1
JUAL BELI TANAH TEGALAN YANG BELUM BERSERTIPIKAT DAN AKIBAT HUKUMNYA DI DESA SINGAMERTA KECAMATAN
SIGALUH KABUPATEN BANJARNEGARA Barly Astriana Mekarmelati*, Sri Wahyu Ananingsih, Suparno Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
E-mail : barlyastriana@gmail.com
Abstrak
Hukum tanah di Indonesia didasarkan pada Hukum Adat. Hal ini terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Salah satu cara untuk menguasai atau memiliki hak atas tanah adalah dengan proses jual beli tanah. Sebelum melakukan jual beli, tanah harus didaftarkan terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan agar memperoleh sertipikat tanah sebagai alat bukti kemudian, jual beli tanah dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat yang melakukan jual beli tanah yang belum bersertipikat. Masyarakat melakukan jual beli tanah secara hukum adat yaitu jual beli tanah di bawah tangan. Jual beli tanah tersebut hanya berdasarkan kesepakatan antara pihak penjual dan pihak pembeli.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Spesifikasi penelitian yang digunakan yaitu deskriptif analitis. Pengumpulan data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Dalam penelitian ini setelah data primer dan data sekunder dikumpulkan, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara. Dari hasil penelitian di Desa Singamerta masih banyak masyarakat yang melakukan jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat di bawah tangan. Faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, yaitu masyarakat tidak memahami mengenai prosedur jual beli tanah, ada anggapan bahwa proses jual beli tanah di bawah tangan itu cepat, dan ada anggapan bahwa mensertipikatkan tanah memerlukan biaya yang mahal dan proses yang lama. Akibat hukum jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat yang dilakukan secara di bawah tangan meskipun telah memenuhi syarat sah jual beli, namun peralihan hak atas tanah tersebut belum dapat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan karena tidak memiliki akta jual beli tanah dari PPAT. Sehingga, kepastian hukum dan kepastian haknya belum didapat karena tanah tersebut belum bersertipikat. Jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat yang dilakukan secara di bawah tangan dapat menimbulkan masalah-masalah, penyelesaian dari permasalahan yang muncul yaitu melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan para pihak, apabila tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah maka permasalahan tersebut diselesaikan melalui jalur Pengadilan Negeri.
Kata kunci: Jual Beli Tanah, Akibat Hukumnya Abstract
Indonesian land law based on customary law. It is found in article 5 of the Basic Agrarian Law (BAL). One of the ways to control or have the land rights is the process of land sale. Before to land sale, the land must be registered in the Land Office to obtain a certificate of land as evidence, then land sale is done in the presence of Land Deed Official. However, in reality there are many people who doing land sales that has not been certificate. Peoples were doing land sales in customary law called sale underhand. Land sale based on agreement between the seller and the buyer.
Approach method applied in this research is method yuridis empiris. Specification of research applied is descriptive analysis. Data type applied is primary data and secondary data. Method applied in data analysis is qualitative method. In this research after primary data and secondary data be collected, and then conducted a qualitative analysis.
2 This research was conducted in the Singamerta village Sigaluh District of Banjarnegara regency. From the results of research in the Singamerta village there are still many people who do the sale and purchase land of moor that has not been certificate in sale underhand. Factors that caused it to happen is not in accordance with applicable laws are that peoples don't understand about the procedure of the sale and purchase of land, peoples was thought that the process of the sale and purchase of land in sales underhand is quickly, and peoples was thought that doing certificate land costly expensive and lengthy process. The legal consequences of the sale and purchase land that haven't certificate which conducted in sales underhand despite having been qualified legitimate purchase, but the transition of land rights are yet to be registered in Land Office because it doesn't have the deed of sale of the land from Land Deed Official. Thus, legal certainty and certainty of rights has not been obtained because the land wasn't certificate. The sale and purchase land of moor that haven't certificate conducted in sale underhand can lead to problems, settlement of the problems that arise are discussion in advance by the parties, if it can not be resolved by discussion, the matter resolved by the District Court.
