• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETAPAN KADAR HIDROKUINON DALAM LARUTAN PENCERAH MEREK “A” YANG BEREDAR DI PASARAN DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENETAPAN KADAR HIDROKUINON DALAM LARUTAN PENCERAH MEREK “A” YANG BEREDAR DI PASARAN DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN KADAR HIDROKUINON DALAM LARUTAN PENCERAH MEREK “A” YANG BEREDAR DI PASARAN DENGAN METODE

SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Shinta Lia Dewi Handoyo NIM : 048114096

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

PENETAPAN KADAR HIDROKUINON DALAM LARUTAN PENCERAH MEREK “A” YANG BEREDAR DI PASARAN DENGAN METODE

SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Shinta Lia Dewi Handoyo NIM : 048114096

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Papa dan mama yang mengubah kisah hidupku

dengan berbagai cara mereka mengubah kekuranganku

menjadi kelebihan yang mengagumkan

dan membuatku mampu berjalan dengan tenang,

dan bahagia atas bayang-bayang kepedihanku

dan penderitaan yang kujalani.

Karya ini yang kupersembahkan untuk:

Papa dan mama yang selalu sabar dan membimbing saya

Kakak dan adikku yang selalu mendukung saya

(6)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala berkat, kasih, dan karunia-Nya untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Penetapan Kadar Hidrokuinon dalam Larutan Pencerah

Merek”A” yang Beredar di Pasaran dengan Metode Spektrofotometri Visibel.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat tugas akhir untuk memperolehi gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program studi Ilmu Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan baik moral maupun spiritual dan dukungan yang berupa bimbingan, dorongan, sarana, maupun fasilitas dari berbagai pihak dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Christine Patramurti, S.Si, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing atas kesabarannya membimbing, memberi saran dan kritik, dan pengarahan selama penyusunan proposal hingga selesainya skripsi ini.

3. Lucia Wiwid Wijayanti, M. Si., selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk masukan, saran, dan kritik yang membangun selama penelitian.

(7)

vii

5. Rekan tim penelitian hidrokuinon (Leo dan Lian) yang selama ini telah membantu, menemani, mendukung dan menyemangati penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

6. Segenap staf laboran terutama laboran lantai IV atas masukan, bantuan, kebersamaan dan kerjasamanya selama penelitian.

7. Acay telah membantu mencari teman yang dapat membuat gambar dan tata tulis. 8. Tris dan Putut telah membantu membuat gambar dan mengatur tata tulis selama ini. 9. Teman-teman FST 2004 atas persahabatan dan kekompakan selama kuliah.

10. Semua pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini masih memiliki kekurangan mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi kemajuan dan kesempurnaan penelitian yang telah dilakukan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi orang lain yang membutuhkan.

(8)

viii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan

dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 10 April 2010

Penulis

Shinta Lia Dewi Handoyo

(9)
(10)

x

INTISARI

Hidrokuinon merupakan salah satu zat aktif yang digunakan secara luas pada produk pencerah kulit. Penggunaan hidrokuinon harus dibatasi kadarnya karena penggunaannya dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan efek samping yang berbahaya. Untuk melindungi kenyamanan dan keamanan bagi konsumen, hal itu sangat diperlukan kontrol kualitas produk larutan pencerah untuk mengetahui mutu produk yang dihasilkan sehingga kandungan hidrokuinonnya dapat diketahui dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar hidrokuinon dalam larutan pencerah merek “A” yang beredar di pasaran dengan metode spektrofotometri visibel.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif menggunakan metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi o-fenantrolina. Pemilihan metode ini didasarkan atas pembentukan komplek warna antara Fe2+ dan o-fenantrolina dengan adanya hidrokuinon sebagai agen pereduksi yang baik.

Berdasarkan analisis hasil, diperoleh kadar rata-rata hidrokuinon yang terkandung dalam sampel adalah 3,583 ± 0,085 % b/v. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa sampel lebih besar dari persyaratan yang telah ditentukan oleh BPOM.

(11)

xi

ABSTRACT

Hydroquinone is one of active agent that can be used widely at product of bleaching skin. The uses of hydroquinone must be limited because abundant usage in a big concentractions can cause dangerous adverse effect. For protect consument confortabel and safety, so that quality control product is very needed to know quality of product is producted so that the hydroquinone content is knowable and the result can be guaranteed. Purpose of this research was know hydroquionone concentraction of bleaching solution merek”A” was revolved in market with visible spectophotometry method.

This study was a non experimental descriptive which was using visible spectrophotometry method with o-phenanthroline reagent. The choice the methods based on form a coloured complex ion from that amount of Fe2+ and o-phenanthroline with hydroquinone as a good reducing agent.

Based on the result analysis, it was found that the average concentraction of hydroquinone in the sample with the trade mark was 3,583 ± 0,085 % b/v. Based on the data, it can be concluded that sample was not conditional fulfilled in BPOM.

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian ... 4

(13)

xiii

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Larutan ... 6

1. Pengertian larutan ... 6

2. Penggolongan tipe larutan ... 7

3. Faktor yang mempengaruhi kelarutan... 9

4. Kelebihan dan kekurangan sediaan larutan ... 11

B. Larutan Pencerah... 13

C. Hidrokuinon ... 14

1. Struktur dan sifat hidrokuinon ... 14

2. Penggunaan dan mekanisme kerja hidrokuinon ... 15

3. Efek samping hidrokuinon ... 16

D. Spektrofotometri Visibel ... 17

1. Deskripsi umum ... 17

2. Interaksi elektron dengan radiasi elektromagnetik (REM) ... 18

3. Analisis kuantitatif dengan spektrofotometri visible ... 25

4. Instrumentasi spektrofotometri visibel... 29

E. Senyawa kompleks...30

F. Hipotesis ... 37

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 38

(14)

xiv

C. Bahan Penelitian ... 38

D. Alat Penelitian ... 39

E. Tata Cara Penelitian ... 39

1. Pembuatan larutan baku hidrokuinon ... 39

2. Pembuatan larutan besi (III) ... 39

3. Pembuatan larutan o-fenantrolina ... 40

4. Pembuatan larutan natrium asetat ... 40

5. Penetapan kadar hidrokuinon dalam sampel larutan pencerah ... 41

F. Analisis Hasil ... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Optimasi Metode ... 43

1. Penentuan Operating Time (OT) ... 46

2. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum... 48

3. Pembuatan kurva baku ... 52

B. Penetapan Kadar Hidrokuinon dalam Sampel Larutan Pencerah ... 55

1. Pemilihan sampel ... 55

2. Preparasi sampel ... 56

3. Penetapan kadar hidrokuinon ... 56

BAB V. KESIMPULAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

LAMPIRAN ... 64

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Kategori kelarutan ... 7

Tabel II. Data replikasi seri baku hidrokuinon ... 3

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur hidrokuinon ... 14

Gambar 2. Reaksi oksidasi hidrokuinon menjadi kuinon ... 15

Gambar 3. Tingkat energi elektronik molekul ... 19

Gambar 4. Pengaruh pelarut polar pada transisi n → π* ... 21

Gambar 5. Pengaruh pelarut-pelarut pada transisi π → π* ... 22

Gambar 6. Instrumentasi spektrofotometer visibel ... 29

Gambar 7. Reaksi pembentukan senyawa kompleks [(C12H8N2)3Fe]2+ ... 32

Gambar 8. Spliting orbital d pada senyawa kompleks oktahedral ... 34

Gambar 9. Spliting orbital d pada Fe2+ dengan adanya ligan o-fenantrolina ... 35

Gambar 10. Transisi elektron dari orbital d ke π* ... 36

Gambar 11. Pembentukan ikatan koordinasi pada senyawa kompleks ... 36

Gambar 12. Reaksi Redoks antara besi (III) dan hidrokuinon ... 44

Gambar 13. Reaksi pembentukan senyawa kompleks berwarna ... 46

Gambar 14. Hasil penetapan operating time pada panjang gelombang 510,0 nm... 48

Gambar 15. Hasil pembacaan panjang gelombang serapan maksimum ... 51

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data penimbangan hidrokuinon baku untuk kurva baku ... 64

Lampiran 2. Perhitungan seri kadar baku hidrokuinon ... 64

Lampiran 3. Hasil scanning Operating Time (OT) ... 65

Lampiran 4. Data Operating Time (OT) ... 66

Lampiran 5. Hasil scanning λ max kadar hidrokuinon ... 66

Lampiran 6. Data scanning λ max kadar hidrokuinon ... 67

Lampiran 7. Hasil scanning kurva baku hidrokuinon ... 67

Lampiran 8. Data kurva baku hidrokuinon ... 68

Lampiran 9. Kurva baku dari 3 replikasi ... 68

Lampiran 10. Komposisi sampel larutan pencerah hidrokuinon ... 69

Lampiran 11. Gambar kemasan larutan pencerah merek”A” telah beredar di pasaran .... 70

Lampiran 12. Hasil pembacaan serapan sampel ... 71

Lampiran 13. Data serapan sampel ... 73

Lampiran 14. Contoh perhitungan kadar hidrokuinon dalam sampel larutan pencerah ... 74

Lampiran 15. Data perhitungan KV (%) ... 74

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan produk kosmetik semakin berkembang di masyarakat terutama

produk pencerah yang biasa digunakan untuk menjaga penampilan dan mempercantik

penampilan tubuh seseorang. Produk pencerah ini dipercaya konsumen dapat

membuat penampilan tubuh seseorang tampak putih dan bersih seri sehingga lebih

percaya diri.

