• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat pejorative. Pengertian netral

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat pejorative. Pengertian netral"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

2.1Tinjauan Teori 2.1.1 Transfer Pricing

Pengertian transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengertian yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat pejorative. Pengertian netral mengasumsikan bahwa transfer pricing adalah strategi dan taktik bisnis tanpa motif pengurangan beban pajak. Sedangkan pengertian pejorative mengasumsikan transfer pricing sebagai upaya untuk menghemat beban pajak dengan cara menggeser laba ke negara yang mempunyai tarif pajak yang rendah (Suandy, 2011).

Menurut Gunadi dalam Suandy (2011) menyatakan bahwa transfer pricing adalah penentuan harga atas penyerahan barang, imbalan atas penyerahan jasa atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Transfer pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi. Transfer pricing dapat terjadi dalam satu perusahaan (intracompany) yang terikat dalam hubungan istimewa (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013).

Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan) (Hadi Muttaqin, 2012). Menurut

(2)

Plasschaet, definisi transfer pricing adalah suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara. Plasschaert memberikan definisi transfer pricing sebagai suatu rekayasa harga yang membuat seolah perusahaan rugi sehingga mengurangi pajak yang seharusnya dikenakan di suatu negara. Rekayasa tersebut bisa memanfaatkan tarif pajak yang paling rendah (Gunadi, 1994 : 9 dalam Yuniasih dkk, 2011). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli. Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 yang diubah terakhir dengan PER-32/PJ/2011, mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing) sebagai penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Transfer pricing, terutama international transfer pricing, dapat menimbulkan permasalahan apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran pajak. Dengan international transfer pricing, perusahaan-perusahaan yang berada pada negara yang berbeda dapat mengatur harga transfer sedemikian rupa sehingga perusahaan yang berbeda di negara yang tarif pajaknya rendah mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya, sedangkan perusahaan di negara yang tariff pajaknya lebih tinggi mendapatkan keuntungan yang serendah-rendahnya (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013).

Domestic transfer pricing bisa juga digunakan untuk menghindari pajak, meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan, dengan cara menetapkan harga

(3)

transfer sedemikian rupa sehingga penghasilan kena pajak tersebar merata pada perusahaan-perusahaan terkait untuk mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak progresif tertinggi dan laba dapat dialihkan kepada perusahaan yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2013).

2.1.2 Tujuan Transfer Pricing

Dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk meminimalkan beban-beban pajak, pengendalian devisa, dan berkenaan dengan risiko pengambilalihan oleh pemerintah asing. Fenomena perusahaan multinasional dalam ekspansinya cenderung mengoperasikan usahanya secara desentralisasi dan melaksanakan konsep cost revenue profit atau corporate profit center concept, yang dapat mengukur dan menilai kinerja dan motivasi setiap divisi atau unit yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. (Suandy, 2011).

Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional yang menggunakan transfer pricing adalah memaksimalkan penghasilan dengan merelokasi penghasilan globalnya ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries) dan menggeser-geser biaya dalam jumlah yang lebih besar ke negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) (Diana Sari, 2004).

2.1.3 Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional (multinational company-MNC atau multinational enterprise-MNE) adalah perusahaan yang beroperasi melewati lintas batas antar negara, yang terikat hubungan istimewa, baik karena penyertaan modal

(4)

saham, pengendalian manajemen, atau penggunaan teknologi, dengan membuka cabang perusahaan, mengorganisasikan anak perusahaan, atau melakukan kontrak keagenan, dan sebagainya, dengan berbagai tujuan, antara lain meminimalkan pajak perusahaan (Suandy, 2011).

2.1.4 Hubungan Istimewa

Hubungan istimewa terjadi antara induk perusahaan dengan anak perusahaannya atau dengan cabang-cabangnya atau perwakilannya, baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri (Suandy, 2011). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 18 ayat (4) Tentang Pajak Penghasilan, hubungan istimewa dianggap ada, apabila :

1. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.

2. Wajib pajak yang menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa

(5)

perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut. Hubungan istimewa di antara wajib pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus datu derajat adalah ayah, ibu, dan anak. Sementara itu, hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara. Sedangkan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri. Sementara itu, hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.

2.1.5 Pihak-pihak Berelasi

Penggunaan kata “hubungan istimewa” dalam akuntansi sudah tidak digunakan lagi tetapi menggunakan istilah “berelasi” merujuk pada istilah bahasa Inggris yang menggunakan kata “related party”. Pihak-pihak berelasi didefinisikan secara luas dalam PSAK 7 (revisi 2013). Terdapat perbedaan definisi pihak-pihak berelasi atau pihak mempunyai hubungan istimewa yang diatur regulasi perpajakan dengan definisi yang diatur dalam PSAK 7 (revisi 2013) tentang Pengungkapan Pihak-pihak Berelasi.

Pada paragraph 9 dari PSAK 7 (revisi 2013), pihak-pihak berelasi didefinisikan sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam

(6)

menyiapkan laporan keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagi “entitas pelapor”), yaitu :

a. Orang atau anggota keluarga terdekat berelasi dengan entitas pelapor jika orang tersebut :

i. Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor ; ii. Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau

iii. Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor. b. Suatu entitas berelasi dengan entitas pelapor jika memenuhi hal-hal berikut :

i. Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama (artinya entitas induk, entitas anak, dan entitas anak berikutnya terkait dengan entitas lain).

ii. Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota kelompok usaha, dimana entitas lain tersebut adalah anggotanya).

iii. Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama iv. Satu entitas adaalh ventura bersama dari ketiga dan entitas yang lain adalah

entitas asosiasi dari entitas ketiga.

v. Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor. Jika entitas pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas sponsor juga terkait dengan entitas pelapor.

vi. Entitas dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasikan dalam butir (a).

(7)

vii. Orang yang diidentifikasikan dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas).

Hubungan istimewa dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan pelapor. Pihak-pihak berelasi dapat melakukan transakasi yang tidak akan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antara pihak-pihak berelasi juga dapat dilakukan dengan harga yang berbeda dengan transaksi serupa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sebagai contoh, anak perusahaan yang biasanya menjual produknya ke pihak independen dengan harga jual normal, mungkin akan diminta untuk menjual produknya ke induk perusahaan dengan harga pokok saja. Namun bisa saja dua perusahaan yang berelasi memiliki transaksi yang yidak istimewa. Contohnya adalah anak perusahaan yang menjual dengan harga jual normal kepada induknya. Mengingat dampak dari hubungan istimewa dengan suatu pihak, PSAK 7 mensyaratkan pengungkapan informasi tertentu dari pihak-pihak berelasi.

2.1.6 Transaksi Transfer Pricing

Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, Peraturan Direktorat Jenderal Pajak ini

(8)

hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tariff pajak yang disebabkan antara lain :

1. Perlakuan pengenaan pajak penghasilan final atau tidak final pada sector usaha tertentu;

2. Perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); atau 3. Transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak

Kerjasama Migas.

2.1.7 Metode Penentuan Transfer Pricing

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, terdapat beberapa jenis metode penentuan harga transfer (transfer pricing) yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolledmprice/CUP)

Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price) atau disingkat metode CUP adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.

(9)

2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM)

Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat metode RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, asset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.

3. Metode biaya plus (cost plus method/CPM)

Metode biaya plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

4. Metode pembagian laba (profit split method/PSM)

Metode pembagian laba (profit split method) atau metode PSM adalah metode penentuan harga transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi

(10)

laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.

5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM)

Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) atau disingkat TNMM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya.

2.2 Pajak

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 1 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan

(11)

imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2011 : 1 ) pajak adalah :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang – Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra Prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”

Menurut Adriani dalam Waluyo, (2013 : 2 ) adalah :

“Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.’’

Dengan demikian, pajak adalah peralihan uang atau harta dari sektor swasta atau individu ke sektor pemerintah atau masyarakat tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjukan. Dari berbagai definisi menurut para pakar, terdapat ciri-ciri yang melekat pada pajak, yaitu :

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang 2. Pajak bersifat memaksa

3. Pembayar pajak tidak mendapat kontraprestasi individual

4. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah 5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah 2.2.1 Fungsi dan Unsur-unsur Pajak

Pajak memiliki 2 fungsi, menurut Mardiasmo (2011 : 2), yaitu :

1. Fungsi anggaran (budgetair). Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

(12)

2. Fungsi mengatur (regulerend). Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Dari definisi dan fungsi pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur yaitu iuran dari rakyat kepada negara, berdasar pada Undang-Undang, tanpa adanya kontraprestasi secara langsung dari Negara, dan dipergunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.

2.2.2 Pajak Penghasilan

Menurut UU nomor 7 tahun 1983 pasal 1, Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP.

Adapun subjek dari PPh Badan menurut UU nomor 7 tahun 1983 pasal 2, yaitu : 1. Wajib pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau

bertempat kedudukan di Indonesia.

2. Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat tinggal dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.

Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk

(13)

konsumsi atau untuk menambahkan kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2.2.3 Tarif Pajak Efektif

Salah satu cara untuk mengukur seberapa baik sebuah perusahaan mengelola pajaknya adalah dengan melihat tarif pajak efektifnya (Liansheng et al, 2007 dalam Hanum, 2013). Tarif pajak efektif atau effective tax rate (ETR) pada dasarnya adalah sebuah presentase besaran tarif pajak yang ditanggung oleh perusahaan. Effective tax rate (ETR) dihitung atau dinilai berdasarkan pada informasi keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan sehingga effective tax rate (ETR) merupakan bentuk perhitungan tarif pajak pada perusahaan (Aunalal, 2011). Dengan adanya ETR, maka perusahaan akan dapat mengetahui berapa bagian dari penghasilan yang sebenarnya perusahaan bayarkan untuk pajak. Apabila perusahaan memiliki presentase ETR lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan dalam aturan perpajakan yang ada, karena dengan perusahaan memanfaatkan insentif perpajakan yang ada maka dapat memperkecil presentase pembayaran pajak dari laba komersial (Handayani, 2013).

PricewaterhouseCoopers (PWC) merumuskan effective tax rate (ETR) sebagai pajak penghasilan terutang dibagi dengan penghasilan sebelum pajak (Handayani, 2013). Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak sangat menyadari praktik penghindaran pajak dengan melakukan manipulasi transfer pricing, Penghindaran Pajak (tax avoidance) adalah “arrangement of a transaction in order to obtain a tax advantage, benefit, or reduction in a manner unintended by the tax law” (Brown, 2012). Untuk memperjelas, penghindaran pajak umumnya

(14)

dapat dibedakan dari penggelapan pajak (tax evasion), dimana penggelapan pajak terkait dengan penggunaan cara-cara yang melanggar hukum untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak sedangkan penghindaran pajak dilakukan secara “illegal” dengan memanfaatkan celah (loopholes) yang terdapat dalam peraturan perpajakan yang ada untuk menghindari pembayaran pajak, atau melakukan transaksi yang tidak memiliki tujuan selain untuk menghindari pajak, sedangkan tax avoidance adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh seseorang untuk menghindari pajak namun dengan cara-cara yang “legal” (Simanjuntak dan Mukhlis, 2012). Menggambarkan adanya tax avoidance suatu perusahaan yang ditunjukan dengan cara membandingkan beban pajak dengan penghasilan kena pajak (Mardiasmo 2003: 87). Paktik ini terutama dilakukan oleh perusahaan multinational. Tujuan utama dari manipulasi transfer pricing tentu saja adalah pergeseran penghasilan kena pajak. Dalam melakukan pengukuran tax avoidance, sejumlah besar peneliti menggunakan GAAP-ETR, seperti halnya penelitian yang telah dilakukan oleh Richardson dan Lanis (2007; 2012; 2013), (Chen et.al. (2010) dan Minnick dan Noga (2010). Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian Sigfried (1972), Dyreng et al. (2008), Kim dan Limpaphayom (1998), dan Rego (2003) menyatakan bahwa GAAP ETR merupakan salah satu pengukur tax avoidance.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa effective tax rate digunakan untuk mengukur dampak perubahan kebijakan perpajakan atas beban pajak perusahaan bahkan effective tax rate merupakan salah satu pengukur adanya tax avoidance (Rusydi, 2013 : 323). Berikut ini adalah rumus GAAP-ETR:

(15)

Tax Expense i,t Pretax Income i,t GAAP ETR =

Sumber: Rusydi (2013: 323)

Penjelasan mengenai rumus tersebut adalah :

a. GAAP ETR adalah effective tax rate berdasarkan pelaporan akuntansi keuangan yang berlaku;

b. Tax expense adalah beban pajak penghasilan beban untuk perusahaan I pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang telah diterbitkan;

c. Pretax Income adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan I pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang telah diterbitkan. 2.3 Debt Covenant

Debt covenant merupakan perjanjian untuk melindungi pemberian pinjaman dari tindakan-tindakan manajer terhadap kepentingan kreditor, seperti dividen yang berlebihan, pinjaman tambahan, atau membiarkan modal dan kekayaan pemilik berada di bawah tingkat yang telah ditentukan. Kontrak ini didasarkan pada teori akuntansi positif, yaitu hipotesis debt covenant yang menyatakan bahwa semakin dekat perusahaan melanggar perjanjian hutang, maka manajer akan memilih prosedur akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan (Sari dan Adhariani, 2009).

Debt covenant dalam penelitian ini diproksikan dengan leverage sesuai yang dilakukan oleh Qiang (2003) dalam Lasdi (2008) memprediksikan bahwa

(16)

manajer ingin menigkatkan laba dan asset untuk mengurangi biaya kontrak utang ketika perusahaan memutuskan perjanjian utangnya.

2.3.1 Leverage

Leverage atau debt ratio yang merupakan perbandingan antara nilai buku seluruh utang (total debt) dengan total aktiva (total assets). Rasio ini menekankan pentingnya pendanaan hutang dengan menunjukan presentase aktiva perusahaan yang didukung dengan hutang (Darsono dan Ashari, 2005 dalam Septian et al, 2014). Digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka panjangnya.

Rasio leverage adalah hubungan antara hutang perusahaan terhadap modal maupun assets. Rasio ini dapat melihat seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh hutang atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal (equity) (Harahap, 2004:306). Sedangkan menurut Kasmir (2010:112) rasio leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan (dilikuidasi).

Leverage merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan (Kasmir, 2010). Leverage dapat dipahami sebagai penaksir dari risiko keuangan yang melekat pada suatu perusahaan. Risiko keuangan tersebut meliputi kemungkinan ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajiban dan tidak tercapainya laba yang ditargetkan perusahaan. Semakin besar tingkat leverage menunjukan risiko investasi yang semakin besar, maka semakin

(17)

tinggi tingkat leverage dapat mempengaruhi penurunan nilai perusahaan (Brigham & Houston, 2010).

Menurut Sundjadja dan Barlian (2004:140) terdapat dua bentuk pengukuran rasio leverage yang digunakan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Debt to Total Assets atau Debt Ratio

Rasio ini disebut juga sebagai rasio yang melihat perbandingan utang perusahaan, yaitu diperoleh dari perbandingan total utang dibagi dengan total aset. Adapun rumus debt ratio yaitu :

𝐷𝐴𝑅 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 Dimana:

Total Liabilities = Total Utang Total Assets = Total Aset 2. Debt to Equity Ratio

Debt to Equity Ratio menurut joel G. Siegel dan Jae K. Shim dalam Fahmi (2012:128) adalah ukuran yang dipakai dalam menganalisis laporan keuangan untuk memperlihatkan besarnya jaminan yang tersedia untuk kreditor. Adapun rumus debt to equity ratio yaitu :

𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆ℎ𝑎𝑟𝑒ℎ𝑜𝑙𝑑𝑒𝑟𝑠 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦

Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan hutang yang digunakan untuk membiayai aktiva berasal dari pihak luar (kreditor) dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal (Harahap, 2007).

(18)

Sumber : (Harahap, 2007)

Menurut Saharul dan Nizar (2006) dalam Linandarini (2010) dijelaskan bahwa penggunaan hutang itu sendiri bagi perusahaan mengandung tiga dimensi yaitu :

1. Pemberian kredit akan menitikberatkan pada besarnya jaminan atas kredit yang diberikan.

2. Dengan penggunaan hutang maka apabila perusahaan mendapatkan keuntungan akan meningkat. Dengan menggunakan hutang maka pemilik memperoleh dana dan tidak kehilangan kendali perusahaan. Para investor maupun kreditor akan mendapatkan manfaat sepanjang laba atas hutang perusahaan melebihi biaya bunga dan apabila terjadi kenaikan pada nilai pasar sekuritas.

2.4 Mekanisme Bonus

Menurut Hansen dan Mowen, (2005: 132) mekanisme bonus adalah :

“Imbalan yang diberikan pemilik perusahaan kepada manajer karena memenuhi sasaran kinerja perusahaan, seorang manajer mungkin memperoleh berdasarkan laba bersih, atau menurut target kenaikan laba bersih”.

Mekanisme bonus atau bonus scheme merupakan sebuah sistem kompensasi bonus yang dapat memberikan pengaruh terhadap kinerja manajemen. Bonus merupakan penghargaan yang diberikan oleh RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) terhadap anggota direksi pada setiap periode apabila perusahaan memperoleh laba (Suryatiningsih et al, 2010). Skema bonus direksi juga dapat

𝐷𝐴𝑅 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

(19)

diartikan sebagai pemberian imbalan di luar gaji pokok kepada direksi perusahaan atas hasil kerja yang dilakukan dengan melihat kinerja direksi itu sendiri (Irpan, 2010).

Pemberian bonus tidak hanya didasarkan pada perolehan besarnya laba pada setiap periode, melainkan juga pada kinerja direksi dalam mengelola perusahaan, sehingga pihak direksi cenderung akan menunjukan kinerjanya terhadap pemilik perusahaan untuk memperoleh sebuah penghargaan atau bonus. Meskipun pemberian bonus tidak hanya didasarkan pada besar kecilnya laba yang diperoleh perusahaan, tetapi mekanisme bonus yang didasarkan pada besarnya laba ini merupakan cara yang paling popular dalam memberikan penghargaan kepada direksi atau manajer, sehingga akan menjadi logis jika direksi akan melakukan manipulasi laba periode berjalan untuk memaksimalkan bonus yang akan diterimanya sebagai penghargaan dari pemilik perusahaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa mekanisme bonus merupakan salah satu strategi atau motif perhitungan dalam akuntansi yang tujuannya adalah untuk memberikan penghargaan kepada direksi atau manajemen dengan melihat laba perusahaan secara keseluruhan (Lailiyul Wafiroh dan Novi, 2015).

2.5 Peneliti Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu yang dijadikan referensi oleh penulis untuk penelitian ini ditampilkan dalam tabel berikut:

(20)

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Variabel Persamaan Variabel Perbedaan Ria Rosa, Rita Andini, Kharis Raharjo (2017) Pengaru h Pajak, Tunneli ng Insentiv e, Mekanis me Bonus, Debt Conven ant, dan Good Corpera te Governa nce (GCG) Terhada p Transak si Transfer Pricing Perusah aan Manufa ktur di Bursa Efek Indonesi a 1.Pajak (X1) 2.Tunneling Insentive (X2) 3.Mekanisme Bonus (X3) 4.Debt Convenant (X4) 5.Good Corporate Governanc e (GCG) (X5) 6.Transfer Pricing (Y) 1. Pajak berpengaruh terhadap keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing. 2. Tunneling incentive berpengaruh positif pada keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing. 3. Bonus berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan perusahaan yang dilaporkan dengan meningkatkan laba periode berjalan salah satunya dengan praktek transfer pricing. 4. debt covenant juga memiliki pengaruh terhadap keputusan perusahaan dalam Persamaanny a yaitu meneliti Pajak, Mekanisme Bonus, dan Debt Convenant Perbedaann ya yaitu terletak pada peneliti terdahulu yaitu meneliti Tunneling Insentive dan Good Corporate Governance (GCG)

(21)

melakukan transfer pricing. 5. Good corporate governance berpengaruh positif terhadap transfer pricing. Winda Hartati, Desmiyawa ti, Julita (2015) Pengaru h Tax Minimiz ation, Tunnelin g Incentiv e, Dan Mekanis me Bonus Terhada p Keputus an Transfer Pricing 1. Tax Minimizati on (X1) 2. Tunneling Incentive (X2) 3. Mekanisme Bonus (X3) 4. Transfer Pricing (Y) 1.Tax Minimization berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 2.tunneling incentive berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 3.Mekanisme Bonus berpengaruh terhdap keputusan transfer pricing Persamaanny a yaitu meneliti Mekanisme Bonus Perbedaann ya yaitu terletak pada peneliti terdahulu yaitu meneliti Tax Minimizatio n, tunneling incentive, Marfuah dan Andi Puren Noor Azizah (2013) Pengaru h Pajak, Tunneli n Incentiv e, dan exchang e rate Terhada p Keputus an Perusah aan Melaku kan Praktik Transfer 1. Pajak (X1) 2.Tunneling Incentive (X2) 3. Exchange Rate (X3) 4. Transfer Pricing (Y) 1. Pajak berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 2. Tunneling Incentive berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 3. Exchange Rate tidak berpengaruh terhdap keputusan transfer pricing. Persamaanny a yaitu meneliti Pajak Perbedaann ya yaitu terletak pada peneliti terdahulu yaitu meneliti Tunneling Incentive, Exchange Rate

(22)

2.6 Kerangka Pemikiran

2.6.1 Pengaruh Pajak terhadap Keputusan Perusahaan untuk Melakukan Praktik Transfer Pricing

Salah satu alasan perusahaan melakukan transfer pricing adalah pajak. Motivasi pajak dalam transfer pricing pada perusahaan multinasional dilaksanakan

Pricing Klassen et al (2017) Transfer Pricing : Strategi es, Practice , and Tax Minimiz ation 1. Exchange rate (X1) 2. Mekanis me Bonus (X2) 3. Tunneling Incentive (X3) 4. Transfer Pricing (Y) 1. Exchange rate berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 2. Mekanisme bonus berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 3. Tunneling incentive tidak berpengaruh terhdap keputusan transfer pricing Persamaanny a yaitu meneliti Mekanisme Bonus Perbedaann ya yaitu terletak pada peneliti terdahulu yaitu meneliti Exchange rate, Tunneling Incentive Richardson et al (2013) Determi nants of transfer pricing aggressi veness : Empiric al evidence from Australi an firms. 1. Provitabil itas (X1) 2. Leverage (X2) 3. Aset Tidak Berwujud (X3) 4. Agresivita s Transfer Pricing (Y) 1.Provitabilitas berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 2. Leverage berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 3. Aset Tidak Berwujud berpengaruh terhdap keputusan transfer pricing Persamaanny a yaitu meneliti Transfer Pricing Perbedaann ya yaitu terletak pada peneliti terdahulu yaitu meneliti Provitabilit as, Leverage, Aset Tidak berwujud

(23)

dengan cara memindahkan kewajiban perpajakannya ke negara dengan tarif pajak rendah, dimana perusahaan memiliki group atau divisi yang beroperasi di negara tersebut. Perusahaan multinasional melakukan transfer pricing untuk meminimalkan beban pajak perusahaan secara global (Gusnadi, 2010).

Transfer antar perusahaan besar dapat mengakibatkan pembayaran pajak lebih rendah secara global. Perusahaan multinasional memperoleh keuntungan karena pergeseran pendapatan dari negara-negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah. Beban pajak yang semakin besar memicu perusahaan untuk melakukan praktik transfer pricing dengan harapan dapat menekan beban tersebut. Namun karena belum tersedianya alat, tenaga ahli, dan peraturan yang baku maka pemeriksaan transfer pricing sering kali dimenangkan oleh wajib pajak dalam pengadilan pajak sehingga tentu saja akan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk memperkecil beban pajak (Julaikah, 2014).

Sebagaimana dinyatakan Bernard et al., (2006) bahwa penentuan harga transfer antarpihak berelasi berpengaruh pada pajak dan tarif impor negara tujuan. Yuniasih dkk (2012) menemukan bahwa pajak berhubungan positif pada indikasi penentuan harga transfer. Untuk menekan pajak perusahaan maka logis bila manajer memilih melakukan transfer pricing. Hipotesis yang dirumuskan adalah : H01 : Pajak berpengaruh terhadap keputusan perusahaan melakukan

(24)

2.6.2 Pengaruh Debt Covenant terhadap Keputusan Perusahaan untuk Melakukan Praktik Transfer Pricing

Semakin tinggi rasio hutang atau ekuitas perusahaan, semakin besar pula kemungkinan bagi manajer untuk memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba dan menghindari peraturan kredit adalah dengan transfer pricing. Hal ini dijelaskan dalam the debt covenant hypothesis bahwa makin dekat suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke masa kini.

Manajer perusahaan yang mempunyai ratio leverage (debt/equity) yang besar akan lebih suka memilih prosedur akuntansi yang dapat menggantikan pelaporan laba untuk periode mendatang ke periode sekarang. Dengan memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan pengakuan laba untuk periode mendatang ke periode sekarang maka perusahaan akan mempunyai leverage ratio yang kecil (Watts dan Zimmerman, 1986). Alasannya adalah laba yang dilaporkan yang makin meningkat hutang berisi kesepakatan bahwa pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian.

Pramana (2014) menemukan bahwa debt covenant berpengaruh signifikan positif terhadap keputusan transfer pricing. Semakin tinggi batasan kredit semakin besar kemungkinan penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya. Manajer akan memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis.

(25)

Roda (2017) menunjukan bahwa debt covenant berpengaruh terhadap transfer pricing dengan kesimpulan bahwa setiap satu persen kenaikan debt covenant, maka akan meningkatkan keputusan transfer pricing perusahaan. Hipotesis yang dirumuskan adalah :

H02 : Debt covenant berpengaruh terhadap keputusan perusahaan melakukan praktik transfer pricing.

2.6.3 Pengaruh Mekanisme Bonus terhadap Keputusan Perusahaan untuk Melakukan Praktik Transfer Pricing

Keputusan mengenai harga transfer (transfer pricing) dalam organisasi yang terintegrasi secara vertikal memiliki dampak yang signifikan terhadap kompensasi insentif yang diterima pihak manajemen khususnya perdivisi. Tentu saja hal ini akan menimbulkan konflik antar divisi apabila penentuan harga transfer tidak dikonsolidasikan dengan baik (Yoon dan Theodore, 1998:139).

Penelitian yang dilakukan Ika Nurjanah dkk (2015) dan Winda Hartati dkk (2015) menunjukan bahwa mekanisme bonus memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan transfer pricing. Hipotesis yang dirumuskan adalah :

H03 : Mekanisme bonus berpengaruh terhadap keputusan perusahaan melakukan praktik transfer pricing.

2.7 Model Konseptual

Konsep menggambarkan suatu fenomena secara abstrak yang dibentuk dengan jalan membuat generalisasi terhadap sesuatu yang khas sehingga mempermudah mengkomunikasikan dasar pemikiran kepada orang lain agar

(26)

mudah dimengerti oleh orang lain (Nazir dalam Noviastika, 2016). Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan, dapat ditarik kerangka berpikir yang bertujuan mempermudah analisis dengan metode konseptual. Metode konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

Keterangan : Parsial

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Pajak

Debt Convenant

Mekanisme Bonus

Keputusan Transfer Pricing

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Pajak

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hipotesis, terdapat hubungan antara kelas sosial ekonomi dan jenis kelamin dengan sikap terhadap adaptasi perangkat teknologi sehingga dilakukan uji beda

Faktor berikut yang tidak mempengaruhi terjadinya interaksi adalah ..... adanya suatu

Sebagaimana diketahui pada saat ini pembayaran dilakukan melalui transfer dari rekening kas negara di Bank komersial (Bank Operasional) ke rekening pihak ketiga. Aktivitas di

Kegiatan Praktikum sesuai tahapan praktikum dilaksanakan oleh praktikan di lapangan untuk menjaring data responden masyarakat yang beraktifitas pada ekosistem pesisir dan

Banyaknya kejahatan di DKI Jakarta dipengaruhi oleh beberapa faktor, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya kejahatan di DKI

Sehingga laba perusahaan yang menerapkan prinsi-p akuntansi konservatif akan memiliki daya prediksi yang lebih rendah dari pada laba perusahaan yang menerapkan

Kontrol diri yang dilakukan subjek “AR” dalam mengatasi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan tersebut dengan cara membatasi diri dalam bergaul, bicara

Data Sekunder, yaitu data pelengkap yang diperoleh dari pihak kedua guna melengkapi penelitian ini meliputi: Peraturan-peraturan mengenai pelaksanaan otonomi desa