dalam pemenuhan tugas-tugas perkembangan pada tahap dewasa awal. Rendahnya orientasi masa depan dalam bidang pekerjaan pada individu dapat berakibat pada kurangnya kesadaran untuk memperoleh pekerjaan, kurangnya kesadaran untuk memperoleh kehidupan yang layak, cenderung tidak konsisten dengan pekerjaannya, hingga tidak memiliki tujuan hidup (Puspareni, 2015). Oleh karena itu orientasi masa depan dianggap sebagai salah satu hal yang penting untuk diperhatikan khususnya pada individu usia dewasa awal untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya.

Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membantu individu dalam mengembangkan orientasi masa depannya. Dengan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi orientasi masa depan, maka kita dapat menentukan cara yang tepat untuk pengembangan orientasi masa depan individu dewasa awal. Nurmi (1989) menjelaskan bahwa terdapat dua faktor besar yang memengaruhi orientasi masa depan, yaitu faktor individu (person related factor) dan faktor konteks sosial (social context related factor). Faktor internal individu terdiri dari kepribadian, ketrampilan, konsep diri dan perkembangan kognitif individu. Sementara faktor konteks sosial seperti usia, jenis kelamin, status sosial dan ekonomi, teman sebaya, dan hubungan dengan orang tua. Pernyataan tersebut didukung oleh Beal (2011) yang mengungkapkan bahwa faktor identity (self understanding, self efficacy dan self concept) merupakan faktor yang berhubungan dengan kemunculan future orientation. Pernyataan tersebut didukung oleh Seginer (2009) menekankan

(7)

7

pentingnya faktor diri (self) dan kepribadian (personality) terhadap orientasi masa depan. Seginer mengungkapkan bahwa orientasi masa depan sangat erat kaitannya dengan harga diri (self esteem) dan konsep diri (self concept) yang dimiliki oleh individu. Self concept, self esteem, serta kemampuan evaluasi diri individu memungkinkan individu untuk membuat orientasi masa depan yang sesuai dengan kondisi dirinya sendiri.

Besarnya pengaruh self concept terhadap orientasi masa depan ditunjukkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Putri (2006) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara konsep diri dan orientasi masa di bidang pendidikan pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Adamson, Wreder, dan Kerpelman (2007) dalam penelitiannya mengenai self concept consistency dan future orientation menghasilkan temuan bahwa remaja yang memiliki konsep diri yang tidak konsisten, cenderung memiliki pandangan negatif tentang masa depannya dibandingkan remaja yang memiliki konsep diri yang konsisten. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian Aslamawati, Sobari, dan Utami (2012) yang menghasilkan temuan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan orientasi masa depan remaja di bidang pendidikan. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Maya (2011) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe self esteem tinggi dan orientasi masa depan bidang pekerjaan. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Jackman dan MacPhee (2015), menghasilkan temuan bahwa faktor self dapat menjadi mediator dalam memprediksi orientasi masa depan pada remaja. Beberapa penelitan tersebut telah menunjukkan bahwa diri (self) khususnya self concept memiliki kaitan yang erat dengan orientasi masa depan individu.

Beberapa hasil penelitian juga mengungkap peran pelatihan dalam meningkatkan orientasi masa depan. Iskandar, Novianti, dan Siswanto

(8)

8

(2014) mengungkapkan bahwa pelatihan motivasi berprestasi dapat membantu remaja dalam perencanaan dan penentuan tujuan di masa depan, serta kemampuan menyusun strategi untuk mewujudkannya. Pada kesempatan lain, Hidayati, Widianti, dan Rafiyah (2018) mengungkapkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan tentang orientasi masa depan setelah diberikan program pelatihan perencanaan diri pada remaja yang ada di Lemabaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Maslihah, Mustofa, dan Nurendah (2016) yang menghasilkan temuan bahwa terdapat perbedaan skor orientasi masa depan pada anak didik LPKA setelah diberikan basic skills dan pelatihan vokasional. Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan peran sebuah pelatihan dalam peningkatan orientasi masa depan. Sejauh penulusuran penulis, belum ditemukan bentuk pelatihan konsep diri yang digunakan sebagai model intervensi untuk meningkatkan orientasi masa depan.

Berdasarkan pemaparan tersebut maka penulis bermaksud melakukan penelitian eksperimental terhadap mahasiswa tahun pertama UKSW dengan memberikan perlakuan berupa serangkaian pelatihan konsep diri yang telah disusun oleh penulis sebelumnya. Penulis berharap dapat menjawab permasalahan yang muncul mengenai rendahnya orientasi masa depan pada mahasiswa sehingga nantinya setelah lulus dari perkuliahannya mahasiswa sudah mengetahui apa yang akan dilakukan dengan hidupnya dan tidak lagi mengalami kebingungan mengenai pemiliha karir dan pekerjaan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari pemaparan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh pelatihan konsep diri terhadap orientasi masa depan mahasiswa fakultas psikologi UKSW.

(9)

9 1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan konsep diri terhadap orientasi masa depan mahasiswa fakultas psikologi UKSW. 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan serta memperkaya konsep dan pola pikir kita tentang pengaruh pelatihan konsep diri terhadap orientasi masa depan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan topik yang serupa.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Kepada penyelenggara pendidikan, khususnya penyelenggara pendidikan tinggi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk membantu mahasiswa menentukan arahan karir dan masa depannya melalui pelatihan konsep diri.

b. Kepada mahasiswa, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan pertimbangan terkait dengan pentingnya konsep diri dalam meningkatkan orientasi masa depan mahasiswa khususnya dalam perencanaan karier mereka di masa mendatang.

c. Kepada peneliti, dapat menjadi acuan untuk melakukan kajian lebih mendalam mengenai konsep diri czn orientasi masa depan.

Referensi

Dokumen terkait

Petisi, yang pertama diselenggarakan oleh ilmuwan individu yang mendukung teknologi RG telah menghasilkan lebih dari 1.600 tanda tangan dari ahli ilmu tanaman mendukung pernyataan

Secara parsial, variabel kualitas layanan yang terdiri dari: dimensi variabel bukti fisik (tangibles) dan empati (emphaty) berpengaruh secara signifikan dan

Berbagai dikotomi antara ilmu – ilmu agama Islam dan ilmu – ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagimana dilakukan Abduh dan

Sekolah harus melakukan evaluasi secara berkala dengan menggunakan suatu instrumen khusus yang dapat menilai tingkat kerentanan dan kapasitas murid sekolah untuk

BILLY TANG ENTERPRISE PT 15944, BATU 7, JALAN BESAR KEPONG 52100 KUALA LUMPUR WILAYAH PERSEKUTUAN CENTRAL EZ JET STATION LOT PT 6559, SECTOR C7/R13, BANDAR BARU WANGSA MAJU 51750

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR

Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui yang berasal dari fosil yaitu minyak bumi dan batubara. Jawaban