Sediaan pencerah kulit yang beredar di pasaran dalam bentuk larutan paling

disukai oleh konsumen karena mudah menyebar rata di permukaan kulit, tidak

lengket, tidak meninggalkan bekas, dan lebih mudah dibersihkan. Salah satu zat aktif

yang banyak terkandung dalam larutan pencerah kulit adalah hidrokuinon yang

berfungsi untuk menyerap UV dan mengurangi produksi melanin atau

menghilangkan bercak-bercak hitam pada kulit sehingga membuat kulit tampak lebih

putih (Anonim, 2005 b).

Penggunaan hidrokuinon sebagai agen pencerah kulit dapat dikategorikan

menjadi dua yaitu dua yaitu sebagai produk kosmetik dan sebagai obat. Dalam

produk kosmetika, kadar hidrokuinon ≤ 2% biasanya dijual secara bebas di pasaran.

Sedangkan dalam produk obat, hidrokuinon dijual berdasarkan resep dan pengawasan

dari dokter karena kadar yang digunakan umumnya lebih besar dibandingkan pada

(19)

tinggi tetapi dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, misalnya:

kemerahan, rasa terbakar (panas), gatal, dan iritasi kulit ringan pada wajah. Oleh

karena itu penggunaan hidrokuinon harus dibatasi kadarnya.

Ada produk larutan pencerah yang mengandung hidrokuinon yang telah

beredar di pasaran namun tidak mencantumkan kadarnya. Dengan demikian, tidak

diketahui apakah kadar hidrokuinon dalam berbagai merek memenuhi persyaratan

BPOM atau tidak. Untuk melindungi kenyamanan dan keamanan bagi konsumen, hal

itu sangat diperlukan kontrol kualitas produk larutan pencerah untuk mengetahui

mutu produk yang dihasilkan sehingga kandungan hidrokuinonnya dapat diketahui

dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Pemilihan metode penetapan kadar

sangat penting karena dapat memberikan pengaruh hasil yang diperoleh. Metode

pilihan untuk menetapkan kadar harus merupakan metode yang sensitif, selektif, dan

praktis bagi senyawa tertentu. Metode-metode tersebut harus memenuhi kriteria

validitas metode uji di antaranya adalah akurasi dan presisi, sehingga hasil yang

diperoleh dapat dipertanggungjawabkan.

Pada penelitian ini digunakan metode spektrofotometri visibel menggunakan

pereaksi o-fenantrolina yang digunakan untuk analisis kuantitatif hidrokuinon.

Teknik spektrofotometri visibel mempunyai keunggulan karena senyawa yang

bersama-sama dengan hidrokuinon yang mengabsorpsi radiasi di daerah ultraviolet,

tidak akan mengganggu pengukuran serapan radiasi pada daerah sinar tampak. Selain

itu, pemilihan metode ini didasarkan atas pembentukan senyawa kompleks berwarna

(20)

agen pereduksi yang baik. Senyawa kompleks ini dapat diukur serapannya pada

panjang gelombang daerah visibel (Haris, 1999).

1. Permasalahan

Dari latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang akan diteliti adalah:

a) Berapa kadar hidrokuinon dalam larutan pencerah merek “A” yang telah

beredar di pasaran dengan metode spektrofotometri visibel?

b) Apakah kadar hidrokuinon dalam sediaan kosmetik yang berbentuk larutan

memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BPOM?

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian yang telah

dilakukan berjudul ”Penetapan Kecermatan dan Keseksamaan Metode Kolorimetri

Menggunakan Pereaksi Floroglusin untuk Penetapan Kadar Hidrokuinon dalam Krim

Pemutih” (Ibrahim, dkk., 2004), “Validasi Metode Spektrofotometri Visibel

Menggunakan Pereaksi O-fenantrolina Pada Penetapan Kadar Hidrokuinon dalam

Krim Simulasi” (Leo, 2008), dan “Penetapan Kadar Hidrokuinon dalam Krim

Pemutih Berbagai Merk yang Beredar di Yogyakarta” (Liancy, 2008). Sedangkan

sepengetahuan penulis, penelitian tentang “Penetapan Kadar Hidrokuinon dalam

Larutan Pencerah Merek ”A” yang Telah Beredar di Pasaran dengan Metode

(21)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberi dan menambah

informasi bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia kefarmasian

mengenai penetapan kadar hidrokuinon dalam larutan pencerah merek”A”

yang telah beredar di pasaran dengan menggunakan metode spektrofotometri

visibel”.

b. Manfaat metodologis

Penelitian ini dapat menjadi acuan tentang penggunaan metode

spektrofotometri visibel dengan pereaksi o-fenantrolina dalam penetapan

kadar hidrokuinon dan dapat digunakan untuk memberikan informasi bagi

konsumen mengenai mutu, keamanan, dan kemanfaatan hidrokuinon dalam

larutan pencerah merek “A” yang telah beredar di pasaran.

c. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberi informasi kepada

masyarakat mengenai kadar hidrokuinon dalam larutan pencerah yang

bermanfaat bagi kecantikan dan kesesuaiannya dengan nilai yang tercantum

(22)

B. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui informasi besarnya kadar hidrokuinon yang terkandung di

dalam larutan pencerah merek”A” yang telah beredar di pasaran dengan metode

spektrofotometri visibel.

2. Untuk mengetahui apakah kadar tersebut memenuhi persyaratan yang ditentukan

(23)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Larutan 1. Pengertian larutan

Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang

terlarut, misalnya: terdispersi merata secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau

campuran pelarut yang saling bercampur. Karena molekul-molekul dalam larutan

terdispersi secara merata, maka penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan,

umumnya memberikan jaminan keseragaman dosis dan mempunyai ketelitian yang

baik jika larutan yang diencerkan atau dicampurkan (Anonim, 1995).

Larutan adalah campuran yang bersifat homogen antara molekul, atom

ataupun ion dari dua zat atau lebih. Disebut campuran karena susunannya atau

komposisinya dapat berubah. Disebut homogen karena susunannnya begitu seragam

sehingga tidak dapat diamati adanya bagian-bagian yang berlainan, bahkan dengan

mikroskop optis sekalipun (Anonim, 2010 b). Suatu larutan mengandung satu zat

terlarut atau lebih dari satu pelarut. Zat terlarut merupakan komponen yang

jumlahnya sedikit, sedangkan pelarut adalah komponen yang terdapat dalam jumlah

yang banyak. Komponen dari larutan ialah solute (solvendum) bersinggungan dengan

cairan (solvens), maka solute terbagi homogen atau terdispersi secara molekuler

(24)

Larutan topikal adalah larutan yang biasanya mengandung air tetapi seringkali

mengandung pelarut lain, seperti etanol dan poliol, untuk penggunaan topikal pada

kulit. Larutan pencerah ini tergolong dalam larutan topikal karena larutan ini

mengandung pelarut air (Anief, 2000).

Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada

suhu 200C, kecuali dinyatakan lain menunjukkan 1 bagian bobot zat padat atau bagian

zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut. Pernyataan bagian dalam

kelarutan berarti 1 g zat padat atau 1 ml zat cair dalam sejumlah ml pelarut (Anief,

2000).

Tabel I. Kategori kelarutan (Anief, 2000)

Istilah kelarutan Jumlah bagian pelarut yang diperlukan untuk melarutkan

Sangat mudah larut Kurang dari 1

Mudah larut 1 – 10

Larut 10 – 30

Agak sukar larut 30 – 100

Sukar larut 100 – 1.000

Sangat sukar larut 1.000 – 10.000

Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

2. Penggolongan tipe larutan

Berdasarkan pengenceran, macam-macam tipe larutan dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Larutan encer yaitu jumlah zat A yang terlarut kecil.

b. Larutan pekat yaitu larutan yang mengandung fraksi zat A yang besar (Anonim,

(25)

Berdasarkan kejenuhan, macam-macam tipe larutan dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Larutan tak jenuh (unsaturated)

Adalah jika jumlah solute yang terlarut kurang dari kelarutannya. Larutan tak jenuh lebih encer (kurang pekat) dibandingkan dengan larutan jenuh (Anonim, 2010 b).

b) Larutan jenuh (saturated)

Adalah larutan yang mengandung zat terlarut dalam jumlah yang diperlukan

untuk adanya kesetimbangan antara solute yang terlarut dan yang tak terlarut.

Banyaknya solute yang melarut dalam pelarut yang banyaknya tertentu untuk

menghasilkan suatu larutan jenuh disebut kelarutan zat itu (Anonim, 2010 b).

Larutan yang telah mengandung zat terlarut dalam jumlah maksimal, sehingga

tidak dapat ditambahkan lagi zat terlarut. Pada keadaan jenuh telah terjadi

kesetimbangan antara solut yang larut dan tak larut atau kecepatan pelarutan sama

dengan kecepatan pengendapan. Kelarutan NaCl adalah 36 gram/100 gram air

(pada suhu 20oC). Apabila kita letakkan 40 gram NaCl dalam 100 gram air (pada

suhu pada 20oC), 36 gram akan larut dalam air tersebut.Yang selebihnya (4 gram)

masih dalam keadaan yang tidak larut sehingga terjadi larutan jenuh (Anonim,

2010 b).

c) Larutan lewat jenuh (supersaturated)

(26)

dalam pelarut dingin. Jika dalam larutan yang panas itu masih tersisa zat terlarut yang sudah tak dapat melarut lagi, maka sisa itu harus disingkirkan dan tidak boleh ada zat lain yang masuk. Kemudian larutan itu didinginkan hati-hati dengan cara didiamkan untuk menghindari pengkristalan. Jika tidak ada solute yang memisahkan diri (mengkristal kembali) selama pendinginan, maka larutan dingin yang diperoleh bersifat lewat jenuh. Larutan lewat jenuh yang dapat dibuat dengan cara ini misalnya larutan dari sukrosa, natrium asetat dan natrium tiosulfat (hipo). Larutan lewat jenuh merupakan suatu sistem metastabil. Larutan ini dapat diubah menjadi larutan jenuh dengan menambahkan kristal yang kecil (kristal inti/bibit) umumnya kristal dari

solute. Kelebihan molekul solute akan terikat pada kristal inti dan akan mengkristal kembali (Anonim, 2010 b).

3. Faktor yang mempengaruhi kelarutan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan yaitu:

a. Bahan zat yang dilarutkan (solute) dan bahan pelarut (solven) yang digunakan.

Bahan solut dan solven dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

1) Perbandingan antara solute dan solven.

Daya larut maksimal dari suatu zat padat dalam suatu cair dinyatakan di

dalam buku resmi (Farmakope). Contohnya: daya larut zat X dalam air = 1 :

10 berarti 1 gram zat X dengan 10 ml air sudah merupakan larutan yang jenuh

(27)

2) Pengaruh Jenis Zat pada Kelarutan

Prinsipnya adalah like dissolves like. Zat-zat dengan struktur kimia yang mirip

umumnya dapat saling bercampur dengan baik, sedangkan zat-zat yang

struktur kimianya berbeda umumnya kurang dapat saling bercampur

(Anonim, 2010 b).

3) Sifat polaritas zat terlarut dan pelarut

Prinsipnya adalah like dissolves like. Senyawa yang bersifat polar akan mudah

larut dalam pelarut polar, sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut

dalam pelarut nonpolar. Contohnya alkohol dan air bercampur sempurna

(completely miscible), air dan eter bercampur sebagian (partially miscible),

sedangkan minyak dan air tidak bercampur (completely immiscible) (Anonim,

2010 b).

b. Suhu

Umumnya meningkatkan suhu sehingga meningkatkan kecepatan daya larut.

Kelarutan gas umumnya berkurang pada temperatur yang lebih tinggi. Misalnya

jika air dipanaskan, maka timbul gelembung-gelembung gas yang keluar dari

dalam air, sehingga gas yang terlarut dalam air tersebut menjadi berkurang.

Kebanyakan zat padat yang kelarutannya lebih besar pada temperatur yang lebih

tinggi. Ada beberapa zat padat yang kelarutannya berkurang pada temperatur

yang lebih tinggi, misalnya natrium sulfat dan serium sulfat. Pada larutan jenuh

terdapat kesetimbangan antara proses pelarutan dan proses pengkristalan

(28)

bersifat eksoterm. Jika temperatur dinaikkan, maka sesuai dengan azas Le

Chatelier kesetimbangan itu bergeser ke arah proses endoterm. Jadi jika proses

pelarutan bersifat endoterm, maka kelarutannya bertambah pada temperatur yang

lebih tinggi. Sebaliknya jika proses pelarutan bersifat eksoterm, maka

kelarutannya berkurang pada suhu yang lebih tinggi (Anonim, 2010 b).

c. Ukuran partikel dan kecepatan difusi

Ukuran partikel besar yang mengakibatkan kecepatan larutan kecil sehingga

menurunkan kecepatan difusi, sedangkan ukuran partikel kecil yang dapat

mengakibatkan kecepatan kelarutan besar sehingga menaikkan kecepatan difusi

karena adanya luas permukaannya besar (Anief, 2000).

d. Sifat-sifat fisika dan kimia

Faktor yang mempengaruhi sifat-sifat fisika dalam kelarutan yaitu penggojokan

selama proses pelarutan. Sedangkan faktor yang mempengaruhi sifat-sifat kimia

dalam kelarutan yaitu keasaman dan kebasaan (Anief, 2000).

4. Kelebihan dan kekurangan sediaan larutan

Kelebihan sediaan larutan yaitu:

a. Murah dalam biaya produksi dan biaya produk

b. Mudah diaplikasikan pada kulit dan mudah didistribusikan pada kulit secara

merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas karena tidak lengket

c. Segera kering pada kulit setelah pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis dari

(29)

d. Mudah mengalami modifikasi dosis apabila diperlukan atau dosis dapat

diubah-ubah dalam pembuatan.

e. Konsentrasi zat atau obat dalam takaran tertentu dapat tepat karena larutan

homogen.

f. Kejernihan larutan dapat memberikan kesan yang menyenangkan.

g. Dapat diberikan dalam larutan encer.

h. Kerja awal obat lebih cepat karena obat cepat diabsorpsi.

i. Mudah diberi pewangi, pewarna, dan lain-lain (Ansel, 1989; Sri et al., 2001).

Kelemahan sediaan larutan yaitu:

a. Tidak cocok untuk obat-obat yang tidak stabil dalam cairan.

b. Sukar menutupi bau dan rasa yang tidak enak.

c. Tidak cocok untuk obat-obat yang tidak larut dalam cairan.

d. Larutan bersifat voluminous dan tidak praktis, sehingga kurang menyenangkan

untuk diangkut dan disimpan. Apabila kemasan rusak, keseluruhan sediaan tidak

dapat dipergunakan.

e. Stabilitas dalam bentuk sediaan larutan biasanya kurang baik jika dibandingkan

dengan bentuk sediaan lain, terutama jika bahan mudah terhidrolisis.

f. Kemungkinan terjadinya reaksi kimia dalam bentuk larutan di mana air sebagai

katalisator.

g. Larutan merupakan media ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena

(30)

B. Larutan Pencerah

Larutan pencerah merupakan campuran bahan kimia dan atau

bahan lainnya dalam sediaan larutan yang berkhasiat mampu memucatkan noda hitam

(cokelat) pada kulit. Dalam jangka waktu lama, larutan tersebut dapat menghilangkan

atau mengurangi hiperpigmentasi pada kulit. Namun, penggunaan yang

terus-menerus justru akan menimbulkan pigmentasi dengan efek permanen (Anonim, 2006

a).

Larutan pencerah yang mengandung zat aktif hidrokuinon dapat berubah

warna dari putih menjadi warna coklat selama 3 – 4 bulan (Maibach, 2000). Larutan

pencerah dapat disimpan dalam botol berwarna coklat dan putih. Larutan pencerah

yang disimpan botol berwarna coklat, karena hal ini digunakan untuk menghindari

kerusakan obat karena cahaya sehingga tidak dapat terjadi degradasi obat oleh

cahaya. Sedangkan larutan yang disimpan dalam botol putih untuk menghambat

oksidasi.

Larutan hidrokuinon merupakan produk yang baik dalam mengatasi melasma

dengan atau tanpa bahan kimia untuk pengelupasan kulit (Maibach, 2000). Menurut

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor

HK.00.05.4.1745 Bab II Pasal 3, Larutan pencerah dengan kandungan hidrokuinon

termasuk kosmetika golongan Ic yaitu kosmetika yang mengandung bahan dengan

persyaratan kadar dan penandaan seperti termuat pada lampiran I no 47 (Anonim,

(31)

C. Hidrokuinon 1. Struktur dan sifat hidrokuinon

Hidrokuinon atau 1,4 benzendiol adalah senyawa organik aromatik dengan

tipe fenol yang mempunyai rumus kimia C6H6O2, dan memiliki dua gugus hidroksil

(-OH) yang berikatan dengan cincin aromatik/benzene pada posisi para (Wenninger

et al., 2000). Rumus bangun hidrokuinon adalah

HO OH

hidrokuinon

Gambar 1. Struktur hidrokuinon

Hidrokuinon mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari

100,5% C6H6O2 dihitung terhadap zat anhidrat. Hidrokuinon merupakan substansi/zat

kristal berbentuk jarum halus, putih, mudah menjadi gelap jika terpapar cahaya dan

udara (Anonim, 1995). Hidrokuinon mudah larut dalam air (1 dalam 17 bagian air),

dalam etanol (1 dalam 4 bagian etanol), dalam kloroform (1 dalam 51 bagian

kloroform), dan dalam eter (1 dalam 16,5 bagian eter) (Anonim, 1995).

Larutan hidrokuinon akan berwarna coklat dikarenakan proses oksidasi

dengan adanya udara. Dalam suasana basa, hidrokuinon akan mengalami oksidasi

dengan cepat, oksidasi ini bersifat reversibel yaitu senyawa dikarbonil (kuinon)

mudah direduksi kembali menjadi senyawa dihidroksi (hidrokuinon), karena

(32)

OH

Gambar 2. Reaksi oksidasi hidrokuinon menjadi kuinon (Anonim, 1996)

2. Penggunaan dan mekanisme kerja hidrokuinon

Hidrokuinon yang digunakan sebagai agen pencerah atau depigmentasi untuk

memutihkan kulit dan menghilangkan kulit yang dalam kondisi hiperpigmentasi

seperti melasma, bercak-bercak atau bintik–bintik hitam, dan lentigines. Karena

mampu mengelupas kulit bagian luar dan menghambat pembentukan melanin pada

kulit (Anonim, 2006a). Melanin adalah pigmen pada kulit yang memberikan warna

gelap atau coklat (Anonim, 2010b). Penggunaannya membutuhkan waktu beberapa

minggu sebelum muncul suatu efek, tapi depigmentasi terjadi setelah 2-6 bulan.

Aplikasi hidrokuinon harus dihentikan jika tidak ada peningkatan setelah melindungi

2 bulan perawatan. Hidrokuinon harus digunakan dua hari sekali hanya untuk kulit

dari sinar matahari dan mengurangi depigmentasi (Anonim, 1999). Selain itu,

kegunaan hidrokuinon adalah sebagai antioksidan dalam fotografi (pencucian film)

untuk mereduksi ion perak menjadi logam perak halida, sebagai penghambat

polimerisasi, sebagai bahan dasar herbisida, karet antioksidan, dan bahan pewarna

rambut (Wenningner et al., 2000).

Hidrokuinon sendiri merupakan zat aktif yang paling banyak digunakan dalam

(33)

dapat menginaktivasi enzim tirosinase melalui penghambatan reaksi oksidasi

enzimatik dari tirosin ke 3,4-dihidroksifenilalanin (Wilkinson et al., 1982). Enzim

tirosinase ini merupakan enzim utama dalam pembentukan melanin, sehingga jika

kerjanya dihambat maka jumlah pigmen melanin pemberi warna gelap atau cokelat

kulitpun menjadi berkurang sehingga menjadi kulit lebih putih (Anonim, 2006 a).

Hidrokuinon bekerja menghalangi pengeluaran melanin oleh enzim tirosinase pada

melanosit yang terletak di lapisan epidermis kulit, mendegradasi melonosom pada

kulit, menembus lapisan kulit, dan menyebabkan penebalan pada lapisan kolagen.

Produksi melanin oleh enzim tirosinase pada melanosit ini biasanya diaktifasi oleh

sinar matahari, hormonal, penyakit, obat, alergi dan iritasi yang akhirnya membuat

kulit menjadi berflek, berwarna tak merata dan lebih gelap dari sebelumnya (Daniel,

2010).

3. Efek samping hidrokuinon

Kosmetik hidrokuinon boleh dipasarkan tetapi harus berdasarkan resep dari dokter.

Penggunaan dalam kosmetika bebas tidak boleh lebih dari 2% dan penggunaan

hidrokuinon lebih dari 2% b/b termasuk golongan obat keras yang hanya dapat

digunakan berdasarkan resep dokter sebab dapat mengakibatkan iritasi kulit, kulit

menjadi merah dan terbakar, kelainan pada ginjal (nephropathy), kanker darah

(leukemia) dan kanker sel hati (hepatocelluler adenoma) (Anonim, 2007). Selain itu,

penggunaan hidrokuinon yang berlebihan juga dapat menyebabkan oochronosis (kulit

berbintil seperti pasir dan berwarna coklat kebiruan, serta terasa gatal dan seperti

(34)

D. Spektrofotometri Visibel 1. Deskripsi Umum

Spektrofotometer visibel adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang

memiliki sumber radiasi elektromagnetik sinar tampak (380-780 nm) dengan

memakai instrumen spektrofotometer. Radiasi elektromagenetik dalam rentang

panjang gelombang 380 – 780 nm merupakan radiasi yang dapat dilihat indera

penglihatan manusia sehingga disebut cahaya tampak (visible) (Suharman, 1995).

Spektrofotometer visibel termasuk dalam spektrofotometri serapan yang

melakukan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik (REM) dan

materi (atom zat kimia, ion, atau molekul) sehingga mengalami peningkatan energi

elektronik dari tingkat dasar (ground state) ke tingkat energi yang lebih tinggi

(excited state) saat peralihan atau transisi elektronik. Transisi ini terjadi bila energi

yang dihasilkan oleh radiasi sama dengan energi yang diperlukan untuk melakukan

transisi. Transisi elektronik ditentukan oleh konfigurasi elektron pada molekul

senyawa tersebut, maka transisi ditentukan struktur molekul. Oleh karena itu molekul

yang berbeda strukturnya mempunyai tingkat energi yang berbeda dan setiap jenis

molekul menyerap radiasi pada daerah spektrum tertentu karena hal ini yang menjadi

dasar analisis kualitatif dengan metode ini. Sedangkan banyaknya cahaya yang

diserap di frekuensi atau panjang gelombang tertentu sesuai transisi elektron yang

terjadi karena hal ini menentukan intensitas serapan yang menjadi dasar analisis

(35)

Pada kenyataannya, spektrum visibel yang merupakan korelasi antara serapan

(sebagai ordinat) dan panjang gelombang (sebagai absis) tidak merupakan garis

spektrum, tetapi sebagai pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum visibel tersebut

disebabkan transisi energi yang tidak sejenis dan terjadinya eksitasi elektronik lebih

dari satu macam pada gugus molekul yang kompleks (Rohman, 2007).

2. Interaksi elektron dengan radiasi elektromagnetik (REM)

Dalam spektrofotometri, larutan sampel akan mengabsorpsi REM dengan

energi yang sesuai dan jumlah yang diserap tersebut berhubungan dengan konsentrasi

dari analit dalam larutan. Suatu molekul mengabsorpsi foton dengan energi yang

sesuai untuk menjalani suatu transisi (Christian, 2004). Jenis-jenis absorpsi yang

dapat terjadi antara lain:

a. Absorpsi yang melibatkan transisi elektron ikatan dan elektron anti ikatan.

Semua molekul organik mampu menyerap REM karena semua molekul organik

mempunyai elektron valensi yang dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih

tinggi yang dikenal sebagai elektron anti bonding. Transisi-transisi elektronik yang

terjadi di antara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4 yaitu: transisi

sigma-sigma star (ϭ→ ϭ*), transisi n – sigma star (n → ϭ*), transisi n – phi star (n

(36)

Gambar 3. Tingkat energi elektronik molekul

1) Transisi atau eksitasi elektron ϭ→ ϭ*

Dibutuhkan energi paling besar untuk menginduksi terjadinya transisi ϭ → ϭ*

dan terjadi pada daerah ultraviolet jauh (λ <180 nm) yang dihasilkan oleh ikatan

tunggal kovalen dan menduduki orbital ϭ, sebagai contoh pada alkana yang

memiliki ikatan karbon-karbon dan karbon-hidrogen (Skoog et al., 1994).

2) Transisi n → ϭ*

Senyawa-senyawa organik jenuh yang mengandung atom dengan pasangan

elektron bebas, seperti oksigen, nitrogen, belerang atau halogen dan struktur

molekul kimia yang mengandung senyawa kromofor organik berupa gugus

karbonil-karbonil mampu melakukan transisi n → ϭ*. Secara umum, energi

transisi yang dibutuhkan lebih kecil daripada transisi ϭ → ϭ* dan memiliki

panjang gelombang antara 150 – 250 nm (Skoog et al., 1998).

Akibatnya adalah nilai absorbsitivitas molar (€) antara 100-3000 liter.cm-1.mol-1

dan pergeseran biru (hipsokromik) dari pelarut yang lebih polar (pergeseran

(37)

3) Transisi n → π*

Transisi dari jenis ini meliputi transisi elektron-elektron heteroatom tak berikatan

ke orbital anti ikatan π*. Serapan ini terjadi pada panjang gelombang yang

panjang dan intensitas rendah (Skoog et al., 1998). Struktur molekul kimia yang

mengandung senyawa kromofor organik berupa gugus karbonil-karbonil,

karboksil, amida, azo, nitro, nitroso, dan nitrat; dan gugus auksokrom organik

merupakan gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas, seperti –OH, O,

-NH2, dan –OCH3yang mampu melakukan transisi n → π* (Rohman, 2007).

Dalam kebanyakan molekul-molekul yang menunjukkan transisi n → π* dari

keadaan dasar lebih polar dibandingkan dengan keadaan tereksitasi. Secara

khusus, pelarut-pelarut yang berikatan hidrogen akan berinteraksi secara lebih

kuat dengan pasangan elektron yang tidak berpasangan pada molekul dalam

keadaan dasar dibanding pada molekul dalam keadaan tereksitasi. Akibatnya

adalah transisi n → π* mempunyai energi yang lebih besar sehingga

menimbulkan pergeseran hipsokromik (pergeseran biru) dari pelarut yang polar

dan nilai absorbsitivitas molar (€) antara 10-100 liter.cm-1.mol-1. Karena adanya

kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen (polaritas) pelarut yang

(38)

Pelarut non polar

Pelarut polar Energi

Gambar 4. Pengaruh pelarut polar pada transisi n → π*

4) Transisi π → π*

Transisi ini dihasilkan oleh ikatan rangkap dua dan tiga dari senyawa organik

apabila molekul menyerap energi di daerah ultraviolet jauh yaitu dapat berupa

alkena dan alkuna yang lebih mudah untuk tereksitasi dengan adanya radiasi

elektromagnetik. Transisi ini juga paling mudah terbaca dan bertanggung jawab

terhadap spektra elektronik pada panjang gelombang antara 200 – 700 nm

(Skoog et al., 1998).

Dalam kebanyakan transisi π → π*, molekul dalam keadaan dasar relatif non

polar, dan keadaan tereksitasinya lebih polar dibanding keadaan dasar. Jika

pelarut polar digunakan pada molekul yang mengalami transisi ini, maka akan

menyebabkan pelarut polar berinteraksi (stabilisasi) lebih kuat dengan keadaan

tereksitasi dibandingkan dengan keadaan dasar, sehingga perbedaan energi

transisi π → π* pada pelarut yang polar ini lebih kecil. Akibatnya adalah

menimbulkan pergeseran batokromik (pergeseran merah) dari pelarut yang polar

(pergeseran pita absorpsi panjang gelombang serapan maksimum ke arah panjang

(39)

gelombang yang lebih panjang) dan nilai absorbtivitas molar (€) antara 1.000

-10.000 liter.cm-1.mol-1. Karena adanya terikatnya gugus auksokrom pada gugus

kromofor atau adanya konjugasi antara dua atau lebih kromofor. Semakin

panjang ikatan terkonjugasinya, maka panjang gelombang maksimalnya makin

besar (Rohman, 2007).

Pelarut

non polar Pelarut

polar Energi

Gambar 5. Pengaruh pelarut pelarut pada transisi π → π*

Transisi elektron yang berguna dalam eksperimen adalah transisi π → π* dan n

→ π* karena memberikan spektra di daerah 200 – 700 nm dan membutuhkan

adanya kromofor dalam struktur molekulnya (Skoog et al., 1998).

Kromofor adalah gugus kovalen yang tidak jenuh menyediakan orbital π yang

dapat menyerap radiasi elektromagnetik di daerah ultraviolet dan sinar tampak.

Molekul yang mengandung kromofor disebut kromogen. Auksokrom merupakan

gugus fungsional yang tidak menyerap radiasi elektromagnetik di daerah

ultraviolet dan sinar tampak bila berdiri sendiri, tetapi kehadirannya dalam

molekul dapat menyebabkan perubahan puncak kromofor ke panjang gelombang

yang lebih panjang (pergeseran merah = batokromik) dan meningkatkan

(40)

intensitasnya (efek hiperkromik) ketika terikat langsung pada kromofor

(Christian, 2004; dan Sastrohamidjojo, 1991).

b. Absorpsi yang melibatkan transisi elektron d dan f dari molekul kompleks.

Transisi ini kebanyakan terjadi pada logam transisi. Untuk golongan lantanida dan

aktanida, proses absorbsi dihasilkan oleh transisi elektronik dari elektroni 4f dan 5f.

Untuk logam transisi seri pertama dan kedua, transisi elektronik dari elektron 3d dan

4d yang bertanggung jawab terhadap proses absorpsinya. Logam transisi memiliki

orbital d yang masih kosong sebagian (3d dan 4d) yang masing-masing dapat

mengakomodasi sepasang elektron dan berikatan dengan suatu ligan membentuk

kompleks serta menghasilkan spektra tertentu. Berikut ini merupakan urutan ligan

berdasarkan kekuatan medan yang ditimbulkannya I- < Br- < Cl- < F- < OH- < C2O4

2-< H2O 2-< SCN- < NH3 < etilendiamina < o-fenantrolina < NO2- < CN-. Semakin besar

kekuatan medannya maka panjang gelombang serapan maksimumnya menurun sebab

energinya meningkat (Skoog et al., 1998).

c. Absorpsi yang melibatkan charge transfer (perpindahan muatan).

Penyerapan radiasi oleh senyawa kompleks logam berbeda dengan senyawa organik

karena melibatkan perpindahan muatan dari donor elektron ke akseptor elektron yaitu

pergerakan elektron dari ion logam ke ligan atau sebaliknya. Absorpsi tipe ini sangat

penting dalam suatu analisis, karena perpindahan muatan dari spesies-spesies

mempunyai daya serap molar yang sangat besar (Ɛmax >10.000). Oleh karena itu,

(41)

yang melakukan absorpsi dengan charge transfer biasanya disebut kompleks

perpindahan muatan. Contoh dari kompleks ini yaitu kompleks tiosianat dan fenol

dengan besi (III), kompleks o-fenantrolina dengan besi (II), kompleks heksasianoferat

(II)/heksasianoferat (III) yang bertanggung jawab atas warna Prussian blue (Skoog et

al., 1998).

Pada umumnya kompleks charge transfer yang melibatkan suatu ion logam,

logam bertindak sebagai penerima elektron (acceptor) dan ligan sebagai donor

elektron terkecuali untuk kompleks besi (II) dengan o-fenantrolina dimana ligannya

merupakan penerima elektron sedangkan ion logam berperan sebagai donor elektron

(Skoog et al., 1998).

Saat transisi, terjadi reduksi-oksidasi antara ion logam dan ligan. Biasanya,

ion logam tereduksi dan ligan teroksidasi. Ion logam berada pada status oksidasi

terendah, dikompleks oleh ligan dengan afinitas elektron tinggi yang dapat

teroksidasi tanpa merusak kompleks (Christian, 2004). Kecenderungan perpindahan

elektron akan meningkat jika energi radiasi yang dibutuhkan untuk terjadinya proses

perpindahan muatan kecil. Kompleks yang dihasilkan akan menyerap pada panjang

gelombang yang besar (Rohman, 2007).

Secara eksperimental sangat mudah untuk mengukur banyaknya radiasi yang

diserap oleh suatu molekul sebagai fungsi frekuensi radiasi. Suatu grafik yang

menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap dengan frekuensi (atau panjang

gelombang) sinar merupakan spektrum absorpsi. Transisi yang dibolehkan untuk

(42)

spektra absorpsinya berbeda. Dengan demikian spektra dapat digunakan sebagai

bahan informasi yang bermanfaat untuk analisis kualitatif. Banyaknya sinar yang

diabsorbsi pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul

yang menyerap radiasi, sehingga spektra absorpsi juga dapat digunakan untuk analisis

kuantitatif (Rohman, 2007).

3. Analisis kuantitatif dengan spektrofotmetri visibel

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan

(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi

yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang

diteruskan bila spesies penyerap yang tidak ada dengan intensitas sinar radiasi yang

diteruskan bila penyerap ada. Intensitas sinar yang diteruskan bila tidak ada spesies

penyerap merupakan intensitas sinar yang masuk dikurangi dengan yang hilang oleh

penghamburan, pemantulan, dan serapan oleh konsituen lain (Sastrohamidjojo, 1991).

Besarnya radiasi elektromagnetik (monokromatik) yang dapat diserap oleh

kromofor dapat digambarkan dengan dua hukum klasik, yaitu hukum Lambert dan

Beer. Hukum Lambert menyatakan bahwa bila cahaya monokromik melewati

medium tembus cahaya, laju berkurangnya intensitas oleh bertambahnya ketebalan,

berbanding lurus dengan intensitas cahaya. Hukum Beer menyatakan bahwa

intensitas berkas cahaya monokromatik berkurang secara eksponensial dengan

bertambahnya konsentrasi zat penyerap secara linier (Basset et al., 1994).

Syarat-syarat penggunaan Hukum Beer yaitu:

(43)

Pada konsentrasi tinggi, jarak rata-rata di antara zat pengabsorbsi kecil,

sehingga masing-msing zat mempengaruhi distribusi muatan tetangganya.

b. Syarat kimia

Zat pengabsorbsi tidak boleh berdisosiasi, berasosiasi, atau bereaksi

dengan pelarut menghasilkan suatu produk pengabsorpsispektrum yang berbeda

dari zat yang dianalisis.

c. Syarat cahaya

Hukum Beer hanya berlaku untuk cahaya yang betul-betul monokromatik.

d. Syarat kejernihan

Kekeruhan larutan akan menyebabkan penyimpangan Hukum beer.

Sebagian cahaya akan dihamburkan oleh partikel. Akibatnya, kekuatan cahaya

yang diabsorbsi akan berkurang (Skoog, 1998).

Bouger, Lambert dan Beer membuat formula secara matematik hubungan

antara transmitan atau serapan terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang

dianalisis dan tebal kuvet yang mengabsorpsi. Hukum Lambert-Beer menyatakan

bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan

konsentrasi larutan. Rumus ini yang dapat dinyatakan sebagai:

(44)

Dimana: T = persen transmitan; Io = intensitas radiasi yang datang; It =

intensitas radiasi yang diteruskan; a = daya serap molar (Lt.mol-1cm-1); c =

konsentrasi (mol Lt-1); b = tebal kuvet (cm); dan A= serapan (Suharman, 1995).

Daya serap (a) merupakan suatu konstanta yang tidak bergantung pada

konsentrasi, tebal larutan dan intesitas radiasi yang mengenai sampel. Daya serap

tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang gelombang radiasi.

Satuan a ditentukan oleh satuan-satuan b dan c. Jika satuan c dalam molar (M) maka

daya serap disebut dengan daya serap molar dan disimbolkan Ɛ dengan satuan M-1cm

-1

atau L.mol-1cm-1 (Rohman, 2007).

Menurut Farmakope Indonesia edisi ke-IV tahun 1995, hubungan antara

transmitan atau serapan terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang dianalisis

dan tebal kuvet dinyatakan sebagai berikut:

Log (1/T) = A= a b c atau A= Ɛ b c

Dimana: A = serapan (logaritma dasar 10 dari kebalikan transmitan (T), a =

daya serap (hasil bagi serapan (A) dibagi dengan hasil perkalian kadar yang

dinyatakan dalam g per liter zat (c) dan panjang sel dalam cm (b)), Ɛ = daya serap

molar (hasil bagi serapan (A) dengan perkalian kadar zat, dinyatakan dalam mol per

liter, dan panjang serapan dalam cm).

Serapan jenis didefinisikan sebagai serapan dari larutan 1% zat terlarut dalam

(45)

pada panjang gelombang tertentu dalam suatu pelarut merupakan sifat dari zat

terlarut. Hubungan antara nilai A (1%, 1 cm) dengan daya serap molar (Ɛ) yaitu:

Ɛ = A (1%, 1cm) x (Anonim, 2005 a)

Dalam hukum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan yaitu:

1. Sinar yang digunakan harus monokromatis

2. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang

sama

3. Senyawa yang menyerap dalam larutan tidak tergantung terhadap senyawa lain

dalam larutan tersebut

4. Tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforesensi

5. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan (Rohman, 2007).

6. Tidak diikuti oleh larutan yang pekat dan terlalu encer. Pada larutan yang pekat

dan terlalu encer terjadi kesalahan fotometrik. Pada larutan yang encer, cahaya

yang diteruskan hampir sama dengan sumber cahayanya. Pada larutan yang pekat

(>0,01M), terjadi penyimpangan antara serapan dan konsentrasi, hal ini dapat

terjadi karena pada larutan pekat, yang diteruskan sedikit sehingga sedikit cahaya

(46)

4. Instrumentasi spektrofotometri visibel

Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi

elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut spektrofotometer.

Diagram sederhana dari spektrofotometer adalah sebagai berikut:

Gambar 6. Instrumentasi spektrofotometer visisbel (Christian,2004)

Sumber cahaya terdiri dari benda yang tereksitasi hingga ke tingkat tenaga

yang tinggi oleh sumber listrik bertegangan tinggi atau oleh pemanasan listrik. Benda

atau materi yang kembali ke tingkat dasarnya, melepaskan foton dengan

tenaga-tenaga yang karakteristik yang sesuai dengan ΔΕ yaitu perbedaan tenaga antara

tingkat tereksitasi dan tingkat dasar rendah. Sumber radiasi yang ideal untuk

pengukuran serapan harus menghasilkan spektrum kontinu dengan intensitas yang

seragam pada keseluruhan kisaran panjang gelombang yang sedang dipelajari

(Sastrohadmidjojo, 1991). Sumber cahaya untuk daerah tampak ialah tungsten

filament incandescent lamp (Christian, 2004). Monokromator berfungsi untuk

mengubah atau mengurai sinar polikromatis menjadi monokromatis (panjang

gelombang tunggal) sesuai yang diinginkkan (Sastrohadmidjojo, 1991). Sel sampel

untuk visibel dari gelas atau kuarsa. Senyawa yang dapat menyerap radiasi cahaya Sumber cahaya monokromator sel sampel

detektor pembaca respon detector

(47)

tampak ialah senyawa yang berwarna dimana elektronnya lebih mudah dipromosikan

(Christian, 2004). Detektor berfungsi untuk mengubah tenaga radiasi menjadi arus

listrik atau pengubah panas lainnya (sinyal elektronik) dan biasanya terintegrasi

dengan pencatat (printer). Syarat detektor yang baik yaitu sensitivitas tinggi hingga

dapat mendeteksi tenaga cahaya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sekalipun,

respon pendek, stabilitas lama atau panjang untuk menjamin respon secara kuantitatif,

dan sinyal elektronik mudah diperjelas. Agar dapat diukur, sinyal detektor diperbesar

dengan recorder (Sastrohadmidjojo, 1991).

D. Senyawa Kompleks

Senyawa kompleks adalah senyawa yang dibentuk oleh reaksi antara suatu ion

logam (kation) dengan ligan (suatu anion atau molekul netral). Ion kompleks

merupakan senyawa koordinasi bermuatan yang terbentuk antara ion logam dan ligan

(Day and Underwood, 1996). Dalam zat-zat ini, ion logam berperilaku sebagai asam

lewis dan terikat secara kovalen koordinasi kepada ligan yang berperan sebagai basa

lewis (Brady, 1994).

Valensi koordinasi itu sebagai tingkat kecenderungan ion-ion logam mencapai

susunan elektron gas mulia berikutnya. Akibatnya, ion-ion logam itu cenderung

menerima elektron (pasangan elektron) sehingga disebut akseptor. Pemberi pasangan

elektron kepada ion logam itu adalah ligan sehingga disebut donor. Karena ligan

adalah zat yang memiliki satu atau lebih pasangan elektron bebas. Dengan demikian

(48)

ikatan kovalen koordinasi dari ligan ke ion logam dengan perpindahan satu atau lebih

pasangan elektron (Rivai, 1995).

Salah satu contoh senyawa kompleks adalah senyawa kompleks besi (II)

dengan o-fenantrolina. Menurut Basset et al., besi (II) dapat ditetapkan kadarnya

menggunakan o-fenantrolina. Besi (II) bereaksi dengan o-fenantrolina membentuk

kompleks merah-jingga [(C12H8N2)3Fe]2+ dalam larutan sedikit asam. Besi (III) tidak

bereaksi membentuk kompleks dengan o-fenantrolina (Anonim, 2001). Dalam

analisis ini, perlu ditambahkan suatu agen preduksi seperti hidrokuinon sebab besi

(II) dapat mudah tereduksi menjadi besi (III) dengan adanya suatu asam dan air

(Anonim, 2001). Menurut Daniel, pH dijaga agar mendekati nilai 3,5 agar kompleks

yang dihasilkan dapat optimal dan stabil. Namun demikian intensitas dari larutan

senyawa kompleks tersebut tidak bergantung pada pH 2-9. Untuk mengontrol tingkat

keasaman dari larutan dan menjaga pH dapat ditambahkan larutan natrium asetat

(Anonim, 2008).

Reaksi pembentukan senyawa kompleks [(C12H8N2)3Fe]2+ adalah sebagai

(49)

2Fe3+ +HO OH 2Fe2+ + O O + 2H+

Gambar 7. Reaksi pembentukan senyawa kompleks [(C12H8N2)3Fe] 2+

Daya serap molar dari kompleks [(C12H8N2)3Fe]2+ adalah 11.100 L/mol-cm

pada panjang gelombang serapan maksimum λmax = 508 nm (Harris dan Atkins, 1975;

dan Skoog et al., 1994) atau 510 nm (Harris, 1999; Dean, 1995; Singh et al., 2004;

dan Ibrahim 2004). Nilai yang sangat besar ini menandakan bahwa kompleks

menyerap sangat kuat. Kompleks ini sangat stabil dan intensitas warnanya tidak

berubah dalam waktu yang lama (Anonim, 2005a).

Penyerapan radiasi elektromagnetik oleh senyawa kompleks

[Fe(o-fenantrolina)32+ atau [(C12H8N2)3Fe]2+ yang disebabkan satu atau lebih transisi

elektron pada panjang gelombang daerah visibel yaitu:

1. Eksitasi elektron suatu ion logam

Eksitasi elektron suatu ion logam memiliki daya serap molar (Ɛ) rendah 1-100

(L.mol-1.cm-1). Oleh karena itu, tidak dapat digunakan untuk analisis kuantitatif

(50)

2. Eksitasi elektron di dalam ligan

Ada dua transisi elektron yang dapat terjadi di dalam ligan, yakni transisi

elektron dari π → π* dan n → π* (Christian, 2004). Dengan adanya eksitasi n →

π* yang membutuhkan energi yang kecil, maka dapat menggeser panjang

gelombang yang lebih panjang dari senyawa kompleks tersebut menuju ke

panjang gelombang yang lebih panjang sehingga senyawa kompleks tersebut

dapat menjadi berwarna.

3. Transisi transfer muatan

Warna suatu senyawa kompleks terbentuk karena adanya transisi transfer

muatan. Hal ini terjadi karena perpindahan elektron dari ion logam (atau atom

pusat) ke ion ligan dan sebaliknya dari ligan ke ion logamnya. Daya serap molar

(Ɛ) transfer muatan berkisar antara 10.000-100.000 (L.mol-1.cm-1) (Christian,

2004). Donor elektron dalam pembentukan senyawa kompleks [Fe(o

-fenantrolina)32+] atau [Fe(C12H8N2)3]2+ ini adalah ligan yang berupa o

-fenantrolina karena kaya akan elektron yaitu memiliki atom dengan pasangan

elektron bebas, dan akseptor elektron adalah ion logam yang berupa ion Fe2+

karena miskin akan elektron. Ligan dapat mendonorkan elektronnya kepada ion

logam untuk membentuk ikatan kovalen koordinasi dengan ion logam sehingga

mengakibatkan adanya perpindahan muatan dan perubahan energi pada orbital d

yang dimiliki ion logam. Pasangan elektron bebas yang didonorkan dapat

(51)

logam menjadi berpasangan. Orbital d yang dimiliki ion logam mengalami

splitting dan perubahan energi yang mengakibatkan elektron pada orbital d

tersebut mengalami eksitasi dari n menuju π*.

Senyawa kompleks [Fe(o-fenantrolina)32+]yang berbentuk oktahedral dimana

orbital d akan terspliting menjadi 2 tingkat energi yang berbeda. Orbital t2g untuk

tingkat yang lebih rendah dan eg untuk orbital yang mempunyai energi yang lebih

tinggi. Perbedaan energi ini (hv) tergantung oleh kekuatan medan ligan.

dxy dxz dyz dz2 dx2_y2

dz2 dx2_y2

dxy dxz dyz hv

Gambar 8. Spliting orbital d pada senyawa kompleks oktahedral

O-fenantrolina merupakan ligan kuat maka perbedaan energinya (hv) menjadi

besar, sehingga gaya tolak elektron tidak mampu mendorong elektron menempati

(52)

Gambar 9. Spliting orbital d pada Fe2+ dengan adanya ligan o-fenantrolina

Warna intens yang terbentuk pada senyawa kompleks [Fe(o-fenantrolina)3]2+

pada saat transisi d → π*. Pada transisi ini terjadi transisi elektron dari orbital

elektron d yang dimiliki ion logam ke orbital π* yang dimiliki ligannya, sehingga

intensitas warnanya meningkat. Elektron dari t2g pada orbital d yang memiliki energi

yang lebih rendah akan bertransisi ke orbital π* dari ligan. Dengan adanya transisi d

→ π* yang membutuhkan energi kecil sehingga akan menggeser senyawa kompleks

ke panjang gelombang yang lebih panjang sehingga akan menimbulkan warna

(53)

d

eg

t2g

L M

L M

L M

Gambar 10. Transisi elektron dari orbital d ke π*

Pembentukan ikatan koordiansi dari Fe2+ dengan o-fenantrolina dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 11. Pembentukan ikatan koordinasi pada senyawa kompleks [Fe(C12H8N2)3] 2+

Setelah terjadi spliting akibat adanya ligan kuat seperti gambar 11, maka orbital 3 d

dari Fe2+ hanya terisi 3 ruangan saja sedangkan 2 ruangan lainnya kosong. Kemudian

terbentuk orbital d2sp3 dari hibridisasi 2 orbital 3d dengan 1 orbital 4s dan 3 orbital

4p, sehingga 6 pasang PEB (pasangan elektron bebas) dari o-fenantrolina akan masuk

dalam orbital d2sp3 sehingga dapat terbentuk ikatan koordinasi dengan Fe2+.

