• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA STAIN SALATIGA TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA STAIN SALATIGA TAHUN 2012"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN

KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI

DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA

AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA

STAIN SALATIGA TAHUN 2012

Laporan Penelitian Kelembagaan Dibiayai DIPA STAIN Salatiga Tahun 2012

Disusun Oleh Tim: Drs. Bahroni, M. Pd. (Ketua) Mukti Ali, M. Hum. (Anggota) Dra. Lilik Sriyanti, M. Si. (Anggota)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) SALATIGA

(2)

Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kerjasama dari Tim Peneliti, penyusunan laporan penelitian kelembagaan dengan judul ”Pengembangan Model Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik Kos, Pemuka Agama, dan Ketua RT Pada Mahasiswa STAIN Salatiga Tahun 2012” dapat terselesaikan dengan baik.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rujukan dalam upaya pembinaan mahasiswa STAIN Salatiga menuju terwujudnya karakter/akhlaq mahasiswa yang mulia serta menciptakan suasana kampus yang religius.

(3)

ABSTRAK

Pengembangan Model Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik Kos, Pemuka Agama, dan Ketua Rt Pada Mahasiswa STAIN Salatiga Tahun 2012. Drs. Bahroni, M. Pd. dkk.

Kata kunci : pembinaan, karakter, mahasiswa

Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin pada tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan dapat pila karena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara (Hanum, 2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya. Para pemimpin para mahasiswa sendiri, orang tua mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT serta masyarakat di tempat kos mahasiswa, dan para dosen pembimbing; dan (2) merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT tempat kos mahasiswa.

(4)
(5)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II : KAJIAN PUSTAKA BAB III : METODE PENELITIAN

BAB IV : PAPARAN DATA PENELITIAN

BAB V : PEMBAHASAN

(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin pada tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan dapat pila karena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara (Hanum, 2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya. Para pemimpin besar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar-dasar filosofi yang tidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun juga dapat ditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.

Rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) bab II pasal 3 adalah sebagai berikut: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).

(7)

warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan tujuan utama tersebut. Dengan kata lain, pendidikan/pembinaan karakter merupakan fungsi pokok dari pendidikan, baik yang dilaksanakan pada jalur pendidikan informal, formal, maupun nonformal.

(8)

tetapi juga “ merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1), Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab (Pusat Kurikulum, 2009:9-10).

Pendidikan dan pembinaan karakter di perguruan tinggi Islam negeri (PTAIN) tentu lebih dituntut oleh masyarakat. Secar sepesifik, pembinaan karakter mahasiswa PTAIN harus diarahkan pada terbentuknya sikap dan perilaku etis, yang meliputi: istiqamah (integritas), ikhlas, jihad, dan amal saleh. Energy positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orng yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan ber amal saleh. Aktualisasi orng yang berkualitas ini

dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional) (Tobroni, 2011).

(9)

dari misi pendiriannya. Munculnya buku yang berjudul Ada Permutadan di IAIN yang ditulis oleh Hartono Jaiz dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta pada tahun 2005, sempat menggegerkan PTAIN di Indonesia, utamanya di Jakarta dan Yogyakarta. Karena berdasarkan pemaparan buku tersebut bahwa IAIN dan kawan-kawannya, yang dulu menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan dakwah dan sekaligus menjadi ting-tangnya segala permasalahan keagamaan di Indonesia, telah berubah arah, yaitu dari dakwah keislaman kepada pemurtadan.

(10)

Persoalan pembinaan karakter mahasiswa PTAIN yang belum tersedia sarana ma’had (asrama) yang mampu menampung seluruh mahasiswa. Pengawasan terhadap kehidupan dan aktivitas mahasiswa di luar kampus, bukanlah persoalan yang mudah. Oleh karena itu, faktor individu mahasiswa dengan segala heterogenitasnya sangat dominan.

Dalam konteks STAIN Salatiga, dapat diidentifikasi paling tidak terdapat empat faktor yang mempengaruhi pembinaan karakter dan perilaku mahasiswa. Pertama, mahasiswa STAIN mempunyai latar belakang keluarga yang heterogen dari sisi keberagamaan, bukan hanya dari kalangan santri. Kedua, dalam usia mahasiswa, secara umum karakter/kepribadian seorang

anak telah terbentuk oleh lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat di mana merka dibesarkan. Ketiga, mahasiswa STAIN Salatiga memiliki latar belakang pendidikan yang heterogen, tidak hanya berasal dari madrasah/lembaga pendidikan keagamaan. Keempat, dalam sitem pendidikan tinggi secara umum, dan STAIN Salatiga pada khususnya interaksi mahasiswa dengan dosen (sampai saat ini) sangat terbatas pada situasi perkuliahan dan pembimbimg akademik. Sangat sedikit forum dan media yang menyambungkan dosen dengan mahasiswa di luar perkuliahan, khususnya yang berkaitan dengan pembinaan kepribadian mahasiswa.

(11)

karakter yang unggul, tangguh, dan religius. Pembinaan religius ini penting agar mahasiswa memiliki self control, ketika mereka jauh dari keluarga, serta bebas dari pengawasan kampus di luar jam kuliah. Hasil Penelitian Nur Afida, 2009 (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/, diakses tanggal 16 April 2012), menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan self regulation mahasiswa.

Berdasarkan latar belakang di atas, diperlukan adanya pembinaan karakter mahasiswa, khususnya yang tinggal di tempat kos, dengan melibatkan dosen, pemilik kos, serta ketua RT dalam suatu bentuk kolaborasi yang efektif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gambaran proses pembentukan karakter mahasiswa STAIN Salatiga selama ini?

2. Masalah-masalah apakah yang dirasakan oleh mahasiswa, orang tua, pemilik kos, dan masyarakat sekitar, serta para dosen dalam kaitannya dengan pembinaan karakter mahasiswa?

3. Bagaimanakah desain model pembinaan kareakter mahasiswa melalui kolaborasi antara dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT?

(12)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi persoalan pembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga, baik yang dipersepsikan oleh para mahasiswa sendiri, orang tua mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT serta masyarakat di tempat kos mahasiswa, dan para dosen pembimbing.

2. Merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT tempat kos mahasiswa.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. Secara teoritik, temuan penelitian ini akan memberikan sumbangan pemahaman tentang problematika pembinaan karakter mahasiswa, sebagai bagian dari konsep pendidikan di kampus yang selama ini belum banyak tergarap.

Dari segi praksis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak sebagai berikut:

(13)

2. Orang tua mahasiswa dapat melihat potret kehidupan putra-putrinya di luar perkuliahan, sehingga dapat memberikan bekal pembinaan dalam rangka membentuk karakter yang baik dan Islami.

3. Para pemilik tempat kos, pemuka agama/masyarakat di daerah tempat tinggal mahasiswa, dapat menjalin hubungan timbal balik dengan pihak kampus, sehingga dapat bersama-sama memfasilitasi tumbuh kembang mahasiswa guna menemukan jatidiri yang berkarakter mulia.

E. Model Hipotetik

(14)
(15)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Model Kolaboratif 1. Model

Shertzer & Stone (1982:62) mengemukakan bahwa “model refers to the representation from which a final product is abstracted of its

inherent worth” . Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir

yang diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya. Mills et al (1989:4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep. Visualisasi atau konstruksi itu dirumuskan melalui upaya mental berupa cara berpikir (ways of thinking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atau fenomena abstrak. Selanjutnya Shertzer & Stone (1982:62) menjelaskan komponen-komponen yang terkandung dalam sebuah model, yaitu: historical context, rational, and/or basic assumtion, advantages and disadvantages outcomes and/or implication. Sedangkan Corey (1977:10)

menggunakan komponen-komponen: introduction, key concept, the therapeutic, process, aplication: therapeuthic, techniques and pocedures.

Sementara Kartadinata (2008) mengemukakan bahwa: “model merupakan perangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara empirik yang diorganisasikan ke dalam sebuah struktur (kerja) untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku atau arah tindakan”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model adalah suatu rencana atau pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu.

(16)

intructional design with describes the process of specifying and producing

environment situsional with cause the student to interact in such away that

spesific change occurs in the behavior”. Sejalan dengan pernyataan

tersebut Reigluth (1983) mengemukakan bahwa “intructional model is merely a set of strategi components, it is complate method with all of it

parts (elementary components) describes in details”. Model pembelajaran

merupakan suatu kumpulan tentang komponen-komponen strategi, hal itu merupakan suatu metode yang lengkap yang menguraikan semua bagian-bagiannya (komponen-komponen dasar) secara rinci.

Joice & Weil (1980:1) mengemukakan bahwa “a model of teaching is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (long-term

course of studies) to design instructional materials and to guide

instructional in the class room and other settings” selanjutnya Joice &

Weil (1980:191-194) mengemukakan enam komponen yang terkandung dalam model pembelajaran: 1) orientasi; orientasi model mencakup tujuan, asumsi teoretik, prinsip dan konsep umum, yang terkandung dalam model; 2) pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian kegiatan yang konkret di kelas; 3) sistem sosial yang dikembangkan; gambaran peran dan hubungan guru-siswa dan norma apa yang mengikat mereka di kelas; 4) prinsip-prinsip mereaksi ; bagaimana guru menghargai dan merespon siswa; 5) sistem penunjang yang diharapkan; gambaran yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu

(17)

dasar dan prinsip kerja; (5) pendukung sistem; (6) teknik dan prosedur yang meliputi pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian kegiatan secara.

2. Kolaboratif

Kolaborasi berasal dari bahasa Inggris ‘collaborate’ yang artinya bekerjasama. Bekerjasama pada umumnya diperlukan dalam sebuah tim dan merupakan cara yang digunakan para profesional untuk mencapai tujuan bersama, sebagaimana diungkap oleh Frans & Bursuck (1994:76) yang mengatakan bahwa “collaboration is a style professional chose to use in order to accomplish a goal they share”. Kolaborasi merupakan

(18)

melaksanakannya secara bersama pula, sebagaimana diungkap oleh Idol & Baran (dalam Schmidt 1999) bahwa : “ in collaboration, planning and implementing are joint effort”. Keberhasilan sebuah tim memerlukan

partisipasi dan keterlibatan secara aktif dari anggota tim.

Cook & Frend (dalam Frans & Bursuck 1996) mengemukakan beberapa karakteristik dalam sebuah kolaborasi yaitu : a. adanya kesetaraan hubungan; b. tujuan bersama; c. tanggung jawab terhadap hasil; d. mampu menjadi sumber; e. kepercayaan, kerjasama antara antara kolaboraator didasarkan pda sikap saling percaya; f. kepentingan subjek menjadi tujuan utama.

Berdasar berbagai pengertian diatas, model kolaboratif dapat diartikan sebagai pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu melalui kerjasama antara beberepa unsur yang terlibat dalaam merancang model. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam merancang model adalah orang yang mengetahui tentang substansi masalah yang sedang dikaji. Kolaborasi bisa melibatkan masyarakat, pakar dalam bidang keahlian tertentu, mahasiswa serta pihak lain yang dianggap bisa berkontribusi dalam pengembangan model

B. Urgensi Pendidikan Karakter

(19)

berakhlak terpuji, dan keterampilan tertentu/profesional di bidangnya. Dalam proses pedidikan, ketiga ranah tersebut semestinya mendapatkan perhatian yang seimbang sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas. Namun, jika kita mengamati fenomena yang tampak di masyarakat, agaknya aktivitas pendidikan nasional kita cenderung kurang serius dalam menggarap ranah afektif, padahal ranah ini merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa.

Sehubungan dengan kurangnya perhatian pendidikan nasional terhadap ranah afektif tersebut, rasanya ada benarnya jika Anwar (2008) menyatakan bahwa dunia pendidikan kita, sering tercoreng oleh perilaku peserta didiknya. Media cetak atau elektronik sudah biasa memberitakan peristiwa negatif yang dilakukan para siswa seperti tindakan amoral, seks bebas, masalah pornografi, tawuran, merokok, atau penyalahgunaan narkotika. Menurutnya, kasus-kasus seperti itu merupakan bentuk kegagalan sistem pendidikan di negeri ini, sebab lebih dari 90 persen konten pendidikan di Indonesia mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sedangkan aspek moralitas atau akhlak hanya mendapatkan porsi sekitar 10 persen.

(20)

Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut, beliau

mengharapkan agar pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai jabaran dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). PP ini akan menjadi payung hukum pelaksanaan sistem pendidikan yang mengedepankan nilai, akhlak, dan moral. Dengan PP itu, UU Sisdiknas mempunyai kekuatan untuk diimplementasikan, sehingga pendidikan tidak hanya memperhatikan aspek fisik dan kognitif saja. Akan tetapiyang lebih penting, dapat

mengantarkan peserta didik dapat menjadi orang yang bertakwa dan berakhlak mulia. Dengan ketakwaan dan akhlak yang baik, pengembangan iptek

otomatis akan lebih baik. Membangun karakter bangsa jauh lebih penting daripada mengejar kemajuan iptek. Oleh karena, pendidikan pada hakikatnya bukan sekedar transformasi keilmuan, tetapi lebih luas lagi yaitu menanamkan nilai-nilai moral atau akhlak mulia.

Implementasi UU Sisdiknas yang lebih berorientasi pada

(21)

Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang ini sangat urgen untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak, saat ini sedang terjadi krisis atau berbagai penyimpangan yang nyata dan sangat mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan generasi penerus bangsa: anak-anak/peserta didik. Krisis itu, menurut Sugiri Syarif sebagaimana dikutip Zubaedi (2011:1-2) antara lain berupa

meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan (narkoba), pornografi dan pornoaksi,

pemerkosaan, serta aborsi. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena perilaku menyimpang ini telah menjurus tindakan kriminal.

Kenakalan remaja semacam itu, pada dasarnya secara langsung atau tidak langsung juga disebabkan oleh “kenakalan orangtua”, yaitu perilaku para orangtua yang tidak bisa dijadikan teladan: senang dengan konflik dan tindak kekerasan, perselingkuhan, dan ketidakjujuran yang ditandai semakin

maraknya korupsi yang dilakukan pejabat publik baik di pusat maupun di daerah. Terkait hal itu, Zuhdi (2009:39-40) mengemukakan bahwa telah terjadi krisis moral di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, yaitu krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis

kedisiplinan, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan.

(22)

Hidayatullah (2010:15), demoralisasi tersebut terjadi karena dua hal, yakni (1) sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi masih lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan lebih cenderung menekankan aspek kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN), dan (2) kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik. Senada Hidayatullah, Zubaedi (2011:3) mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebab terjadinya krisis moral adalah karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan.

Hal yang sama juga terjadi dalam pendidikan agama dimana materi yang diajarkan oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif),

sedangkan pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) belum diperhatikan dan diikhtiari secara serius. Dengan kata lain, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata justru bertolak belakang dengan apa yang diterima dalam pembelajaran di sekolah.

(23)

Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan membentuk karakter unggul.

Mengapa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia? Ya, karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun karakter bangsa yang unggul, meskipun harus diakui masih cukup banyak juga warga bangsa kita yang memiliki kebiasaan positif atau karakter yang baik. Sugiarto (2009: 11-13) mengemukakan sejumlah kebiasaan kecil yang dapat menghancurkan bangsa sebagai berikut.

Pertama, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan diri sendiri, meliputi: meremehkan waktu, bangun kesiangan, terlambat masuk kantor, tidak disiplin, suka menunda, melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan meminta, menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri sendiri, terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan orang lain, tidak sarapan, tidak terbiasa antri, banyak tidur, banyak nonton TV, dan terlena dengan

kenyamanan/takut berubah.

Kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan lingkungan, meliputi: merokok di sembarang tempat, membuang sampah di sembarang tempat, corat-coret/vandalism, kendaraan mengotori udara, jalan bertabur iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa mengindahkan aturan pakai, abai dengan pohon, dan menganggap daur ulang.

(24)

kecanduan game, tidak menyusun rencana-rencana kehidupan, tidak biasa berpikir kreatif, dan mengabaikan peluang.

Keempat, kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial, meliputi: tak mau membaca, tak mau mendengar pendapat orang lain, nepotisme, suap-menyuap, politik balik modal, canggung dengan perbedaan, beragama secara sempit, lupa sejarah, unjukrasa pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar dari pengalaman, birokratif, provokatif dan mudah terprovokasi, tidak berani berkata “tidak”, dan berambisi menguasai.

(25)

pendidikan menghasilkan orang yang kurang pandai tetapi baik, karena paling tidak masih tetap memberikan suasana kondusif bagi kehidupan.

C. Hakikat Pendidikan Karakter

Secara singkat, pendidikan diartikan sebagai suatu proses untuk memanusiakan manusia. Artinya, seorang bayi yang lahir tidak dengan sendidrinya akan menjadi manusia (yang berbudaya). Untuk menjadikan manusia yang berbudaya haruslah melalui pengembangan dan pembinaan jasmani dan ruhani melalui aktivitas pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan

masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai.

(26)

membantu peserta didik agar berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara yang normatif juga baik.

Adapun pengertian karakter menurut Zubaedi (2011: 10) mengacu pada serangkaian perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berpikir kritis, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab,

mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, dan sebagainya. Pengertian karakter Pusat Bahasa Depdiknas mengartikan

karakter sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Dengan demikian, berkarakter berarti berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.

Menurut Musfiroh (2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

(27)

Jika karakter berbeda dengan perilaku, berbeda pula dengan kebiasaan dan bahkan tatakrama dan bahkan temperamen, lalu apa yang dapat dilakukan untuk membangun karakter anak-anak kita? Langkah apa yang dapat ditempuh untuk melakukan pendidikan karakter jika pembiasaan (habituation/habit forming) tidak mempengaruhi karakter anak-anak kita, di rumah maupun di

sekolah?

Karakter berbeda dengan kebiasaan. Karakter itu serangkain kualitas pribadi yang membedakannya dengan orang lain. Karakter menuntut adanya pengahayatan nilai, proses mengidentifikasikan driri dengan nilai-nilai yang diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian dengan nilai yang diyakini sehingga pada akhirnya terjadi karakterisasi diri. Artinya, karakter merupakan proses yang berkelanjutan. Karakter memang cenderung menetap dan sulit diubah, namun bukan berarti sekali terbentuk tidak mungkin berubah. Dari karakter itulah –baik atau buruk– melahirkan berbagai perilaku. Akan tetapi perilaku itu sendiri tidak dapat serta merta dikatakan sebagai karakter.

(28)

terhadap nilai-nilai yang dipeganginya. Adapun perilaku itu cerminannya, tetapi perilaku sendiri bukan gambaran yang dapat memastikan karakter seseorang, kecuali jika ada serangkaian perilaku lain yang searah. Singkatnya begini, orang baik akan mudah tersenyum, tetapi murah senyum belum tentu orang baik. Bukankah para penipu berhasil mengelabuhi orang lain justru karena senyumnya yang memukau? Bukan karena raut muka yang

menakutkan.

Satu pilar yang sangat penting dalam pendidikan karakter adalah adanya sosok panutan (role model). Lantas sosok siapa yang pantas dan tepat untuk dicontoh? Apakah kita akan menjadikan Lawrence Kohlberg sebagai sosok panutan? Padahal tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Karakter ini justru matinya dengan cara mengenaskan. Dia mati bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri karena krisis karakter. Ini mirip dengan kematian Sigmund Freud. Meskipun bukan bunuh diri, tetapi tokoh yang dikenal dengan Bapak Kesehatan Mental ini mati dengan cara eutanasia (suntik mati) atas permintaan sendiri akibat depresi yang ia alami.

Istilah yang dekat dengan karakter adalah akhlaq, bentuk jamak dari khuluq. Khuluq adalah bentuk, sifat, dan nilai-nilai yang berada pada wilayah

(29)

Tentang kaitan antara akhlaq dan perilaku, Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin, “Akhlaq merupakan ungkapan keadaan yang melekat pada jiwa dan darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu berpikir panjang dan banyak pertimbangan.” Agar tidak salah arah, marilah kita tengok pendapat Imam Qurthubi, akhalq adalah adab atau tatakrama yang dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tatakrama itu seakan menjadi bagian dari penciptaan dirinya. Dalam peristilahan sekarang, adab meliputi manner and etiquettes (tatakrama dan etiket). Ia bukan sekedar serangkaian perilaku, melainkan di dalamnya juga terkandung sikap. Ini berarti proses pembentuka adab (ta’dib) memerlukan beberapa unsur, yakni menumbuhkan sikap yang baik, melakukan serangkaian pembiasaan yang terkait, menanamkan kebiasaan bukan hanya bersifat fisik dan mekanik, menumbuhkan motivasi serta menunjukkan keutamaan dari adab tersebut.

Merujuk pada pendapat Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji, Adhim (2012) menyatakan bahwa adab merupakan pilar utama menuntut ilmu. Agar seseorang dapat menuntut ilmu dengan baik, hal pertama yang harus dimiliki oleh murid sekaligus ditumbuhkan oleh guru adalah adab. Proses

(30)

pemahaman yang mendalam pun tidak mempengaruhi sikap, apalagi sampai ke perilaku.

Tegasnya, penanaman keimanan yang kuat harus didahulukan, selanjutnya baru pemahaman keilmuan, dan insya Allah, hanya dengan cara seperti ini peserta didik akan mengamalkan ilmunya. Jadi, urutannya: IMAN, ILMU, dan AMAL. Inilah urutan proses pendidikan yang sesuai dengan konsep dari Allah Yang Maha Mendidik (Rabb) sebagaimana tertuang dalam Al-Quran Surah Luqman:13-19. Konsep ini pula yang diterapkan oleh Pendidik Sejati: Rasulullah saw. dalam mendidik para sahabatnya, dimana beliau menanamkan ajaran keimanan/aqidah/tauhid dalam waktu yang cukup lama. Konsep pendidikan dari Allah yang diterapkan oleh Rasulullah inilah yang terbukti menghasilkan pribadi-pribadi mulia, sosok-sosok agung, para sahabat yang biografinya tercatat dalam sejarah kemanusiaan dengan tinta emas yang dapat diteladani sampai akhir masa.

Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan proses pendidikan yang terjadi sekarang. Begitu masuk sekolah anak-anak langsung belajar. Kurang ada proses yang diikhtiarkah secara serius membentuk adab pada diri mereka sehingga kurang ada kesiapan belajar belajar, pun kurang ada bekal awal untuk membentuk karakter (akhlaq) dalam diri mereka. Begitu masuk sekolah, serta-merta mereka harus belajar untuk tujuann akademik sebelum sikap dan motivasi belajar mereka dibangun. Begitu anak-anak yang ceria itu masuk ruang sekolah, mendadak keceriaan mereka memudar karena segera

(31)

”hantu english”, ”hantu ranking”, ”hantu tidak lulus UN”, ”hantu NEM”, dan sebagainya.

Padahal sekolah seharusnya menyiapkan mereka terlebih dulu untuk memiliki sikap dan motivasi belajar yang baik. Ada proses perubahan yang terancang, dari segi mental mereka mempunyai motivasi akademik yang baik, sedangkan dari aspek tatakrama dan etiket mereka memilki kesiapan belajar. Mari kita renungkan secara mendalam, Rasulullah saw. diutus untukn

menyempurnakan akhlaq. Namun, apakah yang Beliau lakukan di masa awal risalahn dakwahnya? Bukan akhlaq yang lebih dulu dibangun, tapi aqidah. AQIDAH dulu, baru AKHLAQ! Jika aqidah/tauhidnya benar dan kuat, insya Allah akhlaq/karakter peserta didik juga akan mulia dan kokoh.

Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga

masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak

dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari agama dan budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

(32)

agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.

Dalam bahasa Muhadjir (1993) karakter dasar manusia ini dinyatakan sebagai nilai-nilai insani yang sesungguhnya itu juga nilai-nilai yang

bersumber dari Ilahi yang bersifat universal, misalnya ketaqwaan, kejujuran, kasih sayang, kedisiplinan, tolong menolong, keadilan, kesantunan, kesabaran, tanggung jawab, saling paercaya, ksetiaan, dan sebagainya. Di antara fungsi utama pendidikan adalah untuk melestarikan nilai-nilai Ilahi/insani tersebut. Oleh karena masyarakat manusia dapat berlangsung terus (lestari) jika jika ada kemauan untuk menaati atau mengamalkan nilai-nilai Ilahi/insani tersebut.

(33)

perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Khusus untuk peserta didik yang beragama Islam, penguatan (intensifikasi) pendidikan keimanan/aqidah/tauhid pada pendidikan tingkat dasar dan menengah merupakan tindakan yang harus segera dilakukan. Mengingat, keimanan/aqidah/tauhid yang benar dan kuat merupakan fondasi yang sangat kokoh untuk menopang berkembangnya nilai-nilai

karakter/akhlaq terpuji dalam diri peserta didik. Oleh karena mengembangkan nilai-nilai karakter/akhlaq terpuji tanpa didasari fondasi yang kokoh, ibarat mendirikan gedung tanpa fondasi, tentu kondisinya sangat rapuh,

mengkwatirkan, dan membahayakan karena sedikit ada goncangan akan segera roboh.

D. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Hasan (2010) mengatakan bahwa pendidkan karakter setidaknya mempunyai lima tujuan, yaitu (1) mengembangkan potensi

kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa, (2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, (3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, (4)

(34)

kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi serta penuh kekuatan.

Adapun menurut Zubaedi (2010), mempunyai tiga fungsi utama, yaitu (1) fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, (2) fungsi perbaikan dan penguatan, dan (3) fungsi penyaring. Pertama, fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter berfungsi untuk membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, kesatuan dan kebersamaan, mesyuwarah, dan solidaritas sosial sebagaimana terkandung dalam falsafah hidup Pancasila.

Sejujurnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan pada zaman Orde Baru yang tertuang dalam Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (P4) jika diamalkan secara sungguh-sungguh –yang dalam zaman Orde Baru –disebut ”secara murni dan konsekuen”, tidak sekedar sebagai slogan kampanye politik atau sekedar ”proyek” yang bertajuk ”Penataran P4”, sudah cukup memadai untuk membangun karakter bangsa. Namun sayang, butir-butir nilai Pancasila yang telah dirumuskan secara baik dan telah diterbitkan secara massal tersebut tidak dihayati apalagi diamalkan oleh para pejabat publik waktu itu, sehingga sebagain besar rakyat juga ikut meneladaninya: tidak mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen. Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan dengan sangat baik tersebut, kini telah dimuseumkan, dilupakan, dan dicampakkan.

(35)

dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Terkait dengan fungsi pendidikan karakter dalam memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, atau sebaliknya: peran keluarga sebagai pilar utama untuk kesuksesan pendidikan karakter, Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang terjemahannya sebagai berikut.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Q.S. At-Tahrim: 6).

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang

seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar" (Q.S. An-Nisa’: 9).

Keluarga merupakan tempat untuk mempersiapkan generasi muda yang akan meneruskan perjuangan dari para pendahulunya. Oleh karena itu, para orang tua harus menciptakan kondisi keluarga yang harmonis, keluarga yang tenteram yang penuh dengan cinta dan kasih sayang sehingga kondusif untuk mendidik anak-anak terutama dalam menanamkan akhlak mulia Jika keluarga itu sangat kondusif, tentu saja akan menghasilkan generasi penerus yang tangguh dan tanggap sehingga lebih siap menghadapi berbagai tantangan kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, sebuah keluarga yang tidak kondusif untuk mendidik anak, bukan saja tidak menghasilkan generasi penerus yang berkualitas, tetapi justru menghasilkan generasi yang bermasalah yang menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan masyarakatnya.

(36)

dalam berpegang teguh kepada akhlak mulia. Keteladanan merupakan faktor terpenting untuk mencapai tujuan utama pendidikan yaitu tertanamnya akhlak mulia pada anak-anaknya. Anak yang mendapatkan pendidikan agama dan pendidikan karakter/akhlak yang baik serta keteladanan yang baik umumnya akan baik pula karakter/akhlaknya. Namun sebaliknya kurangnya pendidikan agama dan keteladanan dari orang tua akan berakibat pada buruknya

karakter/akhlak anak.

Ibarat angka, generasi yang bermasalah yang dihasilkan dari keluarga yang tidak kondusif itu adalah angka minus. Agar menjadi angka plus, tentu memerlukan perhatian dan perlakuan yang serius karena sebelum menjadi plus harus melewati angka nol dulu. Pendek kata, perubahan dari generasi minus menuju plus itu menyita perhatian dan waktu tersendiri yang semestinya perhatian dan waktu itu sudah dapat dipergunakan untuk "menangkarkan tunas-tunas muda yang berkualitas pada lahan yang lebih luas" sehinga "panen raya" akan segera menjadi kenyataan.

(37)

keluarga yang baik, keadaan dusun akan baik, desa akan baik, selanjutnya: kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara akan baik.

Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah

budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Termasuk di dalamnya adalah menyaring atau menyeleksi berbagai informasi yang semakin ”membanjir” dari media cetak, elektronik, dan online seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini. Fungsi ini sejalan dengan salah satu fungsi pendidikan sebagaimana yang dinyatakan Muhadjir (1993), yaitu untuk menumbuhkan kreativitas peserta didik. Di era teknologi informasi yang canggih dewasa ini, informasi yang diterima

manusia sangat beragam, ada yang bermanfaat dan ada pula sampah informasi yang beracun. Keragaman informasi menantang manusia untuk memilah, memilih atau menyaring validitas (kebenaran) isinya, terpercaya salurannya, dan sebagainya. Dalam menyaring informasi tersebut dibutuhkan kemampuan kreatif untuk menggeneralisasikan, mengabstrakkan, menemukan hubungan unuiknya untuk akhirnya menampilkan pendapat, sikap, dan wawasan yang tepat, sehingga kita tidak hanyut bahkan tenggelam dalam sampah informasi.

Selain tiga fungsi yang telah dipaparkan di atas, pendidikan karater juga berfungsi untuk menghancurkan penyakit mental block. Prihadi (2009) menyatakan bahwa penyakit mental block adalah cara berpikir dan perasaan yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya hanya membuat kita

(38)

penyakit fisik, manusia juga memilki penyakit mental (mental block), yang sangat berbahaya untuk seseorang atau kelompok yang ingin sukses.

Penyakit mental ini dapat dideteksi dengan memperhatikan gejala-gejala awal yang biasanya dialami si penderita seperti suka mengeluh, konflik batin, tidak ada perubahan kehidupan, dan tidak mau mengambil resiko. Cara mendeteksi penyakit mental block dapat dilakukan sendiri atau meminta bantuan orang lain. Caranya dengan pasang target, perhatikan pola, tanya oarang lain, dan tanya hati nurani. Beberapa penyebab penyakit mental block adalah citra diri buruk, pengalaman buruk, lingkungan buruk, rujukan buruk, dan pendidikan buruk. Adapun virus-viru penyebab penyakit ini adalah banyak alasan, pembenaran, gengsi, malas, takut, menunggu, tidak percaya diri, dan buruk sangka.

Orang yang terjangkit penyakit mental block perlu segera dilakukan upaya pengobatan. Penyakit mental block dapat dicegah dengan optimisme, selalu berpikir positif, antusias, dan terbuka, yang semuanya mencakup aspekn pemikiran, perasaan, sikap, dan tindakan. Agar proses penyembuhan deangan pengobatan menjadi lebih efektif, menurut Zubaedi (2011), maka diperlukan pemahaman serta harus ada kemauan yang kuat, membangun diri,

menemukan, dan mengakui keadaan yang sebenarnya. Adapaun obat penawar penyakit mental block adalah berani mengambil tanggung jawab, pembuktian diri, memperjelas sasaran hidup, menaikkan level, dan sebagainya.

E. Nilai-niliai Pendidikan Karakter

(39)

di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar, yaitu (1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, disiplin, dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, peduli, dan kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; serta (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber yaitu (1) agama, (2) Pancasila, (3) budaya, dan (4) tujuan pendidikan nasional. Keempat sumber nilai tersebu dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat

beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari nilai-nilai yang berasal dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan karakter harus didasasi nilai-nilai agama.

Kedua, Pancasila. Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan

(40)

Ketiga, budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia yang hidup

bermasyarakat senatiasab didasari nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu dalam interaksi dan komunikasi antaranggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya sumber nilai dalam pendidikan karakter bangsa.

Dalam konteks dakwah Islamiyah di Indonesia misalnya, kewajiban berjilbab bagi wanita muslimah telah tegas termuat dalam Al-Quran, namun belum banyak ditaati oleh sebagian muslimah Indonesia. Sosialisasi kewajiban berjilbab tersebut terbukti sangat efektif dengan seni-budaya. Sejak Bimbo menebarkan lagu ”Aisyah Adinda Kita” dan Emha Ainun Nadjib

mempublikasikan puisi ”Lautan Jilbab” maka kini dari hari ke hari kesadaran wanita muslimah untuk berjilbab nampak semakin meningkat. Kini, jilbab sudah terasa menjadi ”pakaian resmi” dalam berbagai pertemuan atau acara yang diadakan oleh instansi resmi maupun warga masyarakat. Pendek kata, kini jilbab telah membudaya. Memang, menurut Fillah (2007: 331), untuk menjdi peradaban, setiap proyek pemikiran harus disupport oleh proyek budaya.

Keempat, tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahu 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi

(41)

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).

Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan tujuan utama tersebut.

Berdasarkan keempat sumber nilai di atas, dapat diidentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter sebagai berikut.

NO. NILAI DESKRIPSI

(42)

kapan pun karena merasa selalu diawasi oleh Allah (ihsan).

2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3 Toleransi Sikap dan perilaku yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya.

4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan path pada berbagai ketentuan dan peraturan yang baik.

5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baikya.

6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimilikinya.

7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas dan problema kehidupan.

(43)

orang lain. 9 Rasa Ingin

Tahu

(44)

Lingkungan mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18 Tanggung Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan untuk diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Allah SWT.

Sekolah dan para guru dapat menambah atau mengurangi nilai-nilai tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah dan hakikat materi Standar Kompetensi/Kompetensi Dasar dan materi bahasan suatu mata pelajaran. Rumusan nilai-nilai yang menjadi muatan pendidikan karakter ini memiliki sejumlah persamaan dengan dengan rumusan karakter dasar yang dikembangkan di negara lain, dan karakter dasar yang

dikembangkan oleh Ary Ginanjar Agustian melalui ESQ-nya. Perbandingan nilai-nilai karakter dasar tersebut adalah sebagai berikut.

KARAKTER DASAR

(45)

1. Cinta kepada

Agustian (2009:v-xi) merumuskan tujuh nilai karakter dasar/utama tersebut didasarkan atas kajian bahwa terjadinya krisis moral di tengah masyarakat kita yang ia sebut sebagai krisis “Budi Utama”, yaitu (1) hilangnya kejujuran, (2) hilangnya rasa tanggung jawab, (3) tidak berpikir jauh ke depan, (4) rendahnya kedisiplinan, (5) kurangnya kerja sama, (6) tidak adanya keadilan, dan (7) memudarnya kepedulian.

