• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBEBASAN QURRO DALAM MAQAM BAYATI. Penulis: Sularso 1 ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBEBASAN QURRO DALAM MAQAM BAYATI. Penulis: Sularso 1 ABSTRAK"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAQAM BAYATI Penulis: Sularso1

ABSTRAK

Maqam Bayati merupakan konstruksi model yang digunakan Qurro’

sebagai acuan dasar pelantunan lagu dan tajwid adalah cara Qurro’ memaknai teks secara benar. Maqam Bayati dan Tajwid adalah dua fakta bunyi yang digunakan sebagai dasar menuangkan kebebasan. Penelitian ini mengajukan tiga pertanyaan: (1) Apakah yang dimaksud dengan maqam Bayati dalam Seni Tilawatil Qur’an? (2) Bagaimana implementasi kebebasan Qurro’ dalam melagukan ayat-ayat suci menggunakan maqamBayati? Pertanyaan tersebut menjadi pijakan dasar mengapa penelitian ini dilakukan. Hipotesa yang diajukan adalah bahwa, cara Qurro’ dalam mempersepsi maqam Bayati dan mengimplementasikan tajwid dalam Seni Tilawatil Qur’an dalam berbagai tingkatan, seperti Qoror, Nawa, Jawab, Jawabul Jawab, Syuri

turut mendapatkan pengaruh dari kecerdasan musikal. Melalui bekal kecerdasan musikal, Qurro’ dapat menunaikan kebebasan. Asah kecerdasan dilakukan melalui cara berpikir dan ini tidak dapat terlepas dari pengalaman indera, dan persepsi Qurro’ terhadap maqam Bayati dan Tajwid. Data yang digunakan yakni data kualitatif dan audio. Data kualitatif diperoleh dari wawancara, observasi dan peninjauan pustaka, Data audio diperoleh melalui proses perekaman. Analisis data dipaparkan secara deskriptif analisis. Sedangkan aktivitas analisis kebebasan

Qurro’ dalam maqam Bayati dikaitkan dengan proses pengolahan material pokok lagu yang menyertainya. Material pokok lagu yang dimaksud ialah dinamika, gerak lagu, intensitas bunyi, tempo, jangkauan bunyi, gerak bunyi –ritme–, bentuk dan warna bunyi –timbre– serta melodi. Hasil penelitian yang diperoleh (1) maqam Bayati adalah deretan tangga nada heptatonic, terbentuknya disebabkan oleh interval-interval kecil sehingga digolongan aliran mikrotoalitas; (2) cara Qurro’

dalam mengolah sumber kebebasan tertuang di dalam dua fakta bunyi yakni

maqam Bayati dan tajwid. Keduanya merupakan ‘modal musikal’ Qurro’. Kata Kunci: Maqam Bayati – Lagu – Tajwid – Seni Tilawah

(2)

A. Pengantar

Qurro adalah orang yang aktivitasnya melantunkan lagu dalam Seni Tilawatil Qur’an.2 Seni Tilawatil Qur’an adalah salah satu fenomena seni suara yang

hidup dan terus berkembang di Nusantara. Walaupun pembacaan al Qur’an tidak dimaksudkan bersifat musikal, tetapi acap kali menggunakan prinsip-prinsip musikal (Oliver Leaman, 2005: 182). Musik dengan demikian tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Bahkan dalam berhubungan dengan Tuhan pun kehadiran musik kerap dijumpai. Omar Amin Hoesin dalam buku berjudul Kultur Islam mengemukakan semboyan dari ahli-ahli musik Arab bahwa:

‚Sekali musik, tetap untuk musik. Dengan musik, semenjak dari buaian sampai ke kubur, dari nyanyian nina bobok, hingga nyanyian ratap tangis –

from lullaby to the elegy. Tiap-tiap momen sejarah hidup mereka, mempunyai musik tertentu. Girang dan sedih, bekerja dan bermain, mandi darah di medan perang, atau mengerjakan ibadah agamanya, diikuti dengan gelombang musik, menurut bahagiannya masing-masing. Hingga membaca al-Qur’an pun, berbagai langgam musik dilahirkan‛ (1981: 393).

Fenomena menarik meskipun dalam perspektif Islam muncul ambivalensi terhadap musik, namun realitas yang terjadi di dalam Seni Tilawatil Qur’an

prinsip-prinsip musik justru dapat dijumpai. Fakta ini terlihat dari digunakannya ragam maqam dalam seni tersebut. Seperti maqam Bayati, Hijaz, Saba, Rast, Jiharkah, Sikah, dan Nahawand. Nama maqam tersebut selanjutnya digunakan Qurro’ dalam

Seni Tilawatil Qur’an, sehingga muncul nama lagu-lagu yang diambil dari nama

maqam tersebut.

Adapun implementasi maqam dalam seni tilawah yang umum dan sering dibawakan dalam pelantunan adalah maqam Bayati. Maqam Bayati merupakan

(3)

maqam pokok dan bahkan wajib dibawakan tatkala disajikan dalam MTQ. Realitas ini menjadi alasan mengapa maqamBayati digunakan sebagai objek kajian.

Fenomena empiris yang dijumpai dalam aktivitas seni pelaguan ini adalah bahwa lagu Bayati yang digunakan dalam sajian pelantunan ayat-ayat suci al-Qur’an merupakan manifestasi kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati. Maqam Bayati merupakan salah satu jenis maqam yang bersumber dari tradisi musik Arab.

Maqam sendiri mengandung pengertian sebagai berikut.

The word maqam in Arabic signifies “whereabouts”, “place of resting”, “residence”. It is employed with varios connotation. First of all, maqam is a particular fret on the neck of a musical instrument. At the same time, maqam means a model construction, and also a cyclic vocal-instrumental musical composition (F.M Karomatov dan I Radjabov, 1981: 98)

(Kata maqam dalam bahasa Arab berarti "keberadaan", "tempat peristirahatan", "tinggal". Hal ini digunakan dengan beberapa konotasi. Pertama-tama maqam, adalah fret tertentu pada leher alat musik. Pada saat yang sama, maqam berarti konstruksi model, dan juga komposisi musik vokal-instrumental).

