• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI FAIZ RIDHAN FAROKA F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI FAIZ RIDHAN FAROKA F"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR PENENTU ADOPSI

TEKNOLOGI PHSL (PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI)

UNTUK USAHATANI PADI

(Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten

Boyolali, Jawa Tengah)

SKRIPSI

FAIZ RIDHAN FAROKA

F14080074

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Yield Analysis and Determining Factor to Adoption

SSNM (Site Specific Nutrient Management)

Technology for Farm Rice

(Case Study in Jembungan Village, Sub-District of Banyudono,

Boyolali District, Cental Java)

Faiz Ridhan Faroka and Kudang Boro Seminar, Pudji Muljono

Departement of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone +62 852 8133 8593, e-mail : faizridhan@gmail.com

ABSTRACT

The highly increase of crop production in the future will be a compulsion and utilization of field will be more intensive. Therefore, precise pescription of crop fertilization is required. Site Specific Nutrient Management (SSNM) application is an innovation of technology for rice farming through fertilization recommendation which accurate in type, dose and time of fertilization to increase rice production and farmer incomes. SSNM application was developed by IRRI (International Rice Research Institute) in Philippines.The aim of this research is to get illustration about analysis of farmers on new technologies SSNM application of web-based technology. Comparing farm income and productivity of rice farmers using the technology by not using technology SSNM. Identifying factors that influence farmers to adopt SSNM applications. There was a significant differences in fertilization cost between the usage of SSNM and manually applied fertilization. In manually applied fertilization costs Rp 320,065 or about 20.62 percent of total cost, while in SSNM fertilization costs only12.93 percent of total cost or Rp 23,078. The application of SSNM was able to increase average rice production about 314.38 kg / hectare and farmers income raised to Rp 1,100,328 / hectare. There is a driving factor for farmers to use the SSNM application including increased production, the facilities, the capital, the efficient use of fertilizer and maintain the field quality.Farm rice incomes and field ownership have positive relationship toward farmer to adoption SSNM application.

(3)

FAIZ RIDHAN FAROKA. F14080074. Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah). Di bawah bimbingan Kudang Boro Seminar dan Pudji Muljono. 2012

RINGKASAN

Peningkatan produksi tanam di masa mendatang akan menjadi suatu keharusan, sehingga penggunaan lahan akan semakin intensif. Seiring dengan intensifnya penggunaan lahan, maka diperlukan ketepatan rekomendasi pemupukan. Produktivitas lahan akan cepat menurun akibat pengurasan hara oleh tanaman, jika rekomendasi pemupukan sering tidak tepat. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan salah satu faktor kunci untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah sawah. Dalam hal ini perlu memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan iklim, dan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi tanaman.

Aplikasi PHSL adalah inovasi teknologi baru usahatani padi sawah melalui rekomendasi pemupukan yang tepat jenis, dosis, dan waktu pemupukan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Aplikasi ini dikembangkan oleh IRRI (International Rice Reserach Institute), Filipina bersama Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanian. Inovasi aplikasi PHSL ditujukan untuk PPL dan petani.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan petani terhadap teknologi baru untuk rekomendasi pemupukan berbasis TIK, membandingkan hasil usahataninya dan mengetahui faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL. Desa Jembungan adalah desa pertama di Provinsi Jawa Tengah yang mendapat kesempatan untuk pengujian program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) dari BPTP Provinsi Jawa Tengah. Program dari BPTP ini bekerja sama dengan PPL setempat untuk membandingkan hasil panen antara pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL dengan pemupukan yang sering dilakukan oleh petani untuk tanaman padi.

Pengambilan data penelitian dilakukan dalam dua tahap pengumpulan data, tahap pertama diarahkan kepada aktivitas studi pustaka dan pencarian data sekunder. Pada tahap kedua memfokuskan kepada pencarian data primer melalui wawancara kepada beberapa responden. Responden pada penelitian ini adalah petani yang mengikuti program inovasi aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Desa Jembungan. Petani yang mengikuti program PHSL akan membagi lahannya menjadi dua bagian (tidak sama besar), pembagian lahan ini ditujukan untuk membedakan pemupukan berdasarkan rekomendasi aplikasi PHSL dan pemupukan yang biasa dilakukan oleh petani. Petani di Desa Jembungan yang mengikuti inovasi program PHSL berjumlah 20 petani dan semuanya menjadi responden untuk penelitian ini.

Setelah data diperoleh, pengolahan data didasarkan kepada aspek – aspek untuk menganalisis pandangan petani terhadap penerapan teknologi PHSL untuk pemupukan padi mereka. Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskriptif dan analisis teknis. Analisis deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam dan obyektif mengenai proses adopsi inovasi aplikasi PHSL, sehingga terlihat respon petani dengan adanya inovasi aplikasi PHSL. Analisis teknis berguna untuk menganalisis keadaaan lapangan yang dikaitkan dengan ilmu yang diperoleh dalam perkuliahan yang digunakan untuk menganalisis tingkat produksi padi, pendapatan usahatani, dan analisis B/C. Teknik regresi logistik untuk melihat hubungan antara karakteristik petani terhadap tingkat adopsi teknologi PHSL di lokasi penelitian.

(4)

Ditinjau dari usianya, lebih dari 50 % responden berusia lebih dari 40 tahun. Sebagian besar diantaranya (lebih dari 55%) tamat SLTA. Terdapat dua petani yang menyewa lahan untuk usahatani dan lainnya memiliki lahan sendiri. Luasan lahan yang dimiliki petani responden relatif kecil, 75 % petani memiliki luas lahan 0.2 – 0.3 hektar, 20 % memiliki lahan seluas 0.3 – 0.4 hektar dan seorang petani yang luas lahannya 0.4 – 0.5 hektar. Dari berbagai karakteristik petani tersebut, terdapat faktor pendorong dan faktor penghambat petani dalam mengikuti dan mengadopsi inovasi aplikasi PHSL. Faktor pendorongnya adalah (1) dapat meningkatkan produktivitas, (2) adanya sarana mengakses aplikasi, (3) adanya modal, (4) penggunaan pupuk yang efisien, (5) kualitas tanah terjaga. Sedangkan yang termasuk dalam faktor penghambat antara lain, (1) sarana kurang, (2) kekurangan modal, (3) keraguan pada rekomendasi pemupukan yang diberikan, (4) prosedur yang cukup rumit.

Struktur biaya produksi untuk usahatani padi pada lahan petani dan lahan PHSL umumnya relatif sama, komponen biaya terbesar adalah upah tenaga kerja yang meliputi pengolahan tanah, cabut tanam, penanaman, pengendalian OPT. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat dalam komponen biaya pemupukan, pada lahan non PHSL biaya pemupukan mencapai Rp 320,065 atau sekitar 20.62 % dari total biaya tunai, sedangkan pada lahan PHSL biaya pemupukan hanya sekitar 12.93 % dari total biaya tunai atau sekitar Rp 23,078.

Produksi rata – rata yang dihasilkan petani untuk budi daya padi di lahan non PHSL adalah 1,732.89 kg dengan pendapatan senilai Rp 6,065,122 dan di lahan PHSL mempunyai produksi rata – rata sekitar 246.87 kg dengan pendapatan senilai Rp 864,064. Produksi ini masih dihitung dengan luasan yang tidak sama. Apabila dihitung dalam satuan yang sama yaitu hektar, produksi rata – rata padi yang dihasilkan untuk budi daya padi di lahan petani adalah 6,464.74 kg dan 6,779.12 kg untuk budi daya di lahan PHSL. Pendapatan yang diterima petani adalah hasil rata – rata produksi padi dikalikan dengan harga gabah pada saat itu, yaitu berada pada nilai Rp 3,500. Pendapatan rata – rata petani perhektar di lahan non PHSL adalah sekitar Rp 22,626,590 dan Rp 23,726,918 untuk budi daya di lahan PHSL / musim tanam. Dengan adanya aplikasi PHSL dapat meningkatkan produksi padi rata – rata sekitar 314.38 kg / hektar dengan tambahan keuntungan senilai Rp 1,100,328 / hektar.

Dari nilai B/C, usahatani dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL atau budi daya di lahan PHSL memiliki nilai B/C sebesar 1.91, artinya petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.91 untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan. Usahatani di lahan non PHSL atau pemupukan rekomendasi petani yang biasa mereka lakukan memiliki nilai B/C sebesar 1.70 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk budidaya pertanian akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.70. Hasil ini membuktikan budi daya dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL lebih menguntungkan, meskipun budi daya petani yang biasa dilakukan di Desa Jembungan sudah cukup menguntungkan. Petani di Desa Jembungan dapat mengadopsi ataupun tidak mengadopsi teknologi PHSL, karena usahatani padi yang mereka lakukan selama ini sudah cukup menguntungkan.

Hasil analisis regresi logistik untuk menentukan faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi PHSL menghasilkan dua dari keenam faktor yang berpengaruh siknifikan terhadap penggunaan aplikasi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Variabel yang berhubungan positif dan berpengaruh nyata adalah status kepemilikan lahan dan penerimaan usahatani.

(5)

ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR PENENTU ADOPSI

TEKNOLOGI PHSL (PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI )

UNTUK USAHATANI PADI

(Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten

Boyolali, Jawa Tengah)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

FAIZ RIDHAN FAROKA

F14080074

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(6)

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Nama : Faiz Ridhan Faroka NIM : F14080074

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. Dr .Ir . Kudang Boro Seminar, M.Sc. Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si.

NIP. 19591118 198503 1 004

NIP. 19621010 198903 1 005

Mengetahui :

Ketua Departemen,

Dr. Ir. Desrial. M.Eng

NIP. 19661201 199103 004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

Yang membuat pernyataan

Faiz Ridhan Faroka

F14080074

(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Grobogan pada tanggal 28 Maret 1990 anak kedua dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Akhmad Fadhloli Syo’im dan Ibu Sri Andayani. Penulis memiliki hobby berolahraga dan bermain musik. Pada tahun 1996 penulis memulai pendidikan dasar di SD N 1 Kuwu dan selesai pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMP N 1 Kradenan, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan atas di SMA N 1 Purwodadi dan menyelesaikannya pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Mayor Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti kuliah, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi kampus seperti Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian, Institut Pertanain Bogor (Himateta IPB) pada Departemen Riset dan Teknologi serta Badan Eksekutif Mahasiswa Muda Fakultas Teknologi Pertanian (BEM Muda Fateta) pada Departemen Minat dan Bakat Mahasiswa. Penulis juga sempat menjadi ketua OMDA PERMADI (Organisasi Mahasiswa Daerah Perkumpulan Mahasiswa Purwodadi). Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tahun 2011 di PT. Kusuma Agrowisata, Batu, Jawa Timur dengan judul Penerapan Sistem Hidroponik Substrat untuk Budi Daya Tomat dan Paprika dalam Greenhouse di PT. Kusuma Agrowisata, Batu – Jawa Timur.

(10)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Pendapatan dan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) untuk Usahatani Padi (Studi Kasus di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah).

Skripsi merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Padi merupakan komoditas utama sebagian besar keluarga tani di Indonesia. Oleh sebab itu, secara langsung maupun tidak sebagian besar pendapatan masyarakat Indonesia bergantung oleh produksi padi. Sampai saat ini produksi padi di Indonesia belum mengalami peningkatan yang mencolok. Rekomendasi pemupukan yang tepat, efektif dan efisien merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani yang berkelanjutan. Aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) merupakan salah satu metode untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan yang rasional dan berimbang untuk tanaman padi sehingga dapat menurunkan risiko adanya penurunan kualitas tanah.

Skripsi ini dapat diselesaikan atas arahan, bimbingan dan semangat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc. sebagai dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberi kritik, saran dan arahan selama pembuatan skripsi.

2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan koreksi pada skripsi ini.

3. Bapak Akhmad Fadholi Syo’im dan Ibu Sri Andayani, S.Pd. tercinta yang tak pernah lelah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dengan sabar dan ikhlas hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap PPL di Kecamatan Banyudono yang telah memberikan izin dan memandu penulis untuk melakukan penelitian di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

5. Bapak Sabar sebagai ketua kelompok tani yang telah banyak membantu dalam kegiatan penelitian dan kelompok tani Subur Basuki dan Subur Raharjo sebagai responden penelitian yang telah bersedia memberikan informasi kepada penulis selama penelitian.

6. Mas Rizal kakakku dan Alfian Harris yang telah menyediakan tempat tinggal selama penelitian serta banyak membantu penulis untuk mengambil data. Adik – adikku Ilham Yoga Rivaldi dan Nisa Alya Fadhila yang juga terus memberikan motivasi pada penulis.

7. Teman sekontrakan Angga, Fibu, Ichan dan Akay yang banyak menyemangati.

8. Teman – teman Magenta 45’ yang juga menginspirasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat berguna bagi pihak – pihak terkait untuk kemajuan untuk petani Indonesia khususnya dan pertanian Indonesia pada umumnya.

Bogor, Oktober 2012

(11)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR PERSAMAAN ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BUDAYA PADI ... 4

B. PEMUPUKAN PADI ... 5

C . KAJIAN BEBERAPA STUDI TERDAHULU ... 6

D. PERTANIAN PRESISI ... 7

E. APLIKASI PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI ... 8

F. ADOPSI TEKNOLOGI ... 12

G. PERAN PENYULUH PERTANIAN ... 14

III. METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 16

B. JENIS DAN METODE PENGUMPULAN DATA ... 16

C. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHSAN A. PANDANGAN PETANI TERHADAP APLIKASI PHSL ... 24

B. ANALISIS USAHATANI ... 34

C. ANALISIS FAKTOR PENENTU PETANI UNTUK MENGGUNAKAN APLIKASI PHSL ... 37 V. PENUTUP A. KESIMPULAN ... 40 B. SARAN ... 40 DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN ... 43

(12)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produksi, konsumsi, importir, luas areal dan hasil padi di beberapa

negara pada tahun 2005 ... 1

Tabel 2. Karakteristik petani responden ... 26

Tabel 3. Faktor keberhasilan penerapan inovasi PHSL dan indikatornya ... 29

Tabel 4. Faktor pendorong dan penghambat petani untuk mengikuti program PHSL ... 30

Tabel 5. Faktor – faktor aspek operasional ... 32

Tabel 6. Faktor – faktor aspek sosial budaya ... 33

Tabel 7. Perbandingan penerimaan usahatani PHSL dan non PHSL ... 34

Tabel 8. Struktur biaya usahatani padi di Desa Jembungan ... 35

Tabel 9. Perbandingan Pendapatan Usahatani dan B/C rasio PHSL dan non PHSL ... 36

Tabel 10. Hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor yang mempengaruhi petani untuk menggunakan teknologi PHSL ... 37

(13)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan program pelaksanaan pelayanan uji tanah ... 5

Gambar 2. Tampilan aplikasi PHSL (NM RiceWeb) dan beberapa pertanyaannya ... 9

Gambar 3. Hasil Rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui Web setelah menjawab semua pertanyaan ... 10

Gambar 4. Pesan teks yang diterima setelah mengakses NMRiceWebMobile ... 11

Gambar 5. Skema langkah – langkah penelitian ... 17

Gambar 6. Kerangka Penelitian di Desa Jembungan ... 19

(14)

vii

DAFTAR PERSAMAAN

Halaman

Persamaan 1. Tingkat pendapatan tunai ... 20

Persamaan 2. Tingkat pendapatan total ... 20

Persamaan 3. Imbangan penerimaan atas biaya tunai ... 21

Persamaan 4. Imbangan penerimaan atas biaya total ... 21

Persamaan 5. Model umum regresi logistik ... 22

Persamaan 6. Bentuk umum likelihood (L) ... 23

(15)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuesioner penelitian ... 44

Lampiran 2. Daftar pertanyaan yang diajukan pada aplikasi PHSL ... 48

Lampiran 3. Hasil dan selisih produksi padi usahatani dengan PHSL dengan non PHSL ... 50

Lampiran 4. Perbandingan pendapatan usahatani PHSL dan non PHSL ... 51

Lampiran 5. Perbandingan rekomendasi pemupukan oleh PHSL dan petani ... 52

Lampiran 6. Data input regresi logistik ... 54

Lampiran 7. Tabel output regresi logistik dengan software SPSS 16.0 for Windows ... 55

Lampiran 8. Letak Geografis Lokasi Penelitian ... 56

Lampiran 9. Surat Pengantar Penelitian dari Dinas Pertanian Boyolali ... 57

Lampiran 10. Luas Panen Padi di Beberapa Negara dan Dunia, 1961 – 2006 ... 58

Lampiran 11. Luas Panen, Produksi, dan Hasil Padi di Beberapa Negara dan Dunia, 1986 – 2006 ... 59

(16)

1

BAB I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Selain berperan penting sebagai makanan pokok, padi merupakan sumber perekonomian sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekurangan produksi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk tentu perlu mendapat perhatian utama dalam pembangunan pertanian. Di sisi lain masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mencapai status ketahanan pangan mantap cukup berat. Fakta empirik menunjukkan bahwa sejalan dengan transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke non pertanian, tekanan terhadap pemanfaatan lahan pertanian semakin meningkat terutama karena semakin meningkatnya konversi lahan pertanian ke non pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2010). Perbandingan Produksi, konsumsi, jumlah impor, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun 2005 terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi, konsumsi, jumlah impor, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun 2005 Negara Produksi gabah Konsumsi Jumlah impor Luas areal tanaman padi Luas lahan yang dapat ditanami % dari beras dunia Hasil Luas areal Produk si (ton/ha GKG) ribu ton (kg/kapita

/tahun)

(juta

ton) ribu ha ribu ha

Cina 182,055 70 0.95 29,087 142,615 19.17 28.9 6.26 India 137,620 - - 41,907 160,519 27.62 21.85 3.28 Indonesia 53,985 128 1.29 11,801 21,000 7.78 8.57 4.57 Banglades 39,796 148 1.03 10,524 7,976 6.94 6.32 3.78 Vietnam 35,791 162 - 7,329 6,680 4.83 5.68 4.88 Thailand 29,428 79 - 10,042 14,133 6.62 4.67 2.93 Myanmar 25,364 194 - 7,008 10,093 4.62 4.03 3.62 Filipina 14,603 109 1.06 4,200 5,700 2.77 2.32 3.48 Brazil 13,193 - 0.79 3,916 59,000 2.58 2.09 3.37 Jepang 11,342 53 0.84 1,706 4,397 1.12 1.8 6.65 USA 10,125 7 0.66 1,361 173,450 0.9 1.61 7.44 Korea Selatan 6,435 - 0.22 980 1,646 0.65 1.02 6.57 Mesir 6,125 - - 613 2,922 0.4 0.97 9.99 Malaysia 2,240 63 0.51 676 1,800 0.45 0.36 3.31 Dunia 629,881 - - 151,723 1,402,317 100 100 4.15

(17)

2 Sektor pertanian merupakan sektor terdepan untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia, yaitu untuk menyediakan berbagai makanan pokok. Dalam sejarah hidup manusia dari tahun ketahun mengalami perubahan yang diikuti pula oleh perubahan kebutuhan bahan makanan pokok. Hal ini dibuktikan dibeberapa daerah yang semula makanan pokoknya ketela, sagu, jagung akhirnya beralih makan nasi yang berasal dari beras. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia padi memiliki nilai tersendiri yang tidak mudah untuk digantikan oleh bahan makanan lain. Usaha dalam meningkatkan produksi padi guna mencukupi kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat, kini juga memerlukan masukan (input) yang tepat, yaitu efisien, efektif, dan tidak mencemari lingkungan sehingga petani dapat menerima keuntungan yang layak dan lingkungan yang sehat.

Peningkatan produksi tanaman pangan di masa mendatang akan menjadi suatu keharusan untuk mengimbangi cepatnya laju kebutuhan pangan, sehingga penggunaan lahan akan semakin intensif, bahkan mungkin menjadi super intensif. Seiring dengan intensifnya penggunaan lahan, maka diperlukan ketepatan rekomendasi pemupukan. Produktivitas lahan akan cepat menurun akibat pengurasan hara oleh tanaman, jika rekomendasi pemupukan sering tidak tepat. Di samping itu terjadi pula penimbunan hara di tanah sehingga tidak ekonomis dan mencemari lingkungan. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan salah satu faktor kunci untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan sawah. Dalam hal ini perlu memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan iklim, dan unsur hara yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi optimum. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan baik jika rekomendasi pemupukan disasarkan kepada hasil uji tanah dengan metodologi yang tepat dan teruji. Pendekataan uji tanah sebagai dasar perhitungan kebutuhan pupuk telah dilaksanakan dan berhasil dengan baik di beberapa negara karena didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi maju (Rochayati dan Adiningsih, 2002).

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mempertimbangkan bahwa sistem produksi pertanian padi merupakan suatu sistem dinamik, dimana produk akhirnya (hasil padi) merupakan fungsi dari faktor iklim (radiasi surya, suhu), air, tanah (fisik dan kimia) serta tanaman dengan berbagai karakternya yang bersifat dinamik. Fluktuasi hasil dapat diterangkan sebagai akibat respon proses di dalam tanaman terhadap perubahan faktor diatas. Input (pupuk) yang diberikan merupakan pendukung terhadap kondisi tanah agar proses pertumbuhan tanaman berjalan optimal pada lingkungan tertentu. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah pemupukan berimbang.

Pengertian pemupukan berimbang bukan pemupukan lengkap. Selama ini di sebagian masyarakat telah berkembang pengertian bahwa pemupukan berimbang adalah pemupukan yang menggunakan (compound) NPK. Pemupukan berimbang sebenarnya adalah pemberian pupuk ke dalam tanah dengan jumlah dan jenis hara yang sesuai dengan kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan tanaman untuk mencapai target produksi tertentu. Jadi, apabila tanah di suatu lokasi mempunyai kadar P dan K tinggi, maka pupuk P dan K yang ditambahkan hanya untuk perawatan, dengan takaran setara dengan P dan K yang terangkut panen agar produktivitas tanah tetap terpelihara tanpa menurunkan produktivitas tanaman. Pupuk yang diberikan dapat berupa pupuk tunggal atau pupuk majemuk yang dikombinasikan dengan pupuk tunggal (Rochayati dan Adiningsih, 2002 ).

Pemupukan padi sawah mengenal beberapa istilah seperti pemupukan berimbang, pemupukan spesifik lokasi, dan pengelolaan hara spesifik lokasi yang pada dasarnya identik satu sama lain, tetapi pemupukan berimbang sering disalahartikan sebagai pemupukan lengkap (N, P, K, S) dan diidentikan dengan penggunaan pupuk majemuk. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pemupukan berimbang mengacu kepada keseimbangan antara unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman padi berdasarkan sasaran tingkat hasil yang ingin dicapai dengan ketersediaan hara dalam tanah. Mengingat

(18)

3 beragamnya kondisi kesuburan tanah antara lokasi satu dengan lainnya, maka takaran dan jenis pupuk yang diperlukan untuk lokasi – lokasi tersebut tentu akan berbeda pula. Oleh karena itu, pemupukan berimbang sering pula disebut pemupukan (atau pengelolaan hara) spesifik lokasi. Pemupukan berimbang menawarkan beberapa prinsip dan perangkat untuk mengoptimalkan penggunaan hara dari sumber – sumber alami atau lokal (indigenous) sesuai dengan kebutuhan tanaman padi. Sumber hara alami dapat berasal dari tanah, pupuk kandang, sisa tanaman, dan air irigasi (Buresh et al, 2006).

Kegunaan budi daya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budi daya kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budi daya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma – cuma. Pupuk organik dan pupuk hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam – macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya perncemaran lingkungan (Sutanto, 2002).

B.

TUJUAN

Tujuan penelitian yang dilakukan di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah adalah :

1. Analisis pandangan petani terhadap teknologi baru untuk rekomendasi pemupukan berbasis TIK aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi).

2. Membandingkan pendapatan usahatani dan produktivitas padi petani yang menggunakan teknologi PHSL dengan tidak menggunakan teknologi PHSL.

3. Mengidentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL.

(19)

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

BUDAYA PADI

Globlalisasi telah mengubah status padi dari sumber pangan menjadi komoditas dagang dan spekulasi. Bagi Indonesia, Vietnam, dan Thailand, kenaikan produktivitas memberi kontribusi 80% terhadap kenaikan produksi selama 40 tahun terakhir. Di Indonesia, kenaikan produksi mulai menanjak sejak tahun 1969 – 1984 dengan laju 5.3% per tahun. Setelah itu (1984 – 2000), laju kenaikan produksi hanya 1.9% per tahun, terutama karena kemarau panjang (El – Nino) pada tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997 dan dampak sampingnya berupa serangan hama dan penyakit (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Inovasi teknologi yang diintroduksikan setelah terjadi pelandaian atau penurunan produksi memacu kembali kenaikan produksi. Sejak tahun 1998, diawali oleh kemarau panjang dan krisis moneter pada pertengahan 1997, subsidi saprodi dicabut dan kelembagaan sosial dan keuangan berubah – ubah. Produksi padi yang menurun drastis pada tahun 1998 terpacu kembali oleh iklim yang baik, walaupun kelembagaan sosial, keuangan, dan pemasaran belum berubah, bahkan semakin kurang kondusif. Pada tahun 2000, produksi padi mampu menembus angka 51 juta ton. Dalam dasawarsa terakhir, produksi padi Indonesia mengalami stagnasi, karena sebagian besar lahan produktif telah ditanami varietas unggul. IR64 merupakan varietas yang paling populer dengan areal tanam lebih dari 6 juta hektar. Namun Ciherang, Way Apo Buru, Sintanur, Memberamo, dan beberapa varietas lainnya mulai menggeser pertanaman IR64 di beberapa sentra produksi padi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Di Indonesia pada mulanya hanya masyarakat Jawa dan Bali yang mengenal dominasi budidaya padi sawah, sehingga telah terjadi pemilahan bahwa padi sawah bergantung pada pengairan, dan padi tegalan bergantung pada hujan karena itu disebut juga padi tadah hujan. Hal ini mungkin karena tanah di Jawa dan Bali lebih subur dengan adanya gunung – gunung berapi di tengah kedua pulau. Dari waktu ke waktu gunung – gunung tersebut meletus dan mengeluarkan lahar yang menyuburkan tanah (Tjondronegoro, 2002).

Seperti disimpulkan oleh Geertz (1963) dalam Tjondronegoro (2002), kesuburan itu mengakibatkan bangsa – bangsa Timur semakin mundur pada umumnya. Sejarah mencatat bahwa setelah ekspansi plasma nutfah padi dari Timur ke Barat, panduduk di belahan Timur bumi seperti mandeg (stangnant) dan pertumbuhannya dibendung oleh penduduk di belahan Barat. Bila ditelusuri lebih lanjut, ternyata terjadi arus balik dan Barat berekspansi ke Timur dan Selatan.

Beras merupakan makanan pokok bagi separuh umat manusia. Penduduk Asia memproduksi dan mengkonsumsi 90% beras dari hasil padi yang ditanam. Di Asia Tenggara, beras menyediakan 70 – 80 % kalori dan 40 – 70 % protein bagi kebutuhan penduduknya. Bagi bangsa Asia, padi berarti kehidupan (Fagi et al, 2002).

(20)

5

B.

PEMUPUKAN PADI

Degradasi lahan pertanian merupakan salah satu masalah dalam pembangunan pertanian. Degradasi sumberdaya lahan pertanian yang dihadapi terutama adalah kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penerapan usaha tani konversi. Gejala terjadinya tanah “lapar pupuk” yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekedar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur – unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan – bahan organik.

Penambahan pupuk organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk organik muncul terutama karena masalah pencemaran lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap produk pertanian, dan aspek penting dari hal tersebut adalah penggunaan bahan organik sebagai pengganti sebagian atau seluruh pupuk kimia tanpa mengurangi tingkat produksi tanaman. Pupuk merupakan salah satu masukan yang mahal dalam sistem pertanian. Pemberian pupuk yang kurang dari mestinya menyebabkan produksi kurang optimal, sedangkan pemberian yang berlebihan akan mengakibatkan pemborosan dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pupuk harus diberikan secara rasional sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah.

Pemupukan pada tanaman padi merupakan hal yang tidak mudah, karena dosis pemupukan tanaman padi sangat relatif. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca atau iklim, jenis tanah, ketersediaan unsur hara dalam tanah, varietas tanaman padi, jenis pupuk yang diberikan dan cara pemberian pupuk. Oleh karena itu takaran pemberian pupuk dan waktu pemberian menjadi hal yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi.

Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu kunci dalam memperbaiki dan meningktakan produktivitas lahan pertanian. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang harus memperhatikan kadar unsur hara di tanah, jenis dan mutu pupuk, keadaan agroklimat, dan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk berproduksi optimal. Mengingat mahalnya harga pupuk, maka penggunaannya harus diefisienkan melalui pemupukan spesifik lokasi yang didasarkan pada data uji tanah. Untuk sementara ini takaran pupuk terutama P dan K dapat didasarkan pada peta P dan K yang telah disusun oleh Puslitbangtanak dan BPTP. Jumlah kebutuhan pupuk berdasarkan peta tersebut di sebagian besar provinsi jauh lebih rendah daripada rekomendasi saat ini. Namun diakui bahwa sebagian petani memupuk melampaui takaran anjuran. Oleh karena itu peran penyuluh lapangan harus ditingkatkan. (Rochayati dan Adiningsih, 2002). Pendekatan ini menguntungkan jika rekomendasi pemupukan dilandasi oleh uji tanah dan analisis tanaman bedasarkan metodologi yang tepat dan teruji.

Program pelayanan uji tanah disajikan pada Gambar 1. Contoh tanah Uji tanah Pemodelan

Petani Analisis Peneliti REKOMENDASI = Hasil meningkat

Lapang Lab.UT Komputer

Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan program pelayanan uji tanah.

(21)

6 Untuk menduga ketersediaan hara didalam tanah diperlukan uji tanah. Uji ini cukup sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang. Tujuannya adalah memberikan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang rasional kepada petani. Untuk mendukung program tersebut laboratorium uji tanah telah dikembangkan dengan fasilitas yang memadai, antara lain di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta; serta di beberapa perguruan tinggi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002).

Peluang peningkatan produktivitas lahan sawah di Indonesia masih terbuka melalui evaluasi insidensi dan penanganan hara selain N, P, dan K, yakni hara S dan Zn. Insidensi kekurangan S diduga cukup luas dan sudah diidentifikasi pada tanah Grumusol di Ngale (Jawa Timur) dan Sulawesi Selatan. Kecenderungan penggunan pupuk N dan P berkadar S rendah atau bebas S seperti urea dan TSP juga akan meningkatkan insidensi kekurangan S. Pada sebagian lahan sawah, kekurangan Zn merupakan faktor pembatas produksi setelah N dan P. Insidensi kekurangan Zn semakin meluas karena angkatan yang besar dan terus menerus dalam produk tanaman dan adanya fiksasi Zn oleh sulfida dalam tanah sawah (Radjagukguk, 2002).

C.

KAJIAN BEBERAPA STUDI TERDAHULU

Penelitian yang berkaitan mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi produksi dan adopsi teknologi baru pertanian telah banyak dilakukan, antara lain Yuliarmi (2006), Yanuar (1999), Anggraeini (2005), Buana (1997), Nahraeni (2000), Santoso et al (2001) dan lain – lain. Namun untuk kasus program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) belum ada yang menganalisis.

Yanuar (1999) menganalisis pendapatan dan produksi usahatani padi di lahan gambut di Desa Blang Ramee, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Barat, Propinsi Daerah Istemewa Aceh. Usahatani di Desa Blang Ramee merupakan usahatani yang dilakukan pada kondisi yang bergambut, dengan tingkat kematangan gambut hemic dan safrik yang kesuburannya rendah. Pengusahaan lahan masih rendah disebabkan ketersediaan modal, tenaga kerja dan kondisi lahan yang miskin unsur hara. Penggunaan faktor produksi juga masih sangat rendah dan belum sesuai anjuran PPL setempat. Teknologi budi daya yang diterapkan pada usahatani padi di Desa Blang Ramee ini masih sangat sederhana dan tanpa perlakuan khusus sesuai dengan kondisi lahan walaupun sebenarnya kondisi lahan di Desa Blang Ramee menuntut penggunaan yang lebih baik. Sehingga produktivitas lahan menjadi rendah.

Anggreini (2005) menganalisis usahatani padi pestisida dan non pestisida di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usahatani padi non pestisida lebih menguntungkan untuk dilakukan jika dibandingkan dengan usahatani padi pestisida di Desa Purwasari. Hal ini dapat dilihat dari nilai pendapatan usahatani padi non pestisida atas biaya tunai dan total yang lebih tinggi. Nilai R/C atas biaya tunai dan total yang lebih besar dari satu serta nilai imbangan penerimaan untuk tiap pekerja secara keseluruhan yang lebih besar daripada usahatani padi pestisida, baik pada saat musim kemarau maupun hujan. Faktor – faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi pestisida dan non pestisida adalah luas lahan, jumlah bibit dan pupuk KCl.

Buana (1997) menganalis tingkat adopsi teknologi budidaya padi sawah di Provinsi Sulawesi Tenggara melalui pendekatan Koefisien Kolerasi Peringkat Spearman. Hasil analisisnya memberikan gambaran bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi budi daya padi sawah tergolong sedang, petani telah melaksanakan budi daya padi sawah tetapi belum sesuai dengan rekomendasi penyuluh pertanian setempat. Karateristik internal (pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan

(22)

7 garapan, dan pendapatan) menunjukkan hubungan yang nyata dan bersifat positif, yang menjelaskan bahwa semakin tinggi pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan pendapatan semakin tinggi tingkat adopsi teknologinya sedangkan umur dan pengalaman berusahatani menunjukkan hubungan yang nyata dan besifat negatif, yang menjelaskan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun tingkat adopsi teknologinya.

Nahraeni (2000) dengan analis keputusan menggunakan model logit diperoleh hasil bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat terkait dengan faktor risiko, keyakinan dan pendapatan yang tinggi dari teknologi tersebut. Upaya – upaya pembinaan langsung lapang dan demonstrasi lapang lebih efektif dalam mendorong penerapan teknologi tabela di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Santoso, et al (2001) mengkaji mengenai tingkat penerapan teknologi Sitem Usaha Pertanian (SUP) padi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember yang dilakukakan pada tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 dengan analisis deskriptif memakai sistem skor. Hasil kajian menunjukkan bahwa adopsi teknologi anjuran pada sistem usahatani padi di wilayah pengkajian, belum sepenuhnya diadopsi oleh petani. teknologi anjuran yang diadopsi oleh petani peserta di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember sekitar 53 %, sedangkan teknologi anjuran yang terdifusi oleh petani non peserta mencapai sekitar 47 %. Adopsi teknologi telah berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi, yaitu sekitar 9 % dan 26 %. Agar adopsi teknologi anjuran dapat berlanjut, disarankan agar dorongan pemerintah daerah, pembinaan dan bimbingan melalui kelompok tani ditingkatkan.

Yuliarmi (2006) menganalisis produksi dan faktor – faktor penentu adopsi teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi. Hasilnya tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered berada pada kategoti sedang (60 - 75 %). Kalau dilihat dari tingkat produksi dan pendapatan, perbedaan produksi sebasar 976 kg dan perbedaan pendapatan yang diperoleh petani sebesar Rp 830,959. Permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi sawah di Kecamatan Plered adalah kurangnya modal petani untuk membeli sarana produksi dan membiayai upah tenaga kerja serta tidak adanya jaminan harga yang layak pada saat panen raya. Proses adopsi teknologi pemupukan berimbang di Kecamatan Plered dipengaruhi oleh faktor luas lahan, biaya pupuk, dan harga gabah, dimana semakin luas lahan petani, semakin kecil biaya pupuk, dan semakin tinggi harga gabah semakin besar peluang petani dalam mengadopsi teknologi pemupukan berimbang.

D.

PERTANIAN PRESISI

Pertanian presisi adalah sebuah konsep manajemen yang relatif baru, diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an dimana dimulai sebuah revolusi baru dalam manajemen sumber daya pertanian. Sejak diperkenalkan, pertanian presisi mendapatkan berbagai sebutan, yakni manajemen spesifik lokasi, pertanian spesifik lokasi, dan pertanian presisi, tetapi karakteristik umum yang mendasarinya adalah data yang diberikan dan penggunaan teknologinya. Meskipun penggunaan teknologi pertanian presisi dan peralatan meningkat, tingkat adopsi telah melambat dibanding dengan pertengahan dan akhir tahun 1990. Ada beberapa alasan perluasan penggunaan pertanian presisi tertunda (Murakami et al 2007). Alasan – alasan tersebut antara lain : (1) waktu untuk belajar peralatan dan perangkat lunak, (2) kurangnya ketrampilan elektronik, (3) kurangnya pelatihan bagi produsen dan industri, (4) menghubungkan pengumpulan data dan pengambilan keputusan, (5) kurangnya bantuan teknis, (6) kurangnya tenaga ahli lokal, (7) bekerja dengan data yang berbeda format, (8) hasil analisis data untuk membatasi faktor – faktor produksi, kesulitan dalam menjaga kualitas data, (9) penelitian dasar pada hasil dan hubungannya dengan tanah, dan (10) kebutuhan

(23)

8 peralatan pertanian presisi, teknik, perangkat lunak. Sebuah survey dari petani di Denmark menunjukkan bahwa meskipun mereka umumnya optimis tentang pertanian presisi, masalah utama telah menjadi kesulitan dalam membuktikan dalam hal keuntungan ekonomi dan lingkungan (Murakami et al, 2007).

Seminar (2011) menyatakan bahwa ketepatan dan kecepatan waktu produksi produk pertanian menjadi tuntutan pasar pertanian global. Pertanian presisi adalah paradigma pertanian yang memberikan perlakuan presisi dalam semua simpul – simpul rantai agribisnis. Isgin et al, (2008) menyatakan pertanian presisi yang juga dikenal sebagai pengelolaan tanaman spesfiik lokasi adalah manajemen berbasis teknologi pertanian. Beberapa teknik pertanian presisi juga dirancang untuk menyediakan data berharga dan terperinci sebagai informasi tentang kandungan hara dan kualitas tanah di lapangan. Informasi yang dikumpulkan dengan cara ini sangat berguna dalam membantu petani ketika membuat alokasi masukan keputusan yang lebih baik daripada menggunakan praktik konvensional dalam manajemen aspek di segala bidang. Pertanian presisi membantu petani untuk menghindari masukan (input) pada tanaman seperti benih, pupuk, kapur, dan bahan kimia lain melebihi jumlah yang dibutuhkan tanaman yang akan mengakibatkan pencucian atau limpasan permukaan menjadi polutan potensial. Dengan demikian, penggunaan teknologi pertanian presisi memungkinkan petani untuk memantau seluruh aspek usahatani dengan menyesuaikan tingkat aplikasi masukan untuk memaksimalkan tujuan produksi dan meminimalkan jumlah bahan kimia yang diberikan.

Pada akhir abad ke-20, pertanian presisi telah berkembang menjadi topik penelitian di dunia. Saat ini bidang yang paling berperan penting dalam kemajuan pertanian adalah melalui integrasi teknologi informasi ke dalam traktor, mesin dan alat pertanian lain. Namun yang cukup menarik adalah pertanian presisi selalu terkait dengan pemupukan spesifik lokasi. Petani mengharapkan penggunaan teknologi baru dapat menurunkan penggunaan pupuk sebesar dua kali lipat dengan hasil panen yang ralatif sama sengan hasil panen biasanya. (Auernhammer, 2001).

E.

APLIKASI PEMUPUKAN HARA SPESIFIK LOKASI

Pupuk merupakan input yang paling mahal dalam pertanian padi setelah tenaga kerja, namun pupuk yang diaplikasikan oleh petani sering kali tidak efisien. Inefisiensi penggunaan pupuk dapat disebabkan oleh penerapan nutrisi dalam jumlah dan waktu tidak serasi dengan kebutuhan tanaman. Hal ini dapat menurunkan keuntungan bagi para petani, dan aplikasi kelebihan pupuk dapat memiliki efek merugikan lingkungan. Sebagai prinsip umum, jumlah nutrisi diambil oleh tanaman secara langsung berkaitan dengan hasil panen. Petani harus menyesuaikan manajemen pupuk mereka agar sesuai dengan kebutuhan nutrisi tanaman untuk mencapai hasil yang tinggi dan menguntungkan. Hal ini memerlukan kombinasi yang tepat dari sumber pupuk, harga, dan waktu aplikasi untuk kondisi khusus mereka. Mengkombinasi dan memanajemen pupuk tertentu untuk diaplikasikan dalam lahan pertanian memerlukan pengambilan keputusan yang kompleks bagi petani. Pengembangan alat keputusan yang menyederhanakan kompleksitas dan intensitas pengetahuan pengelolaan hara di lapangan serta pedoman khusus untuk digunakan oleh penyuluh, penasihat tanaman, dan petani telah dirancang para ilmuwan IRRI.

Uji tanah talah lama digunakan untuk menilai status kesuburan tanah dan untuk mengestimasi kebutuhan pupuk dan perbaikan lahan. Selain dengan uji tanah, kebutuhan pupuk diestimasi dengan uji tanaman. Semua pengujian itu dikerjakan di laboratorium, sehingga diperlukan waktu dan biaya yang mahal. Ketelitian hasil uji tanah dan uji tanaman sangat bergantung kepada alat yang digunakan dan kepada pengalaman dan keterampilan petugas laboratorium. Seringkali anjuran pemupukan dengan menggunakan hasil interpretasi data uji tanah dan uji tanaman kurang memuaskan. Dengan

(24)

9 cara ini petani, sebagai pengguna, tidak terlibat langsung dalam evaluasi. SSNM (Site Spesifik Nutrient Management)dengan metode omission plot dapat digunakan dalam menentukan kebutuhan pupuk N,P,K tanaman padi tanpa laboratorium dan petani terlibat langsung dalam evaluasi (Fagi dan Kartaatmaja, 2004).

Para ilmuwan dari International Rice Research Institute (IRRI) dan organisasi - organisasi nasional di seluruh Asia, melalui sekitar 15 tahun penelitian mengembangkan Site Specific Nutrient Management (SSNM) untuk tanaman padi. SSNM menyediakan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan untuk secara efektif memasok nutrisi ke tanaman padi bila diperlukan. SSNM telah secara konsisten meningkatkan hasil padi dan keuntungan dalam evaluasi lapang di beberapa negara Asia. Prinsip-prinsip dan manfaat dari praktik perbaikan manajemen nutrisi yang baik telah didokumentasikan dalam publikasi ilmiah, buku panduan, dan situs web (IRRI, 2010). Manajemen pupuk optimal untuk sawah tergantung dari hasil panen, varietas, sisa panen (residu tanaman), jumlah dan kualitas tambahan bahan organik, masukan nutrisi dari sedimen dan banjir musiman, dan ketersediaan air setempat pada musim tanam tertentu.

IRRI dan mitra nasional bekerja sama untuk menggunakan prinsip-prinsip SSNM dan pengetahuan yang ada pada pengelolaan hara untuk mengembangkan pedoman khusus pengelolaan hara. Pada tahun 2008, hal ini melahirkan versi pertama dari inovasi alat yang mudah digunakan, interaktif dan berbasis komputer yang bernama Nutrient Management for Rice. Nutrient Management

dirancang untuk membantu penyuluh pertanian, penasihat tanaman, dan petani dengan merumuskan rekomendasi pemupukan yang disesuaikan dengan kondisi lahan tertentu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi di lapangan. Mulai tahun 2008, versi Nutrient Management for Rice

khusus dirancang untuk budidaya padi di Filipina, dirilis dan didistribusikan melalui CD (Compact Disc) di seluruh Filipina. Versi lain dari Nutrient Management for Rice disesuaikan dengan penanaman padi di Indonesia dirilis dalam bahasa Indonesia dan didistribusikan pada CD di Indonesia dengan nama PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi).

Difusi alat keputusan Nutrient Management for Rice melalui CD diperlambat oleh tingkat di mana CD bisa mencapai pengguna akhir di daerah pedesaan. Distribusi melalui CD juga membatasi memperbarui secara cepat inovasi PHSL jika terdapat temuan penelitian baru. Pada tahun 2009,

Nutrient Management for Rice untuk Filipina dirilis berbentuk aplikasi Web untuk mempercepat difusi, dan kemudian pada tahun 2010 itu terus diperbarui (IRRI 2010a). Pada Gambar 2 akan dipaparkan tampilan muka saat mengakses aplikasi PHSL melalui www.webapps.irri.org/nm

Gambar 2. Tampilan aplikasi PHSL (NM RiceWeb) dan beberapa pertanyaannya. (www.webapps.irri.org/nm)

(25)

10 Aplikasi WebNutrient Management for Rice di Filipina saat ini disebut dengan NMRiceWeb. Aplikasi ini memberikan rekomendasi pemupukan untuk sawah tadah hujan dan irigasi dengan kondisi lahan musim tanam tunggal, musim tanam ganda, atau tiga musim tanam. Biaya pemupukan dan waktu disesuaikan untuk mengakomodasi penggunaan sumber nutrisi organik dan masukan nutrisi dari sedimen yang dibawa oleh banjir. Alat ini memberikan rekomendasi pemupukan untuk tingkat hasil yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan dapat menghitung analisis keuntungan sederhana untuk alternatif manajemen pupuk. Pada Gambar 3 dipaparkan keluaran dari aplikasi PHSL setelah menjawab semua pertanyaan yang diajukan meliputi rekomendasi pemupukan, perkiraan biaya dan keuntungan dari pemupukan, gambaran dengan penggunaan BWD.

Gambar 3. Hasil rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui Web setelah menjawab semua pertanyaan. (www.webapps.irri.org/nm)

Pada tahun 2010, di Filipina telah dikembangkan aplikasi rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi yang dapat diakses melalui ponsel. Hal ini dilakukan agar dapat menjangkau lebih banyak petani untuk menggunakannya. Potensi ponsel sebagai sumber informasi bagi petani sangat besar di negara seperti Filipina. Para ilmuwan dan teknologi informasi (TI) ahli di IRRI, dengan dukungan dari organisasi nasional dan perusahaan telepon swasta, mengembangkan aplikasi ponsel atau NMRiceMobile, sebagai alternatif untuk aplikasi Web di daerah pedesaan tanpa akses internet. Perusahaan telepon swasta menyediakan nomor bebas pulsa untuk mengakses NMRiceMobile dengan menggunakan respon suara interaktif melalui ponsel.

(26)

11 Dengan adanya NMRiceMobile di Filipina, petani dapat memanggil nomor bebas pulsa. Setelah petani terhubung, suara prompt otomatis menginstruksikan pemanggil untuk menjawab pernyataan – pertanyaan (lampiran 2) tentang kondisi lahan secara spesifik dengan menekan nomor yang sesuai pada keypad ponsel. Setelah petani menjawab semua pernyataan, rekomendasi pupuk lapangan khusus dikirim ke telepon pemanggil sebagai pesan teks. Namun demikian, aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Indonesia masih berbayar (belum bebas pulsa). Gambar 4 akan menampilkan contoh pesan teks yang diterima nomor yang mengakses aplikasi PHSL melalui ponsel.

Gambar 4. Pesan teks yang diterima setelah mengakses NMRiceMobile.

NMRiceWeb dan NMRiceMobile di Filipina adalah aplikasi sepenuhnya kompatibel yang membutuhkan informasi lahan petani, berbagi database umum dan perhitungan, dan menghasilkan rekomendasi pemupukan untuk petani dan penyuluh berdasarkan tanggapan atas pertanyaan. Rekomendasi pemupukan yang diberikan terdiri dari jumlah pupuk untuk diterapkan dengan tahap pertumbuhan tanaman padi. Aplikasi ini mengakomodasi benih padi, termasuk varietas inbrida dan hibrida dengan berbagai jangka waktu pertumbuhan. NMRiceWeb dan NMRiceMobile memberikan panduan yang konsisten dengan prinsip-prinsip ilmiah SSNM untuk padi. Kedua aplikasi tersedia dalam bahasa Inggris dan lokal dipahami dan digunakan oleh petani. Di Indonesia sendiri telah tersedia dalam 5 bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Bugis dan Bali.

Pengembangan aplikasi Nutrient Management for Rice dimungkinkan melalui kemitraan antar organisasi, termasuk pusat penelitian nasional pertanian, penyuluhan, dan sektor swasta. Aplikasi

Nutrient Management for Rice bertujuan untuk memberikan praktik perbaikan manajemen nutrisi yang memungkinkan petani mendapatkan hasil panen yang lebih tinggi dan keuntungan finansial yang lebih tinggi. Aplikasi ini menyesuaikan waktu untuk memberikan pupuk Nitrogen untuk lebih cocok tahap pertumbuhan tanaman kritis, menyesuaikan tingkat pupuk untuk hasil yang diharapkan, dan menyesuaikan manajemen pupuk kalium berdasarkan Kalium yang dipasok dari penggunaan sisa tanaman dan penggunaan sumber nutrisi organik.

Web aplikasi Nutrient Management for Rice sedang dikembangkan untuk padi, gandum, dan jagung di negara-negara di seluruh Asia. Pengembangan dan perilisan aplikasi Web memberikan kesempatan bagi perkembangan selanjutnya dari aplikasi ponsel. Web dan aplikasi ponsel di masa depan memiliki potensi untuk menghubungkan petani dengan pemasok pupuk di dekatnya. Nutrient Management akan diperluas untuk menyediakan petani dengan praktik terbaik manajemen tanaman seperti persiapan lahan, kualitas benih, irigasi, dan manajemen hama di samping pengelolaan hara.

Web dan aplikasi ponsel Nutrient Management for Rice membantu mengkoordinasi keputusan yang kompleks dan membutuhkan pengetahuan untuk membuatnya menjadi mudah untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan bagi para penyuluh, penasihat tanaman, dan petani.

(27)

12

F.

ADOPSI TEKNOLOGI

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi suatu organisasi dalam rangka menjalankan tugasnya serta mewujudkan visi dan misinya antara lain dilakukan dengan menerapkan teknologi komunikasi sebagai salah satu media dalam pengelolaan informasi. Penerapan teknologi suatu organisasi disebabkan oleh beberapa hal yang berbeda satu sama lain, antara lain : kebutuhan dan kepentingan organsasi itu sendiri, kebijakan pemerintah atau paksaan dari negara – negara maju. Dalam penerapan teknologi komunikasi perlu memeprhatikan struktur organisasi yang menampung hasil inovasi baru, kemamupuan teknis sumbeir daya manusia dan budaya yang yang ada dalam organisasi.

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengacu pada penggunaan peralatan elektronik (terutama komputer) untuk memproses suatu kegiatan tertentu. TIK mempunyai kontribusi yang potensial untuk berperan dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang signifikan. Di Indonesia, bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu dari enam bidang fokus utama pengembangan iptek, yaitu : (1) Ketahanan pangan, (2) Sumber energi baru dan terbarukan, (3) Teknologi dan manajemen transportasi, (4) Teknologi informasi dan komunikasi, (5) Teknologi pertahanan, dan (6) Teknologi kesehatan dan obat – obatan. Dalam mendukung kegiatan pembangunan pertanian berkelanjutan, TIK memiliki peranan sangat penting untuk mendukung tersedianya informasi pertanian yang relevan dan tepat waktu.

Saat ini teknologi komunikasi telah berkembang pesat dengan khususnya internet, hal ini diasumsikan memberikan peluang besar oleh para pelaku bisnis dan organisasi tertentu. Internet telah dianggap memberikan peluang besar yang bisa dimanfaatkan untuk sektor pemberian informasi secara cepat, mudah, murah dan tanpa batasan waktu. Namun, dalam bidang pertanian teknologi ini belum banyak dimanfaatkan.

Dengan tidak adanya wadah yang menampung hasil inovasi berpengaruh pada proses difusi inovasi yang menimbulkan kecenderungan untuk menolak, karena individu merasa tidak jelas dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan hasil inovasi yang telah diadopsi oleh organisasi. Selain penolakan ataupun keterlambatan penerimaan disebabkan adanya budaya dan kemampuan teknis. Budaya yang ada dan telah lama berkembang serta menjadi kepercayaan yang merupakan pegangan bagi setiap anggota organisasi. Dengan kondisi tersebut masuknya budaya yang dibawa oleh teknologi yang diadopsi menimbulkan pro dan kontra di tengah – tengah suatu masyarakat. Pro dan kontra tersebut tercermin dalam berbagai sikap dan tanggapan dari anggota masyarakat yang bersangkutan, ketika proses yang dimaksud berlangsung di tengah – tengah mereka. Sedangkan kemampuan teknis yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam kondisi tidak terlatih untuk menggunakannya. Menurut Rogers (1995) diacu dalam Soekartono (2008), organisasi dibuat untuk menangani tugas – tugas rutin dalam skala besar melalui suatu aturan tentang hubungan antar manusia. Struktur diperlukan untuk menampung hasil inovasi, selain itu dapat menjadi penghubung antara satu inovasi dan inovasi yang lain sehingga dapat saling terkait yang pada akhir akan terintegrasi secara sisteman.

Program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) merupakan suatu inovasi teknologi yang dikembangkan oleh IRRI (International Rice Research Institute), Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanain. Aplikasi ini ditujukan pada PPL dan petani sebagai pedoman atau rekomendasi pemupukan yang tepat, efektif dan efisien. Aplikasi PHSL berpedoman kepada pemupukan berimbang dan pembangunan pertanian berkelanjutan. Aplikasi PHSL sebisa mungkin dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia yang dapat menurunkan kualitas lahan, serta memaksimalkan kandungan organik yang ada pada lahan sawah.

(28)

13 Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian berkelanjutan pun sangat dimensi dan interpretasi. Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini, para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi 2004 dalam Lubis 2010). Konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang, dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan.

Soekartono (2008) menyatakan bahwa difusi (penyebar serapan) inovasi terdiri dari unsur – unsur : (1) inovasi (inovation), (2) saluran komunikasi (communication channels), (3) waktu (time), dan (4) sistem sosial (social system). Inovasi merupakan suatu ide, cara – cara ataupun objek yang dioperasikan seseorang sebagai sesuatu yang baru. Baru tidaklah semata – mata dalam ukuran waktu sejak ditemukan atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Saluran komunikasi digunakan untuk menyebarluaskan inovasi yang telah diadopsi oleh organisasi kepada masyarakat ataupun kepada anggotanya. Saluran komunikasi yang digunakan untuk penyebarluasan inovasi kepada masyarakat luas dilakukan melalui media elektronik, media cetak maupun media baru. Waktu, selain itu dalam penyebarluasan inovasi kepada karyawan diperlukan adanya waktu dan adanya pemahaman terhadap sistem sosial yang ada dalam organisasi seperti budaya. Sistem sosial, setiap organisasi memiliki satu budaya atau lebih yang memuat perilaku – perilaku yang diharapkan tertulis atau tidak tertulis. Budaya suatu kelompok dapat digolongkan sebagai seperangkat pemahaman atau makna yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang.

Dalam difusi inovasi terdapat faktor untuk pertimbangan bagi adopter (penerima inovasi) untuk menerima atau menolak. Terdapat lima karakteristik yang menandai setiap gagsan atau cara baru, diterima atau ditolak oleh masyarakat, yaitu :

1. Keuntungan – keuntungan relatif (relative advantages), yaitu sejauhmana inovasi, cara – cara atau gagasan baru ini memberikan suatu keuntungan bagi mereka yang menerimanya.

2. Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak di difusikan tersebut serasi dengan nilai – nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lebih dahulu diperkanalkan sebelumnya, kebutuhan, selera, adat – istiadat dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan.

3. Kerumitan (complexity), yaitu apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal – hal yang rumit, sebab selain sukar untuk dipahami juga cenderung dirasakan merupakan tambahan beban yang baru.

4. Dapat dicobakan (trialability), yaitu bahwa suatu inovasi akan lebih cepat diterima bila dapat dicobakan dulu dalam ukuran kecil sebelum adopter terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Hal ini adalah cerminan prinsip manusia yang selalu ingin menghindari risiko yang besar dari perbuatannya.

5. Dapat dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka adopter akan lebih mudah untuk mempertimbangkan menerimanya, daripada bila inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat diwujudkan dalam pikiran atau hanya dapat dibanyangkan.

Penerimaan inovasi seseorang atau organisasi dilakukan melaui sejumlah tahapan yang disebut tahap putusan inovasi : (1) Tahap pengetahuan (knowledge), tahap dimana seseorang sadar, tahu, bahwa ada sesuatu inovasi, (2) Tahap bujukan (persuation), tahap ketika seseorang sedang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahui tadi, (3)

(29)

14 Tahap putusan (decision), tahap dimana adopter membuat keputusan meneriam atau menolak inovasi yang diperkenalkan, (4) Tahap implementasi (implementation), tahap dimana adopter melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya mengenai suatu inovasi, dan (5) Tahap pemastian (confirmation), tahap dimana adopter memastikan putusan yang telah diambilnya tersebut.

Dalam keputusan yang dilakukan individu atau adopter ada kemungkinan untuk melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikannya (discontinuance). Bisa saja individu atau

adopter yang menolak inovasi terus mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption) atau tetap menolak (continued rejecttion)sesuai dengan informasi yang diterimanya. Demikian dengan kategorinya, individu yang mengadopsi suatu inovasi (adopter) atas lima kategori sebagai berikut :

1. Innovator, kelompok kosmopolit yang berani dan gemar dengan pembaharuan.

2. Early Adopter, kelompok yang terdiri dari pemimpin informal sebagai panutan bagi adopter selanjutnya.

3. Early Majority, kelompok yang biasanya menjadi anggota tetapi lebih awal mengadopsi inovasi daripada anggota lain.

4. Late Majority, kelompok yang bertindak menjauhi risiko. 5. Laggard, kelompok yang tradisonal.

Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan TIK menjadi sangat komplek dan sulit untuk diadopsi. TIK sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani. Hal ini ditunjukkan ketika beberapa lembaga penelitian dan pengembangan menyampaikan studi kasus yang mendeskripsikan bagaimana TIK telah dimanfaatkan oleh petani dan stakeholders usahawan pelaku bidang pertanian sehingga memperoleh peluang yang lebih besar untuk memajukan kegiatan usahataninya. Keberhasilan pemanfaatan TIK oleh petani di Indonesia dalam memajukan usahataninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Community Training and Learning Centre (CLTC) di Pancasari (Bali) dan Pabelan (Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential.

G.

PERAN PENYULUH PERTANIAN

Pengembangan usahatani tidak terlepas dari peran kelembagaan yang terdiri dari beberapa instansi yang menyangkut penelitian maupun penyuluhan. Instansi baik pemerintah maupun swasta yang melakukan penelitian dan pengembangan pertanian merupakan tempat menghasilkan teknologi baru yang akan diadopsi oleh petani sebagai subjek pertanian. Penyuluh pertanian mempunyai peran dalam proses alih teknologi sehingga dapat diadopsi oleh petani. Cepat atau lambatnya proses adopsi teknologi oleh petani tergantung pada kinerja penyuluh pertanian di lapangan.

Penyuluh pertanian menyangkut bidang tugas yang amat luas dan berhubungan dengan administrasi pemerintah untuk membantu petani melaksanakan manajemen usahatani sebaik – baiknya, menuju usahatani yang efisien dan produktif. Koordinasi dari semua tugas ini merupakan fungsi dari penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penyuluhan pertanian dapat juga disebut bentuk pendidikan nonformal. Suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sasarannya disesuaikan dengan kepentingan, keadaan, waktu, maupun tempat petani. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemampuan serta menambah wawasan petani dalam melaksanakan usaha taninya. Melalui penyuluhan diharapkan akan terjadi perubahan perilaku petani, sehingga mereka dapat memperbaiki cara bercocok tanam agar lebih besar penghasilan dan lebih layak hidupnya (Daniel, 2002).

(30)

15 Kegiatan penyuluh pertanian meliputi : (1) memfasilitasi proses pembelajaran petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis, (2) memberikan rekomendasi dan mengusahakan akses petani dan keluarganya ke sumber – sumber informasi dan sumber daya yang akan membantu mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (3) membantu menciptakan iklim usaha yang menguntungkan, (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial ekonomi yang tangguh dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluh sebagai lembaga mediasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis.

Tugas penyuluhan pertanian terutama menyangkut usaha membantu petani agar senantiasa meningkatkan efisiensi usaha tani. Sedangkan bagi petani, penyuluhan itu adalah suatu kesempatan memperoleh pendidikan diluar sekolah, di mana mereka dapat belajar sambil berbuat (learning by doing). Para petani yang hidup dalam lingkungan pertanian yang sempit selalu disadarkan akan adanya berbagai praktik dan kesempatan baru yang dimanfaatkan. Praktik – praktik dan penemuan - penemuan baru dalam teknologi ini kadang – kadang terdapat tidak jauh dari tempat tinggal petani walaupun sering juga berasal dari daerah – daerah yang jauh atau bahkan dari luar negeri. Fungsi untuk memperkenalkan hal – hal baru ini pada para petani setempat inilah yang merupakan masalah pokok dari penyuluhan pertanian. Bila dilakukan percobaan atau demonstrasi di lingkungan petani, petani akan melihat sendiri sampai di mana hal – hal baru tersebut benar – benar cocok dengan keadaan setempat. Jika memang demikian, makan kemudian petani akan mempertimbangkan untung dan ruginya. Setelah secara teknis dan ekonomis dianggap menguntungkan barulah petani memutuskan untuk menerima dan mempraktikkan penemuan baru ini.

Gambar

Tabel 1.   Produksi, konsumsi, jumlah impor, luas areal dan hasil padi di beberapa negara pada tahun  2005  Negara   Produksi gabah  Konsumsi  Jumlah impor  Luas areal  tanaman  padi  Luas lahan yang dapat ditanami  %  dari beras dunia  Hasil  Luas  areal
Gambar  3.  Hasil  rekomendasi  pemupukan  aplikasi  PHSL  melalui  Web  setelah  menjawab  semua       pertanyaan
Gambar 4. Pesan teks yang diterima setelah mengakses NMRiceMobile.
Gambar 6. Kerangka Penelitian di Desa Jembungan.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Lokus SSR terpilih tersebut dengan tambahan marka identifier dapat digunakan untuk membuat ID varietas lokal kedelai Indonesia pada koleksi plasma nutfah.. Jadi set marka

Maka keselruhan kuesioner pada variabel Y (Dampak Kinerja Karyawan) dapat dikatakan reliabel (0,935 ≥ 0,70), sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ukur yang digunakan untuk

Berdasarkan hasil ulangan harian diperoleh sebanyak 32 peserta didik hanya 13 peserta didik (41%) yang memenuhi standar ketercapaian KKM, sedangkan 19 peserta didik (59%)

Dari hasil pengamatan dan idenlifikasi lerhadap Ymmaba, dite mu kan simbo l· simbol nonverbal yang mengadung konsepsi atau makna sikap kebersamaan yang mencakup: (I)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh air terhadap kohesi dan sudut gesek dalam yang berdampak pada kekuatan geser batuan.Contoh batuan berupa

Percayalah Ia akan memenuhi hidup kita semua sehingga kita bisa berlari kembali dan memenuhi panggilanNya untuk melakukan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah jauh sebelum

Berpedoman pada hasil penilaian kesesuaian lahan, terdapat 4 sifat lahan yang berperan sebagai faktor pembatas untuk mendukung budidaya kayu putih di RPH Gubugrubuh yaitu

Setelah diolah hipotesis yangdiajukan dalam penelitian ini seluruhnya diterima dan didukung oleh data empirik sehingga dapat ditafsirkan bahwa (1) Kepemimpinan