• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Perubahan Lingkungan dan Perubahan Penghidupan 2.1.1. Sosiologi Perubahan Sosial

Lingkungan yang dimaknai sebagai lingkungan bio-fisik dan lingkungan sosial telah menjadi topik kajian yang menarik berbagai bidang keilmuan sejak lama, termasuk sosiologi. Sejak kelahirannya pada abad ke 19, sosiologi pada awalnya lebih memberikan perhatian yang besar pada perubahan lingkungan sosial atau yang lebih dikenal dengan sistem sosial, dalam perjalannya perubahan lingkungan bio-fisik menjadi perhatian yang besar pula. Sosiologi perubahan sosial tersebut berkembang dari upaya memahami transformasi fundamental masyarakat tradisional ke masyarakat modern.

Perkembangan studi perubahan sosial sampai dengan saat ini, telah menghasilkan beragam konsep, model, dan teori yang berakar dari tiga tradisi intelektual, yaitu evolusionisme, cyclical theories, dan materialisme historis. Studi tersebut mencakup hampir semua aspek kehidupan, antara lain: seni, ilmu, agama, moral, pendidikan, politik, ekonomi, dan keluarga (Sztompka, 1994). Penelitian tentang “Menongkah: Perubahan Lingkungan, Budaya, dan Penghidupan Suku Duano di Muara Indragiri” ini menggunakan pendekatan yang berakar pada salah satu tradisi intelektual sosiologi perubahan sosial tersebut, yaitu tradisi evolusionisme.

Evolusionisme klasik dikembangkan oleh Comte, Spencer, Morgan, Durkheim, Tonnies, dan Ward. Cyclical theories dikembangkan oleh Ibn Khaldun, Pareto, dan Sorokin. Materialisme historis dikembangkan oleh Marx dan Engels (Sztompka, 1994; Sanderson, 1993). Ketiga tradisi intelektual ini memiliki perbedaan dalam memilih fokus studi dan asumsi dalam mengembangkan konsep-konsep dan proposisi. Perbandingan fokus dan asumsi dari ketiga tradisi intelektual dalam sosiologi perubahan sosial disajikan pada Tabel 2.1.

Sztompka (1994) selanjutnya memaparkan bahwa kelemahan asumsi dasar evolusionisme klasik disempurnakan oleh tokoh-tokoh antara lain White, Steward, Sahlins, Service, Lenski dan Lenski, serta Parson. Mereka ini dikenal dengan tokoh neoevolusionisme dengan bidang ilmu yang berbeda. Neoevolusionisme awalnya berkembang dalam antropologi kultural (White, Steward, Sahlins, Service) pada tahun 1950-an, selanjutnya diikuti dalam sosiologi (Lenski dan Lenski, Parson). Turunan lain dari evolusionisme yang berkembang pada tahun 1960-an adalah teori-teori modernisasi (Lerner, Hagen, Parsons, Levy, Apter, Eisenstadt) dan teori-teori konvergensi (Rostow, Kerr, Huntington).

Fokus dan asumsi yang berbeda dari ketiga tradisi sosiologi perubahan sosial menghasilkan beragam teori dan konsep (Tabel 2.1 dan Tabel 2.2). Berdasarkan teori dan konsep yang dikembangkan terlihat bahwa ada kemiripan antara tradisi evolusionisme dan materialisme historis dalam hal kualitas dan keteraturan proses sejarah yang ditentukan oleh logikanya sendiri atau didorong oleh kekuatan dari dalam bergerak menuju tujuan tertentu. Kemiripan ini diistilahkan oleh Karl L Popper (Sztompka, 1994) sebagai “aliran developmentalism”.

(2)

Tabel 2.1. Fokus dan Asumsi dalam Tradisi Intelektual Sosiologi Perubahan Sosial Tradisi

Intelektual Fokus Asumsi

Evolusionisme

 Tiga tahap perkembangan pemikiran manusia (Comte)  Evolusi naturalis masyarakat militer ke masyarakat

industri (Spencer)

 Evolusi materialis berdasarkan determinisme teknologi (Morgan)

 Evolusi masyarakat berdasarkan perkembangan pembagian kerja (Durkheim)

 Evolusi masyarakat berdasarkan ikatan sosial (Tonnies)  Empat mekanisme evolusi (Ward)

 Keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk, pola, makna yang dapat diprediksi perkembangannya pada masa depan

 Objek yang mengalami perubahan adalah bersifat organik (menyeluruh pada sistem sosial), merupakan proses yang alamiah dan spontan

 Perubahan masyarakat mengarah dan bergerak dari bentuk primitif/sederhana/ tersebar/homogen/kacau ke bentuk berkembang/kompleks/terkumpul/ heterogen/teratur

 Perubahan berpola unilinier yang terbagi dalam fase-fase, bertahap, terus-menerus, meningkat, dan kumulatif .

Cyclical Theories

 Sirkulasi elit dalam sistem sosial dan unsur-unsur politik, ekonomi, dan ideologi yang membentuknya (Pareto)

 Aliran melingkar dari proses historis kultural suatu peradaban (Sorokin)

 Menggunakan analogi yang berasal dari common sense

 Pengalaman dalam kehidupan berjalan secara berulang dan naik-turun

 Keadaan sistem yang berubah akan menjadi sama dengan keadaan sistem itu di waktu sebelumnya (atau pada dasarnya sama)

 Variasi dari proses melingkar tergantung pada: cakupan kesamaan antara keadaan sistem yang berulang, jangka waktu yang memisahkan kejadian yang terulang, dan jumlah perulangan dalam seluruh lingkaran.

Materialisme Historis

 Mekanisme perubahan formasi sosial-ekonomi. Sejarah dunia yang mengarah pada kemunculan komunisme, struktur sosial yang mengarah pada masyarakat tanpa kelas, dan tindakan individu yang mengarah pada tercapainya kebebasan penuh atau lenyapnya keterasingan/alienasi (Marx dan Engels)

 Merupakan teori multidimensional tentang sejarah yang diuraikan pada tiga tahapan berbeda (sejarah dunia, struktur sosial, tindakan individual) yang saling berkaitan logis (satu bangun teori bertingkat), serta berkaitan melalui hubungan interpretasi (dari makro ke mikro) dan hubungan agregat (dari mikro ke makro)  Sejarah manusia berawal dari aras individu karena adanya kreativitas untuk

mengatasi keterbatasan, menghadapi rintangan, memerangi musuh, dan melintasi batas.

 Masyarakat berkembang kearah yang lebih maju karena adanya kontradiksi kelas, antagonisme kelas, dan perjuangan kelas

 Sejarah dunia digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang bersifat kontradiksi endemik, penindasan, dan ketegangan di dalam struktur. Bergerak dari masyarakat pra kelas (komunitas primitif), masyarakat berkelas (perbudakan, feodalisme, kapitalisme), dan masyarakat tanpa kelas (komunisme)

(3)

Tabel 2.2. Teori dan Konsep Utama dalam Tradisi Intelektual Sosiologi Perubahan Sosial

Tradisi

Intelektual Teori Konsep

Evolusionisme

 Law of three stages (Comte)  The Devision of Labor (Durkheim)  Gemeinschaft and Gesellschaft (Tonnies)  Dynamic Sociology (Ward)

 Comte: Evolusi idealis (teologis, metafisik, positif)

 Spencer: Evolusi naturalis (masyarakat sederhana,

masyarakat kompleks, masyarakat lebih kompleks, peradaban); Tipologi dikotomi masyarakat (masyarakat militer, masyarakat sipil)

 Morgan: Evolusi materialis

(kebuasan, barbarisme, peradaban)  Durkheim: Evolusi sosiologis

(masyarakat tradisional,

masyarakat industri); Solidaritas (organik, mekanik)

 Tonnies: Evolusi tanpa kemajuan (gemeinschaft, gesselschafti)  Ward: Evolution of evolution

(kosmogenesis, biogenesis, anthropogenesis, sosiogenesis)

Cyclical Theories

 Social and Cultural Dynamic (Sorokin)

 Pareto: Unsur sistem sosial (residu, kepentingan, derivasi);

Kecenderungan (kecenderungan kombinasi, kecenderungan konservatif); Sirkulasi elit (berkuasa, lemah, digantikan)  Sorokin: Tipe kultur ideal

(ideational culture, sensate culture)

Materialisme Historis  Formasi sosial ekonomi, perjuangan kelas, dan spesies

manusia (Marx dan Engels)

 Marx dan Engels: Lima Formasi sosial ekonomi (primitif,

perbudakan, feodalisme,

kapitalisme, komunisme); Tiga epos sejarah manusia (masyarakat pra kelas, masyarakat berkelas, masyarakat tanpa kelas); alienasi Sumber: Sztompka (1994); Sanderson (1993); Turner et al. (1998)

Perubahan lingkungan dan perubahan penghidupan dengan mengambil kasus Suku Duano di Provinsi Riau ini sangat berkait erat dengan perubahan sebagaimana yang diasumsikan di dalam tradisi evolusionisme, yaitu adanya keteraturan proses sejarah yang ditentukan oleh logikanya sendiri atau didorong oleh kekuatan dari dalam bergerak menuju tujuan tertentu. Lebih spesifik lagi jika dikaitkan dengan Suku Duano sebagai masyarakat adat dan aktivitas menongkah

(4)

sebagai basis sistem penghidupan, tradisi evolusi naturalis yang dikembangkan Herbert Spencer dan evolusi materialis yang dikembangkan Lewis Morgan dapat menjadi pemandu dalam mendeskripsikan secara mendalam perubahan yang terjadi. Perubahan dimensi teknologi dan pengaturan-pengaturan ekonomi dalam aktivitas nafkah masyarakat adat Suku Duano sejak mereka hidup sebagai pengembara laut sampai dengan menetap di darat, dapat diasumsikan sebagai perubahan yang bertahap mengikuti logika evolusi.

