• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional di Indonesia mempunyai beban ganda karena penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian besar, disamping itu terjadinya peningkatan penyakit tidak menular. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah rabies (Depkes RI, 2003).

Salah satu tujuan khusus dari program upaya kesehatan tercantum dalam program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 adalah mencegah terjadinya dan tersebarnya penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, menurunnya angka kesakitan, angka kematian dan angka kecacatan, untuk itu telah disusun pokok-pokok program pembangunan kesehatan yang mencakup program pemberantasan penyakit menular (P2M) (Depkes RI, 2002).

Pelaksanaan program P2M meliputi berbagai kegiatan yang salah satunya adalah program pemberantasan penyakit gigitan hewan, yang ditujukan pada kelompok masyarakat dalam bentuk upaya penanggulangan rabies. Pemilihan kelompok ini sebagai target populasi didasarkan pada kenyataan bahwa angka

(2)

morbiditas dan mortalitas penyakit rabies pada masyarakat di Indonesia (Depkes RI, 2002).

Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan suatu penyakit infeksi pada hewan yang bersifat akut dan dapat ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis). Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan dan manusia selalu diakhiri dengan kematian dengan (CFR 100%), sehingga menimbulkan rasa cemas dan takut bagi orang yang terkena gigitan serta kekuatiran bagi masyarakat (Departemen Pertanian RI, 2006).

Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan penularannya kepada manusia dapat terjadi melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) terutama anjing, kucing dan kera. Timbulnya penyakit ini pada manusia dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR) setelah digigit hewan yang menderita rabies (Soeharsono, 2008).

Menurut laporan WHO (2005), penyakit rabies dapat timbul akibat kelalaian manusia “neglected disease” karena penyakit ini sebenarnya dapat dicegah sebelum muncul. Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan perkiraan 55.000 kematian per tahun, hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Jumlah yang terbanyak dijumpai di Asia (56%) dan Afrika (44%). Diperkirakan 30% – 50% proporsi dari kematian yang dilaporkan terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun (WHO, 2006).

Berdasarkan laporan WHO (2005), South East Asia Regional Office (SEARO) mempunyai beban kerja yang besar karena sekitar 25.000 kematian terjadi pada

(3)

manusia setiap tahun akibat rabies dengan jumlah terbesar terdapat di India yaitu sekitar 19.000 jiwa dan Banglades sekitar 2000 jiwa. Myanmar, Nepal, Indonesia, Srilanka dan Thailand, melaporkan sedikitnya terjadi 100 kematian manusia akibat rabies setiap tahun. Berdasarkan laporan OIE (Organization International des

Epizooties), di negara berkembang penyakit rabies merupakan urutan nomor 2 (dua)

yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria ( Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2007 ).

Menurut laporan Sub Direktorat Zoonosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), jumlah kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2005 terus mengalami kenaikan, dilaporkan pada tahun 2001 terdapat 11.942 kasus gigitan dengan 68 kasus rabies pada manusia (5,7 per 1000 kasus gigitan), tahun 2002 dilaporkan 13.805 kasus gigitan dengan 84 kasus rabies pada manusia (6,1 per 1000 kasus gigitan), tahun 2003 terdapat 14.875 kasus gigitan dan 84 kasus rabies pada manusia (5,6 per 1000 kasus gigitan), tahun 2004 terdapat 14.996 kasus gigitan dan 109 kasus rabies pada manusia (7,3 per 1000 kasus gigitan), dan tahun 2005 sebanyak 16.619 kasus gigitan dengan 147 kasus rabies pada manusia (8,8 per 1000 kasus gigitan). Pada tahun 2006, Departemen Kesehatan (2007b) melaporkan kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 13.929 kasus dengan 106 kasus rabies pada manusia (7,6 per 1000 kasus gigitan). Kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dan lyssa cenderung meningkat di Indonesia. Tahun 2009 hingga 2010 terjadi peningkatan kasus GHPR sebesar 42,1%, yaitu dari 45.466

(4)

kasus menjadi 78.574 kasus. Jumlah kematian (lyssa) meningkat sebesar 5,3%, yaitu dari 195 kasus menjadi 206 kasus.

Pada tahun 2004 Propinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara masih merupakan daerah bebas rabies, tetapi pada awal tahun 2005 terjadi KLB rabies dikedua propinsi tersebut (Depkes RI, 2006). Pada tahun 2005, rabies tersebar di 17 propinsi di Indonesia dimana dilaporkan kasus rabies pada manusia (lyssa) dari Provinsi NAD sebanyak 2 kasus, Propinsi Sumatera Utara sebanyak 5 kasus, Propinsi Sumatera Barat 14 kasus, Propinsi Riau sebanyak 2 kasus, Propinsi Jambi sebanyak 3 kasus, Propinsi Bengkulu 6 kasus Propinsi Lampung sebanyak 9 kasus, Propinsi Kalimantan Barat 1 kasus, Propinsi Kalimantan Selatan 2 kasus, Propinsi Kalimantan Timur 3 kasus, Propinsi Sulawesi Utara sebanyak 30 kasus, Propinsi Gorontalo 3 kasus, Propinsi Sulawesi Selatan 18 kasus, Propinsi Sulawesi Tenggara 10 kasus, Propinsi Nusa Tenggara Timur 21 kasus, Propinsi Maluku sebanyak 15 kasus dan Propinsi Maluku Utara sebanyak 3 kasus (Depkes R.I, 2007). Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, jumlah kasus kematian manusia periode 1997 s/d 2005 di NTT akibat rabies sebanyak 135 orang, dengan kasus gigitan anjing mencapai 1.200 orang (Amalo, 2005).

Pemerintah Indonesia secara intensif tetap melakukan program pembebasan rabies secara bertahap. Program ini dimulai pada Pelita V (1989-1993) di Pulau Jawa dan Kalimantan, kemudian pada Pelita VI (1994-1998) diperluas ke semua pulau tertular yaitu Pulau Sumatera dan Sulawesi. Sehubungan dengan target Indonesia bebas rabies pada tahun 2005 tidak tercapai maka program pembebasan rabies ini

(5)

menjadi Program Nasional dan diharapkan pada akhir tahun 2012 kasus rabies dapat terkendali sampai nol kasus (Departemen Pertanian R.I, 2006).

Kasus GHPR di Propinsis Sumatera Utara tergolong tinggi yakni, pada tahun 2011 sebanyak 4.262 kasus, Lyssa (kasus kematian Rabies) sebanyak 31 (0,73%) dan status positip sebanyak 19 (0,45%) kasus. Dan pada akhir Agustus 2012, sebanyak 2.314 kasus GHPR dan Lyssa sebanyak 4 kasus (0,57%) (Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, 2012).

Propinsi Sumatera Utara sangat rawan dengan serangan penyakit rabies, hal ini disebabkan hewan penular rabies (HPR) pada jenis anjing diperkirakan ada berjumlah 190.042 ekor yang menyebar pada 33 kabupaten/kota. Tingginya populasi anjing di Propinsi Sumatera Utara disebabkan umumnya penduduk gemar memelihara anjing karena dapat dijadikan sebagai hewan peliharaan kesayangan, penjaga rumah, kebun/ladang dan ternak. Secara geografis, Propinsi Sumatera Utara letaknya berbatasan dengan beberapa propinsi lainnya secara langsung, sehingga penyebaran penyakit rabies dapat terjadi dalam waktu singkat (Dinas Peternakan Prop. Sumut, 2007).

Beberapa etnis di Propinsi Sumatera Utara memiliki kebiasaan memelihara anjing. Suku batak yang akrab dengan anjing bahkan ada sebagian yang memakan daging anjing, besar kemungkinan mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya. Pemeliharaan anjing dilakukan secara bebas, dibiarkan berkeliaran keluar masuk rumah, sehingga kemungkinan kontak dengan anjing lain sangat besar dan mempunyai kemungkinan tertular virus rabies (Nasution,1995).

(6)

Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah endemis rabies dan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara setiap tahun ada laporan kasus rabies baik pada hewan maupun manusia. Pada tahun 2009 dilaporkan jumlah kasus gigitan anjing adalah 2.634 kasus, 2.040 kasus (77,44%) diantaranya mendapatkan vaksin anti rabies (VAR) dan 7 kasus lyssa dan spesimen hewan positif 7 ekor. Pada tahun 2010 jumlah kasus gigitan anjing yang dilaporkan ada sebanyak 4.169 kasus, 3.072 kasus (73,68%) diantaranya mendapatkan vaksin anti rabies (VAR), sedangkan jumlah kasus lyssa sebanyak 36 kasus dan spesimen hewan positif 33 ekor. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2011) mencatat kasus gigitan anjing di Propinsi sumatera Utara sepanjang tahun 2010 mencapai 3.935 kasus, 2.774 kasus (70%) mendapatkan vaksin anti rabies (VAR), lyssa sebanyak 31 kasus dan spesimen hewan positif 19 ekor.

Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara, Pada tahun 2009 terdapat jumlah kasus gigitan anjing 132 kasus, 94 kasus (71,21%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, sedangkan jumlah kasus lyssa 1 orang. Tahun 2010 terdapat 260 kasus gigitan anjing tersangka rabies, 192 kasus (73,84%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, jumlah kasus lyssa sebanyak 1 orang dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 33 ekor. Tahun 2011 terdapat 327 kasus gigitan anjing tersangka rabies, 236 kasus (72,17%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat 1 kasus kematian pada manusia, dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 1 ekor. Sampai

(7)

dengan akhir tahun 2012, terdapat 225 kasus GHPR dan kasus Lyssa sebanyak 1 orang

Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara, dari 15 kecamatan yang ada, Kecamatan Tarutung merupakan kecamatan yang masih sering dijumpai kasus gigitan anjing dan adanya kasus kematian akibat rabies pada manusia. Pada tahun 2009 di Kecamatan Tarutung dilaporkan kasus gigitan anjing tersangka rabies 64 kasus, 55 kasus (85,93%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies. Pada tahun 2010 dilaporkan kasus gigitan anjing 93 kasus baru, 73 kasus (78%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, dan kasus lyssa sebanyak 1 orang. Pada tahun 2011 dilaporkan kasus gigitan anjing 97 kasus baru, 80 kasus (82%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat kasus Lyssa sebanyak 1 orang.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima orang pemilik anjing tersangka rabies yang menyebabkan kasus rabies pada manusia di Kecamatan Tarutung, diketahui bahwa kelima ekor anjing peliharaan tersebut tidak pernah mendapat vaksinasi anti rabies dan dibiarkan bebas berkeliaran. Satu kasus rabies pada manusia di gigit oleh anjing yang tidak bertuan atau tidak diketahui pemiliknya.

Menurut hasil penelitian Maroef, dkk (1994) di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang serta DKI Jakarta, diketahui perilaku masyarakat di desa memelihara anjingnya lebih banyak melepas anjing peliharaannya secara bebas (65,5%), dibandingkan dengan di kota (24,0%). Kebiasaan keluarga terutama di desa yang lebih banyak memelihara anjing secara bebas atau tidak diikat dan tidak divaksinasi akan merupakan kendala dari program pembebasan rabies. Perilaku masyarakat

(8)

pemilik hewan terutama pemilik anjing berperan dalam upaya pencegahan rabies karena salah satu kendala yang dihadapi untuk penanggulangan rabies adalah kurangnya kesadaran masyarakat, baik di pedesaan maupun kota besar untuk memelihara hewan sesuai dengan peraturan yang telah ada.

Menurut hasil penelitian Ganefa (2001) di Kota Administratip (Kotip) Cimahi, Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat, dikemukakan bahwa ketidakpatuhan pemilik anjing memberikan vaksinasi rabies pada anjingnya ada hubungannya dengan pendidikan, pengetahuan, sikap, sarana vaksinasi rabies, anjuran petugas, anjuran tokoh formal, dan keterpaparan terhadap media penyuluhan, serta tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin dan pekerjaan pemilik anjing. Dari penelitian yang dilakukan Simanjuntak (1991) di kota Bangkok diperoleh hasil yang menyatakan tidak ada hubungan antara, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan pemilik anjing dengan tindakannya dalam pemberian vaksinasi rabies. Menurut hasil penelitian Gunawardhani (2002) di Kotamadya Jakarta Selatan ada hubungan antara penghasilan, pendidikan, akses terhadap informasi, pengetahuan dan sikap pemilik anjing dengan perilakunya dan tidak ada hubungan antara pekerjaan pemilik anjing dengan perilakunya dalam upaya pengendalian penyakit rabies.

Berdasarkan hasil penelitian Sudardjat (2003) di Indonesia, anjing jalanan yang bebas berkeliaran merupakan penular utama rabies kepada manusia . Lebih dari 2,5 juta ekor anjing yang berada di wilayah tertular rabies, hampir keseluruhannya adalah merupakan anjing liar di jalanan (street dog). Lebih dari 90% kasus gigitan

(9)

anjing disebabkan oleh gigitan anjing liar. Anjing liar yang terdapat di Indonesia berpotensi sebagai reservoir rabies.

Hasil pengamatan peneliti di Kecamatan Tarutung dijumpai banyak anjing berkeliaran secara bebas. Pemilik anjing di Kecamatan Tarutung memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya. Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Pebruari tahun 2012, pada umumnya penduduk yang memelihara anjing rumahnya tidak memiliki pagar, sehingga anjing terbiasa berkeliaran bebas keluar dan masuk ke rumah pemiliknya serta tidak ada dijumpai anjing yang mempunyai penutup moncong (berangus). Menurut Kepala Bidang Peternakan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara, di Kabupaten Tapanuli Utara tidak dilakukan eliminasi terhadap anjing yang tidak berpemilik dan tidak dilakukan perdaftaran anjing oleh pemiliknya kepada Ketua RT maupun Lurah setempat.

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara, pada tahun 2011, jumlah populasi anjing di Kecamatan Tarutung sebanyak 1.552 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara). Penduduk di Kecamatan Tarutung yang mayoritas adalah suku Batak memiliki kegemaran untuk memelihara anjing, sehingga besar kemungkinan untuk mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya atau gigitan dari anjing yang diliarkan dan dibiarkan bebas berkeliaran. Dengan situasi masyarakat yang demikian maka lalu lintas anjing sangat sulit di awasi, sehingga memiliki risiko tertular rabies dari anjing yang menderita rabies.

(10)

Menurut Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara pelaksanaan sosialisasi rabies di Kecamatan Tarutung dilakukan bersamaan dengan penyuluhan program di bidang pertanian. Sosialisasi mengenai rabies pernah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan melalui media cetak berupa leaflet dan media elektronik melalui siaran radio lokal pada tahun 2011. Poster dan leaflet yang memuat informasi tentang rabies juga dibagikan ke Puskesmas untuk disosialisasikan kepada masyarakat.

Pelaksanaan vaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Tarutung dilakukan oleh petugas vaksinasi (vaksinator). Pelaksanaan vaksinasi massal dilakukan setahun sekali, jadwal pelaksanaan vaksinasi massal di desa dikoordinasikan oleh petugas peternakan dengan Kepala Desa/Lurah setempat dan melakukan kunjungan ke rumah pemilik anjing. Bagi anjing yang telah divaksinasi diberikan tanda vaksinasi berupa surat keterangan vaksinasi rabies kepada pemiliknya. Menurut informasi yang di dapat dari Petugas vaksinasi (vaksinator) masyarakat kurang respon terhadap pelaksanaan vaksinasi.

Berdasarkan kondisi di Kecamatan Tarutung tersebut dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di berbagai tempat di atas, maka penulis merasa tertarik dan ingin mengkaji lebih mendalam tentang faktor predisposing (sikap, pengetahuan), faktor enabling sumber informasi serta faktor reinforcing meliputi dukungan tokoh masyarakat dan dukungan petugas kesehatan terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara.

(11)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah bagaimana pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), enabling (sumber informasi) dan reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dukungan petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan),

enabling (sumber informasi) dan reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dukungan

petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.

1.4. Hipotesa Penelitian

Ada pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), enabling (sumber informasi), dan reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.

(12)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pembuat kebijakan dan pelaksana kegiatan yang mendukung program pembebasan rabies di Kabupaten Tapanuli Utara.

2. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang manajemen kesehatan khususnya kesehatan komunitas/epidemiologi.

3. Sebagai masukan untuk penelitian lanjutan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian berkaitan dengan penyakit rabies.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa pengertian perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat dilangsungkan

Banyaknya persamalahan pada tataran implementasi memberikan petunjuk kepada penulis bahwa ada beberapa hal yang menjadi faktor kendala dari penerapan kebijakan aplikasi

Namun hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Tanaka pada tahun 2011 dengan melihat beberapa parameter laboratorium pemeriksaan darah yaitu

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar,

Secara khusus yaitu: (1) Mengetahui penurunan persentase jumlah miskonsepsi siswa kelas VII SMP Negeri 8 Pontianak pada materi kecepatan setelah dilakukan

Kesadahan kalsium dan magnesium akan diperhitungkan dari Kesadahan kalsium dan magnesium akan diperhitungkan dari pemeriksaan kimia yang lengkap, namun demikian informasi

Sebagai pedoman dan arahan dalam proses pemilihan dan penentuan langkah yang diperlukan untuk mengembangkan teknologi yang akan diintegrasikan ke dalam produk dan

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan bentuk kwantitatif dan kwalitatif deskriptif (mixed methode). Penentuan subjek menggunakan teknik populasi