Pemahaman maqam di atas menujukkan bahwa di dalam Seni Tilawatil Qur’an, maqam merupakan konstruksi model yang digunakan Qurro’ sebagai acuan dasar dalam melakukan pelantunan lagu. Fenomena kebebasan Qurro’

dalam maqam Bayati terlihat dari cara dirinya menginterpretasi secara musikal

maqam Bayati dan tajwid. Maqam Bayati dan tajwid dalam kajian ini dipahami sebagai fakta bunyi dan keduanya memberikan pengaruh atas terbentuknya lagu dalam Seni Tilawatil Qur’an.

Tajwid dikatakan sebagai fakta bunyi karena di dalamnya memuat sonoritas, yakni kenyaringan dan kemurnian bunyi (Miller, t.th: 71). Sonoritas diatur di dalam tanda vokal. Fenomena ini merupakan manifestasi dari konsep logothetis, yakni pengembangan notasi yang dinamakan ‘notasi kepribadian bunyi’. Konsep

(4)

ini menuju pada suatu notasi, di mana aspek visual dapat mempengaruhi produksi bunyi itu sendiri (Mack, 1995: 160).

Tanda vokal yang dihadirkan secara visual dan yang mempengaruhi produksi bunyi dihadirkan dalam bentuk tanda vokal pendek di atas dan di bawah huruf. Kedua perbedaan tanda vokal tersebut berimplikasi pada terciptanya tambahan untuk konsonan, seperti Fattah ( ) untuk bunyi ‘a’ pendek, dhammah ( ۥ ) untuk bunyi ‘u’ pedek, kasrah ( ؍) untuk bunyi ‘i’ pendek (al Faruqi, 1999: 96). Adapun di dalam tajwid sebagai manifestasi ‘keperibadian bunyi’ terdapat pula tanda-tanda diftong, -vokal rangkap–seperti, hamzah –suara teka–, maddah –vokal panjang–, syaddah –konsonan rangkap– dan sukun –konsonan mati (al Faruqi, 1999: 96). Berpijak pada kedua fakta bunyi tersebut yakni maqam Bayati dan tajwid keduannya menjadi modal bagi Qurro’ ketika mengimplementasikan kebebasan melagukan ayat-ayat suci al Qur’an. Melalui kebebasan, diduga Qurro’ mampu melawan kekakuan dalam pelaguan sehingga berbagai ragam tingkatan dan variasi pun dapat dihadirkan.

Persoalan kebebasan ini dijelaskan pula oleh Sumaryo. Menurutnya kebebasan adalah upaya untuk menghindarkan kekakuan yang ini dianggap salah satu musuh daripada pernyataan seni –pelaguan. Menurutnya kebiasaan menggeser, baik menggurangi atau menambah di dalam nilai-nilai titinada sangat dipengaruhi oleh penafsiran pemain –Qurro’– mengenai ‘phrasing’ yakni pembagian dalam kesatuan-kesatuan kalimat melodis– tertentu dari pada komposisi yang dimainkan. Menurutnya di sinilah letak sebagian besar interpretasi artistik dari pemain –Qurro’. Riemann menamakan hal ini dengan gejala ‘agogik’ (Sumaryo, 1981: 71). Menurut Takari agogik adalah panjang pendeknya bunyi dalam musik –lagu– (Takari, 1994: 109).

Kebebasan dalam maqam Bayati dengan demikian merupakan fenomena seni pelaguan dalam Seni Tilawatil Qur’an yang menggunakan tradisi lagu Arab

(5)

sebagai basis kreativitas dalam seni pelaguan.3 Melalui kebebasan dalam maqam

Bayati aktivitas pelaguan Seni Tilawatil Qur’an dapat digunakan untuk meneguhkan nilai-nilai tradisi pelaguan dalam Seni Tilawatil Qur’an sehingga keberadaannya mempunyai daya hidup yang kuat.

Latar belakang inilah yang menjadi dasar mengapa kajian ini menjadikan ‘kebebasan’ sebagai perspektif. Adapun urgensitas kajian ini adalah untuk melengkapi informasi yang masih kurang terkait dengan aspek-aspek pelaguan dalam Seni Tilawatil Qur’an terutama adalah menjelaskan fenomena kebebasan

Qurro dalam maqam Bayati. Berpijak pada latar belakang inilah kajian ini dilakukan. Adapun yang menjadi persoalan adalah: (1) Apakah yang dimaksud dengan maqam Bayati dalam Seni Tilawatil Qur’an?; (2) Bagaimana implementasi kebebasan Qurro’ dalam melagukan ayat-ayat suci menggunakan maqam Bayati?; (3) Mengapa kebebasan Qurro’ dalam maqamBayati digunakan dalam Seni Tilawatil Qur’an?

Asumsi yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa kebebasan Qurro’

dalam maqam Bayati yang terdapat dalam Seni Tilawah tidak terpisah dengan fakta bunyi –maqam Bayati– dan tajwid. Melalui pengolahan kedua fakta bunyitersebut,

dimungkinkan Qurro’ dapat menghadirkan lagu Bayati secara empiris. Dengan diketahuinya kebebasan Qurro dalam mempersepsi maqam Bayati dan tajwid secara musikal, diharapkan pemahaman mengenai implementasi kebebasan Qurro’

dalam maqamBayati secara konseptual dapat diketahui.

Kajian ini berusaha pula untuk memahami bahwa lagu merupakan sebuah bentuk komposisi untuk vokal, yakni dengan mementingkan melodi vokal dan

3 Dikataan sebagai tradisi pelaguan Arab dan sebagai basis kreativitas karena maqam Bayati

di dalam pengungkapannya secara terus menerus memberi identitas serta suatu gaya yang bersifat etnis. Realitas etnisitas tersebut secara empiris terbentuk, yakni ketika terdapat aktivitas kreatif pelantunan lagu Bayati dalam Seni Tilawatil Qur’an yang secara umum aktivitas tersebut dipandang sebagai aktivitas budaya seni Islam yang bersumber dari tradisi pelaguan budaya Arab.

(6)

teks. Pemahaman ini secara eksplisit memperlihatkan bahwa unsur-unsur musikal tidak dapat dihindari dari kesadaran Qurro’ tatkala melakukan pengolahan secara bebas terhadap maqam Bayati. Mengingat maqam secara intrinsik merupakan modal, maka kajian ini secara konseptual terdorong untuk memformulasikannya secara sistemik kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati. Menurut Purwanto, modal adalah pola atau susunan atau satu aturan untuk membuat komposisi melodi (2006: 19). Melalui upaya tersebut diharapkan kebebasan Qurro dalam maqam Bayati dapat diketahui.

B. Ragam Maqam dan Latar Belakang Budaya Maqam Bayati 1. Pengertian Maqam

Musik Arab di ciptakan menggunakan sistem melodi dan ritme tanpa harmoni. Melodi Arab bersumber pada banyak susunan model, atau mode melodi yang dikenal dengan maqamat (Purwanto, 2006: 22). Hal ini turut dinyakan Sumaryo, menurutnya musik Timur hingga sekarang masih mempergunakan modalitas atau penggunaan mode pemolaan. Bermacam-macam mode

dipergunakan baik yang melodis, maupun yang ritmis. Menurut Sumaryo, justru tidak dipergunakan sistem harmoni dalam musik Timur –harmoni dalam arti Barat– menyebabkan musik-musik Timur lebih mengarahkan keindahan musiknya pada penggarapan melodi serta ritme yang dikendalikan oleh adanya

mode tertentu (Sumaryo, 1980: 72). Menurut Sumaryo, pemolaan merupakan penggarapan melodi yang diarahkan oleh adanya mode tertentu, di India disebut

raga, di negara-negara yang berkebudayaan Islam dinamakan maqam. Pemolaan ritmis, yang di India dinamakan tala, di dalam kebudayaan Islam disebu iqa’at

(Sumaryo, 1980: 72).

Sistem maqomat –bentuk jamak maqam– menetapkan modus sebagai dasar melodis pada saat komposisi musik –lagu– dibentuk (Takari, 2005: 9). Menurut

(7)

Takari, banyak istilah yang digunakan untuk menyebut maqam. Di Turki menyebutnya makam, Persia datsgah, Mesir naghmah, dan Afrika Utara taba. Menurutnya teori maqam umumya membicarakan tangga nada dan modus (Takari, 2005: 9). Maqomatmaqam– didefinisikan sebagai deretan tangga nada

heptatonik dengan sebuah nada oktafnya dalam Yunani Kuno dibagi kepada dua unit yang terdiri dari empat nada –tetrakord (Takari, 2005: 9).

Tangga nada ini merupakan tangga nada devisit, yaitu nada-nadanya yang didasarkan pada prinsip pembagian-pembagian rentangan senar yang diperoleh dengan cara membagi panjang senar yang diukur secara matematis untuk menghasilkan beberapa bagian yang berbeda dalam satu oktaf, demikian juga berbagai ukuran interval yang berbeda (Takari, 2005: 9). Penggunaana alat musik ‘ud adalah prinsip dasar sistem ini, sehingga berbagai modus dapat dibentuk (Takari, 2005: 9).

2. Jenis Maqam

Jenis maqam secara lebih luas sangatlah beragam. Keberagaman ini hal yang cukup rasional mengingat masing-masing daerah budaya musik di Timur Tengah memiliki maqam sendiri-sendiri. Setiap maqam memiliki nama, ada yang diambil dari suatu nama tempat. Di antaranya adalah Isfahan –nama kota di Iran–, Rak – kemungkinan bentuk Persia yang di India disebut raga menandakan bahwa aslinya dari India–, Hijaz –bagian dari Saudi Arabia–, Nahawand –desa di Turki– (Purwanto, 2006: 20). Pada kajian ini yang hendak diuraikan adalah maqam-maqam

yang digunakan dalam aktivitas pelaguan Seni Tilawatil Qur’an. Seperti Bayati, Hijaz, Saba, Rast, Jiharkah, Sikah, dan Nahawand.

3. Bentuk Fisik Maqam

Sebuah benda seni harus memiliki bentuk agar dapat diterima secara inderawi –dilihat, didengar, atau didengar dan dilihat– oleh orang lain. Benda seni itu suatu bentuk fisik. Tetapi bentuk fisik itu sendiri tidak serta merta menjadi

(8)

karya seni. Berseni dan tidaknya suatu bentuk fisik ditentukan oleh nilai yang ada di dalamnya (Sumardjo, 2000: 115). Bentuk dalam konteks ini adalah skema atau pola musik itu (Sumaryo, 1978: 101). Bentuk ini terdiri atas unsur-unsur yang disusun begitu rupa bedasarkan nilai esensial yang disebut struktur (Sumardjo, 2000: 140). Adapun bentuk fisik maqam dalam kajian ini dikutip dari sumber www.maqamworld.com dan dipaparkan sebagai berikut.

a. Maqam Hijaz

Maqam Hijaz has two forms shown above. Often the (Hijaz-Rast) form is used on the way up, and the (Hijaz-Nahawand) form is used on the way down. The Sikah trichord on the 6th note (in the first form) and the Ajam trichord on the 6th note (in the second form) are seconday ajnas, often used in modulation. A very important peculiarity of the Hijaz tetrachord is a microtonal variation from the Western even-tempered scale, where the 2nd note (E ) is tuned slightly higher, and the 3rd note (F#) is tuned slightly lower, so as to narrow down the 1 1/2 tone interval.

Artinya, maqam Hijaz memiliki dua bentuk yang ditunjukkan di atas. Seringkali –Hijaz-Rast– bentuk tersebut digunakan secara umum, dan – Hijaz-Nahawand– bentuk tersebut digunakan ke arah yang menurun. Sikah trichord pada notasi 6 –dalam bentuk pertama– dan Ajam trichord pada notasi 6 –dalam bentuk

(9)

kedua– adalah ajnas sekunder, dan ini sering digunakan dalam modulasi. Kekhasan yang sangat penting dari tetrachord Hijaz adalah variasi microtonal dari skala bahkan-berkarakter Barat, di mana notasi 2 (E ) disetel sedikit lebih tinggi, dan notasi 3 (F#) disetel sedikit lebih rendah, sehingga dapat mempersempit 1 1/2 Interval nada.

Hijaz Tetrachord

One of the most common sounds in Arabic music. The E is tuned slightly higher than usual, while the F# is tuned slightly lower, in order to narrow down the 1 1/2 tone difference and make it more mellow. Artinya, salah satu nada yang paling umum dalam musik Arab. E disetel sedikit lebih tinggi dari biasanya, sedangkan F # disetel sedikit lebih rendah, untuk mempersempit 1 1/2 nada perbedaan dan membuatnya lebih lembut.

(10)

Maqam Saba has two possible forms, shown above. The first form ends on the octave (D) while the second goes beyond 8 notes and doesn't include the octave of the tonic (D). Since the first 3 notes of maqam Saba are the beginning of the Bayati tetrachord, Saba is a popular modulation from maqam Bayati. Artinya, maqam Saba memiliki dua kemungkinan bentuk, yang ditunjukkan di atas. Bentuk pertama berakhir pada oktaf (D) sedangkan yang kedua melampaui notasi 8 dan tidak termasuk oktaf dari tonik (D). Sejak pertama notasi 3 dari maqam Saba adalah awal tetrachord Bayati, Saba adalah modulasi populer dari maqam Bayati.

Saba Tetrachord

The first 3 notes are a partial Bayati tetrachord. Also notes 3 and 4 are usually used to start a Hijaz tetrachord. Pertama pada notasi 3 adalah bentuk parsial dari

tetrachord Bayati. Bahkan notasi 3 dan 4 biasanya digunakan untuk memulai

(11)

c. Maqam Rast

Maqam Rast has two forms shown above. In general the first form (Rast-Rast) is used on the way up, and the second form (Rast-Nahawand) is used on the way down. The secondary jins is the Sikah trichord on the 3rd note, often used in modulation. Artinya, maqam Rast memiliki dua bentuk seperti ditunjukkan di atas. Secara umum bentuk pertama (Rast-Rast) digunakan untuk memulai, dan bentuk kedua ( Rast-Nahawand) digunakan dalam perjalanan ke bawah. Jins sekunder adalah trichord Sikah pada notasi 3 ini sering digunakan dalam modulasi.

(12)

One of the most common sounds in Arabic music. Its 3rd note falls between a minor 3rd and a major 3rd in Western Classical Music. Artinya, salah satu suara yang paling umum dalam musik Arab. notasi yang ke 3 jatuh antara 3 kecil dan 3 besar seperti di Musik Klasik Barat.

d. Maqam Jiharkah

Jiharkah Trichord

The Jiharkah trichord sounds very similar to the first 3 notes in a major scale in Western Classical Music. The 3rd note is tuned slightly lower than the major scale, and even lower than in the Ajam trichord. Artinya, jiharkah Trichord terdengar sangat mirip dengan yang pertama notasi 3 dalam skala besar di Musik Klasik Barat. notasi 3 disetel sedikit lebih rendah dari skala besar, dan bahkan lebih rendah dari pada trichordAjam.

(13)

e. Maqam Sikah

Maqam Sikah has two forms shown above. Often the first form (Sikah-Rast) is used on the way up, and the second form (Sikah-Nahawand) is used on the way down. Artinya,

maqam Sikah memiliki dua bentuk seperti ditunjukkan di atas. Seringkali bentuk pertama (Sikah-Rast) digunakan dalam permulaan, dan bentuk kedua ( Sikah-Nahawand) digunakan dalam perjalanan ke bawah.

Sikah Trichord

One of the most common sounds in Arabic music. Some books represent this trichord as 3 different tetrachords, depending on the next possible tonal interval: 1/2 tone is called Huzam Tetrachord, 3/4 tone is called Iraq Tetrachord, and 1 tone is called Sikah Tetrachord. Artinya, salah satu suara yang paling umum dalam musik Arab. Beberapa buku merupakan Trichord ini sebagai 3 perbedaan tetrachords,

(14)

tergantung pada interval nada berikutnya mungkin: 1/2 nada disebut Huzam Tetrachord, 3/4 nada disebut Irak Tetrachord, dan 1 nada disebut Sikah Tetrachord.

f. Maqam Nahawand

Maqam Nahawand has two versions shown above. In general the first version (Nahawand-Hijaz) is used on the way up, and the second version (Nahawand-Kurd) is used on the way down. The secondary jins is the Ajam trichord on the 3rd note, often used in modulation. Artinya, maqam Nahawand memiliki dua versi di atas. Secara umum versi pertama (Nahawand-Hijaz) digunakan di permulaan, dan versi kedua (Nahawand-Kurdi) digunakan dalam perjalanan ke bawah. Para jins sekunder adalah Trichord Ajam pada notasi 3, ini sering digunakan dalam modulasi.

(15)

Nahawand Tetrachord

The Nahawand tetrachord sounds very similar to the first 4 notes of a minor scale in Western Classical Music. Artinya, nahawand tetrachord terdengar sangat mirip dengan yang pertama, notasi 4 skala minor di Musik Klasik Barat.

4. Maqam Bayati dan Latar Belakang Budaya

Bayati menurut Muhsin Salim berasal dari bahasa Arab, bait yang artinya adalah rumah, kemudian digunakan dalam bentuk mubalagah menjadi bayyat.

Mubalagah adalah bentuk kata yang berfungsi untuk menyangatkan atau melebih-lebihkan (Munir, 1997: 30). Menurut Sami Abu Shumays,4 dalam Maqam Analysis

diterbitkan dalam website tahun 2013 menjelaskan sebagai berikut.

Bayati, like Rast, is a tremendously common and important maqam in Arabic music. Used frequently in the Tarab tradition of urban "art" music from Egypt and Greater Syria, as well as in the many folk musics from the region (also popular in Turkish, Kurdish, and Iranian folk musics), Bayati was also used in many popular songs from the mid-20th century. The singer, composer, and oud player Farid el-Atrash (whose hit "Nura Nura" is the first one presented here) had a preference for Bayati, composing possibly the largest share of his songs in this maqam. This page also has some of the most well-known songs in Arabic music, including "Ah Ya Hilu" and the instrumental "Samai Bayati al-aryan"

Bayati, seperti Rast, adalah maqam sangat umum dan penting dalam musik Arab. Sering digunakan dalam tradisi Tarab perkotaan "seni" musik dari Mesir dan Suriah Raya, serta di banyak musik rakyat dari daerah –juga populer di Turki, Kurdi, dan Iran musik rakyat–, Bayati juga digunakan di banyak lagu-lagu populer sejak pertengahan abad ke-20. Penyanyi, komposer, dan pemain oud Farid el-Atrash –yang hit "Nura Nura" adalah

(16)

yang pertama yang disajikan di sini– memiliki preferensi untuk Bayati, bagian terbesar dari lagu-lagunya disusun dalam maqam ini. Pada persoalan ini juga terdapat beberapa lagu yang paling terkenal dalam musik Arab, termasuk "Ah Ya Hilu" dan instrumental "Samai Bayati al-aryan".

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa secara budaya maqam Bayati

tidaklah maqam yang hadir dalam Seni Tilawatil Qur’an saja, namun keberadaannya dapat pula dijumpai dalam sajian lagu-lagu popular. Adapun wujud fisik dari maqam Bayati ini dapat terlihat pada paparan berikut ini.

Keterangan notasi di atas adalah sebagai berikut, maqam Bayati starts with a Bayati tetrachord on the first note, and a Nahawand tetrachord on the 4th note –the dominant. The secondary ajnas are the Ajam trichord on the 3rd note, and another Ajam trichord on the 6th note. These are often used in modulation (sumber: www.maqamworld.com). Artinya, maqam Bayati dimulai dengan tetrachord Bayati

pada notasi pertama, dan tetrachord Nahawand pada notasi 4 –dominan. Ajnas

sekunder adalah trichord Ajam pada notasi 3, dan trichord Ajam lain pada notasi 6. Hal ini juga sering digunakan dalam modulasi. Adapun tetrachord Bayati nampak terlihat seperti di bawah ini.

(17)

Keterangan notasinya adalah sebagai berkut. One of the most common sounds in Arabic music. The tuning of the 2nd note (E ) is slightly lower and more mellow than the E used in the Rast and Sikah sets (sumber: www.maqamworld.com). Salah satu suara yang paling umum dalam musik Arab. Nada pada notasi 2 (E )sedikit lebih rendah dan lebih lembut daripada E digunakan dalam Rast dan rangkaian Sikah.

Wujud fisik maqam Bayati dan tetrachord Bayati memperlihtakan kekhasan karena adanya mikrotonal. Pada kedua wujud fisik tersebut menunjukkan bahwa

maqam Bayati timbul karena adanya interval-interval yang kecil dan itu digolongkan ke dalam aliran mikrotoalitas (Sumaryo, 1978: 118). Mikrotonal adalah ketiadaan atau kekaburan atas rasa perkuncian dapat dihasilkan dengan membagi oktaf ke dalam lebih dari duabelas nada-nada yang berbeda pada umumnya (Miller, t.th: 61). Karakteristik mikrotonal ini memungkinkan musik Arab –maqam Bayati– sangat kaya secara melodi dan memberikan kemungkinan untuk nuansa-nuansa halus serta variasi yang kreatif (Purwanto, 2006: 22).

Variasi kreatif ini dilakukan dengan mengolah jarak ketinggian sebuah nada ke nada berikutnya, atau dikenal dengan sebutan interval antar nada. Hal tersebut mampu membentuk atau menetapkan bentuk melodi. Interval dalam hal ini tidak hanya jarak antara suatu nada ke lain nada saja, namun ada juga hubungan serta ‘ketegangan’ yang disebabkan oleh interval itu (Sumaryo, 1978: 108-109). Aspek interval ini merupakan unsur vital dalam musik. Menurut Sumaryo, interval mempunyai fungsi yang memberi bentuk pada suatu komposisi. Intervallah yang menetapkan bentuk melodi (Sumaryo, 1978: 115). Dengan demikian, maqam Bayati dapat hadir karena dipengaruhi oleh unsur interval sebagai vitalitas dalam musik.

(18)

C. Implementasi Qurro’ Dalam Melagukan Ayat Suci Dengan Maqam Bayati Lagu Bayati hadir tidak dapat terlepas dari cara Qurro’ dalam melakukan proses kreasi terhadap maqam Bayati dan tajwid. Kreasi yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan Qurro’ dalam melakukan penggarapan maqam Bayati serta pengolahan simbol-simbol –tajwid– yang telah dipersepsi secara musikal, kemudian dinyatakan dalam bentuk lagu. Penggarapan tersebut dilakukan dengan memberikan sentuhan-sentuhan musikal atas teks al-Qur’an yang kemudian dimanifestasikan ke dalam lagu sehingga pola komposisi lagu Bayati

sebagai hasil dari kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati dapat tampak.

Pengertian mendasar ‘lagu’ adalah terkait dengan bunyi dan cara-cara pengaturan bunyi dan merupakan bentuk komposisi untuk vokal, yakni dengan mementingkan melodi vokal dan syair –teks– sebagai kekuatannya (Amin Abdullah, 1995: 259). Menurut pandangan emik, lagu atau nagham dalam pengertian seni baca Qur’an hanyalah dimaknai sebagai cara membaca al-Quran dengan suara yang indah dan merdu tanpa melanggar aturan-aturan bacaan (Thamrin, wawancara 10 Januari 2013). Pernyataan Thamrin memperlihatkan maqam Bayati dan tajwid menjadi prinsip dasar yang digunakan

Qurro’ dalam melakukan kebebasan pelaguan, tajwid menjadi prinsip karena segala pengaturan bunyi dan sifat-sifatnya menyatu di dalamnya.

Keduannya pun merupakan ‘modal musikal’ yang digunakan sebagai material untuk diekplorasi secara kreatif dengan melibatkan aspek kecerdasan musikal Qurro’. Melalui kecerdasan musikal, kemampuan kebebasan kreasi Qurro’

dalam pelaguan dapat dihadirkan. Kecerdasan musikal yang dimaksud memiliki hubungan timbal balik dengan berbagai rangsangan auditori yang begitu kompleks yang diterima telinga. Reaksi kecerdasan musikal terlihat ketika Qurro’

(19)

atau wilayah tajwid yang memungkinkan dapat dikreasi.5 Proses pendalaman

tersebut selanjutnya masuk pada tahap proses berpikir musikal. Pada tahap ini implementasi kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati dihadirkan. Pada tahapan ini pun Qurro’ mampu menghadirkan lagu dengan berbagai tingkatan, seperti Qoror,

Nawa, Jawab, Jawabul Jawab, Syuri.

Asah kecerdasan yang diawal telah disampaikan secara prkatik tidak dapat terlepas dari pengalaman indera, dan persepsi Qurro’ terhadap maqam Bayati dan

Tajwid. Melalui pengalaman tersebut secara empiris kebebasan Qurro’ dalam

maqam Bayati mampu membangkitkan impuls-impuls tertentu di dalam tubuh – fisiologi– yang terkait dengan organ suara dan diteruskan dengan membunyikannya dalam gelombang suara –fisik. Realitas ini memperlihatkan bahwa, hubungan antara Qurro’ dengan tajwid dan maqam Bayati ketika telah menyatu dalam sajian pelaguan tidak terpisah. Posisi ini memperlihatkan Qurro’

benar-benar hadir dalam kapasitasnya sebagai subjek yang memiliki kebebasan dalam menghadirkan lagu. Pada tahap ini wawasan awal Qurro’ terhadap tradisi pelantunan lagu dalam Seni Tilawatil Qur’an harus diketahui, misalnya masalah tingkatan lagu. Ragam tingkatan lagu tersebut sebelumnya harus diketahui dan bahkan telah mengendap di dalam kesadaran Qurro’, apabila telah mengendap di dalam kesadaran Qurro’, ‘rasa mantab’6 musikal pun menjadi terbentuk.

5 Aspek kebebasan kreasi dalam Seni Tilawatil Qur’an yang dilakukan Qurro berada di

wilayah pembacaan panjang – Mad– dan pendek –qasr, ini ada pada Tajwid. Qurro’ menyebut berapa panjang atau berapa pendek dengan sebutan harakat. Misalnya satu harakat, dua harakat, atau tiga harakat. Dalam bahasa musik harakat memiliki persamaan arti dengan ‘ketukan’, yakni satu ketukan, dua ketukan, dan tiga ketukan. Bacaan panjang dan pendek ini sangat subjektif, atau mengandung kebebasan dan tergantung dari rasa mantab musikal Qurro’.

6 Istilah ‘rasa mantab’ musikal ini merupakan pernyataan Sri Hastanto yang diajukan

kepada penulis untuk mengganti istilah ‘pusat tonalitas’yang dinilai kurang relevan untuk menjelaskan bahwa notasi pembacaan mampu membangun pusat tonalitas musikal pelaguan yang diajukan. Menurut Sri Hastanto terminologi pusat tonalitas merupakan sebuah unsur musikal yang menciptakan sensualitas dari gaya tarik menuju pusat kunci (Sri Hastanto, 30 September 2013).

(20)

‘Rasa mantab’ ini memiliki relasi sistemik terhadap munculnya melodi

monofon sebagai dampak dari kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati. Artinya, kedudukan tajwid dan maqam Bayati mampu menjadi senyawa yang dapat memberikan makna kesadaran Qurro’ terhadap munculnya melodi monofon. Alasannya adalah bahwa ‘rasa mantab’ yang hadir tidak dapat terlepas dari pengalaman Qurro’ dalam melakukan interpretasi, apresiasi dan kreasi terhadap

tajwid dan maqam Bayati. Rasa sendiri secara terminologi merupakan daya penggerak dan pewarna tingkah laku dan kreasi seseorang (Marianto, 2006: 43). Asumsinya, dengan rasa seseorang tidak hanya mengartikan realitas seperti apa adanya dan hanya memaparkan secara gamblang hitam putih. Dengan rasa seseorang dapat memecah-mecah realitas menjadi remah-remah kemudian memadukannya kembali menjadi suatu pola baru yang bagi orang yang bersangkutan lebih bermakna (Marianto, 2006: 43).

‘Rasa mantab’ musikal ini pun merupakan suatu keadaan dalam jiwa

Qurro’ yang dapat menyesuaikan diri dengan kecerdasan musikal –di dalam dirinya– dan tajwid– yang ada di luar dirinya. Melalui penyesuaian diri yang dilakukan, mampu menimbulkan reaksi berupa hadirnya ‘keyakinan dasar’ musikal yang bergema dalam batin, atau penulis menyebutnya sebagai ‘gema batiniah’ musikal. Artinya, seluruh hubungan yang terjadi dalam ‘rasa mantab’ musikal ini tidak dapat terlepas dari ‘keyakinan dasar’ yang dimiliki Qurro’

tatkala melakukan proses kreasi pelaguan.

Proses kebebasan kreasi tersebut jika dilakukan pada akhirnya mampu menghadirkan melodi monofon. Pada tingkatan ini maqam Bayati dan tajwid

merupakan dua hal yang mampu memberikan pengaruh terhadap model kreasi. Konkritnya, ketika tajwid disentuh secara musikal oleh Qurro’ dengan mendasarkan pada maqam Bayati, maka melodi monofon dalam bentuk lagu yang disajikan dapat hadir. Konkritnya, kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati yang

(21)

dipersepsi Qurro’ pun kemudian oleh Qurro’ dipresentasikan dalam wujud seni suara atau Seni Tilawah. Kemampuan presentasi kebebasan Qurro’ dalam konteks ini tidak dapat terlepas dari tiga unsur. Di antaranya: (1) pola lagu –maqam Bayati– ; (2) pernafasan; (3) ekspresi tekstual sesuai dengan ayat yang dibaca (Thamrin, wawancara, 10 Maret 2013). Adapun penjelasan di atas dapat diwujudkan dalam bentuk bagan berikut ini.

MODAL KEBEBASAN Tajwid Kecerdasan Musikal Qurro’ Maqam Bayati HASIL KEBEBASAN Bayati Qoror Bayati Nawa

Bayati Jawab Bayati Jawabul

Jawab Bayati Syuri

PENGOLAHAN KEBEBASAN

Pemaknaan Aspek Lagu

 Anatomi Bunyi

 Dinamika dan Intensitas Bunyi

 Tempo

 Jangkauan Bunyi Pitch

 Gerak Bunyi –Ritme

 Warna Bunyi –Timbre

 Melodi

Cara Berpikir Musikal

 Pengalaman Indrawi

 Persepsi

 Interpretasi

 Apresiasi

Pola Lagu Ekspresi Tekstual Pernafasan

Rasa Mantab Musikal

(22)

Keterangan

: Hubungan Linier Hierarkis : Hubungan Timbal Balik

: Representasi Lagu Bayati dalam Berbagai Tingkatan Bagan. 1.1. Implementasi Kebebasan Qurro’ dalam Maqam Bayati

Pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga komponen Kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati yakni: (1) modal kebebasan, pada tahap ini lebih pada persoalan hubungan tajwid dan maqam Bayati –fakta bunyi; (2) Pengolahan kebebasan, pada tahap ini seluruh proses kebebasan Qurro’ diolah dengan mendasarkan pada hubungan pemaknaan aspek lagu dan cara berpikir musikal; (3) Hasil kebebasan, tahap ini adalah manifestasi kebebasan yang dinyatakan dalam bentuk lagu Bayati dalam berbagai tingkatan. Melalui tiga komponen tersebut konsep kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati diketahui. Berikut contoh lagu Bayati sebagai hasil dari kebebasan Qurro’ dalam maqam Bayati.

رِف ڪ ل

ا اَهُّي َاٰٙ ي ل ق

(23)

Keterangan:

: Batas dan Arah Pelaguan

Gambar. 3.2. Grafik Lagu Bayati dan Implementasinya dengan Tajwid Pada Mad Thabi’i

Adapun teks ayat suci al Qur’an keseluruhannya adalah sebagai berikut.

َن و د ب عَت اَم د ب عَا َﻵ َن و رِف ڪ ل ا اَهُّي َاٰٙ ي ل ق ن و د ب عَت اَم د ب عَا َﻵ َن و رِف ڪ ل ا اَهُّي َاٰٙ ي ل ق

Ayat yang digaris bawah di atas adalah Mad Thabi’in yang memiliki panjang dua harakat. Mad thabi’i –asli–, yakni mad –bacaan panjang– pada suatu kata yang mengandung salah satu dari huruf-huruf maddiyah – ا –, ي – و . Kadar panjang dari Mad Thabi’i adalah satu alif – ا – dua harakat. Panjang inilah yang menjadi ruang kebebasan Qurro’ dalam mengolah kreasi pelaguan, apakah dinaikkan atau diturunkan alur melodinya. Hal ini sangat ditentukan oleh rasa mantab musikalnya.

D. Simpulan

Kajian ini mengajukan dua kesimpulan. Pertama, maqam Bayati adalah deretan tangga nada heptatonik dengan sebuah nada oktafnya dalam Yunani Kuno yang dibagi kepada dua unit yang terdiri dari empat nada –tetrakord. MaqamBayati

merupakan konstruksi model yang digunakan Qurro’ sebagai acuan dasar dalam melakukan pelantunan lagu. Secara empiris maqam Bayati ketika diimplementasikan dalam seni pelaguan atau Seni Tilawatil Qur’an mampu membuka ruang religiusitas bagi Qurro’ untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Realitas ini berbeda ketika maqam Bayati digunakan untuk kepentingan musik-musik sekuler yang difungsikan untuk hiburan. Persoalan yang menyebabkan perbedaan secara fungsional tersebut adalah latar belakang budaya

(24)

masyarakat, yakni antara masyarakat yang berlatar belakang religius dengan masyarakat profan. Kedua latar belakang tersebut memiliki andil bagaimana

maqam Bayati diimplementasikan.

Adapun wujud fisik maqam Bayati memiliki kekhasan. Kekhasan yang dimaksud terletak pada mikrotonal. Terbentuknya maqam Bayati ini disebabkan oleh interval-interval kecil. Hal inilah yang kemudian maqam Bayati masuk dalam golongan aliran mikrotoalitas. Karakteristik mikrotonal ini memungkinkan maqam Bayati memiliki nuansa-nuansa melodi yang halus serta kaya variasi.

Kesimpulan kedua adalah mengenai implementasi kebebasan Qurro’ dalam melagukan ayat-ayat suci menggunakan maqam Bayati. Persoalan ini jawabannya terletak pada cara Qurro’ dalam mengolah sumber kebebasan yang tertuang di dalam dua fakta bunyi yakni maqam Bayati dan tajwid. Pengetahuan tajwid yang dimiliki Qurro’ serta pengetahuan terhadap maqam Bayati merupakan ‘modal musikal’ Qurro’ dalam menunaikan kebebasan. ‘Modal musikal’ diperoleh melalui tahapan ekplorasi kreatif yang menyatu dengan kecerdasan musikal yang dimiliki

Qurro’. Melalui kecerdasan musikal, kemampuan kebebasan kreasi Qurro’ dalam melantunkan lagudengan maqamBayati dapat hadir.

Kecerdasan musikal berelasi dengan berbagai rangsangan auditori yang diterima telinga. Reaksi kecerdasan musikal terjadi ketika Qurro’ melakukan pendalaman pemahaman terhadap maqam Bayati serta mengerti letak bagian tajwid

yang memungkinkan dapat dikreasi. Proses pendalaman kemudian berakhir ditahap proses berpikir musikal. Setelah tahap ini implementasi kebebasan Qurro’

dalam maqam Bayati dihadirkan secara empiris. Adapun proses konkrit dari implementasi maqam Bayati ini adalah terjadinya pembentukan modus tatkala

Qurro’ melantunkan lagu dengan maqam Bayati. Pembentukan modus terlihat tatkala Qurro’ melakukan pergantian tingkatan atau berganti modulasi ke tingkatan maqam Bayati yang lain, seperti Nawa, Jawab, Jawabul Jawab serta Syuri.

(25)

Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa melalui kebebasan Qurro

mampu memunculkan ornamentasi-ornamentasi baru yang disebabkan oleh kemampuan improvisasi sehingga memungkinkan timbulnya variasi-variasi pelaguan baru dalam Seni Tilawatil Qur’an.

KEPUSTAKAAN

Al- Faruqi, Ismail Raji. 1981. ‚Islam dan Arsitektur‛ dalam Seni di dalam Peradaban Islam, dihimpun oleh M. Abdul Jabar. Bandung: Penerbit Pustaka. ____________1999. Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya.

Amin Abdullah. 1995. ‚Eksperimentasi Pembuatan Lagu Daerah Ledo Sebuah Lagu Hiburan Bergaya dan Berbahasa Kaili Sulawesi Tengah‛ dalam

Laporan Pelaksanaan Temu Ilmiah dan Festival MSPI ’94 Tanggal 1 – 3 Desember 1994 di Maumere, Flores. Surakarta: MSPI.

F.M Karomatov and I Radjabov. ‚Introduktion to The Sasmaqam‛. Jurnal of The Society for Asian Music. Asian Volume XIII-1. 1981.

Joko Purwanto. 2006. Pengantar Musik Dunia I Program Studi Etnomusikologi. Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta.

Leaman, Oliver. 2004. Menafsir Seni dan Keindahan. Bandung: Mizan. Mack, D.1994. Ilmu Melodi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

___________ 1995. Sejarah Musik Jilid 4. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. ____________2004. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural. Penerbit Arti. M. Dwi Marianto. 2006. Quantum Seni. Semarang: Dahara Prize.

Miller. Hugh M. Apresiasi Musik. Terj. Triyono Bramantyo. Yogyakarta: ISI Yogyakarta Press.

(26)

Nasr, Seyyed Hossein.1993. Spiritual dan Seni Islam. Bandung: Mizan. Omar Amin Hoesin. 1981. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Sumaryo LE. 1978. Komponis, Pemain Musik dan Publik, Sebuah Brosur untuk Remaja. Jakarta: Pustaka Jaya.

____________‚Perbauran antara Unsur Timur dan Barat‛, dalam Analisis Kebudayaan. Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun I, Nomor 2 – 1980/1981.

Takari M, Taregan P, (edt.), 1994. Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.

Medan : Etnomusikologi FS USU Press.

WEBTOGRAFI

1. http://www.maqamlessons.com/analysis/ 2. http://www.maqamworld.com

Referensi

Dokumen terkait

Dengan diajarkan menu modifikasi kudapatan sehat untuk balita stunting diharapkan ibu balita lebih mengerti tentang menu kudapan yang mengandung gizi sehat untuk anaknya,

strategis yang timbul sebagai hasil titik eksternal. Matriks SWOT Kearns Sumber : Rangkuti, 1998. Sel ini merupakan pertemuan dua elemen kekuatan dan peluang

Pada item kedua jawaban cukup setuju merupakan jawaban yang paling banyak muncul dengan jumlah 21 orang atau 52,5% Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar

dengan variabel terikat (produktivitas kerja karyawan) yang dipengaruhi.. dan diberi

Memaklumkan tentang pelaksanaan ISMS, pemantauan ISMS, audit dan kajian semula pengurusan kepada staf berkaitan yang bertanggungjawab dalam proses keselamatan

Hasil penelitian menunjukan bahwa, motivasi konsumsi mie instan memiliki hubungan dengan tingkat hubungan berada pada kategori “kuat“ terhadap situasi ekonomi, hal

Metode pelaksanaan kegiatan P2M ini adalah berupa in-service training program yaitu diseminasi dan pelatihan kepada para guru bahasa Inggris di sekolah dasar di 9

Saat ini pengembangan Hutan Kota Pulau Bungin masih dalam tahapan sebagai habitat pohon di tengah kota sehingga perlu data mengenai potensi ekowisata Hutan Kota