Logika evolusi naturalis dan evolusi materialis sesungguhnya masih memiliki kelemahan untuk mengkaji perubahan masyarakat dalam skala yang lebih kecil, seperti perubahan pada komunitas Suku Duano. Fokus evolusi naturalis dan evolusi materialis yang lebih besar pada fase dan tahap perkembangan masyarakat, kurang memadai jika digunakan untuk mengungkap mekanisme dan penyebab perubahan.

Kelemahan lain dari teori evolusi Spencer dan evolusi Morgan adalah tumpul untuk menggali penyebab perubahan yang dimotori oleh agen-agen (individual atau kolektif). Perubahan yang terjadi pada masyarakat dengan kolektifitas yang masih tinggi sangat ditentukan oleh perilaku elit atau pemimpin kharismatik. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat ditutup dengan menggunakan pendekatan evolusi multilinier dan sosiologi sejarah.

2.1.2. Pendekatan Evolusi Multilinier dan Sosiologi Sejarah

Evolusi multilinier dikembangkan oleh Julian H. Steward dalam mengkaji perubahan masyarakat berburu dan meramu ke masyarakat dengan faktor tekno-ekonomi yang lebih kompleks (Sztompka, 1994; Steward, 1955). Teori perubahan sosial Steward ditulis dalam buku Theory of Culture Change pada tahun 1955. Teori ini telah mengalami pergeseran yang cukup jauh dari tradisi awalnya evolusionisme klasik. Fokus dan asumsi dasar evolusi multilinier berbeda dengan evolusionisme klasik, serta memiliki kemiripan dengan beberapa penganut neo evolusionisme lain.

Pergeseran fokus dan asumsi dasar neo evolusionisme dari evolusionisme klasik (Sanderson, 1993; Sztompka, 1994; Steward 1955) adalah :

 Fokus bergeser dari evolusi masyarakat global sebagai suatu kesatuan ke proses yang muncul dalam kesatuan sosial yang lebih terbatas (peradaban, kultur) dan kesatuan masyarakat yang terpisah (suku, negara-bangsa).

 Fokus bergeser pada mekanisme penyebab evolusi, daripada rentetan tahap perkembangan yang harus dilalui.

 Mengasumsikan bahwa evolusi harus dianalis secara deskriptif, kategoris, menghindarkan penilaian, dan isyarat tentang kemajuan. Evolusi sosiokultural memiliki pemaknaan yang terbatas, tanpa bermaksud memberikan penghakiman secara moral.

 Mengasumsikan bahwa proposisi harus diungkap dalam bentuk probabilistik daripada dalam bentuk yang pasti.

 Mengasumsikan bahwa diperlukan penggabungan yang bertingkat dengan pandangan-pandangan evolusionisme lain (misal dengan evolusionisme biologis).

(5)

Teori dan konsep yang dikembangkan dalam neo evolusionisme terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu antropologi budaya dan sosiologi (Tabel 2.3). Neo evolusionisme dalam antropologi budaya berkembang lebih dahulu dibanding dalam sosiologi. Teori dan konsep neo evolusionisme dalam antropologi budaya lebih diarahkan untuk melihat adaptasi budaya suatu masyarakat terhadap perubahan lingkungan bio-fisik, sedangkan dalam sosiologi lebih diarahkan untuk melihat adaptasi yang terjadi karena peningkatan diferensiasi struktural dan fungsional. Teori evolusi determinisme teknologi White dan evolusi multilinier Steward menggunakan tradisi evolusi biologi Darwin dan evolusi materialis Morgan, sedangkan teori evolusi differensiasi Parson menggunakan tradisi evolusi sosial Comte dan evolusi sosiologis Durkheim (Sanderson, 1993; Sztompka, 1994; Steward 1955).

Tabel 2.3. Teori dan Konsep yang Digunakan dalam Neo Evolusionisme

Teori Konsep

I. Antropologi Budaya

 Determinisme

Teknologi (Lesli White)  Evolusi Multilinier

(Julian H. Steward)  Evolusi Umum dan

Evolusi Khusus

(Marshal Sahlin dan E. Service)

 White: Evolusi penggunaan energi (energi

fisik/tenaga manusia, energi tenaga hewan, energi tanah, energi minyak bumi, energi nuklir); kultur ditentukan terutama oleh sistem teknologi

(technology determinism), adaptasi

 Steward: Tahapan multilinier; Faktor tekno-ekonomi (technoeconomics); Inti masyarakat (lembaga teknologi, lembaga ekonomi); faktor organisasi sosial-politik; faktor ideologis; Inti budaya, Non inti budaya, adaptasi

 Sahlin dan Service: Evolusi umum; Evolusi Khusus; Adaptasi

II. Sosiologi

 Evolusi-ekologi (Gerhard Lenski dan Jean Lenski)

 Teori Diferensiasi (Talcot Parson)

 Lenski dan Lenski: Sistem simbol; Sistem genetik; Urutan penentu evolusi (teknologi, ekonomi, pemerintahan, sistem distribusi); Fase evolusi (berburu-meramu, hortikultura, agraria, industri).

 Parson: Proses integratif; Proses kontrol;

Perubahan struktural; Kapasitas adaptasi; Evolusi multilinier; Mekanisme dasar evolusi

(differensiasi, peningkatan daya adaptasi, inklusi, generalisasi nilai); Tahapan evolusi (primitif, primitif lanjut, menengah, modern).

Sumber: Sztompka (1994); Sanderson (1993); Steward (1955)

Hal pokok yang membedakan teori evolusi multilinier (Steward, 1955) dengan teori-teori neo evolusionisme lain adalah :

 Kultur (budaya) dilihat sebagai satu kesatuan yang memiliki ciri-ciri berlainan yang ditemukan di berbagai lingkungan ekologis.

(6)

 Evolusi meliputi semua kesatuan kultur konkret, tetapi setiap kultur dan aspek kultur berkembang secara berbeda dan mengikuti mekanisme sendiri (multilinier).

 Evolusi dipandang multilinier dalam 2 hal, yaitu evolusi pada berbagai tipe masyarakat (antar-masyarakat), dan evolusi berbagai bidang kehidupan (masyarakat tertentu).

 Penyebab perubahan evolusioner bermacam-macam. Faktor tekno-ekonomi sebagai penyebab utama (tapi bukan determinisme teknologi), sedangkan faktor organisasi sosial politik dan faktor ideologi lebih kecil peluangnya sebagai penyebab perubahan.

Pendekatan evolusi multiliner yang lebih menekankan pada aspek kultur akan semakin baik, jika diperkuat dengan pendekatan sosiologi sejarah (historical sociology). Kedua pendekatan ini tidak memiliki pertentangan yang mendasar, karena (1) sama-sama melihat masyarakat sebagai suatu realitas yang memiliki perkembangan atau sejarah yang khusus pada berbagai aras atau aspek kehidupan, (2) sama-sama memandang penting inter relasi antara perilaku/tindakan dengan struktur.

Sztompka (1994) menyatakan bahwa asumsi ontologis dalam sosiologi sejarah adalah:

 Realitas sosial bukanlah keadaan yang tetap tetapi merupakan proses yang dinamis. Waktu adalah faktor internal yang tetap ada dalam kehidupan sosial. Apa yang terjadi, bagaimana cara terjadinya, mengapa terjadi, apa akibat yang ditimbulkan, semuanya tergantung kepada waktu dan tempat terjadinya.

 Perubahan sosial merupakan pertemuan berbagai proses dengan berbagai vektor, yang sebagian tumpang-tindih, sebagian menguatkan, sebagian memisahkan, saling mendukung, dan saling merusak.

 Masyarakat itu sendiri tidak dilihat sebagai satu kesatuan, objek atau sistem, tetapi dilihat sebagai jaringan hubungan yang berubah-ubah, meliputi ketegangan maupun keselarasan, konflik, maupun kerjasama.

 Rentetan kejadian dalam setiap proses sosial dilihat secara kumulatif.

 Proses sosial dilihat sebagai ciptaan agen-agen (individual atau kolektif) melalui tindakan mereka. Selain fase proses sosial terdapat juga beberapa orang, kolektif, kelompok, gerakan sosial, asosiasi, dan sebagainya yang tindakannya menimbulkan proses itu.

 Manusia tidak dapat membangun masyarakat sepenuhnya seperti yang diinginkan, tetapi manusia membangun masyarakat berdasarkan kondisi struktural yang mereka warisi dari masa lalu. Artinya terdapat dialektika antara tindakan dan struktur, yaitu tindakan sebagian ditentukan oleh struktur sebelumnya dan struktur yang kemudian dihasilkan oleh tindakan sebelumnya.

Sosiologi sejarah memiliki akar yang kuat pada tradisi sejarah Weber, selain pengaruh materialisme historis Marx. Sztompka (1994), Sanderson (1993), dan Turner (1998) memandang bahwa Weber tidak sependapat dengan Marx dalam hal materialisme sebagai sumber utama perubahan sosial. Perubahan sosial dalam pandangan Weber terjadi dengan cara yang jauh lebih luas dari sekadar kondisi-kondisi material dasar, gagasan dan cita-cita yang bersumber dari nilai-nilai

(7)

kultural dan doktrin keagamaan temasuk dalam hal-hal yang menjadi perhatian sosiologi sejarah Weber. Weber juga memandang penting peran pemimpin kharismatik (charismatic leader) dalam proses perubahan.

2.1.3. Sosiologi Nafkah

Bidang sosiologi yang memberikan perhatian khusus pada pengaturan ekonomi dalam masyarakat adalah sosiologi ekonomi. Aspek ekonomi menjadi bagian yang penting dalam melihat perubahan sosiokultural dan perubahan ekologikal. Teori perubahan dan perkembangan masyarakat dunia dari Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber melihat aspek ekonomi adalah pusat dari perubahan masyarakat dunia. Sejak era klasik, mereka telah melakukan pendekatan sosiologi terhadap fenomena kehidupan ekonomi. Marx dengan lima formasi sosial ekonomi perkembangan masyarakat, Durkheim dengan evolusi masyarakat tradisional ke masyarakat industri, dan Weber dengan perkembangan kapitalisme.

Ketiga ahli tersebut sepakat bahwa penjelasan tentang kehidupan ekonomi tidak cukup memadai jika hanya dilihat dari aspek-aspek ekonomi semata, kehidupan ekonomi harus dilihat lebih jauh melalui aspek-aspek sosiologis (sosial, politik, dan budaya). Sebagaimana terlihat dari definisi sosiologi ekonomi dari Durkheim dan Weber yang dikutip oleh Smelser dan Swedberg (2005), yaitu:

“Economic sociology—to use a term that Weber and Durkheim introduced—can be defined simply as the sociological perspective applied to economic phenomena. A similar but more elaborate version is the application of the frames of reference, variables, and explanatory models of sociology to that complex of activities which is concerned with the production, distribution, exchange, and consumption of scarce goods and services.”

Meskipun definisi sosiologi ekonomi tersebut diterima oleh semua pihak, menurut Smelser dan Swedberg (2005) tokoh-tokoh sosiologi klasik yang membahas fenomena kehidupan ekonomi (Marx, Durkheim, Weber) memiliki fokus yang berbeda dalam melihat tindakan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan sosiologi ekonomi kaya akan perspektif atau pendekatan, berbeda dengan ekonomi formal yang mengarusutamakan satu perspektif atau pendekatan.

Perbedaan cara pandang ketiga tokoh sosiologi ekonomi klasik tersebut, berpengaruh besar pula terhadap perkembangan salah satu cabang sosiologi ekonomi yaitu sosiologi nafkah (livelihood sociology). Sosiologi nafkah berkembang dalam upaya untuk membahas kekhasan fenomena kehidupan ekonomi negara dunia ketiga, khususnya masyarakat rural dan sub urban. Perubahan penghidupan pedesaan sangat terkait erat dengan perubahan lingkungan, baik lingkungan bio-fisik maupun lingkungan sosial. Dharmawan (2007) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan fokus dan asumsi dasar dari sosiologi nafkah yang berkembang di Timur (khususnya Asia Tenggara) dan di Barat (Afrika dan Latin-Amerika), dalam melihat perubahan penghidupan.

Sebelum meninjau lebih jauh tentang fokus, asumsi, dan konsep-konsep dalam sosiologi nafkah, definisi sosiologi nafkah yang diutarakan oleh Dharmawan (2007) dapat memberikan pengertian mendasar dalam upaya mendalami perubahan penghidupan pedesaan, yaitu:

(8)

“Secara sederhana sosiologi nafkah dipandang sebagai studi tentang keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial, dengan sistem penghidupannya. Lebih jauh sebagai sebuah disiplin, sosiologi nafkah merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan seseorang untuk memahami cara-cara atau mekanisme yang dibangun oleh individu, rumah tangga, atau komunitas dalam mempertahankan eksistensi kehidupannya sesuai dengan latar sosial, ekonomi, ekologi, budaya, dan konstelasi politik khas suatu kawasan.”

Definisi sosiologi nafkah tersebut menunjukkan bahwa determinan utama penghidupan pedesaan dapat diasumsikan secara berbeda. Sosiologi nafkah yang berkembang di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) berangkat dari permasalahan-permasalahan penghidupan dalam proses pembangunan pedesaan, sedangkan sosiologi nafkah yang dikembangkan di Barat berangkat dari permasalahan-permasalahan kemiskinan dan kerusakan sumberdaya alam. Faktor sosial-ekonomi menjadi perhatian yang lebih mendalam pada pembahasan sosiologi nafkah di Timur, sedangkan di Barat lebih mengutamakan faktor sosial-ekologi. Tabel 2.4. Perbandingan Fokus dan Asumsi antara Mazhab Bogor dan

Mazhab Sussex Mazhab Sosiologi Nafkah Fokus Asumsi Bogor (IPB)  Dinamika berbagai dimensi pembangunan dan modernisasi pertanian dan pedesaan (mencakup pertanian, perikanan, perkebunan, industri kecil, sektor informal)

 Relasi perubahan sosial dan perubahan struktur agraria dengan

diversifikasi pekerjaan  Pola nafkah ganda dan

migrasi desa-kota

 Determinan utama dari penghidupan pedesaan adalah faktor sosial-ekonomi  Fakta kemiskinan dan marjinalisasi

ekonomi pedesaan sebagai akibat dari proses modernisasi-kapital.

 Modernisasi pedesaan memicu

perubahan sosial-agraria yang seterusnya menghasilkan keragaman strategi nafkah pedesaan.

Barat (Sussex)

 Dinamika berbagai dimensi kemiskinan dan kerusakan sumberdaya alam komunitas lokal  Perubahan ekosistem

dan mekanisme adaptasi sistem penghidupan

 Determinan utama dari penghidupan pedesaan adalah faktor sosial-ekologi  Fakta kemiskinan terjadi sebagai akibat

bekerjanya kekuatan politik-kapital global yang menghancurkan sumberdaya alam (ecological fragilty).

 Akibat langsung dari perubahan tata ekosistem suatu kawasan menghasilkan keragaman strategi nafkah pedesaan. Sumber: Dimodifikasi dari Dharmawan (2007)

Perbandingan yang dilakukan Dharmawan (2007) antara sosiologi nafkah yang berkembang di Indonesia (disebutnya sebagai Mazhab Bogor) dengan sosiologi nafkah yang berkembang di Inggris (disebutnya sebagai Mazhab Sussex), sangat membantu dalam mengarahkan pilihan asumsi dasar yang tepat

(9)

dalam penelitian ini (Tabel 2.4). Konsep-konsep yang dihasilkan dari kedua mazhab (Bogor dan Sussex) memperkaya khazanah sosiologi nafkah. Meskipun memiliki perbedaan dalam fokus dan asumsi, namun aksiologi dari kedua mazhab tersebut jelas sangat berpihak pada keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal (strata bawah) dan keberlanjutan ekosistem.

Mazhab Bogor menghasilkan teori dan konsep yang menunjukkan adanya ketidakpastian nafkah serta kelangkaan lapangan usaha dan kesempatan kerja bagi lapisan bawah dalam proses pembangunan dan modernisasi pertanian/pedesaan. Pembangunan dan modernisasi menyebabkan ketimpangan akses masyarakat pedesaan terhadap sumber-sumber nafkah. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan asli, tata-nilai asli, dan pranata-prana lokal di Pedesaan Indonesia.

Mazhab Sussex menghasilkan teori dan konsep yang menunjukkan terdapat berbagai strategi penghidupan masyarakat lokal yang dapat dijadikan dasar untuk mendesain strategi nafkah yang berkelanjutan, dalam upaya untuk meminimalkan tekanan (stress) dan goncangan (shock) dari perubahan sistem sosial dan sistem ekologi. Bekerjanya kekuatan politik-kapital global telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal. Kondisi tersebut mengharuskan masyarakat lokal untuk terus melakukan penyesuaian dalam memainkan kombinasi sumberdaya nafkah (livelihood assets) yang tersedia, sehingga diperolah pilihan yang paling rasional.

Perkembangan studi penghidupan (livelihood study) 10 (sepuluh) tahun terakhir menunjukkan adanya perkembangan yang cukup baik, khususnya dalam hal penerapan konsep penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) di pedesaan. Pengaruh mazhab Sussex dalam studi-studi penghidupan pedesaan cukup kuat, terutama penggunaan tradisi utilitarian/rasional (lihat Lampiran 1).

Studi-studi penghidupan pedesaan (pada Lampiran 1) dikelompokkan berdasarkan tradisi sosiologi yang disusun oleh Collins (1994) dan perspektif sosiologi yang disusun oleh Turner (1998). Collins (1994) mengelompokkan teori sosiologi menjadi 4 tradisi besar, yaitu konflik (Marxian dan Weberian), utilitarian/rasional, Durkheimian, dan mikrointeraksionis. Selanjutnya Turner et al. (1998) mengelompokkan menjadi 7 perspektif, yaitu fungsional, bioekologi/evolusi, konflik, pertukaran, interaksionis, struktural, dan kritis.

Berdasarkan penelusuran kajian-kajian penghidupan pedesaan (Lampiran 1), terlihat bahwa studi penghidupan pedesaan dalam tradisi konflik-Weberian belum banyak dilakukan. Sebagian besar studi-studi tersebut bekerja dalam tradisi Durkheimian dan tradisi utilitarian/rasional. Teori-teori yang dikembangkan dalam tradisi Durkheimian terutama yang berkaitan dengan sosial kapital dan solidaritas sosial. Eilenberg & Wadley (2009) dan de Jong (2008) menemukan bahwa masyarakat di pedesaan membangun jejaring pada aras lokal, translokal, bahkan transnasional untuk mengamankan penghidupan mereka. Selanjutnya Dharmawan (2001) dan Getz (2008) menambahkan bahwa jejaring yang dibangun tersebut adalah untuk mengamankan penghidupan mereka dengan berlandaskan solidaritas diantara mereka (lebih rinci dapat ditelusuri pada Lampiran 2).

Tradisi utilitarian mengembangkan teori-teori pilihan rasional dan public choice. Masyarakat pedesaan melakukan pilihan terhadap berbagai kombinasi kapital (human, natural, finansial, sosial, fisikal) yang terbaik bagi keberlanjutan

(10)

penghidupan. Bentuk-bentuk strategi yang muncul dalam upaya pencapaian optimum utility dari aktivitas nafkah pada aras individu dan rumah tangga, antara lain adalah diversifikasi sumber penghasilan (farm/non farm occupation; formal/informal economy), serta konsolidasi dan akumulasi modal (bidang produksi dan jasa). Pilihan strategi nafkah tersebut bersifat dinamis dan sangat dipengaruhi oleh vulnerability context, yaitu perubahan lingkungan bio-fisik dan lingkungan sosial (Ozturk, 2009; Baquini, 2008; Bebbington 1999).

Tradisi konflik (Marxian dan Weberian) mengembangkan teori-teori feminisme dan perubahan penghidupan pedesaan. Upaya masyarakat pedesaan untuk mempertahankan kehidupan dalam konteks perubahan ekosistem dan sistem sosial, mengaharuskan mereka untuk terus berjuang dan bertahan dalam ketimpangan akses sumberdaya. Lund et al. (2008) menemukan ibu-ibu rumah tangga harus bekerja dalam kondisi lingkungan bio-fisik yang berbahaya untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupan keluarga. Ketimpangan struktural menyebabkan akses mereka terhadap sumberdaya nafkah sangat terbatas. Calkins (2009) menambahkan kondisi tersebut memaksa masyarakat pedesaan untuk menggeser sistem penghidupan yang ada, bahkan keluar dari livelihood place mereka (migrasi keluar).

Konsep-konsep sosiologi nafkah yang berkaitan dengan perubahan lingkungan dalam tradisi Weberian, digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

Livelihood vulnerability: Konsep ini menunjukkan kerentanan-kerentanan penghidupan, dapat disebabkan oleh menurunnya kualitas lingkungan (sumber penghidupan) dan terbatasnya akses terhadap sumber-sumber agraria.

Securing livelihood: Konsep ini menunjukkan aktivitas penghidupan yang mampu mengamankan keberlanjutan kehidupan pada aras rumah tangga maupun komunitas.

Transformation of livelihood system: Konsep ini menunjukkan perubahan yang mendasar dari sistem penghidupan yang disebabkan oleh menurunnya kualitas lingkungan (sumber-sumber penghidupan) dan terbatasnya akses terhadap sumber-sumber agraria.

Adapted strategy: Konsep ini menunjukkan strategi nafkah yang dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural maupun kultural pada perubahan lingkungan (bio-fisik dan sosial) untuk tetap bertahan hidup.  Accumulation strategy: Konsep ini menunjukkan strategi nafkah yang

dilakukan melalui akumulasi modal untuk meningkatkan derajat sosial ekonomi kehidupan.

Labour migration strategy: Konsep ini menunjukkan suatu strategi nafkah yang dilakukan dengan membawa keluar sumberdaya tenaga kerja rumah tangga (migrasi) dari livelihoods place mereka ke lokasi lain dimana sumber-sumber penghidupan masih tersedia.

(11)

2.2. Adaptasi Perubahan Lingkungan dan Sistem Penghidupan 2.2.1. Adaptasi dalam Teori Ekologi Budaya

Konsep adaptasi yang berkaitan dengan perubahan lingkungan pada dimensi manusia selalu mengarah pada suatu proses, tindakan, atau outcome dari suatu sistem (rumah tangga, komunitas, kelompok, sektor, wilayah, negara) untuk lebih dapat mengatasi, mengelola, atau menyesuaikan terhadap perubahan kondisi, tekanan, hazard, resiko, atau bahkan peluang (Smit dan Wandel, 2006). Lebih spesifik Forsyth (2003) menggunakan istilah environmental adaptation dalam menjelaskan adaptasi komunitas lokal (masyarakat dalam cakupan yang lebih kecil) dalam merespon perubahan lingkungan. Strategi adaptasi yang dijalankan oleh komunitas lokal, boleh jadi tidak sejalan dengan kebijakan yang diambil pemerintah dalam merespon isu perubahan lingkungan dalam skala global.

Jauh sebelum Forsyth (2003) maupun Smit dan Wandel (2006), Julian H. Steward telah menulis tentang adaptasi dalam teori ekologi budaya (cultural ecology). Pendekatan multilinier dan sosiologi sejarah untuk menelusuri perubahan lingkungan yang spesifik lokal serta kaitannya dengan perubahan pengaturan penghidupan, sejalan dengan konsep adaptasi dalam teori ekologi budaya (cultural ecology) dari Julian Steward. Pikiran Steward ini diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan di Universitas Chicago, dan menghasilkan pula beberapa aliran, menurut Putra (1994) setidaknya ada 4, yaitu: (1) pendekatan etnoekologi, (2) pendekatan ekologi silang budaya (cross cultural ecological approach), (3) pendekatan ekosistemik kultural, dan (4) pendekatan ekosistemik materialistik. Pendekatan yang populer dan berkembang hingga saat ini adalah pendekatan ekosistemik materialistik, pendekatan ini berkembang menjadi antropologi ekologi baru atau lebih dikenal dengan ekologi manusia (human ecology).

Julian H. Steward (Steward, 1955; Rambo, 1983) memandang bahwa budaya suatu masyarakat tumbuh dan berkembang dari proses adaptasi terhadap kondisi lingkungan bio-fisik dan perubahan-perubahannya. Pusat dari perkembangan budaya tersebut adalah pengaturan-pengaturan teknologi dan ekonomi (tekno-ekonomi) yang disebutnya sebagai inti budaya (culture core). Inti budaya akan menjadi pemandu prilaku anggota-anggota masyarakat dalam menjalankan aktivitas subsisten dan dalam mengembangkan budaya di luar inti budaya. Budaya selain inti budaya (culture non core) adalah budaya immaterial yang mendukung tumbuh kembangnya inti budaya, antara lain: religi, nilai-nilai, seni, bahasa, dan ritual.

Sanderson (1993) menggolongkan kebudayaan material sebagai infrastruktur material (teknologi, ekonomi, ekologi, demografi), sedangkan Steward (1955) menggolongkan sebagai culture core (tekno-ekonomi, demografi). Kebudayaan non material terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, dan kebiasaan, Sanderson (1993) menyebutnya sebagai superstruktur ideologis, sedangkan Steward (1955) menggunakan istilah non culture core.

Hal-hal mendasar yang harus ada dalam ekologi budaya menurut pandangan Julian H. Steward (Steward, 1955, Rambo, 1983, ) adalah:

(12)

 Analisis hubungan timbal-balik antara teknologi dan lingkungan. Teknologi dapat berupa eksploitatif teknologi dan produktif teknologi yang merupakan bagian dari material culture.

 Analisis bentuk-bentuk prilaku yang berkaitan dengan eksploitasi pada suatu area dengan menggunakan teknologi tertentu.

 Penentuan sejauhmana bentuk-bentuk prilaku tersebut berhubungan dengan aspek-aspek budaya yang lainnya (pendekatan holistik).

Proses adaptasi dilihat pada aras yang berbeda-beda dan dilihat dalam suatu perkembangan sejarah. Proses adaptasi yang bersifat spesifik lokal, dapat dibedakan berdasarkan aras keluarga, aras komunitas, dan aras negara. Adaptasi seperti ini merupakan ciri dari evolusi multiliner yang dikembangkan Steward di dalam ekologi budaya (Steward, 1955, Zimmerer, 2004). Konsep utama dalam ekologi budaya yang dikembangkan oleh Julian H. Steward adalah sosialisasi, adaptasi, perilaku, inti budaya (culture core), non inti budaya (culture non core), dan evolusi multilinier.