(46)

penyayang (bersifat khusus), (3) saya ingin menguasai diri, (4) saya ingin suci dalam berpikir dan bertindak, (5) saya ingin hidup selamat/sejahtera, (6) saya ingin selalu dipercaya, (7) saya ingin selalu memelihara dan merawat, (8) saya ingin selalu gagah dan terhormat, (9) saya ingin menjadi orang yang perkasa, (10) saya ingin memilki kebesaran hati dan jiwa, (11) saya ingin selalu

(47)

kebesaran, (38) saya ingin selalu menjaga dan memelihara, (39) saya ingin memperhatikan dan merasakan pengaduan orang lain, (40) saya ingin selalu teliti dan cermat dalam segala hal, (41) saya ingin memiliki pribadi yang luhur, (42) saya ingin selalu dermawan, (43) saya ingin selalu mengawasi dan memantau, (44) saya ingin selalu memperhatikan keinginan orang lain, (45) saya ingin memiliki wawasan yang luas, (46) saya ingin selalu bersikap bijaksana (sifat), (47) saya ingin selalu simpatik dan penyiram kesejukan, (48) saya ingin selalu bersifat bajik kepada orang lain, (49) saya ingin selalu membangkitkan motivasi, (50) saya ingin menyaksikan sendiri segala sesuatu, (51) saya ingin selalu membela yang benar, (52) saya ingin dapat dipercaya apabila diberi amanat, (53) saya ingin memiliki kekuatan dan semangat yang tinggi, (54) saya ingin selalu bersikap teguh hati, (55) saya ingin selalu melindungi, (56) saya ingin selalu bersikap terpuji, (57) saya ingin selalu memperhatikan semua faktor dan semua sektor, (58) saya ingin selalu memulai terlebih dahulu dalam berkreasi (berinisiatif), (59) saya ingin mengembalikan sesuatu ke posisi yang tepat demi keadilan, (60) saya ingin selalu menghidupkan semangat, (61) saya ingin mematikan pikiran jahat, (62) saya ingin sering memberikan "kehidupan" kepada orang lain, (63) saya ingin selalu bersikap tegar dan mandiri, (64) saya ingin melakukan sesuatu yang baru (inovasi), (65) saya ingin bersifat mulia, (66) saya ingin menjadi orang yang terbaik, (67) saya ingin selalu menyatukan berbagai hal, (68) saya ingin selalu dibutuhkan orang lain, (69) saya ingin memliki kemampuan yang memadai, (70) saya ingin selalu membina orang lain agar memiliki

(48)

ingin mengakhiri dan menghentikan sesuatu demi keadilan, (73) saya ingin selalu menjadi orang pertama (inventer), (74) saya ingin selalu menjadi orang terakhir (penutup) yang menentukan, (75) saya ingin memiliki integritas yang nyata, (76) saya ingin selalu memperhatikan kondisi batiniah diri sendiri dan orang lain, (77) saya ingin mendidik dan memberikan perlindungan kepada orang lain, (78) saya ingin memiliki ketinggian pribadi, (79) saya ingin selalu jauh dari keburukan, (80) saya ingin selalu mau menerima kesalahan orang lain, (81) saya ingin memperingatkan orang yang salah/keliru demi menjaga kebaikan, (82) saya ingin bersifat pemaaf, (83) saya ingin bersifat pengasih kepada yang menderita, (84) saya ingin selalu berhasil, (85) saya ingin selalu agung, mulia, dan terhormat, (86) saya ingin adil dalam menghukum, (87) saya ingin selalu berkolaborasi dan bersatu, (88) saya ingin kaya lahir batin, (89) saya ingin memajukan orang lain, (90) saya ingin selalu mencegah sesuatu yang buruk, (91) saya ingin menghukum demi keadilan, (92) saya ingin memberi manfaat kepada orang lain, (93) saya ingin selalu berilmu dan mulia, (94) saya ingin selalu menjadi orang yang suka membimbing, (95) saya ingin selalu tampak indah dan menciptakan keindahan, (96) saya ingin

memiliki segala sesuatu secara jangka panjang (memelihara), (97) saya ingin mewasisi dan mendelegasikan, (98) saya ingin selalu pandai dan cerdas, dan (99) saya ingin menjadi penyabar dan tidak tergesa-gesa.

(49)

Karakter SAFT adalah adalah singkatan dari empat karakter yang oleh para ulama disebut sebagai karakter yang melekat pada diri pada nabi atau rasul, yaitu (1) shidiq, (2) amanah, (3) fathonah, dan (4) tabligh.

a. Shidiq

Shidiq adalah sebuah kenyataan yang benar yang tercermin dalam

perkataan, perbuatan atau tindakan, dan keadaan batinnya. Pengertian shidiq ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir: (1) memiliki sistem

keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan; serta (2) memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, jujur, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlaq mulia.

b. Amanah.

Amanah adalah sebuah kepercayaan yang harus diemban dalam

mewujudkan sesuatu yang dilakukan dengan penuh komitmen, kompeten, kerja keras, dan konsisten. Pengertian amanah ini dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) rasa memiliki/rasa hadarbeni; (2) memiliki kemampuan mengembangkan potensi secara optimal; (3) memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup; dan (4) memilki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan (silaturrahmi).

c. Fathonah

Fathonah adalah sebuah kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan

(50)

dalam Hidayatullah (2010:62) meliputi: (1) arif dan bijaksana, (2) intergritas tinggi, (3) kesadaran untuk belajar, (4) sikap proaktif, (5) orientasi pada Allah, (6) terpercaya dan ternama, (7) menjadi yang terbaik, (8) empati dan perasaan terharu, (9) kematangan emosi, (10) keseimbangan, (11) jiwa penyampai misi, dan (12) jiwa kompetisi. Pengertian fathonah ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir: (1) memiliki kemampuan adaptif; (2) memiliki kompetensi yang unggul, bermutu, dan berdaya saing; dan (3) memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

d. Tabligh.

Tabligh adalah sebuah upaya merealisasikan pesan atau misi tertentu

yang dilakukan dengan pendekatan atau metode tertentu. Pengertian tabligh ini dapat dijabarkan dalam butir-butir: (1) memiliki kemampuan

merealisasikan pesan atau misi; (2) memiliki kemampuan berinteraksi secara efektif; dan (3) memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan metode dengan tepat.

2. Karakter Baik dan Karakter Buruk

Al-Jauziyah (2005:258) mengemukakan empat sedi karakter baik dan karakter buruk. Karakter baik didasarkan pada:

(51)

b. Kehormatan diri. Kehormatan diri mendorong seseorang untuk menjauhi hal-hal yang hina dan buruk, baik berupa perkataan maupun perbuatan, membuatnya memiliki rasa malu yang merupakan pangkal segala kebaikan, mencegahnya dari kekejeian, bakhil, dusta, ghibah, dan mengadu domba.

c. Keberanian. Keberanian mendorong seseorang pada kebesaran jiwa, sifat-sifat yang luhur, rela berkorban, dan memberikan sesuatu yang paling dicintai.

d. Keadilan. Keadilan membuat seseorang berada di jalan tengah, tidak meremehkan, dan tidak berlebih-lebihan.

Selanjutnya, karakter buruk juga didasarkan pada empat sendi, yaitu:

a. Kebodohan, yang menampakkan kebaikan dalam rupa keburukan, menampakkan keburukan dalam kebaikan. Artinya, kekurangan ilmu menjadikan seseorang bisa tergelincir dalam kesesatan karena kesalahan dalam memahami hakikat kebaikan dan keburukan, hakikat kebenaran dan kebathilan, dan sebagainya.

b. Kedhaliman, yang membuat seseorang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, memarahi perkara yang semestinya diridhai, meridhai perkara yang semestinya dimarahi. Kedhaliman menajadikan seseorang bertindak tidak proporsional.

(52)

d. Kemarahan, yang mendorong seseorang bersikap takabur, dengki dan iri, suka bermusuhan, dan menganggap orang lain bodoh.

3. Empat Elemen Utama “Excelence”

Empat elemen utama untuk pemahaman konsep “Excelence”, menurut Michael Hermawan dalam Kertajaya (2010:8-9), yaitu (1) komitmen, (2) membuka bakat anda, (3) menjadi terbaik, dan (4) perbaikan terus-menerus.

a. Komitmen.

Yang terpenting bukan hanya kesuksesan tetapi pola pikir untuk sukses. Kita harus secara sadar ingin menjadi yang terbaik. Dalam hal ini ditekankan mengenai keinginan untuk tidak hanya menjadi “biasa-biasa saja”. Hasrat dan paradigma untuk sukses mutlak harus ada, baik secara individu maupun organisasi. Tanpa komitmen ini, tidak mungkin ada hasrat untuk mencapai “Excelence”.

b. Membuka Bakat Anda

(53)

itu, untuk mencapai excelence individu atau organisasi, harus memilih bidang yang dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki.

c. Menjadi Terbaik

Yang lebih penting dari bakat adalah upaya memanfaatkan bakat tersebut. Excelence tidak semata-mata mengenai talenta yang diberikan Allah., tetapi juga mengenai motivasi untuk memaksimalkan apa yang sudah dimiliki. Percuma memiliki talenta jika tidak pernah memiliki keinginan untuk bekerja keras.

d. Perbaikan Terus-menerus.

Dengan semangat “inovasi tiada henti”, kita harus berusaha meningkatkan standar kesuksesan kita sendiri maupun organisasi dari waktu ke waktu.

G. Memanusiakan Manusia Melalui Pendidikan Karakter

(54)

dan diimplentasikan dalam kehidupannya di dunia ini sebagai wakil Allah di muka bumi (khaifatullah fil ard) dalam rangka mengabdi atau beribadah kepada-Nya.

Dengan hakikat wujud manusia yang semacam itu, maka untuk mewujudkan manusia seutuhnya tentu dibutuhkan konsep pendidikan yang sesuai. Konsep pendidikan yang paling ideal untuk mewujudkan manusia seutuhnya adalah konsep yang dibawa Rasulullah SAW lewat madrasah Darul Arqam, yaitu tempat Rasulullah SAW mentransformasikan nilai-nilai

ketuhanan kepada para di masa-masa kerasulan. Kepada peserta didik diajarkan bahwa Allah SWT adalah pusat segalanya. Di sisi lain, Rasulullah SAW juga mengajarkan bahwa manusia tidak bisa dibeli dengan materi karena manusia tidak sama dengan hewan atau benda mati. Bila ada kesadaran bahwa memiliki harga diri yang tidak sama dengan benda mati atau binatang, maka manusia akan terdorong untuk memposisikan diri sebagai leader (khalifah), bukan follower (budak materi).

(55)

kecenderungannya pada sikap materialistis, pragmatis, dan hedonis dengan menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsunya yang sebenarnya sampai kapan pun tidak akan dapat terpuaskan.

Untuk mewujudkan manusia seutuhnya melalui upaya pendidikan tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, namun harus ada upaya yang serius dan konsisten menciptakan suasana yang kondusif. Di antara faktor pendidikan yang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya perbaikan moralitas peserta didik melalui pendidikan karakter.

Adapun indikator-indikator manusia yang berkarakter baik dalam

perspektif Islam (ber-Islam secara kaffah) adalah sebagaimana terangkum pada butir-butir berikut.

(56)

tunduk secara penuh kepada Allah SWT dan tidak bertahkim/berhukum kepada selain Allah.

Kedua, shahihul ibadah (ibadahnya benar) yang meliputi antara lain: (1) tidak sungkan adzan, (2) ihsan dalam thaharah, (3) bersemanghat untuk shalat berjama'ah, (4) besemangat untuk berjama'ah di masjid/mushalla, (5) ihsan dalam shalat, (6) qiyamulail/bertahajjud minimal sekali sepekan, (7) membayar zakat, (8) berpuasa fardlu, (9) berpuasa sunat minimal sehari dalam sebulan, (10) berniat melaksanakan ibadah haji, (11) komitmet dengan adab tilawah, (12) khusuk dalam membaca Al-Qur'an, (13) hafal satu juz Al-Qur'an, (14) komitmen dengan wirid tilawah/tadarus harian, (15) berdoa pada waktu-waktu utama, (16) menutup hari-harinya dengan bertaubat dan beristighfar, (17) berniat pada setiap melakukan perbuatan, (18) menjauhi dosa-dosa besar, (19) merutinkan dzikir pagi hari, (20) merutinkan dzikir sore hari, (21)

dzikir/ingat kepada Allah SWT dalam setiap keadaan, (22) memenuhi nadzar, (23) menyebarluaskan salam/kedamaian, (24) menahan anggota tubuh dari segala yang haram, (25) beri'tikaf pada bulan Ramadhan, jika memungkinkan, (26) bersiwak/menggosak gigi, dan (27) senantiasa menjaga kondisi thaharah, jika memungkinkan.

(57)

tidak menghina dan meremehkan orang lain, (10) tidak berteman/bersahabat dengan orang jahat, (11) menyayangi yang kecil, (12) menghormati yang besar, (13) memenuhi janji, (14) berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain), (15) menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang agama, (16)

menyimpan rahasia, (17) menutupi dosa orang lain. (18) memiliki ghirah (rasa cemburu/semangat memperjuangkan dan mempertahankan) keluarganya, dan (19) memiliki ghirah (rasa cemburu/ semangat memperjuangkan dan

mempertahankan) agamanya.

Keempat, qadirun 'alal kasbi (mampu berusaha/bekerja dengan baik), yang meliputi antara lain: (1) menjauhi sumber penghasilan yang haram, (2) menjauhi riba, (3) menjauhi segala macam dan bentuk perjudian, (4) menjauhi tindak penipuan, (5) menabung , meskipun sedikit, (6) tidak menunda-nunda dalam melaksanakan hak orang lain, contohnya membayar hutang, (7) menjaga fasilitas umum, dan (8) menjaga fasilitas khusus.

Kelima, mutsaqaful fikri (pikirannya jernih/tercerahkan) yang meliputi antara lain: (1) baik dalam membaca dan menulis, (2) membaca dan memahami tafsir Al-Qur'an, (3) membaca dan memahami hadits-hadits nabi, (4) memperhatikan hukum-hukum tilawah Al-Qur'an, (5) mengenal nama dan riwayat para sahabat Nabi SAW., (6) mengetahui hukum thaharah, (7)

mengetahui hukum shalat, (8) mengetahui hukum puasa, (8) memperluas wawasan dengan senantiasa belajar/mengaji, (9) menyadari adanya peperangan Zionisme/kaum kafir terhadap Islam, (10) mengetahui ghazwul fikri

(58)

Islam, (12) menjadi pendengar yang baik, (13) mengemukakan pendapat dengan baik, (14) berpartisipasi dalam kerja-kerja jama'i/kelompok

masyarakat, dan (15) tidak menerima suara-suara yang bernada memfitnah terhadap Islam.

Keenam, qawiyyul jismi (jasmaninya sehat/kuat) yang meliputi antara lain: (1) bersih badan, (2) bersih pakaian, (3) bersih tempat tinggal, (4) komitmen dengan adab makan dan minum sesuai dengan sunnah Nabi, (5) tidak berlebihan dalam begadang, (6) bangun pagi sebelum fajar, (7) berusaha menghentikan kebiasaan merokok, dan (8) tidak mengkonsumsi minuman keras dan narkoba.

H. Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter

Pengembangan karakter sebagai proses tiada henti terbagi menjadi empat tahapan, yaitu (1) pada usia dini/tahap pembentukan, (2) pada usia remaja/tahap pengembangan, (3) pada usia dewasa/tahap pemantapan, dan (4) pada usia tua/tahap pembijaksanaan.

(59)

tentang moral, dan perbuatan moral. Hal ini diperlukan oleh peserta didik agar mereka mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebaikan.

Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation sebagaimana dikutip oleh Zubaedi (2012:113) bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistis) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual, dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu, juga untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati). Strategi yang dapat dilakukan pendidik untuk mengembangkan pendidikan karakter adalah sebagai berikut.

1. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberi materi pelajaran konkret, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry based learning, and integrated

learning).

2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.

3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, dan acting the good.

(60)

5. Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip developmentally appropriate practices.

6. Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhantian di kelas dan seluruh sekolah. Yang pertama dan terpenting adalah bahwa lingkungan sekolah harus berkarakteristik aman serta saling percaya, hormat, dan perhatian peda kesejahteraan lainnya.

7. Model (contoh) dalam berperilaku positif. Bagian terpenting dari penetapan lingkungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas adalah teladan perilaku penuh perhatian dan penuh penghargaan dari guru dalam interaksinya dengan siswa.

8. Menciptakan peluang bagi siswa untuk menjadi aktif dan penuh makna termasuk dalam kehidupan di kelas dan sekolah. Sekolah harus menjadi lingkungan yang demokratis sekaligus tempat bagi siswa untuk membuat keputusan dan tindakannya, serta untuk merefleksi atas hasil tindakannya. 9. Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial. Bagian

terpenting bagi perkambangan positif siswa termasuk pengajaran langsung keterampilan sosial-emosional, seperti mendengarkan ketika orang lain berbicara, mengenali dan me-manage emosi, menghargai perbedaan, dan menyelesaikan konflik melalui cara lemah lembut yang menghargai kebutuhan (kepantingan) masing-masing.

10. Melibatkan siswa dalam wacana moral. Isu moral ádalah esensi pendidikan anak untuk menjadi prososial, moral manusia.

(61)

12. Tak ada anak yang terabaikan. Tolok ukur yang sesungguhnya dari kesuksesan sekolah termasuk pendidikan ”semua” siswa untuk mewujudkan seluruh potensi mereka dengan membantu mereka mengembangkan bakat khusus dan kemampuan mereka, dan dengan membangkitkan pertumbuhan intelektual, etika, dan emosi mereka.

Strategi yang memungkinkan pendidikan karakter bisa berjalan sesuai sasaran setidak-tidaknya meliputi tiga hal berikut.

1. Menggunakan prinsip keteladanan dari semua pihak, baik orang tua, guru, masyarakat maupun pemimpinnya.

2. Menggunakan prinsip kontinuitas/rutinitas (pembiasaan dalam segala aspek kehidupan).

3. Menggunkan prinsip kesadaran untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

(62)

Meminjam bahasa metafora Muhammad Nuh, pendidikan seperti seorang ibu hamil yang akan melahirkan generasi baru. Dalam kondisi yang normal, kelahiran sang bayi bukan saja membahagiakan tetapi sangat dinantikan. Namun bila kondisi sang ibu kesehatan fisiknya mengkhawatirkan, psikisnya labil dan tertekan (karena kurangnya perhatian), dan asupan gizi tidak mencukupi, tentu bukan saja merisaukan tehadap keberadaan sang ibu, tapi jika risau akan kesehatan dan kualitas sang bayi yang akan dilahirkan. Bisa jadi akan lahir generasi yang idiot (Zubaedi, 2012:115).

Dalam konteks inilah, pentingnya membangun sistem pendidikan yang kuat, untuk menghindari agar genersi yang dilahirkan oleh dunia pendidikan tidak mengidap sindrom ”socio-idiot”, yaitu generasi yang tidak memiliki kemampuan untuk mandiri, yang tidak memiliki kepekaan-ketajaman sosial, dan asyik sendiri dengan dunianya. Atas dasar itulah, maka sesungguhnya hubungan antara kualitas SDM dan kualitas pendidikan sangat jelas sekali.

(63)

Artinya, apa yang dihasilkan oleh sistem pendidikan pada dasarnya menyangkut masa depan. Masa depan dirinya, keluarga, dan bangsanya. Di sinilah pentingnya membangun karakter optimistis, memahami hakikat persoalan dan visioner sehingga mampu menjawab tantangan zaman (Zubaedi, 2012:116).

Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan inti dari suatu proses pendidikan.

(64)

inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.

Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah memengaruhi pengembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter.

Mengacu pada pendapat Djahiri dalam Zubaedi (2012:117), menyatakan bahwa pendidikan nilai atau dalam konteks ini pendidikan karakter harus dilakukan secara utuh menyeluruh. Proses pengembangan karakter individu melalui nilai-nilai kehidupan hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan faktor budaya dalam keluarga, pengalaman hidup di masyarakat, dan perkembangan kondisi lingkungan antara lain lingkungan nasional dan dunia. Sejalan dengan pendapat tersebut, Kirschenbaum (1992:8) menyatakan bahwa pendidikan nilai harus dilakukan secara komprehensif, di dalam kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, bimbingan konseling, dan dalam seluruh aspek kehidupan sekolah.

Hal ini mencakup dengan istilah kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah tahapan apa saja yang diberikan dalam pembelajaran bermain drama dengan Metode Praktikum Bedrama I Jaya Prana dan Ni Layon Sari

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebaran karbohidrat asam ditemukan pada sel goblet pada keenam bagian usus dengan intensitas reaksi sedang (++) sampai kuat (+++), dan

Keseluruhan tanggung jawab IBM untuk semua klaim yang terkait dengan Lisensi tidak akan melebihi jumlah ganti rugi langsung aktual apa pun yang ditanggung oleh Pemegang Lisensi

Setelah dijelaskan dan diuraikan permasalahan pada bisnis kue selebritis, maka muncul masalah penelitianya berupa “Sejauh mana pengaruh kredibilitas para

Pekan Olahraga Nasional Daerah lstimewa Yogyakarta, seperti: Joko Puji Utama, Riwayatno, Rahmat, Sapti Dani Hapsari, Nunung Nurhayati, lndah PP Sari, Ari

Dengan metode pengumpulan data wawancara dan observasi serta metode analisis data kualitatif dan kuantitatif diperoleh hasil: (a) terdapat perbedaan wujud perilaku

Oleh karena penulis mencoba membuat suatu obat anti rayap dari ekstrak daun sirih dan biji buah srikaya yang kemudian disingkat menjadi “Eksibisi” untuk penelitian yang berjudul

Setelah melihat hasil penelitian yang telah dibahas mengenai faktor religiusitas masyarakat dan tingkat pendapatan terhadap minat membayar zakat mal di kelurahan Bongki kecamatan