Keywords : Land purchase, Due to Statute I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah bagi kehidupan manusia merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti penting. Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai negara atas tanah. Salah satu cara untuk menguasai atau memiliki hak atas tanah adalah dengan proses jual beli tanah.
Jual beli tanah menurut sistem hukum adat adalah perbuatan hukum penyerahan tanah oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat pembeli menyerahkan harganya. Menurut sistem hukum barat jual beli tanah dianggap telah terjadi dengan tercapainya kata sepakat antara penjual dengan pembeli seperti yang tercantum dalam Pasal 1458 KUH Perdata.
Prosedur jual beli tanah yang sesuai dengan peraturan tanah harus didaftarkan terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan agara memperoleh sertipikat tanah sebagai alat bukti kemudian, jual beli dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) supaya dibuat akta jual beli tanah.
Kenyataannya tidak semua masyarakat mengetahui hal itu, sehingga masih banyak masyarakat yang pada masa sekarang melakukan proses jual beli tanah belum sesuai dengan aturan tersebut. Sebagai contoh masyarakat di Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara yang memiliki tanah tegalan, sering kali melakukan praktik jual beli tanah tegalan secara hukum adat. Proses jual beli tanah dilakukan dihadapan kepala desa, bersifat kontan/tunai, terang dan riil. Selain itu, masih banyak juga masyarakat yang melakukan jual beli tanah tegalannya tidak di hadapan kepala desa beserta saksinya yaitu kepala dusun setempat. Masyarakat hanya melakukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak dan menulis di selembar kwitansi untuk bukti pembayaran, setelah itu baru melapor kepada kantor desa bahwa hak atas tanah tersebut sudah berpindah.
Sebagian masyarakat ada pula yang melakukan jual beli tanah hanya berdasarkan kesepakatan kedua pihak saja, kemudian melakukan pembayaran tanpa menggunakan kuitansi maupun surat
3 perjanjian jual beli tanah dan tidak
dilakukan di hadapan kepala desa, sehingga tidak ada bukti jual beli tanah secara tertulis. Tanah tersebut tidak bersertipikat, namun dikuasai secara nyata oleh pemilik tanah. Bukti akan hal itu ditandai dengan keberadaan rumah di atasnya atau ditanami dengan tanaman tumbuh. Sebagian besar pemilik tanah di Desa Singamerta hanya memiliki petuk
pajak atau SPPT (Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang). B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah sebagai berikut :
1.Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat Desa Singamerta melakukan jual beli tanah tegalan di bawah tangan? 2.Bagaimana akibat hukum jual beli
tanah tegalan yang belum bersertipikat di bawah tangan? 3.Bagaimana penyelesaian terhadap
permasalahan yang timbul sehubungan dengan jual beli tanah tegalan di bawah tangan di Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara?
II. METODE
Metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis. Metode penelitian menyangkut masalah kerjanya, yaitu cara kerja untuk dapat memahami yang menjadi sasaran penelitian yang bersangkutan,
meliputi prosedur penelitian dan teknik penelitian.1
A. Metode Pendekatan Penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Pendekatan yuridis adalah pendekatan yang ditinjau dari peraturan-peraturan yang merupakan data sekunder, sedangkan pendekatan empiris
adalah penelitian yang
mempergunakan data primer.2 Data primer yaitu melalui wawancara. B. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif analitis. Deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.3 Analitis adalah mengelompokkan, menghubungkan, membandingkan dan memberikan makna pada kasus-kasus yang berkaitan dengan praktik jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat dan akibat hukumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realitas atau kenyataan yang kemudian diadakan penganalisaan tentang realitas tersebut berdasarkan teori-teori hukum yang ada.
C. Populasi dan Metode Penentuan Sampel
1
M.Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal 20.
2
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal 10.
3
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hal 43.
4 Penelitian ini berkaitan dengan
jual beli tanah, maka untuk memperoleh data dan keterangan dilakukan survei ke lapangan terlebih dahulu untuk menentukan wilayah penelitian, populasi, dan sampel yang akan diteliti.
1. Lokasi
Lokasi penelitian ini terletak di Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banajrnegara, Provinsi Jawa Tengah.
2. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang berkaitan dengan jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat di Desa Singamerta.
3. Sampel
Dalam penelitian ini peneliti akan memberikan sampel yaitu Kepala Desa dan Sekretaris Desa Singamerta, Kepala Urusan
Umum Kantor Pertanahan
Banjarnegara, Staff Kantor Pertanahan Banjarnegara, Notaris dan PPAT, 2 (dua) orang penduduk Desa Singamerta yang melakukan jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat.
D. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang
dikumpulkan langsung di lapangan oleh peneliti dengan cara pengumpulan data observasi dan wawancara dari narasumber (responden). Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber yang telah ada atau
melalui bahan kepustakaan (library research).
E. Metode Analisis Data
Analisis data bertujuan agar data dapat diberi arti makna yang berguna
dalam memecahkan
masalah-masalah penelitian. Bentuk analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Dalam penelitian ini setelah data primer dan data sekunder dikumpulkan, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kejelasan masalah yang terkait dengan jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat dan akibat hukumnya di Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Desa Singamerya Melakukan Jual Beli Tanah Tegalan di Bawah Tangan
Masyarakat Desa Singamerta termasuk masyarakat yang masih menggunakan aturan Hukum Adat. Tanah-tanah di desa tersebut kebanyakan adalah tanah warisan dan belum bersertipikat, hanya memiliki petuk pajak atau SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang). Tanah yang diperjual belikan di Desa Singamerta sebagian besar berupa tanah tegalan.
Jual beli tanah tegalan di Desa Singamerta biasanya terjadi antar kerabat atau saudara, jika dalam keluarga atau saudara tidak ada yang mau membeli tanah tersebut, maka tanah yang akan dijual ditawarkan kepada tetangga sekitar atau warga di
5 lain dusun. Jarang sekali masyarakat
Desa Singamerta menjual tanahnya kepada orang dari luar Kabupaten Banjarnegara.
Secara hukum adat, jual beli tanah dikatakan terjadi apabila penjual dan pembeli ada kesepakatan harga lalu baru dibayarkan oleh pembeli dan pembayaran itu disaksikan oleh Kepala Desa dan saksi lain yaitu Kepala Dusun masing-masing. Namun, di Desa Singamerta pelaksanaan jual beli tanah oleh masyarakat terjadi hanya antar kedua pihak saja dan tidak melibatkan Kepala Desa sebagai saksi dalam jual beli tanah. Praktiknya pihak penjual hanya melaporkan ke Kepala Desa bahwa tanah yang bersangkutan sudah berpindah tangan ke pihak pembeli.
Menurut hukum adat jual beli tanah memiliki sifat kontan/tunai, terang dan riil, namun berdasarkan penjelasan di atas, masyarakat Desa Singamerta belum melaksanakan proses jual beli tanahnya secara terang yaitu di hadapan Kepala Desa dan riil yaitu di hadapan Kepala Desa dengan dibuatnya surat pernyataan dari penjual bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli dan pembeli menerima harga yang ditentukan.
Masih banyaknya masyarakat yang melakukan jual beli tanah tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku disebabkan, karena :
a. Sebagian masyarakat tidak memahami mengenai prosedur jual beli tanah.
Masyarakat yang tidak mengerti aturan yang berlaku, biasanya hanya melaporkan kepada kepala desa untuk mengubah nama yang ada di letter C desa, sehingga keterangan
tersebut dapat digunakan untuk mengubah data yang ada di SPPT.
Jual beli tanah yang terjadi di Desa Singamerta terhadap tanah yang belum bersertipikat hanya dilakukan di antara pihak penjual dan pembeli tanpa disertai dengan akta jual beli, karena jual beli tanah dilakukan dengan jual beli di bawah tangan. Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa pemindahan hak atas tanah dapat dilakukan dengan bukti akta yang dibuat oleh PPAT sedangkan di dalam Pasal 37 ayat (2) menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh Menteri, Kepala Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenaran dianggap cukup untuk medaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Maksud dari ketentuan itu diberikan untuk daerah-daerah yang terpencil dan belum ditunjuk PPAT Sementara untuk memudahkan rakyat melaksanakan perbuatan hukum mengenai tanah. b. Adanya anggapan bahwa proses jual beli tanah di bawah tangan itu cepat.
Pada kenyataannya, tidak semua dusun yang ada di Desa Singamerta terpencil, hanya Dusun Dirun saja yang memang letaknya di atas bukit
sehingga, menyulitkan
masyarakatnya untuk pergi ke kota. Selebihnya masyarakat Dusun Krajan dan Dusun Karanganyar lebih mudah aksesnya untuk ke PPAT
6 yang ada di kota, namun tetap saja
masyarakat lebih memilih untuk melakukan jual beli tanah di bawah tangan, karena prosesnya yang cepat dan bisa langsung menerima hasil dari penjualan tanah tersebut.
c. Adanya anggapan bahwa mensertipikatkan tanah memerlukan biaya yang mahal dan proses yang lama.
Masih banyak masyarakat yang lebih memilih menunggu adanya Prona dari Kantor Pertanahan untuk mensertipikatkan tanahnya, karena masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya. Masyarakat Desa Singamerta
beranggapan apabila
mensertipikatkan tanahnya secara individu atau melalui PPAT membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal.
Anggapan masyarakat
mensertipikatkan tanah memerlukan biaya mahal dan prosesnya yang lama tidak dibenarkan oleh Hariadi selaku Kepala Urusan Umum Kantor Pertanahan Kabupaten Banjarnegara. Menurut Hariadi yang membuat lama melakukan proses pensertipikatan bukan dari Kantor Pertanahan, melainkan tergantung dengan jenis tanahnya. Seperti contohnya tanah negara maka harus memakai proses pelepasan hak terlebih dahulu. Namun, apabila tanah adat maka harus ada pengumuman pengakuan hak minimal 2 bulan, kemudian baru bisa melakukan proses verifikasi pemeriksaan tanahnya. Pengakuan hak terdiri dari pendaftaran,
pemeriksaan, pengukuran,
pengumuman, kemudian dibuatnya sertipikat. Apabila sesuai dengan prosedur maka memerlukan waktu paling lama 140 hari kerja, ketentuan
mengenai waktu diatur dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar
Pelayanan dan Pengaturan
Pertanahan. Lama tidaknya proses pensertipikatan juga tergantung dengan pemilik tanahnya, apabila persyaratan yang diserahkan kepada desa belum lengkap maka, Kantor Pertanahan belum bisa menerimanya persyaratan tersebut, sehingga tidak
bisa langsung memproses
pensertipikatannya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa lama tidaknya mensertipikatkan tanah tergantung dengan pemilik tanah itu sendiri. Jika persyaratan mensertipikatkan tanah tidak lengkap maka akan menimbulkan proses pensertipikatan yang lama, namun apabila pemilik tanah sudah memenuhi persyaratan secara lengkap, maka waktu proses pensertipikatan akan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Mengenai biaya pensertipikatan tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 Tentang Jenis dan Taris Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional. Biaya untuk pensertipikatan terdiri dari biaya pengukuran, pemeriksaan dan pendaftaran. Jadi, mahal atau tidaknya biaya pensertipikatan disesuaikan dengan luas tanah yang bersangkutan.
Solusi yang diberikan oleh
Kantor Pertanahan untuk
menanggapi masih banyaknya masyarakat yang melakukan jual beli tanah yang belum bersertipikat di bawah tangan yaitu melakukan
7 penyuluhan mengenai prosedur
pendaftaran tanah dan jual beli tanah sesuai aturan yang berlaku. Agar masyarakat lebih memahami bahwa mensertipikatkan tanah dan melakukan jual beli tanah menggunakan akta PPAT sangatlah penting. Selain itu, Kantor Pertanahan juga melakukan penyuluhan Prona di desa-desa di Kabupaten Banjarnegara.
B. Akibat Hukum dari Jual beli Tanah Tegalan Yang Belum Bersertipikat di Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara
Akibat hukum jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat yang dilakukan secara di bawah tangan oleh masyarakat Desa Singamerta telah memenuhi syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu dilakukan oleh pihak-pihak yang telah dewasa dan cakap, berdasarkan kesepakatan, ada sebab yang halal dan ada obyek tertentu yaitu tanah, namun peralihan hak atas tanah tersebut belum dapat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan karena tidak memiliki akta jual beli tanah oleh PPAT. Sehingga, kepastian hukum dan kepastian haknya belum sah karena tanah tersebut belum bersertipikat. Akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai sudah dilakukannya jual beli tanah. Jadi, tanah-tanah yang akan dijual belikan seharusnya bersertipikat agar dapat melakukan jual beli tanah di hadapan PPAT.
Tanpa adanya akta PPAT Kepala Kantor Pertanahan dilarang untuk
mendaftarkannya dengan
perkecualian yang ada di dalam Pasal
37 ayat (2). Pasal tersebut tidak menentukan bahwa dilakukannya perbuatan hukum pemindahan hak dengan dibuatnya akta di hadapan PPAT sebagai alat bukti merupakan syarat bagi terjadinya dan sahnya perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan. Sahnya perbuatan hukum yang dilakukan ditentukan oleh terpenuhinya syarat-syarat materiil yang bersangkutan, yaitu kecakapan dan kewenangan para pihak untuk melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan.
Dipenuhinya syarat oleh penerima hak untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang akan diperolehnya, persetujuan bersama untuk melakukan perbuatan hukum itu dan dipenuhinya syarat terang, tunai dan riil bagi perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan.
Syarat materiil menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut :4
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan
Pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, misalnya hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut UUPA Pasal 21, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Kemudian,
4
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal 77-78.
8 dalam Pasal 26 ayat (2)
menyatakan jika pembeli mempunyai kewarganegaraan
asing di samping
kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara.
b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan
Pemegang yang sah dari hak atas tanah atau pemilik adalah orang yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah. Apabila pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu, akan tetapi bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual. c. Tanah yang bersangkutan boleh
diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa
UUPA telah menentukan
mengenai status tanah yang boleh diperjualbelikan yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan
oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum, artinya sejak semula hukum mengangap tidak pernah terjadi jual beli.
Jual beli tanah yang belum bersertipikat dan dilakukan di bawah tangan menurut hukum adat sah, karena sahnya jual beli tanah apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli, meskipun pembeli baru membayar sebagian tanah tersebut kepada penjual.
Meskipun demikian, jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat yang dilakukan di bawah tangan akan menimbulkan akibat hukum diwaktu yang akan datang, karena belum adanya sertipikat tanah dan tanpa adanya akta jual beli tanah, sehingga tidak adanya kepastian hukum dan kepastian hak tersebut akan membuat
timbulnya masalah-masalah
mengenai tanah yang bersangkut, seperti bermasalah dengan batas-batas tanah, masalah dengan ahli waris dari pemilik tanah sebelumnya, terjadinya pengakuan hak atas tanah dari pihak lain. Apabila suatu saat terjadi sengketa tanah kemudian ada pihak yang mengajukan gugatan perkara perdata, negara tidak dapat melindungi pihak pembeli meskipun pembeli beritikad baik.
C. Penyelesaian Masalah Yang Timbul Dari Jual Beli Tanah Tegalan Yang Belum Bersertipikat di Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara
Permasalahan yang timbul dari jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat di Desa Singamerta adalah sebagai berikut :
9 1. Terbitnya SPPT ganda karena
melakukan jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat di bawah tangan.
2. Terbitnya sertipikat bukan atas nama pemilik sesungguhnya karena melakukan jual beli tanah tegalan yang belum bersertipikat di bawah tangan dan tanpa sepengetahuan pemilik tanah tersebut.
Solusi untuk penyelesaian permasalahan tersebut, yaitu permasalahan yang pertama perlu melakukan musyawarah antara kedua belah pihak untuk mengembalikan hak atas tanah kepada pemilik yang sesungguhnya berhak atas tanah tersebut. Kemudian, mengurus penerbitan SPPT baru dan menghapus SPPT yang lama di
KP2KP (Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan) agar tidak terbit SPPT ganda. Permasalahan yang kedua karena tanah sudah bersertipikat maka dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal tersebut dapat dilakukan apabila tidak bisa menyelesaikan masalah melalui musyawarah antara kedua belah pihak.
Penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan dapat berupa perbuatan hukum administrasi pertanahan yang diatur dalam Pasal 61 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yaitu meliputi :
a. Pembatalan hak atas tanah
karena cacat hukum
administrasi;
b. Pencatatan dalam sertipikat dan/atau Buku Tanah serta Daftar Umum lainnya; dan c. Penerbitan surat atau keputusan
administrasi pertanahan lainnya karena terdapat cacat hukum
administrasi dalam
penerbitannya.
Pasal 62 ayat (1) menyatakan bahwa sertipikat hak atas tanah yang
mengandung cacat hukum
administrasi dilakukan pembatalan atau perintah pencatatan perubahan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut peraturan perundang-undangan. Sehingga, dari kasus tersebut perlu dilakukan pembatalan sertipikat karena cacat hukum administrasi.
Masyarakat yang memiliki permasalahan akibat jual beli tanah belum bersertipikat di bawah tangan lebih baik untuk melakukan prosedur jual beli tanah sesuai aturan yang berlaku yaitu mensertipikatkan tanahnya terlebih dahulu sebelum melakukan jual beli tanah dan melakukan jual beli tanah menggunakan akta jual beli oleh PPAT. Hal tersebut dilakukan supaya tidak timbul sengketa atau permasalahan-permasalahan lain mengenai tanah yang bersangkutan dikemudian hari. Karena apabila tanah sudah bersertipikat dan melakukan jual beli menggunakan akta PPAT, maka memiliki kepastian hukum dan kepastian hak untuk pemilik tanah yang baru.
IV. KESIMPULAN A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
10
1. Faktor-faktor yang
menyebabkan masih banyaknya masyarakat Desa Singamerta melakukan jual beli tanah tegalan belum bersertipikat yaitu (a) masyarakat tidak memahami mengenai prosedur jual beli tanah; (b) adanya anggapan bahwa proses jual beli tanah di bawah tangan itu cepat; dan (c)
ada anggapan bahwa
mensertipikatkan tanah
memerlukan biaya yang mahal dan proses yang lama. Masyarakat yang memiliki tanah yang belum bersertipikat sebagian besar menunggu
Proyek Prona untuk
mensertipikatkan tanahnya. 2. Akibat hukum jual beli tanah
tegalan yang belum bersertipikat di Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara dilakukan secara di bawah
tangan meskipun telah
memenuhi syarat sah jual beli, namun peralihan hak atas tanah tersebut belum dapat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan karena tidak memiliki akta jual beli tanah oleh PPAT. Sehingga, kepastian hukum dan kepastian haknya belum didapat karena
tanah tersebut belum
bersertipikat.
3. Penyelesaian dari permasalahan yang muncul, berkaitan dengan masih banyaknya jual beli tanah tegalan di bawah tangan adalah melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan para pihak, namun apabila tidak dapat
diselesaikan dengan
musyawarah maka permasalahan tersebut diselesaikan melalui
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
B. Saran
Dalam penulisan hukum ini penulis akan mengemukakan saran-saran sebagai berikut :
1. Perlu diadakannya penyuluhan-penyuluhan dari Kantor Pertanahan dan Kantor Kepala Desa kepada masyarakat Desa Singamerta Kecamatan Sigaluh
Kabupaten Banjarnegara
mengenai arti pentingnya pendaftaran tanah agar dapat diterbitkannya sertipikat tanah dan prosedur jual beli tanah menggunakan akta jual beli tanah oleh PPAT agar adanya kepastian hukum dan kepastian haknya bagi penjual dan pembeli sebagai pemilik tanah yang baru
sehingga tidak akan
menimbulkan permasalahan mengenai tanah tersebut dikemudian hari.
2. Perlu adanya kesadaran hukum dari masyarakat mengenai akibat hukum apabila jual beli tanah dilakukan di bawah tangan, hal tersebut agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan seperti sengketa tanah dengan pihak lain.
V. DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Hasan, M.Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nazir, Moh. 2014. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum
11
Dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sutedi, Adrian. 2010. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya.
Jakarta: Sinar Grafika.
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Peraturan Pertanahan
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan