• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN PRIORITAS PEMBAHARUAN PETA MANGROVE INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL FOREST CANOPY DENSITY Studi Kasus Delta Mahakam Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN PRIORITAS PEMBAHARUAN PETA MANGROVE INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL FOREST CANOPY DENSITY Studi Kasus Delta Mahakam Kalimantan Timur"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN PRIORITAS PEMBAHARUAN PETA MANGROVE

INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL FOREST CANOPY DENSITY

Studi Kasus Delta Mahakam Kalimantan Timur

(

Priority Updating of

Peta Mangrove Indonesia

Using Forest Canopy Density Model

)

Muhammad Sufwandika Wijaya1, Prama Ardha Aryaguna2, Aninda W. Rudiastuti1, Widyanissa

Rahmayani1,, Rastika Widiastuti, dan Sri Hartini1

1Badan Informasi Geospasial 2Universitas Esa Unggul

Jl. Raya Jakarta- Bogor KM. 46 Cibinong, Kab. Bogor, Indonesia, 16911 E-mail: msufwandika@gmail.com

Diterima (received): 23 Agustus 2018; Direvisi (revised): 14 September 2018; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 10 Oktober 2018

ABSTRAK

Deforestasi Mangrove menjadi salah satu perhatian karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya merugikan ekosistem tetapi juga berdampak pada manusia. Fungsi ekosistem Mangrove yang hilang karena deforestasi seperti kemampuan untuk menahan erosi, meredam dan memecah ombak, menahan intrusi air laut, dan menyerap pencemaran. Peta Mangrove Indonesia merupakan salah satu produk dari Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) yang dihasilkan melalui proses pemetaan yang melibatkan anggota Kelompok Kerja Mangrove Nasional. Namun pembaharuan terhadap peta ini diperlukan untuk mengetahui perubahan kondisi Mangrove tersebut. Untuk itu diperlukan sebuah metode yang tepat dan cepat untuk mengkaji perubahan penutup Mangrove seperti Forest Canopy Density (FCD). Model FCDadalah pemodelan digital yang mampu memberikan informasi perubahan kerapatan vegetasi secara cepat. Hasil dari pemodelan FCD di delta sungai Mahakam dari tahun 2014-2016 menunjukkan bahwa kerapatan Mangrove mengalami penurunan signifikan yaitu 0-68%. Beberapa lokasi menunjukkan penurunan kerapatan kanopi lebih dari 50%, dimana pada penelitian ini dianggap mengalami tingkat deforestasi tinggi. Sebaran eksisting mangrove yang mengalami deforestasi tinggi hasil model FCD adalah lokasi prioritas untuk dilakukan pembaharuan Peta Mangrove Indonesia. Model FCD untuk penentuan prioritas pembaharuan Peta Mangrove Indonesia memiliki akurasi total 84%.

Kata kunci: mangrove, forest canopy density, Delta Mahakam, Landsat OLI 8

ABSTRACT

Mangroves’ deforestation has raised significant concerns because the impacts caused not only harm the ecosystem but also affect to human being. The deforestation of mangroves leads to inability of the ecosystem to function as erosion barrier, wave breaker, sea water intrusion barrier and pollution absorber. On the other side, produced through a mapping process involving members of the National Mangrove Working Group. However, updates to this map are needed to determine the changes in the condition of the Mangroves cover. A robust and suitable method is required to produce the analytical map, one example is Forest Canopy Density (FCD). FCD is a digital model which has an ability to provide information of change in vegetation density in a rapid way. The result of FCD model in Mahakam delta case study from year of 2014 to 2016 shows that Mangroves density have significantly decreased by 0 - 68%. However, there are some locations which have a canopy density that declined by more than 50%, whereas this research assumes that this case study shows a high rate of deforestation. Existing mangroves distribution with high deforestation rate is the priority location to be updated in the Indonesian Mangrove Map framework. The FCD model is suitable for determining the updating priority of Indonesian Mangrove Map with a total accuracy of 84%.

Keywords: mangrove, forest canopy density, Delta Mahakam, Landsat OLI 8

PENDAHULUAN

Peta Mangrove Indonesia merupakan produk dari Kebijakan Satu Peta (Onemap Policy) yang diinisiasi oleh beberapa instansi pemerintah dan mitra pembangunan yang tergabung dalam Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN). KKMN memiliki landasan hukum yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

(SPEM). Satu Peta Mangrove Indonesia pertama kali diluncurkan pada Tahun 2009 pada skala 1:250.000, beberapa tahun sebelum Perpres 73 tahun 2012 keluar. Pada Tahun 2013, satu tahun setelah dikeluarkannya Perpres 73 Tahun 2012, Peta Mangrove Indonesia diperbaharui dan ditingkatkan kedetilannya menjadi skala 1:25.000 menggunakan beberapa jenis citra seperti citra tegak satelit resolusi tinggi (Ikonos, Quickbird),

(2)

SPOT 6, dan 7, serta citra Landsat 8 (Rudiastuti et al., 2016).

Berdasarkan Peraturan Kepala BIG Nomor 3 Tahun 2014 tentang pengumpulan dan pengolahan data geospasial mangrove, data yang digunakan untuk melakukan pemetaan mangrove skala 1:250.000-50.000 adalah citra Landsat 7, sedangkan untuk skala yang lebih detail yaitu 1:25.000 menggunakan citra ALOS atau SPOT 6/7. Wilayah Indonesia yang luas mengakibatkan pembaharuan dan pendetilan Peta Mangrove Indonesia dilakukan dengan sistem region/tahun. Adapun pembagian region tersebut meliputi Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, Maluku, Kalimantan, dan Papua (Gambar 1). Mekanisme pembaharuan dengan sistem region berdampak pada waktu pembaharuan yang lama, hal tersebut bertolak belakang dengan dinamika perubahan mangrove yang cepat. Atas dasar hal tersebut, perlu adanya penentuan area prioritas yang dapat mendeteksi dinamika perubahan mangrove sehingga pembaharuan peta mangrove dapat dilakukan lebih cepat dan efektif.

Kecenderungan perubahan mangrove di Indonesia adalah pengurangan luasan (Nurkin, 1994 dalam Rudiastuti et al., 2016). Pengurangan ekosistem mangrove tersebut dapat terjadi pada area yang luas dikarenakan berbagai gangguan alam dan aktifitas manusia (White et al., 2018). Jika dikaitkan dengan isu karbon, pengurangan luasan manggrove jelas merupakan hal negatif. Kandungan rata-rata cadangan karbon yang dimiliki mangrove adalah lima kali lebih besar dari hutan boreal tropis per satuan dasar unit area. Hal ini menunjukkan bahwa mangrove memiliki peranan penting dalam manajemen perubahan iklim global (Hamdan et al., 2014).

Reduksi pada area mangrove dapat dideteksi melalui monitoring fenomena deforestasi yang diindikasikan dengan berkurangnya kerapatan kanopi secara masif pada area tertentu. Celah kanopi memiliki makna penting dalam proses ekologi hutan yakni sebagai agen utama yang berpengaruh terhadap struktur hutan, khususnya pada tegakan pohon dewasa (Spies et al., 1988

dalam White et al., 2018). Pemantauan dan penilaian yang tepat terhadap deforestasi merupakan prasyarat untuk manajemen berkelanjutan dan kegiatan perencanaan di tingkat regional atau global.

Penginderaan jauh satelit telah terbukti menjadi sarana yang efektif dari segi biaya untuk mendeteksi dan memonitoring perubahan lingkungan yang dikaitkan dengan perubahan penutup lahan. Pesatnya perkembangan teknologi Penginderaan Jauh pada saat ini meliputi dari berbagai aspek seperti wahana akuisisi, sensor perekaman, hingga ke algoritma pengolahan citra. Perkembangan algoritma pengolahan citra pada dekade 1990-an terlihat dengan munculnya model

Forest Canopy Density (FCD) untuk mengekstraksi informasi tutupan kanopi hutan dengan menggunakan citra landsat 7 ETM (Danoedoro, 2012). Kelebihan model FCD ini adalah tidak diperlukan data lapangan dalam input model, sehingga deteksi cepat kerapatan kanopi dapat dilakukan hanya berbasis citra penginderaan jauh saja.

Pada penelitian sebelumnya, pemanfaatan FCD ini pernah dilakukan di Assam, daerah timur laut India. Penelitian ini menunjukkan deforestasi dengan luasan 843,76 km2 atau sekitar 26,28%

dari seluruh area kajian. Akurasi keseluruhan untuk model FCD pada penelitian tersebut adalah 84,0% dengan koefisien Kappa 0,77. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model FCD ini dapat digunakan untuk mondeteksi deforestasi dengan cara melihat perubahan kerapatan kanopi pada ekosistem hutan (Deka et al., 2013).

Selain penelitian di Assam India, beberapa penelitian tentang pemanfaatan model FCD sebelumnya menunjukkan hasil yang positif. Penelitian Sukarna & Sahid (2016) sebelumnya menunjukkan bahwa model FCD mampu mendeteksi perubahan hutan mangrove dengan tingkat ketelitian 89,75%. Mon et al. (2010) menggunakan model FCD untuk melihat pola spasial dan temporal dari deforestasi dan degradasi hutan dengan data Landsat selama beberapa tahun di Bago, Myanmar.

(3)

Godinho et al. (2016) menggunakan model FCD untuk mengestimasi kerapatan kanopi di montado, Portugal bagian selatan, sedangkan Panta & Kim (2006) menyelidiki perubahan dinamika spatio-temporal dari kepadatan kanopi hutan di Nepal. Salah satu wilayah mangrove berada di Provinsi Kalimantan Timur, yakni provinsi dengan area mangrove terbesar kedua di Indonesia. Dengan luasan mangrove mencapai 364.254,98 ha atau setara dengan 11% dari total luas mangrove di Indonesia (Hartini et al., 2010). Beragam jenis dan tingkatan mangrove umumnya ditemukan di Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur (Saptiani et al., 2018).

Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan kebijakan satu peta mangrove. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengimplementasikan model FCD untuk mendeteksi area mangrove yang terdeforestasi guna menentukan area prioritas pembaharuan Peta Mangrove Indonesia dengan mengambil daerah kajian Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur.

METODE

Prioritas pembaharuan Peta Mangrove Indonesia didasarkan pada lokasi-lokasi mangrove yang mengalami deforestasi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Deforestasi ditentukan dengan melihat penurunan kerapatan kanopi hasil analisis multitemporal pada rentang tahun 2014-2016. Sumber data untuk analisis model FCD adalah citra landsat 8 OLI perekaman tahun 2014-2016, Path 116/Row 60-61 yang diunduh secara gratis melalui glovis.usgs.gov. Selain Citra Landsat 8 OLI (Tabel 1), penelitian ini juga menggunakan Mosaik Citra SPOT 6/7 tahun 2016 dari LAPAN. Citra SPOT tersebut digunakan untuk melakukan validasi dari hasil model FCD

sekaligus untuk pembaharuan peta mangrove pada skala 1:25.000. Area kajian dalam penelitian ini adalah Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 2). Pemilihan lokasi di Delta Mahakam karena lokasi tersebut memiliki dinamika mangrove yang tinggi. Selain itu Delta Mahakam terletak di Pulau Kalimantan yang merupakan lokasi prioritas pembaharuan Peta Mangrove Indonesia tahun 2018 (Gambar 1).

Tabel 1.Row/path Citra Landsat 8 OLI.

No Row/Path Tanggal Perekaman Level

Data 1 60/116 2/23/2014 L1TP 2 61/116 L1TP 3 60/116 5/1/2015 L1TP 4 61/116 L1TP 5 60/116 1/28/2016 L1TP 6 61/116 L1TP

Gambar 2. Daerah kajian penelitian.

(4)

Gambar 4. Tahapan model Forest Canopy Density (FCD).

Forest Canopy Density (FCD)

Forest Canopy Density (FCD) adalah model berbasis citra penginderaan jauh yang dikembangkan untuk menilai kondisi ekologi hutan (Rikimaru, 1997). FCD memanfaatkan kerapatan kanopi hutan sebagai parameter penting untuk karakterisasi kondisi hutan dengan asumsi terdapat hubungan antara kerapatan kanopi dan dinamika ekologi hutan. Kanopi rapat dapat mencerminkan kondisi hutan yang baik, sementara ketiadaan kanopi menunjukkan kondisi sebaliknya. Menurut Rikimaru (1997), model FCD menggunakan pemodelan fenomena biofisik dan analisis data yang didapatkan dari beberapa indeks yaitu Advanced Vegetation Index (AVI),

Bare Soil Index (BI), Canopy Shadow Index atau Scaled Shadow Index (SSI) dan Thermal Index

(TI). Pada beberapa kasus tertentu, penggunaan

thermal index dapat diabaikan. Hal tersebut menyesuaikan kondisi jenis tanah dari daerah kajian (Gambar 4). Thermal Index ini memiliki fungsi untuk membedakan antara tanah hitam terbuka dengan bayangan dari tegakan vegetasi (Rikimaru, 1997). Pada penelitian ini penggunaan

Thermal Index diabaikan karena substrat mangrove di daerah kajian memiliki karakteristik lumpur (bukan tanah hitam).

Pada penelitian ini, sebelum melakukan pemodelan FCD, terlebih dahulu dilakukan tahap pra pemrosesan data terhadap Citra Landsat 8 OLI. Pra pemrosesan data tersebut berupa noise

menggunakan Quality Assessment Band yang dimiliki oleh Citra Landsat 8 OLI.

Diagram alir pengolahan FCD dapat dilihat pada Gambar 3. Adapun perhitungan indeks guna mendapatkan FCD ditampilkan pada

Persamaan 1, Persamaan 2, dan Persamaan 3

berikut:

SI = ∛(65536 – Band 2)*(65536 – Band 3)*(65536 – Band 4) ... (1)

BSI = [((Band 6 + Band 4) – (Band 5 + Band 2)) / ([D((Band 6 + Band 4) + (Band 5 + Band 2))] * 100 + 100 ... (2)

AVI =∛(Band 5 + 1) * (65536 – Band 4) * (Band 5 – Band 4) ... (3)

Hasil dari AVI dan BSI dijadikan input untuk

Principle Component Analysis (PCA). Hasil normalisasi rentang 0 – 100 pada kanal 1 hasil PCA disebut Scaled Vegetation Density (SVD). Proses normalisasi rentang juga diterapkan pada output SI yang kemudian disebut Scaled Shadow Index (SSI). Kemudian model FCD dihasilkan menggunakan algoritma sebagaimana di tampilkan pada Persamaan 4 berikut:

FCD= (SVD * SSI) + 1) ... (4)

Analisis Multi Temporal

(5)

perubahan kerapatan kanopi dalam rentang 3 tahun tersebut. Deforestasi tinggi pada area mangrove dapat menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut telah terjadi alih fungsi lahan dari mangrove menjadi tutupan lahan seperti tambak, lahan terbuka atau permukiman.

Lokasi deforestasi hasil analisis dari model FCD tidak bisa langsung digunakan untuk mengubah poligon pada Peta Mangrove Indonesia. Hal tersebut karena perbedaan skala. Model FCD menggunakan citra Landsat 8 OLI dengan resolusi spasial 30 meter setara dengan pemetaan skala 1:250.000. Terkait editing dari Peta Mangrove Indonesia poligonnya harus mengacu pada citra yang setara untuk skala 1:25.000, dalam penelitian ini menggunakan Mosaik Citra SPOT 6/7 tahun 2016.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tutupan kanopi adalah salah satu sifat biofisik terukur dari mangrove. Dalam kaitannya dengan penginderaan jauh, penutupan kanopi adalah variabel spasial kunci yang mengontrol fraksi yang terlihat oleh sensor. Dengan demikian, perubahan kanopi dapat secara langsung dan sangat mempengaruhi kondisi tumbuhan bawah. Penginderaan jauh telah digunakan secara ekstensif untuk memetakan dan memantau lingkungan mangrove selama dua dekade terakhir. Ini menawarkan beberapa keuntungan utama untuk studi mangrove, termasuk akses tidak langsung ke habitat mangrove yang biasanya sulit diakses (Umroh et al., 2016).

Model FCD menggunakan input digital number dari setiap band penyusunnya, sehingga kalibrasi/koreksi radiometrik dan atmosferik tidak dilakukan dalam penelitian ini. Tidak dilakukannya koreksi radiometrik dan atmosferik tentu berpengaruh terhadap hasil analisis dari model FCD. Untuk menyimpulkan hasil analisis perlu melihat pola spasial dari perubahan kerapatan kanopi. Jika perubahan nilai terlihat seragam pada seluruh lokasi, bisa dipastikan perubahan nilai tersebut dipengaruhi oleh kondisi biofisik atmosfer

saat perekaman citra. Gambar 5 menunjukkan pola perubahan warna dari ungu ke kuning (mengindikasikan berkurangnya kerapatan kanopi) terjadi dengan pola semakin meluas dari tahun 2014-2015 dan 2015-2016. Pola perubahan yang semakin meluas dan tidak seragam pada seluruh daerah kajian, menunjukkan bahwa pengurangan nilai FCD diakibatkan oleh kondisi eksisting objek mangrove di lapangan telah berubah.

Deforestasi Pada Area Mangrove

Hasil FCD menunjukkan bahwa terjadi deforestasi mangrove dari tahun 2014 ke 2016, pada daerah kajian. Perubahan ditunjukkan oleh berkurangnya persen kerapatan kanopi pada lokasi yang sama. Analisis terhadap ketiga hasil model tersebut menunjukkan besaran deforestasi mangrove di Delta Mahakam yang dituangkan dalam kelas deforestasi rendah hingga tinggi (Gambar 6).

Gambar 6. Peta deforestasi area mangrove di Delta

Mahakam, Kalimantan Timur tahun

2014-2016.

(6)

Gambar 7. Prioritas pembaharuan mangrove Indonesia di Delta Mahakam, Kalimantan Timur.

Analisis multitemporal dari model FCD menunjukkan pengurangan kanopi yang dominan terjadi di Delta Mahakam sepanjang tahun 2014-2016 berkisar 0-68%. Batas nilai minimal pengurangan kerapatan kanopi dianggap terjadi deforestasi rendah adalah 10%. Dengan kata lain pengurangan kerapatan kanopi antara 0-10% masih dianggap sebagai dinamika vegetasi yang wajar. Angka 10% tersebut didapatkan dari analisis yang melihat pola spasial serta histogram statistik dari hasil model FCD selama rentang 2014-2015 pada daerah kajian.

Sementara itu, Gambar 6 menunjukkan bawa lokasi yang berwarna merah (terdeforestasi tinggi) pada area kajian hanya sedikit. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar wilayah Delta Mahakam telah dilakukan rehabilitasi mangrove dan dijaga ekosistem mangrovenya (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015). Gerakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran mengenai dampak berkurangnya tutupan Mangrove seperti hilangnya daerah pemijahan, pengasuhan dan sumber makanan bagi biota laut.

Kondisi berbeda ditemukan pada sebagian kecil lokasi di Delta Mahakam yang mengalami deforestasi tinggi yakni lebih dari 50%. Deforestasi ini dilihat dari hasil pemodelan FCD tahun 2014-2016, salah satu contohnya terlihat pada

Gambar 6. Perubahan yang signifikan tersebut diidentifikasi sebagai deforestasi tinggi, karena tutupan mangrove tahun 2014-2016 terus menurun dari. Jika dijumlahkan, wilayah mangrove yang mengalami deforestasi tinggi pada wilayah kajian mencapai 253,53 ha. Angka luasan tersebut jika dipersentasekan adalah sekitar 6% dari luasan mangrove daerah kajian yang luasnya mencapai

menjadi tambak atau lahan budidaya lainnya, namun validasi lapangan lebih lanjut perlu dilakukan. Penelitian terdahulu (Setiawan et al., 2015) menyatakan bahwa nilai manfaat yang hilang mencapai Rp 209.688.551.071,00/tahun dari wilayah mangrove yang dikonversi menjadi tambak seluas 75.311 ha. Selain itu, fungsi biofisik ekosistem delta turut lenyap seperti penahan erosi, peredam gelombang, penahan intrusi air laut, dan penyerap pencemaran.

Prioritas Pembaharuan Peta Mangrove Indonesia

Tingkat deforestasi tinggi menjadi indikator wilayah prioritas pembaharuan Peta Mangrove secara spasial (Gambar 7). Selain masih bersifat indikatif, hasil model FCD ini jika dilihat dari sumber data Citra Landsat 8 OLI adalah setara untuk pemetaan pada skala 1:250.000. Dengan kata lain, hasil model ini tidak bisa secara langsung digunakan untuk mengubah poligon Peta Mangrove Indonesia skala 1:25.000 guna proses pembaharuan.

Terkait pelaksanaan pembaharuan Peta Mangrove Indonesia, hasil model FCD harus dikombinasikan (superimpose) dengan Citra Satelit dengan resolusi spasial yang setara untuk digunakan dalam pemetaan skala 1:25.000 (dalam penelitian ini menggunakan mosaik citra SPOT 6/7). Lokasi pembaharuan difokuskan pada lokasi dengan deforestasi tinggi, agar proses pembaharuan lebih efektif an efisien. Hasil model FCD menunjukkan bahwa pada daerah kajian diindikasikan ada 211 lokasi yang perlu dilakukan prioritas pembaharuan (Gambar 7). Hasil verifikasi dengan Mosaik Citra SPOT 6/7, pada 211 lokasi

(7)

33 titik lainya tidak dapat diketahui karena pada Citra SPOT 6/7 Mosaik tertutup awan. Sisanya, 27 titik kondisinya masih eksisting mangrove. Jika lokasi yang tertutup awan diabaikan maka akurasi dari hasil model penentuan prioritas ini adalah 84%. Identifikasi penambahan luas mangrove belum dapat diakomodir dengan baik oleh model FCD ini. Hal ini dikarenakan batas mangrove eksisting menggunakan poligon Peta Mangrove Indonesia.

KESIMPULAN

Pemanfaatan FCD dapat digunakan untuk penentuan prioritas pembaharuan Peta Mangrove Indonesia khususnya pada daerah kajian penelitian yaitu Delta Mahakam Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan model FCD, pada daerah kajian terdapat 211 titik lokasi prioritas untuk dilakukan pembaharuan Peta Mangrove Indonesia. Penentuan lokasi tersebut didasarkan pada perubahan kerapatan kanopi yang ekstrim dari analis model FCD. Setelah dilakukan verifikasi dengan Mosaik Citra SPOT tahun 2016, hasil dari model penentuan prioritas pembaharuan Peta Mangrove Indonesia dengan FCD memiliki akurasi total 84%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik - BIG, khususnya Bidang Pemetaan dan Integrasi Tematik Laut atas dukungan data spasial, serta kepada Kelompok Kerja One Map Mangrove atas dukungan informasi terkait mangrove di Provinsi Kalimantan Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Danoedoro, P. (2012). Pengantar Penginderaan Jauh

Digital. (B. Rini, Ed.) (Ed. I). Yogyakarta: ANDI. Deka, J., Tripathi, O. P., & Khan, M. L. (2013).

Implementation of Forest Canopy Density Model to Monitor Tropical Deforestation. Journal of the Indian Society of Remote Sensing, 41(2), 469–

475. https://doi.org/10.1007/s12524-012-0224-5 Godinho, S., Guiomar, N., & Gil, A. (2016). Using a

stochastic gradient boosting algorithm to analyse the effectiveness of Landsat 8 data for montado land cover mapping: Application in southern Portugal. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 49, 151–162.

https://doi.org/10.1016/j.jag.2016.02.008

Hamdan, O., Khali Aziz, H., & Mohd Hasmadi, I. (2014). L-band ALOS PALSAR for biomass estimation of

Matang Mangroves, Malaysia. Remote Sensing of

Environment, 155, 69–78.

https://doi.org/10.1016/j.rse.2014.04.029

Hartini, S., Saputro, G. B., Yulianto, M., & Suprajaka. (2010). Assessing the used of remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. In 10th WSEAS/IASME International Conference on Electric Power Systems, High Voltages, Electric Machines, POWER’10, 6th WSEAS International Conference on Remote Sensing, REMOTE’10 (pp. 210–215).

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2015). Menanam

Mangrove, Memulihkan Delta Mahakam. KKP

News, p. 1.

Mon, M. S., Kajisa, T., Mizoue, N., & Yoshida, S. (2010).

Degradation Monitoring Deforestation. Japan

Society of Forest Planning, 15, 63–72.

Panta, M., & Kim, K. (2006). Spatio-temporal Dynamic Alteration of Forest Canopy Density based on Site

Associated Factor. Korean Journal of Remote

Sensing, 22(5), 11.

Rikimaru. (1997). Semi-Expert Remote Sensing System for Forest Canopy Density.

Rudiastuti, A. W., Yuwono, D. M., Niendyawati, Pramono, G. H., & Rahmanto, B. D. (2016). Overview of National Thematic Data Integration (An Experience on One Map Mangrove Sulawesi).

IOP Conference Series: Earth and Environmental

Science, 47(1), 0–15.

https://doi.org/10.1088/1755-1315/47/1/012012 Saptiani, G., Asikin, A. N., Ardhani, F., & Hardi, E. H.

(2018). Mangrove plants species from Delta Mahakam , Indonesia with antimicrobial potency.

Biodiversitas, 19(2), 466–471.

https://doi.org/10.13057/biodiv/d190220

Setiawan, Y., Bengen, D. G., Kusmana, C., & Pertiwi, S. (2015). Estimasi Nilai Eksternalitas Konversi Hutan Mangrove Menjadi Pertambakan di Delta

Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 12(3), 201–210. Sukarna, R. M., & Sahid, Y. (2016). FCD Application of

Landsat for Monitoring Mangrove in Central

Kalimantan. Indonesian Journal of Geography,

47(2), 160. https://doi.org/10.22146/ijg.9259 Umroh, Adi, W., & Sari, S. P. (2016). Detection of

Mangrove Distribution in Pongok Island. Procedia Environmental Sciences, 33, 253–257. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2016.03.076 White, J. C., Tompalski, P., Coops, N. C., & Wulder, M.

A. (2018). Comparison of airborne laser scanning and digital stereo imagery for characterizing forest canopy gaps in coastal temperate rainforests.

Remote Sensing of Environment, 208(January), 1– 14. https://doi.org/10.1016/j.rse.2018.02.002

(8)

Gambar

Gambar 2. Daerah kajian penelitian.
Gambar 4. Tahapan model Forest Canopy Density (FCD).
Gambar 5. Ilustrasi analisis multitemporal pada model FCD.
Gambar 7. Prioritas pembaharuan mangrove Indonesia di Delta Mahakam, Kalimantan Timur

Referensi

Dokumen terkait

Kedua adalah hitungan mundur yang Digunakan untuk mengetahui waktu paling akhir memulai dan mengakhiri masing-masing kegiatan tanpa mempengaruhi penyelesaian proyek

Tugas Akhir berjudul “Analisa Struktur Mikro dan Tingkat Kekerasan Logam Baja Hasil Hot Rolling Dengan Penambahan Karbon Arang Tempurung Kelapa Dengan Mesh

(2001) mengatakan bahwa brand equity adalah seperangkat aset d an li abilitas merek yang t erkait dengan s uatu merek, na ma, simbol yang mampu menambah atau mengurangi

• kerusakan hati pada anak dapat timbul karena penggunaan vitamin A dengan dosis yang sesuai AKG untuk orang dewasa selama beberapa tahun dan dengan dosis 5 kali AKG selama 7-10

Apabila Pimpinan Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen/ Instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tidak menyetujui permintaan pemegang hak atas tanah dan pemilik

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh family control terhadap profitabilitas yang diukur dengan ROA dan nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q maka

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan atau peningkatan kinerja keuangan perusahaan atau sebagai referensi

PENGKEMASAN KULINER LOKAL DAN CINDERAMATA LOKAL DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN DESA WISATA TISTA, KECAMATAN KERAMBITAN, KABUPATEN 3 4 Bandiyah, S.Fil.,M.A 198109032