• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Air Limbah Laundry

Pengertian air limbah menurut Ehless dan Steel, sebagaimana dikutip Chandra (2007) adalah cairan buangan dari rumah tangga, industri dan tempat-tempat umum lain yang mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia dan makhluk lainnya serta mengganggu kelestarian lingkungan (Sumantri, 2015). Air limbah memiliki karakteristik secara fisika, kimia, dan biologi. Secara fisik, air limbah memiliki karakteristik yang diamati suhu, warna, bau dan kekeruhan. Karakteristik air limbah secara kimia yaitu terdapat berbagai macam kandungan dalam air limbah seperti bahan-bahan organik dan anorganik. Kandungan tersebut mencakup pH, BOD, COD dan bahan kimia berbahaya seperti fosfor, nitrogen, dan klorida. Pada karakteristik biologi umumnya terkandung berbagai macam organisme seperti bakteri, jamus, dan organisme air sejenis (Sperling, 2007).

Berdasarkan sumber penghasilnya, air limbah dibagi menjadi dua jenis yaitu air limbah industri dan air limbah domestik (Helmer dan Hespanhol, 1997). Air limbah domestik menurut Suyasa (2015) adalah air hasil buangan dari perumahan, bangunan, perdagangan, perkantoran dan sarana sejenisnya. Air limbah domestik dikarakteristikan sebagai grey water dan black water. Grey water adalah limbah domestik yang berasal dari air bekas cucian piring, air bekas mandi dan cuci pakaian.

(2)

Sedangkan black water adalah air limbah yang dikelurkan melalui toilet, urinoir dan bidets (Cahyadi, 2008).

Air limbah laundry berasal dari sisa proses kegiatan mencuci pakaian. Maka dari itu, air limbah tersebutdapat digolongkan ke dalam kategori grey water. Menurut Tjandraatmadja dan Diaper (2006), pengaruh perubahan kualitas grey water selama 10 tahun terakhir ini adalah berubahnya formula pada produk laundry seperti deterjen, softener, pemutih, dan jenis produk laundry lainnya.

2.1.1. Kandungan Deterjen dalam Limbah Laundry

Air limbah Laundry umumnya mengandung deterjen karena dalam aktvitas laundry selalu menggunakan deterjen dalam proses kegiatannya. Secara umum komponen penyusun deterjen adalah surfaktan, builders, bleaching agent dan bahan aditif (Smulders dalam Hudori, 2008). Surfaktan berfungsi untuk mengangkat kotoran pada pakaian baik yang larut dalam air maupun yang tak larut dalam air. Surfaktan dalam deterjen dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu; anionik, nonionik, kationik, dan zwitterionik (Yu, et al, 2008).

Jenis surfaktan anionik merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam kegiatan laundry dikarenakan biaya pembuatannya yang mudah dan murah. Surfaktan jenis ini merupakan produk terbesar hingga saat ini. Dalam kelompok surfaktan ini, jenis yang umum adalah Alkyl Benzene Sulfonates (ABS), Linear Alkyl Benzene Sulfonates (LAS) dan jenis lainnya (Yu, et al, 2008). Pada awalnya surfaktan jenis Alkyl Benzene Sulfonates (ABS) yang digunakan dalam komposisi deterjen. ABS dikenal sebagai hard detergent karena sifatnya yang tahan penguraian biologis. Oleh karena itu ABS dikenal sebagai senyawa pencemar yang toksik terhadap biota air (Chonnell dalam Hudori, 2008). Pada tahun 1965 mulai dikenal Linear Alkyl Benzene

(3)

Sulfonates (LAS), sebagai surfaktan LAS dapat menurunkan tegangan permukaan dan mengemulsi lemak sehingga sebagai dimanfaatkan sebagai pelarut lemak dan denaturasi protein. Jenis surfaktan lainnya juga digunakan sebagai pembersih pakaian seperti Nonylphenol dan Sodium Lauryl Ether Sulphate dari kelompok surfaktan nonionik (Hudori, 2008; Yu, et al, 2008).

Setelah surfaktan, kandungan lain yang penting adalah builder yang berguna untuk meningkatkan efisiensi surfaktan. Builder digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara meengikat mineral-mineral yang terlarut, sehingga surfaktan dapat berfungsi dengan lebih baik. Selain itu, builder juga dapat membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung dengan lebih baik serta membantu mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Senyawa kompleks yang sering digunakan dalam builder adalah natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat, flourescent dan fosfat (Hudori, 2008). Dalam deterjen umumnya jenis builder yang digunakan adalah builder dalam bentuk Sodium Tripolifosfat (STPP) (Tjandraatmadja dan Diaper, 2006). STPP dalam deterjen bereaksi dengan ion magnesium dan ion kalsium yang terdapat dalam air dengan tujuan untuk mengurangi keberadaan ion magnesium dan ion kalsium bebas dalam air yang dapat mengurangi efektivitas surfaktan. Reaksi antara STPP dan ion-ion tersebut membentuk padatan dan senyawa lain yang mengandung fosfat. Senyawa fosfat tersebut digunakan untuk mencegah kembalinya kotoran menempel pada bahan yang sedang dicuci. Kesadahan air yang digunakan untuk mencuci akan mempengaruhi penggunaan terhadap deterjen karena tingkat kesadahan air dipenguhi oleh kandungan ion magnesium dan ion kalsium dalam air. Padatan yang terbentuk akibat pengikatan ion magnesium dan ion kalsium oleh builder akan lebih tinggi bila air yang digunakan untuk mencuci tersebut memiliki tingkat kesadahan yang tinggi, dibandingkan sebaliknya padatan yang

(4)

terbentuk oleh builder akan lebih rendah bila air yang digunakan memiliki tingkat kesadahan yang rendah (Kohler, 2006; Hudori, 2008;Yu, et al, 2008).

Kandungan softener dan pemutih yang terkandung dalam deterjen bertujuan untuk melengkapi dan memaksimalkan pembersihan dan perawatan pada serat pakaian. Softener dan pemutih tersebut mengandung bahan-bahan berupa senyawa berbasis sodium. Keunggulan dari sodium adalah kemampuan sodium sebagai pelarut partikel-partikel dalam air, namun sodium sulit dipisahkan dari air kecuali menggunakan metode pembalikan osmosis. Kandungan sodium akan mempengaruhi kadar garam dalam air (salinitas) dan akan berdampak pada penurunan kualitas air apabila langsung dibuang ke perairan (Patterson, 2000).

2.1.2. Karakteristik Limbah Laundry

Air limbah yang dihasilkan dari proses kegiatan laundry mempunyai komposisi dan kandungan yang bervariasi. Hal ini disebabkan variasi kandungan kotoran pada bahan yang akan dicuci, komposisi, jenis dan jumlah deterjen yang digunakan serta teknologi yang dipakai untuk mencuci (Hudori, 2008).

Karakteristik dari air limbah laundry yang diperoleh dari penelitian Hudori (2008) dan Padmanabha (2015) disajikan dalam tabel berikut.

(5)

Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Laundry

Parameter Nilai Satuan

Hudori (2008) Padmanabha (2015) Suhu 23,6 – 26,0 - ⁰C pH 8,67-10,53 8,6 - Surfaktan 256,87-363,72 - mg/L COD 599,44-754,35 346,84 mg/L BOD - 182,78 mg/L TSS - 48,65 mg/L Total Fosfat 7,36 - 7,84 7,30 mg/L

Sumber : Hudori (2008); Padmanabha (2015)

Tingginya nilai parameter pada air limbah laundry tentunya akan menyebabkan pencemaran lingkungan terutama pencemaran badan air. Kualitas air limbah laundry tersebut tidak sesuai dengan baku mutu baku mutu yang tercantum dalam peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2015 tentang Baku Mutu Air Limbah dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup.

2.2. Parameter Total Fosfat

Total fosfat merupakan parameter yang mengukur keseluruhan fosfat dalam air. Fosfat merupakan senyawa yang tersusun atas unsur P (Fosfor) dan O (Oksigen). Menurut Suyasa (2015) bentuk utama dari fosfat dalam air alam atau air limbah adalah fosfor organik, orthofosfat dan polifosfat. Fosfor organis biasanya terdapat pada air buangan permukiman seperti tinja dan sisa makanan. Pada daerah pertanian biasanya

(6)

orthofosfat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke sungai melalui saluran drainase dan aliran hujan. Orthofosfat juga dapat menjadi senyawa fosfor organis melalui proses biologis oleh bakteri maupun tanaman. Sedangkan polifosfat berasal dari air buangan permukiman maupun industri yang menggunakan bahan deterjen yang mengandung fosfat seperti yang berasal dari industri pencucian, logam dan sebagainya (Suyasa, 2015).

Kadar fosfor yang diperkenankan bagi kepentingan air minum adalah 0,2 mg/L sedangkan untuk perairan alami berkisar antara 0,005-0,02 mg/L (Suyasa, 2015). Fosfor merupakan bahan yang menjadi nutrient bagi mikroorganisme dalam menyeimbangkan bahan organik dalam air serta menjadi nutrisi bagi pertumbuhan tanaman air. Jumlah kandungan fosfor yang berlebih dalam perairan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang tidak terkendali serta menyebabkan eutrofikasi. Pada keadaan eutrofikasi tanaman air dapat menghabiskan oksigen dalam air pada malam hari dan pada siang hari pancaran sinar matahari ke dalam air akan berkurang akibat terhalangnya sinar matahari oleh tanaman untuk masuk ke dalam air, sehingga proses fotosintesis berkurang dan oksigen yang terlarut dalam air juga berkurang (Carty, et al, 1997; Sperling, 2007; Yunarsih, 2013). Bila kadar fosfat pada air alam sangat rendah (<0,01 mg/L), pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang, keadaan ini dinamakan oligotrofik (Allaerts dalam Suyasa, 2013).

2.3. Parameter Amonia

Amonia merupakan senyawa yang terdiri atas unsur nitrogen dan hidrogen serta dikenal memiliki bau menyengat yang khas. Amonia (NH3) dapat terbentuk sebagai

hasil penguraian/pembusukan protein yang terdapat dalam limbah atau sampah organik, baik yang berasal dari limbah rumah tangga maupun industri. Gas Amonia

(7)

(NH3) menimbulkan bau yang tidak normal dalam air dan jika terhirup dalam

pernafasan oleh manusia dapat berakibat mengganggu kesehatan. Gas amonia yang menimbulkan bau menyengat dan bersifat racun dapat ditemukan pada pH tinggi (basa) sedangkan pada pH rendah (asam) akan terbentuk ion NH4+ (Wahyuni, 2014;

Sari, 2013).

Konsentrasi amonia dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan suhu. Pada musim panas saat suhu meningkat, konstentrasi amonia di perairan sangat rendah, disebabkan oleh aktivitas bakteri pada suhu ini meningkat sehingga proses nitrifikasi dan nitrafikasi berlangsung dengan baik. Sedangkan pada musim hujan saat suhu lingkungan rendah, menyebabkan pertumbuhan bakteri menurun sehingga proses nitrifikasi berjalan lambat menyebabkan konsentrasi amonia meningkat (Titiresmi, 2006). Tingginya kadar amonia berkontribusi terhadap terjadinya proses eutrofikasi, sehingga menghalangi penetrasi sinar matahari ke dalam perairan dan mengganggu proses fotosintesis. Kondisi tersebut dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut pada air. Jika kadar oksigen terlarut dalam perairan menurun, maka dapat menyebabkan proses respirasi biota akan terganggu bahkan menyebabkan kematian (Widiyanto dalam Wahyuni, 2014). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, standar baku mutu parameter Amonia untuk air limbah adalah 5 mg/L.

2.4. Parameter pH

pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Yang dimaksudkan "keasaman" di sini adalah konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam pelarut air (Sumartini, 2008 dalam

(8)

Pahlewi, 2012). Air akan mengalami sifat basa atau asam tergantung dengan besar kecilnya nil pH. Bila nilai pH pada air diatas pH normal (niilai pH diatas 7,5) maka air tersebut akan bersifat basa, sedangkan air yang mempunyai nilai pH dibawah pH normal (nilai pH diatas 6,5) maka air tersebut bersifat asam (Sumantri, 2015).

Sebagaian besar biota air sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH diantara nilai pH 7 sampai 8,5. Pada nilai pH yang kurang dari 4 sebagian akan menyebabkan kematian pada biota air akibat ketidakmampuan beradaptasi dengan nilai pH yang rendah yang berarti air bersifat sangat asam. Selain itu, pH juga dapat berpengaruh pada peningkatan toksisitas pada suatu zat. Amonium yang sifatnya non-toksik pada pH rendah akan menjadi non-toksik pada pH yang tinggi akibat tidak terionisasi dalam air dengan pH yang tinggi (Sumantri, 2015; Carty, et al, 1997; Effendi, 2003). Berdasarkan baku mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, standar baku mutu parameter pH untuk air limbah adalah 6-9.

2.5. Constructed Wetlands

Constructed Wetland (CW) adalah sistem yang dirancang dan dibangun dengan memanfaatkan proses alamiah yang melibatkan tanaman, tanah, dan kumpulan mikroba yang terkait untuk membantu dalam proses pengolahan air limbah (Vymazal, 2010). CW merupakan salah satu instalasi pengolahan air limbah yang memiliki keuntungan dari segi biaya yang lebih murah, perawatan yang lebih mudah, keberlanjutan instalasi mampu hingga 15 tahun, serta dapat memudahkan dalam penentuan lokasi instalasi (Cattin, 2012).

Pada proses pembuatan dan fungsinya CW hampir menyerupai lahan basah (Wetlands) pada umumnya (Mara, 2004). Menurut Tuladhar, et al (2003), CW

(9)

merupakan teknologi pengolahan air limbah secara biologis yang dirancang untuk meniru proses yang ditemukan diekosistem lahan basah alami. Kualitas air limbah yang keluar dari sistem ini dapat dikontrol/diatur sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembuatnya, karena sistem pengolahan ini direncanakan untuk suatu tujuan pengolahan limbah, perencanaan meliputi debit limbah, beban organik, kedalaman media, jenis tanaman, dan lain-lain, sehingga (Supradata, 2005). Dalam sistem Wetlands terdapat proses pengolahan limbah yang terintegrasi antara proses pengolahan limbah dengan filtrasi, sedimentasi serta degradasi secara biologi untuk memisahkan berbagai polutan yang ada dalam air limbah (Moshiri, et al, 1993; Gauss, et al, 2008).

Pada CW tanaman air dan makrophyta berperan sebagai penyedia oksigen dan karbon untuk mengubah senyawa amonia dalam air limbah menjadi senyawa nitrit (nitrifikasi) melalui reaksi oksidasi. Tanaman air dan makrophyta juga melakukan penyerapan nutrisi serta polutan terlarut kemudian digunakan untuk proses biologis tanaman dan disimpan pada bagian-bagian tertentu pada makrophyta (Cattin, 2012). Media filter yang digunakan dalam CW juga menentukan hasil pengolahan air limbah. Peran media filter dalam CW adalah sebagai penyimpan berbagai bahan yang terkandung pada air limbah kemudian ditransformasi secara kimia dan biologi menjadi bahan yang tidak bersifat polutan serta sebagai nutrisi bagi keberlansungan tanaman air dan mikroorganisme yang ada dalam sistem CW (DuPoldt, et al, 1998; Cattin, 2012).

Batu Vulkanik merupakan salah satu media filter yang dapat digunakan dalam sistem CW. Batu vulkanik memiliki pori-pori batuan yang banyak sehingga dapat memaksimalkan pemisahan senyawa kimia anorganik seperti fosfor dan nitrogen.

(10)

1 2

Gambar 2.1 Surface Flow Constructed Wetland (SFCW) (1) dan Subsurface Flow Constructed Wetland (SSFCW) (2)

Kandungan senyawa aluminium dalam bentuk alumina (Fe2O3) dan silica dalam batu

vulkanik juga merupakan senyawa yang mampu menyerap fosfor dan memisahkannya dari air limbah dalam jumlah yang besar (Ballantine and Tanner, 2011). Jenis batu lain juga dapat digunakan sebagai media filter dalam sistem CW adalah batu kapur, batuan sungai, dan jenis batuan lainnya sesuai dengan kondisi geografis pada masing-masing lokasi instalasi. Penggunaan media filter dalam sistem CW harus dalam keadaan bersih sehingga tidak menggangu proses pengolahan yang dilakukan (Cattin, 2012).

Constructed Wetlands (CW) umumnya dibagi dalam dua jenis berdasarkan format alirannya, yaitu Sistem Aliran Permukaan atau Free Water System (FWS) yang sering disebut Surface Flow Constructed Wetland (SFCW) dan Sistem Aliran Bawah Permukaan atau Subsurface Flow Constructed Wetland (SSFCW) (Leady dalam Supradata, 2005).

Sumber : USDA (1995) dalam Halverson (2004)

2.5.1. Surface Flow Constructed Wetland (SFCW)

SFCW memiliki konsep pembuatan yang hampir sama dengan wetlandsa lami. SFCW umumnya menggunakan tanah pada bagian bawah, tanaman muncul di permukaan air, dan aliran air berada di atas permukaan air (Halverson, 2004). Aliran

(11)

air limbah pada sistem SFCW mengalir diatas permukaan air secara horizontal. Pada SFCW menggunakan luas tertentu dengan komposisi tanah, air, serta berbagai jenis tanaman air dan makrophyta dengan berbagai sifatnya di dalam air baik itu jenis tanaman air yang mengapung, tidak muncul ke atas permukaan air, maupun yang muncul ke atas permukaan air (Gauss, et al, 2008; Cattin, 2012). Menurut Vymazal (2010), FWS atau bisa disebut dengan SFCW efisien dalam menghilangkan senyawa organik melalui degradasi mikroba dan pengendapan partikel koloid. Padatan tersuspensi secara efektif dihilangkan melalui pengendapan dan penyaringan melalui vegetasi yang lebat (Vymazal, 2010).

2.5.2. Subsurface Flow Constructed Wetland (SSFCW)

SSFCW umumnya dibangun dengan bahan yang berpori (misalnya tanah, pasir, atau krikil) sebagai substratnya. Aliran air limbah pada sistem ini mengalir dibawah permukaan air dan masuk melalui substrat secara horizontal maupun vertikal. Berdasarkan sistem aliran dasar SSFCW dapat dibedakan menjadi dua, yaituHorizontal Flow Subsurface Flow Constructed Wetland (HFSFCW) dan Vertical Subsurface Flow Constructed Wetland (VFSFCW) (Halverson, 2004).

2.5.2.1. Horizontal Flow Subsurface Flow Constructed Wetland (HFSFCW) Teknologi instalasi pengolahan air limbah dengan HFSFCW pertama kali diteliti di Jerman pada tahun 1960. Konstruksi pada instalasi ini terdiri dari cekungan dangkal yang dipenuhi dengan pasir kasar atau kerikil sebagai media filternya. Tanaman yang digunakan dalam instalasi ini adalah tanaman yang muncul diatas permukaan dan tidak memungkinkan untuk menggunakan tanaman yang mengapung maupun tanaman yang tidak munculdi permukaan air (Gauss, et al, 2008). Peran penting dari tanaman dalam

(12)

Gambar 2.2 Horizontal Flow Subsurface Flow Constructed Wetland

instalasi ini adalah untuk penyediaan substrat (akar) untuk pertumbuhan bakteri yang menempel dan menyerap unsur hara. HFSFCW memiliki aliran yang sama dengan SFCW yaitu mengalir secara horizontal namun melalui bagian bawah permukaan air. Pada instalasi ini air limbah akan masuk melalui inlet kemudian melalui media filter pada bawah permukaan secara horizontal kemudian akan keluar melalui saluran outlet dan air limbah setelah dilakukan pengolahan akan dikumpulkan atau dibung (Vymazal, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Vymazal (2014) yang menerapkan HFSFCW sebagai instalasi pengolahan air limbah domestik, efisiensi penurunan nilai parameter COD sebesar 87%, BOD sebesar 96% dan TSS sebesar 93%. Sedangkan, pada penelitian Albuquerque, et al(2009) memiliki efisiensi penurunan nilai parameter Amonia sebesar >62% dan nitrat sebesar 90-100%.

(13)

2.5.2.2. Vertical Flow Subsurface Flow Constructed Wetland (VFSFCW)

VFSFCW dikembangkan sebagai alternatif dari instalasi HFSFCW. Konstruksi instalasi ini sama dengan konstruksi yang digunakan dalam HFSFCW. VFSFCW dan HFSFCW juga memiliki pengaruh yang sama dalam fungsi menghilangkan kontaminan namun terdapat perbedaan pada sistem alirannya. Intsalasi ini memiliki sistem aliran dibawah permukaan air secara vertikal melalui media filter (Halverson, 2004; Gauss,et al, 2008). Namun, pada instalasi ini penyebaran air tidak berlangsung secara cepat bila dibandingkan dengan HFSFCW (Vymazal, 2010).

Jenis tanaman air yang digunakan dalam instalasiini sama dengan jenis tanaman yang digunakan pada instalasi HFSFCW. Fungsi tanaman dalam instalasi ini sebagai pendukung proses penyerapan air limbah. Pada instalasi ini biasanya menggunakan pasir, bebatuan ataupun kerikil sebagai media filter. Pada lapisan filter, terjadi proses pengolahan air limbah serta adanya penambahan hidrolik yang berselang-seling sehingga lapisan filter terisi dengan air yang meningkatkan proses nitrifikasi. Menurut Vymazal (2010), VFSFCW sangat efektif dalam menghilangkan kontaminan organik dan padatan tersuspensi (Gauss, et al, 2008; Vymazal, 2010). Berdesarkan penelitian Pillai (2012) yang menggunakan tanaman serai (Cymbopogon flexuosus) dalam pengolahan air limbah domestik menggunakan instalasi VFSFCW, dapat menurunkan kekeruhan sebesar 76%, COD sebesar 73%, BOD sebesar 80%, fosfat sebesar 41% dan TSS sebesar 73%.

(14)

Gambar 2.3 Vertical Flow Subsurface Flow Constructed Wetland Sumber : Gauss, et al (2008)

2.6. Batu Vulkanik

Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang berasal dari magma atau lava yang mengalami pendinginan dan pengerasan di permukaan bumi. Pembekuan yang sangat cepat dan membentuk berbagai jenis kristalisasi batuan, namun kristal pada batu vulkanik sangat kecil dan hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop (Gillaspy, 2014). Batu vulkanik memiliki kandungan unsur oksida silika (SiO2), oksida alumina

(Al2O3), danbesi oksida (Fe2O3) yang cukup tinggi. Batu vulkanik mengandung sekitar

53% silika dan 18% alumina dalam kondisi yangbersifat reaktif (Basari, 2012). Beberapa jenis batu vulkanik yang berasal dari pembekuan lava antara lain, Batu Rhiolit, Batu Dasit, Batu Andesit, dan Batu Basalt (McBirney, 2007).

Batu rhiolit merupakan batuan dengan dominasi kandungan Silikon dioksida (73%) dan alumina (14,0%) (McBirney, 2007). Permukaan Batu Rhiolit umumnya halus dengan tekstur mirip seperti kaca (glassytexture) dengan warna yang terang

(15)

umumnya mengandung senyawa besi dan magnesium yang kurang dalam batuan (Gill. 2010).

Batu Dasit merupakan jenis batuan dengan dominasi kandungan mineral yang sama dengan Batu Rhiolit yaitu silika dioksida (69,2%) dan alumina (15,2%.) Tekstur batu Dasit kasar namun tersusun atas partikel-partikel halus (Fine-grained) dengan sifat warna terang dengan kandungan mineral pemberi warna yang hampir sama dengan Batu Rhiolik (McBirney, 2007; Gillaspy, 2010).

Batu Andesit merupakan jenis batuan dengan dominasi warna abu-abu dikarenakan mineral pemberi warna dalam Batu Andesit yaitu mineral pemberi warna terang dan mineral pemberi warna gelap berada pada komposisi yang mendekati keseimbangan. Struktur Batu Andesit Halus dengan titik-titik hitam atau 31 putih yang terbentuk karena persebaran mineral-mineral di dalam batu. Kandungan Silika dioksida dalam batu Andesit sebesar 60%, sedangkan kandungan alumina dalam Batu Andesit Sebesar 16% (McBirney, 2007; Gillaspy, 2010).

Batu Basalt merupakan jenis batuan yang memiliki struktur batu basalt halus sehingga sulit mengidentifikasi secara tepat kandungan berbagai jenis kandungan mineral yang ada terutama jenis mineral yang berukuran sangat kecil dengan identifikasi mikroskopik (Gillaspy, 2010). Batu Basalt secara umum berwarna hitam ataupun abu-abu gelap sesuai dengan kandungan mineral yang menyusun batu tersebut. Batu Basalt terutama jenis basalt tinggi alumina mengandung 49,2% silika dioksida dan 17,7% alumina (McBirney, 2007).

(16)

2.7. Arang

Arang merupakan salah satu jenis material alternatif yang dapat digunakan dalam pembuatan komposit. Secara ilmiah pemanfaatanarang terus mengalami perkembangan. Selain digunakan sebagai bahan bakar, arang juga dikembangkan dalam bidang pengolahan air. Pemilihan material arang dikarenakan bahan baku pembuatan arang mudah didapat, murah dan arang mempunyai sifat penyerap (adsorben) yang dapat membantu pada proses penjernihan air (Pahlewi, 2012). Arang yang merupakan residu dari proses peruraian panas terhadap bahan yang mengandung karbon sebagian besar komponennya adalah karbon.Untuk meningkatkan daya serap pada arang, maka arang perlu diubah menjadi arang aktif melalui proses aktivasi. Proses aktivasi dapat dilakukan dengan bahan-bahan kimia ataupun dengan melakukan pemanasan pada temperatur tinggi. Arang yang belum diaktivasi dapat dibedakan dengan arang yang sudah diaktivasi berdasarkan sifat pada permukaannya. Permukaan pada arang yang belum diaktivasi masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghambat keaktifannya, sedangkan permukaan arang aktif relatif telah bebas dari deposit, permukaannya luas dan pori-porinya telah terbuka, sehingga memiliki daya serap tinggi(Lempang, 2014; Napitupulu, 2009)

Arang aktif mempunyai kemampuan daya serap yang baik terhadap anion, kation, dan molekul dalam bentuk senyawa organik dan anorganik, baik berupa larutan maupun gas. Arang aktif yang berperan sebagai absorben akan menyerap logam-logam berat dengan penyerapan ion-ion bebas yang ada pada air.Proses adsorpsi pada arang aktifterjadi melalui tiga tahap dasar. Pertama, zat terjerap pada arang aktifbagian luar, lalu bergerak menuju pori-pori arang aktif, selanjutnya terjerap ke dinding bagian dalam dari arang aktif (Lempang, 2014; Rahayu, 2009; Sihombing 2007).

(17)

Beberapa bahan yang mengandung banyak karbon dan dapat digunakan sebagai arang akif adalah kayu, serbuk gergajian kayu, kulit biji, sekam padi, tempurung kelapa, gambut, bagase, batu bara, lignit dan tulang binatang (Lempang, 2014).

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Laundry
Gambar  2.1  Surface  Flow  Constructed  Wetland  (SFCW)  (1)  dan  Subsurface  Flow
Gambar 2.2 Horizontal Flow Subsurface Flow Constructed Wetland
Gambar 2.3 Vertical Flow Subsurface Flow Constructed Wetland    Sumber : Gauss, et al (2008)

Referensi

Dokumen terkait

Rekam medik yang lengkap adalah, rekam medik yang telah diisi lengkap oleh dokter dalam waktu &lt; 24 jam setelah selesai pelayanan rawat jalan atau setelah

dengan adanya sejarah kita akan mengerti dan mengetahui kejadian-kejadian dimasa lalu yang terjadi disaat kita belum dilahirkan, dengan demikian kemajuan kemajuan yang dicapai

Berdasarkan analisis energi yang dihasilkan dengan mekanisme Sound Energy Harvesting berbasis material piezoelektrik berdasarkan variasi intensitas bunyi yang

Dari hasil ujicoba sistem, dapat disimpulkan bahwa sistem pendukung keputusan penyakit diabetes melitus dengan menggunakan algoritma LVQ dapat digunakan dengan

Permasalahan kebersihan di Kabupaten Pesisir Selatan adalah terbatasnya sarana dan Prasarana penunjang, hanya memiliki 42 TPS permanen terbuat dari pasangan bata dan cor

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas (WOM, Manfaat, Kemudahan Penggunaan, dan Kepercayaan) terhadap Keputusan Nasabah

60 Year 2010 on Zakat or donations compulsory religious can deductible from gross income, mentioned include: (a) zakat on income paid by an individual Taxpayer

Dalam cerita pewayangan, terkandung ajaran- ajaran luhur kearifan lokal (local wisdom) tata nilai pe rdam aian suf isti k ya ng d apat dig unak an sebagai salah satu