• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGKITKAN MORAL RELIGIUSITAS KONSELOR DI PERGURUAN TINGGI - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MEMBANGKITKAN MORAL RELIGIUSITAS KONSELOR DI PERGURUAN TINGGI - Test Repository"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

BIMBINGAN DAN KONSELING

PERGURUAN TINGGI

“Mengokohkan Peran Program Bimbingan dan

Konseling di Perguruan Tinggi dalam Rangka

Menyongsong Generasi Emas 2045”

BANDUNG, 6 APRIL 2018

Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling

(3)

Prosiding Seminar Nasional

Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi

Editor:

Prof. Dr. Syamsu Yusuf, LN, M.Pd. Sofwan Adiputra, M.Pd

Reviewer:

Dr. Anne Hafina, M.Pd. Dody Hartanto, M.Pd.

Wahidin, M.Pd.

Muhamad Rifa’i Subhi, M.Pd.I.

Mujiyati, M.Pd

Diselenggarakan atas kerjasama:

Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling & Pengembangkan Karir (UPT-BKPK)

Ikatan Bimbingan Konseling Perguruan Tinggi (IBKPT)

Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN)

Diterbitkan Oleh:

Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling &Pengembangkan Karir (UPT-BKPK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

2018

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil’alamin. Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga prosiding ini dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding yang telaha tersusun ini berisi kumpulan artikel dari berbagai daerah yang telah dipaparkan dalam Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi oleh Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling & Pengembangkan Karir (UPT-BKPK) bekerjasama dengan Ikatan Bimbingan Konseling Perguruan Tinggi (IBKPT) Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) di Bandung pada Jumat, 6 April 2018.

Seminar ini mengangkat tema “Mengokohkan Peran Program Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi dalam rangka menyongsong generasi emas tahun 2045”. Pada periode usia mahasiswa sering kali menghadapi dua persoalan, yakni tuntutan akademik dan tuntutan sosioemosional. Mahasiswa sering kali belum mampu mengatasi persoalan dirinya dengan baik sehingga membutuhkan bimbingan dalam membantu menyelesaikan masalahnya. Dosen pembimbing akademik (dosen PA) atau konselor di PT memiliki peran penting untuk membimbing dan memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan potensi dan memecahkan masalah yang dihadapinya.

Kegiatan ini bertujuan menghasilkan gambaran pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi. Artikel-artikel yang disajikan diharapkan dapat menambah wawasaan keilmuaan dalam upaya membantu mahasiswa di perguruan tinggi.

Kami menyampaikan ucapan terimakasi atas partisipasi para pembicara pada sesi paralel. Kami menyadari bahwa prosiding ini tentu saja tidak luput dari kekurangan, untuk itu segala saran dan kritik kami harapkan demi perbaikan pada masa yang akan datang.

Hormat Kami

(5)

DAFTAR ISI

Pemakalah Utama

No Judul/ Penulis Halaman

1 Program Bimbingan dan Konseling di perguruan Tinggi 1 (Syamsu Yusuf LN)

2 Tim Pelaksana Bimbingan dan Konseling (TPBK) Universitas 19 Padjadjaran (Lynna Lidyana)

Pemakalah Pendamping

No Judul/ Penulis Halaman

3 Dinamika Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Perguruan 23 Tinggi

(Ali Rachman, Muhammad Andri Setiawan)

4 Urgensi Pelaksanaan Konseling Pra Nikah Bagi Mahasiswa di 29 Perguruan Tinggi

(Muhammad Bisri)

5 Road Map Pelaksanaan Layanan Konseling di Perguruan Tinggi 37 (Zaen Musyirifin)

6 Membangkitkan Moral Religiusitas Konselor di Perguruan Tinggi 49 (Muhamad Rozikan)

7 Teknologi Informasi Berbasis Media Grafis Dalam Upaya 59 Peningkatan Inovasi di Perguruan Tinggi

(Restu Dwi Ariyanto)

8 Peningkatan Kapasistas Konselor di Perguruan Tinggi dalam 69 Kompleksitas Problematika Mahasiswa

(Agus Wibowo, Nurul Atieka, Hadi Pranoto)

9 Analisis Kebutuhan Pengembangan Diri Mahasiswa: Asessmen 77 dalam Pendidikan, Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi

(Triana Lestari)

10 Menumbuhkan Karakter Optimis Melalui Konseling Bagi 87 Mahasiswa (Refleksi Bimbingan dan Konseling di Biro Tazkia

IAIN Salatiga) (Wahidin)

(6)

11 Profil Kematangan Karier Mahasiswa STAI Siliwangi Bandung 99 (Ahmad Rifqy Ash Shiddiqy)

12 Perencanaan Karier Mahasiswa Ditinjau dari Orientasi Locus of 111

Control Self Management

(Eko Sujadi, Bukhari Ahmad, Donal , Raja Rahima MRA)

13 Need Assessment Layanan Bimbingan Dan Konseling Pada 123 Mahasiswa Instika

(Sunhiyah)

14 Mengenal Defence Mechanism di Kalangan Mahasiswa 135 (Andar Ifazatul Nurlatifah)

15 Bimbingan dan Konseling Pranikah untuk Meningkatkan 147 Persiapan Pernikahan Pada Masa Dewasa Awal

(Mardia Bin Smith, Mohamad Awal Lakadjo)

16 Strategi Coping Remaja pada Perilaku Menyimpang 159 (Ririanti Rachmayanie J., M. Arli Rusandi)

17 Keterampilan Konselor dalam Melepas Emosi Negatif Anak 167 dengan Terapi Reframing

(Hengki Yandri, Dosi Juliawati, Alfaiz, Nofrita)

18 Expressive Art Therapy pada Mahasisawa 179 (Ninil Elfira)

19 Sex Counseling untuk Mengatasi Disfungsi Seksual dalam 187 Hubungan Seks Pasangan Suami-Istri

(Irvan Usman, Mohamad Awal Lakadjo)

20 Multicultural Considerations in Group PlayTherapy 197 (Hartini)

21 Pre-Marriage Counseling Trough Transactional Analysis 211 Approach

(Selvia Tristianty Hidajat)

22 Identifikasi Masalah pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan 221 dan Konseling FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Banjarmasin

(Nina Permata Sari, Akhmad Sugianto)

23 Depresi sebagai Dampak Kegagalan Penyesuaian Diri pada 225 Mahasiswa

(Qurrotu Ayun)

24 Efforts oo Improve The Self Esteem of The LGBT Community 241 Medan City Through Service Mentoring and Counseling

Technique Self-Management

(7)

25 Program Layanan BK untuk Mahasiswa Mengalami Mental Block 247 dalam Proses Penulisan Skripsi

(Arif Taufiq Dani Abdillah)

26 Perkembangan Karier dan Perkembangan Psikososial Mahasisw 257 di Masa Dewasa Awal

(Yudi Kusyadi)

27 Couple Therapy: Sebuah Pendekatan Integratif Konseling 271 Pernikahan Perspektif Islam

(Sofwan Adiputra, Mujiyati)

28 Pendekatan Sufistik dalam Bimbingan dan Konseling 281

(Muhamad Rifa’i Subhi, Nur Alfiah)

(8)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

MEMBANGKITKAN MORAL RELIGIUSITAS KONSELOR DI

PERGURUAN TINGGI

Muhamad Rozikan

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Email: rozikanmuhamad@gmail.com

Abstract

Speaking of morals in Higher Education seems to have often been done by most academic community. As a social life, moral is the main supporter of social values based on one's religiousity. The strengthening of the religious morale of the counselor must be an attractive offer in the context of one's self-development in both the private, the social, the learning and the career. The moral principle at the beginning of the prophethood of Prophet Muhammad SAW is a behavior that is always described for the surrounding community, they are his friends who always make him as uswah or exemplary of all the behavior that will be done. The importance of religious morality in a person, including a counselor in Higher Education is an impossibility that is impossible to reject, religious moral conscience to the individual is absolute to make each person aware of his existence as khalifah of Allah swt. The demands of each individual behave and behave by relying on religious morals in order to make themselves each capable of achieving the perfection of human kamil in his life. The counselor in this case is a person capable of carrying out the mandate to call others to the goodness and stability of life in the frame of religion that finally he is able to embody Islam as a religion rahmatan lil 'alamin (grace for the universe).

Keywords: Moral, Religiosity, Counselor

© Published by Panitia SNBKPT 2018

1. PENDAHULUAN

(9)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

Membahas moralitas dalam kehidupan, niscaya masing-masing orang dibawa ke alam nilai kehidupan yang harus dilakukan dengan baik. Prinsip-prinsip kesesuaian dan kebaikan menjadi tolak ukur utama dalam pencapaian nilai kehidupan yang bermartabat di masyarakat. Masyarakat akan senantiasa melihat kondisi masing-masing elemen di dalamnya berlandaskan pada nilai-nilai positif yang dihasilkan. Begitu juga sebaliknya, respon-respon negatif akan mengisi ruang penerimaan masyarakat yang bertolak belakang dengan kebiasaan yang sudah berjalan secara umum. Secara umum, masyarakat berjalan di atas konsep ideal dari potret kehidupan sehari-hari. Moralitas senentiasa menjadi tolak ukur bagi stabilitas kehidupan suatu masyarakat. Pronsip etis sebagai konsekuensi dari titik pijak moralitas memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral. Nilai dan etika tradisional dikotomikan dengan baik dan jahat. Dalam khasanah keilmuan filsafat, realitas ini merupakan kelanjutan dari peran aksiologis dari struktur kehidupan (Saputro, Wahidin, 2011).

Lebih lanjut Bakhtiar (2012) mengemukakan bahwa nilai memiliki tiga bentuk dalam pemaknaannya, nilai sebagai kata benda abstrak, nilai sebagai kata benda konkret, dan nilai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai. Melalui penjelasan tadi dapat digambarkan bahwa eksistensi nilai dalam hierarki moralitas bersinergi terhadap prespektif yang akan dimunculkan melalui peristiwa yang disaksikan. Pada kategori nilai sebagai kata benda abstrak, prespektif ini mengarah pada penjelasan tentang hakikat baik, menarik dan bagus. Dalam penjelasan yang lebih luas hal ini dimaksudkan kepada cakupan dari segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Untuk selanjutkan pada kategori nilai sebagai kata benda konkret hal ini menunjuk kepada sesuatu yang benila, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai. Sementara itu, pada kategori nilai sebagai kata kerja, fakta ini bersinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.

2. PEMBAHASAN

Moral Religius

Prent (Cholisin, 1989) mengatakan bahwa moral berasal dari bahsa latin mores

(10)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

Adapun Religius adalah sikap atau perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Secara umum istilah religius sering diartikan atau identik dengan urusan agama, sehingga menjadi fokus utama dalam pendidikan agama (Safitri, dkk, t.t). Prinsip moral di awal kenabian Nabi Muhammad SAW adalah perilaku yang senantiasa digambarkan bagi masyarakat sekitarnya. Mereka adalah para sahabatnya yang senantiasa menjadikan beliau sebagai uswah atau teladan atas semua perilaku yang akan dilakukan. Pengukuhan pribadi nabi Muhammad saw sebagai teladan difirmankan Allah swt, dalam Qs. al-Qalam (68):4, “Sesungguhnya pada

dirimulah budi pekerti yang mulia”. ayat ini menjadi dasar pembuktian yang bisa dijadikan pemupuk kesadaran setiap inidividu muslim terutama para konselor guna menghadirkan pengertian akan hakikat teladan bagi masyarakatnya.

Pengukuhan Rasulullah saw sebagai teladan bagi ummatnya dengan tingkatan moral tertinggi diapresiasi para sahabat dengan menjadikannya sebagai cermin aktivitas dan perilaku. Di masanya, ketika seorang sahabat ingin mengetahui kaifiyah (cara) mengangkat tangan dalam takbiratul ikhrom, maka dia tinggal melihat bagaimana nabi Muhammad saw melakukannya. Selanjutnya pula, ketika para sahabat ingin mengetahui cara makan Qur’ani dan Sunni, mereka tinggal melihat bagaimana cara makan (Afif, Muhammad: 1998). Membaca beberapa deskripsi metodologis tentang moral dan etika di atas dapat diungkapkan bahw keduanya merupakan dua sinonim istilah yang saling bersentuhan antara yang satu dengan lainnya. Akan tetapi Santayana (dalam bagus, 2002) yang menganggap bahwa moralitas terpisah dengan etika. Etika dianggap sebagai suatu disiplin rasional, sedangkan moralitas berkaitan erat dengan adat istiadat atau kebiasaan. Deskripsi ini mengungkapkan secara argumentatif bahwa etika merupakan disiplin yang menyentuh kepada instrumen terdalam dari manusia sementara moral lebih berkecenderungan pada perilaku sehari-hari yang dijalankan dalam kehidupan manusia.

(11)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

semuanya kepada tali (agama) Allah, dan jangan kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah melembutkan hatimu lalu menjadikan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kami dari padanya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk”.

Pemenuhan terhadap tuntutan masayarakat memerlukan pengembangan individu sebagai langkah persiapannya menjadi warga masyarakat secara harmonis, serasi, selaras, dan seimbang. Tetapi, kenyataanya yang sering dijumpai adalah keadaan pribadi yang kurang berkembang dan rapuh, penyimpangan perilaku karena ketidakmampuan menyesuaikan lingkungan dengan lebih bijaksana, kesosialan yang panas dan sangar, kesusilaan yang rendah, dan kelimuan yang dangkal bahkan perilaku impulsif yang tidak bertanggung jawab merugikan diri sendidi dan merugikan orang lain bahkan lingkungan). Sehubungan dengan itu, dalam proses pendidikan banyak dijumpai permasalahan yang dialami yang menyangkut dimensi kemanusiaannya. Keempat dimensi yang dimaksud, yaitu dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi kesusilaan dan dimensi keberagamaan (Retnanto, 2009). Sehingga manusia terkategori sehat atau tidak sehat tergantung dari pemenuhan empat dimensi yang melekat pada manusia, yaitu sesuai dengan norma individu-sosial-susila-agama.

Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah) yang dapat dilihat mata, tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural yang tida dapat dilihat mata (terjadi dalam hati seseorang). Karena itu, kebergamaan seseorang meliputi berbagai sisi atau dimensi. Menurut Glock & Start, agama adalah system symbol, keyakinan, nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Ada lima macam dimensi keberagamaan yaitu dimensi keyakinan/ideologis, peribadatan atau praktek agama/ritualistic, penghayatan/eksperiensial, pengalaman/konsekuensial, dan pengetahuan agama/intelektual (Ancok & Suroso, 2011). Dan peran agama dapat ditampilkan secara utuh, Louis kriesberg menyarankan untuk melakukan 3 hal, yaitu mekanisme eksternal. Misalnya melakukan reinterpretasi terhadap kitab suci dalam semangat kedamaian, yang mengedepankan HAM, toleransi, rekonsiliasi, kebebasan beragama dan kenyakinan. Sehingga agama dalam konteks sosial budaya atau kontekstualisasinya ajaran agama sangat penting untuk memahami hubungan timbal balik agar terjadi kehamonisan dalam pelaksanaan agama di kehidupan sosial.

Hakikat keberagamaan agama adalah upaya menemukan kebenaran agama berikut

(12)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

untuk menemukan kebenaran, yaitu jalan ayat kauniyah, realitas sosial (dalil aqli) dan melalui teks wahyu (dalail naqli). Islam adalah agama yang tidak hanya membawa ajaran dalam satu dimensi saja, melainkan meliputi berbagai aspek kehidupan.

Glok dan Stark (1966) membagi aspek religius dalam lima dimensi sebagai berikut: 1) Religius belief (aspek keyakinan), yaitu adanya keyakinan terhadap Tuhan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia ghaib serta menerima hal-hal dogmatik dalam ajaran agamanya. Keimanan ini adalah dimensi yang paling mendasar bagi pemeluk agama. 2) Religius practice (aspek peribadatan), yaitu aspek yang berkaitan tingkat keterikatan yang meliputi frekuensi dan intensitas sejumlah perilaku, dimana perilaku tersebut sudah ditetapkan oleh agama seperti tata cara menjalankan ibadah dan aturan agama. 3) Religius felling (aspek penghayatan), yaitu gambaran bentuk perasaan yang dirasakan dalam beragama atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama yang dilakukannya misalnya kekhusukan ketika melakukan sholat. 4) Religius knowledge (aspek pengalaman), yaitu penerapan tentang apa yang sudah diketahuinya dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya kemudian diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Etika dan Pemikiran Moral

Kitchener dalam McLeod, John. (2010) mengidentifikasi empat level pemikiran moral.

a. Intuisi Personal

Seringkali, sepanjang sesi konseling yang sebenarnya, konselor bersandar pada penilaian moral intuitifnya tentang "apa yang dirasa benar" ketimbang kepada panduan eksplisit lainnya. Namun, terdapat kesulitan dalam tindakan menyadarkan diri hanya kepada cara merespons pilihan moral seperti ini. Kesulitan yang pertama adalah jenis respons melalui pengalaman, yang awalnya konselor mungkin harus memiliki cara lain untuk mengahadapi isu moral; misalnya, dengan merujuk kepada kode etik profesional. Kesulitan lain muncul ketika keyakinan atau pilihan moral klien di luar pengalaman personal konselor; misal, konselor beragama Kristen menangani klien beragama Muslim.

(13)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

yang dapat dipercaya, dan telah mengembangkan pandangan moral yang kuat untuk diri mereka sendiri dan mampu menghormati batasan yang ada.

b. Kode Etik yang dikembangkan oleh Organisasi Profesi

Pengaturan konseling oleh badan profesi di sebagian besar negara semakin meningkat. Salah satu fungsi organisasi profesional seperti British Association for Counselling and Psychotherapy atau British Psychological Society adalah untuk menegaskan standar etika praktik dalam konseling. Untuk mencapai tujuan ini, kedua badan tersebut telah mengeluarkan kode etik bagi praktisi, disertai dengan prosedur dalam menghadapi keluhan berkenaan dengan perilaku yang tidak etis. Semua konselor yang terlatih dan kompeten yang sekarang melakukan praktik harus mampu menunjukkan kode etik tertentu kepada kliennya.

Walaupun berbagai kode etik ini sangat membantu dalam menyatakan kesatuan pandangan terhadap berbagai dilema etik dalam konseling, namun masih ada ambiguitas. Dari tiga pandangan kode etik oleh British Association for Counselling (1984) atau British Association for Counselling and Psychotherapy (2001), American Association for Counseling and Development (1988) mempresentasikan bahwa tiap kode etik menekankan serangkaian isu yang berbeda. Ini menunjukkan betapa sulitnya memformulasikan kode etik yang dapat mencakup semua aspek.

Kode etik ini dikembangkan bukan hanya untuk melindungi klien dari pelecehan atau malpraktik yang dilakukan konselor, tetapi juga untuk melindungi profesi konseling dari campur tangan pemerintah dan menguatkan klaimnya untuk mengontrol bidang kepakaran profesional tertentu. Komite kode etik dan kode praktik berfungsi menunjukkan kepada dunia luar bahwa konseling berjalan sesuai aturan, bahwa konselor dapat diandalkan untuk memberikan pelayanan profesional.

c. Prinsip Etik

(14)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

banyak konselor yang menilai konseling tidak akan terjadi kecuali jika klien memilih dengan sukarela untuk berpartisipasi. Implikasi konsep otonomi terhadap konseling terdapat dalam pemberian izin berdasarkan informasi, bahwa tidak etis untuk memulai konseling, kecuali klien tersebut sadar apa yang sedang terjadi dan memberikan izin untuk melanjutkannya. Prinsip kebebasan memilih dan bertindak merupakan tema inti dalam praktik konseling. Namun, ini juga merupakan bukti bahwa konsep otonomi personal bukanlah hal yang sederhana dan hal ini tidak dapat berfungsi sebagai panduan praktik yang baik dalam setiap kondisi.

(2) Non-Maleficence, menekanan kode praktik yang mengharuskan konselor untuk yakin bahwa mereka harus memonitor dan mempertahankan kompetensi mereka melalui supervisi, konsultasi, dan pelatihan, dan mereka harus bekerja hanya dalam batasan kompetensi mereka. Salah satu area di mana prinsip non-maleficence muncul adalah pada bidang teknik terapi yang beresiko dan berbahaya. Biasanya, klien merasa tidak nyaman dan gelisah sepanjang sesi konseling. Beberapa pendekatan konseling menyarankan agar klien didorong untuk mengambil risiko dalam menjalankan bentuk perilaku baru. Prinsip otonomi menyatakan bahwa apabila klien memberikan izin berdasarkan informasi yang cukup, maka dia bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang dihasilkan oleh intervensi tersebut. Akan tetapi, dalam praktik, sulit secara eksplisit untuk menyetujui setiap tahap dalam proses konseling. Studi riset juga cenderung fokus pada keberhasilan ketimbang yang pada sesuatu yang gagal dan jarang sekali memberikan perhatian terhadap prosedur yang salah.

(3)Prinsip Keadilan, dalam bidang konseling, prinsip keadilan memiliki relevansi khusus dengan pertanyaan tentang akses kepada pelayanan. Tidak diragukan bahwa kondisi saling percaya dan saling menghormati yang merupakan pondasi hubungan konselor dan klien mudah dihancurkan oleh perilaku yang diskriminatif atau perilaku tidak adil. (4) Prinsip Kesetiaan, berbohong, menipu, dan mengeksploitasi merupakan contoh dari pelanggaran utama kesetiaan. Salah satu aspek konseling yang sangat berkaitan dengan kesetiaan adalah melaksanakan kontrak. Praktisi yang telah menerima klien untuk konseling telah mengikat kontrak untuk mendampingi klien dan memberikan usaha terbaik dalam kasus yang ditangani. Situasi di mana penyelesaian kontrak tidak dimungkinkan, karena sakit, perubahan pekerjaan atau faktor konselor lainnya, harus diselesaikan dengan hati-hati untuk mencegah pelanggaran lainnya.

Religiusitas dalam Bimbingan dan Konseling

(15)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

menyebut bahwa riligiusitas sebagai “universal obsessional neurosis of humanity”

dalam pandangan freud religi dianggap sebagai perilaku impulsive, selain itu dari pandangan negative mengenai religi berpendapat bahwa religiusitas sebagai kelemahan dan keterbelakangan, kedua, kelompok yang memandang agama dan keberagamaan secara positif, kelompok ini diwakili oelh Alport, yang berpendapat bahwa kematangan dan beragama dapat menyatukan kepribadian individu, bahkan dengan tegas Alport berpendapat bahwa agama bukan hanya mampu menjadi dasar filosofis kehidupan yang memungkinkan untuk mengembangkan dan menjaga kematangan kepribadian individu

dan yang paling mendasar adalah “religion is the search for value underlying all things”

Munculnya pandangan negatif dari beberapa psikolog mengenai religiusitas dalam perkembangan psikologi perlu dipahami dari banyak aspek dan latar belakang para pengagas teori tersebut. Hal yang paling mendasar dari munculnya pandangan negatif terhadap konsep agama dalam psikologi adalah permasalahan sudut pandang dan cara memperoleh kebenaran mengenai konsep agama dan keberagamaan, karena ketika para psikolog mengkaji agama dan keberagamaan tentunya menggunakan perspektif, paradigm dan standar kebenaran yang merujuk pada konsep keilmuan dalam bidang psikologi, buka dari dalam agama itu sendiri, sehingga jelas tidak akan mendapatkan kebenaran yang sesuai.

Religuitas dapat dipahami sebagai rasa beragama atau ekspresi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam kehidupan beragama yang berhubungan dengan praktik keberagamaan, spiritualitas dan kualitas moral yang tinggi sebagai dampak ketaatan terhadap ajaran agama. Zinnbauer & Pargament (2005) melakukan analisis terhadap definisi religiusitas yang hasilnya menunjukkan bahwa, pertama, hakikat religiusitas adalah sistem keyakinan tentang Tuhan, praktik ibadah, kesadaran diri sebagai makhluk, keimanan terhadap kematian, pengalaman diri, harmoni diri dengan lingkungan dan Tuhan, serta permasalahan etika.

(16)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

Urgensi pelibatan dimensi religius dalam proses konseling muncul dari kebutuhan mendasar, yaitu melibatkan fitrah kemanusiaan. Survey Gallup menunjukkan bahwa warga Amerika manyakini keberadaan Tuhan atau keyakinan lainnya, serta agama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan, agama dapat menjawab permasalahn hidup. Hal ini menegaskan bahwa secara ilmiah dikatakan para ahli seperti Hegel hingga Erikson bahwa secara fitrah manusia adalah makhluk religius yang secara eksistensial memiliki dorongan untuk mencapai transendensi, kebebasan, kemampuan memaknai, terlepas dari ragam agama atau keyakinan yang dijalani.

Konselor perlu memperhatikan nilai-nilai pribadi konseli, dan nilai-nilai yang akan dibangun dalam sebuah proses konseling, karena dalam proses konseling terjadi transfer nilai-nilai konselor kepada konseli, dari hasil riset menunjukkan bahwa konseli mengadopsi nilai-nilai yang dianut oleh konselor. Permasalahan mendasar dalam penerapan dan pemanfaatan dimensi religius dalam proses konseling adalah kompetesi konselor yang belum memadahi, terutama dalah hal: (a) mengenali dan mengelolaperbedaan nilai dalam sebuah proses konseling, (b) melakukan proses konseling yang melibatkan nilaidan isu religiusitas, dan (c) mengidentifikasi potensi dampak nilai keberagamaan konselor terhadap prose konseling.

Pendidikan Konselor Religius di Perguruan Tinggi

Untuk membahas secara luas pendidikan konselor dan pengajaran agama, perlu memcermati temuan Kelly. Ia melakukan survey tentang program pendidikan konselor secara nasional untuk menentukan apakah isu agama merupakan bagian dari kurikulum pendidikan konselor masing-masing perguruan tinggi. Program yang ditelitinya didistribusikan secara merata di seluruh Amerika Serikat. Survey itu menemukan bahwa isu agama muncul sebagai komponen pembelajaran dalam pendidikan konselor dengan persentasi kurang dari 25 % keseluruhan program. Survey ini juga mendapati bahwa sejumlah program yang berafiliasi pada negara memberikan sedikit perhatian pada pengajaran agama. Kurang dari separuh responden menyakini bahwa agama sangat penting, sementara 41% yang lainnya menganggap sebagai agak penting. Rekomendasi yang dimunculkan dari studi ini adalah memperluas riset serta melibatkan dialog profesional dalam mempertimbangkan apakah jika agama dimasukkan dalam kurikulum konselor sebagai sesuatu yang bermanfaat ataukah tidak.

(17)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI

BANDUNG, 6 APRIL 2018

mempengaruhi klien. Para peserta didik harus memiliki pengalaman yang membuatnya sadar tentang perilaku, perasaan dan keyakinan mereka. Teori ini menjelaskan, jika konselor merasa nyaman dengan agama mereka, mereka akan merasa lebih baik memberikan isu agama mengambil dalam proses konseling.

3. KESIMPULAN

Keberadaan Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi, yang nantinya akan mencetak calon-calon konselor di sekolah/madarasah maupun di masyarakat yang bersandar pada moral religius merupakan sebuah keniscayaan. Pada kehidupan Rasulullah saw bahwa semua perilaku yang ditunjukkannya merupakan cerminan bagi segenap para sahabat yang berada sekelilingnya. Oleh karena itu Nabi Muhammad saw dianggap sebagai uswah (teladan) bagi semua sahabat yang hidup sezaman dengannya. Dalam hal ini juga harus mampu memasukkan nilai-nilai agama dalam komponen sensitif dalam multikultural dalam pendidikan konselor akan memperkuat poin pada kesadaran kultural dan merupakan hal penting dalam semua situasi konseling.

4. DAFTAR PUSTAKA

Afif, Muhammad. (1998). Islam Mazhab Masa depan, Menuju Islam Non Sekterian. Bandung: Pustaka Hidayah.

Baktiyar, Amsal. (2012). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Cates, K.A. (2009). Counselor Spirtual Competencies: an Examinination Of Counselor Practices: Disertation. Auburn-Alabama: Auburn University.

Darwis. (2015). Bimbingan Konseling Agama Untuk Masyarakat Modern. Jurnal Konseling Religi: STAIN Kudus.

Glock, C And Stark. (1966). Religion and Society In Tension. Chicago: University Of California.

Imaduddin, A’am. (2017). Spiritualitas Dalam Konteks Konseling. Journal Of Innovation Counseling: theory, Practice & Research.

Mas’udi. (2015) . Membangun moral Profetik mencetak Konselor Idaman. Jurnal Konseling Religi: STAIN Kudus.

McLeod, John. (2010). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Naqiyah, Najlatun. (2011). Pendidikan Konselor Religius: tawaran Pengembangan Bimbingan & Konseling di Perguruan Tinggi Agama Islam. Jurnal Al-Tahrir.

Saputra, Wahidin. (2011). Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Zinnbauer, B.J & Pargament, K.I .(2005). Religiousness and Spirituality: dalam

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Dimana pada kawasan masjid Pathok Negoro terdapat permukiman yang memiliki karakteristik khusus yaitu pusat pengembangan Islam dengan pengulu sebagai pengurus masjid yang

penilaian Bapak/Ibu. Untuk penilaian umum, dimohon Bapak/Ibu melingkari huruf yang sesuai dengan penilaian Bapak/Ibu. Untuk saran-saran revisi, Bapak/Ibu dapat langsung

Hasil penelitian menunjukkan: 1) Kepuasan konsumen berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen, artinya semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen

Renstra Deputi Bidang Investigasi Tahun 2010-2014 dijabarkan setiap tahun ke dalam Rencana Kinerja (Renja) yang berisi kegiatan-kegiatan yang terkait dengan

Dari hasil analisis perancangan firewall pada jaringan WLAN SMK Muhammadiyah Prambanan Sleman dengan metode sechedule task pembatasan akses game online PUBG dan

Diintegrasikan dengan masalah sebelumnya, kegiatan pengabdian masyarakat ini diarahkan pada pelatihan pengelolaan keuangan syari’ah untuk ibu-ibu majelis ta’lim yang

Untuk itu dibutuhkan suatu rumus untuk menghitung tingkat positif yang salah dari suatu cascade classifier, menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Viola & Jones (2011)

Dari berbagai pendapat tentang pengertian belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang disengaja dan bertujuan sehingga