• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT FISIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT FISIK"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN

RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT FISIK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Florentina Mutia Putri K. Buiswarin Diaz

079114117

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Yesterday is a history, tomorrow is still mystery, but

today is a gift, so… trying to be happy for now and for

always (Anonim)

Kegagalan bisa terjadi bila kita menyerah (Lessing)

Jangan tunda sampai besok apa yang bisa engkau

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus Sang Penyelamat, terimakasih atas

pemberian kesabaran dan dorongan untuk tidak pantang

menyerah

Kedua orang tua, kakak dan adik-adikku atas perhatian dan

dukungannya selama ini

Mendiang Valentina Sanidjem nenekku tersayang,

terimakasih atas kasih sayang, cinta, kemurahan hati,

semangat, perlindungan dan bimbingan yang senantiasa

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN

RESILIENSI PADA REMAJA PENYANDANG CACAT FISIK

Florentina Mutia Putri K. Buiswarin Diaz

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial ,yang terdiri dari dukungan keluarga dan pembimbing, dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 40 subjek dengan rentang usia 17 sampai dengan 21 tahun. Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dari dukungan keluarga, dukungan pembimbinng dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik. Data penelitian ini diukur dengan menggunakan skala dukungan sosial dan skala resiliensi. Dukungan sosial dari dukungan keluarga dan dukungan pembimbing memiliki koefisien reliabilitas alpha masing-masing sebesar 0,839 dan 0,799, sedangkan skala resiliensi memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,921. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan regresi ganda. Penelitian menghasilkan koefisien determinasi Rsquare (R2) sebesar 0,116,

(P)=0,101(P>0,05), dan Ftabel > Fhitung (3,27 > 2,428). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dari dukungan keluarga, dukungan pembimbing dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik. Analisis tambahan menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan keluarga dan resiliensi dengan signifikansi sebesar 0,034 (0,034 < 0,05). Semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin rendah kemampuan resiliensi remaja penyandang cacat fisik.

(8)

viii

THE CORRELATION BETWEEN SOCIAL SUPPORT AND RESILIENCE

OF ADOLESCENCE WITH DISABILITIES

Florentina Mutia Putri K. Buiswarin Diaz

ABSTRACT

The research aim to determine the relation between social support ,which consist of family support and mentors, and resilience of adolescence with physical disabilities. Subjects that are involved in this research are 40 subjects with the age range 17 to 21 years old. The hypothesis in this research is that there is a relation between social support which consist of the support from the family, caretaker and resilience of adolescence with physical disabilities. Data of the research are measured with the scale of social support and resilience scale. social support that consist of the support from the family and from the mentors have the alpha coefficient for 0,839 and 0,799 while resilience scale has the alpha coefficient for 0,921. The data analysis on this research applied multiple regression. The research result determination coeficiency were Rsquare (R2) 0,116 (P)=0,101 (P>0,05) and Ftable>Fcount (3,27>2,478). Those result shows that there is no

significant correlation between social support support from the family mentors and resilience of adolescene with physical disability.Additional analysis showed that there was a significant negative relationship between family support andresilience with a significance of 0,034 (0,034 <0,05). The higher the family support, the lower the ability of physically disabled youth resilience.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Florentina Mutia Putri Krisnawati B. Diaz

NIM : 079114117

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, karya ilmiah saya yang berjudul:

“Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Resiliensi Pada Remaja

Penyandang Cacat Fisik”

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa harus meminta ijin pada saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 21 Mei 2012 Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkat-Nya yang melimpah sehingga skripsi ini dapat terselesaikam. Penelitian dapat teerselesaikan dengan banyak mendapat bantuan bimbingan, gagasan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Ibu Dr.Ch.Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Aquilina Tanti Arini S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbingan skripsi yang telah banyak memberikan arahkan, dorongan, kesabaran selama proses penulisan skrispsi.

4. Bapak Drs. H. Wahyudi dan Ibu Monica E. Madyaningrum, M.Psych selaku dosen penguji yang memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat.

5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah banyak memberikan bimbingan selama perkuliahan.

(11)

xi

7. Sahabat-sahabatku yang amat aku sayangi Gregoria Agustin Debby (sahabat suka maupun duka), Agustina Sihite (kita udah lama nggak ketemu ya), Clarett Gilag (yang ini juga pergi setahun rasanya lama banget) dan Yuninta (bentar lagi married, selamat ya).

8. Teman-teman bimbingan skripsi yang siap menanti bimbingan bersama-sama (Erin, Ina, nenek Anas, nenek Reni, Ophi, Rara, Ita, mb Tisza). Terima kasih atas saran, dukungan yang juga selalu setia menunggu antrian bimbingan. Terima kasih juga buat diskusi yang banyak membantu.

9. Buat teman-teman angkatan 07 yang selama ini sekelas khususnya buat Riscy Ermita, Yurra Attika, Anas Nogo Blikon, Vania Narwastu, Tisza, Melati, Rara Pisca, Inez, Yosephin, Nina, Heni, Ayu, Halidha, Manda. Terimakasih buat bantuannya selama menjalani kuliah bersama.

10.Terimakasih yang sebesar-besarnya untuk keluargaKu yakni kedua orang tuaku (Mama Caecilia yang selalu memberikan dorongan dan semangat untuk terus maju tanpa lelah, Papaku yang memberikan fasilitas untuk mempermudah mengerjakan skripsi), untuk kakakku Cindy dan adik-adikku Angel, Berto dan Si Nakal Joseph.

11.Untuk Almh. nenekKu tersayang karena tanpa beliau penulis tak akan tumbuh sehat dan kuat, Terimakasih atas cinta dan kasih sayangnya yang amat berharga.

(12)

xii

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan sehingga dengan senang hati penulis akan menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis

Florentina Mutia Putri

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTO...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT ...viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ...xiii

DAFTAR TABEL ...xvi

DAFTAR SKEMA ...xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...7

C. Tujuan Penelitian ...8

D. Manfaat Penelitian ...8

BAB II. LANDASAN TEORI ...9

(14)

xiv

1. Pengertian Remaja ...9

2. Pengertian Remaja Penyandang Cacat Fisik ...11

B. Resiliensi Pada Remaja Penyandang Cacat Fisik ...14

1. Pengertian Resiliensi ...14

2. Aspek-aspek Resiliensi ...15

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi...17

C. Dukungan Sosial ...18

1. Pengertian Dukungan Sosial ...18

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial ...21

3. Manfaat Dukungan Sosial ...23

D. Dinamika Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Resiliensi Pada Remaja Penyandang Cacat Fisik ...25

E. Skema Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Resiliensi Pada Remaja Penyandang Cacat Fisik ...28

F. Hipotesis ...29

BAB III. METODE PENELITIAN...30

A. Jenis Penelitian ...30

B. Identifikasi Variabel Penelitian ...30

C. Definisi Operasional...30

1. Resiliensi ...30

2. Dukungan Sosial ...31

D. Subjek Penelitian ...33

(15)

xv

F. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ...38

1. Uji Validitas ...38

2. Uji Reliabilitas ...38

3. Seleksi Item ...39

G. Teknik Analisis Data ...43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...44

A. Persiapan Penelitian ...44

1. Perizinan Penelitian ...44

2. Pelaksanaan Penelitian ...45

B. Karakteristik Subjek Penelitian ...45

C. Hasil Penelitian ...47

1. Uji Asumsi ...47

2. Uji Hipotesis...49

D. Deskripsi Statistik Data Penelitian ...52

E. Pembahasan ...53

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...56

A. Kesimpulan ...56

B. Saran ...56

DAFTAR PUSTAKA ...58

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Spesifikasi Skala Resiliensi Sebelum Uji Coba ...35

