TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG NOMOR: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb TENTANG TINDAK PIDANA DUMPING LIMBAH KE
MEDIA LINGKUNGAN TANPA IZIN
SKRIPSI
Oleh:
Venni Tri Utami NIM: C03215038
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya 2019
ABSTRAK
Skripsi dengan judul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb Tentang Tindak Pidana Dumping Limbah Ke Media Lingkungan Tanpa Izin untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana analisis pertimbangan hakim dalam putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin dan Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin.
Dalam penelitian ini data diperoleh dari kajian kepustakaan, yaitu berupa teknik bedah putusan, dokumentasi serta kepustakaan. Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan tindak pidana dumping limbah, yakni berupa sumber primer dan sumber sekunder. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dengan pola pikir induktif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdakwa H. Asep Iskak Mutaqin telah terbukti melanggar Pasal 109 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagaimana pertimbangan hakim yang menggunakan unsur dari Pasal 109 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, dijatuhkan putusan berupa hukuman pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), apabila denda tersebut tidak dibayar maka di ganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Menurut penulis, putusan tersebut tidak sesuai, karena, hakim menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda dibawah minimal, dari yang telah ditetapkan dalam Pasal 109 Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam perkara ini terdakwa H. Asep Iskak Mutaqin telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin, yang bisa dilihat dari pertimbangan hakim yang mengunakan unsur-unsur dari Pasal 109 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Dalam tinjuan Hukum Pidana Islam dikarenakan unsur-unsur dari tindak pidana dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin telah terpenuhi
maka terdakwa dapat dikenakan sanksi pidana berupa ta’zi<r, karena tindak pidana
dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin tidak ditetapkan jenis hukumannya dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Sedangkan jenis ta’zi<r dalam bentuknya diserahkan sepenuhnya kepada hakim atau penguasa, bisa dalam bentuk sanksi yang ringan ataupun berat, seperti hukuman cambuk, hukuman penjara, penyitaan harta, hukuman denda, peringatan keras, pengucilan dan bahkan hukuman mati.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka disarankan untuk penegak hukum terutama hakim yang di berikan kekuasaan untuk memutus suatu perkara alangkah baiknya dalam memutus sesuai dengan ketentuan yang ada agar tercapainya keadilan hukum bagi masyarakat dan pencegahan kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana dumping limbah.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
MOTTO ... viii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Pembahasan ... 16
BAB II TINDAK PIDANA DALAM HUKUM ISLAM ... 18
1. Pengertian Jari<mah ... 18
2. Unsur-unsur Jari<mah ... 19
3. Pengertian Jari<mah Ta’zi<r ... 21
4. Macam-macam Jari<mah Ta’zi<r ... 23
5. Macam-macam sanksi Jari<mah Ta’zi<r ... 26
6. Pengertian Jari<mah Qis{a>s{ ... 33
7. Syarat-syarat Jari<mah Qis{a>s{ ... 35
8. Macam-macam Jari<mah Qis{a>s{< ... 37
9. Hal-hal yang Menggugurkan Hukuman Qis{a>s{ ... 38
10.Diya>t ... 39
B. Teori Penjatuhan Pidana dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif 1. Hukum Pidana Islam ... 40\
2. Hukum Positif ... 45
BAB III DESKRIPSI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG NOMOR: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb TENTANG DUMPING LIMBAH ... 49
A. Deskripsi Kasus ... 49
B. Identitas Pelaku ... 50
C. Pertimbangan Hakim ... 51
D. Dasar Hukum Hakim ... 53
E. Amar Putusan ... 54
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM dalam PUTUSAN NOMOR: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb ... 55
A. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb ... 55
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb ... 58 BAB V PENUTUP ... 63 A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek planalogis, teknologis,
teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Segi-segi hukum pengelolaan
lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam di Indonesia perlu dikaji
secara intensif, karena pengelolaan lingkungan tidak mungkin dapat tanpa
pengaturan hukum. Hal ini tidak berarti bahwa ahli hukum dapat
menangangani masalah lingkungan terlepas dari disiplin ilmu lain yang
berkaitan dengan bidang lingkungan.1
Namun keadaan saat ini sudah berubah, pembuangan limbah cair
industri yang dilakukan secara besar-besaran terutama di daerah perkotaan,
baik yang terjadi di negara berkembang maupun di negara maju telah
merubah cara pandang masyarakat mengenai lingkungan. Mereka
menganggap lingkungan sebagai sesuatu yang harus dikotori dan dipandang
sebelah mata. Hal ini berakibat ketidak sesuaian pada fungsi lingkungan
sebenarnya, yaitu fungsi daya dukung, daya tampung, daya lenting. Sering
kali pembuangan limbah hanya memperhitungkan cost benefit ratio tanpa
memperhitungkan social cost dan ecological cost. Mayoritas pengembang
hanya menganggap lingkungan sebagai benda bebas (ress nullius) yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya
1
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), 1.
2
dalam waktu yang relatif singkat, yang berakibat terganggunya fungsi
lingkungan hidup.2
Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena
terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya
ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai
estetika, kerugian ekonomi (economic cost) dan terganggunya sistem alami
(natural system).3
Lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan sesuatu sistem yang
saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga pengertian
lingkungan hidup mencakup semua unsur ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa
di bumi ini. Itulah sebabnya lingkungan hidup termasuk manusia dan
perilakunya termasuk unsur lingkungan hidup yang sangat menentukan.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan saat ini oleh sebagian
kalangan dianggap tidak bernilai karena lingkungan hidup (alam) hanya
sebuah benda yang diperuntukkan oleh manusia. Dengan kata lain, manusia
merupakan penguasa dari lingkungan hidup sehingga lingkungan hidup
hanya di presepsikan sebagai objek bukan sebagai subjek.4
Pencemaran akibat limbah cair paling banyak menyita perhatian
dewasa ini. Air sungai telah mengalami perubahan kualitas karena masuknya
zat-zat pencemar. Adanya program kali bersih (Prokasih) yang ditujukan
pada sungai-sungai yang telah mengalami pencemaran tidak terlepas dari
2Syahrul Machfud, Penegakan Hukum Lingkungan indonesia, Cet 1 (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012), 1.
3
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 3.
3
kegiatan masyarakat yang membuang limbah cair tanpa pengolahan ke
dalam sungai. Sungai-sungai menjadi keruh dan dapat bersifat asam atau
basa, mengandung logam berat yang dapat membuat keracunan bagi biota
perairan.5
Limbah cair mengakibatkan badan penerima menjadi kotor dan
senyawa-senyawa yang pencemar yang terkandung membahayakan terhadap
lingkungan. Di samping itu perubahan air menjadi kotor perubahan air
dilapisi bahan-bahan berminyak atau bahan padatan lain yang menyebabkan
terjadinya penutupan permukaan air. Senyawa-senyawa yang terkandung
dalam limbah bila melebihi kadar yang ditentukan menyebabkan air tidak
dapat dipergunakan untuk keperluan sebagaimana mestinya.6
Pencemaran lingkungan merupakan suatu hal yang tak asing lagi, yang
mana tata cara kehidupan yang berwawasan lingkungan sebenarnya telah
diamanatkan dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yaitu :
‚Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum‛.
Tindak pidana lingkungan hidup dalam hukum positif diatur dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
5
Perdana Ginting, Sistem Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri, (Bandung: YRAMA WIDYA, 2007), 28.
4
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu tindak pidana
dalam undang-undang tesebut adalah pembuangan tanpa izin. Dumping
(pembuangan) menurut Undang-undang tersebut, tepatnya pasal 24 adalah
kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau
bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan
persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. Sedangkan izin
lingkungan menurut Undang-undang tersebut adalah adalah izin usaha
dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Tindak pidana dumping limbah menurut pandangan hukum islam
termasuk dalam kejahatan. Ulama’ muta’akhirin menghimpunnya dalam
bagian khusus yang dinamai Fikih Jinayah, yang dikenal dengan istilah
Hukum Pidana Islam. Dalam hukum pidana islam tersebut terdapat
pembahasan mengenai jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan
berbagai sasaran, termasuk juga terhadap lingkungan hidup. Dalam
mempelajari Fikih Jinayah, ada dua istilah penting. Pertama, adalah istilah
Jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah.7
Pada dasarnya pencemaran lingkungan dalam hukum Islam merupakan
perbuatan yang dilarang. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S Al-A’raf
(7) : 568
7
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 11.
5
رَنِمرٌبْيِرَقرِّٰللّٱرَتَْحَْررَّنِارًاعَمَطَوراًفْوَخرُهْوُعْداَورَاهِحٰلْصِإرَدعَبرِضْرَلاأر ِفِرْوُدِسْفُ ترَلاَو
ر
رَْينِسْحُمْلٱ
‚Dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang berbuat baik.‛Dari ayat tersebut terlihat jelas bahwa Allah SWT melarang hambanya
melakukan kerusakan dimuka bumi. Tindakan pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jinayah)
apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur pidana. Sebagaimana
dijelaskan dalam hukum Islam, terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi
apabila perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana,
yaitu:
1. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu dan ada
ancaman hukuman bagi pelakunya.\
2. Adanya perbuatan yang berbentuk Jari<mah, yang dalam hal ini adalah
perbuatan pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan hidup.
3. Adanya pelaku tindak pidana tersebut, yakni orang yang mukallaf
(cakap hukum) yaitu orang yang dimintai pertanggung jawabannya.9
Salah satu kasus pembuangan limbah terjadi di Bandung, yang sudah
terdapat putusan pengadilannya, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Bale
Bandung nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb. Pelaku dalam putusan
9Ahmad Faqih Syarafaddin, “
Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No.32 Tahun 2009” (Skripsi-UIN
6
tersebut bernama H. Asep Iskak Mutaqin Bin H. Abdulrahman yang telah
melakukan tindak pidana dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin.
Pelaku dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), apabila tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Di dalam kasus tersebut terdapat masalah bahwa hakim menentukan
pidana di bawah minimum dan denda di bawah minimum, sehingga tidak
sesuai dengan ketentuan ancaman pidana pada pasal yang digunakan, yaitu
pasal 109 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal tesebut ancaman
hukuman adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah).
Dengan memperhatikan pemaparan di atas, maka penulis tertarik
dengan judul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Bale Bandung Nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb Tentang Tindak
Pidana Dumping Limbah Ke Media Lingkungan Tanpa Izin.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diindetifikasi
7
a. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana dumping limbah ke media
lingkungan tanpa izin.
b. Analisis pertimbangan hakim dalam putusan nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana dumping limbah ke media
lingkungan tanpa izin.
c. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam
putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana
dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin.
2. Batasan masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas dan juga bertujuan agar
permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan
karya ilmiah dengan batasan:
a. Analisis pertimbangan hakim dalam putusan nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana dumping limbah ke media
lingkungan tanpa izin.
b. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam
putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana
dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin.
C. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari tujuan
awal penulisan, maka penulis akan memfokuskan pada beberapa masalah
8
1. Bagaimana analisis pertimbangan hakim dalam putusan nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana dumping limbah ke
media lingkungan tanpa izin ?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim
dalam putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana
dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin ?
D. Kajian Pustaka
Kajian Pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.
Berdasarkan penelusuran penulis, ada beberapa penelitian yang membahas
tema yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian dari Muhammad Reza Cordova, dengan judul: Kajian Air
Limbah Domestic di Perumnas Bantar Kemang, Kota Bogor dan
Pengaruhnya pada Sungai Ciliwung. Fokus dari penelitian tersebut
adalah: (1) Pengaruh air limbah domestic hasil kegiatan rumah tangga
perumnas bantar kemang bogor terhadap kualitas air sungai ciliwung, dan
9
dan besarnya beban pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga
di perumnas bantar kemang bogor.10
2. Penelitian dari Dzaral AlGhifari, dengan judul: Tinjauan Hukum Tentang
Pengelolaan Limbah Medis Padat Di RSUD Batara Guru Kabupaten
Luwu. Fokus dari penelitian tersebut adalah: (1) pelaksanaan pengelolaan
limbah medis padat di RSUD Batara Guru kabupaten Lawu, dan (2)
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan limbah medis
padat di RSUD Batara Guru Kabupaten Lawu.11
3. Penelitian dari Iva Rosiana, dengan judul: Tinjauan Hukum Pidana Islam
Terhadap Sanksi Tindak Pidana Bagi Pembuangan Limbah B3 (Bahan,
Berbahaya dan Beracun) (Studi Putusan No.2480.Pid.B/2014/PN.Sby).
fokus dari penelitian tersebut adalah: (1) pertimbangan hakim terhadap
sanksi tindak pidana bagi pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya dan
Beracun) dalam putusan Nomor: 2480/Pid.B/2014/PN.SBY, dan (2)
tinjauan hukum pidana islam terhadap sanksi hukum dalam tindak pidana
pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, Dan Beracun) dalam putusan
Nomor: 2480/ Pid.B/2014/PN.SBY.12
10Muhammad Reza Cordova, “
Kajian Air Limbah Domestic Di Perumnas Bantar Kemang Kota Bogor Dan Pengaruhnya Pada sungai Ciliwung”, (Fakultas Perikanan Dan Kelautan Institut
Pertanian Bogor, 2008).
11
Dzaral alghifari “Tinjauan Hukum Tentang Pengelolaan Limbah Medis Padat Di RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu”(Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2017).
12Iva Rosiana, “
TinjauanHukum Pidana Islam Sanksi Tindak Pidana Bagi Pembuangan Limbah B3 (Bahan, Berbahaya, Dan Beracun) (Studi Putusan No.2480/Pid.B/2014/PN.Sby)” (Fakultas
10
Dari beberapa uraian penelitian di atas, di sini penulis ingin
menunjukan bahwa pembahasan dalam judul penelitian ini berbeda
dengan pembahasan beberapa judul penelitian di atas. Bahwa fokus
pembahasan penelitian ini lebih mengkaji tentang analisis pertimbangan
hakim dalam putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak
pidana dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin dan Tinjauan
hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana dumping limbah ke
media lingkungan tanpa izin.
Letak perbedaan pembahasan penelitian ini dengan pembahasan
penelitian terdahulu yaitu penelitian ini menggunakan studi putusan yang
membahas mengenai pertimbangan hakim yang kurang memperhatikan
ketentuan pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan
meninjau dari segi hukum pidana Islam. Sedangkan letak persamaan
dengan penelitian terdahulu yaitu sama-sama membahas mengenai tindak
pidana Dumpling Limbah ke media lingkungan tanpa izin pada
umumnnya dan tindak pidana Dumpling Limbah ke media lingkungan
tanpa izin lebih khususnya.
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang ditulis, maka skripsi ini bertujuan
11
1. Untuk mengetahui analisis pertimbangan hakim dalam putusan nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana dumping limbah ke
media lingkungan tanpa izin.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan
hakim dalam putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak
pidana dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu membawa beberapa
manfaat sebagai berikut:
1. Aspek keilmuan (teoritis), yaitu hasil penelitian memiliki konstribusi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum. Dalam
hal ini adalah sebagai upaya dalam pengembangan pengetahuan di bidang
hukum pidana islam dan hukum kovensional. Selain itu juga dapat
digunakan sebagai referensi untuk penelitian berikutnya yang berkaitan
tentang hukum pidana islam terhadap hukuman bagi pelaku tindak pidana
dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin di pengadilan negeri bale
bandung nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb.
2. Aspek terapan (praktis), yaitu hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan acuan melakukan penelitian yang akan datang serta
diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan
perkara pidana khususnya dalam menerapkan hukuman bagi pelaku tindak
12
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalah pahaman
terhadap penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan maksud dari judul
penelitian ini, yaitu:
1. Hukum Pidana Islam adalah hukum yang mengatur perbuatan yang
dilarang oleh syarak dan dapat menimbulkan hukuman h}add atau ta’zi<r.
Yang dimaksud dengan penelitian ini adalah jari<mah dengan hukuman
ta’zi<r .13
2. Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb adalah putusan yang dikeluarkan oleh direktori
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan ini membahas
tentang dumping limbah adalah adalah kegiatan membuang,
menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam
jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan
tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.14
H. Metode Penelitian
13
Ahmad Djazuli, fiqh jianayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet II, 1997), 2
14
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
13
Dalam melakukan penelitian hukum tidak dapat terlepas dengan
penggunaan metode penelitian, karena setiap penelitian apa saja pastilah
menggunakan metode untuk menganalisa permasalahan yang diangkat.
Menurut Soerjono Soekanto penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan.15
Metode penelitian yang akan dipakai dalam penulisan penelitian ini ialah
metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode melalui studi kepustakaan. Metode dalam penulisan
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan.
a. Data tentang Putusan pengadilan negeri bale bandung Nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb. Tentang tindak pidana Dumping
Limbah ke media lingkungan tanpa izin di
2. Sumber Data
Dalam penelitian hukum untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan
sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian dibedakan menjadi
14
sumber-sumber penelitian yang berupa sumber primer dan sumber
sekunder.16
a. Sumber Primer
Sumber primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas.17 Sumber primer dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2) Putusan Pengadilan Negeri Bale bandung Nomor: 695/Pid.B
LH/2018/PN.Blb.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.18 Sumber sekunder dalam
penelitian ini adalah:
1) Ahmad Wardih Muslih. 2005. Hukum Pidana Islam. (Jakarta :
Sinar Graha)
2) Rahmat Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah).
(Bandung: Pustaka Setia).
3) R.M Gatot Sumartono. Hukum Lingkungan Indonesia. (Jakarta:
Sinar Grafika).
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), 181.
17
Ibid,. 182.
15
4) Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah
Pengantar. (Jakarta: Sinar Grafika).
5) Syahrul Machfud. 2012. Penegakan Hukum Lingkungan
indonesia. Cet 1 (Yogyakarta: Graha Ilmu).
6) Takdir Rahmadi. 2014. Hukum Lingkungan di Indonesia. (Jakarta:
Rajawali Pers).
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Dokumentasi, yaitu teknik mencari data dengan cara menelaah
dokumen dalam hal ini adalah putusan Pengadilan Negeri Bale
bandung Nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb.
b. Pustaka, yaitu teknik mencari data dengan menghimpun informasi
yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang
diteliti dengan buku-buku atau literatur terkait dengan penelitian
yang akan dibahas.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah semua data yang terkait dengan permasalahan tersebut
kemudian akan diolah dengan beberapa teknik sebagai berikut:
a. Editing (seleksi data), yaitu data yang diperoleh dicek kembali
kelengkapnnya, sehingga diketahui apakah data-data yang didapat
dimasukkan atau tidak dalam proses selanjutnya.
b. Interpretasi, yaitu dengan memberikan penafsiran seperlunya terhadap
16
c. Analizing, yaitu melakukan analisis terhadap putusan hakim
Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb
dan fiqh jinayah (hukum pidana islam) dengan hasil pengorganisasian
dalam data dengan menggunakan kaidah, teori, dalil hingga diperoleh
kesimpulan akhir sebagai jawaban dari permasalahan yang
dipertanyakan.
5. Teknik Analisis Data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik deskriptif analisis yang menggambarkan atau
menguraikan suatu hal menurut apa adanya tanpa membuat perbandingan
atau mengembangkan satu dengan yang lainnya.
I. Sistematika Pembahasan
Bab pertama memaparkan pendahuluan, yaitu merupakan gambaran
umum dari penelitian yang terdiri dari beberapa sub bab, yang meliputi latar
belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memaparkan teori yang menguraikan tentang tindak pidana
dalam hukum islam yang meliputi Pengertian Jari<mah, Unsur-unsur Jari<mah,
Pengertian Jari<mah Ta’zi<r, Macam-macam Jari<mah Ta’zi<r, Macam-macam
Sanksi Jari<mah Ta’zi<r, Pengertian Jari<mah Qis{a>s{, Syarat-syarat Jari<mah Qis{a>s{, Macam-macam Jari<mah Qis{a>s{<, Hal-hal yang Menggugurkan Hukuman
17
Qis{a>s{, Diya>t dan Teori Penjatuhan Pidana dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif.
Bab ketiga memaparkan berisi tentang penyajian data, yaitu
memaparkan data dari putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor:
695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb. Bab ini memaparkan deskripsi kasus, identitas
pelaku, pertimbangan hakim, dasar hukum hakim, amar putusan.
Bab keempat, memaparkan analisis penelitian yang meliputi analisis
pertimbangan hakim dalam putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb
tentang tindak pidana dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin dan
Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim
dalam putusan nomor: 695/Pid.B-LH/2018/PN.Blb tentang tindak pidana
dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin.
Bab kelima, bab ini merupakan bab terakhir yang menjadi penutup,
BAB II
TINDAK PIDANA DALAM HUKUM ISLAM
A. Tindak Pidana dalam Hukum Islam
1. Pengertian Jari<mah
Menurut bahasa kata jari<mah berasal dari kata ‚jarama‛ kemudian
menjadi bentuk masdar ‚jaramatan‛ yang artinya perbuatan dosa,
perbuatan salah atau kejahatan. Pelaku jari<mah dinamakan dengan
‚jarim‛, dan yang dapat dikenakan dalam perbuatan tersebut adalah
‚mujarram alaih‛.19 Para fuqaha’ sering menggunakan kata jina<yah
untuk jari<mah. Mereka mengartikan jina<yah dengan suatu perbuatan
yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai harta,
jiwa dan lainnya. Selain itu terdapat beberapa fuqaha’ yang
membatasi kata jari<mah pada jari<mah h{udu>d, dengan
mengsampingkan perbedaan pemakaian kata jina<yah dan jari<mah,
sehingga dapat dikatakan kedua istilah tersebut mempunyai makna
yang sama.
Menurut istilah fuqaha’ yang dimaksud dengan jari<mah ialah
segala perilaku yang dilarang oleh syara’ (melakukan hal-hal yang
dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam
oleh Allah berupa hukuman h}add atau ta’zi<r.20 Pengertian jari<mah
19Atabik Ali, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), 308.
20A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menaggulangi Kejahatan Dalam Islam) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 56.
19
berarti perbuatan, peristiwa, tindak atau delik di dalam pidana yang
diatur pada hukum positif.21
Suatu hukuman diberikan dalam masyarakat supaya tidak terjadi
pelanggaran, karena jika hanya diberikan larangan-larangan saja itu
tidak cukup. Hukuman bukanlah sebuah kebaikan yang akan didapat
bagi si pelaku tetapi dapat dikatakan sebagai kerusakan. Namun jika
hukuman diterapkan di tengah-tengah masyarakat itu sangat
diperlukan karena dapat membuat ketentraman di dalam masyarakat,
karena dasar dari jari<mah itu sendiri adalah memelihara kepentingan
bersama atau masyarakat. Dari paparan diatas penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa yang dinamakan jari<mah adalah melakukan
perbuatan yang dilarang dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan wajib yang diancam syara’ dengan hukuman h}add dan
ta’zi<r, jika perintah atau larangan itu tidak diancam dengan hukuman maka itu bukan dinamakan dengan jari<mah.
2. Unsur-unsur Jari<mah
Suatu perbuatan dapat dikatakan jari<mah apabila syarat dan rukun jari<mah dikategorikan menjadi dua, yang pertama: rukun umum,
artinya unsur-unsur yang wajib dipenuhi pada setiap jari<mah. Kedua:
unsur khusus, artinya unsur-unsur yang terpenuhi pada jenis jari<mah
tertentu. Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur jari<mah
diantaranya:
20
a) Unsur formil (adanya undang-undang/nash), artinya setiap
perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak
dapat dipidana kecuali adanya nash/undang-undang yang
mengaturnya. Dalam hukum positif masalah ini dikenal sebagai
asas legalitas, yaitu suatu perbuatan tidak dianggap melawan
hukum dan pelakunya tidak dapat diberi sanksi sebelum adanya
peraturan yang mengundangnya. Dalam syariat Islam lebih dikenal
dengan istilah ٍِْػْشَشْلا ُهْكُشْلا, kaidah yang mendukung unsur ini
adalah ‚tidak ada perbuatan yang melanggar hukum dan tidak ada
hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya nash‛. Kaidah ini juga
menyebutkan ‚tiada hukum mukallaf sebelum adanya nash.‛
b) Unsur materil (sifat melawan hukum), artinya adanya tindak
perbuatan seorang yang membentuk jari<mah, baik dengan sikap
berbuat maupun dengan sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam
hukum pidana Islam disebut dengan ٌِْداَمْلا ُهْكُشْلا.
c) Unsur moril (pelakunya mukallaf), artinya pelaku jari<mah adalah
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap
jari<mah yang dilakukannya. Dalam syari’at Islam unsur moril disebut dengan unsur ٍِْتَدَاْلا ُهْكُشْلا, yaitu orang yang melakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan, artinya
bukan orang gila, bukan anak-anak, bukan karena dipaksa atau
21
Unsur-unsur umum diatas hanya dikemukakan untuk
mempermudah dalam mengkaji persoalan-persoalan dalam hukum
pidana Islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi.
Unsur khusus adalah unsur yang haknya terdapat pada peristiwa
pidana tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jari<mah
yang satu dengan jenis jari<mah lainnya. Misalnya pada jari<mah
pencurian harus terpenuhi unsur perbuatan dan benda yang dicuri,
perbuatan itu dikatakan sembunyi-sembunyi, benda itu dimiliki
seseorang secara sempurna dan benda itu sudah ada pada penguasaan
pihak pencuri. Syarat yang berkaitan dengan benda, bahwa pada
benda itu berupa harta ada pada tempat penyimpanan dan sudah ada 1
(satu) nasab. Unsur yang khusus bermacam-macam serta
berbeda-beda pada setiap jari<mah.22 3. Pengertian Jari<mah Ta’zi<r
Ta’zi<r adalah bentuk mashdar dari ُسِزْؼََ – َسَزَػ kata yang secara
etimologis berarti menolak dan mencegah.23 Kata ini juga memiliki
arti menolong atau menguatkan. Hal ini seperti dalam firman Allah
berikut:
اًلُِصَأَو ًجَشْكُت ُيىُحِّثَسُتَو ُيوُشِّقَىُتَو ُيوُسِّزَؼُتَو ًِِلىُسَسَو ًَِّللاِت اىُىِمْؤُتِل
‚Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.‛ (QS. Al-Fath: 9)22A. Djazuli, Fiqh Jinayah . . ., 12.
22
Dalam tindak pidana ta’zi<r dapat diancam dengan satu atau
beberapa hukuman ta’zi<r. Yang dimaksud dengan hukuman ta’zi<r
adalah ta’dib, yaitu memberikan pendidikan (pendisiplinan). Dalam
hukum Islam hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang
paling ringan sampai yang paling berat. Dalam hal ini, hakim diberi
kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai dengan macam
tindak pidana ta’zi<r serta keadaan si pelaku.
Jari<mah ta’zi<r sepenuhnya diserahkan kepada penguasa atau hakim untuk menentukan kadar hukumannya, dengan syarat harus
sesuai dengan kepentingan yang ada di dalam masyarakat dan tidak
boleh bertentangan dengan nash-nash (ketentuan syara’) dan prinsip umum. Dengan maksud apabila para penguasa atau hakim
menghadapi suatu masalah yang terjadi didalam masyarakat yang
sifatnya mendadak.24 Dalam hal ini, penguasa atau hakim mempunyai
kewenangan dalam memberikan beberapa macam hukuman dalam
jari<mah ta’zi<r untuk pelaku yang melakukan tindak pidana sesuai
dengan pertimbangannya sebab dalam tindak pidana ta’zi<r banyak
macam-macam hukuman. Jadi dapat disimpulkan, bahwa ta’zi<r
dikenal dengan istilah hukuman tertinggi dan terendah. Istilah itu
dikenal dalam jari<mah h{udu>d, qis{a>s{, diya>t.25
Penguasa atau hakim memiliki hak penuh dalam memutuskan
hukuman dalam jari<mah ta’zi<r sebab dalam ta’zi<r sendiri belum
24Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam . . ., 9.
23
ditetapkan oleh syara’.26 Jadi secara ringkas dapat disimpulkan yaitu
hukuman ta’zi<r adalah penentuan hukuman terkait penentuan ataupun pelaksanaanya ditetapkan oleh ulil amri atau penguasa dan
hukumannya belum ditentukan di dalam syara’. Dalam hal ini hakim atau penguasa dapat menentukan suatu hukuman secara global saja.
Sebab untuk masing-masing jari<mah ta’zi<r tidak ditetapkan di dalam undang-undang tetapi hanya menetapkan berat ringannya suatu
hukuman.27
4. Macam-Macam Jari<mah ta’zi<r
Abdul Aziz Amir membagi jari<mah ta’zi<r secara rinci kepada
beberapa bagian, yaitu:28
a) Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan pembunuhan
Pembunuhan diancam dengan hukuman mati (qis{a>s{), apabila hukuman mati dimaafkan maka hukumannya diganti
dengan diya>t, apabila hukuman diya>t dimaafkan juga maka ulil
amri berhak menjatuhkan hukuman ta’zi<r apabila hal itu
dipandang lebih maslahat.
b) Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan pelukaan
Ta’zi<r yang dapat dikenakan terhadap jarīmah pelukaan apabila qis{a>s{ nya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena
26A. Djazuli, Fiqh Jinayah . . ., 206.
27Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 9.
24
suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’. Menurut mazhab
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, ta’zi<r juga dapat dijatuhkan
terhaddap orang yang melakukan Jarīmah pelukaan dengan
berulang-ulang (residivis), disamping dikenakan hukuman qishas.
c) Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan kejahatan terhaddap
kehormatan dan kerusakan akhlak
Jari<mah ini berkaitan dengan Jari<mah zina, menuduh zina, dan penghinaan. Kasus perzinaan yang diancam dengan ta’zi<r adalah perzinaan yang tidak memeuhi syarat untuk dikenakan
hukuman h}add, atau terdapat syubhat dalam pelakunya, perbuatannya, atau tempat (objeknya). Demikian pula kasus
percobaan zina dan perbuatan-perbuatan prazina, seperti
meraba-raba, berpelukan dengan wanita yang bukan istrinya.
Adapun tuduhan-tuduhan selain tuduhan zina digolongkan
kepada penghinaan dan statusnya termasuk ta’zi<r , seperti tuduhan mencuri, mencaci maki, dan sebagainya.
Panggilan-panggilan seperti wahai kafir, wahai munafik, wahai fasik, dan
semacamnya termasuk penghinaan yang dikenakan hukuman
ta’zi<r.
d) Jari<mah ta’zi<r yang Berkaitan dengan Harta
Jari<mah yang berkaitan dengan harta adalah Jari<mah pencurian dan perampokan. Apabila kedua Jari<mah tersebut syarat-syaratnya telah dipenuhi maka pelaku dikenakan
25
hukuman h}add. Akan tetapi, apabila syarat untuk dikenakannya
hukuman hadd tidak terpenuhi maka pelaku tidak dikenakan
hukuman h}add, melainkan ta’zi<r, misalnya percobaan pencurian, pencurian yang tidak mencapai batas nisbah, dan perjudian.
Termasuk juga ke dalam kelompok ta’zi<r, pencurian karena adanya syubhat, seperti pencurian oleh keluarga dekat.
e) Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Jari<mah ta’zi<r yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain seperti saksi palsu, berbohong (tidak memberikan
keterangan yang benar) di depan sidang pengadilan, melanggar
hak privasi orang lain (misalnya masuk rumah orang lain tanpa
izin).
f) Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
Jari<mah ta’zi<r yang termasuk dalam kelompok ini adalah Jari<mah yang mengganggu kemanan negara/pemerintah (seperti spionase), kudeta, suap, tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau lalai dalam menjalankan kewajiban,
melawan petugas pemerintahan dan membangkang terhadap
peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan
terhaddap pengadilan, dan menganiaya polisi.
5. Macam-macam Sanksi Jari<mah Ta’zi<r
26
Sanksi jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan badan, dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Hukuman mati
Dalam jari<mah ta’zi<r hukuman mati ini diterapkan oleh
para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada
ulil al-amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zi<r
dalam jari<mah-jari<mah yang jenisnya diancam dengan
hukuman mati apabila jari<mah itu dilakukan berulang-ulang.
Contohnya melakukan perbuatan mencuri yang dilakukan
secara berulang-ulang dan orang kafir dzimmi yang menghina
Nabi beberapa kali, meskipun setelah ia masuk Islam.29 Sanksi
tertinggi dalam jari<mah ta’zi<r adalah hukuman mati menurut
sebagian Hanabilah dan kalangan Malikiyah. Menurutnya
sanksi tersebut dijatuhkan untuk mata-mata dan orang yang
melakukan kerusakan di muka bumi. Sedangkan menurut
sebagian Syafi’iyah hukuman mati dibolehkan, seperti dalam
kasus homoseks dan penyebaran aliran-aliran sesat yang
menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
sanksi ta’zi<r dalam hukuman mati ditetapkan sebagai sanksi
tertinggi apabila sanksi h{udu>d tidak lagi memberi pengaruh
bagi pelaku jari<mah yang melakukan perbuatan kejahatan yang
29Abdurrahman Al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, terj. Syamsuddin Ramadlan (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 249-250.
27
berkaitan dengan keamanan, jiwa, dan ketertiban bagi
masyarakat.30
2) Hukuman cambuk
Dalam jari<mah ta’zi<r, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi
pelaku, situasi, dan tempat kejahatan. Adapun sifat dari
hukuman cambuk dalam jari<mah ta’zi<r adalah untuk
memberikan pelajaran (pendidikan) agar tidak mengulangi
tindak kejahatan tersebut dilain hari. Apabila pelaku kejahatan
tersebut laki-laki, baju yang dipakai harus dibuka jika cambuk
sampai ke kulit. Sedangkan, apabila pelaku kejatan tersebut
adalah perempuan, harus menggunakan pakaian, supaya tidak
terlihat auratnya. Hukuman cambuk tidak boleh diarahkan ke
kepala, wajah dan farji tetapi harus diarahkan ke punggung.
Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan pelaku cacat atau
bahkan bisa meninggal dunia.31
b. Sanksi jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang
Dalam sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang dibagi
menjadi dua yaitu:
1) Hukuman penjara
Mengenai batas maksimal untuk hukuman ini tidak ada
kesepakatan di kalangan fuqaha. Menurut Syafi’iyah, batas
30Nurul Irfan, Fiqh Jinayah . . ., 149 31Ibid., 151-152.
28
maksimalnya adalah satu tahun. Mereka mengqiyaskannya pada
hukuman pengasingan h}add zina yang lamanya satu tahun dan
hukuman ta’zi<r tidak boleh melebihi hukuman h}add. Akan
tetapi, tidak semua ulama Syafi’iyah menyepakati pendapat
tersebut. Jadi, hakim dalam memutus hukuman dengan
memperhatikan kondisi jari<mah, pelaku, tempat, waktu, dan
situasi ketika jari<mah itu terjadi serta tidak ada batas maksimal
yang dapat dijadikan pedoman dalam hukuman ini.32
Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya dan
berlangsung terus sampai si terhukum meninggal dunia atau
bertaubat. Hukuman penjara yang dibatasi sampai terhukum
bertaubat adalah untuk mendidik. Hal ini hampir sama dengan
lembaga permasyarakatan yang menerapkan adanya remisi bagi
terhukum yang terbukti ada tanda-tanda telah bertaubat.
Menurut ulama, seseorang dinilai bertaubat apabila ia
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan dalam perilakunya.33
Di Indonesia, ada pendapat yang menyatakan bahwa konsep
hukuman cambuk dalam Islam itu menghendaki negara tanpa
penjara. Akan tetapi, apabila kita mengingat sejarah di masa
Nabi dan sahabat, telah dikenal adanya hukuman penjara. Hal itu
dilakukan karena pelaku lebih cocok dijatuhi hukuman penjara
daripada hukuman cambuk. Selanjutnya, sanksi ini diberlakukan
32Ibid., 153. 33Ibid., 154.
29
di lembaga permasyarakatan Indonesia. Sehubungan dengan itu,
ulama mengharuskan adanya pengobatan apabila terhukum
(narapidana) sakit dan dianjurkan untuk melatih mereka dengan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, karena membawa
kemaslahatan dan mendukung taubat mereka.34
Adapun mengenai administrasi lembaga permasyarakatan,
seharusnya diatur dengan baik terkait biaya pelaksanaan
hukuman, seperti kebutuhan primer, sekunder, serta pengobatan
bagi para narapidana menjadi tanggungjawab baitul ma>l (negara).
2) Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman h}add yang
diterapkan untuk perampok. Hal ini didasarkan pada Surah
al-Maidah ayat 33:35
اًداَسَف ِضْسَؤْلا ٍِف َنْىَؼْسَََو ًَُلىُسَسَو ًََّللا َنىُتِساَحَُ َهَِزَّلا ُءاَزَج اَمَّوِإ اىُثَّلَصَُ ْوَأ اىُلَّتَقَُ ْنَأ اْىَفْىَُ ْوَأ ٍفاَلِخ ْهِم ْمُهُلُجْسَأَو ْمِهَِذََْأ َغَّطَقُت ْوَأ
ٌمُِظَػ ٌباَزَػ ِجَشِخآْلا ٍِف ْمُهَلَو ۖ اَُْوُّذلا ٍِف ٌٌْزِخ ْمُهَل َكِلََٰر ۚ ِضْسَؤْلا َهِم ‚Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.‛
34A. Djazuli, Fiqh Jinayah . . ., 208-209.
30
Hukuman pengasingan merupakan hukuman h}add, namun
dalam praktiknya hukuman tersebut diterapkan juga sebagai
hukuman ta’zi<r. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada
pelaku jari<mah yang dikhawatirkan dapat memberikan pengaruh buruk terhadap masyarakat. Dengan diasingkannya pelaku,
mereka akan terhindar dari pengaruh tersebut.36
Mengenai lamanya masa pengasingan, tidak ada kesepakatan
di kalangan fuqaha. Namun demikian, mereka berpendapat
sebagai berikut:
a) Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa pengasingan tidak
boleh lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa
pengasingan jari<mah zina yang merupakan hukuman h}add.
b) Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa saja lebih
dari satu tahun, sebab ini merupakan hukuman ta’zi<r, bukan
hukuamn h}add. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam
Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas
waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan
penguasa.37
c. Hukuman Ta’zi<r. yang Berkaitan dengan Harta
Hukuman ta’zi<r dengan mengambil harta bukan berarti
mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau untuk kas
umum (negara), melainkan hanya menahannya untuk sementara
36Nurul Irfan, Fiqh Jinayah . . ., 156. 37Ibid., 157.
31
waktu. Apabila pelaku tidak bisa diharapkan untuk bertobat
maka hakim dapat men-tasaruf-kan harta tersebut untuk
kepentingan yang mengandung maslahat. Imam Ibn Taimiyah
membagi hukuman ta’zi<r berupa harta menjadi tiga bagian
dengan memperhatikan pengaruhnya terhadap harta, yaitu38:
1) Menghancurkannya, penghancuran terhadap barang sebagai
hukuman ta’zi<r berlaku dalam barang-barang dan
perbuatan/sifat yang mungkar. Contohnya: penghancuran
patung milik orang Islam, penghancuran
alat-alatmusik/permainan yang mengandung kemaksiatan,
penghancuran alat dan tempat minum khamr.
2) Mengubahnya, hukuman ta’zi<r yang berupa mengubah harta
pelaku antara lain seperti mengubah patung yang disembah
oleh orang muslim dengan cara memotong bagian kepalanya,
sehingga mirip dengan pohon.
3) Memilikinya, hukuman ta’zi<r berupa pemilikan harta
penjahat (pelaku), antara lain seperti keputusan Rasulullah
Saw. Melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri
buah-buahan, disamping hukuman jilid.
38 Ibid., 265-267.
32
d. Hukuman-Hukuman Ta’zi<r yang lain Selain hukuman-hukuman
ta’zi<r yang telah disebutkan di atas, ada beberapa bentuk sanksi ta’zi<r lainnya, yaitu39:
1) Peringatan keras
2) Dihadirkan di hadapan sidang
3) Nasihat
4) Celaan
5) Pengucilan
6) Pemecatan
7) Pengumuman kesalahan secara terbuka
6. Pengertian Jari<mah Qis{a>s{
Secara bahasa, qis{a>s{ artinya mengikuti dan menelusuri jejak
kaki. Arti qis{a>s{ secara terminologi dikemukakan oleh Al-Jurjani
yaitu menjatuhkan sebuah hukuman (sanksi) kepada pelaku yang
sama seperti yang dilakukannya terhadap korban. Dalam Al-Mu’jam
Al-Waith qis{a>s{ diartikan penjatuhan sanksi kepada pelaku kejahatan sama persis yang dilakukan pelaku kepada korban seperti, nyawa
dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh,
dengan demikian qis{a>s{ adalah hukuman yang dijatuhkan kepada
pelaku kejahatan sama persis dengan tindakan pidana yang dilakukan
terhadap korban. 40
39
Ibid., 268. 40Ibid., 4-5.
33
Dasar hukuman qis{a>s{ untuk pembunuhan telah diatur dalam
al-Quran, yaitu41: ُذْثَؼْلاَو ِّشُحْلاِت ُّشُحْلا ۖ ًَلْتَقْلا ٍِف ُصاَصِقْلا ُمُكَُْلَػ َةِتُك اىُىَمآ َهَِزَّلا اَهََُّأ اََ ْهَمَف ۚ ًََٰثْوُؤْلاِت ًََٰثْوُؤْلاَو ِذْثَؼْلاِت ْمُكِّتَس ْهِم ٌفُِفْخَت َكِلََٰر ۗ ٍناَسْحِئِت ًَُِْلِإ ٌءاَدَأَو ِفوُشْؼَمْلاِت ٌعاَثِّتاَف ٌءٍَْش ًُِِخَأ ْهِم ًَُل ٍَِفُػ ِهَمَف ۗ ٌحَمْحَسَو ٌمُِلَأ ٌباَزَػ ًَُلَف َكِلََٰر َذْؼَت َٰيَذَتْػا ‚Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.‛ (QS Al-Baqarah: 178).
Jari<mah qis{a>s{ dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang
dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan
anggota badan dengan sengaja, oleh karena itu, bentuk jari<mah yaitu
penganiayaan sengaja. Sedangkan qis{a>s{ atas selain jiwa disengaja adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara sengaja yang mengakibatkan luka
dan hilangnya anggota badan atau hilangnya fungsi anggota badan.
Hukuman qis{a>s{ dianggap sebagai hukuman terbaik sebab
mencerminkan keadilan. Pelaku tindak pidana qis{a>s{ mendapatkan
hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya
terhadap orang lain. Dalam hal ini dapat dijadikan sebagai peringatan
34
untuk pelaku apabila melakukan perbuatannya dilain hari jika dia
mengingat hukumannya sama yang akan dia dapat nantinya.
Penerapan qis{a>s{ dalam kasus tindak pidana penganiayaan harus
memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1. Baligh
2. Pelaku berakal
3. Pelaku tidak ada hubungan darah dengan korban.
4. Adanya kafaah (kesetaraan) antara korban dan pelaku. Seperti kafir
dan budak.
5. Korban status sosialnya tidak dibawah pelaku, seperti budak dan
kafir.
6. Adanya kesamaan dalam kesehatan dan kesempurnaan (kemulusan).42
Jari<mah qis{a>s{ ialah mengambil pembalasan yang sama. Qis{a>s{ itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat maaf dari ahli waris
yang terbunuh yaitu dengan membayar diya<t (ganti rugi). Pembayaran
diya<t diminta dengan baik, misalnya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,
yaitu dengan tidak menangguh-nangguhkannya.
7. Syarat-syarat Jari<mah Qis{a>s{
Untuk melaksanakan hukuman qis{a>s{ perlu adanya syarat-syarat
yang harus terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat
untuk pelaku (pembunuh), korban (yang dibunuh), perbuatan
35
pembunuhannya dan wali dari korban.43 Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
a. Syarat-syarat pelaku (pembunuh)
Menurut Ahmad Wardi Muslich adalah ada syarat yang harus
terpenuhi oleh pelaku (pembunuh) untuk diterapkannya hukuman
qis{a>s{. Syarat tersebut adalah pelaku harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku
(pembunuh) harus orang yang mempunyai kebebasan.44
b. Korban (yang dibunuh)
Untuk dapat diterapkannya hukuman qis{a>s{ kepada pelaku harus
memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat
tersebut adalah korban harus orang-orang yang ma’shum ad-dam
artinya korban adalah orang yang dijamin keselamatannya oleh negara
Islam, korban bukan bagian dari pelaku, artinya bahwa keduanya
tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya keseimbangan antara
pelaku denagn korban (tetapi para jumhur ulama saling berbeda
pendapat dalam keseimbangan ini).
c. Perbuatan pembunuhannya
Dalam hal perbuatan menurut hanafiyah pelaku diisyaratkan harus
perbuatan langsung, bukan perbuatan tidak langsung. Apabila perbuatannya tidak langsung maka hukumannya bukan qis{a>s{
melainkan diya<t. Akan tetapi, ulama-ulama selain hanafiyah tidak
43Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 151. 44Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam . . ., 152.
36
mensyaratkan hal ini, mereka berpendapat bahwa pembunuhan tidak
langsung juga dapat dikenakan hukuman qis{a>s{
d. Wali (keluarga) dari korban
Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban
tidak diketahui keberadaannya maka qis{a>s{ tidak bisa dilaksanakan.
Akan tetapi ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.
8. Macam-macam Jari<mah Qis{a>s{
Dalam fiqh jinayah, qis{a>s{ ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Qis{a>s{ karena melakukan jari<mah pembunuhan.
b. Qis{a>s{ karena melakukan jari<mah penganiayaan,
Sanksi hukum qis{a>s{ yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan
sengaja (terencana) terdapat dalam firman Allah berikut45:
َلَػ َةِتُك اىُىَمآ َهَِزَّلا اَهََُّأ اََ ْهَمَف ۚ ًََٰثْوُؤْلاِت ًََٰثْوُؤْلاَو ِذْثَؼْلاِت ُذْثَؼْلاَو ِّشُحْلاِت ُّشُحْلا ۖ ًَلْتَقْلا ٍِف ُصاَصِقْلا ُمُكُْ ْمُكِّتَس ْهِم ٌفُِفْخَت َكِلََٰر ۗ ٍناَسْحِئِت ًَُِْلِإ ٌءاَدَأَو ِفوُشْؼَمْلاِت ٌعاَثِّتاَف ٌءٍَْش ًُِِخَأ ْهِم ًَُل ٍَِفُػ َف ۗ ٌحَمْحَسَو ِهَم ٌمُِلَأ ٌباَزَػ ًَُلَف َكِلََٰر َذْؼَت َٰيَذَتْػا ‚Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.‛ (QS Al-Baqarah: 178).
37
Ayat ini berisi tentang hukuman qis{a>s{ bagi pembunuh yang
melakukan kejahatannya secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak
memaafkan pelaku. Kalau keluarga korban ternyata memaafkan pelaku,
maka sanksi qis{a>s{ tidak berlaku dan beralih menjadi hukuman diya<t. Dengan demikian, tidak setiap pelaku tindak pidana pembunuhan
pasti diancam sanksi qis{a>s{. Segala sesuatunya harus diteliti secara
mendalam mengenai motivasi, cara, faktor pendorong, dan teknis ketika
melakukan jari<mah pembunuhan ini. Ulama fiqh membedakan jari<mah
pembunuhan menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut:46
a. Pembunuhan sengaja.
b. Pembunuhan semi-sengaja.
c. Pembunuhan tersalah.
Dari ketiga jenis tindak pidana pembunuhan tersebut, sanksi
hukuman qis{a>s{ hanya berlaku pada pembunuhan jenis pertama, yaitu jenis
pembunuhan sengaja. Nash yang mewajibkan hukuman qis{a>s{ ini tidak
hanya berdasarkan Alquran, tetapi juga hadis Nabi dan tindakan para
sahabat. Adapun dua jenis pembunuhan yang lainnya, sanksi hukumnya
berupa diya<t. Demikian juga pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh
pihak keluarga korban, sanksi hukumnya berupa diya<t.47
9. Hal-hal yang Menggugurkan Hukuman Qis{a>s{
Ada beberapa sebab yang dapat menjadikan hukuman itu gugur,
tetapi sebab ini tidaklah dapat dijadikan sebab yang bersifat umum yang
46Nurul Irfan, Fiqh Jinayah . . ., 5. 47Ibid., 6.
38
dapat membatalkan seluruh hukuman, tetapi sebab-sebab tersebut
memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap hukuman. Adapun
sebab-sebab yang dapat menggugurkan hukuman adalah: 48
a. Meninggalnya pelaku tindak pidana.
b. Hilangnya tempat melakukan qis{a>s{.
c. Tobatnya pelaku tindak pidana
d. Perdamaian.
e. Pengampunan.
f. Diwarisnya qis{a>s{.
g. Kadaluarsa (al-taqdum).
10. Diya>t
Diya>t merupakan hukuman pokok dalam pembunuhan tersalah, namun memiliki ketentuan yang berbeda dengan pembunuhan sengaja dan
pembunuhan menyerupai sengaja, yaitu berupa seratus ekor unta yang
terdiri dari 20 ekor unta betina umur 1-2 tahun, 20 ekor unta jantan umur
1-2 tahun, 20 ekor unta betina umur 2-3 tahun, 20 ekor unta hiqqah (umur
3-4 tahun) dan 20 ekor unta jadzaah (umur 4-5 tahun).49
B. Teori Penjatuhan Pidana dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif
1. Hukum Pidana Islam
Pemidanaan dalam istilah Bahasa Arab sering disebut ‘uqu>bah, yaitu bentuk pembalasan bagi seseorang atas perbuatannya yang
48Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 52. 49 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam . . ., 174.
39
melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya
untuk kemaslahatan manusia.50
Tujuan dari adanya pemidanaan dalam syariat Islam merupakan
realisasi dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yakni sebagai
pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan scara umum dan
pencegahan secara khusus serta perlindungan terhadap hak-hak si
korban. Definisi lain menyebutkan bahwa pemidanaan adalah suatu
penderitaan yang dibebankan kepada seseorang akibat perbuatannya
melanggar aturan. Pemidanaan dengan hukuman tertentu
dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah
kedzaliman atau kemudharatan.
Ketika tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki individu,
menjaga masyarakat dan memelihara kehidupan mereka, pemidanaan
wajib berdiri diatas suatu nilai dasar yang dapat mewujudkan
tujuan-tujuan tersebut supaya pemidanaan dapat memenuhi tugas yang
seharusnya. peraturan hukum yang mengandung sanksi pemidanaan
tersebut, akan mencegah pengulangan tindak pidana oleh pelaku.
Nilai-nilai dasar yang mewujudkan tujuan pemidanaan adalah sebagai
berikut:51
50 Ahmad Syafiq, ‚Rekontruksi Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam (Perspektif Filsafat
Hukum)‛, Jurnal pembaharuan Hukum, No. 2, Vol.1, (Mei-Agustus 2014), 179. 51 Ibid., 180.
40
a. Hukuman itu bersifat universal, yaitu dapat menghentikan orang
dari melakukan suatu tindak kejahatan, bisa menyadarkan dan
mendidik bagi pelakunya.
b. Penerapan materi hukumannya sejalan dengan kebutuhan dan
kemaslahatan masyrakat. Seluruh bentuk hukuman harus dapat
menjamin dan mencapai kemaslahatan pribadi dan masyarakat.
c. Hukuman tersebut bertujuan untuk melakukan perbaikan terhadap
pelaku tindak pidana.
Pemidanaan dalam kajian hukum pidana islam (fiqh jinayah)
dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu:52
1) Pemidanaan dilihat dari keterkaitan antara satu pemidanaan
dengan pemidanaan yang lainnya. Dalam hal ini ada empat
macam:
a) Pidana pokok, yaitu pemidanaan yang diterapkan secara
definitive.
b) Artinya hakim hanya menerapkan sesuai apa yang telah
ditentukan oleh nash. Dalam fiqh jianayah pemidanaan ini disebut sebagai Jari<mah h{udu>d.
c) Pidana pengganti, yaitu pemidanaan yang diterapkan
sebagai pengganti karena pidan pokok tidak dapat
diterapkan dengan alasan yang sah/benar. Misalnya qishah
digangti dengan diya>t dan diya>t diganti dengan dimaafkan.
41
d) Pidana tambahan, yaitu pemidanaan yang menyertai
pidana pokok tanpa adanya putusan hakim tersendiri.
Misalnya bagi pelaku qada>f (menuduh zina) diberlakukan
pemidanaan berupa hilangnya hak persaksian dirinya dan
hilangnya hak pewarisan bagi pelaku pembunuhan.
e) Pidana pelengkap, yaitu tambahan pidana pokok dengan
melalui putusan hakim secara tersendiri. Pidana pelengkap
sejalan dengan pidana tambahan karena keduanya
merupakan kosekuensi/akibat dari pidana pokok.
Perbedaan antara pidana tambahan dengan pidana
pelengkap adalah pidana tambahan tidak memerlukan
adanya putusan hakim tersendiri, sedangkan pidana
pelengkap memerlukanj adanya putusan hakim tersendiri.
2) Pemidanaan dilihat dari kewenangan hakim dalam
memutuskan perkara. Hal ini ada dua macam yaitu:53
a) Pemidanaan yang bersifat terbatas, yakni ketentuan
pidana yang ditetapkan secara pasti oleh nash, atau
dengan kata lain, tidak ada batas tertinggi dan terendah.
Misalnya hukuman dera 100 kali bagi pelaku zina dan
hukuman dera 80 kali bnagi pelaku penuduh zina.
b) Pemidanaan yanmg memiliki alternatif untuk dipilih.
42
3) Pemidanaan dilihat dari obyeknya. Dalam hal ini ada tiga
macam:
a) Pemidanaan fisik, seperti potong tangan, rajam dan
lainnya.
b) Pemidanaan yang berkenaan dengan psikologis, ancaman
dan teguran.
c) Pemidanaan benda, ganti rugi, diya>t dan penyitaan harta.
Teori Gabungan Jari<mah
4) Teori Gabungan Jari<mah, yaitu:
Dalam hukum pidana islam, para fuqaha>’ membatasi pada
dua teori, yaitu :54
a) Teori saling memasuki atau melengkapi, (al-tada>khul).
Dalam teori ini, pelaku jarimah dikenakan satu hukuman,
meskipun melakukan tindak pidana ganda, karena
perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap saling
melengkapi atau saling memasuki. Teori ini didasarkan
pada dua pertimbangan:55
(1) Bila pelaku jari<mah hanya melakukan tindakan
kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim,
maka hukuman-nya dapat dijatuhkan satu macam
yang tujuannya adalah edukasi (pendidikan) dan
54 Sahid, Epistemologi Hukum Pidana Isalam Dasar-dasar Fiqh Jinayah, (Surabaya: Pustaka Idea,
2014), 96. 55 Ibid., 97.
43
preventif (pencegahan). Jika satu hukuman dianggap
cukup, maka hukuman berulang tidak dibutuhkan.
Jika ia belum sadar dan mengulangi perbuatan jahat,
ia dapat dikenai hukuman lagi.
(2) Bila jari<mah yang dilakukan oleh seseorang
berulang-ulang dan terdiri atas macam-macam jari<mah, maka pelaku dapat dijatuhi satu hukuman, dengan syarat
penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan
bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama.
Misalnya, orang yang berjudi kemudian minum
khamr.
5) Teori penyerapan (al-jabb)
Dalam teori ini penjatuhan hukuman dimaksudkan untuk
menghilangkan yang lain karena telah diserap oleh hukuman
yang lebih berat. Misalnya, hukuman mati yang dijatuhkan
akan menyerap hukum yang lain.
Fuqaha berbeda pendapat tentang teori al-jabb. Ma>lik, Abu>
Hani>fah, dan Ahmad bin Hanbal sepakat menggunakan teori
ini, sedangkan al-Sha>fi’i> tidak sepakat. Fuqaha> yang sepakat berbeda pendapat tentang wilayah pemberlakuan tentang
cakupan jenis jari<mah. Menurut Mali>k, jika hukuman h}add berkumpul pada hukuman mati, hukuman h}add tersebut gugur, karena hukuman mati telah menyerapnya kecuali hukuman