• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas dan Wewenang Jaksa dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tugas dan Wewenang Jaksa dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS DAN WEWENANG JAKSA DALAM

PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI1

Oleh : Josua D. W. Hutapea2

ABSTRAK

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tugas dan wewenang Jaksa dalam pemeriksaan perkara pidana dan bagaimana pemeriksaan tindak pidana korupsi di sidang pengadilan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan: 1.Tugas dan wewenang jaksa dalam pemeriksaan suatu perkara pidana adalah melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta melakukan pengawasan terhadap pelepasan bersyarat serta melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi. 2.Pemeriksaan tindak pidana korupsi di sidang pengadilan, pada dasarnya sama dengan pemeriksaan tindak pidana umum yang diatur dalam KUHAP. Namun pemeriksaan tindak pidana korupsi terdapat penyimpangan khusus dalam hal pembuktian, karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Di mana terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, dan jaksa selaku penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Kata kunci: Tugas dan wewenang, Jaksa, Korupsi

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, sebagai dampak dari kejahatan ini, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

1

Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Nontje Rimbing, SH, MH; Liju Zet Viany, SH, MH

2

Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 13071101139

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, salah satu poin dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi menginstruksikan kepada Kepala Kejaksaan (Kejaksaan Agung) Republik Indonesia untuk : a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan

terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.

b. Mencegah dan memberikan sanksi tugas terhadap penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.

c. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan, dan instansi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, menentukan Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Hal ini memberikan pengertian bahwa kewenangan penuntutan ada pada lembaga Kejaksaan.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan menentukan, Kejaksaan merupakan salah satu sub sistem dalam sistem peradilan pidana yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh undang-undang yang dilaksanakan secara merdeka yang artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Kejaksaan menentukan, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Dengan demikian Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

Tugas dan wewenang Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang begitu strategis merupakan hal yang sangat menarik untuk dibahas, karena korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir, titik

(2)

yang tidak dapat lagi ditolerir. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional dan berkesinambungan karena telah merugikan perekonomian negara. Dari uraian di atas telah mendorong penulis untuk menulis skripsi dengan judul : Tugas Dan Wewenang Jaksa Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah tugas dan wewenang Jaksa dalam pemeriksaan perkara pidana? 2. Bagaimanakah pemeriksaan tindak pidana

korupsi di sidang pengadilan? C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu dengan melihat hukum sebagai kaidah (norma). Untuk menghimpun bahan digunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mempelajari kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan, himpunan peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum dan berbagai sumber tertulis lainnya. Bahan-bahan yang telah dihimpun selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisa kualitatif, di mana hasilnya disusun dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi. PEMBAHASAN

A. Tugas Dan Wewenang Jaksa Dalam

Pemeriksaan Perkara Pidana

Pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,

penegakan hak asasi manusia serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Di dalam Pasai 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa :

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Ketentuan di atas memberi pengertian bahwa penuntut umum harus seorang Jaksa. Dan tugas Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 13 KUHAP bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Secara garis besar setelah berlakunya, KUHAP, tugas Jaksa adalah :

1. Sebagai penuntut umum;

2. Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (eksekutor).

Dalam tugasnya sebagai penuntut umum, Jaksa mempunyai tugas :

1. Melakukan penuntutan.

2. Melaksanakan penetapan hakim.

Dua tugas tersebut dilakukan oleh penuntut umum dalam proses persidangan pidana yang sedang berjalan.

Tugas Jaksa sebagai penuntut umum diatur dalam Pasal 13 KUHAP dan dipertegas dalam Pasal 137 KUHAP. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.

B. Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Di Sidang Pengadilan

(3)

Setelah berlakunya KUHAP, fungsi penuntutan dan penyidikan diberikan kepada instansi yang berbeda. Untuk penuntutan diserahkan kepada instansi kejaksaan, sedangkan untuk penyidikan menjadi wewenang POLRI sebagai penyidik utama. Namun berdasarkan Pasal 30 ayat (1) d Undang-Undang Kejaksaan, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) d Undang-undang Kejaksaan, dijelaskan bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan demikian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi Jaksa dapat melakukan penyidikan.

Pasal 30 ayat (1) d Undang-Undang Kejaksaan, memberikan tugas dan wewenang kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Di Indonesia kini berkembang dengan subur tindak pidana-tindak pidana tertentu di luar KUHP. Untuk tindak pidana yang diatur dalam KUHP polisi adalah penyidik tunggal atau utama. Untuk tindak pidana tertentu di luar KUHP, Jaksa dapat melakukan penyidikan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dalam hal ini kepolisian untuk melaksanakan dan membina kerjasama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana tertentu. Hubungan kerjasama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas dan wewenang masing-masing. Kerjasama antara kejaksaan dengan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asa cepat, sederhana, biaya ringan, serta bebas, jujur dan tindak memihak dalam penyelesaian perkara.9

10

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 285.

Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari pihak lain guna penyelesaian secepatnya.

Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 25 menentukan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dengan demikian tugas dan wewenang Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan berdasarkan KUHAP, di mana tugas dan wewenang Jaksa adalah untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

Dalam penyidikan tindak pidana korupsi setelah Jaksa mengumpulkan bahan-bahan yang menjadi barang bukti atau alat bukti dalam suatu rangkaian berkas perkara, maka Jaksa melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.

Tugas dan wewenang Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 143 KUHAP menentukan penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Surat dakwaan berisi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka dan kuasanya atau penasehat hukumnya, penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Pemeriksaan tindak pidana korupsi di sidang pengadilan adalah sebagai berikut :10 1. Pembacaan surat dakwaan (Pasal 155

KUHAP)

11

(4)

2. Eksepsi (Pasal 156 KUHAP) 3. Pemeriksaan saksi dan ahli

4. Keterangan terdakwa (Pasal 177-178 KUHAP).

5. Pembuktian (Pasal 181 KUHAP)

6. Requisitor atau Tuntutan Pidana (Pasal 187 huruf a)

7. Pleidoi atau pembelaan terdakwa (Pasal 196 KUHAP)

8. Replik-replik (Pasal 182 ayat (1) KUHAP 9. Kesimpulan

10. Putusan pengadilan

Pada hari sidang yang ditentukan, pemeriksaan perkara dimulai. Hadir dalam pemeriksaan itu hakim, Jaksa, dan panitera. Sidang dibuka oleh hakim dengan mengetok palu di meja sidang.

Kepada juru panggil, hakim memerintahkan agar terdakwa disuruh masuk, jika ia tadinya dibelenggu, sekarang dilepas belenggunya. Terdakwa duduk tertib di muka hakim kemudian ditanyai oleh hakim: siapakah nama, berapa umur, di mana tempat tinggal, apa pekerjaannya, dan sebagainya. Semua ini untuk meyakinkan hakim, bahwa yang hadir di depannya itu adalah terdakwa yang sebenarnya. Kepada terdakwa diminta perhatiannya, agar mulai saat itu ia memperhatikan apa-apa yang akan dibicarakan di sidang selanjutnya.

Hakim mempersilakan Jaksa membaca surat dakwaan (requisitor) dan setelah selesai pembacaan tersebut hakim menyimpulkan secara sederhana dan menerangkan apa yang pada pokoknya dituduhkan kepada terdakwa. Jika bagi terdakwa sudah terang apa yang dituduhkan serta bagian mana yang diakuinya dan bagian mana yang diingkarinya, dan hakim memperingatkan kepada terdakwa akan hak untuk membela diri. Baik dilakukan sendiri maupun dengan perantaraan seorang pengacara. Yang hendak diketahui oleh hakim dari terdakwa, yaitu apakah semua unsur perbuatan pidana yang dituduhkan benar terbukti dalam sidang pemeriksaan. Untuk itu, hakim dengan cermat memperhatikan bunyi ketentuan pidana yang dituduhkan kepada terdakwa.

Surat dakwaan berisi hal-hal yang didakwakan kepada terdakwa. Dalam pembacaan surat dakwaan, Jaksa sebagai penuntut umum merupakan wakil negara, oleh

sebab itu dalam menjalankan tugasnya harus selalu mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan rakyat serta bersikap objektif.

Pasal 143 ayat (2) KLTHAP menentukan syarat surat dakwaan sebagai berikut : Surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka;

b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Dengan demikian, terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang tercantum dalam surat dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, ia tidak dapat dipidana.

Menurut Audi Hamzah, perumusan dakwaan tidak perlu mengikuti urutan unsur delik yang didakwakan. Misalnya unsur-unsur delik korupsi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi urutannya adalah :11

1) Melawan hukum;

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan

3) Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Untuk menyusun dakwaan, tidak perlu dimulai dengan melawan hukum. Dalam hukum pidana delik itu dibagi menjadi dua, yaitu perbuatan dan pertanggungjawaban, Pada perumusan delik di atas perbuatan adalah memperkaya diri dan seterusnya dan akibatnya kerugian keuangan negara, disusul dengan melawan hukum yang dapat diartikan dalam delik ini sebagai tanpa hak untuk menikmati hasil korupsi.

Eksepsi adalah hak terdakwa untuk mengajukan keberatan setelah mendengar isi surat dakwaan. Hal ini diatur dalam Pasal 156 KUHAP, yaitu apabila terdakwa atau penasehat hukumnya setelah mendengar isi surat

12

(5)

dakwaan berhak mengajukan keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan tersebut. Eksepsi ini diajukan sebelum pengadilan memeriksa pokok perkaranya, jadi diajukan sebelum sidang yang pertama. Eksepsi bertujuan untuk menghemat tenaga dan waktu dalam persidangan. Jika dari surat dakwaan itu sendiri sudah diketahui bahwa perkara dapat diputus atas dasar dakwaan itu (tanpa pemeriksaan di sidang pengadilan), perkara itu harus diputus tanpa pemeriksaan dalam sidang. Dengan cara ini, akan menghemat tenaga dan waktu sidang.

Pemeriksaan saksi dan saksi ahli bertujuan untuk meneliti apakah para saksi yang dipanggil sudah hadir di persidangan. Saksi diperiksa secara bergantian. Menurut Fasal 160 ayat (1) sub b KUHAP yang pertama kali diperiksa adalah korban yang menjadi saksi. Berbeda dengan praktik pemeriksaan yang selama ini dilakukan, menurut sistem KUHAP pemeriksaan dimulai dengan mendengarkan saksi meskipun pada permulaan sidang yang dipanggil masuk adalah terdakwa terlebih dahulu.

Dalam pemeriksaan terdapat dua saksi, yaitu saksi de charge dan saksi a de charge. Saksi a de charge, yaitu saksi yang memberatkan. Saksi ini diajukan sejak awal oleh penuntut umum. Adapun saksi a de charge, yaitu saksi yang meringankan terdakwa. Saksi ini diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya. Dalam hal pemeriksaan di persidangan di sini terdakwa tidak disumpah. Apabila dalam suatu perkara terdakwa atau saksi tidak dapat berbahasa Indonesia, pengadilan menunjuk seorang juru bahasa yang akan menjadi penghubung antara majelis hakim, penuntut umum, dan terdakwa. Juru bahasa harus bersumpah atau berjanji atas kebenaran yang diterjemahkan.

Demikian juga terhadap terdakwa atau saksi yang bisu, tidak bisa menulis, dan tuli, pengadilan mengangkat orang agar berkomunikasi dengannya semua dibacakan dalam persidangan atas terjemahannya (Pasal 178 KUHAP).

Pembuktian meliputi barang bukti, yaitu barang yang dipergunakan terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau hasil dari suatu tindak pidana. Barang-barang ini disita oleh penyelidik sebagai bukti dalam sidang

pengadilan. Barang ini kemudian diberi nomor sesuai dengan nomor perkaranya, disegel, dan hanya dapat dibuka oleh hakim pada waktu sidang pengadilan. Dalam Pasal 181 ayat (1) ditentukan bahwa hakim kctua sidang memperlihatkan barang tersebut kepada terdakwa dan menanyakan apakah terdakwa kenal dengan barang tersebut.

Ada lima 5 (lima) alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pada dasarnya pemeriksaan tindak pidana korupsi di sidang pengadilan sama dengan pemeriksaan tindak pidana umum, namun dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi ada sedikit penyimpangan khususnya dalam hal pembuktian. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dikatakan bahwa undang-undang ini menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang.

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan :

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Jaksa selaku penuntut umum masih tetap

berkewajiban untuk membuktikan

dakwaannya. Ketentuan ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.

Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan :

(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

(6)

(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang telah berimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dipergunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Apabila menurut pertimbangan majelis hakim pemeriksaan atas terdakwa dan para saksi telah cukup, penuntut umum dipersilahkan menyampaikan tuntutan pidana (requisitoir). Adapun isi surat tuntutan adalah identitas terdakwa, surat dakwaan, keterangan saksi/saksi ahli, keterangan terdakwa, barang bukti, hal-hal yang meringankan serta memberatkan terdakwa, dan tuntutan (permohonan kepada hakim). Apabila

penuntut umum telah membacakan

tuntutannya, hakim ketua sidang memberi kesempatan kepada terdakwa dan penasehat

hukumnya untuk menyampaikan

pembelaannya (pleidoi). Isi pembelaan (pleidoi), yaitu pendahuluan, isi dakwaan, fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, teori hukum, kesimpulan, permohonan dan penutup. Atas pleidoi terdakwa,

penuntut umum dapat memberikan

jawabannya, yang dikenal dengan istilah replik. Terdakwa dan penasehat hukumnya masih mempunyai kesempatan untuk menjawab replik ini. Jawaban ini disebut duplik.

Kesempatan terakhir untuk berbicara diserahkan kepada terdakwa dan penasehat hukumnya (Pasal 182 ayat (1) sub b). Apabila pemeriksaan suda dianggap selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan sudah selesai dan dinyatakan ditutup. Pemeriksaan yang telah ditutup ini dapat dinyatakan dibuka kembali baik atas kewenangan hakim ketua sidang ataupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum dengan menyebutkan alasan-alasannya (Pasal 182 ayat (2) ini

dimaksudkan untuk menampung data tambahan sebagai bahan musyawarah hakim.

Sesudah sidang dinyatakan ditutup, penuntut umum dan pembela masing-masing membuat kesimpulan yang menjadi dasar bagi majelis hakim untuk mengambil keputusan yang dilakukan dengan musyawarah antara para hakim (Pasal 182 ayat (3) KUHAP. Musyawarah yang dilakukan oleh majelis hakim didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang (Pasal 183 ayat (4)). Sebelum membuat keputusan, hakim harus bermusyawarah dalam majelis hakim dengan cara meminta pendapat dari hakim termuda sampai hakim yang tertua (Pasal 182 ayat (5)).

Di dalam KUHAP dijumpai tiga macam putusan pengadilan yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) dan (2), serta Pasal 193 ayat (1) :12 a. Putusan bebas (Pasal 191 ayat (1)).Suatu

putusan yang menyatakan bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)).

Berisi tentang alasan pembenar dan alasan pemaaf.

c. Pemidanaan (Pasal 191)

Putusan yang dijatuhkan pada terdakwa oleh hakim apabila kesalahan terdakwa dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan.

PENUTUP A. Kesimpulan

1. Tugas dan wewenang jaksa dalam pemeriksaan suatu perkara pidana adalah melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta melakukan pengawasan terhadap pelepasan bersyarat serta melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi.

2. Pemeriksaan tindak pidana korupsi di sidang pengadilan, pada dasarnya sama dengan pemeriksaan tindak pidana umum yang diatur dalam KUHAP. Namun pemeriksaan tindak pidana korupsi

13

Evi Hartanti, Op-cit, hlm. 53.

(7)

terdapat penyimpangan khusus dalam hal pembuktian, karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Di mana terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, dan jaksa selaku

penuntut umum masih tetap

berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

B. Saran

1. Diharapkan jaksa dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan baik

terutama dalam penuntutan,

melaksanakan penetapan hakim dan pengawasan terhadap putusan terutama lepas bersyarat agar terpidana dapat memperoleh hak-haknya dan rasa keadilan masyarakat terpenuhi.

2. Diharapkan jaksa selaku penuntut umum dalam setiap tindak pidana korupsi dapat membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, agar hakim dapat menjatuhkan pidana yang berat terhadap terdakwa, agar terdakwa tidak mengulangi lagi perbuatannya dan orang lain juga menjadi takut untuk melakukan tindak pidana korupsi. Melalui penjatuhkan pidana yang berat terhadap para koruptor diharapkan dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Campbell Henry, o l[> ÁDictionary, Edition VI,

West Publishing, 1990.

Effendy Marwan, Korupsi Dan Strategi Nasional:

Pencegahan Serta Pemberantasannya,

Sinar Grafika, Jakarta.

Effendi Tolib, Sistim Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, 2013.

Hamzah Andi, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

___________, Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Hartati Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Husein M. Harun, Surat Dakwaan: Teknik

Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya,

Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Jusuf Muhamad, Hukum Kejaksaan: Eksistensi Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam Perkara Perdata Dan Tata Usaha Negara.

Koeswadji Hadiati Hermien, Korupsi di Indonesia Dari Delik Jabatan Ke Tindak Pidana Korupsi, 2011.

Lamintang P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984. Marpaung Leden, Proses Penanganan Perkara

Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta.

Poewadarminta W.J.S., Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976. Prakoso Djoko, Tindak Pidana Penerbangan Di

Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 38.

Pratikno, Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia, Aberroes Press, Malang, 2005. Prodjodikaro Wirjono, Hukum Acara Pidana Di

Indonesia, Sumur Bandung, 1982.

__________________, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003. Sarundayang S.H., Babak Baru Sistem

Pemerintahan Daerah, Kasta Hasta, Jakarta,

2005.

Sasangka Hari, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, Dan Pra Peradilan Dalam Teori

Dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2007.

Sianturi S.R., Asas-asas Hukum Pidana Indonesia

dan Penerapannya, ALUMNI

AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1989.

Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung, 1986.

Surachman R.M., Maringka Jan, Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi Di Berbagai

Negara, Alumni, Bandung, 2001.

Tirtaamidjaja M.H., Kedudukan Hakim dan Jaksa, Fasco, Jakarta, 1985.

Tresna R., Asas-asas Hukum Pidana, PT Tiara Ltd., Jakarta, 1989.

Waluyo Bambang, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Strategi Dan Optimalisasi), Sinar Grafika, Jakarta, 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai salah satu Kabupaten dalam Provinsi Jambi, Kabupaten Batanghari merupakan kabupaten yang mempunyai laju pembangunan daerah yang relative stabil, bila

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan

Program Lesson Study telah berhasil diidentifikasi dan dikembangkan melalui kegiatan Lesson Study di tiga LPTK (FPMIPA UPI, FMIPA UNY dan FMIPA UM) dan dirasa perlu

Titik Setiawati, A.210 090 098 Program Studi Pendidikan Akuntansi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013. Untuk mengetahui pengaruh

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak

Penggunaan Kitosan Dari Tulang Rawan Cumi-Cumi (Loligo Pealli) Untuk Menurunkan Kadar Ion Logam Cd Dengan Menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom.. FMIPA ;

Mereka berdua melakukan gerakan yang rampak dan saling mengisi tetapi sedang melakukan gerak berdua, muncul salah satu penari kelompok perempuan dari balik pintu

[r]