Tabel 3.2 Skor untuk item bersifat favorable...35

Tabel 3.3 Skor untuk item bersifat unfavorable...35

Tabel 3.4 Spesifikasi Skala Dukungan Keluarga Sebelum Uji Coba ...36

Tabel 3.5 Spesifikasi Skala Dukungan Pembimbing Sebelum Uji Coba...37

Tabel 3.6 Skor untuk item bersifat favorable...37

Tabel 3.7 Skor untuk item bersifat unfavorable...38

Tabel 3.8 Spesifikasi Skala Dukungan Keluarga Setelah Uji Coba...41

Tabel 3.9 Spesifikasi Skala Dukungan Pembimbing Setelah Uji Coba ...42

Tabel 3.10Spesifikasi Item-item Skala Resiliensi SetelahUji Coba ...43

Tabel 4.1 Data Demografi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ...46

Tabel 4.2 Data Demografi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ...46

Tabel 4.3 Uji Normalitas Data ...47

Tabel 4.4 Model Summary Uji Hipotesis ...49

Tabel 4.5 Uji F Regresi ganda...50

Tabel 4.6 Uji Regresi Parsial ...50

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN ... 62

1. Uji Reliabilitas Skala dan Seleksi Item Dukungan Sosial ... 62

1.1 Skala Dukungan Keluarga... 62

1.2 Skala Dukungan Keluarga Perhitungan kedua ... 64

1.3 Skala Dukungan Keluarga Perhitungan ketiga ... 66

1.4 Skala Dukungan Pembimbing ... 68

1.5 Skala Dukungan Pembimbing Perhitungan kedua ... 69

1.6 Skala Dukungan Pembimbing Perhitungan ketiga ... 70

2. Uji Reliabilitas Skala dan Seleksi Item Kemampuan Resiliensi ... 72

2.1 Skala Resiliensi ... 72

2.2 Skala Resiliensi Perhitungan kedua ... 74

2.3 Skala Resiliensi Perhitungan ketiga ... 75

SKALA PENELITIAN ... 78

UJI NORMALITAS ... 92

UJI LINIERITAS ... 93

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memasuki usia remaja, individu mengalami proses perkembangan yang meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka. Perubahan-perubahan tersebut khususnya pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan (Hurlock, 1990). Selain pembentukan cita-cita, kondisi fisik merupakan bagian yang penting bagi remaja dalam membentuk dirinya yang baru (Sudarsono, 2009). Kondisi fisik yang tidak sesuai dengan harapan biasanya mengganggu ruang gerak remaja dalam beraktivitas dan hidup bermasyarakat, hal ini terbukti pada remaja penyandang cacat fisik.

Penyandang cacat fisik seringkali digambarkan sebagai figur yang memiliki kekurangan. Banyak problem yang timbul sebagai akibat dari cacat fisik yang disandang seseorang, baik yang menyangkut masalah penampilan, pergaulan, maupun masalah keluarga. Pada umumnya karena faktor kekurangan fisik, remaja penyandang cacat fisik akan merasa dirinya tidak berdaya dan tidak berguna dalam menjalani menjadi anggota masyarakat (Sudarsono, 2009).

(20)

karena ada penyakit tertentu dan cacat akibat suatu kecelakaan (perolehan), remaja cacat fisik perolehan akan lebih sulit menerima kenyataan dibandingkan remaja yang mengalami cacat fisik bawaan (Rahayu, 2007).

Para penyandang cacat memang memiliki masalah yakni kekurangan pada fisiknya, akan tetapi sebagian dari mereka memiliki semangat dan motivasi yang tinggi untuk berprestasi. Hal tersebut didukung oleh penelitian Fidiana (2007) mengenai perbedaan motivasi, yang menyatakan bahwa karyawan penyandang cacat lebih memiliki motivasi berprestasi dibandingkan dengan karyawan yang bukan penyandang cacat. Penelitian Fidiana tersebut menunjukkan bahwa individu penyandang cacat fisik perlu memiliki motivasi dalam dirinya agar dapat menggapai cita-cita dan terus berprestasi seperti orang normal atau bahkan melebihi. Seorang remaja penyandang cacat fisik perolehan bernama Qian Hangyan (15 tahun) berusaha menjadi seorang perenang setelah mengalami kecelakaan pada tahun 2000 ketika usianya baru 3 tahun. Awalnya Qian merasa sedih dan putus asa, namun dengan tekat dan usaha ia berhasil menjadi perenang dengan menorehkan prestasi yang ia harapkan dari kecil (http://Lutfilaros.blogspot.com/2011/10/07).

(21)

tersebut menunjukkan bahwa remaja penyandang cacat fisik membutuhkan kemampuan dalam diri mereka untuk dapat bertahan dalam masa sulit. Untuk itu perlu tekat dan kemampuan dalam diri individu untuk melanjutkan hidup lebih maju atau sering disebut dengan resiliensi.

Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatasi atau beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Garmezy, 1991). Hal serupa diungkapkan oleh Tugade & Fredrikson (2004) yang menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu. Resiliensi dibutuhkan individu untuk mengelola konflik.

Kenyataannya, tidak semua individu memiliki kemampuan resiliensi. Sawrey & Telford (dalam Nuryati, 1998) mengemukakan bahwa perasaan takut untuk terluka maupun ditolak secara sosial membentuk remaja penyandang cacat menjadi seorang yang memiliki sikap inferior dan mempunyai keraguan akan kemampuan yang dimilikinya. Perasaan takut dan sikap inferior dapat menghambat pembentukan resiliensi. Padahal menurut Bobey (dalam Anggraeni, 2008) resiliensi sangat penting dibutuhkan oleh remaja penyandang cacat fisik agar mereka dapat bangkitdan memperbaiki kekecewaan yang sedang dihadapi.

(22)

mampu mengatasi masalah-masalahnya, mampu untuk meningkatkan potensi-potensi diri, lebih optimis, muncul keberanian dan kematangan emosi.

Pernyataan oleh Farihayati menggambarkan bahwa resiliensi sangat penting bagi individu yang memiliki kekurangan fisik. Remaja penyandang cacat fisik yang memiliki kemampuan resiliensi dapat mengatasi berbagai permasalahan kehidupan dengan cara mereka. Mereka akan mampu mengatasi permasalahan sesulit apapun, dengan kondisi apapun secara cepat, sehingga keberadaan resiliensi akan mengubah permasalahan menjadi sebuah tantangan. Bahkan resiliensi dapat membantu individu lain yang merasa terpuruk dan rapuh. Oleh karena itu, selain untuk membantu diri sendiri dalam menghadapi masalah yang sulit, resiliensi yang terbentuk dalam diri individu dapat bermanfaat untuk individu lain dengan memberikan motivasi dan dukungan.

(23)

individu akan membangkitkan semangat dan keyakinan bahwa, walaupun memiliki kekurangan dalam hal fisik tidak akan mematahkan motivasi dalam diri individu sendiri. Namun, semangat individu penyandang cacat fisik tidak didukung oleh pandangan dan perlakuan masyarakat yang positif terhadap keberadaan mereka.

Fakta bahwa penyandang cacat fisik tidak merasa terdukung terdapat dalam sebuah artikel mengenai penyandang cacat fisik. Artikel tersebut memberitakan bahwa para penyandang cacat fisik mengeluh atas pelayanan bus transjakarta dan sarana prasarana yang belum dapat memudahkan mereka dalam menjalani aktifitas karena banyak infrastruktur yang rusak dan belum dibenahi. Belum ada kesadaran sesama pengguna bus dan perhatian terhadap para penyandang cacat fisik, selain itu sering terjadi miskomunikasi antara petugas dan para penyandang cacat fisik. Petugas kurang memahami bagaimana seharusnya memperlakukan penyandang cacat fisik (Ratya, 2010). Artikel tersebut memperlihatkan kurangnya kesadaran masyarakat dalam memberikan perhatian bagi penyandang cacat fisik.

(24)

penyandang cacat fisik perlu memperoleh dukungan yang dapat membentuk dirinya yang baru dan lebih optimis.

Menurut Siegel dalam Taylor (1995), dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Dari keadaan tersebut individu akan mengetahui bahwa, baik keluarga maupun orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintainya. Saronson dalam King (2010) menerangkan bahwa dukungan sosial dapat dianggap sebagai sesuatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya.

(25)

dan pembimbing memberikan dukungan bagi mereka, apakah tingkat dukungan yang tinggi memberikan dampak yang signifikan bagi kemampuan resiliensi remaja penyandang cacat fisik.

Hal yang berbeda diungkapakan oleh Sarafino (1998) bahwa dukungan sosial tidak selalu memberikan efek positif dalam mempengaruhi efek kecemasan. Dukungan sosial dapat berpengaruh negatif terhadap kondisi psikologis yang disebabkan dukungan yang diperoleh tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini terjadi karena dukungan yang diperoleh tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau merasa khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan, maka baik keluarga maupun pembimbing perlu memperhatikan efek kecemasan yang kemungkinan terjadi pada individu.

Berdasarkan teori yang menyebutkan bahwa dukungan sosial berpengaruh positif karena memberikan rasa kenyaman secara psikologis dan teori sebaliknya yang menyatakan bahwa dukungan sosial dapat berpengaruh negatif dan menyebabkan kecemasan maka, peneliti akan melakukan uji empirik hubungan dukungan sosial dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik.

B. Rumusan Masalah

(26)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian diharapkan dapat menambah wacana yang bermanfaat dan sumber acuan tambahan dalam bidang psikologi, khususnya mengenai hubungan dukungan sosial dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik.

2. Manfaat Praktis

(27)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Remaja Penyandang Cacat Fisik

1. Pengertian Remaja

Masa remaja adalah periode dari meningginya emosi, saat “badai

dan tekanan,” namun hanya sedikit bukti menunjukkan bahwa ini bersifat

universal atau menonjol atau menetap seperti anggapan orang pada umumnya (Hurlock,1990). Masa remaja merupakan suatu masa penghubung antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang menonjol pada periode ini adalah kesadaran yang mengandalkan mengenai diri sendiri, remaja mulai meyakini kemauan, potensi dan cita-citanya sendiri (Kartono, 1986). Batasan kronologis usia remaja yaitu antara usia 13 hingga 21 tahun (Soesilowindradini, 2006).

Hall (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati. Menurut pandangan Hall, berbagai pikiran, perasaan dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, niat yang baik dan godaan, kebahagiaan dan kesedihan. Pada suatu saat remaja dapat bersikap sangat tidak menyenangkan terhadap teman sebayanya, sementara di saat lainnya bersikap baik, kadang membutuhkan privasi, namun beberapa detik kemudian menginginkan kebersamaan.

(28)

Kesibukan dengan citra tubuh seseorang sangat kuat selama masa remaja (Santrock, 2002). Hal tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan biologis yang memicu peningkatan minat terhadap citra tubuh (Santrock, 1995).

Perubahan fisik remaja diikuti oleh perubahan perkembangan kognitif. Menurut Piaget remaja memiliki pemikiran lebih abstrak daripada seorang anak. Remaja dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan, kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil dan penalaran yang lebih abstrak (Santrock, 1995). Berpikir formal atau

“operasi formal” dialami oleh remaja dalam usia pertengahan masa remaja awal atau usia 11 – 15 tahun. Meskipun demikian tidak semua anak dalam usia tersebut dapat mencapai kemampuan berpikir formal karena ada orang yang menacapainya dalam usia remaja akhir atau bahkan dalam usia dewasa (Mappiare, 1994).

(29)

Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa remaja adalah individu yang tumbuh menjadi dewasa dan terjadi pergolakan perubahan suasana hati, yang ditandai oleh perubahan atau perkembangan fisik, kognitif dan sosial- emosi. Remaja adalah masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa, rentang usia antara 13 hingga 21 tahun.

2. Pengertian Remaja Penyandang Cacat Fisik

Undang-undang No 4 tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1 tentang penyandang cacat menyatakan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mengalami kelaianan fisik dan/atau mental dan merupakan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Menurut Meichati (1971) penyandang cacat fisik adalah orang yang memiliki cedera pada fungsi otot, sehingga bagian tubuh tertentu tidak dapat digerakkan. Keadaan tubuh seperti ini dapat disebabkan beberapa hal, antara lain karena kecelakaan, penyakit ataupun karena faktor keturunan yang diperoleh selama dalam kandungan serta akibat kelahiran yang tidak wajar atau akibat salah asuh sehingga terjadi hambatan-hambatan perkembangan.

(30)

keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik (Dani, 2009).

Individu memasuki usia remaja memiliki reaksi emosi yang berbeda-beda, terlebih pada remaja penyandang cacat fisik yang memiliki hambatan dalam penyesuaian diri dengan kondisi cacat yang dideritanya. Reaksi emosi yang ditunjukkan dapat berupa berdiam diri karena depresi, menyalahkan diri sendiri, kecewa, khawatir, dan membenci diri sendiri. Akibatnya adalah perasaan malu, murung, sedih, melamun, menyendiri, dan berputus asa (Mangunsong dalam Hani dan Savitry, 2007). Reaksi emosi yang negatif akibat penyesuaian diri yang buruk pada remaja penyandang cacat fisik dapat mempengaruhi perasaan suka atau tidak suka terhadap diri sendiri.

(31)

Hurlock (1990) mengatakan bahwa cacat fisik yang dialami remaja dapat menghambat remaja melakukan hal-hal yang ingin dilakukukan layaknya teman sebaya. Hal tersebut dapat mengakibatkan kecanggungan dan kekakuan lebih serius pada periode atau masa remaja sehingga, kenyataan tersebut akan sulit diterima ketika remaja mengalami cacat fisik perolehan yakni disebabkan karena kecelakaan, bencana alam atau penyakit yang ia derita. Faktor kekurangan fisik dapat menyebabkan remaja penyandang cacat fisik merasa dirinya tidak berdaya dan tidak berguna dalam menjadi anggota masyarakat (Sudarsono, 2009). Akan tetapi tidak semua remaja penyandang cacat fisik mengalami hal tersebut, banyak juga remaja yang telah mencapai prestasinya dan menerima bentuk tubuh yang mereka miliki.

(32)

B. Resiliensi Pada Remaja Penyandang Cacat Fisisk

1. Pengertian Resiliensi

Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience. Block menyatakan resiliensi sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.

Resiliensi digambarkan sebagai kapasitas seseorang untuk menghadapi kesuksesan, mengarah pada tujuan yang positif dan dapat mengahapus trauma yang mereka alami untuk kesehatan psikologis (Egeland, Carlson & Stroufe, 1993 dalam Kimhi and Shamai, 2004).

Grotberg (2001) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang bersifat universal dan dengan kemampuan tersebut, individu, kelompok maupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan.

Liquanti (dalam Chandra 2007), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan.

(33)

individu terhadap stress tergantung tinggi rendahnya ketahanan yang dimiliki, tergantung pengalaman individu membangun emosi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan menghadapi tekanan atau permasalahan yang berat sehingga seseorang dapat mencegah dan meminimalisir pengaruh yang dapat mengakibatkan stress. Selain itu, kemampuan resiliensi yang dimiliki dapat mengarahkan individu pada kesuksesan dan tujuan yang positif.

2. Aspek-aspek Resiliensi

Resiliensi ditandai oleh kemampuan untuk bangkit kembali dari pengalaman emosi negative dan adaptasi fleksibel dengan tututan perubahan pengalaman stress yang dialami. Definisi ini menangkap kerangka pikiran yang terkait dengan berbagai hasil macam perilaku dan psikologis individu (Tugade and Fredrickson, 2004).

Individu dapat dikatakan memiliki kemampuan resiliensi jika individu memiliki aspek atau ciri seperti berikut :

a. Optimis

(34)

b. Zestful atau penuh semangat

Remaja Tuna Daksa yang resilien adalah remaja yang penuh semanga. Mereka tidak mudah menyerah dengan kegagalan atau penolakan yang mereka alami. Mereka mampu belajar dari kesalahan dan bangkit dari suatu kegagalan. Mereka tidak akan berhenti meskipun sudah gagal berulang-ulang.

c. Sikap ingin tahu dan terbuka terhadap pengalaman baru

Remaja Tuna Daksa yang resilien adalah remaja yang memiliki sikap ingin tahu dan terbuka terhadap pengalaman baru. Mereka memiliki pemikiran yang kreatif dan inovatif dan mampu beradaptasi dengan tempat dan situasi yang baru.

d. Emosi positif

Remaja Tuna Daksa yang resilien adalah remaja yang memiliki emosi positif. Emosi positif adalah ketika seseorang merasa gembira, ada ketenangan dalam dirinya, ada perasaan bersyukur dan cinta yang tulus.

(35)

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi

Masten and Reed (dalam Baumgardner, 2009) menjelaskan 3 kategori umum protective factor atau faktor pelindung seseorang agar individu dengan merasa terlindungi dan dijaga sehingga individu merasa aman dan nyaman dalam melakukan aktifitas. Protective factor

pembentuk kemampuan resiliensi antara lain dalam diri anak, dalam diri keluarga, dan dalam masyarakat atau komunitas.

Protective factors dalam diri anak meliputi:

1. Intelektual yang baik dan kemampuan memecahkan masalah 2. Memiliki sikap santai dan seorang pribadi yang dapat beradaptasi

dengan perubahan

3. Memiliki citra diri yang positive dan keefektifan pribadi

4. Kemampuan untuk regulasi dan pengendalian emosi dan impuls 5. Bakat individu dinilai dari individu dan dari budayanya

6. Rasa humor yang

Protective factors dalam diri keluarga meliputi:

1. Hubungan dekat dengan orangtua atau orang lain yang memberikan kenyamanan

2. Dukungan dan kehangatan orangtua yang memberikan aturan dan ekspektasi yang jelas

(36)

5. Orangtua yang terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka 6. Orangtua yang memiliki sumber daya keuangan yang memadai

Protective factors dalam komunitas atau kelompok masyarakat meliputi: 1. Pergi ke sekolah yang baik

2. Terlibat dalam organisasi sosial, sekolah dan masyarakat

3. Tinggal di lingkungan dimana terdapat orang-orang yang peduli, yang dapat mengatasi masalah dan meningkatkan semangat 4. Tinggal di lingkungan yang aman

5. Tersedia kemudahan yang kompeten dan responsif untuk hal darurat, kesehatan masyarakat dan pelayanan sosial

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja penyandang cacat fisik perlu memiliki citra diri positif, pengendalian emosi yang baik, rasa humor dan mengasah bakat yang individu miliki. Selain itu, remaja penyandang cacat fisik perlu memiliki hubungan baik dengan orang tua dan orang lain, serta terlibat dalam keanggotaan masyarakat baik di sekolah maupun di lingkungan rumah agar mereka dapat menumbuhkan kemampuan resiliensi.

C. Dukungan Sosial

1. Pengertian dan Sumber Dukungan Sosial

a. Pengertian dukungan sosial

(37)

diperhatikan, dihargai dan dihormati, dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik (Taylor dalam King, 2010).

Dukungan sosial merupakan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. Sebagian alasannya adalah karena berhubungan dengan orang lain adalah sumber dari rasa nyaman ketika kita merasa tertekan. Adanya dukungan sosial membantu untuk menghalau penyakit dan memungkinkan seseorang untuk cepat sembuh dan mencegah individu dari bahaya stress (Sarason and Pierce dalam Baron and Byrne, 2005).

Dukungan sosial juga sering dikenal dengan istilah lain yaitu dukungan yang berupa simpati, yang merupakan bukti kasih sayang, perhatian, dan keinginan untuk mendengarkan keluh kesah orang lain. Sejumlah orang lain yang potensial memberikan dukungan disebut sebagai significant other, misalnya sebagai seorang anak significant other

(38)

b. Sumber dukungan sosial

Dukungan sosial dapat diperoleh dari siapa saja, tergantung kedekatan individu dengan orang lain. Thorst (dalam Bowo, 2009) mengungkapkan bahwa dukungan sosial bersumber dari orang-orang yang memiliki hubungan berarti bagi individu seperti keluarga, teman dekat, pasangan hidup, rekan kerja, tetangga, dan saudara.

Sarafino (1990) menyatakan bahwa kebutuhan, kemampuan dan sumber dukungan mengalami perubahan sepanjang kehidupan seseorang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal oleh individu dalam proses sosialisasinya. Dukungan keluarga dapat mendatangkan rasa senang, rasa aman, rasa puas, rasa nyaman dan membuat orang yang bersangkutan merasa mendapatkan dukungan emosional yang akan mempengaruhi kesejahteraan jiwanya.

(39)

Kekuatan dukungan sosial yang berasal dari relasi yang terdekat tersebut merupakan salah satu proses psikologis yang dapat menjaga perilaku sehat dalam diri seseorang. Dukungan yang diterima dapat diolah menjadi hal yang positif jika diberikan dengan tulus oleh para pemberi dukungan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan kenyaman secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain sehingga individu merasa diperhatikan, dihargai, dan dihormati. Dukungan sosial dapat diperoleh dari siapa saja khusunya dari keluarga dan orang terdekat lainnya seperti guru atau pembimbing dan dari sahabat baik. Remaja penyandang cacat fisik yang berada di pusat rehabilitasi kemungkinan akan merasa dekat dengan guru maupun pembimbing mereka dan yang paling dekat adalah dengan keluarga mereka.

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial

House (dalam Smet, 1994) membedakan empat aspek dukungan sosial, yaitu :

a. Dukungan emosional

(40)

b. Dukungan instrumental

Dukungan ini meliputi bantuan secara langsung sesuai dengan yang dibutuhkan oleh seseorang. Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain sebagai contohnya adalah peralatan, perlengkapan dan sarana pendukung lain dan termasuk didalamnya memberikan peluang waktu.

c. Dukungan informatif

Bentuk dukungan ini mencakup pemberian nasihat, petunjuk, saran atau umpan balik yang diperoleh dari orang lain, sehingga individu dapat membatasi masalahnya dan mencoba mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya. Jenis dukungan ini seringkali disediakan oleh pekerja perawatan kesehatan.

d. Dukungan penghargaan

Aspek ini terdiri atas dukungan sosial yang meliputi umpan balik, dorongan untuk maju, dan persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu. Dukungan ini berasal dari teman dekat, terapis, anggota keluarga, atau kelompok pendukung lainnya.

Dari keseluruhan aspek dukungan sosial diperoleh indikator bahwa:

1. Seseorang yang memperoleh dukungan emosional merasa disayangi dan dikasihi.

(41)

3. Seseorang yang memperoleh dukungan informative merasa diberikan nasihat dan saran yang efektif sehingga terbantu dalam memecahkan masalah.

4. Seseorang yang memperoleh dukungan penghargaan merasa terdorong untuk lebih maju karena penerimaan gagasan dan perasaan individu.

Dari uraian diatas dapat dirangkum bahwa dukungan sosial yang diperoleh dapat bermacam-macam bentuknya seperti dukungan berupa kasih sayang, dukungan berupa sarana atau fasilitas, dukungan berupa nasihat, petunjuk dan saran, terakhir yakni dukungan berupa dorongan yang dapat memotivasi seseorang untuk maju.

3. Manfaat Dukungan Sosial

Menurut Saronson (dalam Bowo, 2009) dukungan sosial memiliki peranan penting untuk mencegah dari ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kecil, lebih memungkinkan mengalami konsekuensi psikis yang negatif. Individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadi individu yang lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki sistem yang lebih tinggi, serta tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill (keterampilan interpersonal).

(42)

mengalami tekanan, sehingga menimbulkan pengaruh positif yang dapat mengurangi gangguan psikologis. Selain itu dukungan sosial dapat dijadikan pelindung untuk melawan perubahan peristiwa kehidupan yang berpotensi penuh dengan stres, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis karena adanya perhatian dan pengertian akan menimbulkan perasaan memiliki, meningkatkan harga diri dan kejelasan identitas diri, serta memiliki perasaan positif mengenai diri mereka. Dukungan sosial secara efektif menurunkan tekanan psikologis selama masa penuh tekanan (Taylor dalam King, 2010).

Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan dukungan adalah persepsi individu terhadap dukungan yang diterimanya, baik itu positif maupun negatif sangat tergantung pada siapa yang memberikan dukungan. Jika individu memiliki hubungan baik serta dekat dengan orang yang memberikan dukungan maka akan bermanfaat dan memberikan pengaruh positif bagi individu yang menerima dukungan. Begitupula sebaliknya, jika individu memiliki hubungan yang kurang baik serta kurang dekat dengan orang yang memberikan dukungan maka akan memberikan pengaruh negatif bagi individu yang menerima dukungan (Sarafino, 1998).

(43)

kecemasan individu dan mengurangi tingkat stres. Dukungan sosial dapat dirasakan manfaatnya tergantung dengan individu yang memperolehnya dan bagaimana persepsi individu terhadap dukungan yang diterimanya.

D. Dinamika Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Resiliensi Pada

Remaja Penyandang Cacat Fisik

Remaja adalah masa meningginya emosi, saat “badai dan tekanan”

(Hurlock, 1990). Masa remaja merupakan suatu masa penghubung antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Kartono, 1986). Remaja adalah individu yang tumbuh menjadi dewasa, ditandai oleh perubahan atau perkembangan fisik, kognitif dan sosial- emosi. Kesibukan dengan citra tubuh seseorang sangat kuat selama masa remaja. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan biologis yang memicu peningkatan minat terhadap citra tubuh(Santrock, 1995).

(44)

Bagi remaja, kondisi fisik merupakan bagian yang penting dalam membentuk dirinya yang baru. Hurlock (1990) mengatakan bahwa cacat fisik yang dialami remaja dapat menghambat remaja melakukan hal-hal yang ingin dilakukukan layaknya teman sebaya. Hal tersebut dapat mengakibatkan kecanggungan dan kekakuan lebih serius pada periode atau masa remaja. Pada umumnya karena faktor kekurangan fisik, remaja penyandang cacat fisik akan merasa dirinya tidak berdaya dan tidak berguna dalam menjadi anggota masyarakat (Sudarsono, 2009). Oleh sebab itu mereka akan sulit bergaul di lingkungan tempat tinggal.

Masa remaja adalah masa penentuan, apabila seseorang melewati masa remajanya dengan kegagalan, dimungkinkan akan menemukan kegagalan dalam perjalanan kehidupan pada masa berikutnya. Sebaliknya apabila masa remaja diisi dengan kegiatan yang sangat produktif untuk menyiapkan diri saat memasuki tahapan kehidupan selanjutnya, sangat mungkin seseorang akan mendapatkan kesuksesan dalam perjalanan hidupnya. Dengan demikian, masa remaja menjadi kunci sukses dalam memasuki tahapan kehidupan selanjutnya (Hall dalam Papalia, 1998). Oleh karena itu dukungan sosial sangat penting diperuntukan bagi remaja penyandang cacat fisik.

(45)

merasa nyaman tinggal di lingkungannya dan memiliki kemampuan mengendalikan emosi, sehingga mereka memiliki ketahanan dalam menghadapi masalah.

(46)

E.Skema Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Resiliensi Pada Remaja

Penyandang Cacat Fisik

Gambar 1: Skema hubungan dukungan sosial dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik.

Remaja yang mengalami Cacat Fisik

Menerima dukungan sosial dari keluarga maupun dari

pembimbing

Merasa dicintai, dihargai, diperhatikan dan dihormati

(remaja resilient)

Remaja penyandang cacat fisik mengembangkan citra diri positif dan bakat,

merasa nyaman tinggal di lingkungannya, memiliki kemampuan untuk mengendalikan

emosi.

Resiliensi Tinggi

 Mengalami kecanggungan dan

kekakuan

 Merasa dirinya tak berdaya dan

(47)

F. HIPOTESIS

(48)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan pola pada satu variabel berdasarkan kecenderungan pola pada variabel lain (Santoso, 2010). Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki dua variabel yang diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial yang berdasarkan pada dukungan keluarga dan dukungan pembimbing yang dirasakan.

2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah resiliensi.

C. Definisi Operasional

1. Resiliensi

(49)

seseorang menghadapi kesuksesan. Tinggi rendahnya kemampuan resiliensi seseorang diukur dengan skala resiliensi yang disusun berdasarkan indikator yang dikemukakan oleh Tugade and Frederickson (2004).

Semakin tinggi skor skala resiliensi maka semakin tinggi pula kemampuan remaja penyandang cacat fisik dalam meminimalisir atau mencegah tekanan baik internal maupun eksternal sehingga mereka dapat mencegah stress dan mampu menggapai kesuksesan. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor skala resiliensi maka semakin rendah kemampuan remaja penyandang cacat fisik dalam meminimalisir atau mencegah tekanan baik internal maupun eksternal sehingga mereka tidak dapat mencegah stress dan tidak ada kesanggupan menggapai kesuksesan.

2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial ialah perasaan nyaman ketika individu berhubungan dan berbagi dengan oranng lain mengenai hal-hal yang dirasakan individu baik suka maupun duka sehingga individu merasa terlindungi dan termotivasi.

(50)

kondisinya akan berbeda dengan ketika individu memperoleh dukungan dari pembimbing.

a. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan dukungan yang bersumber dari keluarga yakni lingkungan pertama yang dikenal individu dalam proses sosialisasinya. Dukungan keluarga dapat mendatangkan rasa nyaman dan membuat orang yang memperoleh dukungan merasa nyaman, aman dan mendapatkan dukungan secara emosional yang akan mempengaruhi kesejahteraan jiwanya (Sarafino, 1990)

b. Dukungan Pembimbing

Dukungan pembimbing merupakan bantuan berupa pengajaran atau pembelajaran, bimbingan, nasehat dan pengetahuan yang dapat membuat seseorang menjadi pandai, berbakat dan bertanggung jawab (Wulandari,2010).

Dukungan keluarga dan pembimbing diukur dengan skala yang sama yakni skala dukungan sosial yang disusun berdasarkan empat kriteria berdasarkan House (dalam Smet 1994) antara lain.

(51)

Semakin tinggi skor dukungan pembimbing maka semakin tinggi pula perasaan nyaman yang dirasakan remaja penyandang cacat fisik berada dekat dengan pembimbingnya. Begitu pula sebaliknya semakin rendah skor dukungan pembimbing maka semakin rendah perasaan nyaman yang dirasakan remaja penyandang cacat fisik ketika dekat dengan pembimbingnya.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja penyandang cacat fisik yang berjumlah 40 orang. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pemilihan subjek yang didasarkan atas ciri atau karakteristik yang sudah diketahui sebelumnya.

Adapun cirri-ciri atau karakteristik yang diikutsertakan sebagai berikut :

a. Remaja penyandang cacat fisik perolehan

b. Memiliki usia sesuai dengan batasan kronologis usia remaja menurut Soesilowindradini (2006) yakni usia 13 sampai 21 tahun di BRTPD (Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas).

(52)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan metode survei dengan menggunakan skala dukungan sosial dan Skala resiliensi yang diisi subyek yang bersangkutan (subyek mengisi berdasarkan persepsi mengenai diri mereka masing-masing).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert yaitu pernyataan yang menggunakan empat pilihan jawaban atau respon dari subjek. Skala ini berisi pernyataan yang terstruktur dan subjek hanya memilih satu jawaban yang sesuai dengan kondisi diri subjek (Azwar, 2010).

1. Skala Resiliensi

(53)

Tabel 3.1

Spesifikasi Skala Resiliensi Sebelum Uji Coba

No. Aspek No Item Jumlah

Skala resiliensi diukur dengan menggunakan skala likert yang disusun berdasarkan pernyataan favorable dan unfavorable dan menggunakan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).

Tabel 3.2

Skor untuk item bersifat favorable

Respon Skor

Sangat sesuai (SS) 4

Sesuai (S) 3

Tidak sesuai (TS) 2

Sangat tidak sesuai (STS) 1 Tabel 3.3

Skor untuk item bersifat unfavorable

Respon Skor

Sangat sesuai (SS) 1

Sesuai (S) 2

Tidak sesuai (TS) 3

(54)

Semakin tinggi skor subjek, maka semakin tinggi kemampuan resiliensi subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, maka semakin rendah kemampuan resiliensi subjek.

2. Skala Dukungan Sosial

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur dukungan keluarga dan dukungan pembimbing dalam penelitian ini adalah skala dukungan sosial. Skala dukungan sosial diukur berdasarkan komponen dan indikator yang dikemukakan oleh House (dalam Smet, 1994) yakni berdasarkan dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informative, dukungan penghargaan yang mereka rasakan. Peneliti menyusun 64 pernyataan. Dukungan keluarga terdiri dari 40 pernyataan dan dukungan pembimbing terdiri dari 24 Pernyataan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.4

Spesifikasi Skala Dukungan Keluarga Sebelum Uji Coba

(55)

Tabel 3.5

Spesifikasi Skala Dukungan Pembimbing Sebelum Uji Coba

No. Aspek dukungan Nomor Item Total

Skala dukungan sosial diukur dengan menggunakan skala likert yang disusun berdasarkan pernyataan favorable dan unfavorable dan menggunakan empat alternatif jawaban sesuai dengan kondisi individu saat dilakukan pengambilan data, yaitu Sangat sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS)

Tabel 3.6

Skor untuk item bersifat favorable

Respon Skor

Sangat sesuai (SS) 4

Sesuai (S) 3

Tidak sesuai (TS) 2

(56)

Tabel 3.7

Skor untuk item bersifat unfavorable

Respon Skor

Sangat sesuai (SS) 1

Sesuai (S) 2

Tidak sesuai (TS) 3

Sangat tidak sesuai (STS) 4

Semakin tinggi skor subjek, maka semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, maka semakin rendah dukungan sosial yang diperoleh subjek.

F. Pengujian Validitas dan Reliabilitas

1. Uji Validitas

Penelitian ini menggunakan validitas yang telah diuji yaitu validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian isi tes dengan analisis rasional dan professional judgment

yang diperoleh melalui penilaian dosen pembimbing.

Validitas isi digunakan untuk melihat sejauhmana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (Azwar, 2008).

2. Uji Reliabilitas

(57)

apabila dalam pelaksanaan pengukuran diperoleh hasil yang relatif sama. Estimasi reliabilitas diperoleh dengan menggunakan koefisiensi

alpha cronbach yang digunakan hanya dalam satu kali percobaan dalam satu kelompok subjek (Azwar, 2008). Nilai reliabilitas dianggap memuaskan jika memperoleh nilai sebesar 0,900.

Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas dengan menggunakan

SPSS for windows versi 16, skala dukungan keluarga memiliki koefisiensi alpha cronbach sebesar 0,839 dan skala dukungan kelurga memiliki koefisiensi alpha cronbach sebesar 0,799. Hasil tersebut menunjukkan kedua skala tersebut reliabel. Sedangkan skala resiliensi koefisiensi alpha cronbach sebesar 0,921 yang berarti skala tersebut juga reliabel.

3. Seleksi Item

Dalam penelitian ini seleksi item dilakukan pada 40 subjek remaja penyandang cacat fisik. Seleksi item dilakukan untuk melihat sejauhmana item-item tes dapat membedakan antara subjek dengan subjek yang lainnya yang memiliki mapun yang tidak memiliki atribut yang ingin diukur (Azwar,2008). Dalam penelitian ini seleksi aitem dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara skor item dengan distribusi skor skala yang menghasilkan korelasi aute total. Kriteria pemilihan item yang sahih berdasarkan korelasi item total dengan batasan rix ≥0.30. semua item yang mencapai 0,3 atau lebih

(58)

yang memiliki korelasi item total dibawah 0,3 dianggap sebagai item yang memiliki daya beda yang rendah sehingga dinyatakan gugur.

1. Skala Dukungan Keluarga

Berdasarkan hasil dari uji coba skala dukungan keluarga menunjukkan bahwa dari 40 item, yang gugur sebanyak 16 item sehingga tersisa 24 item. Item-item yang gugur ialah 7, 11, 21, 22, 26, 27, 30, 33, 34, 35, 39, 45, 48, 55, 56, 59. Sedangkan 24 item yang tersisa ialah item nomer 1, 2, 3, 4, 5, 9, 13, 14, 18, 20, 25, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 51, 52, 53, 54, 63.

Item lolos seleksi dengan koefisiensi daya beda (rix ≥0.30).

(59)

Tabel 3.8

Spesifikasi Skala Dukungan Keluarga Setelah Uji Coba

No. Aspek dukungan Nomor Item Total

2. Skala Dukunngan Pembimbing

(60)

lain 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19 20, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40.

Tabel 3.9

Spesifikasi Skala Dukungan Pembimbing Setelah Uji Coba

No. Aspek dukungan Nomor Item Total

resiliensi terdiri dari 40 item dan diperoleh 33 item yang lolos seleksi. Item yang lolos seleksi antara lain 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39 dan 40. Seluruh item memiliki proporsi yang stabil dalam empat aspek resiliensi.

(61)

Tabel 3.10

Spesifikasi Item-item Skala Resiliensi Setelah Uji Coba

No. Aspek No Item Jumlah

G. Teknik Analisis Data

(62)

44

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Perizinan Penelitian

Persiapan penelitian dimulai dengan meminta surat izin penelitian kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dengan nomor 103c/D/KP/Psi/USD/XI/2011 disertai dengan proposal yang telah disetujui oleh dekan dan dosen pembimbing. Setelah itu proses perizinan diajukan kepada Kepala Biro Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Istimewa Yogyakarta, dari proses tersebut akan diberikan surat keterangan izin penelitian dengan nomor 070/7997/V/2011.

(63)

2. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksakan pada tanggal 3 dan 5 Desember 2011 dengan melibatkan 40 subjek yang merupakan remaja tuna daksa yang merupakan siswa yang tinggal di asrama BRTPD. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara meminta subjek memberikan jawaban pada kuesioner yang terdiri dari skala dukungan sosial yang terbagi antara dukungan keluarga dan dukungan pembimbing serta skala resiliensi.

Pada saat pengambilan data tidak semua subjek dapat hadir dikarenakan beberapa subjek yang pulang sehingga peneliti hanya dapat memperoleh data dengan subjek yang dapat hadir. Peneliti membagikan 49 skala pada subjek yang hadir pada saat pembagian skala dan semua skala kembali dengan jumlah yang sama. Akan tetapi ada 9 subjek yang tidak memenuhi kriteria usia remaja yakni usia 13 sampai 21 tahun (menurut Soesilowindradini). Kesembilan subjek tersebut melebihi usia remaja pada umumnya berusia sekitar 26 sampai 31 tahun. Oleh karena hal tersebut peneliti tidak mengambil 9 subjek tersebut dalam pengolahan data, sehingga subjek yang tersisa ada 40 subjek yang dapat diolah datanya.

B. Karakteristik Subjek Penelitian

(64)

ciri atau karakteristik yang sudah diketahui sebelumnya. Batasan dalam pemilihan subjek berdasarkan batasa usia remaja penyandang cacat fisik yaitu 13 sampai 21 tahun. Remaja penyandang cacat fisik yang berada di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas di Pundong Bantul Yogyakarta berusia 17 sampai 21 tahun.

Berikut adalah tabel data mengenai subjek penelitian berdasarkan usia dan jenis kelamin subjek :

Tabel 4.1

Data Demografi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

USIA JUMLAH PERSENTASE

17 tahun 6 orang 15 %

18 tahun 4 orang 10 %

19 tahun 11 orang 27,5 %

20 tahun 6 orang 15 %

21 tahun 13 orang 32,5 %

Jumlah 40 orang 100 %

Tabel 4.2

Data Demografi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

JENIS KELAMIN

JUMLAH PERSENTASE

Laki-laki 26 orang 65 %

Perempuan 14 orang 35 %

(65)

C. Hasil Penelitian

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi variabel bebas dukungan keluarga, dukungan pembimbing berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan teknik Komologrov-Smirnov Goodness of Fit Test dengan program SPSS for windows versi 16 dan memperoleh hasil nilai probabilitas variabel dukungan keluarga adalah 0,277 (p>0,05) dengan perolehan Z sebesar 0,994 dan nilai probabilitas untuk dukungan pembimbing adalah 1,000 (p>0,05) dengan perolehan Z sebesar 0,399. Sedangkan pada variabel resiliensi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,063 dengan Z sebesar 1,316. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketiga variabel terdistribusi secara normal karena memiliki taraf signifikansi sebesar p>0,05

Berikut gambaran tabel uji normalitas: Tabel 4.3 Uji Normalitas Data

Variabel Tes K-S (z) Signifikansi Probabilitas

Dukungan

(66)

b. Uji Linearitas

Uji linear digunakan untuk melihat adakah hubungan antara variabel dukungan keluarga, pembimbing dan resiliensi merupakan garis linear atau tidak. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan SPSS for windows versi 16. Uji linearitas dalam penelitian ini menghasilkan nilai linearitas sebesar 0,159 (p>0,05) untuk variabel dukungan keluarga dan resiliensi dan sebesar 0,901 (p>0,050) untuk variabel dukungan pembimbing dan resiliensi. Hal tersebut menujukkan bahwa ketiga variabel tersebut tidak memiliki hubungan yang linier karena taraf signifikansi p<0,05.

Nilai linearitas dapat dilihat dengan membuat plot untuk mempresiksi nilai terhadap residual. Jika terdapat pola dari sebaran titik-titik tersebut (garis lurus, cekung, cembung dan lainnya), maka berarti asumsi linear terpenuhi. Sebaliknya, jika tidak ada pola yang jelas, menunjukkan bahwa residul adalah bebas (independent), asumsi linear tidak terpenuhi (Gambar 1).

Gambar 2

(67)

Setelah dilakukan uji residual diketahui bahwa data yang telah diuji memiliki distribusi data yang normal. Asumsi linearitas dapat dilanggar dan peneliti tetap meneruskan dengan analisis regresi (Miles and Shevlin, 2001). Dalam hal ini peneliti tetap meneruskan uji regresi ganda disebabkan terdapat dua variabel bebas dan satu variabel dependen yang akan diukur.

2. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis yang telah dicantumkan dalam bab dua. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan multiple regression

atau uji regresi ganda yaitu bahwa suatu variabel terikat tidak hanya dijelaskan oleh satu variabel bebas. Hasil uji regresi ganda dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.4

Model Summary Uji Hipotesis

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 0,341 0,116 0,069 5.76091

(68)

oleh garis regresi dengan menggunakan kedua dukungan sosial sebagai prediktornya.

Tabel 4.5 Uji F regresi ganda

Variabel df F signifikansi

Hasil hipotesis menunjukkan bahwa koefisiensi korelasi dengan uji regresi ganda antara variabel dukungan keluarga, pembimbing dan resiliensi adalah 2,428 dengan taraf signifikansi sebesar 5%. Nilai Fhitung dalam penelitian ini sebesar 2,428

dibandingkan dengan nilai Ftabel sebesar 3,27. Hal ini berarti Fhitung

2,428 lebih kecil dari Ftabel 3,27 sehingga Fhitung berada di daerah

penerimaan Ho. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ho

diterima dan hasilnya tidak diperoleh hubungan yang signifikan antara variabel dukungan keluarga, pembimbing dan resiliensi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan resiliensi.

(69)

Dalam persamaan regresi sebuah hasil penelitian memiliki nilai konstan. Nilai konstan diharapkan menilai seberapa baik hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen. Dalam penelitian ini dilakukan uji regresi parsial untuk menguji dua variabel independen dengan variabel dependen. Hasil analisis menunjukkan nilai konstanta sebesar 105,169, nilai koefisiensi (Beta) dukungan keluarga sebesar -0,521 dan nilai t sebesar -2,203 dengan signifikansi sebesar 0,034 (0,034<0,050). Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan keluarga memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan resiliensi. Semakin tinggi perolehan dukungan keluarga yang dirasakan semakin rendah kemampuan resiliensi remaja penyandang cacat fisik.

(70)

D. Deskripsi Statistik Data Penelitian

Hasil analisis deskriptif berdasarkan skor yang diperoleh pada variabel dukungan sosial dari keluarga dan pembimbing serta variabel resiliensi yang dimiliki keseluruhan subjek terangkum dalam tabel berikut :

Tabel 4.7

Deskripsi Statistik Data Penelitian

Variabel Data Teoritik Data Empirik

Xmin Xmax Mean SD Xmin Xmax Mean SD

DukKel 22 88 55 11 41 81 66,03 6,79

DukPem 15 60 37,5 7,5 35 56 44,85 4,64

Resiliensi 33 132 82,5 16,5 83 114 97,43 5,97

(71)

E. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara dukungan keluarga, dukungan pembimbing dan resiliensi para remaja tuna daksa yang berada di BRTPD diperoleh hasil nilai Fhitung < Ftabel (2,428<3,27) dan

koefisien determinan (R2) sebesar 12%.diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial yang terdiri dari dukungan keluarga dan pembimbing dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik.

(72)

penting untuk mencegah dari ancaman kesehatan mental, menimbulkan pengaruh positif yang dapat mengurangi gangguan psikologis. (Saronson, 2005; Effendi dan Tjahjono 1999; Taylor dalam King, 2010).

Tidak adanya hubungan antara dukungan sosial dengan resiliensi sesuai dengan penelitian Manaumarah (2008) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan resiliensi. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan resiliensi ternyata tidak selalu dipengaruhi oleh dukungan sosial yang dirasakan melainkan kemungkinan ada faktor lain yang mempengatuhi. Seperti pernyataan oleh Masten (2009) bahwa kemampuan resiliensi dipengaruhi oleh harga diri, kepercayaan diri, kemampuan intelektual seseorang dan citra diri yang positif.

Dalam penelitian ini juga dilakukan pengujian secara terpisah yaitu uji regresi parsial terhadap dukungan keluarga dan dukungan pembimbing. Hasilnya diperoleh bahwa ternyata dukungan keluarga itu lebih memiliki hubungan yang signifikan dari dukungan pembimbing. Akan tetapi, hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara dukungan keluarga dengan resiliensi seseorang. Semakin tinggi dukungan keluarga, maka kemampuan resiliensi remaja penyandang cacat fisik justtru semakin rendah.

(73)

sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu. Keluarga terlalu menjaga individu dalam melakukan kegiatan atau sesuatu yang diinginkan. Selain itu, keluarga yang terlalu banyak memberikan perhatian dan kasih sayang yang berlebihan dapat menyebabkan individu sangat bergantung pada orang tua (Sarafino, 1998). Padahal kemampuan resiliensi diperoleh berdasarkan keinginan seseorang untuk lebih maju atau memiliki dorongan untuk menggapai impian dan cita-cita serta membutuhkan sikap mandiri. Jika seseorang terlalu bergantung dengan orang tua bahkan sampai menimbulkan sikap manja, kemampuan resiliensi akan sulit diperoleh. Korelasi negatif antara dukungan keluarga dan resiliensi kemungkinan disebabkan oleh beberapa bentuk dukungan yang lebih mendukung atau berhubungan dengan kemampuan resiliensi. Hal tersebut disesuaikan pada penelitian Chandra (2009) bahwa dari empat aspek dukungan sosial dari keluarga yang paling berpengaruh dalam tahap kesembuhan penderita stress adalah dukungan emosional dan informatif, walaupun tidak langsung mengarah pada kemampuan resiliensi, namun kemampuan dalam mencegah stress bagian dalam resiliensi sehingga individu yang mampu meminimalisir bahkan menghilangkan stres disebut individu yang resilien. Namun, hal tersebut perlu dibuktikan dengan sebuah penelitian.

(74)

56

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik di BRTPD Pundong. Tinggi rendahnya dukungan sosial yang diperoleh tidak berkaitan dengan kemampuan resiliensi remaja penyandang cacat fisik di BRTPD Pundong. Hasil uji secara terpisah menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signfikan antara dukungan keluarga dan resiliensi remaja penyandang cacat fisik. Jadi semakin tinggi dukungan keluarga yang dirasakan maka semakin rendah kemampuan resiliensi remaja penyandang cacat fisik.

B. Saran

1. Bagi penelitian selanjutnya

(75)

berhubungan negatif terhadap kemampuan resiliensi, bentuk dukungan yang mungkin kurang sesuai dengan kondisi mereka merupakan kelemahan dalam penelitian ini. Diharapkan penelitian selanjutnya lebih memperhatikan sumber dukungan yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka seperti dukungan sahabat.

2. Bagi keluarga remaja penyandang cacat fisik

(76)

58

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, R. Rahayu. 2008. Resilience Strapped Tuna In Post-Accident Dhaksa. Depok : Journal Fakultas Psikologi Universitas Gunadharma.

Atkinson L. Rita and Atkinson C. Richard. 2005. Pengantar Psikologi Jilid 2. Edisi kedelapan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Azwar, Saifuddin. 2008. Reliabilitas dan Validitas. Edisi ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Edisi pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bowo, M. 2009. Apa itu dukungan sosial. Dipungut 22 Mei 2011. Dari

www.masbow.com/2009/08/apa-itu-dukungan-sosial.html

Baron, Robert. A & Byrne, Donn. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Edisi kedelapan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Baumgardner, R. Steve and Crothers, K. Marie. 2009. Positive Psychology. New Jersey: Prentice Hall.

Chandra, Silvia. 2007. Resiliensi.Dipungut 10 Mei 2011.Dari

http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/konsep-umum-mainmenu-31/resiliensi-mainmenu-92

Dani, Fitrah. 2009. Tinjauan Komunikasi Bagi Penyandang Cacat Fisik. Dipungut Agustus, 2011.Dari http://elib.unikom.ac.id/Files/disk1/527/jbptunikompp-kematian. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

Fidiana, Iin. 2007. Perbedaan Motivasi Berprestasi Antara Karyawan Penyandang Cacat dan Karyawan Bukan Penyandang Cacat. Yogyakarta : Journal of Psychology UII.

(77)

Grothberg, H. Edith. 2001. Resilience Programs for Children in Disaster. Ambulatory Child Health. United Stated of America: University of Alabama at Birmingham.

Hani and Savitry. 2007. Gambaran Perbedaan Konsep Diri antara Remaja Tuna Daksa yang Bersekolah di Sekolah Inklusi dengan SLBD. (Thesis: tidak diterbitkan). Jakarta : Universitas Atma Jaya Indonesia.

Haryono, S. Dyta. 2009. Resiliensi Pada Remaja Penyandang Cacat Fisik Perolehan. Journal of Psychology. Malang : Department of Psychology Universitas Muhamadiyah.

Herdiana, E. Kusumah dan Zulkaida, Anita. 2007. Penyesuaian Diri dan Kemandirian pada Remaja Penyandang Cacat Perolehan. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Hurlock, B. Elizabeth. 1990. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Kartono, Kartini. 1986. Psikologi Anak. Bandung : Penerbit Alumni.

Kimhi, Shaul and Shamai, Michail. 2004. Community Resilience and The Impact

of Stress: Adult Response to Israel’s Withdrawl from Lebanon. Journal of Community Psychology, Vol. 32, No. 4, July 2004, p. 439 – 451.

King A. Laura. 2010. Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif. Edisi kedua. Jakarta : Salemba Humanika.

Klohnen, C. Eva. 1996. Conceptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resiliency. University of California, Berkeley.

Larios, Lutfi. 2011. Orang cacat yang menaklukkan dunia. Dipungut Februari 2012. Dari http://lutfilaros.blogspot.com/2011/10/7-orang-cacat-yang-menaklukkan-dunia.html.

Mappiarre, A. 1994. Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional Indonesia. Masten, S. Ann. 2009. Resilience. Education Canada, Vol. 49. Link to the

Canadian Education Assosiation. Dipungut 27 Januari, 2012. Dari

http://canadianeductionassosiation-ace.ca/2009/08/02-Resilience.html

Gambar

Gambar 2 : Scaterplot Dukungan Sosial dan Resiliensi......................................49
Gambar 1: Skema hubungan dukungan sosial dan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik
Skor untuk item bersifat Tabel 3.2 favorable
Tabel 3.4 Spesifikasi Skala Dukungan Keluarga Sebelum Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tes tersebut tidak menjadi satu-satunya faktor pertimbangan penempatan pejabat struktural, melainkan hanya menjadi salah satu faktor yang ikut dipertimbangkan bagi

Proses adsorpsi bahan pencemar ion Cd 2+ dan Cr 6+ dari limbah cair dengan menggunakan kulit singkong diawali dengan penentuan kondisi optimum adsorpsi yaitu

Untuk mendukung hal tersebut, dari berbagai penelitian beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa efek dari MSC ini bersifat parakrin dan dimediasi oleh

Sistem pendampingan perlu diarahkan diantaranya pada: (1) adanya jaminan atau kepastian pasar dan pemasaran komoditas; (2) adanya sistem penjaminan mutu dari produksi komoditas

bahan sintetik atau bahan tidak hidup yang digunakan untuk menggantikan sel hidup. atau berfungsi untuk mengaktifkan sel hidup dalam suatu sistem hidup

Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

Berdasarkan Hasil Pelelangan Kegiatan Belanja Bahan Makanan dan Minuman Pasien Program Pengadaan Peningkatan Sarana Dan Prasarana RS/RSJ/RS Paru-Paru/RS Mata RSUD

Penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah (2013) tentang Pengaruh Corporate Governanace, Leverage dan Profitabilitas terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur