• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENENTUKAN KEDALAMAN LAPISAN PADAT TANAH MENGGUNAKAN GELOMBANG AKUSTIK SKRIPSI NIKODEMUS GINTING F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENENTUKAN KEDALAMAN LAPISAN PADAT TANAH MENGGUNAKAN GELOMBANG AKUSTIK SKRIPSI NIKODEMUS GINTING F"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

MENENTUKAN KEDALAMAN LAPISAN PADAT TANAH

MENGGUNAKAN GELOMBANG AKUSTIK

SKRIPSI

NIKODEMUS GINTING

F14070031

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

NIKODEMUS GINTING. F14070031. Menentukan Kedalaman Lapisan Padat Tanah

Menggunakan Gelombang Akustik. Di bawah bimbingan E. Namaken Sembiring dan Susilo

Sarwono. 2012

RINGKASAN

Tanah mempunyai pengertian yang sangat luas dan arti yang berbeda sesuai peruntukannya. Dalam bidang pertanian, tanah diartikan sebagai media tumbuh bagi tanaman darat (Sarwono, 1987). Mempelajari karakteristik tanah sangat penting dilakukan dalam bidang pertanian karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman.

Indonesia merupakan negara yang sebagian besar pendapatan ekonominya masih bertumpu pada sektor pertanian sehingga sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam upaya menciptakan kondisi ekonomi nasional yang lebih baik. Pengetahuan mengenai beberapa sifat-sifat tanah seperti sifat kimia maupun sifat fisik dari suatu tanah pertanian diperlukan untuk menciptakan sektor pertanian yang lebih baik. Sifat kimia tanah misalnya unsur hara, mineral, dan air yang terkandung dalam tanah. Sedangkan sifat fisik tanah merupakan sifat yang paling mudah diamati dan dari sifat ini sebagian besar kondisi tanah sudah dapat diketahui. Sifat fisik tanah yang penting untuk diketahui adalah tekstur, struktur, konsistensi, densitas tanah (bulk density), serta permeabilitas tanah. Bulk density merupakan salah satu sifat fisik tanah yang penting diketahui karena berkaitan langsung dengan daya dukung lahan untuk menjaga produktifitas lahan pertanian (Islami dan Utomo, 1995).

Daya dukung lahan dapat ditingkatkan dengan cara pemadatan tanah (soil compaction). Teknologi pemadatan tanah ini bertujuan untuk mengurangi kebutuhan air irigasi, menekan laju perkolasi sehingga diperoleh lapisan padat (plow soil) yang baik. Pemadatan ini dilakukan pada kedalaman tertentu dibawah lapisan olah (top soil) (Partowijoto, 2000 dalam Prasetyo, 2008).

Kepadatan tanah hingga saat ini sering diukur menggunakan penetrometer kerucut (cone penetrometer), baik dengan cara statis maupun dinamis. Hasil pengukurannya merupakan penetrasi kerucut (mm) kemudian dikonversi menjadi indeks kerucut kgf/cm2 (Partowijoto, 2000 dalam Prasetyo, 2008). Selain menggunakan penetrometer kerucut, saat ini telah dikembangkan metode lain untuk mengukur kepadatan tanah yaitu dengan cara memanfaatkan sifat-sifat resistansi listrik dalam tanah. Pemanfaatan sifat resistansi listrik dalam tanah diukur dengan cara menancapkan sepasang katoda dalam tanah, kemudian menggunakan sepasang speaker (pemancar dan penerima) untuk memancarkan dan menerima gelombang audio.

Nugraha (2004) menunjukkan bahwa metode yang digunakan pada penelitian untuk menentukan nilai bulk density tanah dengan cara menganalisa sifat-sifat resistansi listrik yang ada dalam tanah, yaitu dengan cara menancapkan sepasang elektroda kedalam tanah yang diuji terbukti dapat dilakukan. Metoda yang sama juga dilakukan Widianti (2005).

Selain menggunakan dua pasang elektroda, gelombang suara juga dapat digunakan untuk mengetahui nilai resistansi listrik. Gelombaang bunyi dapat merambat melalui medium tergantung gaya-gaya antar partikel-partikel penyusun dari medium tersebut (Kane dan Sternheim, 1988). Prinsip penggunaan gelombang suara adalah sama dengan metode penancapan sepasang elektroda, yang membedakan adalah sepasang elektroda akan diganti dengan sepasang speaker (pemancar dan penerima).

Kane dan Sternheim (1988) menjelaskan bahwa menurut frekuensinya, gelombang akustik dapat dikelompokan menjadi tiga jenis gelombang yaitu gelombang infrasonik yang berada pada

(3)

rentang frekuensi kurang dari 20 Hz, gelombang sonik yang berada pada rentang frekuensi antara 20 Hz hingga 20 kHz, dan gelombang ultrasonik yang berada pada rentang frekuensi diatas 20 kHz. Gelombang suara merupakan gelombang mekanik yang perambatannya memerlukan perantara. Gelombang ini tidak dapat merambat pada ruang hampa (Halliday dan Resnick, 1998). Medium perambatannya dapat berupa bahan padat, cair, maupun gas.

Tujuan penelitian adalah menindaklanjuti penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, untuk membuat alat ukur kerapatan tanah menggunakan gelombang akustik. Hasil pengukuran divisualisasikan menggunakan oscilloscope untuk mempresentasikan hasil pengukuran. Hasil pengukuran ditunjukkan dengan keluaran berupa amplitudo pada berbagai tingkat frekuensi dan perlakuan tebal lapisan olah, serta posisi bebas rangkaian pemancar dan penerima. Penelitian juga digunakan untuk menduga letak lapisan padat dibawah tanah lapisan olah pada skala laboratorium. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui amplitudo gelombang akustik yang diterima akibat pantulan ataupun rambatan oleh medium tanah dengan perlakuan tebal lapisan olah. Selain itu, penelitian juga digunakan untuk menduga kedalaman lapisan padat di bawah tanah lapisan olah.

Bahan penelitian yang digunakan adalah tanah contoh berjenis Latosol yang diambil dari Leuwikopo. Peralatan utama yang digunakan meliputi: 1) audio generator, untuk menghasilkan berbagai tingkat frekuensi, 2) oscilloscope, untuk memvisualisasikan gelombang audio, 3) rangkaian penerima, untuk menangkap gelombang audio yang dipancarkan kemudian mengubahnya menjadi besaran elektris dan melakukan penguatan sinyal gelombang audio, 4) wadah uji yang terdiri dari kotak logam dan baskom plastik, 5) pipa silinder.

Penelitian dilaksanakan pada kadar air 30% dan posisi speaker membentuk sudut antara 30o dengan perlakuan 2 tingkat kerapatan tanah, yaitu 1.0 gram/cm3 dan 1.3 gram/cm3. Penelitian dilaksanakan pada beberapa tingkatan lapisan olah dilakukan pada tebal lapisan olah 0, 5 10, 15, dan 20 cm.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah 1) Tebal lapisan olah tanah berpengaruh terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio. Semakin tebal lapisan olah menyebabkan semakin kecil penerimaan amplitudo gelombang audionya, dengan kata lain pengaruh tebal lapisan olah akan berbanding terbalik dengan penerimaan amplitudo gelombang audio. Pengamatan pengaruh kadar air terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio pada penelitian terdahulu diketahui bahwa semakin besar kadar air yang terdapat pada lapisan padat menyebabkan penerimaan amplitudo gelombang audio akan semakin kecil. 2) Pendugaan kedalaman lapisan padat menggunakan gelombang audio, terlihat bahwa nilai amplitudo gelombang audio cenderung berubah pada setiap perubahan lapisan padat tanah. Amplitudo yang diterima akan semakin kecil pada peningkatan lapisan olah tanah. 3) Gangguan pada audio generator sangat berpengaruh terhadap gelombang audio yang dipancarkan. Gangguan pada audio generator mengakibatkan terjadi pengurangan energi gelombang audio yang dipancarkan sehingga energi gelombang yang dipancarkan menjadi kecil. 4) Gelombang audio yang terlalu kecil akan sangat sulit dibaca pada pengukuran menggunakan oscilloscope karena pada pembacaan nilai amplitudo diterima pembacaan masih menggunakan bentuk gelombang sinus atau gelombang kotak yang masih harus dikonversi lagi menjadi skala miliVolt dengan mengalikan jumlah kotak yang dilalui amplitudo gelombang terhadap nilai skala miliVolt yang digunakan, sehingga diperlukan alat ukur lain yang dapat memberikan hasil pengamatan lebih teliti langsung dalam bentuk angka digital. 5) Op-amp dengan penguatan lebih besar akan mampu memberikan hasil pengukuran yang lebih teliti, selain itu diperlukan penambahan rangkaian filter untuk mencegah terjadinya noise, serta pemberian daya yang sesuai agar intensitas gelombang yang dipancarkan akan lebih baik.

(4)

DETERMINING THE DENSE SOIL DEPTH

USING ACOUSTIC WAVE

Nikodemus Ginting, E. Namaken Sembiring, and Susilo Sarwono

Department of Agricultural Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone 0858 8893 0053, e-mail: nikodemus.ginting@rocketmail.com

ABSTRACT

Determining the dense soil depth using acoustic wave is one of the attempts of non-destructive detection method development. This method is applied since the ultrasonic wave detection has been widely conducted and applied in other fields, besides agriculture. The particular purpose of the research is to determine the amplitude of the acoustic waves received as the bouncing effect or the propagation on soil by the cultivating treatment on the dense soil depth.

The research tools and materials applied is a sample soil of Latosol, which is connected through circuit of a series of signal generator used as the sinusoidal signal generator, and processed to transmitter speakers in several frequencies. Op-amp circuit functions as the amplifier and the audio waves stabilizer gained by receiver speakers, and they are connected to oscilloscope to visualize the results. Op-amp circuit with bigger amplified level, equipped with a filter circuit, and uses the appropriate power on the transmitter speakers circuit will cause the intensified waves transmitted according to the expected results. The use of the same kind of speakers eases the research to produce results as needed.

The research is conducted at 30 % of water content by the speaker position forming 300 angles with bulk density of 1.0 gram/cm3 and 1.3 gram/cm3 in the cultivation layer of 0, 5, 10, 15, and 20 cm. In the treatment of cultivation layer thickness is known that the denser or thicker cultivation layer the smaller receiver of the audio wave amplitude. In the estimation of the dense soil depth using audio waves, it is seen that the audio wave amplitude value received will be smaller in the increase of cultivated soil layer. The making of the instrument is adjusted with the result of the previous research. The noise influences the sound waves produced and transmitted, and also the amplitude waves received. The noise covers the transmitted sound waves so that the sound waves is not detected by the oscilloscope.

(5)

MENENTUKAN KEDALAMAN LAPISAN PADAT TANAH

MENGGUNAKAN GELOMBANG AKUSTIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

NIKODEMUS GINTING

F14070031

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(6)

Judul Skripsi

:

Menentukan Kedalaman Lapisan Padat Tanah

Menggunakan Gelombang Akustik

Nama

:

Nikodemus Ginting

NIM

:

F14070031

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

(Dr. Ir. E. Namaken Sembiring, M.S)

(Ir. Susilo Sarwono)

NIP 19461013 197306 1 001

NIP 19480925 197301 1 003

Mengetahui

:

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Desrial, M.Eng)

NIP 19661201 199103 1 004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Menentukan Kedalaman

Lapisan Padat Tanah Menggunakan Gelombang Akustik adalah hasil karya sendiri dengan arahan

Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 2012

Yang membuat pernyataan

Nikodemus Ginting F14070031

(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya

(9)

BIODATA PENULIS

Nikodemus Ginting. Lahir di Indrapura, 27 Maret 1989 dari ayah S. Ginting dan ibu S. E. Tarigan, sebagai putra ke tiga dari lima bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 1 Air Putih, Indrapura dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan Organisasi termasuk menjadi Ketua Permata (pemuda) di Gereja Batak Karo Protestan, Bogor pada tahun 2011-2013. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di Perkebunan Tebu, PG Tjoekir, Jawa Timur.

(10)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Menentukan Kedalaman Lapisan Padat

Tanah Menggunakan Gelombang Akustik dilaksanakan diLaboratorium CITS Pusat Antar

Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret sampai Juni 2012.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. E. Namaken Sembiring, M.S. sebagai dosen pembimbing utama.

2. Ir. Susilo Sarwono atas saran dan bantuan moril yang diberikan selaku dosen pembimbing pendamping.

3. Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, M.Agr yang telah membantu dalam konsultasi penggunaan instrumentasi.

4. Dr. Ir. I. Wayan Astika, M.S. sebagai dosen penguji skripsi yang telah memberikan dorongan selama penulis melakukan studi di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem.

5. Pak Edi, Pak Trisnadi, Pak Wana karyawan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu pelaksanaan penelitian.

6. S. Ginting dan S. E. Tarigan selaku Orang Tua yang selalu mendukung hingga penulis bisa menyelesaikan studi di Fakultas Teknologi Pertanian.

7. Abang, adik, kakak, teman yang turut membantu baik dalam doa maupun tindakan untuk penyelesaian penelitian hingga tersusunnya skripsi ini.

8. Marko Mitokona Cibro, A. Nugroho, M. Furqan, Andi P. Pamungkas, R. Harianja, P. Sagala selaku teman berjuang mengerjakan skripsi.

9. Teman-teman seperjuangan Teknik Mesin dan Biosistem angkatan 44 (2007).

10. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, baik segi moral maupun material yang tidak dituliskan di atas.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Teknik Mesin dan Biosistem.

Bogor, 2012

(11)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR PERSAMAAN ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Ruang Lingkup ... 3

1.3 Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Gelombang ... 4

2.2 Gelombang Akustik ... 4

2.3 Kebisingan ... 6

2.4 Alat Ukur Elektronik ... 7

2.4.1 Sistem Pengindera ... 7

2.4.2 Sistem Penguat ... 8

2.4.3 Sistem Peraga ... 10

2.5 Software (perangkat lunak) ... 11

2.6 Tanah ... 11

2.7 Pemadatan Tanah ... 13

2.8 Pengukuran Kepadatan Tanah ... 13

2.8.1 Bulk Density ... 14

2.8.2 Penetrometer Resistance ... 14

2.9 Resistansi Listrik pada Tanah ... 14

2.10 Penelitian ultrasonik terdahulu ... 16

III. METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 25

3.2 Alat dan Bahan ... 25

3.2.1 Bahan ... 25

3.2.2 Alat ... 25

3.3 Skema Rangkaian Alat Penelitian ... 35

3.4 Perlakuan ... 36

3.5 Pengukuran Pengaruh Gangguan pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Dipancarkan... 37

3.6 Tahap Penelitian... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1 Pengaruh Gangguan pada Audio Generator terhadap Amplitudo Gelombang Audio yang Dipancarkan ... 45

4.2 Penggunaan Rangkaian Penguat ... 46

(12)

v

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Kesimpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(13)

vi

DAFTAR PERSAMAAN

Halaman

Persamaan 1. Persamaan pembagi tegangan ... 8

Persamaan 2. Persamaan penguat selisih ... 9

Persamaan 3. Persamaan densitas tanah ... 13

Persamaan 4. Persamaan wet bulk density ... 14

(14)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1a. Gelombang transversal ... 4

Gambar 1b. Gelombang longitudinal ... 4

Gambar 2. Diagram blok alat ukur elektronik ... 7

Gambar 3. Rangkaian pembagi tegangan ... 8

Gambar 4. Skema rangkaian op-amp ... 9

Gambar 5. Rangkaian penguat selisih ... 9

Gambar 6. Konfigurasi IC – 741 ... 10

Gambar 7. Pembentukan tanah dari batu-batuan ... 11

Gambar 8. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak antar elektroda dan kedalaman penusukan elektroda (Nugraha, 2004) ... 15

Gambar 9. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak antar elektroda dan kedalaman penusukan elektroda (Ridwan, 2005) ... 15

Gambar 10. Grafik hubungan tegangan output dengan jarak penusukan ... 15

Gambar 11. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (Deni, 2007) ... 16

Gambar 12. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (Deni, 2007) ... 17

Gambar 13. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan sudut (Deni, 2007) ... 17

Gambar 14. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan lapisan olah (Deni, 2007) ... 18

Gambar 15. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan horizontal (Firmansyah, 2007) ... 18

Gambar 16. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (Firmansyah, 2007) ... 19

Gambar 17. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (Firmansyah, 2007) ... 19

Gambar 18. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah (Firmansyah, 2007) ... 20

Gambar 19. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (Farizi, 2007) ... 20

Gambar 20. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (Farizi, 2007) ... 21

Gambar 21. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (Farizi, 2007) ... 21

Gambar 22. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah (Farizi, 2007) ... 22

Gambar 23. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan horizontal (Prasetyo, 2008) ... 22

Gambar 24. Grafik hubungan jarak antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan vertikal (Prasetyo, 2008) ... 23

Gambar 25. Grafik hubungan besar sudut antar speaker terhadap amplitudo diterima pada perlakuan sudut (Prasetyo, 2008) ... 23

Gambar 26. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap amplitudo diterima pada perlakuan lapisan olah (Prasetyo, 2008) ... 24

Gambar 27. Audio generator ... 26

(15)

viii

Gambar 29. Gelas ukur ... 27

Gambar 30a. Timbangan digital ... 27

Gambar 30b. Timbangan Ohaus ... 27

Gambar 31. Multimeter ... 28

Gambar 32. Speaker ... 28

Gambar 33a. Wadah uji ... 29

Gambar 33b. Skema dimensi wadah tanah... 29

Gambar 34. Cawan ... 29

Gambar 35. Saringan tanah ... 30

Gambar 36. Desikator ... 30

Gambar 37. Oven ... 31

Gambar 38. Rangkaian pipa silinder dengan speaker ... 31

Gambar 39. Stabilizer ... 32

Gambar 40. Skema rangakaian penguat sinyal op-amp ... 32

Gambar 41. Rangkaian penguat sinyal op-amp ... 33

Gambar 42. Oscilloscope ... 34

Gambar 43. Pahat ... 34

Gambar 44. Baskom ... 35

Gambar 45. Ember ... 35

Gambar 46. Diagram blok rangkaian alat penelitian ... 36

Gambar 47. Skema rangkaian alat pada perlakuan saat pengukuran ... 36

Gambar 48. Diagram alir tahap prosedur kerja pengukuran pengaruh gangguan pada audio generator terhadap amplitudo yang dipancarkan ... 37

Gambar 49. Diagram alir tahap prosedur kerja pengecekan kadar air tanah awal ... 38

Gambar 50. Diagram alir tahap prosedur pengkondisian kadar air tanah ... 39

Gambar 51. Diagram alir tahap prosedur kerja pengecekan kadar air tanah uji ... 40

Gambar 52. Diagram alir tahap prosedur kerja penyiapan tanah pada wadah uji ... 41

Gambar 53. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang audio ... 42

Gambar 54. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan speaker pemancar ... 43

Gambar 55. Diagram alir tahap prosedur pengukuran amplitudo gelombang penerima langsung ... 44

Gambar 56. Grafik hasil pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat kebisingan ... 45

Gambar 57. Grafik perbandingan antara nilai amplitudo yang dipancarkan dengan nilai amplitudo yang diterima baik dengan rangkaian penguat, tanpa rangkaian penguat, maupun berdasarkan perhitungan ... 46

Gambar 58. Grafik pengukuran amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3... 47

Gambar 59. Grafik pengukuran amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 ... 48

(16)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 10 kHz

(Deni, 2007) ... 55 Lampiran 2. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 40 kHz

(Firmansyah, 2007) ... 57 Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 50 kHz

(Farizi, 2007) ... 59 Lampiran 4. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang frekuensi 5 kHz

(Prasetyo, 2008) ... 61 Lampiran 5. Spesifikasi audio generator dan oscilloscope ... 63 Lampiran 6. Tabel hasil pengukuran frekuensi dan amplitudo gelombang audio baik

yang dipancarkan speaker pemancar, yang diterima speaker penerima dengan rangkaian penguat, yang diterima speaker penerima tanpa rangkaian penguat, dan hasil perhitungan menggunakan persamaan

rangkaian penguat pada berbagai tingkat frekuensi ... 64 Lampiran 7. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 0 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3,

TLO 0 cm, pada berbagai frekuensi ... 65 Lampiran 8. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 5 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3,

TLO 5 cm, pada berbagai frekuensi ... 66 Lampiran 9. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 10 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3,

TLO 10 cm, pada berbagai frekuensi ... 67 Lampiran 10. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 15 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3,

TLO 15 cm, pada berbagai frekuensi ... 68 Lampiran 11. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 20 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,0 gram/cm3,

TLO 20 cm, pada berbagai frekuensi ... 69 Lampiran 12. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 0 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3,

TLO 0 cm, pada berbagai frekuensi ... 70 Lampiran 13. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 5 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3,

TLO 5 cm, pada berbagai frekuensi ... 71 Lampiran 14. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 10 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3,

TLO 10 cm, pada berbagai frekuensi ... 72 Lampiran 15. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 15 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3,

TLO 15 cm, pada berbagai frekuensi ... 73 Lampiran 16. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan

lapisan olah 20 cm, kadar air 30 %, kerapatan tanah 1,3 gram/cm3,

TLO 20 cm, pada berbagai frekuensi ... 74 Lampiran 17. Tabel hasil pengukuran amplitudo gelombang audio pada berbagai

frekuensi dan tingkat kebisingan ... 75 Lampiran 18. Tabel hasil pengecekkan dan pengkondisian kadar air tanah ... 76 Lampiran 19. Penurunan persamaan rangkaian penguat selisih (persamaan 2)

(17)

x

Lampiran 20. Penurunan persamaan rangkaian penguat pada penelitian ... 78

Lampiran 21. Tabel hasil pengkondisian kadar air tanah 30% ... 79

Lampiran 22. Tabel hasil pengkondisian kerapatan tanah 1.0 g/cm3 dan 1.3 g/cm3 ... 80

Lampiran 23. Tabel Perbandingan volume tanah olah dan tanah tidak olah ... 81

Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kerapatan Tanah Berdasarkan Persamaan 3 dan Kadar Air Tanah Berdasarkan Persamaan 5 ... 82

(18)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian secara luas ditunjukkan untuk menghasilkan kebutuhan papan, pangan, sandang, maupun lingkungan hidup tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga bertujuan untuk melakukan perdagangan ekspor memenuhi kebutuhan luar negeri. Kebutuhan akan hasil pertanian khususnya untuk kebutuhan pangan tidak jarang mengalami kekurangan. Hal ini terjadi dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan pangan sebagai akibat dari bertambahnya populasi manusia yang kemudian mengurangi lahan pertanian untuk dijadikan pemukiman. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut maka lahan pertanian harus diusahakan sebaik mungkin untuk mempertahankan kualitas tanah agar dapat terus digunakan dan diperoleh hasil maksimal dan output seragam.

Efisiensi dalam penggunaan sumberdaya pertanian dapat ditingkatkan dengan melakukan perubahan dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Pertanian modern diikuti dengan adanya penerapan teknologi pada beberapa bidang kegiatan atau melakukan perubahan metode pertanian. Salah satu metode pertanian yang kini dikembangkan adalah metode pertanian presisi (precission farming). Adapun tujuan penggunaan metode pertanian presisi pada penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tanah dan tanaman pada lahan spesifik untuk mengoptimalkan input produksi misalnya penggunaan pupuk, insektisida, air pada lahan, maupun pengolahan tanah yang sesuai.

Metode pertanian presisi memerlukan informasi mengenai karakteristik tanah dari lahan yang diusahakan. Salah satu parameter karakteristik fisik tanah adalah kerapatan tanah (bulk density). Informasi mengenai kerapatan tanah menjadi penting karena berkaitan dengan daya dukung lahan untuk menjaga produktifitas lahan tersebut. Selain itu, informasi kerapatan tanah juga dapat digunakan untuk mengetahui jenis pengolahan tanah yang optimal untuk suatu lahan.

Pengolahan tanah dilakukan dengan menghancurkan tanah menggunakan alat pengolah tanah sehingga tanah menjadi remah. Pengolahan tanah menyebabkan agregat tanah mempunyai kemantapan rendah (Anonimous, 1994). Jika pengolahan tanah dilakukan pada lahan terbuka dan ketika saat tersebut terjadi hujan, maka tanah dengan mudah dihancurkan dan terbawa bersama air permukaan (erosi). Selain mempercepat kerusakan sumberdaya tanah, pengolahan tanah intensif juga memerlukan biaya tinggi.

Pengolahan tanah minimum menjadi target masa depan, karena pada kenyataannya tidak semua tanah memiliki kerapatan yang sama, sehingga pengolahan tanah juga harus berbeda. Pengolahan tanah yang terus-menerus mengakibatkan pemadatan pada lapisan tanah bagian bawah lapisan olah, hal demikian menghambat pertumbuhan akar. Untuk mengatasi kerusakan karena pengolahan tanah, akhir-akhir ini diperkenalkan sistim pengolahan tanah minimum (Minimum Tillage) yang diikuti oleh pemberian mulsa dapat meningkatkan produksi pertanian (Anonimous, 1994).

Pengolahan tanah minimum (Minimum Tillage) adalah pengolahan tanah yang dilakukan secara terbatas atau seperlunya tanpa melakukan pengolahan tanah pada seluruh areal lahan (Anonimous, 1994). Pengolahan tanah minimum pada pertanian hanya dilakukan terhadap tanah yang kondisinya tidak baik untuk tanaman. Penelitian beberapa tahun menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang terlalu sering cenderung merusak disamping dapat menjadi terlalu mahal. Apalagi pengolahan menggunakan alat-alat berat akan menyebabkan kerusakan struktur dan pemadatan tanah (Arnon, 1972 dalam Wiroatmodjo,-).

(19)

2 Pengolahan tanah minimum bertujuan untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran pemukaan, mengamankan dan memelihara produktifitas tanah agar tercapai produksi yang setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas, meningkatkan produksi lahan usahatani, dan menghemat biaya pengolahan tanah, waktu dan tenaga kerja (Anonimous, 1994). Beberapa cara pengolahan tanah minimum yaitu pengolahan tanah disekitar lobang tanaman, pengolahan tanah di sekitar tanaman, dan tanpa pengolahan tanah (Zero Tillage) (Anonimous, 1994). Sinukaban (1987) dalam Wiroatmodjo (-) menegaskan bahwa budidaya tanpa olah tanah dapat menekan erosi sampai sebesar 90% dan aliran permukaan sebesar 45%. Keefektifan metoda tersebut bergantung pada presentase permukaan tanah yang tertutup oleh sisa-sisa tanaman/gulma, kekasaran permukaan tanah dan guludan kecil yang terbentuk, sisa tanaman/guludan yang terbenam, dan erodibilitas tanah. Pengolahan tanah minimum dapat dilaksanakan jika kita mengetahui sifat fisik tanah, misalnya kerapatan tanah. Dengan demikian, diperlukan alat yang dapat digunakan untuk menentukan kerapatan tanah, agar pengolahan tanah dapat dilaksanakan pada bagian yang padat saja.

Alat yang selama ini digunakan untuk pengukuran kerapatan tanah adalah penetrometer. Prinsip kerja penetrometer dengan mengetahui tahanan penetrasi tanah. Pengukuran tahanan penetrasi tanah dengan penetrometer praktis dan mudah dilakukan untuk lahan sempit, namun tidak praktis untuk lahan luas, selain itu masih memiliki beberapa kelemahan lain. Nilai tahanan penetrasi tanah sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah (Baver, 1978). Selain itu, pengukuran menggunakan pnetrometer tidak dapat disertai dengan data-data sifat fisik tanah, sehingga diperlukan metode lain untuk melakukan pengukuran kerapatan tanah tersebut.

Kerapatan tanah suatu lahan dapat juga diketahui dengan menganalisa sifat resistansi listrik lahan tersebut. Nilai resistensi listrik tersebut diperoleh dengan cara menancapkan dua buah elektroda kedalam tanah. Penelitian yang diakukan oleh Nugraha (2004) dan Widianti (2005) menunjukkan bahwa kadar air yang semakin tinggi diikuti dengan semakin padatnya tanah, maka tegangan listriknya semakin besar dan berbanding terbalik dengan resistansinya. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa jarak penusukan antar elektroda juga mempengaruhi nilai resistansi. Jarak penusukan antar elektroda yang semakin jauh menyebabkan nilai resistansi besar dan tegangan kecil. Namun, cara ini belum mampu memberikan informasi letak lapisan padat tanah.

Gelombang akustik biasa digunakan untuk pendeteksian non-destruktif. Salah satu gelombang akustik yang biasa digunakan adalah gelombang audio. Gelombang audio merupakan gelombang yang berada pada rentang gelombang sonik dan gelombang ini dapat didengar langsung menggunakan indera pendengaran manusia. Gelombang suara merupakan gelombang mekanik yang perambatannya membutuhkan perantara karena gelombang ini tidak dapat merambat pada ruang hampa (Halliday dan Resnick, 1998 dalam Prasetyo, 2008). Medium perambatannya dapat berupa padat, cair, maupun gas, sehingga gelombang audio ini sangat memungkinkan untuk pendeteksian tanah yang bertujuan untuk penentuan nilai kerapatan tanah pada lahan. Selain itu, penggunaan gelombang audio ini dapat digunakan untuk menentukan letak lapisan padat tanah pada suatu lahan.

Penelitian kerapatan tanah menggunakan gelombang akustik sudah dilakukan oleh Deni (2007), Firmansyah (2007), Farizi (2007), dan Prasetyo (2008). Gelombang yang digunakan oleh masing-masing peneliti adalah gelombang akustik dengan frekuensi 10 kHz, 40 kHz, 50 kHz, dan 5 kHz. Penelitian tersebut dilakukan dengan pengamatan pada tiga perlakuan yaitu tebal lapisan olah, pemancar dan penerima yang menyudut, jarak horizontal pemancar dan penerima, dan jarak vertikal pemancar dan penerima. Penelitian tersebut menunjukkan terjadi penurunan amplitudo yang diterima dengan bartambahnya tebal lapisan olah, bertambahnya jarak pengukuran pada posisi horizontal, serta meningkatnya amplitudo yang diterima pada posisi vertikal dan posisi menyudut jika diikuti dengan meningkatnya kerapatan tanah.

(20)

3 Oscilloscope digunakan oleh peneliti terdahulu untuk memvisualisasikan hasil pengukuran. Namun, pengukuran belum dilakukan dengan variasi frekuensi pada posisi pemancar dan penerima yang dapat bergerak luas. Penelitian masih dilakukan dengan nilai-nilai dan posisi yang mewakili kondisi dilapangan, sehingga belum cukup untuk menjelaskan hubungan sifat gelombang terhadap tanah. Pengembangan dari penelitian sebelumnya dilakukan untuk memberikan hasil pengukuran yang lebih baik. Pengembangan dilakukan pada instrumen yang digunakan untuk pengukuran. Instrumen dibuat mampu bergerak luas dan perubahan frekuensi dapat dilakukan setiap saat. Frekuensi gelombang tidak statik, perbedaan ketebalan lapisan olah, serta posisi pengukuran bebas yang akan dilakukan pada penelitian ini diharapkan akan menjelaskan hubungan tersebut. Pengaruh perlakuan dilihat langsung pada monitor berupa amplitudo gelombang yang diterima.

Sensor dalam teknik pengukuran dan pengaturan secara elektronik berfungsi mengubah besaran fisik menjadi besaran listrik yang proposional (Herlambang, 2010). Sensor sering digunakan untuk pendeteksian saat melakukan pengukuran. Sharon, dkk (1982) dalam Rahmat (2008) mengatakan, sensor adalah suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau sinyal-sinyal yang berasal dari perubahan suatu energi seperti energi listrik, energi fisika, energi kimia, energi biologi, energi mekanik dan sebagainya. Berdasarkan keterangan tersebut, maka gelombang akustik dapat digunakan untuk menentukan kerapatan tanah, karena gelombang akustik merupakan gelombang mekanik dan besaran yang diukur adalah besaran fisik seperti panjang, waktu, dan lain-lain.

Besaran masukan pada kebanyakan sistem kendali adalah bukan besaran listrik, seperti besaran fisika, kimia, mekanis dan sebagainya. Besaran bukan listrik akan diubah terlebih dahulu menjadi suatu sinyal listrik melalui sebuah alat yang disebut transduser, sehingga dapat digunakan pada sistem pengukuran, atau sistem manipulasi atau sistem pengontrolan (Rahmat, 2008).

1.2 Ruang Lingkup

Penelitian dibatasi pada jenis tanah Latosol dengan dua variasi kerapatan tanah yaitu kerapatan tanah 1.0 gram/cm3 dipilih untuk mewakili kondisi tanah normal yang umumnya dijumpai pada lapisan atas (top soil), sedangkan kerapatan tanah 1.3 gram/cm3 dipilih untuk mewakili kondisi tanah yang mulai mengalami pemadatan, serta kadar air 30%.

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian adalah untuk menindaklanjuti penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, menentukan kedalaman lapisan padat tanah menggunakan gelombang akustik. Hasil pengukuran divisualisasikan menggunakan oscilloscope untuk melakukan pengolahan dan mempresentasikan hasil pengukuran. Hasil pengukuran ditunjukkan dengan keluaran berupa amplitudo pada berbagai tingkat frekuensi dan perlakuan tebal lapisan olah, serta posisi bebas rangkaian pemancar dan penerima. Penelitian dilakukan untuk skala laboratorium.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui amplitudo gelombang akustik yang diterima akibat pantulan ataupun rambatan oleh medium tanah dengan perlakuan tebal lapisan olah.

(21)

4

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gelombang

Halliday dan Resnick (1998), mendefinisikan gelombang sebagai sebuah gangguan periodik dalam suatu medium atau ruang. Gelombang dapat diartikan juga sebagai bentuk dari getaran yang merambat pada suatu medium. Dalam hal ini yang merambat adalah gelombangnya, bukan zat medium perantaranya. Arifin (2001) secara umum mendefinisikan gejala gelombang sebagai peristiwa perambatan energi dari satu tempat ketempat yang lain.

Secara umum gelombang diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu gelombang mekanik dan gelombang elektromagnetik. Gelombang mekanik memerlukan suatu medium untuk merambat sedangkan gelombang elektromagnetik tidak memerlukan medium untuk merambat (Trisnobudi, 2006). Persamaan gelombang mekanik dapat diturunkan dari persamaan gerak Newton, sedangkan persamaan gelombang elektromagnetik dapat diturunkan dari persamaan Maxwell (Trisnobudi, 2006). Contoh dari gelombang mekanik adalah gelombang pada tali dan gelombang akustik, sedangkan contoh dari gelombang elektromagnetik adalah gelombang radio dan gelombang cahaya.

Gelombang berdasarkan arah rambatannya dibagi menjadi gelombang transversal dan gelombang longitudinal. Gelombang dapat dikelompokkan menjadi gelombang trasnversal jika partikel-partikel mediumnya bergetar ke atas dan ke bawah dalam arah tegak lurus terhadap gerak gelombang, sedangkan dikatakan gelombang longitudinal jika arah getaran medium sejajar dengan arah rambat gelombang (Lohat, 2008).

2.2 Gelombang Akustik

Gelombang akustik adalah sebuah gangguan mekanika yang terkoordinasi yang melibatkan sejumlah banyak molekul, dimana molekul-molekul tersebut bergerak dan bertumbukan ketika sebuah gangguan gelombang datang dan melewatinya (Kane dan Sternheim, 1988).

Gelombang akustik dapat merambat baik dalam fluida maupun dalam padatan. Dalam fluida gelombang akustik merupakan gelombang longitudinal, sedangkan dalam padatan gelombang akustik dapat berupa gelombang longitudinal dan gelombang transversal (Trisnobudi, 2006). Sifat-sifat dari gelombang akustik bergantung pada sifat-sifat dari medium yang dilewatinya (Trisnobudi, 2006). Perambatan gelombang dari kedudukan awal kekedudukan lain yang masih berada pada arah perambatan gelombang ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Gelombang transversal (a), gelombang longitudinal (b), dan grafik yang menyatakan

(22)

5 Gelombang akustik bila dalam penjalarannya melewati suatu bidang batas (boundary) antara dua medium yang berbeda impedansi akustiknya maka akan terjadi peristiwa-peristiwa gelombang seperti pemantulan (refleksi), transmisi, dan pembiasan (refraksi) (Trisnobudi, 2006). Impedansi pada dasarnya adalah gabungan dari segala jenis hambatan pada sinyal langsung dari sebuah aliran listrik, seperti resistansi, reaktansi, kapasitansi dan seluruh faktor mekanikal yang menimbulkan hambatan dari transfer energi dalam sebuah sistem (Sari, 2009). Impedansi dipengaruhi oleh frekuensi sehingga sifatnya berubah-ubah (Sari, 2009). Makin besar impedansi akustiknya, makin besar pula amplitudo yang dipantulkan (Trisnobudi, 2006).

Kane dan Sternheim (1988) menjelaskan juga bahwa menurut frekuensinya, gelombang akustik dapat dikelompokan menjadi tiga jenis gelombang yaitu gelombang infrasonik, gelombang sonik, dan gelombang ultrasonik. Berikut dijelaskan mengenai ketiga jenis gelombang tersebut, antara lain:

1. Gelombang Infrasonik

Gelombang infrasonik dalah gelombang akustik yang mempunyai frekuensi sangat rendah sehingga tidak dapat didengar langsung oleh telinga manusia. Gelombang infrasonik memiliki batasan frekuensi kurang dari 20 Hz. Contoh gelombang infrasonik adalah suara ikan lumba-lumba.

2. Gelombang Sonik

Gelombang sonik merupakan gelombang audio yang dapat didengar langsung oleh indera pendengaran manusia (audible range). Frekwensi gelombang ini berada pada rentang antara 20 Hz sampai dengan 20 000 Hz. Contoh gelombang sonik adalah suara manusia.

3. Gelombang Ultrasonik

Gelombang ultrasonik adalah gelombang akustik yang mempunyai frekuensi diatas 20 000 Hz. Gelombang ini tidak dapat didengar langsung oleh telinga manusia. Contoh gelombang ultrasonik adalah suara kelelawar.

Gelombang ultrasonik sudah banyak digunakan pada berbagai peralatan, baik peralatan medis untuk pendeteksian bagian dalam tubuh, maupun peralatan tambahan pada alat transportasi, baik transportasi darat, air, maupun udara. Peralatan medis misalnya, digunakan alat ultrasonografi (USG) untuk pendeteksian kehamilan. Penggunaan gelombang ultrasonik pada alat transportasi juga banyak digunakan, pada transportasi darat gelombang ultrasonik banyak digunakan sebagai alat pendeteksi jarak, pada alat transportasi laut gelombang ultrasonik banyak digunakan untuk pendeteksian lingkungan sekitar yang dilalui, dan pada alat transportasi udara gelombang ultrasonik banyak digunakan untuk pendeteksian ketinggian terbang. Prinsip yang digunakan pada peralatan tersebut adalah sama yaitu dengan membangkitkan gelombang ultrasonik oleh audio generator dan memancarkannya ke obyek lewat transducer kemudian menunggu kapan gelombang tersebut diterima oleh receiver. Gelombang yang diterima dikuatkan kembali lewat rangkaian op-amp kemudian diteruskan ke oscilloscope agar nilainya bisa diamati pada LCD.

Menurut Halliday dan Resnick (1998) dalam Deni (2007), gelombang bunyi adalah gelombang mekanis longitudinal. Bunyi terjadi karena adanya kompresi dan penipisan udara disekitarnya secara bergantian. Gelombang bunyi memerlukan media perantara untuk perambatannya. Media perantara yang digunakan untuk perambatan galombang tersebut dapat berupa media padat, cair maupun gas. Pertikel-partikel media yang mentransmisikan sebuah gelombang seperti itu berosilasi di dalam arah penjalaran gelombang itu sendiri. Penjalaran pada suatu media elastis terjadi karena adanya pergeseran dari suatu bagian media elastis dari kedudukan normalnya. Suatu gelombang mekanis

(23)

6 dicirikan oleh pengangkutan tenaga melalui materi gerak oleh gerak gangguan di dalam materi tersebut tanpa suatu gerak menggumpal yang bersangkutan dari materi itu sendiri.

Menurut Kane dan Sternheim (1988), biasanya bila sebuah gelombang melewati bidang batas (boundary), yakni suatu titik dimana media itu berubah, maka sebagian gelombang itu akan direfleksikan dan sebagian lagi akan diserap atau ditransmisikan. Gelombang yang ditransmisikan pada suatu medium akan mengalami pengurangan amplitudo dan intensitas yang menunjukan adanya pengurangan energi gelombang tersebut. Pengurangan amplitudo dapat disebabkan karena adanya hambatan udara, perbedaan viskositas, atau gesekan (internal friction). Jika hal tersebut terjadi maka gelombang tersebut dapat dikatakan diatenuasi (Halliday dan Resnick, 1998).

Analisis gelombang audio dilakukan dengan cara mentransmisikan gelombang pada suatu obyek dan mendeteksi gelombang pantulan dari obyek atau mendeteksi gelombang yang ditransmisikan oleh obyek tersebut. Pengukuran amplitudo gelombang audio pada alat peraga dilakukan dengan cara mengukur besarnya simpangan terjauh gelombang dari sumbu kesetimbangan. Nilai amplitudo pengukuran akan memiliki satuan besaran listrik, yaitu milivolt (mV). Perubahan besaran fisik menjadi besaran listrik dilakukan oleh receiver yang berperan sebagai sensor penerima. Perubahan-perubahan pada amplitudo gelombang audio yang terukur pada alat peraga digunakan untuk menganalisis tipe obyek yang ada.

2.3 Kebisingan

Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak kesehatan, saat ini kebisingan merupakan salah satu penyebab “penyakit lingkungan” yang penting (Slamet, 2006). Sedangkan kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau aktifitas-aktifitas alam (Schilling, 1981). Pengertian yang sama juga dikatakan oleh Daud dan Anwar (2002), yang mendefinisikan bising sebagai bunyi yang tidak dikehendaki (unwanted sound) dan terdiri dari campuran sejumlah gelombang sederhana dari beraneka frekuensi. Di bidang elektronik, fisiologi persarafan dan teori komunikasi bising bermakna sebagai tanda-tanda tidak dikenal yang intensitasnya selalu berubah-ubah sepanjang waktu. Perkataan bising dipakai juga dalam bidang suara, tetapi di sini diartikan sebagai sebuah energi akustik pendengaran yang pengaruhnya merugikan secara fisiologi atau psikologi bagi kesejahteraan masyarakat. Anies (2005) menambahkan bahwa semakin tinggi intensitas kebisingan, maka potensi untuk menimbulkan berbagai gangguan semakin besar. Ini sesuai dengan definisi bising yang umum menurut Kryter (1985) yaitu suara yang tidak diinginkan.

Suma’mur (1993) mengemukakan menurut jenisnya kebisingan dibedakan sebagai berikut: 1. Kebisingan kontinyu yaitu kebisingan dengan spektrum berfrekuensi luas misal: suara yang

timbul oleh kompresor, kipas angin, dapur pijar serta spektrum yang berfrekuensi sempit contoh: suara gergaji sirkuler, katup gas.

2. Kebisingan terputus-putus misal suara lalu lintas, suara pesawat udara yang tinggal landas. 3. Kebisingan implulsif (impulsive noise) seperti: pukulan martil, tembakan senapan, ledakan

meriam dan lain-lain.

Buchari (2007) mengemukakan bising berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia dapat dibagi atas:

1. Bising yang mengganggu (irritating noise) yaitu bising yang tidak terlalu keras.

2. Bising yang menutupi (masking noise) yaitu bunyi yang menutupi suara. Suara lain akan tenggelam dalam bising.

3. Bising yang merusak (damaging/injurious noise) yaitu bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas pendengaran.

(24)

7 Sound level meter adalah alat yang biasa digunakan untuk mengetahui intensitas bising. Sound level meter bekerja sama seperti alat penguat suara. Mekanisme kerja Sound level meter apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk. Sound Level Meter dapat mengukur intensitas kebisingan antara 40-130 dBA pada frekuensi 20 – 20.000 Hz. Pada waktu pengukuran Sound Level Meter di pasang setinggi telinga.

Pengendalian kebisingan merujuk pada penataan bunyi menurut Satwiko (2004) akan melibatkan empat elemen yaitu sumber suara (sound source), media, penerima bunyi (receiver), dan gelombang bunyi. Menurut Egan (1988) dalam Setiawan (2009) pengurangan kebisingan dapat dilakukan pada tiga aspek yaitu sumber (source), media (sound path), dan penerima (receiver).

2.4 Alat Ukur Elektronik

Elektronika adalah cabang dari ilmu fisika yang mempelajari pengendalian elektron dan pengaturan arus listrik maupun tegangan listrik pada suatu rangkaian (Harry Garlans, 1991 dalam Deni, 2007) atau elektronika adalah cabang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempelajari teori dan penggunaan kelas peralatan dimana penyaluran elektron terjadi lewat hampa, gas, atau semikonduktor (Chattopadhyay, 1984 diterjemahkan Sutanto, 1989). Cabang elektronika yang berhubungan dengan aliran elektron dalam hampa, gas, atau benda padat dinamakan elektronika fisika (Chattopadhyay, 1984 diterjemahkan Sutanto, 1989). Sebaliknya, cabang elektronika yang berkaitan dengan perencanaan, pengembangan, dan penggunaan peralatan elektronika dinamakn teknik elektronika (Chattopadhyay, 1984 diterjemahkan Sutanto, 1989). Menurut Srivastava (1987), alat ukur elektronik harus mampu memberikan hubungan antara besaran secara fisis. Pada dasarnya alat ukur elektronik terdiri dari 3 bagian utama yaitu sistem pengindera, sistem penguat dan sistem peraga. Skema rangkaian secara sederhana digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram blok alat ukur elektronik (Hamonangan, 2008 dalam Prasetyo, 2008)

1.

Sistem Pengindera

Sistem pengindera merupakan bagian awal yang mendeteksi perubahan fisik dari suatu objek. Pada rangkaian elektronik sistem pengindera digunakan untuk mengubah besaran fisis menjadi besaran listrik. Besaran fisis yang diukur pada penelitian seperti suhu, cahaya, massa benda dan sebagainya merupakan fenomena alam yang tidak berupa sinyal listrik. Untuk menerapkan metode dan teknik pengukuran elektronika maka fenomena tersebut harus diubah menjadi sinyal listrik terlebih dahulu dengan bantuan sistem pengindera.

Unsur pengindera primer merupakan unsur pertama yang mendeteksi karakterik dari obyek yang diukur dan menghasilkan keluaran-keluaran berupa besaran listrik dalam batas-batas tertentu (Srivastava, 1987). Unsur pengindera primer dapat berupa transduser. Transduser adalah komponen elektronika yang bertugas mengubah besaran non-elektrik menjadi besaran elektrik dan begitu juga sebaliknya (Pratomo, 2004 dalam Deni, 2007). Kelompok dari transduser adalah sensor. Sensor berfungsi untuk mengubah besaran non-elektrik menjadi besaran elektrik, misalnya sensor suhu yang mengubah besaran suhu (fisik) menjadi besaran tegangan atau kuat arus (elektrik).

(25)

8 Sensor adalah jenis tranduser yang digunakan untuk mengubah besaran mekanis, magnetis, panas, sinar, dan kimia menjadi tegangan dan arus listrik, sedangkan transduser adalah sebuah alat yang bila digerakan oleh suatu energi di dalam sebuah sistem transmisi, akan menyalurkan energi tersebut dalam bentuk yang sama atau dalam bentuk yang berlainan kesistem transmisi berikutnya. Transmisi energi ini bisa berupa listrik, mekanik, kimia, optik (radiasi) atau termal (panas) (William, 1993 dalam Rahmat, 2008). Dalam kaitannya dengan sistem elektronik, Sensor dan transduser pada dasarnya dapat dipandang sebagai sebuah perangkat atau device yang berfungsi mengubah suatu besaran fisik menjadi besaran listrik, sehingga keluarannya dapat diolah dengan rangkaian listrik atau sistem digital (Setiawan, 2009).

Bentuk dari sistem pengindera yang banyak digunakan adalah rangkaian pembagi tegangan. Adapun gambar dari rangkaian pembagi tegangan dapat dilihat pada Gambar 3 (resistor tersusun seri):

Gambar 3. Rangkaian pembagi tegangan (Blocher, 2004 dalam Prasetyo, 2008)

Persamaan 1 digunakan untuk menghitung besarnya tegangan pada titik output, dimana tegangan pada titik output itu sendiri bergantung pada nilai resistor yang digunakan. Persamaan 1 adalah sebagai berikut:

Vin

R

R

R

Vout

2

1

2

...(1)

Dimana Vin adalah tegangan sumber, Vout adalah tegangan keluar, dan R adalah resistor yang digunakan. Karena nilai dari tegangan sumber yang diberikan adalah tetap sehingga nilai dari tegangan keluar bergantung pada resistor yang digunakan.

2.

Sistem Penguat

Sistem penguat pada peralatan elektronika berfungsi untuk menguatkan perubahan dari besaran yang diterima sehingga perubahan yang kecil sekalipun dapat di ukur dengan lebih teilti. Penguat yang operatif memilik dua jalan masuk (input). Satu jalan diberi tanda (+) dan disebut jalan masuk penguat non inversi (non inverting) dan satu jalan yang lain ditandai (-) disebut jalan masuk penguat inversi (inverting) (Putra, 2002 dalam Deni, 2007).

Operational Amplifier, sering disingkat dengan sebutan Op-Amp, merupakan komponen yang penting dan banyak digunakan dalam rangkaian elektronik berdaya rendah (low power). Istilah operational merujuk pada kegunaan op-amp pada rangkaian elektronik yang memberikan operasi aritmatik pada tegangan input (atau arus input) yang diberikan pada rangkaian. Op-amp digambarkan secara skematik seperti Gambar 4.

(26)

9

Gambar 4. Skema rangkaian op-amp

Penguat inversi sinyal masuk dibuat melaui input inverting, sedangkan pada penguat non-inversi sinyal masuk dibuat melalui input non-inverting.. Fase keluaran dari penguat non-inversi akan selalu berbalikan dengan sinyal input. Dengan demikian tegangan keluaran rangkaian ini akan satu fasa dengan tegangan input.

Penguat op-amp merupakan penguat difrensial dengan penguatan tak hingga. Penguat difrensial mempunyai dua masukan, voltase keluaran tergantung dari perbedaan potensial antara kedua masukannya (Blocher, 2004 dalam Prasetyo, 2008). Op-amp pada hakekatnya adalah sebuah IC yang didalamnya terdapat rangkaian elektronik terdiri atas beberapa resistor, transistor, dan dioda. Jika IC dirangkaikan dengan rangkaian masukan dan rangkaian umpan balik, maka IC dapat dipergunakan untuk mengerjakan berbagai operasi misalnya penguat audio, penguat nada, oscillator, pembangkit gelombang, dan cirkuit. Penguat selisih yang sering digunakan ditunjukkan dalam bentuk rangkaian penguat selisih seperti Gambar 5 dan penguatannya dapat diselesaikan dengan Persamaan 2.

Gambar 5. Rangkaian penguat selisih (Blocher, 2004 dalam Prasetyo, 2008)





1

1

1

2

1

1

1

2

2

2

R

Rf

Vin

Vin

R

Rf

R

R

Rf

Rf

Vout

...(2)

Penggunaan penguat selisih bertujuan untuk mendapatkan selisih dari penguatan inverting dan non-inverting, dengan cara memperbesar frekuensi masuk (Vin) sehingga keluaran (Vout) frekuensi dapat langsung divisualisasikan oleh sistem peraga. Frekuensi yang masuk ke sistem peraga tidak semuanya berfrekuensi tinggi, sehingga kapasitor non-polar perlu digunakan untuk memfilter frekuensi rendah dari masukan (Vin). Dengan demikian akan diperoleh frekuensi tinggi seragam.

(27)

10 Penguat selisih dibangun menggunakan sebuah IC (Integrated Circuit) dan komponen-komponen eksternal lainnya. IC 741 digunakan pada penelitian karena memiliki dua buah op-amp didalamnya. Konfigurasi IC 741 ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Konfigurasi IC - 741 (Thomas S, 2002: 101 dalam Zamroni, 2005)

Konfigurasi kaki-kaki IC 741 yaitu input membalik (–in) (inverting), input tak membalik (+in) (non inverting), satu terminal output, kaki pencatu daya positif, kaki pencatu daya negatif, dua kaki ground (null), dan kaki tak terhubung. Seperti terlihat pada Gambar 6 yaitu dua kaki ground terhubung dengan ground pencatu daya, kaki inverting terhubung dengan speaker penerima, kaki non-inverting terhubung dengan audio generator, kaki tegangan positif terhubung dengan tegangan positif pencatu daya, kaki tegangan negatif terhubung dengan tegangan negatif pencatu daya, satu buah kaki tidak terhubung, dan kaki output terhubung dengan hardware ADC. Tegangan positif V+ merupakan tegangan positif terhadap ground dan tegangan negatif V– adalah tegangan lebih negatif terhadap ground. Karena isyarat keluaran bisa berharga positif dan negatif maka Op-Amp memerlukan catu daya dengan dua polaritas yang sama besar dan simetrik terhadap ground (Zamroni, 2005). Besar catu daya yang akan diberikan pada rangkaian adalah 12 volt. Vout merupakan keluaran dari sistem penguatan yang akan diteruskan kesistem peraga.

Masukan Op-Amp yang berlabel inverting (–) dan non inverting (+) merupakan masukan bedaan (difference input). Umumnya sinyal masukan diberikan ke salah satu masukan. Adapun masukan yang lain digunakan untuk mengendalikan karakteristik komponen. Penguatan antara keluaran dan masukan inverting adalah negatif (membalik polaritas) sedangkan penguatan antara keluaran dan masukan non inverting adalah positif (tak membalik polaritas) (Zamroni, 2005).

Pin offset null digunakan untuk menghilangkan tegangan ingsutan (offset) ke keluaran akibat ketidak sepadanan transistor pada penguat keadaan masukan. Dengan menghubungkan kedua pin null ke ujung potensiometer, sementara lengan potensiometer yang lain dihubungkan ke catu V– diatur untuk menghilangkan tegangan ingsutan tersebut (Thomas S, 2002: 101 dalam Zamroni, 2005).

3.

Sistem Peraga

Sistem peraga digunakan untuk memvisualisasikan besaran hasil pengukuran. Sistem peraga diperlukan untuk membantu pengguna mengetahui nilai dari suatu besaran yang diukur. Beberapa besaran listrik seperti arus dan tegangan dapat langsung dirasakan oleh sistem indera manusia namun, belum bisa diketahui pasti nilainya. Hasil pengukuran besaran listrik harus divisualisasikan dengan baik agar dimengerti oleh pengguna, sehingga dibutuhkan sistem peraga untuk membantu hal tersebut. Jika tidak menggunakan alat bantu berupa sistem peraga, maka akan sulit diperoleh data akurat untuk

(28)

11 Batu-batuan dan

mineral-mineral

Bahan induk Profil tanah

bisa dibuktikan. Sistem peraga yang saat ini banyak digunakan untuk menunjukan hasil pengukuran adalah menggunakan sistem analog yang umumnya menggunakan pergerakan jarum penunjuk ataupun dengan suatu sistem digital yang dapat memberikan keluaran berupa besaran angka dan huruf. Oscilloscope merupakan instrumen sistem peraga yang juga dapat digunakan untuk memvisualisasikan besaran listrik seperti arus, tegangan, daya maupun yang lainnya, sehingga dapat dimengerti oleh indera manusia. Oscilloscope digunakan untuk mengamati bentuk gelombang dan melakukan pengukuran secara visual. Adapun prinsip kerja oscilloscope adalah elektron dipancarkan dalam berkas elektron berkecepatan tinggi. Berkas elektron tersebut bergerak lewat ruang hampa dari tabung dan membentur layar pendar (flourensen), sehingga titik cahaya timbul di tempat pada layar dimana elektron membentur. Lintasan berkas elektron tersebut dapat dibelokkan oleh tegangan yang diberikan. Biasanya sinyal yang di pantau membelokkan titik menurut arah vertikal dilayar dan tegangan lain yang sebanding dengan waktu membelokkan titik secara horizontal. Akibatnya peragaan visual dari sinyal dapat dimungkinkan (Srivastava, 1987).

2.5 Software (Perangkat lunak)

Perangkat lunak adalah istilah umum untuk data yang diformat dan disimpan secara digital, termasuk program komputer, dokumentasinya, dan berbagai informasi yang bisa dibaca dan ditulis oleh komputer. Dengan kata lain, bagian sistem komputer yang tidak berwujud (wikipedia.org, 2011). Perangkat lunak digunakan untuk membantu pengolahan data. Pengolahan data dapat dilakukan menggunakan beberapa software aplikasi, sehingga diharapkan dapat memberikan hasil lebih baik.

2.6 Tanah

Tanah merupakan sistem tiga fase yang mengandung air, udara, bahan-bahan mineral dan organik serta jasad-jasad hidup, yang karena pengaruh berbagai faktor lingkungan terhadap permukaan bumi dan kurun waktu, membentuk berbagai hasil perubahan yang memiliki ciri-ciri morfologi yang khas, sehingga berperan sebagai tempat tumbuh bermacam-macam tanaman (Schoeder, 1972 dalam Hakim dkk, 1986). Dalam bidang pertanian, tanah diartikan sebagai media tumbuh bagi tanaman darat (Sarwono dkk, 1987).

Tanah yang terbentuk dipermukaan bumi secara langsung ataupun tidak, berkembang dari bahan mineral dari batu-batuan (Hakim, 1986). Melalui proses pelapukan, baik secara fisis maupun kimia dibantu oleh pengaruh atmosfer, maka batu-batuan berdisintegrasi dan terdisintegrasi menghasilkan bahan induk lepas, dan selanjutnya dibawah pengaruh proses-proses podogenik berkembang menjadi tanah (Hakim, 1986). Proses pembentukan tanah dibawah kondisi tropis dimana suhu tinggi dan curah hujan besar, berlangsung cepat dan berbeda dengan pembentukan tanah didaerah temperate (Hakim, 1986). Proses pembentukan tanah dari batu-batuan dapat diringkas seperti pada Gambar 7.

Pelapukan Ganesa tanah

Gambar 7. Pembentukan tanah dari batu-batuan

Jika hasil pelapukan masih berada di tempat asalnya, maka tanah ini disebut tanah residual (residual soil) dan apabila telah berpindah tempatnya, disebut tanah terangkut (transported soil) (Hardiyatmo, 1955 dalam Prasetyo, 2008).

(29)

12 Latosol merupakan salah satu jenis tanah. Tanah ini terdapat hampir diberbagai tampat dan merupakan contoh tanah yang sudah terganggu. Tanah jenis latosol berada pada ketebalan antara 130 mm sampai dengan 500 mm, batas horizon jelas, warna merah, coklat sampai kuning, pH tanah 4.5 – 6.5 dengan tekstur tanah liat dan struktur renah, daya menahan air cukup baik dan cukup baik menahan erosi (Administrator, 2010).

Menurut Braja (1986) dalam Prasetyo (2008) tanah jenis latosol terbentang luas disekitar garis khatulistiwa. Tanah jenis ini berwarna merah (sebagai cirinya) yang disebabkan oksidasi dan besi yang ada. Tanah jenis latosol mempunyai sifat fisik yang baik (struktur) tetapi berkemampuan rendah untuk menahan kation (sangat mirip dengan tanah berpasir) dan membutuhkan pemberian pupuk yang agak sering.

Tanah memiliki berbagai macam sifat yang sangat berhubungan dengan kondisi tanah yaitu: sifat fisik, mekanik, dan kimia. Sifat fisik tanah merupakan sifat yang paling mudah diamati dan dari sifat ini sebagian besar kondisi tanah sudah dapat diketahui. Sifat fisik tanah yang penting untuk diketahui adalah tekstur, struktur, konsistensi, densitas, serta permeabilitas tanah. Masing-masing sifat fisik tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Tekstur Tanah

Tekstur tanah dalam pengertian umum adalah keadaan permukaan tanah yang bersangkutan (Das, 1993 dalam Deni, 2007). Tekstur tanah tertuju pada besarnya butir-butir mineral, terutama pada perbandingan relatif berbagai golongan dari tanah tertentu (Buckman, 1982 dalam Prasetyo, 2008).

Menurut Kalsim dan Asep (1993) dalam Prasetyo (2008), analisa tekstur tanah dapat dilakukan dengan granulometri. Suatu contoh tanah yang dikeringkan, secara hati-hati dihaluskan dan dipisahkan ke dalam grup ukuran melalui ayakan bertingkat sampai diameter terkecil 50 m. Kelompok partikel tanah yang tertinggal pada masing-masing ayakan disebut fraksi tanah.

2. Struktur Tanah

Struktur tanah adalah permasalahan yang ditimbulkan oleh susunan butir-butir tanah dalam berbagai golongan dan agregat (Buckman, 1982 dalam Prasetyo, 2008). Struktur tanah dapat menentukan sifat aerasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air serta sifat-sifat mekanik dari tanah (Kalsim dan Asep, 1993 dalam Prasetyo, 2008).

3. Konsistensi Tanah

Konsistensi tanah dipandang sebagai kombinasi sifat yang dipengaruhi oleh kekuatan mengikat antara butir-butir tanah. Konsistensi tanah ialah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan fisik tanah dengan kandungan air yang berbeda-beda seperti yang diperlihatkan oleh reaksi tanah atas tekanan-tekanan mekanik (Buckman, 1982 dalam Prasetyo, 2008).

Batas-batas yang sering digunakan untuk menggambarkan konsistensi tanah adalah batas cair, batas plastis dan batas melekat. Batas cair adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis. Batas plastis adalah kadar air pada batas bawah daerah plastis. Sedangkan batas melekat adalah kadar air dimana massa tanah mulai tidak melekat pada benda-benda yang mengenainya (Braja, 1986 dalam Prasetyo, 2008).

4. Densitas Tanah

Densitas tanah (bulk density) adalah total massa tanah dibagi dengan volume tanah (Vt). Namun, total massa akan sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang masih terkandung di dalam tanah, sehingga tanah tersebut perlu dikeringkan terlebih dahulu. Tanah yang telah dikeringkan disebut

(30)

13 dengan massa tanah kering. Pengeringan tanah dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 105 ˚C selama 24 jam. Selanjutnya, dari massa tanah kering yang diperoleh dapat ditentukan nilai kerapatan tanah kering (Db) dengan cara membagi massa tanah kering (Ms) tersebut terhadap volumenya. Persamaan yang menggambarkan hal tersebut ditunjukkan pada Persamaan 3.

Db = Ms / Vt ... (3)

Nilai Db bervariasi dari 1000 sampai 1800 kg/m3. Bulk density akan semakin rendah apabila partikel tanah semakin halus atau kandungan bahan organik tanah semakin tinggi.

5. Permeabilitas Tanah

Permeabilitas tanah adalah kecepatan air menembus tanah pada periode tertentu. Besarnya permeabilitas tanah ditentukan oleh koefisien permeabilitas yang mempunyai satuan yang sama dengan satuan kecepatan yaitu m/s. Koefisien permeabilitas terutama tergantung pada ukuran rata-rata pori yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur tanah. Secara garis besar makin kecil ukuran partikel, makin kecil pula ukuran pori dan makin rendah koefisien permeabilitasnya (Craig, 1991 dalam Deni, 2007).

2.7 Pemadatan Tanah

Pemadatan (compaction) adalah proses naiknya kerapatan tanah dengan memperkecil jarak antar partikel sehingga terjadi reduksi volume udara tetapi tidak terjadi perubahan volume air yang cukup berarti pada tanah ini (Craig, 1991 dalam Deni, 2007). Pemadatan tanah dapat diberi batasan sebagai perubahan volume karena tanah diberi tekanan (Islami dan Utomo, 1995 dalam Prasetyo, 2008). Lumintang dan Imam (1982) dalam Prasetyo (2008) mengemukakan bahwa tanah yang mendapat tekanan di atasnya akan mengalami perubahan volume. Tekanan ini dapat bersifat mekanis (mechanical sources) dan alam (natural sources).

Menurut Islami dan Utomo (1995) dalam Deni (2007), aerasi tanah (kandungan O2 dan CO2 di

dalam tanah) sangat mempengaruhi sistem perakaran suatu tanaman. Aerasi sangat berhubungan dengan bobot volume tanah yang sering digunakan sebagai petunjuk kepadatan tanah. Pada suatu tanah padat kerusakan atau kematian akar disebabkan oleh berkurangnya atau tidak adanya oksigen atau bahkan mungkin disebabkan oleh akumulasi karbondioksida.

Pemadatan merupakan salah satu hambatan mekanis yang diberikan tanah yang dapat mempengaruhi sistem perakaran. Perkembangan akar akan terhambat dengan semakin meningkatnya hambatan mekanis atau kepadatan tanah. Jika akar tanaman yang sedang tumbuh menjumpai media padat berpori yang diameternya lebih kecil dari diameter akar, pertumbuhannya akan tetap berlanjut jika akar tamanan mempunyai tekanan untuk memperbesar ruang pori. Pada pihak lain, tekanan tumbuh akan mempunyai nilai maksimum tertentu yang tidak lagi dapat diperbesar. Dengan demikian jika rintangan mekanik yang terdapat pada media tersebut lebih besar dari tekanan tumbuh maksimum akar maka pertumbuhan tanaman akan terhenti (Islami dan Utomo, 1995 dalam Prasetyo, 2008).

2.8 Pengukuran Kepadatan Tanah

Kepadatan tanah dapat diukur dengan beberapa cara yaitu metode densitas tanah (bulk density) dan metode tahanan penetrasi (penetrometer resistance). Kedua metode ini dijelaskan sebagai berikut:

Gambar

Gambar 9.  Grafik hubungan tegangan output dengan jarak antar elektroda dan kedalaman penusukan  elektroda (sumber: Ridwan, 2005)
Gambar  11.  Grafik  hubungan  jarak  antar  speaker  terhadap  amplitudo  diterima  pada  perlakuan  horizontal (sumber: Deni, 2007)
Gambar  12.  Grafik  hubungan  jarak  antar  speaker  terhadap  amplitudo  diterima  pada  perlakuan  vertikal (sumber: Deni, 2007)
Gambar 14. Grafik hubungan tebal lapisan olah tanah terhadap penerimaan amplitudo pada perlakuan  lapisan olah (sumber: Deni, 2007)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Oleh karena itu, untuk mengimbangi tingkat risiko yang tinggi, maka pihak manajemen akan melakukan perataan laba agar dapat menarik minat investor untuk berinvestasi,

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik peserta didik yang lebih baik antara yang pembelajarannya

Pada perancangan Hotel Resort The Sanchaya ini, tema yang diambil ialah ‘reflecting the region’s art’, yang bertujuan memperkenalkan kebudayaan Bintan, Riau dalam

(1) Permohonan Izin Usaha Pariwisata dan Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diajukan kepada Bupati melalui Kepala Kantor dengan menggunakan format

Berdasarkan uraian diatas, akan dilakukan perancangan dan simulasi reaktor tangki alir berpengaduk atau juga sering disebut CSTR pada kondisi non adiabatis untuk reaksi

Sedangkan harga kayu bulat diduga memiliki hubungan negatif dengan produksi kayu lapis, karena semakin tinggi harga bahan baku akan menyebabkan produksi kayu

Dari 8 indikator kinerja sasaran strategis perspektif stakeholder terdapat 4 indikator yang tercapai, yaitu: kontribusi ekspor produk industri alat transportasi darat

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “ANALISIS MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI