• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI PADA MAHASISWA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI PADA MAHASISWA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) Program Studi Psikologi"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

i   

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI

PADA MAHASISWA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Yohanes Batista

NIM : 059114050

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii   

(3)
(4)

iv   

HALAMAN PERSEMBAHAN

(5)

v   

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya ataupun bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dari daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah

Yogyakarta, 10 Juli 2012

Penulis

(6)

vi   

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI PADA MAHASISWA

Yohanes Batista

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara konsep diri dan empati. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1. Subjek berjumlah 80 mahasiswa dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dengan menggunakan teknik convenience sampling. Metode pengumpulan data menggunakan skala konsep diri dan skala empati. Uji validitas alat ukur menggunakan validitas isi. Data dari hasil ujicoba diperoleh reliabilitas 0,939 untuk skala konsep diri dan reliabilitas 0, 924 untuk skala empati. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebaran data normal dan memiliki korelasi yang linear. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson dan menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,393 (p<0,01). Artinya, ada hubungan positif antara konsep diri dan empati pada mahasiswa.

(7)

vii   

THE CORRELATION BETWEEN SELF CONCEPT AND EMPATHY ON UNDERGRADUATE STUDENTS

Yohanes Batista

ABSTRACT

The purpose of this study was to examine the relationship between self concept and empathy on undergraduate students. The hypothesis proposed in this research is there is a positive correlation between self concept and empathy on undergraduate students. The subject of this research are 80 undergraduate students at Psychology Faculty of Sanata Dharma, that acquired by convenience sampling. The method of data collection in this research are self concept scale and empathy scale. The reliability coefficient for self concept is 0,939 and the reliability coefficient for empathy is 0,924. The result of data analysis show that the normal data spread and have linear correlation. The data of research result analyzed by correlation Product Moment technique from Carl Pearson and the result of correlation coefficient is 0,393 (p<0,01). It means, there is a positive correlation between self concept and empathy on undergraduate students.

(8)

viii   

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Yohanes Batista

Induk Mahasiswa : 059114050

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN EMPATI PADA MAHASISWA

beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 10 Juli 2012 Yang menyatakan,

(9)

ix   

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini

tentunya tidak lepas dari peran dan bantuan berbagai pihak yang telah banyak

membantu penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang dengan rahmat dan pencerahannya senantiasa

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Dr. Christina Siwi Handaya selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta

3. Ibu Tanti Arini, S.Psi., M.Psi selau dosen pembimbing skripsi dan dosen

pembimbing akademik yang telah sabar serta meluangkan waktunya untuk

memberikan bimbingan, masukan dan petunjuk agar bisa menyelesaikan

skripsi.

4. Orangtua yang dengan sabar menerima dan memahami anaknya satu ini

yang lulus dengan cukup baik.

5. Eka Shanti Budi Asih, seorang wanita yang dengan setia menemani dan

membantu saat pengerjaan skripsi.

6. Pak bos, yang sudah membantu dalam menganalisis data.

7. Teman-teman kontrakan yang sudah sering mengingatkan untuk segera

(10)

x   

8. Teman-teman seangkatan (2005) yang sudah saling menguatkan dan

membantu yang tidak bisa disebut satu persatu

9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, saya ucapkan

terimakasih banyak.

Yogyakarta,

(11)

xi   

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II LANDASAN TEORI... 8

A. Empati... 8

1. Definisi Empati... 8

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati... 10

(12)

xii   

4. Aspek Empati... 14

B. Konsep Diri... 19

1. Definisi Konsep Diri... 19

2. Aspek Konsep Diri... 20

3. Perkembangan Konsep Diri... 24

4. Jenis Konsep Diri... 26

C. Pengertian Mahasiswa... 29

D. Hubungan antara Konsep Diri dan Empati pada Mahasiswa... 30

E. Hipotesis... 32

BAB III METODE PENELITIAN... 34

A. Jenis Penelitian... 34

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 34

C. Definisi Operasional... 34

D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel... 36

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data... 36

F. Validitas dan Reliabilitas... 41

G. Metode Analisis Data... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 44

A. Pelaksanaan Penelitian... 44

1. Proses Penelitian... 44

2. Identitas Subjek dan Deskripsi Statistik Penelitian... 44

B. Uji Penelitian... 45

(13)

xiii   

2. Uji hipotesis... 47

C. Pembahasan... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 51

A. Kesimpulan... 51

B. Saran... 51

DAFTAR PUSTAKA... 53

(14)

xiv   

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Empati (uji coba)... 38

Tabel 3.2 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Konsep Diri (uji coba)... 40

Tabel 3.3 Spesifikasi Skala Empati Sebelum dan Sesudah Uji Coba... 43

Tabel 3.4 Spesifikasi Skala Konsep Diri Sebelum dan Sesudah Uji Coba... 43

Tabel 4.1 Identitas Subjek Penelitian... 44

Tabel 4.2 Deskripsi Data Penelitian... 45

Tabel 4.3 Uji Normalitas... 45

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk hidup yang tidak bisa hidup sendiri dan akan

senantiasa berinteraksi terus dengan orang lain. Diperlukan sebuah

ketrampilan sosial yang mampu memfasilitasi interaksi antar pribadi menjadi

lebih membangun dan menyenangkan. Keterampilan ini salah satunya adalah

empati. Dengan mengembangkan empati, individu mampu merasakan apa

yang dirasakan orang lain dan melihat situasi dari sudut pandang orang lain

(Devito, 2004).

Empati memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Salah

satunya adalah menghilangkan perasaan egoistik individu. Hal ini didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh Sari, Ramdhani dan Eliza (2003),

mengenai perilaku merokok dan empati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

semakin tinggi empati, maka perilaku merokok di depan umum juga semakin

berkurang, hal ini dikarenakan si perokok bisa merasakan ketidaknyamanan

para perokok pasif terhadap asap yang ditimbulkan. Pentingnya empati dalam

interaksi antar manusia juga diungkapkan oleh Kurtinez dan Grwitz (dalam

Setyawan, 2009), bahwa empati penting dalam meningkatkan kualitas

hubungan sosial.

Peran empati juga diungkapkan oleh Garaigordobil (2009), bahwa

(16)

asertif terhadap orang lain, menghormati orang lain, kontrol diri yang baik dan

kepemimpinan. Selain itu, empati membuat individu mampu merasakan

penderitaan dan rasa sakit yang dialami oleh orang lain, sehingga dengan

begitu kehadiran empati mampu mengurangi perilaku kenakalan dan agresi

dalam interaksi individu dengan sesama dan lingkungannya (Garaigordobil,

2009).

Goleman (1995), berdasarkan pengamatannya terhadap perilaku bayi

yang menangis ketika mendengar bayi lain menangis, menyimpulkan bahwa

secara biologis, manusia sudah dilahirkan dengan adanya kemampuan empati.

Namun, walaupun empati sudah ada semenjak bayi, tidak berarti kemampuan

empati akan meningkat terus seiring dengan bertambahnya usia. Goleman

(1995), menyatakan empati seorang anak mulai luntur saat mulai berusia 2,5

tahun, saat dimana seorang anak menyadari bahwa dirinya berbeda dengan

orang lain dan kesedihan yang dialami orang lain bukanlah kesedihan yang

juga dialami oleh si bayi. Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor biologis,

terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi perkembangan kemampuan

empati individu.

Berdasarkan literatur yang diperoleh, faktor-faktor lain yang

mempengaruhi empati, yaitu pengalaman dan lingkungan (Rogers, 1980), usia

(Hakansson, 2003), jenis kelamin (Garaigordobil, 2009), pelatihan (Shapiro,

Morrison dan Boker, 2004). Selain itu, Rogers (1980) juga mengungkapkan

bahwa empati muncul saat individu mampu menerima dirinya sendiri.

(17)

mengembangkan konsep diri secara positif. Oleh karena itu, secara teoretis

konsep diri memiliki hubungan atau pengaruh terhadap empati. Disebutkan

oleh Buhrmester, dkk (1988) bahwa empati merupakan salah satu aspek dari

kompetensi interpersonal, dan terdapat penelitian yang menunjukkan adanya

hubungan antara konsep diri dan kompetensi interpersonal (Nashori, 2000 dan

Hartanti, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa secara empirik konsep diri

memiliki kemungkinan hubungan atau pengaruh terhadap empati.

William D. Brooks (dalam Rakhmat, 2007), menjelaskan konsep diri

sebagai persepsi individu dari segi fisik, sosial dan psikologis terhadap dirinya

sendiri, yang di peroleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain.

Konsep diri yang dikembangkan oleh individu akan cenderung mengarah ke

positif atau negatif. Individu dengan konsep diri negatif akan cenderung peka

terhadap kritikan, hiperkritis dan memunculkan permusuhan terhadap orang

lain. Sementara itu, konsep diri yang positif terlihat pada individu yang merasa

setara dengan orang lain, menyadari bahwa orang lain itu berbeda dan

cenderung hangat terhadap orang lain.

Konsep diri yang positif adalah modal bagi seseorang dalam

berinteraksi di kehidupan bermasyarakat. Individu yang mengembangkan

konsep diri positif mampu menerima perbedaan antarpribadi sebagai sesuatu

hal yang lumrah, hal ini memberikan keuntungan sosial pada individu, karena

mereka lebih mampu menerima perbedaan dan mengatasi konflik secara

(18)

perasaan minder, harga diri yang rendah dan memunculkan perilaku yang

tidak mendukung interaksi hubungan interpersonal.

Individu dengan konsep diri yang positif, menggambarkan dirinya

secara positif dan mencintai setiap pengalaman, serta kekurangan dan

kelebihan yang dimiliki. Mereka memahami secara menyeluruh siapa diri

mereka, dan melihat permasalahan yang dihadapi orang lain secara obyektif.

Individu yang mengembangkan konsep diri secara positif, mampu merasakan

berbagai dorongan dan keinginan, termasuk didalamnya emosi marah maupun

cinta. Dikemukakan oleh Goleman (dalam Sari dkk, 2003), bahwa kesadaran

diri dalam mengenali sinyal emosi yang muncul pada reaksi tubuh adalah

syarat individu mampu berempati dengan orang lain. Hal ini menunjukkan

bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif mampu memahami orang

lain dan berpikir dari sudut pandang orang lain dengan tetap mempertahankan

obyektifitas individu, sementara individu yang memiliki konsep diri negatif,

pengetahuan terhadap diri sendiri masih sempit dan belum teratur, membuat

mereka sulit untuk bisa menempatkan diri pada sudut pandang orang lain dan

berpikir secara obyektif.

Masyarakat memiliki harapan yang lebih terhadap mahasiswa.

Mahasiswa mewakili generasi muda yang dianggap sebagai kelompok

intelektual. Keahlian dan pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi,

nantinya akan diaplikasikan dalam lingkungan pekerjaan dan masyarakat.

Berbekal pengetahuan yang lebih, diharapkan mereka mampu

(19)

harapan yang tinggi sebagai generasi penerus bangsa, tidak hanya

mementingkan keunggulan intelektual semata, tetapi juga harus diimbangi

dengan kompetensi lainnya yang berhubungan dengan interaksi mereka

dengan lingkungan sosial. Boediono (2007) dalam pidatonya saat acara

pemberian beasiswa di UGM, berpesan bahwa mahasiswa harus siap jadi

pemimpin. Boediono juga menambahkan sebagai seorang pemimpin tidak

hanya membutuhkan kemampuan teknis, tetapi juga keterampilan sosial

(www.SwaraWongkito.com).

Bertolak belakang dengan harapan masyarakat, mahasiswa sering

belum bisa mengelola konflik yang muncul secara konstruktif, seperti yang

terjadi di lampung. Rabu, tanggal 21 September 2011

(www.lampungpost.com) terjadi tawuran antara mahasiswa Fakultas Teknik

(FT) dengan mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu politik (FISIP) UNILA.

Pemicu tawuran berawal dari teguran yang dilakukan oleh salah satu

mahasiswa senior dari FISIP, terhadap mahasiswa FT yang sedang pawai

sebagai bentuk perayaan sesudah wisuda. Merasa tersinggung dengan teguran

tersebut, akhirnya tawuran pun terjadi. Tawuran ini muncul karena adanya

perbedaan dalam mengekspresikan kebahagiaan. Lingkungan kampus yang

identik dengan sisi intelektualitas dan toleransi antar individu di dalamnya,

menjadi ajang tawuran antar mahasiswa yang semata-mata berusaha

mempertahankan ego masing-masing. Seandainya kedua belah pihak bisa

saling berempati, tentunya tawuran ini tidak akan terjadi. Dengan mau

(20)

mengganggu orang lain, sehingga bisa memaklumi teguran dari mahasiswa

Fisip. Dengan begitu kedua belah pihak bisa sama-sama mencari jalan tengah

tanpa harus merugikan satu sama lain, dan tawuran bisa terhindarkan

Berdasarkan penjabaran sebelumnya menunjukkan bahwa konsep diri

secara teoretik dan empirik memiliki hubungan dengan empati. Namun,

sayangnya dua penelitian sebelumnya (Nashori, 2000 dan Hartanti, 2006),

tidak melihat secara khusus hubungan antara aspek empati dengan konsep diri.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Lukman (2000), hasil dari penelitian

tersebut menunjukkan adanya korelasi antara konsep diri dengan kompetensi

interpersonal, namun disebutkan bahwa korelasi yang linear antara 2 variabel

tersebut dikarenakan adanya faktor yang sama, yaitu percaya diri. Selain itu,

masih adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang terjadi pada

mahasiswa, serta pentingnya empati dalam meningkatkan kualitas hidup

mahasiswa, sehingga penulis tertarik untuk meneliti mengenai ada tidaknya

hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa,. Penelitian ini akan

memberikan gambaran seberapa besar hubungan antara konsep diri dan

(21)

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik suatu

masalah penelitian yaitu, “Adakah hubungan antara konsep diri dan empati

pada mahasiswa ?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empiris tentang

ada tidaknya hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa.

D. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pengetahuan dalam bidang psikologi terutama pada psikologi

perkembangan dan psikologi sosial, yaitu berupa literatur ilmiah

mengenai peran konsep diri pada kehidupan sosial dan interpersonal.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan

pada praktisi dan profesi lainnya yang berminat dalam pengembangan

diri. Melalui pengetahuan tambahan terhadap pentingnya peran konesp

(22)

8 BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Empati

1. Definisi Empati

Sekitar tahun 1880, seorang psikolog kebangsaan jerman,

Theodore Lipps menyebutkan sebuah istilah “einfuhlung” untuk

menjelaskan mengenai apresiasi emosi terhadap perasaan orang lain

(Olckers dan Grobler, 2010). Devito (2004) menjelaskan empati

sebagai suatu kemampuan emosi individu untuk mampu merasakan

apa yang dirasakan orang lain dan melihat situasi dari sudut pandang

orang lain. Empati muncul saat individu mampu merasakan apa yang

dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif orang lain,

menumbuhkan hubungan saling percaya serta mampu selaras dengan

orang lain maupun lingkungan sekitarnya (Goleman, 1995).

Rogers (1980) mendefinisikan empati sebagai suatu proses

bagaimana individu mampu ‘masuk’ dalam dunia orang lain dan

merasa nyaman tanpa larut sepenuhnya dalam perasaan maupun

situasi orang lain. Hampir senada dengan Rogers, Mehrabian dan

Epstein (1972) secara singkat menjelaskan bahwa empati bisa dilihat

dan diukur dengan menggali aspek emosi yang ada di dalam empati.

Sesudah Mehrabian (1972), pemahaman tentang empati semakin

(23)

mengkritisi pengembangan alat ukur empati yang dikembangkan oleh

Mehrabian. Davis (1980), menyimpulkan dari alat ukur yang

dikembangkannya, bahwa empati merupakan sebuah fenomena

multidimensional, dimana aspek emosi saja tidak cukup untuk

menggambarkan empati, tetapi juga harus dilengkapi dengan aspek

kognisi. Pernyataan Davis ini didukung juga oleh Decety dan Jackson

(2004) yang mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk

berbagi perasaan dengan orang lain, berpikir secara tepat mengenai

apa yang dirasakan orang lain dan mampu memahami peristiwa atau

pengalaman buruk yang dialami orang lain. Hal ini menunjukkan

bahwa untuk bisa melihat dan mengukur empati seseorang, harus

memperhatikan aspek kognisi dan emosi.

Penggunaan istilah empati sering disamakan dengan simpati,

namun kedua istilah ini memiliki perbedaan yang mendasar. Seperti

sudah dijelaskan sebelumnya, empati berarti menempatkan pikiran

dan perasaan pada orang lain sesuai dengan apa yang dipikirkan dan

dirasakan orang lain, sementara simpati cenderung muncul sebagai

sebuah bentuk reaksi emosi yang kurang memiliki kontrol karena

menempatkan diri individu dalam situasi orang lain, namun tidak

memikirkan pikiran dan perasaan orang lain sesungguhnya.

Dari pengertian di atas, disimpulkan bahwa empati merupakan

suatu kemampuan yang dimiliki individu di saat tertentu dalam

(24)

menggunakan kognisi nya secara tepat dalam mengartikan atau

memaknai hal yang dirasakan orang lain tanpa melibatkan unsur

prasangka atau judgment apapun.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati

a) Biologis

Faktor genetis memiliki pengaruh terhadap tingkat empati

individu, terutama pada masa awal kehidupan individu. Hal ini

didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya, salah satunya adalah

penelitian yang dilakukan oleh Rushton, dkk (dalam Antony,

Manstead dan Hewstone, 1996). Mereka meneliti mengenai tingkat

empati pada individu yang kembar identik, dan ditemukan tingkat

empati yang cenderung sama diantara pasangan kembar identik.Selain

itu, Goleman (1995) meyakini bahwa empati sudah muncul semenjak

individu lahir, beliau menyimpulkan dari pengamatannya terhadap

bayi yang akan ikut menangis saat mendengar ada bayi lain di

sekitarnya yang menangis.

b) Lingkungan

Pada masa awal kehidupan hingga menginjak usia remaja,

orangtua menjadi bagian yang penting dalam perkembangan empati

individu. Perilaku orangtua yang hangat dan ramah, serta

menunjukkan sikap penerimaan terhadap anaknya di rumah mampu

(25)

Pada masa remaja dan dewasa, empati dipelajari melalui

orang-orang yang dianggap sebagai guru atau pembimbing mereka.

Bentuk kehangatan dan penerimaan yang ditunjukkan oleh para guru

atau pembimbing, kemudian akan dipelajari dan dihayati oleh

individu, dan akan berperilaku sama terhadap orang lain. Begitupula

sebaliknya, jika sosok yang dipandang sebagai guru atau pembimbing

jarang menunjukkan sifat kehangatan dan penerimaan diri apa adanya

terhadap diri individu, maka individu tersebut pun akan cenderung

menunjukkan hal yang sama terhadap orang lain (Rogers, 1980).

c) Pengalaman

Rogers menyatakan bahwa empati seseorang akan semakin

tinggi, seiring dengan kuantitas serta kualitas pengalaman individu

dalam memunculkan empati. Pernyataan Rogers ini awalnya

merupakan pandangan pribadi terhadap terapis dalam dunia

psikoterapi dan konseling, bahwa semakin berpengalaman seorang

terapis dalam memunculkan dan menggunakan empati dalam proses

terapi, semakin tinggi pula kemampuan empati si terapis. Hal ini

dikarenakan seorang terapis akan semakin peka dan lebih mudah

menerima serta memahami situasi atau pengalaman klien (Rogers,

1980).

d) Usia

Selain sebagai sebuah ketrampilan, empati juga dipandang

(26)

salah satu fungsi kematangan, yang berarti bahwa segala bentuk emosi

termasuk empati akan semakin berkembang kualitasnya seiring

dengan perkembangan usia. Hal ini juga didukung oleh hasil

penelitian yang dilakukan Garaigordobil (2009), bahwa kematangan

usia berpengaruh terhadap perkembangan empati dalam diri individu.

e) Jenis kelamin

Salah satu hasil yang ditemukan dalam penelitiannya

Garaigordobil (2009), adalah adanya pengaruh jenis kelamin terhadap

tingkat empati individu. Wanita cenderung lebih mampu berempati

dibandingkan pria.

f) Pelatihan

Hampir sama dengan bentuk ketrampilan lainnya, empati juga

bisa dibentuk atau ditingkatkan melalui bentuk pelatihan. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Shapiro, Morrison

dan Boker (2004), mengenai efektivitas pelatihan empati pada

mahasiswa kedokteran tingkat pertama. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa empati subjek mengalami peningkatan yang cukup signifikan

setelah mengikuti pelatihan tersebut.

g) Konsep diri

Rogers (1980) menyatakan bahwa empati akan menjadi lebih

efektif saat seseorang mampu menerima dirinya sendiri apa adanya.

Menerima disini maksudnya adalah mengakui segala kekurangan dan

(27)

mengembangkan konsep dirinya secara positif, mengakui dan

menerima dirinya sendiri apa adanya, sehingga melihat segala

perilaku manusia sebagai sesuatu hal yang wajar. Hal ini

menunjukkan bahwa secara teoretis, konsep diri memiliki pengaruh

atau hubungan terhadap empati. Berdasarkan penelusuran yang

dilakukan oleh penulis, belum menemukan penelitian yang secara

khusus meneliti hubungan antara konsep diri dan empati, oleh karena

itu penulis tertarik untuk melihat secara khusus hubungan antara

konsep diri dan empati.

3. Komponen Empati

Brownell (dalam Eisenberg dan Strayer, 1990) mengungkapkan

bahwa setidaknya ada 3 komponen yang mampu menggambarkan empati

secara menyeluruh, yaitu :

a) Kognitif

Empati mengacu pada bagaimana individu mampu melihat

situasi yang dialami orang lain melalui sudut pandang atau segi

kognitif orang tersebut. Misalnya, seorang pria membawa pacarnya

dalam acara keluarga. Si wanita terkesan pendiam padahal dalam

kesehariannya dia seorang yang mudah bergaul. Sepulang dari

acara, si pria dengan nada yang agak keras bertanya apakah

pacarnya tidak suka dengan keluarganya. Pertanyaan ini malah

(28)

memiliki empati terhadap pacarnya, maka dia harusnya cukup peka

bahwa pacarnya malu dan juga bingung bagaimana harus

menempatkan diri di tengah-tengah keluarga si pria, sehingga dia

lebih banyak berdiam diri dan jarang terlibat dalam percakapan

terutama dengan orangtuanya.

b) Afeksi

Selain mampu melihat dari sudut pandang orang lain,

empati juga muncul dalam bentuk perasaan. Empati mampu

membuat individu mengerti apa yang dirasakan orang lain. Gejolak

emosi yang sedang dialami oleh orang lain mampu dipahami oleh

individu, walaupun tidak ditunjukkan secara verbal.

c) Perilaku

Empati juga mengacu pada kemampuan individu untuk

menunjukkan perilaku verbal dan nonverbal yang mengindikasikan

perilaku mendengarkan dan peduli terhadap orang lain. Tatapan

mata yang hangat, bahasa tubuh yang menarik dan mampu

merangkum secara tepat sesuatu yang dibagikan orang lain

merupakan bagian dari aspek tingkah laku.

4. Aspek Empati

Mehrabian dan Epstein (1972) menggolongkan aspek empati

(29)

a) Susceptibility to emotional contagion

Artinya mudah tidaknya individu terpengaruh oleh emosi

orang lain. Misalnya, saat ada teman yang bercerita mengenai

kematian anjingnya yang tragis, individu tersebut kemudian merasa

terharu dengan mata yang berkaca-kaca

b) Appreciation of the feelings of unfamiliar and distant others

Aspek ini menjelaskan mengenai kemampuan apresiasi

individu terhadap sesuatu yang terasa aneh dan tidak biasa bagi

dirinya.

c) Extreme emotional responsiveness

Aspek ini memuat unsur emosi yang sangat tinggi, artinya

tingkat respon emosi individu terhadap sesuatu yang mampu

menimbulkan suasana emosional.

d) Tendency to be moved by others positive and emotional experience

Menjelaskan mengenai tingkat kecenderungan individu

dalam merespon peristiwa positif atau negatif yang dialami orang

lain

e) Sympathetic tendency

Mengukur mengenai kecenderungan simpati yang dimiliki

(30)

f) Willingness to be contact with others who have problems

Meliputi tingkat kesediaan individu untuk mau

mendengarkan dan terlibat dalam masalah yang sedang dialami

oleh orang lain.

Sedikit berbeda dengan pemahaman Mehrabian dan Epstein

(1972) yang cenderung menekankan pada komponen emosi dalam

empati, Davis (1983) cenderung melihat empati sebagai

multidimensi aspek yang mengandung komponen afeksi dan

kognitif. Penggolongan aspek yang diusulkan oleh Davis, yaitu :

a) Fantasy, aspek ini mengungkapkan mengenai kecenderungan

respon individu secara imajinatif terhadap perasaan dan perilaku

karakter dalam komik, film atau novel.

b) Perspective taking, aspek ini menggambarkan kecenderungan atau

kemampuan individu dalam melihat situasi dari sudut pandang

orang lain

c) Empathic concern, aspek ini mengungkapkan mengenai

kecenderungan respon positif individu disaat berhadapan dengan

pengalaman buruk atau negatif dari orang lain.

d) Personal distress, aspek ini mengukur kecenderungan tingkat

kecemasan dan kenyamanan individu dalam kaitannya dengan

interaksi interpersonal.

Ditambahkan oleh Caruso dan Mayer (1998), aspek yang

(31)

a) Empathic suffering, artinya tingkat empati individu terutama dalam

merasakan dan memahami penderitaan yang dialami orang lain

b) Positive sharing, artinya kemampuan individu dalam berbagi dan

merasakan perasaan positif bersama orang lain

c) Responsive crying, artinya mudah tidaknya individu menangis saat

pada situasi tertentu

d) Emotional attention, artinya keinginan individu untuk mengenali

dan berbagi perasaan kepada orang lain

e) Feeling for others, artinya merasakan perasaan yang sedang

dialami oleh orang lain

f) Emotional contagion, artinya mudah tidaknya individu ‘tertular’

perasaan atau situasi yang ada saat bersama dengan orang lain

Berdasarkan kajian literatur, akhirnya penulis memutuskan

untuk mengadaptasi skala empati yang dikembangkan oleh Davis

(1980). Alasan untuk mengadaptasi skala, antara lain (1) melihat

bahwa pengertian empati yang dikembangkan oleh Davis, sejalan

dengan pengertian empati yang digunakan dalam penelitian ini,

yaitu hubungan antara konsep diri dan empati pada mahasiswa. (2)

Dibandingkan dengan skala yang dikembangkan oleh Mehrabian

(1972) dan Caruso (1980), skala milik davis lebih lengkap terutama

dasar bahwa empati itu harus diukur secara multidimensi, yaitu

(32)

Dari keempat aspek yang digunakan oleh Davis (1980),

peneliti tidak menggunakan aspek Personal Distress, dan

menggantikannya dengan Emotional Contagion. Alasannya adalah

pengertian Personal Distress, tidak sejalan dengan pengertian

empati yang dikembangkan untuk penelitian kali ini. Secara

lengkap aspek yang digunakan untuk skala empati adalah sebagai

berikut :

a) Fantasy, yaitu kecenderungan individu dalam melakukan proses

identifikasi terhadap tokoh atau karakter dalam film, buku maupun

cerita fiksi

b) Perspective/role taking, yaitu aspek yang menggambarkan

kemampuan individu dalam melihat permasalahan yang dihadapi

orang lain, melalui sudut pandang orang lain tersebut

c) Empathic concern, yaitu tingkat atau kadar seseorang dalam

menunjukkan kehangatan, kasih sayang dan perhatian pada orang

lain.

d) Emotional contagion, yaitu tingkat respon individu dalam

merasakan hal yang sama atau tertular perasaan yang dialami orang

(33)

B.

Konsep Diri

1. Definisi Konsep Diri

Konsep diri merupakan keseluruhan informasi dan pandangan

yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri (Calhoun dan

Accocela, 1990). Menurut Black (dalam Devito, 2004), konsep diri

merupakan perasaan dan pikiran individu terhadap kekuatan dan

kelemahan, kemampuan dan keterbatasan serta aspirasi nya sendiri,

selain itu juga memuat informasi mengenai pandangan dunia atau

lingkungan sekitar terhadap diri individu. Ditambahkan juga oleh

Brooks (dalam Rakhmat, 2000), konsep diri merupakan persepsi

mengenai diri sendiri yang bersifat fisik, sosial maupun psikologis,

yang diperoleh melalui pengalaman individu dalam interaksinya

dengan orang lain.

Allport (dalam Schultz, 1991) menyinggung juga mengenai

konsep diri, namun istilah yang digunakan adalah proprium. Proprium

adalah hal atau proses yang penting dan bersifat pribadi, yang

menentukan keunikan individu sebagaimana yang dirasakan dan

diketahuinya. Menurut Jamaludin, dkk. (2009), konsep diri merupakan

cara individu melihat siapa dirinya, yang terbentuk melalui interaksi

dirinya dengan lingkungan.

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara

individu melihat dirinya sendiri, dan meyakini segala informasi yang

(34)

dirinya. Informasi yang dimaksud meliputi gambaran fisik, sosial dan

psikologis.

2. Aspek Konsep Diri

Devito (2004), menyatakan bahwa konsep diri mengandung aspek

kognitif dan afektif yang mencakup kekuatan dan kelemahan, kemampuan

dan keterbatasan serta aspirasi dan pandangan dunia terhadap diri individu.

Senada dengan pendapat Devito, Brooks (dalam Rakhmat, 2007)

mengungkapkan bahwa konsep diri terdiri dari komponen kognitif dan

afektif artinya konsep diri meliputi apa yang dipikirkan dan dirasakan

seseorang terhadap dirinya sendiri.

Markus dan nurius (dalam Calhoun dan Accocela, 1990)

mengemukakan 4 aspek yang berkaitan dengan konsep diri, yaitu :

a) Physical selfyaitu penilaian individu terhadap dirinya

sendiri dari segi fisik dan biologis. Kekurangan dan

kelebihan yang ada pada fisik individu, mempengaruhi

penilaian individu terhadap dirinya sendiri.

b) Self as process meliputi perilaku, kognisi dan emosi

individu dalam kaitannya dengan interaksi individu

terhadap orang lain dan lingkungan.

c) Social self meliputi peran sosial individu di lingkungannya

dan bagaimana individu melihat kualitas perannya tersebut.

(35)

d) Ideal self menyangkut kesesuaian hasil atau pencapaian

individu dengan harapan dan keinginannya.

Hampir senada dengan Markus, Berzonsky (1990) mengemukakan

aspek konsep diri yang terdiri dari :

a) Aspek fisik

Aspek ini menggambarkan mengenai kondisi dan

penampilan fisik individu.

b) Aspek sosial

Aspek ini meliputi penilaian individu terhadap

kualitas perannya dalam lingkungan sosial. Aspek ini

mengukur bagaimana individu menilai dirinya sesuai

dengan perannya baik dalam hubungannya dengan teman

sebaya, pekerjaan maupun keluarga.

c) Aspek moral

Aspek ini menggambarkan bagaimana individu

menilai dirinya dari segi nilai dan prinsip yang dipegang,

serta penilaian terhadap baik buruknya nilai dan prinsip

tersebut dalam kehidupan.

d) Aspek psikologis

Aspek ini memuat pengetahuan dan penilaian

individu terhadap dirinya sendiri dari segi kognitif, afektif

(36)

Jamaludin, Ahmad, Yusuf, Dan Abdullah (2009), mengemukakan

bahwa aspek konsep diri meliputi :

a) Fisik

Meliputi informasi mengenai hal-hal fisik individu,

seperti kesehatan, daya tarik fisik, dan ciri fisik lainnya.

b) Etika dan moral

Meliputi hal-hal yang menyangkut baik buruknya

perilaku dan kepribadian dari sisi moral dan etika pada

lingkungan individu tersebut tinggal.

c) Personal

Meliputi hal-hal yang menyangkut kepribadian dan

sikap individu.

d) Keluarga

Meliputi pandangan individu terhadap keluarga dan

bagaimana individu menilai dirinya sendiri melalui perilaku

keluarga

e) Sosial

Meliputi interaksi dan sikap individu terhadap

lingkungannya

f) Identitas

Meliputi pandangan orang lain terhadap individu

(37)

g) Kepuasan diri

Menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tingkat

kepuasan individu terhadap dirinya sekarang.

h) Perilaku

Menyangkut sikap individu terhadap orang lain dan

lingkungan.

i) Self-criticism

Kecenderungan individu dalam menyikapi stimulus

dan bersikap terhadap orang lain dan juga lingkungannya.

Uraian di atas, menunjukkan bahwa para ahli dan peneliti

belum memiliki kesepakatan bersama mengenai aspek konsep diri.

Namun, ada beberapa aspek yang sama dan digunakan dalam

penelitian mereka. Oleh karena itu disimpulkan bahwa aspek konsep

diri setidak-tidaknya meliputi :

a) Aspek fisik

Aspek ini meliputi penilaian individu mengenai kondisi

fisik. Disini bentuk penilaiannya adalah mengenai negatif dan

positif. Artinya bentuk penilaian yang dilakukan adalah mengenai

penerimaan individu terhadap kondisi fisiknya, bukan bagus

tidaknya bentuk tubuh yang dimiliki.

b) Aspek kepribadian

Aspek ini berupa penilaian individu terhadap dirinya

(38)

menghadapi situasi tertentu. Aspek ini juga meliputi hal-hal seperti

sensitivitas terhadap kritikan, responsif terhadap pujian serta

penerimaan dan pengakuan terhadap sisi baik buruk kepribadian

individu.

c) Aspek nilai

Aspek ini menyangkut nilai dan prinsip yang dipegang

individu dalam kehidupan sehari-hari. Kesenjangan antara prinsip

dan perilaku yang ditunjukkan akan berpengaruh pada konsep diri

individu. Semakin sinkron antara prinsip/nilai dan kenyataan

individu dalam perilakunya sehari-hari, maka semakin tinggi pula

kecenderungan konsep diri positif muncul dalam diri individu.

d) Aspek keluarga

Aspek ini menyangkut kualitas hubungan individu dengan

keluarga.

e) Aspek sosial

Aspek ini mengukur penilaian individu terhadap perannya

baik dalam lingkungan kampus, sekolah, komunitas dan

lingkungan sosial lainnya.

3. Perkembangan Konsep Diri

Allport (Schultz, 1991) mengatakan bahwa manusia tidak

dilahirkan dengan “sense of self”, artinya diri bukan merupakan warisan

(39)

kehidupannya. Allport menambahkan pula bahwa manusia pada awal

kelahiran (bayi) tidak mampu membedakan antara diri dan lingkungan.

Sekitar usia 15 bulan, tahap pertama perkembangan konsep diri dimulai

dengan menyadari diri secara fisik (diri jasmaniah). Pada tahap ini, bayi

mulai berpikir mengenai “saya” dan “bukan saya”, dimana pemikiran

secara konseptual mengenai diri dan lingkungan mulai berkembang serta

mampu melihat perbedaan keduanya. Misalnya bayi mulai menyadari

bahwa ia sedang menghisap jari, dan jari itu adalah miliknya. Selain itu,

individu sudah mulai memberikan label bahwa orang lain yang sedang

tertawa melihat tingkah ku itu adalah “bukan saya” (Calhoun & Acocella,

1990).

Saat mulai memasuki sekolah, individu tidak lagi sekedar

membandingkan diri dengan saudara kandung, tetapi sudah mulai

membandingkan diri dengan kehidupan sosial atau teman sebaya di

sekolah. Nilai-nilai yang mempengaruhi konsep individu terhadap dunia

dan dirinya, juga mulai dipengaruhi oleh guru dan teman-teman sebaya.

Guru sebagai sosok yang lebih tua berperan pula sebagai orangtua kedua

selain orangtua aslinya, sehingga pandangan dan pemikiran dari guru akan

membentuk konsep diri individu.

Hurlock (2004) mengatakan bahwa pada usia anak-anak, individu

belum bisa membedakan dengan jelas antara konsep diri sebenarnya dan

konsep diri ideal. Mereka cenderung berpikir bahwa dalam dirinya

(40)

berdiri sendiri-sendiri. Semakin dewasa individu, dua aspek ini akan

semakin menyatu dengan diri individu.

4. Jenis Konsep Diri

Konsep diri merupakan gambaran atau pandangan individu

mengenai dirinya sendiri. Dalam perkembangannya, konsep diri memiliki

kecenderungan terbentuknya menjadi negatif maupun positif.

a) Konsep Diri Negatif

Individu dengan konsep diri yang negatif, hanya mengetahui

sedikit dari dimensi konsep dirinya (evaluasi, pengetahuan dan

pengharapan). Terdapat 2 tipe karakteristik konsep diri negatif tipe

pertama digambarkan pada individu yang pandangan terhadap dirinya

benar-benar tidak teratur. Individu ini memiliki pengetahuan maupun

pengharapan terhadap diri sendiri yang cenderung berubah-ubah.

Selain itu, individu dengan konsep diri yang negatif memiliki

pengetahuan yang sangat sedikit mengenai kelebihan dan kekurangan

serta value yang menjadi pegangan dalam hidupnya. Tipe yang kedua,

dijelaskan sebagai kebalikan dari tipe yang pertama. Konsep diri

individu cenderung terlalu stabil dan terkesan kaku. (dalam Calhoun

(41)

Brooks & Emmert, (dalam Rakhmat, 2007), menjabarkan

ciri-ciri individu dengan konsep diri yang negatif yaitu :

a. Peka terhadap kritikan

Individu dengan konsep diri yang negatif akan mudah

tersinggung apabila sikap atau pemikirannya dievaluasi dan di

kritik oleh orang lain. Oleh karena itu, individu dengan konsep

diri yang negatif cenderung menghindari komunikasi secara

terbuka dengan orang lain, serta berusaha mempertahankan

segala pemikirannya walaupun dengan logika atau alasan yang

kurang tepat.

b. Responsif terhadap pujian

Individu dengan konsep diri yang negatif memiliki

kebutuhan yang tinggi untuk dihargai. Pujian dari orang lain

menjadi syarat utama agar harga dirinya meningkat. Dengan

kata lain, individu tersebut tergila-gila dengan pujian,

walaupun terkesan menghindari.

c. Hiperkritis

Sikap bermusuhan dalam bentuk perilaku mencela,

mengeluh dan meremehkan orang lain, sering ditunjukkan oleh

individu dengan konsep diri yang negatif. Selain itu, mereka

kurang mampu menghargai atau mengakui kelebihan orang

(42)

d. Merasa tidak disenangi orang lain

Individu dengan konsep diri yang negatif memiliki tingkat

kecemasan yang tinggi. Salah satu bentuk kecemasan

ditimbulkan karena individu sering merasa bahwa dirinya tidak

disukai oleh orang lain.

b) Konsep Diri Positif

Callhoun dan Accocela (1990) mengungkap beberapa ciri

individu dengan konsep diri yang positif, yaitu :

a. Mampu menerima diri apa adanya

b. Mampu mengakui kekurangan dalam dirinya

c. Mampu menerima kekurangan maupun kelebihan orang lain

d. Memiliki kehendak bebas, tidak terperangkap dalam penjara

pikiran seperti individu dengan konsep diri yang negatif.

e. Spontan dan berani menghadapi masalah

f. Memperlakukan orang lain dengan hormat dan hangat

Hampir serupa dengan karakteristik konsep diri positif yang

dikemukakan Callhoun (1990), D.E. Hamachek (dalam Rakhmat,

2007) juga mengungkapkan beberapa karakteristik individu dengan

konsep diri yang positif, antara lain :

a. Memiliki prinsip dan nilai yang dipegang teguh. Namun, jika

(43)

dirinya, mereka mau dengan terbuka mengubah nilai dan

prinsip lama.

b. Perilaku dan tindakan yang muncul, didasari oleh penilaian

yang tepat dan bijak. Oleh karena itu, tidak mudah terpengaruh

oleh pihak tertentu.

c. Peka terhadap kebutuhan dan situasi orang lain.

d. Tidak berlebihan dalam menanggapi suatu hal yang terjadi di

masa lalu, masa depan ataupun masa sekarang.

e. Menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima

pujian tanpa disertai kecemasan.

f. Memiliki keyakinan dan ketahanan diri yang tinggi dalam

memperoleh sesuatu atau saat menghadapi permasalahan.

g. Terbuka terhadap perasaan nya pada diri sendiri maupun pada

orang lain dan berani mengungkapkan emosi atau hasrat

terhadap orang lain.

h. Merasa setara dengan orang lain dan memiliki harga diri yang

tinggi.

i. Menikmati pekerjaan yang sedang dilakukan.

j. Menerima dan menghargai diri apa adanya

C.

Pengertian Mahasiswa

Mahasiswa adalah pelajar atau seseorang yang menempuh

(44)

S1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), mahasiswa berarti

individu yang belajar di perguruan tinggi. Sementara, dalam Peraturan

Pemerintah (PP) mahasiswa diartikan sebagai peserta didik yang terdaftar

dan belajar di perguruan tinggi. Ditambahkan oleh Sarwono (1978),

mahasiswa adalah individu yang terdaftar secara resmi untuk mengikuti

perkuliahan di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.

D.

Hubungan antara Konsep Diri dan Empati pada Mahasiswa

Dalam kehidupan sosial, empati memiliki peran penting terutama

perannya dalam meningkatkan kualitas hubungan interpersonal. Empati

mampu membuat individu memahami cara pandang orang lain,

memotivasi orang lain dan juga membantu menangani stress yang muncul

dalam interaksi antarpribadi. Oleh karena itu, empati menjadi bekal

penting dalam menjalani kehidupan mereka baik di masyarakat maupun

untuk kepentingan profesi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh

Olckers dan Grobler (2010), bahwa profesi dengan tinggi nya frekuensi

interaksi antar manusia memerlukan kemampuan empati yang tajam

Allport menjelaskan bahwa dasar dari empati adalah “diri” yang

sehat. Diri yang sehat memahami segala bentuk emosi (negatif maupun

positif) yang muncul sebagai hal yang wajar dan manusiawi. Diri yang

sehat menurut Allport memiliki kesamaan makna dengan konsep diri yang

positif pada Rogers. Ditambahkan pula oleh Allport bahwa individu

(45)

luas terhadap siapa dirinya, mampu menilai sesuatu secara obyektif dan

tidak memproyeksikan sesuatu yang negatif kepada orang lain (dalam

Schultz, 1991).

Individu dengan konsep diri yang positif cenderung lebih peka

terhadap kebutuhan orang lain. Begitupula dengan mahasiswa, mahasiswa

yang mengembangkan konsep diri positif akan memiliki cara pandang

yang lebih objektif dan memahami kelemahan orang lain. Sementara

mereka yang mengembangkan konsep diri negatif, cenderung diliputi rasa

cemas dan kekecewaan, sehingga mempengaruhi cara pandang mereka

terhadap dunia dan orang lain. Mahasiswa dengan konsep diri negatif,

akan memiliki kecenderungan untuk menghakimi dan sulit menempatkan

diri mereka pada posisi orang lain. (Rakhmat, 2007)

Rogers (1980) juga menyatakan bahwa untuk bisa memahami

orang lain, individu harus mampu memahami perasaan dan siapa dirinya

terlebih dahulu. Pemahaman individu terhadap dirinya juga termasuk

mengakui sisi negatif dan positif yang ada dalam dirinya. Individu dengan

konsep diri yang positif mampu mengakui kelebihan dan kekurangannya

sebagai bagian dari diri manusia. Selain itu, dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Nashori (2000) dan Hartanti (2006) menunjukkan bahwa

konsep diri memiliki peran dan hubungan yang signifikan dengan

kompetensi interpersonal, dimana empati merupakan salah satu aspek

(46)

(2000), bahwa individu yang mampu menerima diri nya akan mudah juga

menerima orang lain termasuk memahami tingkah laku orang lain.

Dasar dari empati adalah penerimaan dan tidak menghakimi

(Rogers, 1980). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya

individu dengan konsep diri yang positif lebih mampu berempati terhadap

orang lain, karena mereka mengintegrasikan semua pengalaman dan

evaluasi dirinya secara utuh, dan juga tidak memiliki keinginan untuk

berusaha membentuk orang lain. Berbeda dengan individu yang cenderung

untuk menghakimi atau memberikan penilaian terhadap cerita atau

permasalahan yang mereka dengar dari orang lain (konsep diri negatif),

individu dengan konsep diri positif mampu menahan keinginan mereka

untuk langsung menanggapi dan bisa memberikan perhatian sepenuhnya

dalam mendengarkan. Ditambahkan pula oleh Rogers (1980), individu

dengan konsep diri yang positif lebih bisa berempati, karena mereka tidak

takut untuk kehilangan “diri” mereka saat berusaha menempatkan pikiran

dan perasaan di sisi orang lain.

E.

Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah

diuraikan di atas maka dirumuskan hipotesis bahwa ada hubungan positif

(47)

Skema Kerangka Pikir

Konsep diri negatif Konsep diri positif

Konsep diri

-menerima dirinya dari segi fisik, moral, maupun sosial secara positif.

-penerimaan diri lain apa adanya dan

(48)

34 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian

korelasional merupakan suatu jenis penelitian dengan karakteristik berupa

hubungan korelasional antara dua variabel atau lebih (Supratiknya, 1998).

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang hendak diteliti yaitu

konsep diri dan empati. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antar kedua variabel tersebut di atas.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Variabel bebas : konsep diri.

2. Variabel tergantung : empati.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional dibuat untuk menghindari salah pengertian akan

variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini, yaitu :

1. Konsep diri

Konsep diri merupakan cara individu melihat dirinya sendiri,

dan meyakini segala informasi yang diperoleh melalui interaksinya

(49)

dalam konsep diri yaitu aspek fisik, kepribadian, nilai, sosial dan

keluarga. Aspek-aspek konsep diri didasarkan pada konsep teori yang

dikemukakan oleh Berzonsky (1990) dan Jamaluddin, dkk (2009).

Kecenderungan konsep diri yang dirasakan oleh individu, ditunjukkan

melalui skor total yang diperoleh dari skala konsep diri. Semakin

tinggi skor yang diperoleh subjek, maka konsep diri subjek semakin

cenderung positif. begitupula sebaliknya, semakin rendah yang

diperoleh subjek, maka konsep diri subjek semakin cenderung negatif.

2. Empati

Empati merupakan kemampuan yang dimiliki individu di saat

tertentu dalam usahanya untuk merasakan hal yang sama dengan orang

lain, serta menggunakan kognisinya secara tepat dalam mengartikan

atau memaknai hal yang dirasakan orang lain tanpa melibatkan unsur

prasangka atau judgment apapun. Aspek-aspek yang tercakup dalam

empati pada penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang

dikemukakan oleh Davis (1980). Aspek empati meliputi Fantasy,

Perspective Taking, Empathic Concern, dan emotional contagion.

Tinggi rendah nya kemampuan empati mahasiswa ditunjukkan melalui

skor total yang diperoleh dari skala empati, yang diisi oleh subjek.

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek maka semakin tinggi

kemampuan berempati yang mampu dimunculkan oleh subjek.

Begitupula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subjek,

(50)

D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi dan Karakteristik Subjek Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan subjek atau individu yang

akan dilakukan penelitian (Hadi, 2004). Populasi ditentukan sesuai

dengan kesamaan karakteristik yang dimaksudkan untuk penelitian.

Untuk penelitian kali ini, populasi yang dimaksud adalah mahasiswa.

2. Teknik Pengambilan Sampel

Banyaknya jumlah individu yang ada dalam populasi, akan

mempengaruhi efektifitas penelitian jika semua individu dalam

populasi disertakan dalam penelitian. Oleh karena itu, dalam sebuah

penelitian, hanya sebagian kecil dari populasi yang penting untuk

disertakan dalam penelitian, yang disebut dengan sampel (Hadi, 2004).

Penelitian kali ini menggunakan sampel mahasiswa aktif di Fakultas

Psikologi. Secara khusus teknik pengambilan sampel yang digunakan

adalah accidental sampling.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan sebagai

pengumpul data adalah metode skala, dengan alat pengumpulan data

berupa skala Likert. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan 2

skala, yaitu (1) Skala konsep diri yang mengacu pada teori Jamaluddin,

(51)

kajian literatur. Mehrabian dan Epstein (1972), serta Caruso dan Mayer

(1998), lebih menekankan pada aspek emosi dalam empati. Sementara

Davis, menekankan aspek multidimensi yaitu sisi kognitif dan emosi.

Davis (1980), menyatakan bahwa empati tidak bisa hanya diukur dari sisi

emosi saja, melainkan juga harus digabungkan dengan pengukuran dari

sisi kognitif. Penulis memutuskan untuk mengadaptasi alat ukur empati

yang disusun oleh Davis (1980). Selain alasan multidimensi (komponen

emosi dan kognitif), alat ukur yang dibuat oleh davis (1980) ini juga

digunakan pada kelompok subjek yang hampir sama dengan kelompok

subjek yang akan diteliti untuk saat ini, yaitu kelompok usia remaja akhir.

Namun, dari ke 4 aspek yang ada, peneliti tidak menggunakan aspek

terakhir yaitu personal distress. Alasan peneliti tidak menggunakan aspek

tersebut, dikarenakan atribut yang diukur dalam aspek tersebut tidak

sejalan dengan pengertian empati yang disusun oleh peneliti.

Secara keseluruhan, aspek yang digunakan dalam penelitian ini

berjumlah 4 aspek. Aspek terakhir, yaitu emotional contagion

ditambahkan oleh peneliti dikarenakan dari beberapa hasil penelitian

seperti yang dilakukan Mayer dan Caruso (1998), serta Mehrabian dan

Epstein (1972), menunjukkan bahwa emotional contagion merupakan

aspek penting dalam mengukur empati. Hal ini juga didukung oleh

Hatfield, Rapson dan Le (2006), yang menyatakan bahwa emotional

contagion merupakan unsur penting dalam memahami kognisi, emosi dan

(52)

1. Skala empati

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur empati adalah

skala empati. Skala ini digunakan untuk mengukur empati subjek

yang didasarkan pada 4 aspek empati, yaitu :

a) Fantasy, yaitu kecenderungan individu dalam melakukan proses

identifikasi terhadap tokoh atau karakter dalam film, buku

maupun cerita fiksi

b) Perspective taking, yaitu aspek yang menggambarkan

kemampuan individu dalam melihat permasalahan yang

dihadapi orang lain, melalui sudut pandang orang lain tersebut

c) Empathic concern, yaitu tingkat atau kadar seseorang dalam

menunjukkan kehangatan, kasih sayang dan perhatian pada

orang lain.

d) Emotional contagion, tingkat respon individu dalam merasakan

hal yang sama atau tertular perasaan yang dialami orang lain.

Tabel 3.1

Tabel Spesifikasi Aitem-aitem skala empati (uji coba)

Aspek Favorable Unfavorable Jmlh Fantasy 1,9,17,25,33,41 5,13,21,29,37 11

Perspective taking 2,10,18,26,34,42 6,14,22,30,38 11

Empathic concern 3,11,19,27,35,43 7,15,23,31,39 11

Emotional contagion 4,12,20,28,36,44 8,16,24,32,40 11

(53)

Skala empati mempunyai pilihan jawaban : sangat sesuai

(SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Skor

setiap aitem, dinilai dari angka 4 (SS) hingga 1 (STS) untuk aitem

yang favourable. Sementara aitem yang unfavourable, penilaian dari 1

(SS) hingga 4 (STS). Makin tinggi skor yang diperoleh subjek,

semakin tinggi pula kemampuan empati subjek , begitupula

sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin negatif

pula kemampuan empati subjek.

2. Skala konsep diri

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur empati adalah skala

konsep diri. Skala ini digunakan untuk mengukur konsep diri

subyek yang didasarkan pada 5 aspek, yaitu :

a) Fisik

Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan serta penilaian

individu terhadap kondisi fisik mulai penampilan, bentuk

tubuh, gaya rambut, dan lain sebagainya

b) Kepribadian

Aspek ini menyangkut kepribadian dan sikap yang

cenderung dimunculkan dalam kondisi tertentu.

c) Nilai

Aspek ini menyangkut nilai dan prinsip yang dipegang

(54)

d) Sosial

Aspek ini menyangkut penilaian individu terhadap

kapasitas atau perannya di lingkungan baik di kampus,

orangtua maupun dengan teman sebaya.

e) Keluarga

Aspek ini menyangkut kualitas hubungan individu

dengan keluarga.

Tabel 3.2

Tabel Spesifikasi Aitem-aitem konsep diri (uji coba)

Aspek Favorable Unfavorable Jml

h

perse ntase

Fisik 1,11,21,31,41 6,16,26,36,46 10 20%

Kepribadian 2,12,22,32,42 7,17,27,37,47 10 20%

Nilai 3,13,23,33,43 8,18,28,38,48 10 20%

Sosial 4,14,24,34,44 9,19,29,39,49 10 20% Keluarga 5,15,25,35,45 10,20,30,40,50 10 20%

Jumlah 25 25 50 100%

Skala konsep diri mempunyai pilihan jawaban : sangat sesuai (SS),

sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Skor setiap aitem,

dinilai dari angka 4 (SS) hingga 1 (STS) untuk aitem yang favourable.

Sementara aitem yang unfavourable, penilaian dari 1 (SS) hingga 4(STS).

(55)

bernilai positif, begitpula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh

maka konsep diri subjek semakin bernilai negatif.

Kedua skala disusun menggunakan metode rating yang dijumlahkan

atau summated rating method.

F. Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

Validitas merupakan tingkat ketepatan dan kecermatan sebuah

alat tes dalam melakukan fungsi ukurnya. Sebuah alat tes dikatakan

sebagai alat yang baik jika tingkat validitasnya tinggi. Semakin tinggi

tingkat validitas sebuah alat tes, semakin tinggi pula relevansi alat tes

dengan tujuan pengukuran. Selain itu, validitas penting dalam

kecermatan pengukuran, maksudnya kecermatan dalam melihat

perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap atribut yang akan diukur

(Azwar, 2009).

Tipe validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah

validitas isi. Pengukuran validitas isi dilakukan secara kualitatif

dengan melihat kesesuaian antara item dan atribut yang akan diukur

(Supratiknya,1998). Pengukuran validitas isi, bisa dilakukan dengan

melihat blue print yang telah dibuat. Pengukuran validitas isi

didasarkan pada professional judgment, artinya peneliti akan

(56)

seorang ahli, dalam hal ini adalah dosen pembimbing skripsi, Tanti

Arini, S.Psi., M.Si.

2. Uji daya beda aitem

Uji daya beda aitem atau lebih dikenal dengan seleksi aitem

dilakukan untuk melihat sejauh mana setiap aitem yang dibuat mampu

membedakan antara individu yang memiliki dan individu yang tidak

memiliki atribut yang diukur. Pengujian daya beda aitem ini

menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) atau dikenal pula

dengan sebutan parameter daya beda aitem (Azwar, 2009).

Pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total

menggunakan batasan rix ≥ 0,30. Hal ini didasarkan pada pemikiran

bahwa aitem yang memiliki rix, memiliki daya diskriminasi yang

rendah, yang berarti aitem tersebut tidak mampu membedakan secara

tepat subjek yang memperoleh skor rendah dan tinggi.(Azwar, 2009)

Uji coba skala empati dalam penelitian ini melibatkan 90

remaja yang berada dalam semester 5 di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Setelah data terkumpul, penghitungan

skor skala kecerdasan emosional ini dilakukan dengan menggunakan

SPSS 16.0 for Windows.

Hasil analisis terhadap skala ini menunjukkan bahwa dari 44

aitem yang diujikan, hanya 28 aitem yang memiliki koefisien korelasi

(rix) diatas 0,30. Rentang nilai rix antara 0,321 hingga 0,644. Hasil

(57)

Tabel 3.3

Tabel Spesifikasi Skala Empati Sebelum dan Sesudah Uji Coba

Aspek Sebelum Uji Coba Sesudah Uji Coba

perse ntase

Favorable Unfavorable

Favorable Unfavorabl e

4,42 6,14,22,30,38

2,10,18,

Skala yang kedua adalah konsep diri. Sama dengan skala empati,

subjek yang digunakan sebagai ujicoba berjumlah 90 mahasiswa Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma. Hasil analisis dari 50 aitem ujicoba :

Tabel 3.4

Tabel Spesifikasi Skala Konsep Diri Sebelum dan Sesudah Uji Coba

Aspek Sebelum Uji Coba Sesudah Uji Coba

perse ntase

Favorable Unfavorable Favorable Unfavorable

Fisik 1,11,21,31,41 6,16,26, 36,46 1,21,31, 41 6,26,46 18.9%

Kepribadian 2,12,22,32,42 7,17,27,37,47 2,12,32, 42 7,17,37, 47 21.6% Nilai 3,13,23,33,43 8,18,28,38,48 3,13,33, 43 8,18,38, 48 21.6% Sosial 4,14,24,34,44 9,19,29,39,49 4,24,34, 44 9,29,39 18.9%

Keluarga 5,15,25,35,45 10,20,30,40,50 5,15,25,35,45 30,50 18.9%

Jumlah 25 25 21 16

(58)

3. Reliabilitas

Reliabilitas adalah kepercayaan, kebenaran, keajegan,

kestabilan, konsistensi, atau sejauh mana hasil pengukuran dapat

dipercaya. Reliabilitas digunakan untuk melihat sejauh mana suatu

pengukuran memiliki hasil yang relatif sama jika dilakukan

beberapa kali pengukuran terhadap subjek atau kelompok subjek

yang sama (Azwar, 2009).

Reliabilitas mengacu kepada keterpercayaan hasil ukur

yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran

yang menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya dikatakan

sebagai pengukuran yang tidak reliabel. Hal ini mengakibatkan

bahwa pengukuran tersebut tidak akan konsisten dari waktu ke

waktu (Azwar, 2009). Reliabilitas dinyatakan dalam koefisien

reliabilitas (rxx’) yang angkanya berkisar antara 0 sampai dengan

1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00

berarti semakin tinggi pula reliabilitasnya. Sebaliknya, semakin

koefisien reliabilitasnya mendekati angka 0 maka semakin rendah

reliabilitasnya (Azwar, 2009).

Hasil pengujian reliabilitas untuk skala konsep diri adalah

(59)

G. Metode analisis data

Uji hipotesis dilakukan untuk melihat apakah terdapat

hubungan positif antara konsep diri dan empati pada mahasiswa.

Peneliti menggunakan analisis korelasi product moment dengan

bantuan SPSS for windows versi 16 untuk melakukan pengujian

hipotesis dalam penelitian ini. Pengujian menggunakan uji

(60)

44 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

1. Proses Penelitian

Penelitian tentang hubungan antara konsep diri dengan tingkat

empati pada mahasiswa Fakultas Psikologi ini, dilaksanakan mulai tanggal

5-10 Oktober 2011. Penelitian dilakukan setelah melakukan ujicoba

penelitian dan melihat validitas, serta reliabilitas alat ukur. Peneliti

membagikan skala sebanyak 100 eksemplar secara acak, kepada

mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Skala yang

kembali ke peneliti sebanyak 85 eksemplar dan yang memenuhi syarat

untuk dipakai dalam penelitian sebanyak 80 eksemplar.

2. Identitas Subjek dan Deskripsi Statistik Penelitian

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa aktif Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Berdasarkan hasil penyebaran skala

didapatkan data-data mengenai identitas subjek penelitian sebagai berikut :

Tabel 4.1

Identitas Subjek Penelitian

(61)

Tabel 4.2

Deskripsi Data Penelitian

Variabel Penelitian X Minimum X Maximum

Standard

B. Uji Penelitian

1. Uji Asumsi

Uji asumsi dilakukan untuk memperoleh kesimpulan yang tidak

menyimpang dari tujuan penelitian, maka sebelum dilakukan uji hipotesis,

terlebih dahulu dilakukan uji asumsi data penelitian yang meliputi uji

normalitas dan uji linearitas sebagai syarat untuk melakukan analisis data.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui sebaran variabel

bebas dan variabel tergantung bersifat normal atau tidak. Asumsi uji

normalitas adalah jika nilai probabilitas atau p>0,05 berarti distribusi

data penelitian normal (Triton, 2006). Uji normalitas dalam penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov

Test dari program SPSS for windows versi 16.0. Pada tabel di bawah ini

dapat dilihat hasil uji normalitas 2 variabel.

Tabel 4.3 Uji Normalitas

Variabel Kolmogorov-Smirnov Signifikansi Probabilitas Keterangan

Empati 0,742 0,640 p > 0,05 Normal

(62)

Berdasarkan tabel 4.1, dapat diketahui bahwa pada variabel

empati memiliki nilai probabilitas sebesar 0,640 (p>0,05), dengan nilai

Kolmogorov Z sebesar 0,742. Hal ini menunjukkan bahwa variabel

empati memenuhi syarat uji normalitas. Pada variabel konsep diri, nilai

probabilitas sebesar 0,063 (p>0,05), dengan nilai Kolmogorov Z

sebesar 1,315. Hal ini menunjukkan bahwa variabel konsep diri

memenuhi syarat uji normalitas.

b.Uji Linearitas

Tabel 4.4 Uji Linearitas

Hubungan Variabel Signifikansi p Ket

Hubungan antara empati dan konsep

diri 0,00 p < 0,05 Linear

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas

dan variabel tergantung membentuk kurva linear atau bergaris lurus

atau tidak. Uji linearitas pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan program SPPs for windows 16.0. Asumsi uji linearitas

adalah nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 atau p < 0,05. Berdasarkan

tabel 4.2 hasil uji linearitas menunjukkan bahwa variabel empati dan

konsep diri bersifat linear. Hal ini dapat dilihat dari nilai p lebih kecil

(63)

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson melalui program SPSS

for windows versi 16.0. Taraf signifikasi dalam penelitian ini

menggunakan taraf signifikasi 0,01 (1%), artinya bahwa ada kemungkinan

penolakan hipotesis yang benar sebesar 1 % dan taraf kepercayaan 99%

(Hadi, 2004).

Taraf signifikansi menggunakan uji one-tailed. Uji hipotesis

menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,393. Berdasarkan tabel nilai r

Product Moment (Hadi, 2004), nilai r minimal untuk taraf signifikansi 1

%, dengan jumlah subjek 80 orang adalah 0.286. Nilai koefisien korelasi

untuk variabel empati dan konsep diri diatas nilai minimal, yaitu 0.393, hal

ini berarti ada hubungan positif antara empati dan konsep diri pada

mahasiswa psikologi. Artinya, semakin tinggi konsep diri seorang

mahasiswa psikologi, semakin tinggi pula empati yang dimiliki.

Begitupula sebaliknya, semakin rendah konsep diri, semakin rendah pula

empati yang dimiliki. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima.

C. Pembahasan

Penelitian bertujuan untuk menguji hipotesis yang berbunyi “ada

hubungan positif antara empati dan konsep diri pada mahasiswa psikologi”.

Hasil analisis data menggunakan SPSS for windows versi 16.0 menghasilkan

Gambar

Tabel 3.1 Spesifikasi Aitem-aitem Skala Empati (uji coba)............................
Tabel 3.1 Tabel Spesifikasi Aitem-aitem skala empati (uji coba)
Tabel 3.2 Tabel Spesifikasi Aitem-aitem konsep diri (uji coba)
Tabel 3.4 Tabel Spesifikasi Skala Konsep Diri Sebelum dan Sesudah Uji Coba
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat

ANALISIS KALIMAT ELIPSIS BAHASA JERMAN DALAM ROMAN TRÄUME WOHNEN ÜBERALL KARYA CAROLIN PHILIPPS DAN PADANANNYA.. DALAM

Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan studi potong lintang yaitu untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial