• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem Pengelolaan Gangguan Jiwa yang Lazim di Pelayanan Primer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Problem Pengelolaan Gangguan Jiwa yang Lazim di Pelayanan Primer"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

586 | NOVEMBER - DESEMBER 2010

PENDAHULUAN

Gangguan jiwa yang lazim (common

mental disorder), termasuk di dalam-nya anxietas dan depresi, merupa-kan masalah kesehatan yang sering ditemukan di masyarakat. Gangguan ini bersifat universal, dapat terjadi pada individu di semua daerah, semua negara dan semua kelompok sosial. Gangguan ini juga dapat mengenai laki-laki dan perempuan dari berbagai lapisan umur, dengan berbagai tingka-tan sosial ekonomi, baik yang tinggal

di perkotaan maupun di pedesaan.1

Sebuah survei World Health

Organi-zation (WHO) di pelayanan keseha-tan primer pada tahun 1996, menda-patkan sekitar 24% pasien menderita gangguan jiwa, yang terbanyak

ada-lah gangguan anxietas dan gangguan depresi.1,2,3

Beberapa studi mendapatkan bahwa apabila gangguan-gangguan terse-but tidak terdeteksi dan tertatalaksa-na dengan baik, dapat menyebabkan disabilitas penderitanya, baik secara fi sik, psikologis, maupun

sosial-oku-pasional.1-7 Beberapa kepustakaan

bahkan menyebutkan bahwa disabi-li-tas yang terjadi dapat lebih berat dibanding dengan pada penyakit fi sik kronik lain, seperti hipertensi, diabetes mellitus, arthritis dan nyeri

punggung.2-4 Hal ini menimbulkan

kerugian yang tidak sedikit, baik bagi penderita sendiri, keluarga dan ling-kungannya. Dampak ekonomi yang

terjadi juga tidak kecil, dan bisa ber-akibat terhadap sistem pelayanan kesehatan itu sendiri maupun juga terhadap komunitas.1-7

Pelayanan primer, seperti puskesmas, praktek dokter umum dan dokter luarga merupakan lini terdepan ke-sehatan yang akan menangani gang-guan-gangguan tersebut pertama kali. Karenanya, petugas kesehatan di pelayanan primer haruslah memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan mampu menatalaksana gangguan jiwa yang lazim tersebut.

Hal tersebut bukanlah persoalan mu-dah; terdapat beberapa kendala yang menyulitkan deteksi pasien dengan

Problem Pengelolaan Gangguan Jiwa yang Lazim

di Pelayanan Primer

Feranindhya Agiananda

Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Gangguan jiwa yang lazim (common mental disorder), termasuk di dalamnya anxietas dan depresi, merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan di masyarakat dan bersifat universal. Survai World Health Organization (WHO) di pe-layanan kesehatan primer pada tahun 1996, mendapatkan sekitar 24% pasien menderita gangguan jiwa, yang terbanyak adalah gangguan anxietas dan gangguan depresi.

Beberapa studi mengungkapkan bahwa apabila gangguan-gangguan tersebut tidak terdeteksi dan tertatalaksana de-ngan baik, dapat menyebabkan timbulnya hendaya bagi penderitanya, baik secara fi sik, psikologis, maupun sosial-oku-pasional. Karenanya, petugas kesehatan di pelayanan primer yang merupakan lini terdepan harus memiliki kemampuan mendeteksi dan mampu mengelola gangguan jiwa yang lazim tersebut.

Terdapat beberapa kendala yang menyebabkan sulitnya deteksi pasien dengan gangguan tersebut, baik dari pihak petugas kesehatan di pelayanan primer, pihak pasien, problem dalam hal konsultasi itu sendiri, dan sistem pelayanan kesehatan, yang juga memberikan pengaruh pada pengelolaan gangguan jiwa yang lazim secara komprehensif. Beberapa alternatif solusi yang mungkin dapat dilaksanakan adalah memberi pelatihan kepada petugas kesehatan di pelayanan primer, membuat instrumen diagnostik dan terapi yang singkat, sederhana dan mampu laksana, melakukan perubahan dalam sistem pendidikan kedokteran, melakukan edukasi terhadap masyarakat untuk mengurangi stigma-tisasi, edukasi terhadap petugas kesehatan di pelayanan primer mengenai pentingnya deteksi dini dan pengelolaan gangguan jiwa yang lazim secara adekuat, dan mengembangkan riset untuk advokasi kebijakan pemerintah

Kata kunci: Gangguan jiwa yang lazim, problem pengelolaan, alternatif solusi

Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 586

(2)

587 | NOVEMBER - DESEMBER 2010

gangguan tersebut, baik dari pihak petugas kesehatan di pelayanan pri-mer, dari pasien sendiri, juga dari sistem pelayanan kesehatan. 2,3,8,9

Tinjauan pustaka ini akan membahas problem pengelolaan gangguan jiwa yang lazim di pelayanan primer dan bagaimana menyiasatinya supaya deteksi dan pengelolaan gangguan tersebut di masyarakat dapat berjalan baik.

BATASAN

Gangguan jiwa yang lazim (

com-mon mental disorders) adalah

gang-guan depresi, ganggang-guan anxietas, gangguan penyalahgunaan alkohol, gangguan tidur, kelelahan kronik,

dan gangguan somatoform (WHO).9

Gangguan-gangguan ini merupakan gangguan jiwa yang umum ditemui di pelayanan primer. Pada kesempatan kali ini hanya akan dibahas gangguan depesi dan gangguan anxietas, ka-rena keduanya memiliki prevalensi ter-banyak di antara gangguan jiwa yang lazim lainnya.

EPIDEMIOLOGI

Cukup banyak penderita gangguan jiwa yang lazim di pelayanan primer.

Sebuah studi WHO-PPGHC, menda-patkan 24% pasien yang datang ke pe-layanan primer menderita gangguan psikiatrik berdasarkan ICD-10, 9% memiliki gangguan yang tidak nyata, dan 31% menunjukkan beberapa ge-jala gangguan jiwa.8(Grafi k 1)

Pene-litian lain oleh Goldberg (1996) dan Ustun & Sartorius (1995) juga menun-jukkan hasil serupa: 1/3 pasien yang datang berobat ke pelayanan primer menderita gangguan jiwa, sementara 1/3 lainnya memiliki gejala gangguan jiwa tetapi tidak memenuhi kriteria di-agnosis tertentu.3(Grafi k 2)

Sebuah studi WHO berskala besar di 15 situs di 14 negara mendapatkan data sekitar 24% responden menderita gangguan jiwa.1,2 11,7% di antaranya

gangguan depresi, 10,5% gangguan anxietas, dengan 4,6% menderita ke-duanya. Dari jumlah tersebut, ternyata hanya separuhnya yang dideteksi oleh

dokter umum pelayanan primer.

Na-tional Comorbidity Study di Amerika Serikat melaporkan 11,3% responden menderita gangguan depresi dan 17,2% menderita gangguan anxietas.2

Penelitian Goldberg dan Lecrubier (1995) di pelayanan primer menda-patkan prevalensi gangguan depresi sebesar 20,7% dan gangguan anxietas sebesar 10,5%; di komunitas AS, Kes-sler dkk (1994) mendapatkan preva-lensi gangguan depresi sebesar 4,6% dan gangguan anxietas sebesar 8,2%; dan di komunitas Australia, Andrews dkk (1999) mendapatkan prevalensi gangguan depresi sebesar 6,2% dan gangguan anxietas sebesar 5,5% 3

(Ta-bel 1)

Di Indonesia belum ada data epide-miologi mengenai gangguan mental yang lazim ini. Penelitian Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Keseha-tan RI pada tahun 1984 di Puskesmas Kecamatan Tambora Jakarta Barat mendapatkan 28,73% pasien yang berobat di Puskesmas tersebut men-derita gangguan jiwa.11,12

Grafi k 1. Prevalensi gangguan psikiatri di pelayan-an kesehatpelayan-an primer

Grafi k 2. Angka gangguan mental pada pasien yang datang ke pelayanan primer

36%

31% 9%

24%

0 Gejala Beberapa gejala Gangguan yang tidak nyata Diagnosis ICD-10

Sehat secara psikologis Kemungkinan gangguan mental Gejala psikologis yang signifikan

Tabel 1. Prevalensi gangguan psikiatri yang lazim di komunitas dan pelayanan primer

Gangguan psikiatrik yang lazim

Pelayanan Primer Internasional (ICD-10) Komunitas AS (DSM-III-R) Komunitas Australia (1997) Gangguan depresif       Depresi Mayor 10.40 2.10 5.10 Distimia 10.30 2.50 1.10 Gangguan anxietas      

Gangguan anxietas menyeluruh 7.90 3.10 3.10

Gangguan panik/agorafobia 2.60 5.10 2.40

Gangguan somatik

Somatisasi 2.70 - -

Neurastenia 5.40 - -

Hipokondriasis 0.80 - -

Gangguan penggunaan alkohol 6.00 9.70 6.50 Diagnosis psikologis apa pun   29.50 17.70 Dua atau lebih gangguan mental 9.50 14.00 4.80

WHO-PPGHC

Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 587

(3)

588 | NOVEMBER - DESEMBER 2010

PROBLEM PENGELOLAAN GANGGUAN JIWA YANG LA-ZIM DI PELAYANAN PRIMER

Cukup banyak kasus gangguan depresi dan anxietas di pelayanan primer yang tidak terdeteksi dan terkelola dengan baik. Banyaknya penderita gangguan jiwa di masyarakat merupakan fenom-ena gunung es; jumlah kasus yang ter-deteksi di pelayanan primer tidak se-suai dengan kenyataannya. Sebagian memang tidak datang untuk berkon-sultasi, tetapi mereka yang datang un-tuk berkonsultasi pun kadang bukan untuk keluhan psikiatriknya, melainkan untuk keluhan lainnya.8(Gambar 1)

Karena mayoritas pasien akan datang ke pelayanan primer, maka menjadi tu-gas dokter umumlah untuk

mendetek-si dan melakukan pengelolaan pamendetek-sien gangguan jiwa yang lazim. Merekalah yang melakukan penyaringan, siapa yang merupakan pasien psikiatrik dan yang tidak. Setelah itu, mereka pulalah yang melakukan tatalaksana dan kemudian memutuskan apakah pasien tersebut memerlukan rujukan ke pelayanan spesialistik.8 (Gambar

2) Hal ini akan sangat membantu dan meringankan beban psikiater, kare-na pasien yang datang bekare-nar-bekare-nar murni pasien psikiatrik yang membu-tuhkan pelayanan spesialistik.

Beberapa kepustakaan menyebutkan sekitar 50% kasus gangguan jiwa yang lazim luput dari perhatian petugas kesehatan di pelayanan primer, dalam hal ini dokter umum.2,13,14 Pengelolaan

gangguan tersebut tentunya tidak akan berjalan baik apabila kasusnya tidak dikenali. Untuk itu, dirasakan perlu untuk mengetahui kendala-ken-dala yang menjadi penyebab tidak ter-deteksinya kasus gangguan jiwa yang lazim di pelayanan primer.13,15

Alasan dibalik tidak dikenalinya kasus-kasus tersebut kompleks. Penyebab-nya bisa beraneka ragam, tetapi da-pat dikelompokkan menjadi tiga hal, yaitu:

1. Pihak dokter

Sebagian besar dokter hanya menda-patkan sedikit pelatihan psikiatrik for-mal. Pendidikan kedokteran umum hanya memberikan sedikit kurikulum pendidikan psikiatri, kurang dari 5% dari total pendididikan kedokteran. Selain itu, pada masa pendidikan tersebut, para mahasiswa lebih ba-nyak berhadapan dengan pasien psikotik yang dirawat inap dibanding dengan pasien-pasien rawat jalan. Hal ini menyebabkan kurangnya kemam-puan mendiagnosis

gangguan-gang-guan jiwa yang ada di masyarakat.7

Para dokter di pusat pelayanan primer lebih terpaku pada gejala fi sik yang ditampilkan oleh pasien saat berobat, yang seringkali memang merupakan keluhan utama penderita gangguan depresi dan anxietas, sehingga se-ring terjadi salah diagnosis dan tidak adekuatnya terapi.2,3,8

Penyebab lain adalah adanya persepsi negatif mengenai gangguan jiwa; para dokter khawatir pasien akan merasa dirinya aneh dan akan dikucilkan oleh masyarakat sekitar apabila ia didiag-nosis menderita gangguan jiwa.2

Ter-dapat pula persepsi negatif dokter berupa keraguan diagnosis psikiatrik karena dianggap tidak nyata mengin-gat tidak terdapat bukti-bukti obyektif, seperti pemeriksaan laboratorium atau EKG, sehingga mereka cenderung un-tuk mensomatisasi gejala yang dialami pasien.7 Persepsi negatif yang salah

tentang terapi juga dapat mengacu pada pesimisme dalam mendiagnosis gangguan jiwa, karena dianggap bah-wa pasien-pasien dengan gangguan Filter 2: Diagnosis oleh Dokter umum

Filter 1: Keputusan untuk berkonsultasi

Diadaptasi dari Goldberg & Huxley, 1980 Filter 3: Keputusan untuk merujuk

Filter 4: Keputusan untuk dirawat

Gambar 1. Dasar dari fenomena gunung es pasien depresi dan/atau anxietas

Gambar 2. Alur pasien dengan gangguan anxietas dan/atau depresi menuju perawatan spesialistik

Pasien depresif dan/atau anxietas yang dijumpai pada praktik layanan primer Pasien depresif dan/atau anxietas yang diperiksa oleh psikiater

Tidak pernah berkonsultasi

Rawap inap

Rawap inap

Seluruh pasien psikiatrik Seluruh pasien psikiatrik

Pasien pelayanan primer dengan Pasien pelayanan primer dengan

gejala mencolok gejala mencolok Pasien Pelayanan Primer Pasien Pelayanan Primer

Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 588

(4)

589 | NOVEMBER - DESEMBER 2010

jiwa tidak dapat sembuh dan tidak re-sponsif terhadap terapi.2

Para praktisi kesehatan sering menya-makan depresi dan anxietas sebagai suatu respons alamiah dalam meng-hadapi situasi kehidupan tertentu dan bukan merupakan kondisi yang mem-butuhkan intervensi. Walaupun me-mang kondisi tersebut sering dapat dipahami, jangan dilupakan bahwa kondisi tersebut dapat menimbulkan hendaya bagi penderitanya dan bah-wa kondisi tersebut dapat diobati, se-hingga tidak boleh dilewatkan begitu saja.2

Terakhir, adanya masalah personal dokter sendiri yang menghambat proses pengenalan penyakit: adanya perasaan tidak nyaman ketika harus menghadapi masalah yang ber-hubungan dengan emosi dan adanya masalah interpersonal dari diri dokter tersebut yang berhubungan dengan anxietas atau depresi.2

2. Pihak pasien

Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan gangguan depresi atau anxietas pada awalnya menunjukkan keluhan somatik dan hal tersebutlah yang membawa reka untuk berobat. Kebanyakan me-reka tidak menyadari dasar emosional gejala-gejala yang mereka alami. Mereka umumnya takut akan stigma-tisasi atau takut akan menjadi “gila” dan karenanya cenderung menolak apabila dilabel menderita gangguan jiwa, terlebih lagi bila harus dirujuk ke psikiater. Pasien-pasien seperti ini se-ringkali menolak atau tidak kooperatif dengan terapi yang diberikan.2,3,7,8

Banyak pasien yang juga tidak mema-hami konsekuensi negatif penyakitnya apabila tidak tuntas ditangani; hal ini ikut mempengaruhi kepatuhan ber-obat. Selain itu, akses ke pelayanan kesehatan juga terbatas, sehingga cukup banyak pasien yang akhirnya memilih untuk tidak berobat.3,8

Gangguan depresi dan anxietas se-ringkali tidak terdiagnosis apabila

disertai penyakit fi sik atau gangguan psikiatrik lain (terutama demensia, skizofrenia, dan penyalahgunaan al-kohol dan zat addiktif lainnya), apabila gejala-gejalanya tidak khas dan apa-bila terdapat perbedaan kultur antara pasien dengan dokter.2

3. Proses konsultasi

Lama konsultasi pada sebagian besar dokter umum berkisar antara 3-20 me-nit dengan rata-rata sekitar 6-7 meme-nit. Para dokter di pelayanan primer me-nganggap bahwa evaluasi seseorang dengan masalah psikiatri membu-tuhkan waktu lama. Hal ini membuat dokter cenderung menggunakan per-tanyaan tertutup dalam mewawancara pasien untuk mencegah agar pasien tersebut tidak bercerita panjang lebar dan menghabiskan waktu.2,7

Langewitz dkk (2002) berusaha me-ngukur berapa lama pasien akan ber-bicara spontan pada awal konsultasi di sebuah klinik rawat jalan. Ternyata, apabila pasien dibiarkan berbicara bebas mengutarakan keluhan utama mereka, rata-rata (78%) waktu yang dihabiskan adalah 92 detik. Jadi sebe-narnya, lama konsultasi yang biasa terjadi di pelayanan primer memung-kinkan dokter untuk menangani pasien psikiatri tanpa perlu menghabiskan waktu panjang.3

Mendengarkan dengan penuh perha-tian merupakan kunci untuk menegak-kan diagnosis dan memberi terapi. Pasien perlu diberi penjelasan me-ngenai penyakitnya dan pilihan terapi yang tersedia, efek apa yang diharap-kan terjadi dan efek samping apa saja yang mungkin akan terjadi. Selain terapi medikamentosa, pasien dengan masalah psikiatrik juga membutuhkan konseling psikologis sederhana untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapinya.7,16

Penelitian-penelitian mengenai teknik wawancara menunjukkan bahwa ang-ka pengenalan gangguan jiwa aang-kan meningkat apabila dokter meng-adopsi sikap empatik, membiarkan pasien yang memimpin wawancara,

menanyakan masalah yang berorien-tasi psikologis sejak awal wawancara, berespons terhadap tanda-tanda non-verbal, mendengarkan dengan penuh perhatian, mentoleransi kehening-an, mempertahankan kontak mata, menghindari pertanyaan tertutup mengenai gejala fi sik dan menghindari menginterupsi pembicaraan pasien.2,3

4. Sistem Pelayanan Kesehatan Sistem penggantian asuransi untuk gangguan mental seringkali tidak adekuat. Hal ini turut memberi kontri-busi dalam keengganan dokter mau-pun pasien terhadap diagnosis gang-guan jiwa.3,8

Kurangnya perawat dan tenaga medis yang terlatih dalam hal pengelolaan gangguan jiwa juga merupakan ken-dala ken-dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Hal ini berhubungan

dengan pengawasan (monitoring)

dan re-evaluasi pasien-pasien dengan gangguan jiwa yang tidak adekuat.3

Hal lain yang juga perlu menjadi per-hatian adalah kurangnya koordinasi antara berbagai jenis pelayanan ke-sehatan, termasuk sistem rujukan. 3,8

Tidak dikenalinya gangguan jiwa yang lazim di pelayanan primer memiliki dampak terhadap pengelolaannya. Di pusat pelayanan primer, seperti puskesmas, terdapat suatu kegiatan pencatatan dan pelaporan mengenai setiap kasus yang datang. Apabila ka-sus gangguan jiwa yang lazim tersebut tidak terdeteksi baik, tentu catatan dan laporan yang dibuat tidak meng-gambarkan keadaan sebenarnya. Dampaknya adalah tidak cukup terse-dia obat-obatan yang diperlukan un-tuk tatalaksana gangguan tersebut karena dianggap kasusnya sedikit atau jarang sehingga obat-obatan tersebut dialokasikan ke tempat lain yang lebih membutuhkan. Hal ini akan makin merugikan penderita gangguan jiwa yang lazim dan bisa menimbulkan hendaya yang lebih berat.11

Dampak lain adalah timbulnya disabili-tas pada pasien penderita gangguan

Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 589

(5)

591 | NOVEMBER - DESEMBER 2010

jiwa yang lazim yang tidak terdeteksi dan tertatalaksana dengan baik. Dis-abilitas ini merupakan beban yang harus ditanggung oleh pasien, kelu-arga dan masyarakat. Beban ini dapat berupa biaya langsung, seperti biaya pengobatan, dapat pula tidak berupa biaya tak langsung, seperti kehilangan penghasilan, penurunan produktivitas, dan sebagainya. Problem kesehatan jiwa menimbulkan lebih dari 8% “ dis-ability-adjusted life year lost”. Dikata-kan bahwa disabilitas yang timbul aki-bat gangguan jiwa dapat lebih berat dibanding akibat penyakit fi sik kronik lainnya, seperti hipertensi, diabetes mellitus, arthritis dan nyeri punggung; bahkan disabilitas akibat depresi men-empati urutan kedua setelah disabili-tas akibat operasi jantung.8 (Grafi k 2)

Alternatif Solusi Mengatasi Problem Pengelolaan Gangguan Jiwa yang Lazim di Pelayanan Primer

Setelah mengidentifi kasi kendala-ken-dala kendala-ken-dalam mengenali dan mengelola gangguan jiwa yang lazim di pelayan-an primer, bpelayan-anyak upaya ypelayan-ang dapat

dilakukan, di antaranya:

• Pelatihan dokter umum

Pelatihan mengenai cara deteksi gang-guan jiwa yang lazim di pelayanan primer yang mungkin dilakukan, mis-alnya menggunakan instrumen yang singkat dan sederhana tetapi sensitif. Dapat pula diberikan pelatihan teknik wawancara psikiatri dan psikoterapi.16

Sebuah studi di Australia mengenai efek pelatihan kesehatan jiwa terha-dap manajemen gangguan jiwa yang lazim menunjukkan terjadi peningka-tan rasa percaya diri dokter umum da-lam melakukan terapi dan meningkat-kan angka diagnosis gangguan mental yang lazim di pelayanan primer.17

• Membuat instrumen diagnostik dan terapi yang singkat dan sederha-na, yang dapat mempermudah dokter umum dalam menegakkan diagnosis psikiatrik.18

Departemen Kesehatan RI sudah men-geluarkan sebuah panduan diagnostik

yang dikenal dengan nama Metoda

Dua Menit. Metoda ini terdiri dari 3 tahap yang masing-masing memakan waktu selama 2 menit, yaitu:11

Tahap 1: anamnesis dan pemeriksaan fi sik diagnostik

Tahap 2: penegakan diagnosis, terapi dan rencana tindakan

Tahap 3: pemeriksaan psikiatrik (dila-kukan pada kunjungan berikutnya) Sangat disayangkan instrumen ini kurang sosialisasi dan diseminasi da-lam bentuk pelatihan kepada para dokter umum dan petugas kesehatan lainnya di puskesmas sehingga banyak yang tidak menggunakannya.

• Perubahan kurikulum pendidikan psikiatri dalam pendidikan dokter umum.

Salah satunya adalah dengan menam-bah waktu pendidikan psikiatri selama masa pendidikan dokter umum. Jika tidak mungkin, dapat dipertimbang-kan untuk lebih memapardipertimbang-kan maha-siswa kedokteran dengan gangguan mental yang lazim. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indo-nesia (FKUI) sudah mulai mensosiali-sasikan diagnosis gangguan mental yang lazim kepada mahasiswa kedok-teran tingkat IV. Mereka diberi modul yang diadaptasi dari modul WHO un-tuk dokter umum di pelayanan primer. Modul tersebut berisi panduan sing-kat menegakkan 6 gangguan mental yang lazim.19

Selain itu, dalam pendidikan di bagian kedokteran komunitas, mahasiswa tingkat V dilibatkan di sebuah klinik dokter keluarga yang juga bekerja sama dengan bagian Psikiatri dalam memberikan pelayanan psikiatrik. Mereka diminta memaparkan kasus menggunakan evaluasi multi aksial. Hal-hal tersebut merupakan suatu te-robosan yang baik dalam meningkat-kan kualitas dokter umum agar lebih peka terhadap masalah psikiatri.

• Edukasi kepada masyarakat

me-Problem berkaitan perilaku 9.5 Malaria 2.8 Problem Serebrovaskuler 3.2 Penyakit jantung 4.4 Kanker 5.8 Problem pernapasan 9 Problem Maternal/Perinatal 9.5 Problem Kes.Jiwa 8.1 Lain-lain 23.3

Angka mencerminkan persentase “disability-adjusted life years lostThe World Bank, 1993

Grafi k 2. Distribusi global dari beban kesehatan

Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 591

(6)

592 | NOVEMBER - DESEMBER 2010

ngenai gangguan jiwa agar masyarakat memiliki gambaran dan pandangan yang benar mengenai gangguan jiwa sehingga dapat mengurangi stigma.7

• Edukasi petugas kesehatan pe-layanan primer mengenai pentingnya deteksi dini dan pengelolaan yang tepat terhadap pasien dengan gang-guan jiwa yang lazim.

• Melakukan riset, di antaranya sur-vei epidemiologi untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai hal ini di Indonesia sehingga dapat lebih diper-hatikan dan ditangani secara kompre-hensif oleh pihak-pihak terkait (ad-vokasi kebijakan pemerintah)

ILUSTRASI KASUS

Tn. B, 35 tahun, tamat SMA, pegawai swasta, menikah, mempunya 2 orang anak, Islam, datang ke Poliklinik Jiwa RS Persahabatan dengan keluhan uta-ma dada sering berdebar-debar dan sesak napas. Keluhan ini dirasakan pasien sudah sejak ± 2 tahun yang lalu dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Keluhan tersebut muncul tiba-tiba tan-pa ada pencetus yang jelas, berlang-sung selama 10-15 menit, kemudian reda dan menghilang dengan sendi-rinya. Pada awalnya, keluhan muncul 1 kali dalam 2-3 bulan, tetapi makin lama makin sering. Akhir-akhir ini keluhan dirasakan setiap 1-2 minggu sekali. Gejala yang dirasakan juga makin be-rat. Setiap kali serangan, dada pasien berdebar-debar, sesak napas, telapak tangan terasa dingin, gemetar, dan pasien merasa takut mati. Sejak 6 bu-lan terakhir ini pasien menjadi takut keluar rumah dan bepergian sendiri karena takut apabila terjadi serangan di jalan, tidak ada yang menolongnya. Setiap kali ke luar rumah, pasien harus selalu diantar isterinya atau supirnya. Pasien tidak lagi berani mengendarai mobil sendiri. Pasien menjadi sering tidak masuk kerja; saat ini pasien su-dah mendapat surat peringatan dari kantornya mengenai masalah presen-sinya.

Sebelum datang ke RS, pasien sudah

beberapa kali ke dokter. Saat keluhan pertama kali muncul, pasien ke dokter praktek 24 jam di dekat rumah pasien. Didapatkan tekanan darah pasien 140/90 mmHg, lainnya dalam batas normal; pasien dinyatakan menderita hipertensi ringan. Pasien kemudian diberi obat penenang, diminta untuk diet rendah garam dan diberi vitamin. Sejak saat itu pasien menjadi ketaku-tan dirinya terkena penyakit jantung. Pasien berulang kali memeriksakan kondisinya ke dokter lain, mulai dari dokter umum yang lain, dokter spe-sialis penyakit dalam, sampai dengan dokter spesialis jantung. Pasien bah-kan pernah dirawat di rumah sakit selama 4 hari. Pasien juga sudah di-periksa laboratorium darahnya, fungsi tiroid, foto rontgen dada, EKG, dan

treadmill, dan hasilnya selalu dinyata-kan normal. Pasien sudah diberi ber-bagai macam obat (pasien tidak ingat obat apa saja yang diminum), tetapi hasilnya kurang memuaskan.

Karena kondisi pasien yang tidak kun-jung membaik, dokter spesialis jan-tung tempat pasien terakhir berobat kemudian menyarankan pasien untuk berobat ke psikiater. Awalnya pasien enggan karena merasa dirinya tidak “gila” sehingga tidak perlu berobat ke psikiater. Pasien tetap mengang-gap bahwa dirinya menderita penyakit jantung dan gejala-gejala yang dia-laminya adalah tanda-tanda penyakit jantung. Pasien takut meninggal ka-rena penyakit tersebut seperti teman kantornya. Akan tetapi karena serang-an makin sering dserang-an makin meng-ganggu, akhirnya pasien mau berobat ke Poliklinik Psikiatri RS Persahabatan. Dari pemeriksaan status mental dida-patkan seorang pria, sesuai usianya, berpakaian rapi, tampak cemas. Saat berjabat tangan dengan pemeriksa, tangan pasien terasa dingin dan ber-keringat. Mood eutim, afek cemas, se-rasi. Pembicaraan spontan, lancar dan jelas. Tidak ditemukan adanya gang-guan persepsi. Terdapat preokupasi mengenai kondisi pasien dan penya-kit jantung yang mungkin dideritanya.

RTA tidak terganggu.

Pasien kemudian didiagnosis Gang-guan Panik dengan Agorafobia dan mendapat terapi Alprazolam 2 x 0,5 mg serta terapi kognitif perilaku (CBT). Pada pertemuan berikutnya kondisi pasien sudah lebih membaik, serangan panik jarang muncul walaupun pasien belum berani ke luar rumah sendirian. Dua bulan kemudian, serangan panik hanya datang satu kali, pasien sudah dapat pergi ke luar rumah sendirian dan sudah dapat kembali bekerja se-perti sediakala.

PEMBAHASAN

Dari ilustrasi kasus di atas, terlihat jelas bahwa gangguan jiwa pasien tidak ter-deteksi dengan baik. Keluhan pasien tidak dianggap sebagai salah satu tan-da atan-danya gangguan jiwa akan tetapi malah dianggap sebagai sebuah pe-nyakit fi sik (hipertensi ringan). Kondisi pasien yang dibiarkan berlarut-larut membuat disabilitas yang makin berat. Gejala yang makin berat karena tidak diterapi dengan adekuat menyebab-kan pasien tidak dapat melakumenyebab-kan aktivitas rutinnya, menjadi sangat ter-gantung pada orang lain, dan teran-cam PHK. Hal ini jelas merugikan, baik bagi pasien sendiri, keluarganya dan juga perusahaan tempat pasien be-kerja. Selain itu, tidak terdiagnosisnya gangguan jiwa mengakibatkan pasien harus menjalani berbagai pemerik-saan bahkan perawatan di rumah sakit yang mungkin sebenarnya tidak perlu, selain memerlukan biaya.

Mendiagnosis kasus di atas juga tidak mudah karena memang gejala yang dialami pasien merupakan gejala-gejala fi sik yang juga bisa merupakan manifestasi penyakit fi sik. Akan tetapi, dengan pemeriksaan teliti, diagnosis pasien tersebut dapat ditegakkan le-bih awal sehingga dapat mengurangi disabilitas dan juga biaya. Karenanya, dirasakan sangat perlu agar petugas kesehatan di pelayanan primer mam-pu mendeteksi dan mengelola kasus gangguan jiwa yang lazim ada di tem-pat tugas mereka.

Layout CDK Edisi 181 November 2010 dr.indd 592

Gambar

Tabel 1. Prevalensi gangguan psikiatri yang lazim di komunitas dan pelayanan primer
Gambar 1. Dasar dari fenomena gunung es pasien depresi dan/atau anxietas

Referensi

Dokumen terkait

Dua konferensi dan satu seminar berkaitan pembangunan akademik telah dianjurkan oleh CADe, iaitu International Conference on Knowledge Management (ICKM’05),

Ultra seperti penjelasan rental diatas meminta setiap konsumennya untuk menjadi member dan membeli semacam voucher dengen nilai tertentu yang digunakan untuk menyewa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Harapan Mahasiswa Terhadap Kualitas Pelayanan Perpustakaan Jurusan pada Bidang Rekayasa dan Non Rekaysa di Politeknik Negeri Sriwijaya .... 4.2

masyarakat dalam pendidikan, yang berarti juga bertentangan dengan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS).. Pada kasus best practice ini, kita akan

(2015) yang menyatakan bahwa penghasilan suami yang tidak dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan rumah tangga mendorong perempuan untuk tidak hanya

1) Kecerdasan, tinggi rendahnya kecerdasan yang dimiliki seorang siswa sangat menentukan keberhasilannya mencapai prestasi belajar. 2) Bakat, bakat adalah kemampuan yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan aplikasi untuk mengidentifikasi cacat lasan pada citra digital radiograph yang menerapkan proses pengolahan citra

Kelebihan pembelajaran tematik menurut Rusman (2013: 254) antara lain: 1) siswa mudah memusatkan perhatian pada satu tema; 2) siswa dapat mempelajari pengetahuan dan