• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan Bimbingan Kerohanian Islam bagi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit: Upaya Penerapan Pendekatan Holistik Dalam Pengobatan Oleh: Baidi Bukhori *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pelayanan Bimbingan Kerohanian Islam bagi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit: Upaya Penerapan Pendekatan Holistik Dalam Pengobatan Oleh: Baidi Bukhori *"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Upaya Penerapan Pendekatan Holistik Dalam Pengobatan

Oleh: Baidi Bukhori *

Absrak

Terapi holistik mulai ditekankan oleh Organisasi Kesehatan se-Dunia (WHO) pada tahun 1984. Dalam sidangnya telah disepakati bahwa dimensi spiritual/keagamaan setara pentingnya dengan dimensi-dimensi lainnya, yaitu fisik, psikologis, dan psiko-sosial. Menyadari hal tersebut seharusnya pelayanan rumah sakit di samping mengutamakan aspek fisik, juga memperhatikan aspek lain, salah satunya adalah aspek spiritual.

Kata kunci: bimbingan kerohanian Islam, pasien rawat inap, pendekatan holistik

A. Pendahuluan

Pasien adalah seseorang yang secara kejiwaan membutuhkan dukungan, motivasi, bantuan, penghargaan, perhatian, dan kasih sayang. Pasien pada umumnya merasa berada dalam kondisi yang kurang baik, sensitif terhadap lingkungan, dan emosional. Kondisi seperti itulah yang membuat pasien tidak cukup ditangani secara medis saja, tetapi juga memerlukan bimbingan ruhani guna mempercepat proses penyembuhan. Bimbingan rohani adalah kegiatan yang di dalamnya terjadi proses bimbingan dan pembinaan rohani kepada pasien di rumah sakit sebagai upaya menyempurnakan ikhtiar medis dengan ikhtiar psikospiritual. Proses bimbingan yang dilakukan merupakan usaha untuk memberikan ketenangan dan kesejukan hati dengan dorongan dan motivasi untuk tetap bersabar, bertawakal, dan senantiasa menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah.1

Kegiatan pelayanan bimbingan kerohanian di rumah sakit memiliki peran yang strategis dalam rangka mendukung upaya penyembuhan penyakit oleh kedokteran modern. Penelitian yang dilansir majalah Time

* Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.

1Samsuddin Salim, "Bimbingan Rohani Pasien: Upaya Mensinergikan Layanan

Medis dan Spiritual di Rumah Sakit". Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Doa dan Dzikir Sebagai Obat Atasi Problemetika Fisik–Psikis,” diselenggarakan oleh Rumah Sakit Islam Sultan Agung dan Fakultas Kedokteran Unissula Semarang, 27 September 2005, p. 1.

(2)

tentang pengaruh agama pada umumnya dan doa pada khususnya terhadap pasien, ternyata 70 % pasien percaya kekuatan do’a untuk penyembuhan, lebih dari 64 % pasien menyatakan bahwa para dokter hendaknya juga memberikan terapi psikoreligius dan doa.2 Dari penelitian tersebut terungkap bahwa sebenarnya para pasien membutuhkan terapi keagamaan, selain terapi dengan obat-obatan dan terapi medis lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, layanan kesehatan hendaknya tidak hanya memberikan perhatian pada aspek fisik saja, tetapi juga memberikan terapi dengan pendekatan psikoreligius. Oleh karena itu, pelayanan yang ideal di rumah sakit adalah yang juga memberikan pelayanan bimbingan kerohanian bagi pasien.

Menyadari akan pentingnya pelayanan bimbingan kerohanian sebagaimana uraian di atas, maka perlu kiranya dilakukan usaha-usaha yang dapat meningkatkan pelayanan bimbingan kerohanian pada umumnya, dan bimbingan kerohanian Islam pada khususnya yang telah berjalan, sehingga lebih sesuai dengan yang diharapkan pasien maupun masyarakat. Tulisan ini mencoba mengupas tentang pelayanan bimbingan keruhanian Islam bagi pasien rawat inap di rumah sakit. Dengan dilengkapi hasil penelitian yang relevan, tulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang komprehensif bagi pembaca tentang pelayanan bimbingan keruhanian Islam bagi pasien sebagai upaya menerapkan pendekatan holistik dalam pengobatan.

B. Pendekatan Holistik dalam Pengobatan

1. Pengertian Pendekatan Holistik

Menurut Subandi dan Hasanat, pendekatan holistik dalam pengobatan merupakan model pengobatan yang tidak hanya memberikan perhatian pada aspek fisik saja, tetapi juga memberikan terapi dengan pendekatan psikis maupun spiritual.3 Senada dengan pendapat di atas, Hawari menyatakan bahwa terapi holistik yang dianjurkan adalah meliputi empat dimensi, yaitu:

a. Terapi fisik/biologis, dengan obat-obatan psikofarmaka. b. Terapi psikologi (psikoterapi).

c. Terapi psikososial.

2Theresa McNichol, The New Faith in Medicine, USA Weekend, April 5-7, 1997, pp.

4-5.

3M. A. Subandi & Nida Ul Hasanat, "Pengembangan Model Pelayanan Spiritual

Bagi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum", Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1999), p. 8.

(3)

d. Terapi spiritual/kerohanian.4

Dengan kata lain, pendekatan tersebut melihat manusia secara lengkap, tidak hanya punya raga, jiwa, hubungan sosial tetapi juga kehidupan spiritual. Maka dalam mengobati pasien tidak hanya mengobati fisik, tetapi juga harus mengenal faktor-faktor psikis pasien seperti kepribadian, proses psikopatologi, mekanisme pertahanan jiwa, dan lain-lain (faktor psiko edukatif) serta faktor sosial budaya dan agama.

Tidak jarang penyakit fisik akan mempengaruhi kondisi psikis penderita, sehingga akan menjadi gangguan psikis bagi penderita. Sebaliknya, gangguan psikis dapat juga mempengaruhi organ atau jaringan tertentu dan menimbulkan gangguan atau penyakit pada fungsi organ tersebut (konsep psikosomatik). Keduanya ada keterkaitan, sakit fisik bisa berpengaruh pada gangguan psikis, sebaliknya gangguan psikis dapat pula menyebabkan sakit fisik. Oleh karena itu, pendekatan holistik adalah sangat penting, meskipun pokok pengobatannya adalah penyakit fisiknya, tetapi pada dasarnya antara keduanya adalah sesuatu yang erat dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam kenyataannya, ada dua macam penyakit, yaitu penyakit fisik dan gangguan psikis/gangguan kejiwaan atau penyakit jasmani dan ruhani. Penyembuhan kedua penyakit atau gangguan tersebut tidak terlepas dari do’a dan dzikir di samping juga pengobatan secara medis formal atau medis modern.5

2. Agamadan Kesembuhan

Matthews dari Universitas Georgetown, mengumpulkan 212 penelitian yang menguji efek komitmen religius terhadap hasil perawatan kesehatan. 75 % dari penelitian itu menunjukkan adanya pengaruh yang positif antara agama dan kesehatan, 17 % menunjukkan efek campuran atau tanpa efek, dan hanya 7 % menunjukkan efek negatif.6 Koenig juga mengumpulkan beberapa penelitian yang membuktikan bahwa orang yang mempunyai agama kuat akan memiliki tekanan darah yang rendah, sedikit mengalami stroke, tingkat kematian yang rendah karena serangan jantung dan dapat tahan hidup lebih lama secara umum, serta sedikit penggunaan layanan medis.7

4Dadang Hawari, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:

Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), p. 479.

5Ahmadi, "Pendekatan Psikiatri dan Religi pada Penderita Sakit". Makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional “Doa dan Dzikir Sebagai Obat Atasi Problemetika Fisik–Psikis,” diselenggarakan oleh Rumah Sakit Islam Sultan Agung dan Fakultas Kedokteran Unissula Semarang, 27 September 2005, p. 13.

6Dale A. Matthews, Religious Commitment and Clinical Benefit, American Medical

News, March 4, 1996.

(4)

Menurut Larson, sejumlah penelitian tentang relevansi klinis dari agama dan spiritualitas dapat dikategorikan menjadi empat golongan, yaitu:

a. Pencegahan penyakit (illness prevention).

b. Penyesuaian terhadap penyakit (coping with illness). c. Kesembuhan dari operasi (recovery from surgery).

d. Meningkatkan hasil pengobatan (improving treatment outcomes).8

Agama dan spiritualis berfungsi banyak sebagai usaha preventif dalam bidang kesehatan. Penelitian Comstock dan Partridge menemukan bahwa mereka yang tidak religius (tidak beribadah, berdoa, dan berzikir) resiko untuk bunuh diri empat kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang religius.9 Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Stack, Stark, Doyle, dan Rushing dikemukakan bahwa semakin menurunnya minat terhadap agama (religiusitas) penduduk secara nasional dapat merupakan petunjuk akan meningkatnya angka bunuh diri secara nasional.10 Dengan demikian, agama dapat menjadi faktor protektif yang sangat kuat untuk mencegah tindakan bunuh diri. Orang yang mempunyai komitmen agama yang kuat mempunyai kecenderungan yang lebih sedikit untuk melakukan bunuh diri. Dari sudut pandang agama, tindakan bunuh diri tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, peran agama dalam kehidupan amat penting guna memperkuat daya tahan mental terhadap stressor psiko-sosial agar tidak mudah jatuh sakit dan tidak putus asa mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.

Agama dan spiritualitas juga dapat memberikan proses coping dalam menghadapi penyakit. Penelitian Saudia dkk. yang berjudul Health locus of

control and helpfullness of prayer, menemukan bahwa 96 % pasien

menggunakan doa untuk mengatasi stres ketika menghadapi operasi bedah jantung. 97 % menyatakan bahwa doa sangat membantu menghadapi situasi itu.11 Penelitian Robert dkk. yang berjudul Factor influencing views of

patiens with gynecologic cancer about end-of-life decisios, menunjukkan bahwa pada

8Ibid.

9Dadang Hawari, "Doa dan Zikir Sebagai “Obat”. Makalah disampaikan dalam

Seminar Nasional “Doa dan Dzikir Sebagai Obat Atasi Problemetika Fisik–Psikis,” diselenggarakan oleh Rumah Sakit Islam Sultan Agung dan Fakultas Kedokteran Unissula Semarang, 27 September 2005, p. 9.

10Ibid.

11 T. L. Saudia, M. R. Kinnery, K. C. Brown & L. Young-Ward, Health Locus of Control and Helpfullness of Prayer, Heart and Lung, 20, 1991, pp. 60-65.

(5)

pasien yang mempunyai kanker kandungan ternyata 91 % mengatakan

bahwa agama membantu mereka mempunyai harapan.12

Penelitian yang berkaitan dengan proses kesembuhan setelah operasi juga banyak ditemukan. Penelitian Oxmen dkk. yang berjudul

Lack of social participation and religious strength and comforth as risk factor for death

after cardiac surgery in elderly, menemukan bahwa 37 pasien yang menganggap

dirinya sangat religius, ternyata tak ada satupun yang meninggal dunia setelah 6 bulan menjalani bedah jantung.13 Penelitian Harris dkk. yang berjudul The role of in heart-transplant recipients’ long term health and well-being,

menemukan pada pasien yang menjalani transplantasi jantung bahwa resipien yang sangat kuat agamanya dan melakukan banyak aktivitas keagamaan ternyata memiliki kondisi fisik dan psikis yang lebih baik. Mereka lebih sedikit mempunyai kekhawatiran terhadap kesehatannya dan memiliki medical compliance yang lebih baik.14

Agama dan spiritualitas juga membantu proses terapi baik terapi psikis maupun fisik. Penelitian Prompst dkk. yang berjudul Religious values

in psychoterapy and mental health: Empirical findings and issues, menemukan

bahwa pasien depresi yang menerima terapi yang berorientasi pada agama memiliki depresi yang lebih rendah dan penyesuaian klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang menerima terapi biasa.15

Dengan adanya pengkajian dan pengembangan spiritualitas dan agama di bidang medis tersebut akhirnya para ahli menyadari pentingnya faktor tersebut untuk diperhitungkan dalam praktek maupun penelitian-penelitian kesehatan. Mereka menyebut agama dan spiritualitas sebagai faktor yang terlupakan (the forgotten factor) atau faktor keyakinan (the faith factor).

3. Doa dan Kesembuhan

Selain penelitian-penelitian yang berkaitan dengan spiritualitas secara umum, secara khusus penelitian tentang pengaruh doa terhadap

12James A. Robert, Douglas Brown, Thomas E. Elkins, & David Larson, Factor

Influencing Views of Patiens with Gynecologic Cancer About End-of-Life Decisios, The American Journal of Obstretics and Gynecology, 176, 1997, p. 166-172.

13T. E. Oxman, D. H. Freeman, & E. D. Manheimer, Lack of Social Participation and Religious Strength and Comforth as Risk Factor for Death After Cardiac Surgery in Elderly, Psychosomatic Medicine, 57, 1995, p. 5-15.

14 R. C. Harris, M. A. Dew, A. Lee, M. Amaya, L. Buches, D. Reetz, & G.

Coleman, The Role of in Heart-transplant Recipients’ Long Term Health and Well-Being, Journal of Religion and Health, 34, 1995, p. 17- 32.

15L. R. Prompst, R. Ostrom, P. Watkins, T. Dean, & D. Mashburn, Religious Values in Psychoterapy and Mental Health: Empirical Findings and Issues. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 60, 1992, p. 94-103.

(6)

kesembuhan banyak dilakukan para ahli. Benson selama 25 tahun mempelopori penelitian tentang manfaat interaksi jiwa dan badan di Harvard Medical School. Disimpulkan bahwa ketika seseorang terlibat secara mendalam dengan doa yang diulang-ulang (repetitive prayer), ternyata membawa berbagai perubahan fisiologis, antara lain berkurangnya kecepatan detak jantung, menurunnya kecepatan nafas, menurunnya tekanan darah, melambatnya gelombang otak, dan pengurangan menyeluruh kecepatan metabolisme. Kondisi tersebut disebut sebagai respon relaksasi (relaxation response).16

Berbagai penelitian tentang pengaruh doa yang dikumpulkan Dossey disimpulkan bahwa doa secara positif berpengaruh terhadap berbagai macam penyakit misalnya tekanan darah tinggi, luka, serangan jantung, sakit kepala, dan kecemasan. Proses fisiologis yang dapat dipengaruhi doa antara lain adalah proses kegiatan enzim, laju pertumbuhan sel darah putih leukimia, laju mutasi bakteri, laju penyumbatan sel pemacu, laju penyembuhan luka, besarnya gondok dan tumor, waktu yang dibutuhkan untuk bangun dari pembiusan total, efek otonomi seperti kegiatan elektrodermal kulit, laju hemolisis sel-sel darah merah dan kadar hemoglobin. Dengan adanya bukti-bukti ilmiah seperti

itu, maka Dossey sendiri selanjutnya menulis: “…setelah

mempertimbangkan faktor-faktor ini selama beberapa bulan, saya menyimpulkan bahwa saya akan berdoa bagi pasien-pasien saya.”17

Suatu studi banding yang dilakukan oleh Fitchett, dkk. antara pasien psikiatri dengan pasien umum yang dirawat inap perihal kebutuhan spiritualnya; diperoleh data 80% pasien psikitri dan 86% pasien umum menyatakan diri mereka religius (beragama), dengan perincian 48% pasien psikiatri dan 38% pasien umum menyatakan mereka benar-benar religius (deeply religious). Ketika ditanyakan sejauhmana keimanan agama itu mempunyai kekuatan spiritual terhadap penyembuhan penyakitnya, 68% pasien psikiatri dan 72% pasien umum menyatakan positif bermakna. Sementara itu hanya 10% pasien psikiatri dan 2% pasien umum menyatakan tidak bermakna.18

Sejalan dengan hasil penelitian di atas, Survey dari Nation Intitute for Health Care Research di Amerika menunjukkan bahwa 70% dari populasi yang diteliti menginginkan kebutuhan spiritual mereka dilayani sebagai bagian dari pelayanan medis. Survey lain menunjukkan bahwa

16Herbert Benson, Dasar-Dasar Respon Relaksasi, (Jakarta: Kaifa, 2000), p. 98. 17 M. A. Subandi & Nida Ul Hasanat, "Pengembangan Model….,p. 7. 18 Dadang Hawari, "Doa dan Dzikir…., p. 4.

(7)

91% dokter melaporkan bahwa pasien mereka mencari bantuan spiritual dan kerohanian untuk membantu menyembuhkan penyakit.19

Penelitian yang dilakukan oleh Snyderman terhadap hubungan antara komitmen agama dan ilmu pengetahuan (terapi medis) mendukung temuan-temuan sebelumnya, sehingga kesimpulannya adalah bahwa terapi medik saja tanpa disertai dengan doa dan dzikir, tidaklah lengkap, sebaliknya doa dan dzikir saja tanpa disertai terapi medik, tidaklah efektif.20 Christy dalam penelitiannya yang berjudul Preyer as Medicine mendukung penelitian Snyderman, yang menyatakan bahwa doa dan dzikir juga merupakan ‘obat’ bagi penderita selain obat dalam pengertian medis. Dengan demikian, kesimpulan yang dikemukakannya adalah bahwa “medicine” yang diberikan kepada penderita mengandung dua arti yaitu ”preyer” dan “drugs”. Drugs yang dimaksud di sini adalah medicine dan

bukan NAPZA.21

C. Bimbingan Kerohanian Islam

1. Pengertian Bimbingan Keruhanian Islam

Secara etimologis yang disebut dengan bimbingan adalah petunjuk (penjelasan) cara mengerjakan sesuatu,22 artinya menunjukkan, memberi jalan atau menuntun orang lain ke arah tujuan yang bermanfaat. Secara istilah, sebagaimana diungkapkan Moegiadi, bimbingan adalah cara pemberian pertolongan atau bantuan kepada individu untuk memahami dan mempergunakan secara efisien dan efektif segala kesempatan yang dimilikinya untuk perkembangan pribadinya.23

Pengertian bimbingan Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu atau kelompok agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.24 Sejalan dengan pengertian bimbingan Islam di atas, yang dimaksud dengan bimbingan kerohanian Islam bagi pasien adalah pelayanan yang memberikan santunan rohani kepada pasien dan keluarganya dalam bentuk pemberian motivasi agar tabah dan sabar dalam

19 M. A. Subandi & Nida Ul Hasanat, "Pengembangan Model…., p. 7.

20Ralph Snyderman, Religious Approach in the Medical Treatment, (Faculty of

Medicine, Duke University, 1996), pp. 105-106.

21 J. H. Christy, Prayer as a Medicine, (Forbes, March 23, 1998), pp. 136-137.

22Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), p. 133.

23W. S. Winkels, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,

1991), p. 58.

24Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling Dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press,

(8)

menghadapi cobaan, dengan memberikan tuntunan do’a, cara bersuci, shalat, dan amalan ibadah lainnya yang dilakukan dalam keadaan sakit.25

2. Fungsi Tujuan Bimbingan Keruhanian Islam

Sebagaimana fungsi bimbingan pada umumnya, bimbingan kerohanian Islam juga memiliki fungsi:

a. Fungsi preventif atau pencegahan, yakni mencegah timbulnya masalah pada seseorang.

b. Fungsi kuratif atau korektif, yakni memecahkan atau menanggulangi masalah yang sedang dihadapi seseorang.

c. Fungsi preservatif dan developmental, yakni memelihara agar keadaan yang tidak baik menjadi baik kembali, dan mengembangkan keadaan yang sudah baik menjadi lebih baik.26 Dalam pengertian lain fungsi developmental adalah membantu individu memperoleh ketegasan nilai-nilai anutannya, mereviu pembuatan keputusan yang dibuatnya.27

Dari fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bimbingan kerohanian Islam itu mempunyai fungsi membantu individu dalam memecahkan masalahnya sehingga tidak memungkinkan menjadi sebab munculnya masalah baginya. Selain hal tersebut, bimbingan kerohanian Islam juga sebagai pendorong (motivasi), pemantap (stabilitas), penggerak (dinamisator), dan menjadi pengarah bagi pelaksanaan bimbingan agar sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan pasien serta melihat bakat dan minat yang berhubungan dengan cita-cita yang ingin dicapainya.

3. Tujuan Bimbingan Keruhanian Islam

Tujuan bimbingan dan konseling Islam adalah untuk membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Individu yang dimaksud di sini adalah orang yang dibimbing, baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya.28

25 Bina Rohani, Buku Panduan Pasien, (Semarang: RS Roemani, 1998), p. 8.

26Thohari Musnamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami,

(Yogyakarta: UII Press, 1992), p. 4.

27 Andi Mappiere, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 1996), p. 29.

(9)

Secara lebih rinci, Faqih merumuskan tujuan bimbingan sebagai berikut:

a. Tujuan umum

Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

b. Tujuan Khusus

1. Membantu individu agar tidak menghadapi masalah;

2. Membantu individu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya; 3. Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan

kondisi yang baik atau yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.29

Adz-Dzaky mengemukakan bahwa tujuan bimbingan dalam proses konseling Islam adalah:

a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan, dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, tenteram, dan damai

(muthmainnah), bersikap lapang dada (radhiyah) dan mendapatkan

pencerahan taufik dan hidayah Tuhannya (mardhiyah).

b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong-menolong, dan rasa kasih sayang.

d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya serta ketabahan menerima ujian-Nya.

e. Untuk menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan potensi itu individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar serta dapat dengan baik menanggulangi berbagai persoalan hidup dan dapat memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan.30

Tidak jauh berbeda dengan tujuan bimbingan Islam sebagaimana diuraikan di atas, tujuan bimbingan kerohanian Islam di rumah sakit adalah:

29Ibid., pp. 36-37.

30M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta:

(10)

a. Menyadarkan penderita agar dapat memahami dan menerima cobaan yang sedang dideritanya secara ikhlas.

b. Ikut serta memecahkan dan meringankan problem kejiwaan yang sedang dideritanya.

c. Memberikan pengertian dan bimbingan penderita dalam melaksanakan kewajiban keagamaan harian yang harus dikerjakan dalam batas kemampuan.

d. Perawatan dan pengobatan dikerjakan dengan berpedoman tuntutan Islam, memberi makan, minum, obat, dan lain-lain, dibiasakan mengawalinya dengan membaca “bismillah” dan diakhiri dengan membaca ”alhamdulillah.”

e. Menunjukkan perilaku dan bacaan yang baik sesuai dengan kode etik kedokteran dan tuntunan agama.31

D. Implementasi Bimbingan Kerohanian Islam Bagi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit

Pasien adalah orang yang sakit yang dirawat oleh dokter.32 Dengan kata lain, pasien adalah orang yang terkena sakit di bawah penanganan dokter. Pada umumnya, seseorang mencari pengobatan bila mereka mengalami gejala yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Keadaan sakit seseorang akan lebih tampak, bila mengganggu pekerjaannya, fungsi sosialnya, dan kegiatannya. Namun beratnya gejala dilihat dari segi medis, tidak dapat disimpulkan dari berat tidaknya gangguan terhadap kehidupannya atau pekerjaan rutinnya.

Rawat inap adalah opname, artinya pasien memperoleh pelayanan kesehatan menginap di rumah sakit. Jadi pengertian pasien rawat inap adalah orang sakit yang sedang menginap, mendapat pelayanan, dan perawatan kesehatan oleh dokter di rumah sakit.

Karakteristik pasien yang di rawat di rumah sakit bermacam-macam, ada yang tenang, selalu gelisah dan merintih, dan sebagainya. Jenis-jenis pasienpun bermacam-macam, ada yang biasa, sedang, kronis, dan traumatis. Dalam kondisi yang demikian pelayanan secara fisik dan psikologis diperlakukan bagi semua pasien. Untuk pasien yang kronis dan traumatis ini perlu adanya pelayanan yang khusus, lebih pada segi psikologis untuk mengembalikan rasa percaya diri, merasa diperhatikan, diberi kasih sayang, penghargaan, dukungan moril, karena setiap pasien

31Ahmad Watik Praktinya, Abdul Salam, & M. Sofro, Islam Etika dan Kesehatan,

(Jakarta: Rajawali, 1986), pp. 260-261.

(11)

mempunyai taraf emosi, keramahan, kemandirian yang berbeda menurut tingkatan jenis penyakit.

Pengalaman orang yang diopname di rumah sakit memang berbeda-beda. Setiap orang mensituasikan diri sesuai dengan watak, temperamen dan riwayat hidup yang khusus milik dia. Bagi satu orang menjadi hal yang diremehkan bagi yang lain menampakkan dirinya sebagai malapetaka yang besar. Si penakut yang baru diopname sudah mencium maut, sedang pasien lain yang sudah terminal state masih merasa enak sekali. Pendek kata, hal itu bukanlah suatu gejala obyektif, melainkan subyektif yang berbeda bagi setiap orang.33 Dari gambaran pasien di atas, terlihat bahwa pasien mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, maka rohaniawan perlu menyiapkan metode dan materi yang cocok bagi mereka, hal ini diharapkan agar dapat menenangkan hati bagi para pasien sesuai dengan sakit yang diderita demi kesembuhan pasien.

Karakteristik dan keadaan pasien yang demikian sekaligus menjadi satu hal penting yang patut diperhatikan bahwa sakit fisik yang diderita seringkali mempengaruhi aspek psikisnya. Bukan sebatas itu, tidak jarang pasien memiliki masalah sosial yang turut serta mempengaruhi kondisinya. Berbagai kemungkinan tersebut, tentunya mejadi satu hal penting menerapkan pendekatan holistik dalam pengobatan di mana pihak rumah sakit, tidak hanya memberikan terapi psikofarma/obat-obatan semata, tetapi pihak rumah sakit harus lebih tajam menganalisa kebutuhan dan pertolongan apa saja yang diharapkan pasien termasuk didalamnya terapi psikologis, terapi psikososial bahkan terapi psiko-religius/spiritual. Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh adalah memberikan pelayanan bimbingan kerohanian bagi pasien.

Bila dikaitkan dengan penanganan pasien rawat inap rumah sakit, salah satu peran penting bimbingan kerohanian Islam adalah menumbuhkan coping34 pada pasien. Coping ini merupakan faktor psikologis yang sangat penting bagi pasien dalam rangka menghadapi suatu penyakit.

Konsep coping memang tidak dengan sendirinya dapat

dioperasionalisasikan, karena untuk menerima keadaan buruk seperti sakit bukanlah hal yang mudah bagi pasien. Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang bisa menumbuhkan coping, salah satunya adalah petugas

33M. A. W. Brower, Rumah Sakit Dalam Cahaya Ilmu Jiwa, (Jakarta: Grafidian Jaya,

1983), pp. 21-22.

34Coping adalah suatu usaha atau tindakan untuk menghadapi situasi yang penuh

dengan tekanan atau masalah yang dianggap sebagai tantangan, ketidakadilan, merugikan baik secara eksternal maupun internal dengan cara mengendalikan, menguasai, menerima, maupun mengurangi dengan reaksi tertentu. Lihat Rr. Hartuti Pudji Rahayu, “Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Coping Stres,” Psikologika,4 (2), 1997, p. 63.

(12)

bimbingan kerohanian Islam. Petugas bimbingan kerohanian Islam diharapkan dapat memberikan dorongan moral dan spiritual bagi pasien dalam menghadapi penyakit yang diderita. Petugas bimbingan kerohanian Islam diharapkan juga dapat membimbing pasien dalam berdoa dan beribadah. Bantuan dari petugas pelayanan bimbingan kerohanian Islam tersebut akan melahirkan coping pada pasien.

Sebagaimana diungkapkan oleh Subandi dan Hasanat bahwa bentuk pelayanan bimbingan kerohanian Islam yang selama ini telah dilaksanakan oleh beberapa rumah sakit Islam adalah:

1. Kunjungan

Kunjungan ini dilaksanakan oleh para rohaniawan. Tujuan utamanya adalah memberikan dorongan dan motivasi kepada pasien untuk bisa menghadapi keadaan sakit. Selanjutnya juga mengajak berdo’a dan mendo’akannya. Petugas juga banyak memberikan bimbingan ibadah lain. Misalnya caranya bertayamum, cara shalat ketika sakit dan sebagainya. 2. Pengadaan buku-buku bimbingan dan simbul-simbul agama

Pada waktu berkunjung kepada pasien, petugas juga memberikan beberapa buku kecil yang berisi tentang do’a ketika sakit serta tuntunan ibadah lainnya. Buku ini boleh dibawa pulang ketika pasien meninggalkan rumah sakit. Selain buku-buku yang diberikan juga ada buku-buku yang

diedarkan. Tak kalah penting dari hal-hal tersebut adalah

menvisualisasikan simpul-simpul agama seperti kaligrafi ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.

3. Siaran Radio

Siaran radio dilakukan untuk mengantisipasi pasien yang tidak sempat dikunjungi. Isi siaran ini mulai dari ceramah agama, pembacaan ayat suci al-Qur’an sampai lagu-lagu yang Islami. Supaya pasien dapat mendengarkan siaran bina rohani ini maka pada setiap bangsal disediakan pengeras suara.35

Dari ketiga bentuk pelayanan tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan salah satu bentuk pelayanan dapat ditutupi dengan kelebihan yang lain. Oleh karena itu, semakin bervariasi bentuk pelayanan, maka akan semakin dapat mengarahkan pada pencapaian tujuan pelayanan.

Model atau bentuk bimbingan kerohanian Islam bagi pasien rawat inap rumah sakit baik umum maupun swasta tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Secara umum, tiap rumah sakit telah menerapkan tiga bentuk pelayanan kerohanian sebagaimana di atas. Namun ada sedikit perbedaan karena faktor heterogenitas pasien. Jika di rumah sakit umum

(13)

terdapat pasien yang non muslim, maka petugas harus mengusai etika kunjungan terhadap mereka. Perbedaan dalam tata cara menghadapi pasien yang non muslim adalah lebih menekankan pada tata cara yang universal baik mengucapkan salam maupun memberi nasehat. Dari segi materi, pada dasarnya sama menekankan pada aqidah, syariah dan ibadah, di mana pemberian materi disesuaikan dengan kebutuhan pasien yang dikunjungi.36

Beberapa catatan yang diperoleh dari penelitian Bukhori yang berjudul “Upaya Optimalisasi Sistem Pelayanan Bimbingan Kerohanian Bagi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang” antara lain adanya problem yang muncul dalam pelaksanaan bimbingan kerohanian Islam bagi pasien rawat inap rumah sakit seperti keterbatasan jumlah petugas yang tidak sebanding dengan jumlah pasien yang harus dikunjungi. Keterbatasan jumlah petugas berpengaruh pada intensitas layanan yang diberikan pada pasien. Problematika lain berkaitan dengan petugas pelayanan kerohanian adalah belum maksimalnya usaha-usaha dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pelayanan kerohanian, baik itu melalui pelatihan-pelatihan, penyediaan buku-buku yang berkaitan dengan pelayanan kerohanian, maupun kegiatan-kegiatan lainnya.37

Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya tanggapan positif dari pihak pasien keluarga, para medis, dan dokter terhadap pelayanan bimbingan rohani pasien. Seiring dengan berjalannya waktu dan adanya kesadaran dari pihak rumah sakit serta melihat kebutuhan pasien. Sekarang ini pelayanan bimbingan kerohanian di RSUD Tugurejo telah menjadi bagian integral dari pelayanan terhadap pasien rawat inap dan dapat menghasilkan keuntungan secara finansial bagi pihak RSUD. Di samping itu, juga meningkatkan citra rumah sakit yang semakin positif karena memberikan layanan plus bagi pasien, dimana hal ini belum banyak dilakukan oleh RSU lainnya.38

Semakin adanya kesadaran akan manfaat layanan bimbingan kerohanian Islam bagi pasien, maka perlu dikembangkan berbagai model layanan di samping model layanan yang sudah ada. Alternatif model

36M. Zein Yusuf, "Pengembangan Model Pelayanan Bimbingan dan Konseling

Religius Bagi Pasien Rumah Sakit di Kota Semarang", Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), (Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2008), p. 49.

37Baidi Bukhori, "Upaya Optimalisasi Sistem Pelayanan Bimbingan Kerohanian

Bagi Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang", Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), (Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2005), pp. 108-109.

(14)

bimbingan kerohanian Islam Islami bagi pasien rawat inap rumah sakit baik umum maupun Islam yang bisa dikembangkan antara lain adalah pengembangan pelayanan paska perawatan seperti home visit, membangun komunikasi lewat telephon dan surat menyurat, bimbingan keruhanian

outdoor (di luar ruangan), bimbingan keruhanian dengan modeling. Secara

khusus, masing-masing rumah sakit harus mengembangkan model bimbingan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Rumah sakit umum perlu mengembangkan konsep dan praktek bimbingan keruhanian lintas agama karena tingkat heterogenitas agama dari pasien. Model bimbingan kelompok dan home visit dapat diterapkan untuk memenuhi pasien berkebutuhan khusus yang datang pada unit pelayanan khusus pula seperti unit perawatan kusta, unit konsultasi AIDS dan trauma centre, pusat penanganan kekerasan perempuan dan anak (P2KPA). Sementara di rumah sakit Islam, model yang dapat dikembangkan adalah bimbingan keruhanian bermedia atau dengan pemanfaatan kecanggihan teknologi yaitu media audio visual baik televisi dan radio dengan berbagai program yang lebih variatif seperti memperdengarkan petikan ayat al-Qur’an dan hadist disertai dengan tafsir, ceramah singkat dari petugas atau tokoh agama yang dapat direlay lewat televisi, dan pemutaran film religius, di samping lagu-lagu Islam yang sudah biasa diperdengarkan.

Alternatif tersebut jika diterapkan akan menambah nilai strategis bagi eksistensi pelayanan bimbingan kerohanian Islam bagi pasien di rumah sakit. Hal ini dilandasi dengan beberapa pertimbangan yaitu pertama, peningkatan mutu pelayanan bagi pasien, baik dari segi kebutuhan maupun variasi pelayanan. Kedua, mengikis image sebagian orang yang masih menganggap petugas bimbingan kerohanian Islam (BINROHIS) hanya mendoakan saja. Ketiga, upaya memperkuat eksistensi dan urgensi pelayanan bimbingan kerohanian Islam sebagai bagian intergral dalam menerapkan pendekatan holistik dalam pengobatan.

E. Penutup

Terapi psikoreligius dalam pengobatan menjadi satu aspek penting yang semakin disadari banyak orang, karena dibutuhkan kajian yang lebih mendalam untuk memperkuat ekistensi dan perannya dalam dunia pengobatan.

(15)

Daftar Pustaka

Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran, Konseling dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2004.

Makalah Seminar Nasional “Doa dan Dzikir Sebagai Obat Atasi

Problemetika Fisik – Psikis,” diselenggarakan oleh Rumah Sakit Islam Sultan Agung dan Fakultas Kedokteran Unissula Semarang, 27 September 2005.

Benson Herbert, Dasar-Dasar Respon Relaksasi, Jakarta: Kaifa, 2000. Bina Rohani, Buku Panduan Pasien, Semarang: RS Roemani, 1998.

Brouwer, M. A. W., Rumah Sakit Dalam Cahaya Ilmu Jiwa, Jakarta: Grafidian Jaya, 1983.

Bukhori, Baidi, "Upaya Optimalisasi Sistem Pelayanan Bimbingan Kerohanian Bagi Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang", Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2005.

Christy, J. H., Prayer as a Medicine, Forbes, March 23, 1998.

Faqih, Ainur Rahim, Bimbingan dan Konseling Dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Harris, R.C., M.A. Dew, A. Lee, M. Amaya, L. Buches, D. Reetz, & G. Coleman, The Role of in Heart-transplant Recipients’ Long Term Health

and Well-Being, Journal of Religion and Health, 34, 1995.

Hawari, Dadang, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,

Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999.

Mappiere, Andi, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.

Matthews, Dale A., Religious Commitment and Clinical Benefit, American Medical News, March 4, 1996.

McNichol, Theresa, The New Faith in Medicine, USA Weekend, April 5-7, 1997.

Musnamar, Thohari, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press, 1992.

(16)

Oxman, T.E.; D.H. Freeman, & E.D. Manheimer, Lack of Social Participation and Religious Strength and Comforth as Risk Factor for Death

After Cardiac Surgery in Elderly, Psychosomatic Medicine, 57, 1995.

Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka: 1985.

Praktinya, Ahmad Watik, Abdul Salam, & M. Sofro, Islam Etika dan

Kesehatan, Jakarta: Rajawali, 1986.

Prompst, L.R.; R. Ostrom, P. Watkins, T. Dean, & D. Mashburn, Religious Values in Psychoterapy and Mental Health: Empirical Findings and Issues.

Journal of Consulting and Clinical Psychology, 60, 1992.

Rahayu, Rr. Hartuti Pudji, “Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Perilaku

Coping Stres,” Psikologika,4 (2), 1997.

Robert, James A.; Douglas Brown, Thomas Elkins, & David Larson,

Factor Influencing Views of Patiens with Gynecologic Cancer About

End-of-Life Decisios, The American Journal of Obstretics and Gynecology,

176, 1997.

Saudia, T.L., M.R. Kinnery, K.C. Brown, & L. Young-Ward, Health Locus

of Control and Helpfullness of Prayer, Heart and Lung, 20, 1991.

Snyderman, Ralph, Religious Approach in the Medical Treatment, (Faculty of Medicine, Duke University), 1996.

Subandi, M. A. & Hasanat, Nida Ul, "Pengembangan Model Pelayanan Spiritual Bagi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum", Laporan

Penelitian (tidak diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM,

1999.

Winkels, W. S., Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 1991.

Yusuf, M. Zein, "Pengembangan Model Pelayanan Bimbingan dan Konseling Religius Bagi Pasien Rumah Sakit di Kota Semarang",

Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Semarang: Pusat Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Bagian kecil dari tema merupakan frase, frase dalam komposisi Tresnaning Tiyang memiliki 6 frase pada Song Form A dan yang mendominasi pada frase ini adalah vokal,

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Desiyanti (2015) bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian pernikahan dini adalah peran orang tua dalam

Berapa banyak minimal bola yang harus diambil dari kotak agar pasti terdapat dua buah bola yang memiliki warna yang sama dan hasil penjumlahan angka-angka pada kedua

Penelitian ini didasarkan pada fenomena banyaknya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pelajar SMP yang mengemudikan sepeda motor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi

Simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah variabel ukuran perusahaan, likuiditas, leverage dan profitabilitas secara simultan berpengaruh secara

kategori tinggi, dengan skor rata-rata aktivitas berada pada kategori baik, dan respons siswa berada pada kategori cenderung positif, (iii) pembelajaran matematika menggunakan

If in analyzing the addressing term in this research there are various types of addressing terms, namely the address using term found 12 data, addressing term using kinship name

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh dukungan manajemen puncak, manajemen proyek yang efektif, business process