• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Munculnya pengaruh Agama Katolik di Jawa Tengah

Agama Katolik adalah salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia saat ini dari enam agama resmi yang ada yaitu Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, dan Konghucu. Agama ini dibawa oleh para Misionaris Belanda untuk menyebarkan agama dan misi kemanusiaan di Indonesia. Persebaran ini bermulai sejak abad ke-16 oleh Pater Fransiskus Xaverius, seorang sekretaris organisasi Kerahiban Societas Jesus (SJ) yang dipimpin oleh Santo Ignatius Loyola sekaligus juga seorang sahabat dari Santo Fransiskus Xaverius. Awalnya Tahun 1545 Fransiskus berlayar ke Malaka. Tanggal 14 Februari 1546, Fransiskus mendarat di pantai Hatiwi Ambon. Tahun 1534 Fransiskus berkarya di pulau Moro, Maluku. Dari situlah awal Agama Katolik muncul di Nusantara

Agama Katolik berkembang di pulau Jawa pada abad ke-18 akhir yaitu dengan dibentuknya suatu Vikaris Apostolik. Vikaris Apostolik Batavia pertama dipimpin oleh seorang pastur Belanda W.J. Staal, SJ pada tahun 1893 (Heuken, 2009:124).

Tahun 1900 mayoritas terbesar orang Katolik di Pulau Jawa adalah orang-orang Eropa atau Eurasia. Di Batavia orang-orang-orang-orang Katolik pribumi dan China hanya berjumlah 159 jiwa, sementara ada 6895 orang Katolik Eropa. Jumlah ini menjadi 1859 dan 15803 jiwa untuk tahun 1941. Ini berarti kurang dari 10% orang Katolik di Batavia yang keturunan Cina dan pribumi Indonesia (Steenbrink, 2006: 591).

Ketika tahun 1800an sampai memasuki tahun 1900 awal belum ada seorang pastur yang berasal dari orang pribumi. Pastur-pastur saat itu masih dari orang-orang Belanda. Adapun pastur pertama pribumi nantinya sering disebut dengan sebutan Romo. Persebaran agama Katolik di Jawa Tengah sendiri terjadi pada abad ke-19, Agama Katolik mulai masuk dan berkembang di Jawa Tengah diajarkan melalui seorang Misionaris Belanda bernama Romo Fransiscus van Lith, SJ. Pada tahun 1896, sebelum berkarya di Muntilan Romo Fransiskus van

(2)

13 Lith sempat berkarya di paroki Ambarawa. Romo van Lith juga belajar Bahasa Jawa dan kota Ambarawa menjadi salah satu tempat belajar bahasa Jawa selain di Muntilan. Romo van Lith ini juga sukses menyesuaikan Katolik dengan kebudayaan Jawa sehingga mudah diterima masyarakat Jawa. Pada tahun 1896, Salatiga masih merupakan bagian dari paroki Ambarawa karena saat itu Salatiga memiliki jumlah umat yang sedikit (Supervisi KAS, 2012: 1). Setelah menetap di Muntilan Romo van Lith tetap mengunjungi Ambarawa (Kantor Wali Gereja, 1974: 848).

B. Yesuit (Societas Jesus)

Yesuit adalah sapaan akrab dari SJ. SJ adalah (Societas Jesus) atau orang Indonesia sering menyebut Serikat Yesus. Serikat Yesus didirikan oleh Ignasius Loyola dalam rangka untuk mengemban pelayanan dan misi gereja di Yerusalem. Pada tahun 1537 Ignatius Loyola pergi ke Italia untuk mendapatkan persetujuan Paus atas Ordo tersebut, Paus Paulus III memberikan izin kepada Ignatius Loyola dan ia ditahbiskan menjadi Pastor dalam Gereja Katolik. Serikat Yesus tidak bisa dipisahkan dari misi atau perutusan untuk memaklumkan Injil. Perutusan termasuk asal-usul dan inti spiritualitasnya. Pada masa Santo Ignasius Loyola arti misso lebih luas dari sekarang. Pertama-tama misi merupakan perutusan seseorang atau suatu kelompok demi kerasulan tertentu, yang diberikan oleh otoritas gerejani, yakni Paus atau pater superior jenderal. Berkaitan dengan arti personal ini, missionaris menandakan pula usaha korporatif untuk mewartakan “Kabar Gembira” di daerah tertentu. Akar kedua pengertian ini adalah peziarahan rohani. Kelompok Jesuit pertama hendak berziarah ke Tanah Suci ‘untuk menolong “jiwa-jiwa”, jadi bukan sebagai piknik rohani, melainkan sebagai usaha apostolis: berkelana seperti murid-murid yang diutus Jesus tanpa membawa bekal apapun. (Heuken, 2009: 11-12).

Menurut Romo Ignatius Suryadi SJ. Yesuit adalah orang-orang yang menyelamatkan jiwa-jiwa. Setiap imam mempunyai tugas utama yakni “menggembalakan” umat di suatu paroki, namun ada keistimewaan selain “menggembalakan” umat di paroki, dalam hal ini visi Yesuit yang ingin

(3)

14 menyelamatkan jiwa-jiwa, melihat pendidikan sebagai hal utama sebagai pelayanannya.”Kami ingin menyelamatkan jiwamu agar menjadi orang yang lebih baik lagi, yakni melalui pendidikan”. Maksud dari Romo Surya adalah Yesuit membantu orang untuk meningkatkan kualitas hidup dengan pendidikan, salah satu contohya adalah orang yang tidak mampu sekolah (dalam hal biaya) diberikan beasiswa.“Dimana ada Yesuit, disitu pasti ada sekolah”,lanjut Romo Suryadi

C. Mengenal FIC

FIC merupakan Ordo/Kongres yang didirikan pada Tahun 1840 diwarnai oleh karya utama pendidikan dan pengajaran serta pembinaan bagi kaum muda. Hal ini karena Pastor Ludovicus Rutten, pendiri kongres para Bruder FIC di Maasteicht pada awalnya tergerak hatinya oleh penderitaan kaum muda di Maastrich Belanda. Pastor Ludovicus Rutten mengalami panggilan untuk menyerahkan seluruh hidupnya dan semua kekayaannya bagi pelayanan pendidikan dan pembinaan Kristiani kaum muda

Berawal dari keprihatinan Pastor Ludovicus Rutten tentang orang muda yang terlantar, tidak mendapat perhatian dari orang tuanya, karena orang tuanya sangat sibuk bekerja sehari-hari di pabrik-pabrik, maka dari situlah mulai didirikan taman kanak-kanak dan kemudian berkembang sekolah-sekolah Bruder di Maastricht dan kemudian menyebar ke daerah daerah lain. (Sayur Lodeh FIC,2006: 3-4).

Untuk memenuhi guru-guru di sekolah terkait, FIC membuka sekolah guru khusus bagi pemuda pemuda yang akan menjadi Bruder. Praktis semua Bruder FIC adalah guru. Di sekolah yang di kelola FIC pasti ditangani oleh Bruder. Pada tahun 1920 FIC kemudian diundang oleh Pastur-Pastur Yesuit untuk datang ke Yogyakarta untuk membicarakan pembukaan sekolah-sekolah Bruderan. Dan hasil dari pertemuan tersebut didirikanlah sekolah bruderan FIC di Yogyakarta beralamat di jalan Panembahan Senopati no 18 kampung Yudonegaran RT.09, RW.01 kelurahan Prawirodirjan kecamatan Gondomanan

(4)

15 D. Bruderan FIC Ambarawa

Ambarawa adalah salah satu kota di kabupaten Semarang berada di lembah yang dikelilingi gunung yaitu gunung Ungaran dan gunung Merbabu serta dekat dengan danau yang terkenal yaitu danau Rawa Pening dengan berhawa sejuk. Ambarawa memiliki banyak bangunan peninggalan Belanda karena pada masa penjajahan daerah ini dikuasai oleh Belanda dan dibangun sebuah camp pertahanan seperti benteng Wiliem dan stasiun kereta api serta bangunan-bangunan gereja, sekolah dan Bruderan. Bruderan ini terletak di jalan Mgr. Sugiyapranata no 191 Ambarawa. Posisinya ini cenderung strategis karena berada di jalan utama kota Ambarawa, letaknya tidak jauh dari paroki Santo Yusup Ambarawa dan Gereja Santo Yusup Ambarawa. Hal tersebut sangatlah mempermudah kegiatan keagamaan bagi para Bruder FIC di Ambarawa, dan Bruderan ini juga berada satu komplek dengan sekolah SMP Pangudi Luhur Ambarawa.

Beberapa Bangunan ini juga masih asli dengan gaya arsitektur Belanda dengan bangunan utama di utara serta asrama yang jadi satu dengan bangunan tersebut. Terdapat kapel di bagian selatan, serta bangunan sekolah SMP Pangudi Luhur Ambarawa yang berada di sebelah Barat. Kapel di Bruderan juga digunakan sebagai sarana Ibadah bagi para Bruder dan anak-anak asrama yang menempati Bruderan tersebut. Bangunan Bruderan yang awalnya sederhana setelah kemerdekaan kemudian dibangun kembali oleh para bruder karena tidak dapat menampung jumlah anak Asrama yang menempati Bruderan tersebut yang berjumlah 90 orang anak. Untuk saat ini penghuni asrama di bruderan ada 40 orang anak, dan dirawat serta dididik oleh para Bruder

E. Misi FIC di Ambarawa

Awalnya FIC di Indonesia merupakan peranan dari ordinarius atau yang sering dikenal dengan pejabat gereja yaitu Vikaris Apostolik betawi atau sering dikenal dengan nama Uskup, yang pada saat itu bertempat di Batavia (sekarang Jakarta). Uskup yang menjabat yaitu Mgr. E Luypen mulai tahun 1918, hingga tahun 1923 digantikan oleh Mgr. A van Valsen. (Donum Desursum: 1980: 67)

(5)

16 Awalnya keuskupan yang didirikan pada tahun 1842 meliputi seluruh nusantara, daerah kekuasaan tersebut diserahkan kepada ordo Yesuit pada bulan Juli 1859. Tetapi hal tersebut dirasa terlalu luas jika hanya untuk ordo Yesuit saja maka 1902 diserahkan bagian-bagian derah lain kepada ordo dan kongesi lainnya. (Donum Desursum: 1980: 67)

Pada tahun 1919 para Yesuit hanya memegang pulau Jawa saja tetapi beberapa bagian pulau Jawa juga diserahkan kepada tenaga yang lain, hingga pada akhirnya Yesuit hanya memelihara Jawa Tengah dan Kota Batavia. Dalam Vikariat Apostolik Betawi justru Ambarawa kota yang kecil di Jawa Tengah sudah memiliki seorang Pastur di tahun 1859 yang memiliki imam sekuler bernama Franssen dan digantikan oleh seorang Pastur Yesuit 1862. Sejak 1862 Ambarawa dipegang oleh Pastur Yesuit. (Donum Desursum: 1980: 68)

Ambarawa dianggap memiliki keistimewaan tersendiri karena pada saat itu hanya memiliki tenaga pastur sangat sedikit sehingga hanya kota-kota besar seperti: Batavia, Semarang, dan Surabaya yang menerima Pastur. Hal ini dikarenakan Ambarawa dianggap banyak terdapat orang-orang Eropa, berdarah murni maupun berdarah campuran. Maka pada waktu itu Ambarawa dianggap sebagai kota Garnisun atau kota Tentara. (Donum Desursum: 1980: 67)

Pada tahun 1886 Mgr. Vrancken melaporkan kepada kongres untuk perkembangan iman di Roma bahwa tahun 1862 terdapat 1679 orang katolik di daerah Ambarawa yang meliputi: Ambarawa, Salatiga, Surakarta, Madiun, dan Pacitan. Hingga tahun 1900 terdapat 1667 orang katolik yang sebagian bercampur antara orang Eropa dan keturunan campuran atau Indo.

Pada tahun 1918 hingga 1920 keusukupan Agung Semarang mengambil alih wilayah Ambarawa karena pada waktu itu Semarang sebagai pusat keuskupan agung dan Ambarawa masuk kedalam wilayah Semarang. Tahun 1920 terjadi perubahan besar besaran yang menjadikan Ambarawa sebagai pusat misi baru. Pastur Van Kalken yaitu pastur pindahan dari Muntilan yang ingin menciptakan suatu pusat pendidikan katolik di Ambarawa dengan mengambil Muntilan sebagai contoh. Pada Tahun 1920 sekolah-sekolah misi mulai berkembang dengan dukungan sekolah kolese Xaverius di Muntilan. Pastur Van Kelken menyusun

(6)

17 rencana tiga tahun untuk mendirikan seratusan sekolah baru. Hal tersebut membutuhkan bantuan dari para Bruder. Pada tahun 1921 berdirilah sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan mulai berkembang tetapi hanya memiliki Guru-guru dari Jawa, meskipun pada waktu itu HIS seharusnya menerima Guru Eropa agar bahasanya pasti murni yaitu bahasa Belanda tetapi hal itu dianggap tidak begitu perlu karena para Guru Jawa pada umumnya mampu berbahasa Belanda. Tetapi Pastur Van Kelken tetap memikirkan bagaimana menarik para Bruder agar datang ke Ambarawa supaya meningkatkan mutu dan nama HIS. Pastur Van Kelken mulai memikirkan cara dan timbullah sebuah ide untuk yaitu mendirikan HIS dan MULO berasrama. MULO berasrama ini untuk anak-anak yang bertempat tinggal jauh dari MULO. Antusias Pastur Van Kelken disambut baik oleh bangsa Eropa yang ada di Ambarawa dan sekitarnya. MULO tersebut akan menampung banyak anak bangsa Eropa dan menerima beberapa anak Jawa. Pendidikan yang diajarkan anak Jawa dengan anak Eropa membawa banyak manfaat dan kemajuan yaitu kemajuan sosial, kemajuan kulturil, dan kemajuan Algemene Middelare School (AMS) atau sekolah menengah umum. Sebagai contoh: anak anak jawa muai diajarkan memainkan seni opera dengan judul “tiga kebijaksanaan bapak Wang” dan musik ini adalah salah satu perkembangan kemajuan kulturil, Serta hal ini dapat mengubah paradigma orang Eropa terhadap orang Jawa dapat diubah. Yaitu pandangan tentang orang jawa hanyanya orang yang kelas rendah dapat diubah

Pada Tahun 1926 Pastur Van Kelken mengupayakan untuk mendapatkan subsidi dan bantuan lain untuk rencananya mendirikan HIS dan MULO di Ambarawa. Pastur Van Kelken singgah menuju Bruderan Yogya untuk mendengarkan pendapat Bruder Victorinus. Kemudian Bruder Victorinus melaporkan rencana penjelasan serta tafsirannya kepada dewan umum di Maastrichf Belanda. Dewan umum tidak begitu antusias karena penjelasannya tidak mengesankan dan dianggap kurang meyakinkan karena pada waktu itu yang direncanakan adalah sesuatu yang berbau Eropa padahal para Bruder datang khusus demi kepentingan anak Jawa, yaitu untuk mendidik anak Jawa. Pada waktu itu terdapat kabar bahwa sebuah MULO yang tidak Katolik akan didirikan

(7)

18 di Salatiga, tetapi tekat untuk mendirikan MULO berasrama di Ambarawa sangat kuat. Maka dewan umum akhirnya menyanggupi tetapi dengan syarat dan prinsip bahwa para Bruder datang demi kepentingan anak-anak Jawa, dan akan ada sokongan dana meskipun dewan umum tidak dapat menjanjikan sokongan tersebut dapat mengalir terus.

Maka pada November 1926 diadakan rapat yang lebih resmi di Yogyakarta, yang dihadiri oleh Pastur Hoeberechts superior misi, Pastur Van Kelken dari Ambarawa, Pastur Van Baal, Pastur Starter dan Pastur Bijstervled atas nama Yayasan Kanisius. Mereka bertemu dengan overste beserta penasehat dari Yogya dan Muntilan. Setelah diadakan rapat tersebut dan menghasilkan suatu persetujuan yaitu akan didirikanya sekolah HIS dan MULO berasrama di Ambarawa. kemudian Pastur Van Kelken membeli sebuah gedung sekolah kepandaian puteri atas persetujuan dewan umum. Gedung tersebut digunakan untuk asrama MULO. Pada bulan Desember 1926 Pastur Van Kelken menerima sebuah kabar bahwa Asrama tidak akan menerima subsidi, hanya sekolah yang akan menerima. Pastur Van Kelken tidak dapat menerima keputusan itu, karena dewan sudah berjanji memberikan subsidi kepada MULO yang belum didirikan. maka demi nama baik katolik pastur Van Kelken menepati janji tersebut. Dewan pusat tidak bersedia mengikat diri bahkan tidak bersedia memberikan kepastian untuk tahun 1928. Kemudian instansi lain mulai bergerak yaitu Vikaris Apostolik Betawi Mgr Van Velsen diminta untuk menghubungi Mastrich supaya mencari jalan keluar dan akhirnya dewan umum menerima suart dari monseignur agar mereka menerima Ambarawa sebagai tempat didirikanya HIS dan MULO. Dengan terpaksa dewan umum menyerah. Kemudian Bruder Matthias sebagai pembesar umum dewan memberikan surat kepada Bruder Victorinus pada tahun 1928 dengan isi surat :

“ Tak perlu mengatakan bahwa keputusan ini kami ambil dengan berdua hati kalau saja tidak keliru ada anasir yang teramat manusiawi dalam usaha ini"

(8)

19 Pada tahun 1928 Dewan Umum mengangkat suatu “Panitia Ambarawa” dan Dewan Umum mendatangkan Para Bruder dari Maastrich untuk bertanggung jawab atas “Panitia Ambarawa”. para Bruder yang didatangkan adalah Bruder Ivo, Bruder Victorinus, dan Bruder August. Para bruder ini mulai menjadikan Ambarawa sebagai Overste pertama. Pada bulan April 1928 para Bruder menduduki bekas sekolah KPP dan pada bulan yang sama Nederland mengirim delapan Misionaris baru berjumlah delapan orang. Maka jumlah Bruder FIC menjadi 38 orang (Donum Desursum: 1980: 72)

Dalam pelaksanaan misi di Ambarawa Panitia Ambarawa mulai membagi tugas, Bruder Ivo dan Bruder Bonifacius bekerja kepada MULO, Bruder Ferdinand dan Bruder Aloysius pada Shakeschool, dan Bruder Celsus mengurus bagian asrama dan dibantu oleh Bruder Bellinus

Pada tanggal 3 Juni 1928 di Jogja Bruder Ivo dilantik oleh Bruder Victorinus sebagai Overste rumah St. Stanislaus di Ambarawa. Bruder Ivo mengawasi pekerjaan untuk mempersiapkan gedung supaya dapat dihuni oleh penghuni asrama baru, tetapi calon penghuni asrama belum datang untuk mendaftarkan, hal ini karena sekolah berasrama dianggap hal baru di Ambarawa. Tujuan dari sekolah dan asrama tersebut sebenarnya untuk menerima anak-anak asli perkebunan yang tidak dapat mengawasi anaknya dan anak-anak dari para pegawai yang sering melakukan perjalanan dinas di luar kota dan juga anak-anak Jawa yang membutuhkan tempat tinggal karena orang tuanya sudah meninggal (wawancara Bruder Herman 12-12-2017)

Pada tanggal 19 Juni 1928 dianggap sebagai hari jadi komunitas Ambarawa. Tanggal 30 Juni 1928 mulai masuk 17 orang anak putera untuk berasrama, diantara mereka ada 4 anak Jawa. Tetapi pertemuan tersebut dianggap kurang memuaskan karena ketidakpercayaan diri para Bruder apakah mampu membina anak-anak keturunan Belanda. Awalnya mereka hanya akan membina dan membantu anak anak Jawa.

Pada tanggal 8 Agustus 1928 Institut Sint Louis resmi dibuka oleh Mgr. Van Velsen dan dihadiri oleh Pastur Van Kelken, disaat itu pastur Van Kelken

(9)

20 menggambarkan bahwa Sint Louis adalah lembaga yang amat penting dan pastur Van Kelken berpesan bahwa;

“ hidup Katolik di Hindia Belanda akan mengalami hasil yang positif dan di Ambarawalah akan di bentuk orang Katolik yang dengan bangga akan mengibarkan bendera iman dan kewajiban dalam masyarakat Hindia yang sering bersifat musuh”

Tanggal 1 Juli 1929 para Bruder masih dianggap belum memiiki kepercayaan diri dalam tugas membina anak anak asrama dan sekolah maka pada bulan November Bruder Mattihias datang untuk melakukan visitasi. Bruder Mattihias memberikan kepercayaan kepada para bruder yang ada di Lembaga Sint Louis Ambarawa untuk mengelola lembaga tersebut, dan Bruder Mattihias juga menyetujui tentang pembangunan gedung baru karena bangunan kelas dianggap tidak mencukupi. Pada bulan Februari 1930 mulailah direalisasikan pembangunan gedung kelas baru dan peletakan batu pertama dilakukan oleh Pastur Van Kelken. Tanggal 2 November 1930 Pastur Van kelken memberkati ruang kelas tersebut

Pada tahun 1931 diangkatlah Bruder Jesualdus menjadi Overste, dibawah kepemimpinan Bruder Jesualdus asrama Sint Louis mengalami perkembangan yang sangat maju dan jumlah penghuni asrama pada waktu itu mencapai puncaknya.

F. Masuknya Jepang di Indonesia menjadi ancaman FIC

Pada tanggal 1 September 1939 menjadi awal pecahnya perang dunia kedua di Eropa. Pada tanggal 1939 Inggris dan Prancis secara resmi mengumumkan bahwa negaranya sedang dalam keadaan perang. Walaupun hal ini terjadi jauh dari Jawa namun hal tersebut ditanggapi secara luarbiasa oleh para Bruder di Jawa. Semua Bruder di Jawa menanggapi bagaimana keadaan Negeri Belanda nanti jika terjadi perang. Tanggal 8 Desember 1941 pukul 3 pagi kabar Jepang menyerang Pearl Harbour diterima di Batavia dan empat jam kemudian Hindia Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Kabar keberhasilan Jepang terus berkumandang di radio-radio. Tanggal 27 Februari 1942 Karel Doorman memimpin armada Laut dan dibawah kepemimpinan, Karel Doorman menyerang

(10)

21 armada Laut Jepang yang berada di laut Pasiifik, tetapi angkatan Laut Belanda dengan mudah di musnahkan karena Jepang memiliki kekuatan armada laut yang cukup kuat waktu itu.

1 Maret 1942 Jepang mendarat di Jawa dan tanggal 8 Maret 1942 Letnan Jendral Ter Poorten menyerahkan kekuasaan Belanda kepada Jepang. Hal ini menjadi ancaman bagi para Bruder di Indonesia mengingat Jepang tidak simpati terhadap Bangsa Barat. Selang dua minggu setelah Jepang mengambil alih kekuasaan, para Bruder dilarang mengajar HIS, Schakelschool, dan MULO. Bahasa Belanda dilarang dan para Bruder dilarang melakukan semua aktifitas kegiatan sekolah.

Mulai terjadi pelarangan pelarangan terhadap simbol simbol Belanda termasuk perusakan-perusakan gedung sekolah dan kapel, banyak barang barang yang hilang seperti lonceng, meja, kursi, lemari, cermin, dan lain-lain karena terjadi penjarahan dan perusakan. Hal tersebut mulai terjadi menyeluruh di seluruh pulau Jawa mulai dari Solo, Semarang, Ambarawa, Muntilan, Jogja. (wawancara Bruder Herman 12-12-2017)

Semarang menjadi sasaran pertama Jepang yaitu tanggal 19 Maret 1942 pada saat sedang berlangsung pesta Santo Josef para Bruder kedatangan tamu dokter Jepang dan menyita Bruderan beserta Sekolah perniagaan. Tanggal 20 Maret 1942 Jawatan Medis di jalan Kalisari no 4 mulai disita oleh jepang dan diganti menjadi kompetai atau Polisi Militer Jepang (Donum Desursum: 1980: 137)

Tangggal 12 April 1942 Bruderan di Jogja beralih fungsi menjadi Kompetai. Para Bruder mulai menyebar menyelamatkan diri. 21 Agustus 1942 Bruderan di Solo juga di kosongkan dan para Bruder berpindah menuju pasturan purbayan. Di Salatiga Rumah Tionghoa Istana “Jung Eng” yang dibeli oleh FIC beberapa hari sebelum perang dunia ke 2 pecah juga dikuasai oleh Jepang dan digunakan untuk kamp tawanan. Institut Sint louis di Ambarawa juga digunakan untuk kamp tawanan.. (Donum Desursum: 1980: 138)

(11)

22 1.Kehidupan Para Bruder dalam masa pengasingan

Pada Maret 1942 Jepang dibawah Letnan Jendral Imamura mulai membatasi kebebasan orang-orang Belanda termasuk para Bruder, serta melarang aktifitas-aktifitas pekerjaan di sekolah. Ambarawa sendiri para Bruder sudah mengembalikan anak anak sebelum kapitulasi. (Donum Desursum: 1980: 143)

Tanggal 28 Juni 1942 sepuluh Bruder di solo mulai diinternir oleh Jepang. Mereka ditempatkan di sebuah “Ziekenzorg” atau sebuah bekas rumah sakit di Mangkubumen Solo. Hingga taggal 5 Agustus semua tawanan masuk truk dan di bawa menuju Stasiun Balapan dan dibawa menuju timur menggunakan kereta api dan dibawa menuju Kesilir Banyuwangi. Disana Para Bruder bertemu tawanan Bruder lain dari Ambarawa dan Muntilan.

Pada tanggal 25 Juli 1942 para Bruder dibawa oleh tentara Jepang berjumlah 7 orang dan dibawa menuju Semarang. Pada Minggu pagi 2 Agustus 1942 para Bruder dan Frater sebagai tawanan Jepang mulai dibariskan dan dibawa berjalan kaki dari Karang Panas, menuju Tanah Putih, hingga terus ke utara menuju stasiun Tawang (Donum Desursum: 1980: 145)

Banyak para Bruder di Semarang yang mendapat Siksaan dan intimidasi selama berada di dalam Kamp pengasingan seperti di kamp Zieknzorg kamp yang sempit penuh sesak dimana susah untuk mencari celah untuk tidur. menjadi satu dalam suatu ruangan dengan sedikit makanan dan minuman yang dibeikan oleh Jepang. Yang lebih kejam terjadi di Istana Pengadilan di Semarang. Komunitas Koningin Emmalan yang mengalami, para terdakwa yang tertuduh di sekap, dianiya, dan di bunuh, hal tersebut dilakukan oleh Kompetai Jepang selama perang di Jawa. Jatingaleh sebuah daerah di semarang selatan menjadi tempat dimana sebuah barak di lerang perbukitan Gombel. Pukulan tendangan merupakan makanan sehari-hari untuk para pelanggar, misal: menaruh sendal tidak tepat menut garis maka akan dipukul. (Donum Desursum: 1980: 158)

Di Ambarawa masih terdapat para Bruder yang lolos dari pantauan para tentara Jepang dan tidak tertangkap, yaitu Bruder Rodulfus, Bruder Constantio dan Bruder Dismas Ornek seorang Bruder Indo-Eropa. Karena Sint Louis dianggap tidak aman maka bulan Juli 1942 para Bruder meninggalkan Sint Louis

(12)

23 dan bersembunyi di Normaalschool, sekolah guru, di dekat Gereja Santo Yusuf. Para Bruder ini tidak dapat keluar dan tetap tinggal bersembunyi. Waktu luangnya, mereka isi dengan mengatur barang Bruderan yang mampu mereka selamatkan. Bruder Dismas tidak ikut bersembunyi karena dia keturunan Indo yang waktu itu tidak menjadi sasaran para tentara Jepang.

Pada 22 Juli 1943 para Bruder komunitas di semarang, mereka mendapatkan hukuman dan siksaan dengan tuduhan menyalakan lampu lampu-kamp dan mendengarkan siaran radio yang dilarang oleh Jepang. Para Bruder mendapat siskaan tidak diberi minum dan makan, di masukan penjara dalam keadaan jongkok. Para Bruder yang ditangkap adalah Bruder Adrianus, Bonifacio,Wiro,Grontius,Ivo,Fulgentius,Donald,Vitus, dan Selesio. (wawancara Bruder Herman)

Pada bulan Agustus 1943 tawanan dari Kesilir Banyuwangi dipindahkan kembali menuju Jawa Tengah yaitu Semarang. Dari Semarang para Bruder dibawa menuju Ambarawa, dan dari Ambarawa dibawa menuju Banyubiru. Sedangkan di Ambarawa sendiri mulai menerima tawanan dari daerah Kesilir tahun 1943 para Bruder di tempatkan di bekas benteng Williem II disini para tawanan terkena wabah disentri karena tempat yang kotor dan aktifitas MCK hanya di satu tempat saja. Para Bruder hanya diberi makan satu kali saja hanya ubi di pagi hari.

Sedangkan untuk Sint Louis Ambarawa dijaga oleh Bruder Rodulfus, Contatio dan Dismas. Tetapi setelah para Bruder mengungsi hanya tersisa Bruder Dismas Ornek, Bruder keturunan Indo Eropa yang tetap tinggal di Sint Louis. Gedung asrama dan sekolah menjadi kamp interniran mulai dari 19 Juni 1943- 19 September 1944 dan diisi 900 orang wanita, anak-anak keturunan Belanda. Bruder Dismas Ornek tidak ikut dibawa oleh Kompetai Jepang karena Bruder Dismas seorang Indo. Masyrakat Indonesia yang berada di Kamp Interniaran Sint Louis menjai sasaran propaganda Jepang untuk anti Belanda, anti Barat. sementara itu Bruderan dan Asrama tidak terpelihara. Kerusakan terus terjadi di Sint Louis, seperti jendela jendela, hancur, meja kursi hilang, tabernakel berantakan tercecer

(13)

24 di kebun halaman, altar berantakan dan Sint Louis kian tidak terpelihara. (wawancara Bruder Herman)

Tanggal 27 November 1943 komunitas Bruder di Semarang dipindahkan menuju Halmahera daerah perkampungan di Semarang yang sudah dikosongkan dan dijadikan kamp penginterniran. Disini para Bruder diberi kesempatan boleh membawa apa yang diperlukan dari kamp Randusari. Dalam keadaan ini para suster yang menyumbang daging dan roti jadi para tawanan tidak masuk kedalam kamp dalam keadaan tangan kosong.

Awal tahun 1944 Jepang mulai memusatkan Tawanan menuju ke Jawa Barat, pemindahan tawanan menuju Jawa Barat merupakan kaitannya dengan perkembangan perang di Indonesia. Tanggal 2 Januari 1944 Kamp Salatiga dibubarkan. Hal ini bersamaan dengan pemindahan para Bruder penghuni Kamp di Halmahera Semarang, dan para Bruder di bawa menuju Bandung pada tanggal 28 Januari menggunakan kereta api. Para tawanan dipindahkan menuju kamp Cimahi Bandung pada bulan Oktober 20 tahun 1944 20 orang tawanan dari kamp Cimahi dipindahkan menuju kamp Baros, sebelah barat Bandung, tidak jauh dari Cimahi. 20 tawanan yang ikut dipindahkan salah satunya ada Bruder Celcus. Di Baros para tawanan ditempatkan di Bat 15. Bat 15 dapat dikatakan sebuah kamp tetapi seperti kota yang berdiri sendiri. Disini para tawanan bercampur jadi satu dengan tawanan sipil lain (Non Biarawan). Mereka berkerja membangun jalan kereta api di daerah Cicalengka (wawancara Bruder Tri)

Hingga tanggal 15 Agustus tahun 1945 berita kekalahan Jepang mulai terdengar tetapi Jepang bungkam. Kegembiraan mulai terlihat dari para tawanan. Sampai tanggal 22 Agustus tidak ada penjagaan tentara jepang dan pembagian beras extra bagi para tawanan. Tanggal 23 Agustus diadakan upacara ekumenis untuk mengucap syukur, disusul dengan misa besar dengan dihadiri oleh Moneseigneur. Tanggal 25 Agustus terdengar desas-desus bahwa Republik Indonesia diproklamasikan. Hal tersebut membuat kaget para tawanan karena sama sekali tidak pernah terbayang akan terjadinya Revolusi tersebut.

(14)

25 G. FIC dibawah kemerdekaan Indonesia

Tahun 1946 merupakan tahun “cuti rekupilasi” bagi para Bruder, yaitu cuti untuk memulihkan kesehatan bagi para Bruder. Pada bulan Januari-November rombongan Bruder dari ex-kamp dibrangkatkan dari Tanjung Priuk untuk kembali ke Eropa. Ada 45 orang Bruder yang dipulangkan menju Eropa dan diikuti oleh ribuan Interniaran non biarawan yang ikut dipulangkan.

Pada tanggal 14 september 1946 Bruder Neo tiba di Semarang untuk meihat keadaan di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Di tahun 1947 pulau Jawa kembali kedatangan 23 Bruder dan Nederland dan 21 Bruder di tahun 1948. Dari kesemua Bruder tersebut ada 8 orang Bruder baru pertamakalinya datang di Indonesia. Semua pendatang pada waktu itu hanya dapat masuk ke wilayah Semarang saja. Karena di Jawa Tengah dibagi dua akibat kemerdekaan pada waktu itu. Di sisi utara sepanjang pantai utara dengan Semarang sebagai Pusat tetnara Belanda memegang daerah Recomba (Regeringcommissaris voor Buitengewone Angelegenheden) atau komisaris pemerintahan luar biasa. Sisa Jawa tengah menjadi bagian utama Republik Indonesia dengan ibukota Yogyakarta dengan presiden Sukarno. Dan semua Bruder yang datang dari Nederland hanya dapat bekerja di daerah Semarang saja sembari menunggu perkembangan politik. (Donum Desursum: 1980: 217)

Di Semarang, Bruder Neo dan Bruder lainnya menemukan rumah Bruderan yang masih ditempati, dipakai sebagai perumahan bagi pegawai, pendatang baru, dan pengungsi dari wilayah republik. Para Bruder menghuni rumah bercorak Hindia yang berdampingan dengan Bruderan. Sebelum gereja Katedral dibangun rumah tersebut digunakan sebagai paroki Randusari. Sekolah Holand Chinese School (HCS) yang pernah ada di dalam kawasan tersebut berubah menjadi Bruderan darurat. Para Bruder yang belum ditampung diterima sebagai tamu di Bruderan kongresi S.Aloysius Karang Panas, di rumah piatu “Hauvel” sekarang Candi.

Berhubung dengan keadaan darurat maka semua guru dimasukkan dalam satu “Pool” yang berarti : Jawatan Pengajaran Belanda akan memakai mereka dimana dianggap perlu. Untuk sementara waktu sekolah swasta tidak ada, tidak

(15)

26 diperbolehkan. Maka tidak ada sekolah Kanisius, tidak ada sekolah Katolik. Jawatan Pengajaran Belanda berusaha secepat mungkin menciptakan “ sekolah pemulihan” berbahasa Belanda, untuk menolong anak-anak yang sudah lama tidak dapat masuk sekolah. Semua ruangan, semua alat, semua tenaga dikerahkan dan semua Bruder menjadi tenaga Pemerintah; Mereka harus bekerja pada salah satu sekolah netral, sekolah Amacab ( Allied Military and Civil Affairs board) (Donum Desursum: 1980: 222)

Perjuangan Bruder Neo untuk menghidupkan kembali sekolah katolik didukung penuh oleh yayasan Kanisius dan komisariat Pusat Misi di Jakarta maka pada akhir tahun 1947 semua orang tua murid menerima surat edaran untuk menjelaskan apakah mereka mimilih sekolah misi. Pada akhir tahun 1947 kurang lebih ada 30 bruder mengajar pada Sekolah Rakyat (SR) Belanda di Semarang dan Bruder Bonifacio mengajar Herstel MULO yang muridnya 29 orang.dan sekolah-sekolah di semarang mulai berkembang tercatat ada 256 murid untuk Sekolah Rakyat (SR) Bernadus, 137 untuk Sekolah Rakyat (SR) Bangkong, Sekolah Rakyat (SR) Xaverius di Karreweg (sekarang kota lama) 260. Untuk sekolah Santo Jozef di Bangkong terletak dalam bahaya sehingga jumlah murid sangat sedikit. Para Bruder sangat senang mengajar kembali. Pada umumnya murid-muridnya adalah keturunan Tionghoa. Para Bruder bekerja dengan rajin, ingin mengejar waktu yang telah hilang, disisi lain keadaan kurang aman selalu menghantui, belum lagi untuk makanan yang belum cukup karena 1 butir telur ayam dihargai limabelas gulden, serta sarana angkutan untuk pulang pergi mengajar di sekolah menjadi masalah setiap hari. (Donum Desursum: 1980: 222)

Untuk Sekolah Rakyat (SR) Indonesia jawatan pengajaran Indonesia tidak menempatkan Bruder pada sekolah tersebut. Anak-anak Jawa jarang sekali masuk sekolah Belanda, sekolah biasa maupun sekolah pemulihan. Mereka akan sekolah di Sekolah Rakyat (SR) dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Satu-satunya Bruder di Semarang yang menyerahkan tenaganya kepada anak-anak Indonesia adalah Bruder Johanes de Deo. Ia bertugas di Sekolah Rakyat (SR) Kobong yang memiliki murid 250 orang. Di tahun 1948 Yayasan Kanisius membuka kembali sebuah sekolah menengah dengan anak-anak Jawa sebagai

(16)

27 murid di jalan Kobong Semarang utara dengan Bruder Leonardo mulai bekerja di sekolah tersebut sebagai Kepala. Di bulan Desember 1948 banyak sekali pengungsi mencari kemanan di Semarang maka jumlah murid sekolah menengah bertambah dengan pesat hingga mencari tempat rungan di luar gedung sekolah. (Donum Desursum: 1980: 225)

Di awal Tahun 1948 daerah Belanda diperluas dan kemanan di pulihkan hingga daerah Salatiga dan Ambarawa kemudian Bruder Neo mulai mengambil inisiatif untuk membuka kembali sekolah dan Bruderan di Ambarawa dan Salatiga. Hingga kemudian 26 Februari 1948 Ambarawa kedatangan Bruder Celsus (60 tahun) yang dianggap sudah meninggal. Tanggal 22 Februari Bruder Neo memberitahukan bahwa Bruder Celsus akan pindah ke Ambarawa mengurus kepentingan Sint. Louis karena Bruder Celsus dianggap sudah mengerti betul seluk beluk Sint. Louis dan Ambarawa karena dia dahulu sempat tinggal dan mengurus Sint Louis sebelum menjadi Interniran pada jaman Jepang. Apa yang dilihat Bruder Celsus sangatlah mencengangkan karena pada 26 Februari tersebut masih terlihat sisa-sisa kerusakan dalam bangunan, seperti jendela, atap, pintu hilang, pipa air dan pipa listrik sudah tidak ada, ubin kamar mandi rusak, talang dan pipa air sudah tidak ada. Didalam kapel, bangku kapel sudah hilang, jendela dan altar marmer juga ikut hilang Tabernakel ditemukan dibuang di kebun dan hanya Salib yang masih tersisa. Kemudian Bruder Celsus memutuskan untuk kembali ke Semarang karena keadaan yang tidak memungkinkan dan keamanan yang belum stabil. Kemudian tanggal 13 Mei 1948 Bruder Celsus memutuskan untuk berangkat melaksanakan tugas tersebut. Bruder Celsus untuk sementara waktu tinggal di Pasturan Ambarawa bersama Pastur K.Looymans SJ. Pada bulan Januari 1948 Pastur Looymans menyuruh tiga orang untuk memperbaiki atap Sint Louis, dan memulai mendirikan semacam sekolah dan berusaha memulihkan kembali sekolah di Ambarawa. (Donum Desursum: 1980:227)

Bruder Celsus mulai memperbaiki beberapa ruang kamar dan ruang sekolah dengan memakai bahan yang diambil dari bagian asrama. Bruder Celsus juga mempekerjakan 25 orang agar reparasi yang paling perlu segera dapat selesai dan menghubungi tuan Kwee wakil setempat untuk Nederlands-Indisch Beheers

(17)

28 Intitut (lembaga pengelolaan Hindia Belanda) dan mengunjungi tempat pergudangan yaang ada di Ambarawa yaitu salah satunya di komplek Pasturan Gereja Santo Yusuf Ambarawa dan berhasil menemukan barang-barang bekas milik Sint Louis seperti: marmer, meja, kursi, lemari, dan tempat tidur. Di dalam komplek Pasturan Bruder Celsus juga menemukan barang yang pernah diselamatkan Bruder Aloysius pada tahun 1945 di ditempatkan didalam sekoah guru seperti 40 lemari, buku-buku, lemari sakristi, bangku sekolah, meja guru, semua rusak tapi masih dapat diperbaiki (Donum Desursum: 1980:227)

Di bulan Maret 1948 Pastur Looymans sudah mulai mendirikan Large School (LS), Sekolah Rendah Eropa didalam sisa gedung Sint Louis. Sebagai guru, Pastur Looymans hanya dapat menemukan beberapa pemuda dan pemudi. Tetapi pastur percaya tenaga Bruder akan datang. Didalam gedung sekolah putri pastur Looymans mendirikan Sekolah Menengah (SM), berbahasa Indonesia dengan 7 jam dan Berbahasa Belanda 3 jam. Berhubung dengan kesukaran mencari tenaga, maka anak-anak di Ambarawa dibolehkan berlibur selama hampir dua bulan, karena para Bruder akan datang pada bulan September 1948. (wawancara Bruder Herman)

Tanggal 31 Agustus 1948 datanglah Bruder Yustus untuk memimpin Large School (LS) dan Bruder Wiro untuk mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda pada Sekolah Menengah (SM). Pada tahun 1948 Large School (LS) mempunyai 96 murid dan Sekolah Menengah (SM) 70 murid. Di bulan Desember kembali terjadi agresi militer Belanda II sehingga banyak pengungsi mencari keamanan di Ambarawa sehingga jumlah Sekolah Menengah (SM) melonjak drastis menjadi 160 siswa. Bulan Desember Bruder Jozue ditugaskan di Ambarawa untuk memperbaiki kebun dan pagar. Bruder Genesius ditugaskan untuk memimpin dapur atau sebagai juru masak sehingga komunitas Ambarawa hidup kembali. Di tahun 1949 Bruder Celsus dipindah tugaskan di Salatiga dan sebgai penggantinya adalah Bruder Gonzalvus menjadi pemimpin komunitas di Ambarawa dengan tugas mempersiapkan tempat untuk enampuluh anak piatu Tionghoa dari Kebondalem Semarang. (Donum Desursum: 1980:229)

(18)

29 pada tahun 1949 dengan dipimpin Bruder Vitus dan 15 anak Tionghoa anak dari Randusari ditambah 20 anak dari Kebondalem Semarang mereka menempati asrama yang masih dalam perbaikan. Di akhir tahun 1949 Asrama diisi oleh 80 anak piatu dan mendapat subsidi dari dewan FIC pusat Rp 1,25 peranak kemudian naik menjadi Rp 2,50 per anak tetapi tetap dirasa tidak cukup untuk sandang pangan dan lain-lain. Masyarakat Tionghoa di Semarang juga ikut membantu memberi sokongan tetapi tetap sukar untuk memenuhi perbelanjaan.

Di tahun 1950 hilang lenyap bahasa Belanda para Bruder mulai mengenal arti dan kata berbahasa Indonesia seperti Pasar, Sapi, kebon. Di bulan Maret “Algemene Lagere School” sekolah rendah umum berganti menjadi sekolah rakyat berbahasa Indonesia.

Di tahun 1950 Mulailah berdiri SMP Pangudi Luhur Ambarawa bertempat bekas sekolah MULO. SMP ini mulai berdiri dan dikelola oleh Bruder dan menerima murid 300, orang 20% diantaranya beragama Katolik. Di tahun 1951 anak-anak piatu Don Bosco Semarang membutuhkan ruangan sekolah dan asrama maka anak-anak piatu Don Bosco dipindah ke Sint Louis Ambarawa. Sint Louis dihuni 115 orang anak di tahun 1952. Di tahun 1953 berdirilah SD Pangudi Luhur Ambarawa dengan murid anak anak piatu yang berasrama di Sint Louis dengan presentase 30-40% murid katolik. Dan bertempat di bekas Schakelschool (Sayur lodeh FIC: 2006: 45)

Ditahun 1954 anak anak SMP diberi ruangan tersendiri maka dalam ada dua asrama Tionghoa 100 untuk anak SD dan 35 anak SMP. Asrama Sint Louis menjadi salah satu kebanggaan bagi para Bruder karena asrama ini merupakan sejarah tonggak pendidikan di Ambarawa. (Donum Desursum: 1980:331)

Referensi

Dokumen terkait

Kesenian yang dimiliki Kabupaten Gunungkidul bermacam – macam jenis kesenian yang ada di Gunungkidul khususnya di desa Kemadang masih banyak dari tabel dibawah merupakan

digunakan dalam proses penanganan keluhan. Bengkel Clink perlu meningkatkan.. upaya sosialisasi prosedur pelayanan, meningkatkan kecepatan dan memberi kemudahan dalam

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan hasil belajar kognitif pada matakuliah Biologi Umum antara kelas yang menerapkan model pembelajaran Socio-Biological

Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Perkembangan Sel Betina adala Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Perkembangan Sel Betina adala untuk memlelajari perkembangan katak

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKJiP) Kecamatan Anggana tahun 2019 disusun sebagai media untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan

Waktu Penerimaan Dokumen oleh Tender Admin/ Pihak yang Dapat Dihubungi selama Proses Prakualifikasi / Time for Document Received by Tender Admin/ Contact Person during

Kebijakan politik luar negeri pemerintahan Kevin Rudd terhadap Indonesia, mewarisi kerjasama komprehensif dalam membina hubungan erat seperti yang terjalin pada masa

Untuk jenis penyerahan barang harian, mingguan, bulanan/selapanan: Diisi dengan lama hari terjadinya tunggakan penyerahan barang, misal 4 (empat) hari, 4 (empat) minggu, 4