Teori ekologi budaya mengasumsikan bahwa budaya tidak lagi dapat dipandang hanya sebagai suatu sistem yang terbentuk dari praktek-praktek terpola atas sikap dan nilai-nilai yang diyakini bersama. Budaya juga terbentuk dari prilaku manusia dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Perubahan budaya dapat dilacak melalui penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan terhadap perubahan lingkungan oleh masyarakat pada berbagai aras. Penyesuaian yang dilakukan diawali dengan perubahan teknologi dan pengaturan yang bersifat produktif, diikuti oleh pengaturan dalam pengorganisasian masyarakat dan aspek-aspek demografi (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Ilustrasi Teori Adaptasi Ekologi Budaya (Steward, 1955; Richerson et al. 1996)

Sosialisasi dalam adaptasi ekologi budaya dipandang sebagai proses dimana manusia berusaha menyerap isi kebudayaan yang berkembang di tempat kelahirannya, terutama yang berkaitan dengan non inti budaya (religi, nilai-nilai bersama, ritual, bahasa, seni, dan adat-istiadat). Sanderson (1993) berpendapat

(13)

bahwa proses sosialisasi sangat penting dilihat dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, namun Steward (1955) memandang bahwa dalam ekologi budaya sosialisasi harus disandingkan dengan adaptasi. Manusia bertindak dan berpikir dengan cara tertentu karena telah disosialisasikan dalam budaya yang mereka terima, serta dengan cara mereka beradaptasi pada lingkungannya.

Konsep adaptasi (adaptation) harus dibedakan dengan kondisi dimana masyarakat telah beradaptasi (adaptedness). Pembedaan tersebut penting, karena dalam penerapannya kedua konsep ini dapat sejalan dan dapat pula tidak. Adaptedness adalah kondisi dimana suatu masyarakat telah beradaptasi, sedangkan adaptation adalah suatu cara dimana masyarakat mengelola atau merespon lingkungannya (Sanderson, 1993; Steward, 1955; Smith & Wandel, 2006). Aktivitas Menongkah dapat dipandang sebagai suatu sistem penghidupan yang paling baik bagi komunitas Suku Duano, dimana mereka telah beradaptasi (adaptedness) dengan lingkungan laut dalam perjalan sejarah mereka. Penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan lingkungan (sosial dan bio-fisik) terus berlangsung pada aras rumah tangga/individu, sehingga menghasilkan adaptasi yang lebih baru (daripada yang lebih baik) pada aktivitas menongkah.

Menongkah dalam pandangan teori ekologi budaya merupakan aktivitas subsisten dengan pengaturan-pengaturan tekno-ekonominya, budaya immaterial akan tumbuh dan berkembang dari aktivitas ini, begitupun prilaku/tindakan aktor akan diatur dan diorientasikan pada kedua hal tersebut. Menongkah akan berkembang menjadi budaya seputar pengaturan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi sumberdaya yang dimanfaatkan atau dipertukarkan. Konsep inti budaya dalam teori ekologi budaya, dalam penelitian ini disamakan atau disandingkan dengan konsep budaya bernafkah (livelihood culture). Menongkah juga akan mendorong tumbuhnya budaya immaterial, misalnya ritual menongkah atau tari menongkah dan lainnya.

Perubahan sosial dan perubahan sistem penghidupan masyarakat (komunitas) lokal yang dijelaskan dalam teori ekologi budaya (Steward, 1955; Richerson et al., 1996; Rambo, 2004), memiliki kelemahan jika digunakan untuk menjelaskan proses adaptasi masyarakat asli yang telah berinteraksi luas dengan dunia luar. Budaya-budaya yang tumbuh dan berkembang dari proses adaptasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Steward (1955), tidak lagi steril dari proses tradisionalisasi (Li, 2002) atau yang diistilahkan Kahn (2002) sebagai kulturisasi (pembudayaan).

Li (2002) menjelaskan bahwa proses tradisionalisasi menunjuk pada suatu upaya penataan adat secara sistematis yang dilakukan oleh negara. Proses seperti ini telah berlangsung sejak era kolonial dan berlanjut dalam modernitas Indonesia. Berbagai tradisi dan kebiasaan (adat) ditata secara sistematis oleh para pakar dan pejabat, dan selanjutnya dipakai sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahan. Kelompok-kelompok yang mengalami penataan adat secara sistematis melihat bahwa kebiasaan mereka diambil dari kenyataan sehari-hari, kemudian disusun dan diangkat sebagai hukum untuk ditegakkan oleh para tetua adat. Li (2002) selanjutnya memberikan kesimpulan bahwa tradisi dan keanekaragaman budaya pada masyarakat tradisi di Indonesia terbentuk melalui proses adaptasi ekosistem, transmisi budaya, dan penataan adat (tradisionalisasi) secara bersamaan.

(14)

Kesimpulan yang diberikan oleh Li (2002) didukung oleh fakta empiris yang ditemukan oleh Kahn (2002) pada petani Minangkabau, Schrauwers (1998; 2002) pada peladang masyarakat To Pamona, dan Ruiter (2002) pada petani kebun Batak Karo. Kahn (2002) menemukan bahwa jenis-jenis hirarki sosial yang timbul di pedalaman Sumatera (masyarakat Minangkabau) sangat berkaitan bukan sekedar dengan tradisi yang telah ada, tetapi juga dengan proses pembentukan negara modern dan investasi asing.

Schrauwers (1998; 2002) menjelaskan bahwa tradisi bertukar tenaga kerja yang dilakukan oleh peladang berpindah masyarakat To Pamona merupakan budaya yang tumbuh dari campur tangan pemerintah dan gereja (pada upacara bertukar hadiah; bahasa daerahnya posintuwu) dengan kekerabatan yang tumbuh dari budaya rumah panjang. Selanjutnya Ruiter (2002) menggambarkan bahwa terbentuknya budaya pertanian menetap (padi dan karet) masyarakat Karo di pinggiran perkebunan kolonial di dataran tinggi Langkat, karena adanya kepentingan politik pemerintah kolonial untuk mempertahankan masyarakat Karo di sekitar perkebunan dan sikap hidup orang Karo yang menolak menjadi karyawan upahan di perkebunan.

Perubahan lingkungan tidak saja berkaitan dengan adaptasi dan budaya bernafkah. Perubahan lingkungan juga menyebabkan penyesuaian-penyesuaian dalam pengaturan penghidupan pada semua aras.

2.2.2. Penyesuaian Pengaturan Penghidupan pada Berbagai Aras

Pengaturan penghidupan pada berbagai aras, mulai dari komunitas, rumah tangga, dan individu, menjadi perhatian yang sangat penting dalam studi perubahan lingkungan dan penghidupan. Kemampuan suatu komunitas, rumah tangga, atau individu dalam mengatur dan mengorganisasikan cara, teknik, dan strategi dalam merespon perubahan lingkungan, dalam upaya mempertahankan eksistensi kehidupannya, penting untuk diungkap dalam penelitian ini.

Pengaturan aktivitas nafkah pada berbagai aras menunjukkan realitas sosial yang berbeda-beda. Johnson (1988) menyatakan terdapat 4 tingkatan realitas sosial yang berbeda secara analitis dan menjadi fokus perhatian yaitu aras individual, aras antarpribadi (interpersonal), aras struktur sosial, dan aras budaya.

Realitas sosial pada aras individual menempatkan individu sebagai fokus perhatian dalam analisis, termasuk sub-arasnya yaitu perilaku, tindakan sosial, persepsi, motivasi, dan rasionalitas. Aktivitas nafkah pada aras individual tentunya berkaitan dengan hal-hal tersebut, antara lain tindakan ekonomi, motivasi berusaha, dan rasionalitas ekonomi. Ritzer (Ritzer & Goodman, 2004) memandang bahwa pada aras ini realitas sosial sebagai suatu definisi sosial, sosiologi Weberian banyak bermain pada aras ini.

Aras antar pribadi menempatkan interaksi antar pribadi sebagai fokus perhatian, meliputi komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, kerja sama antar pribadi, koflik antar pribadi, dan pola adaptasi bersama. Fokus sosiologi nafkah pada aras ini adalah aktivitas nafkah rumah tangga atau strategi nafkah (livelihood strategy) rumah tangga.

Realitas sosial pada aras struktur sosial memusatkan perhatian pada pola-pola tindakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam suatu waktu dan

(15)

ruang, meliputi posisi sosial, peranan sosial, organisasi sosial, institusi sosial, dan masyarakat keseluruhannya. Aktivitas nafkah pada aras ini merupakan strategi nafkah komunitas.

Realitas sosial pada aras budaya meliputi arti, nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat. Kebudayaan dalam arti yang luas dapat dipandang sebagai produk-produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan kebudayaan non materi.

Johnson (1998) menyatakan bahwa pembedaan aras realitas ini dapat menjadi pemandu dalam melakukan analisa sosiologis, namun dalam prakteknya realitas-realitas tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi. Teori sosiologi yang berkembang pada era klasik (Marx, Durkheim, Weber, Simmel) dan sosiologi modern (teori-teori fungsionalisme, teori-teori konflik, teori-teori interaksionisme simbolik, teori-teori pertukaran) sangat mengedepankan pemilihan pada satu aras realitas sosial. Selanjutnya sosiologi yang berkembang pada era kontemporer (sosiologi kritik dan sosiologi posmodernisme) mulai mengkaitkan beberapa aras sebagai fokus analisisnya.

Realitas sosial dari pengaturan aktivitas nafkah dalam penelitian ini mencakup aras individu, aras antar pribadi, dan aras struktur sosial. Kebudayaan material dan non material yang merupakan produk dari tindakan dan interaksi sosial dari aktivitas nafkah menjadi perhatian pula dalam penelitian ini. Analisis seperti ini dikenal sebagai analisis multilevel, banyak dikembangkan oleh penganut akonomi substantif dalam sosiologi ekonomi maupun antropologi.

Ekonomi substantif mengasumsikan bahwa tindakan ekonomi tidak lepas dari faktor-faktor di luar ekonomi (sosial, budaya, politik). Sesungguhnya pada era klasik Weber juga telah melakukan analisis yang mengkaitkan antara tindakan dan struktur, meskipun penekanan yang diberikan lebih besar pada aras individu. Max Weber (Weber, 2006) dalam teori Protestant Ethic and Spirit of Capitalism mengkaitkan prilaku/tindakan ekonomi pimpinan perusahaan dan pekerja teknis dengan nilai-nilai religius (etika protestan). Begitu pun tulisan Weber yang lain di dalam General Economic History (Giddens, 2009), analisisnya mengkaitkan perilaku/ tindakan ekonomi petani kecil dengan etika China dan Jepang.

Analisis multilevel dalam sosiologi ekonomi berkembang lebih jauh setelah pertengahan tahun 1980-an. Era ini ditandai oleh essei teoritis karya Mark Granovetter tentang Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness (1985), dan beliau memperkenalkan istilah new economic sociology (NES) pada era tersebut (Smelser & Swedberg, 2005). Granovetter juga melakukan analisis pada beberapa aras yaitu aras individu (tindakan dan rasionalitas dan aras struktur), lebih jauh ide Granovetter dikembangkan dalam analisis multilevel Victor Nee (Nee, 2005). Analisis multilevel juga dilakukan di dalam antropologi ekonomi, sebagaimana analisis Clifford Geertz (Geertz, 1963; 1984) dalam teori involusi pertanian. Geertz mengkaitkan tindakan ekonomi petani dengan perubahan ekologi dan sosiokultural di Jawa.

Analisis multilevel yang dikembangkan oleh Victor Nee merupakan bagian dari upayanya bersama dengan Brinton untuk mengembangkan apa yang disebutnya sebagai New Institutionalism in Economic Sociology (NIES). Analisis multilevel yang dikembangkan Nee dalam NIES merupakan suatu kerangka

(16)

institusional (institutional framework) yang menunjukkan bekerjanya mekanisme institusional pada aras makro, ikatan interpersonal pada aras meso, dan tindakan ekonomi individu pada aras mikro (Nee, 2005).

Konsep context bound rationality yang diutarakan Nee, sangat penting dalam mengkaitkan budaya, strategi nafkah dan tindakan bernafkah. Nee (2005) menyatakan bahwa konsep context bound rationality menunjukkan adanya keterikatan rasionalitas pada konteks dan melekat (embedded) dalam ikatan interpersonal. Adat-istiadat, jaringan, norma, keyakinan kultural, dan pengaturan kelembagaan mempertajam keterikatan rasionalitas pada konteksnya. Teori embeddedness Granovetter diterapkan lebih luas dalam kerangka analisis multilevel Nee, yaitu sampai pada aras makro struktural. Aras makro struktural ini merupakan lingkungan institusional (institutional environment), berupa aturan-aturan formal yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah.

Kerangka analisis multilevel dalam penelitian ini dibangun dengan memegang asumsi dasar analisis multilevel Nee (2005), yaitu aktivitas nafkah memiliki hubungan yang timbal balik antara berbagai aras, dengan kerangka institusional yang bersifat dua arah (bolak-balik). Kerangka institusional bergerak dari aras makro ke mikro dan dari mikro ke makro. Pembedaan aktivitas nafkah atas beberapa aras untuk menunjukkan bahwa terdapat proses sosial yang spesifik pada setiap aras, sehingga ketajaman analisis dapat tercapai.

Penyesuaian pengaturan penghidupan pada semua aras karena terjadinya perubahan lingkungan, dimana semua aras saling berhubungan timbal balik dalam suatu kerangka institusional disebut sebagai perubahan penghidupan yang bersifat sistemik atau telah terjadi perubahan sistem penghidupan. Hal-hal yang perlu diungkap dalam studi perubahan sistem penghidupan mencakup perubahan kombinasi sumberdaya nafkah, strategi pengaturan teknologi, strategi pengaturan-pengaturan produksi, distribusi, dan konsumsi komunitas, strategi pengaturan-pengaturan aspek demografi, strategi pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan derajat sosial ekonomi, dan pengakumulasian modal rumah tangga, serta penyesuaian kualitas human kapital anggota rumah tangga (Tabel 2.5).

Tabel 2.5. Item-item dalam Studi Pengaturan Penghidupan pada Berbagai Aras

Item-item Studi Aras

1. Kombinasi sumberdaya nafkah Aras komunitas dan aras rumah tangga

2. Strategi pengaturan teknologi Aras komunitas 3. Strategi pengaturan produksi, distribusi,

dan konsumsi

Aras komunitas 4. Strategi pengaturan aspek demografi Aras komunitas 5. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar Aras rumah tangga 6. Strategi peningkatan derajat sosial

ekonomi

Aras rumah tangga 7. Strategi pengakumulasian modal Aras rumah tangga 8. Penyesuaian kualitas human kapital Individu (anggota rumah

(17)

Adaptasi adalah manifestasi dari kapasitas adaptif (adaptive capacity) dan representasi dari penurunan kerentanan (reducing vulnerability). Kapasitas adaptif terhadap perubahan lingkungan dan kemampuan melindungi penghidupan atas kerentanan lingkungan (environmental vulnerability) ditentukan oleh kemampuan rumah tangga dalam mengatur dan mengorganisasikan sumber penghidupan (livelihood assets) yang dimiliki, serta kualitas human kapital rumah tangga dan kapasitas rasionalisasi tindakan aktor anggota rumah tangga.

2.3. Kapasitas Adaptif dan Ketahanan Nafkah Rumah Tangga 2.3.1. Strategi Nafkah Bertahan Hidup, Konsolidasi, dan Akumulasi Modal

Konsep adaptasi dalam studi perubahan lingkungan dan penghidupan pedesaan sangat berkaitan dengan konsep kapasitas adaptif, kerentanan, dan ketahanan nafkah (livelihood securities). Kerentanan dari suatu sistem (pada berbagai aras dan skala) merupakan refleksi dari sensitivitas sistem tersebut terhadap kondisi yang buruk serta refleksi dari kemampuan/kapasitas/kelentingan sistem dalam mengatasi, menyesuaikan, memulihkan diri dari pengaruh-pengaruh tersebut. Smith dan Wandel (2006) menjelaskan hubungan konsep-konsep tersebut dalam nested hierarchy model (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Nested Hierarchy Model of Vulnerability (Smith & Wandel, 2006)

Nested hierarchy model memposisikan konsep kapasitas adaptif mirip dengan konsep-konsep adaptabilitas, coping ability, kapasitas manajemen, stabilitas, robustness, fleksibelitas, dan resiliensi. Kapasitas adaptif menunjukkan dimensi jangka panjang dan coping ability menunjukkan dimensi jangka pendek, sementara itu adaptabilitas menunjukkan coping ability yang berpotensi menjadi kemampuan jangka panjang. Kapasitas adaptif bersifat spesifik dan kontekstual tergantung aras dan waktu, bervariasi menurut karakteristik suatu negara, komunitas, kelompok sosial, rumah tangga, maupun individu.

(18)

Kapasitas adaptif jika dikaitkan dengan strategi nafkah rumah tangga dalam merespon perubahan lingkungan adalah kemampuan rumah tangga dalam mengatasi kerentanan lingkungan melalui pengorganisasian sumber-sumber nafkah yang dimiliki dan yang dapat diakses. Menurut Smith dan Wandel (2006), bahwa sistem yang lebih tereskspos dan sensitif pada perubahan lingkungan akan lebih rentan, cateris paribus, dan sistem yang memiliki kapasitas adaptif lebih baik akan cenderung tidak terlalu rentan, cateris paribus.

Kapasitas adaptif dalam konteks sistem penghidupan dapat disamakan dengan konsep livelihood securities (ketahanan nafkah), yaitu kemampuan komunitas atau rumah tangga dalam melindungi atau mengamankan sumber-sumber nafkah yang dimiliki dan yang dapat diakses atas kerentanan yang hadir, dalam upaya pencapaian kehidupan yang lebih baik untuk generasi sekarang dan masa depan.

Kapasitas adaptif rumah tangga dapat dikelompokkan berdasarkan kemampuan rumah tangga mengelola sumber-sumber nafkah yang dimiliki dan atau yang dapat diakses. Sebagian rumah tangga hanya mampu melakukan penyesuaian strategi nafkah pada tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten dan bertahan hidup, sebagian rumah tangga yang lainnya mampu melakukan penyesuain strategi nafkah pada tujuan konsolidasi dan akumulasi modal. Berdasarkan hal tersebut, strategi nafkah rumah tangga dalam merespon perubahan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi strategi survival, strategi konsolidasi, dan strategi akumulasi.

Menurut White (1991), bahwa rumah tangga yang menjalankan strategi survival cenderung memiliki keterbatasan aset produksi dan skill. Mereka memaksimalkan penggunaan tenaga kerja rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan bertahan hidup. Pemaksimalan tenaga kerja yang dimiliki dapat berupa pola nafkah ganda dan penyebaran tenaga kerja rumah tangga pada berbagai bidang pekerjaan yang tidak terlalu mengandalkan skill. Mereka menjual tenaga untuk aktivitas apa saja yang dapat menambah penghasilan.

Jika dikaitkan dengan kapasitas adaptif dan kerentanan penghidupan, kelompok rumah tangga ini berada pada lapisan yang paling bawah dan yang paling terekspos dan sensitif pada perubahan lingkungan. Kerentanan penghidupan rumah tangga pada kategori survival berkaitan pula dengan ketergantungan yang tinggi pada ketersediaan sumber-sumber nafkah di alam dan terbatasnya skill pada bidang pekerjaan lain. Jika terjadi goncangan atau tekanan pada sumber-sumber nafkah yang mereka andalkan, mereka akan sulit merespon dengan cepat untuk mengalihkan aktivitas nafkahnya pada sumber-sumber lain.

Rumah tangga yang menjalankan strategi konsolidasi memiliki kapasitas adaptif yang lebih luas. Mereka telah dapat mengarahkan aktivitas nafkah pada tujuan-tujuan peningkatan taraf hidup selain untuk pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Rumah tangga pada lapisan ini juga telah mampu menginvestasikan aset dan memiliki saving, meskipun masih terbatas pada bidang pekerjaan atau aktivitas nafkah sejenis. Jika terjadi goncangan atau tekanan pada aktivitas nafkah yang mereka jalankan, mereka akan lebih dapat bertahan. Aset dan saving yang dimiliki dapat digunakan untuk bertahan dalam jangka pendek, sambil melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan yang terjadi.

(19)

Rumah tangga yang relatif tidak terlalu goyang jika terjadi tekanan atau goncangan pada salah satu sumber nafkah adalah rumah tangga yang telah dapat menjalankan strategi akumulasi modal. Rumah tangga ini telah mampu memenuhi kebutuhan dasar, menginvestasikan aset, saving, dan memperluas usaha pada bidang-bidang lain yang menguntungkan. Aktivitas nafkah dengan strategi yang dijalankan sangat stabil dalam jangka panjang, serta tidak terlalu sensitif dan terpengaruh oleh perubahan lingkungan.

Ketahanan nafkah rumah tangga dapat dilihat dari aspek keberlanjutan dan kerentanan nafkah. Kerangka penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood framework, SLF) dapat digunakan untuk mengidentifikasi aspek-aspek keberlanjutan nafkah rumah tangga (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Sustainable Lifelihood Framework (DFID, 1999; Twig, 2007) SLF pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa strategi nafkah rumah tangga dan perubahannya sangat dipengaruhi konteks kerentanan (perubahan lingkungan bio-fisik dan sosial), struktur sosial (negara, pasar), serta ketersediaan dan akses pada sumber-sumber nafkah (human kapital, natural kapital, finansial kapital, sosial kapital, fisikal kapital).

2.3.2. Rasionalisasi Tindakan Ekonomi Bernafkah Anggota Rumah Tangga Kapasitas adaptif dan strategi nafkah rumah tangga sangat terkait dan melekat dengan tindakan ekonomi dan pola pikir anggota rumah tangga. Orientasi tindakan ekonomi dan pola pikir anggota rumah tangga tersebut menentukan kualitas human kapital rumah tangga, terutama dalam merespon perubahan lingkungan dan perubahan penghidupan pada aras komunitas dan rumah tangga. Bagaimana tindakan individu melekat pada struktur sosial, dan bagaimana pola pikir berkaitan dengan kapasitas adaptif dapat ditelusuri dengan menggunakan teori embeddedness dari Granovetter dan teori tindakan dan rasionalitas ekonomi dari Weber.

Granovetter (1992) menjelaskan bahwa posisi teori embeddedness sangat dipengaruhi kuat oleh mazhab subtantivist dalam antropologi, khususnya Karl Polanyi yang menggunakan istilah ini pertama kali. Tindakan ekonomi dalam

(20)

pandangan teori embeddedness merupakan tindakan yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) pada jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor. Hal tersebut tidak hanya terbatas pada tindakan aktor secara individu saja, tetapi mencakup pula prilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi. Semua itu terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial (Granovetter, 1992).

Konsep-konsep penting dalam teori embeddedness adalah ekonomi substantif, ekonomi formalis, oversocialized, undersocialized, embedded, disembedded, underembedded, overembedded, relational embeddedness, structural embeddedness. Konsep ekonomi substantif, ekonomi formalis, oversocialized, dan undersocialized menunjukkan posisi dari tradisi yang mempengaruhi teori embeddedness dari Granovetter. Konsep embedded, disembedded, underembedded, overembedded menunjukkan perbedaan pandangan Granovetter dengan Polanyi. Konsep relational embeddedness dan structural embeddedness merupakan bentuk keterlekatan yang dikembangkan oleh Granovetter (Granovetter, 1992; Swedberg, 2003).

Penerapan konsep-konsep tersebut dalam menjelaskan aktivitas menongkah menjadi sangat penting, karena menunjukkan bagaimana posisi penelitian ini dalam tradisi sosiologi ekonomi. Ekonomi substantif memandang ekonomi sebagai sesuatu yang tampak secara institusional dan berpusat di sekitar gagasan tentang pencapaian nafkah kehidupan, sedangkan ekonomi formalis memandang ekonomi sebagai tindakan yang rasional. Kedua konsep tersebut sejalan dengan perdebatan antara kubu oversocialized dengan kubu undersocialized. Kubu oversocialized memandang bahwa tidakan ekonomi tunduk dan patuh terhadap segala sesuatu yang diinternalisasi dalam kehidupan sosial (nilai, norma, adat-istiadat, dan tata kelakuan). Kubu undersocialized melihat kepentingan individu di atas segala-galanya, dengan tidak memandang bahwa terdapat ruang bagi pengaruh budaya, agama, dan struktur sosial terhadap tindakan ekonomi (Granovetter, 1992; Polanyi, 1992; Smelser & Swedberg, 2005).

Teori embeddedness memandang bahwa perdebatan antara oversocialized dan undersocialized bukanlah merupakan penggambaran yang tepat terhadap realitas tindakan ekonomi. Tindakan ekonomi dalam pandangan oversocialized maupun undersocialized sesugguhnya sama-sama melekat pada setiap jaringan hubungan sosial dan institusi sosial (Granovetter, 1992). Orang Duano yang merupakan masyarakat pra kapitalis mendasarkan tindakan ekonomi mereka atas pertimbangan budaya dan tidak lepas dari tujuan keuntungan pribadi. Pengusaha perikanan yang mendasarkan tindakan mereka untuk pencapaian profit yang optimal, tidak pula dapat membebaskan tindakan ekonominya dari aspek-aspek sosiokultural setempat.

Konsep embedded dan disembedded dikemukan oleh Polanyi dalam membedakan keterlekatan (embeddedness) tindakan ekonomi dengan stuktur sosial pada masyarakat praindustri dan masyarakat modern. Ekonomi dalam masyarakat praindustri melekat (embedded) pada institusi-institusi sosial, politik dan keagamaan, diatur oleh mekanisme resiprositas dan redistribusi. Ekonomi dalam masyarakat modern tidak melekat (disembedded) pada institusi-institusi sosiokultural, melainkan terstruktur dan diatur oleh mekanisme pasar (self regulating market) untuk pencapaian maksimum ekonomi (Polanyi, 1992).

(21)

Teori embeddedness memandang bahwa pembedaan embedded dan disembedded pada masyarakat praindustri dan modern tidak tepat, karena pada kedua tipe masyarakat ini tindakan ekonomi melekat pada struktur sosial. Menjadi lebih tepat jika embeddedness dibedakan dalam kontinum melekat lemah (underembedded) dan melekat kuat (overembedded). Kuat atau lemahnya keterlekatan suatu tindakan ekonomi pada struktur sosial tergantung pada kualitas hubungan interpersonal yang terjadi, bukan ditentukan oleh tipe tahap perkembangan masyarakat. Underembedded dan overembedded dapat terjadi pada masyarakat praindustri maupun modern (Granovetter, 1992; Smelser & Swedberg, 2005).

Granovetter memandang bahwa keterlekatan dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu keterlekatan relasional (relational embeddedness) dan keterlekatan struktural (structural embeddedness). Keterlekatan relasional merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) pada jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor. Keterlekatan struktural merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) pada jaringan hubungan yang lebih luas, dapat berupa struktur atau institusi sosial (Granovetter, 1992; Smelser & Swedberg, 2005).

Bentuk-bentuk perilaku dapat ditelusuri melalui cara seseorang bertindak dan perpikir dalam merespon fenomena-fenomena yang terjadi di dalam sistem ekologi dan sistem sosialnya. Semakin seseorang mampu mengembangkan pola pikirnya dalam mengembangkan strategi nafkah, semakin mampu dan cepat ia merespon perubahan yang terjadi. Pemikiran Weber tentang tipe-tipe tindakan sosial merupakan basis teori untuk menjelaskan hal tersebut.

Sebelum meninjau tentang bentuk-bentuk tindakan dan rasionalitas ekonomi, penting untuk melihat kaitan atara perilaku (behavior) dan tindakan (action). Perilaku sebagai sebuah realitas dapat dipandang sebagai realitas objektif dan realitas subjektif (Johnson, 1988). Kelompok yang memandang bahwa perilaku harus dilihat pada pola-pola perilaku nyata (overt behavior) mengembangkan teori-teori behaviorisme dan teori pertukaran, Ritzer (2004) menyebutnya dengan paradigma perilaku sosial. Kelompok yang memandang perilaku manusia hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan arti-arti subyektif mengembangkan teori tindakan sosial dan teori interaksi simbolik, Ritzer (2004) menyebutnya paradigma definisi sosial.

Weber membagi 4 bentuk tipe ideal tindakan sosial, yaitu tindakan afektif (affectual), tindakan tradisional (traditional), tindakan berdasarkan rasionalitas nilai (value-rational), dan tindakan berdasarkan rasionalitas instrumental (means-end rational). Keempat tindakan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tindakan rasional (value-rational action dan means-end rational action) dan tindakan non rasional (affectual dan traditional). Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa untuk memahami tindakan sosial, Weber mendasarkan analisisnya pada konsep rasionalitas (Kalberg, 1980; Johnson, 1988).

Tindakan tradisional didasarkan atas kebiasaan dan tanpa refleksi yang sadar atau perecanaan. Jika kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini, maka kebiasaan dan institusi yang hadir diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang telah lama mapan. Kebiasaan atau institusi tersebut diterima begitu saja sebagai kerangka acuan bertindak tanpa ada

(22)

sanggahan. Semantara itu tindakan afektif juga dilakukan tanpa refleksi yang sadar, namun didasarkan atas dominasi perasaan atau emosi (Kalberg, 1980; Johnson, 1988).

Tindakan berdasarkan rasionalitas nilai (value-rational action) atau wertrationalität didasarkan lebih dominan atas kepentingan idealistik (ideal-interest) daripada kebiasaan dan emosi. Kepentingan idealistik mengacu pada pemenuhan atau pencapaian tujuan ideologis dan rasionalitasnya berorientasi nilai. Komitmen terhadap nilai-nilai sangat kuat sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan (utility), efesiensi, dan sebagainya menjadi tidak relevan, sebagai contoh adalah tindakan religius (Kalberg, 1980; Johnson, 1988; Smelser & Swedberg, 2005).

Tindakan berdasarkan rasionalitas instrumental (means-end rational action) atau zweckrationalität didasarkan lebih dominan atas kepentingan materialistik (material-interest) dan rasionalitasnya berorientasi pilihan-pilihan yang paling menguntungkan. Pemenuhan atau pencapaian sarana-benda merupakan tujuan yang mendasari kepentingan materialistik. Tindakan ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan (end) dan alat (means) yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu memiliki bermacam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan diantara tujuan-tujuan yang bersaing tersebut. Penilaian terhadap alat-alat yang mungkin digunakan dapat berupa pengumpulan informasi, kemungkinan-kemungkina serta hambatan yang terdapat dalam lingkungan, meramalkan konsekuensi yang mungkin (Kalberg, 1980; Johnson, 1988; Smelser & Swedberg, 2005).

Gambar 2.4. Pemetaan Tindakan dan Rasionalitas Ekonomi

Kalberg (1980) berpendapat bahwa bentuk tindakan sosial Weber tersebut adalah tipe ideal yang sulit ditemukan dalam prakteknya. Tindakan sosial dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Bentuk tindakan sosial Suku Duano dalam aktivitas menongkah dapat dipetakan dengan menggunakan tipe ideal tindakan sosial Weber ini (0). Substantive Rationality Dominant Substantive Rationality Dominant Formal Rationality Dominant Practical Rationality Dominant Traditional (Habits) Rational action Affectual (Emotions) Means-end (material interest) Value (ideal interest)

(23)

Tindakan ekonomi adalah tindakan sosial yang bersifat rasional. Penulusuran tindakan ekonomi dalam aktivitas menongkah hanya dapat dicapai, jika rasionalitas yang bermain di alam pikiran individu dimengerti. Menurut Kalberg (1980) dan Johnson (1988) bahwa Weber pada awalnya membedakan rasionalitas menjadi rasionalitas nilai dan rasionalitas tujuan. Proses berpikir yang lebih diarahkan pada tindakan rasional untuk mencapai tujuan-tujuan etika, moral, estestika, dan tujuan lain di luar tujuan yang sebenarnya merupakan rasionalitas nilai (value rationality), sedangkan proses berpikir yang lebih diarahkan pada tindakan rasional untuk mencapai harapan, dimana harapan menjadi prasarat dan alat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan hukum dari individu merupakan rasionalitas tujuan (means-end rationality).

Rasionalitas selanjutnya dikembangkan menjadi 4 bentuk, guna memberikan penjelasan pada tindakan rasional, yaitu: (1) rasionalitas substantif (substantive rationality), (2) rasionalitas formal (formal rationality, (3) rasionalitas praktikal (practical rationality), dan (4) rasionalitas teoritikal (theoretical rationalty). Rasionalitas substantif merupakan proses berpikir yang diarahkan pada tindakan rasional dalam hal nilai-nilai. Tindakan rasional instrumental didasarkan pada rasionalitas formal dan rasionalitas praktikal. Rasionalitas praktikal berkaitan dengan tujuan-tujuan ekonomi individu yang sangat pragmatis dan egoistik, sedangkan rasionalitas formal pada tujuan-tujuan yang telah disepakati/ diperhitungkan bersama (aturan/hukum). Rasionalitas teorititikal tidak diarahkan pada tindakan sosial, tetapi lebih merupakan upaya kognitif untuk menguasai/menangkap realitas sosial faktual melalui proses abstraksi konsep-konsep (Kalberg, 1980; Johnson, 1988; Smelser & Swedberg, 2005).

Tabel 2.6. Kaitan Antara Tindakan, Tipe Rasionalitas, dan Proses Mental Tipe Tindakan Sosial Proses Mental Tipe Rasionalitas Non Rasional a. Tradisional b. Afektual a. Non rasional b. Non rasional a. - b. - Rasional a. Value rational b. Means-end rational

a. Subordinasi realitas oleh nilai-nilai

b. Kalkulasi instrumental (tujuan dan alat)

a. Substantif

b. Formal dan Praktikal

Sumber: Dimodifikasi dari Kalberg (1980)

Tindakan sosial yang menjadi fokus perhatian di dalam teori embeddedness adalah tindakan rasional, sehingga teori ini memberikan perhatian yang besar pada penelusuran rasionalitas substantif dan rasionalitas formal. Selanjutnya teori adaptasi ekologi budaya tidak membedakan antara tindakan sosial yang rasional dan non rasional, sehingga penulusuran rasionalitas mencakup rasionalitas substantif, rasionalitas formal, dan rasionalitas praktikal. Keterkaitan antara tindakan, tipe rasionalitas, dan proses mental dalam diri individual aktor disederhanakan seperti Tabel 2.6.

Tindakan ekonomi aktor dalam menjalankan aktivitas nafkah dapat dipetakan berdasarkan tujuan pencapain pemenuhan kebutuhan. Strategi nafkah

Gambar

Tabel 2.1.  Fokus dan Asumsi dalam Tradisi Intelektual Sosiologi Perubahan Sosial  Tradisi
Tabel 2.2.  Teori  dan  Konsep  Utama  dalam  Tradisi  Intelektual  Sosiologi  Perubahan Sosial
Tabel 2.3.  Teori dan Konsep yang Digunakan dalam Neo Evolusionisme
Tabel 2.4.  Perbandingan  Fokus  dan  Asumsi  antara  Mazhab  Bogor  dan  Mazhab Sussex  Mazhab   Sosiologi  Nafkah  Fokus  Asumsi  Bogor  (IPB)    Dinamika berbagai  dimensi pembangunan dan modernisasi  pertanian dan pedesaan (mencakup pertanian, perikan
+5

Referensi

Dokumen terkait

nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang keolahragaan. 9) Olahraga Pendidikan adalah olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan

Sebelum merangkai bunga, yang harus Anda perha kan terlebih dahulu adalah tujuan merangkai bunga tersebut; apakah untuk sehari-hari di rumah atau apakah untuk keperluan

pendekatan antara satu LSM dengan LSM Untuk itu di dalam setiap kelompok perlu yang lain bisa saling mendukung, dan dibuat aturan main organisasi, yang tidak

Goleman (2015: 56) mengemukakan indikator kecerdasan emosional dalam lima wilayah utama, yaitu: 1) Mengenali emosi diri, Mengenali emosi diri sendiri intinya adalah

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 dan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18

Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh petugas kehutanan yang berwenang untuk penerimaan bahan baku kayu bulat dari hutan negara, dilengkapi dengan dokumen