σ

π

π*

π

(54)

F. Hipotesis

Hidrokuinon merupakan salah satu agen pencerah yang bersifat sebagai

reduktor baik yang dapat mereduksi besi (III) menjadi besi (II). Jumlah hidrokuinon

yang ditambahkan sebanding dengan jumlah besi (II) yang dihasilkan, kemudian besi

(II) dapat direaksikan dengan o-fenantrolina membentuk senyawa berwarna

merah-jingga yang dapat dianalisis secara spektrofotometri visibel. Oleh karena itu,

penelitian ini untuk mengetahui metode penetapan kadar hidrokuinon dengan

pereaksi o-fenantrolina menggunakan spektrofotometri visibel dapat digunakan untuk

menetapkan kadar hidrokuinon dalam larutan pencerah merek ”A” yang beredar di

(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental deskriptif karena

pada penelitian ini tidak terdapat manipulasi dan perlakuan terhadap subyek

penelitian yang digunakan.

B. Definisi Operasional

1. Kadar hidrokuinon adalah besarnya hidrokuinon (% b/v) yang terdapat dalam

sediaan kosmetik yang berbentuk larutan merek “A”.

2. Sediaan kosmetik pencerah yang berbentuk larutan yang dianalisis adalah produk

sediaan kosmetik berbentuk larutan yang mengandung hidrokuinon dalam label

kemasan yang beredar di Yogyakarta.

3. Spektrofotometri visibel adalah analisis spektroskopik yang menggunakan

sumber radiasi elektromagnetik sinar tampak (380-780nm) dengan menggunakan

instrumen spektrofotometer.

C. Bahan Penelitian

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hidrokuinon

(p.a., E.Merck), o-phenanthroline (p.a., E.Merck), besi (III) klorida heksahidrat (p.a.,

(56)

E.Merck), asam klorida (p.a., E.Merck), aquadest (Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma).

D. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

seperangkat spektrofotometer UV-VIS Optima, neraca analitik BP 160 dan scaltec

SBC 22 readability 0,01 mg, mikropipet 10-100 μl dan 100-1000 μl (BioHit), pH

indikator universal, labu ukur, dan alat-alat gelas yang lazim digunakan untuk

penelitian di laboratorium analisis (Pyrex, Germany).

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan larutan baku hidrokuinon

a. Larutan stok. Sepuluh miligram hidrokuinon p.a ditimbang lebih kurang

seksama, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml dan diencerkan dengan aquadest

hingga tanda. Larutan ini harus selalu dibuat baru.

b. Larutan intermediet. Sebanyak 0,05 ml larutan stok diambil, dimasukkan

ke dalam labu ukur 10,0 ml dan diencerkan dengan aquadest hingga tanda. Larutan

ini harus selalu dibuat baru.

2. Pembuatan larutan Fe3+

Sebanyak 0,019 g FeCl3.6H2O ditimbang, dimasukkan ke dalam labu ukur

10,0 ml dan diencerkan dengan aquadest hingga tanda. Ke dalam larutan ditambahkan

(57)

3. Pembuatan larutan o-phenanthroline

Sebanyak 0,025 g o-phenanthroline ditimbang, dan dimasukkan ke dalam

labu ukur 10,0 ml dan diencerkan dengan 1 ml etanol p.a dan 9 ml aquadest hingga

tanda. Larutan ini disimpan dalam wadah yang terlindung dari cahaya.

4. Pembuatan larutan natrium asetat

Sebanyak 0,025 g natrium asetat ditimbang, dan dimasukkan ke dalam labu

ukur 10,0 ml dan diencerkan dengan aquadest hingga tanda. Larutan ini dapat

disimpan di lemari pendingin.

5. Optimasi metode

a. Penentuan operating time (OT). Sebanyak 0,2 ml larutan intermediat

hidrokuinon diambil, dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml yang mengandung

0,15 ml larutan Fe3+ standar. Beberapa tetes larutan natrium asetat (1-2 tetes)

ditambahkan hingga pH mencapai 3-4, digojog. Larutan o-phenanthroline sebanyak

0,5 ml ditambahkan dan diencerkan dengan aquadest hingga tanda, lalu dicampur

hingga homogen. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum 510,0 nm.

Grafik dibuat antara serapan dan waktu. Operating time dicari yang memberikan

serapan yang stabil.

b. Penetapan panjang gelombang maksimum ( λmaks ). Sebanyak 0,1 ml; 0,2

ml; 0,3 ml larutan intermediat hidrokuinon diambil, dan dimasukkan ke dalam labu

ukur 10,0 ml yang mengandung 0,15 ml larutan Fe3+ standar. Beberapa tetes larutan

natrium asetat (1-2tetes) ditambahkan hingga pH mencapai 3-4, digojog. Larutan

(58)

hingga tanda, lalu dicampur hingga homogen dan didiamkan selama OT. Serapan

diukur pada panjang gelombang antara 450-550 nm. Panjang gelombang maksimum

ditentukan pada panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum.

c. Pembuatan kurva baku. Sebanyak 0,1 ml; 0,15 ml; 0,20 ml; 0,25 ml;

0,30 ml larutan intermediat hidrokuinon diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur

10,0 ml yang mengandung 0,15 ml larutan Fe3+ standar. Beberapa tetes larutan

natrium asetat (1-2 tetes) ditambahkan hingga pH mencapai 3-4, digojog. Larutan

o-phenanthroline sebanyak 0,5 ml ditambahkan dan diencerkan dengan aquadest

hingga tanda, lalu dicampur hingga homogen dan didiamkan selama OT. Serapan

diukur pada panjang gelombang maksimum. Kurva baku dibuat antara serapan dan

konsentrasi kemudian dicari persamaannya.

6. Penetapan kadar hidrokuinon dalam sampel sediaan kosmetik yang berbentuk larutan

a. Pemilihan sampel. Sampel yang dipilih adalah sediaan kosmetik yang

berbentuk larutan yang beredar di Yogyakarta dan mencantumkan hidrokuinon pada

kemasannya. Larutan pencerah yang diambil sebagai sampel terdiri dari 1 merk dari

golongan kosmetik. Jumlah sampel yang memiliki nomor kode produksi yang sama

adalah enam.

C. Preparasi sampel larutan. Sediaan kosmetik merek “A” yang berbentuk

larutan diambil 6 kemasan dan masing-masing kemasan direplikasi sebanyak dua

(59)

dalam labu ukur 10,0 ml dan diencerkan dengan aquadest hingga tanda untuk

pembuatan larutan intermediet.

D. Penetapan kadar hidrokuinon. Sebanyak 0,05 ml sampel dimasukkan ke

dalam labu ukur 10,0 ml yang mengandung 0,15 ml larutan Fe3+ standar. Beberapa

tetes larutan natrium asetat (1-2 tetes) ditambahkan hingga pH mencapai 3-4, digojog.

Larutan o-phenanthroline sebanyak 0,5 ml ditambahkan dan diencerkan dengan

aquadest hingga tanda, lalu dicampur hingga homogen dan didiamkan selama OT.

Serapan diukur pada panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum.

Replikasi dilakukan sebanyak 6 kali.

F. Analisis Hasil

Analisis hasil yang dilakukan yaitu dengan menghitung kadar hidrokuinon

yang terdapat dalam sediaan kosmetik yang berbentuk larutan yang beredar di

pasaran yang dimasukkan dalam persamaan kurva baku hidrokuinon y = bx + a.

Kadar yang diperoleh kemudian dicermati secara deskriptif dengan kadar yang tertera

(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Optimasi Metode

Penetapan kadar hidrokuinon pada penelitian ini dilakukan dengan

mengetahui penetapan kadar hidrokuinon dalam larutan pencerah merek “A” yang

telah beredar di pasaran dengan menggunakan pereaksi o-fenantrolina secara

spektrofotometri visibel.

Pada penelitian ini, hidrokuinon selalu dibuat baru dan dilindungi dari cahaya

karena hidrokuinon mudah teroksidasi dari warna putih menjadi warnanya kecoklatan

sehingga tidak bisa dipakai karena hal ini dapat mengganggu pembentukan senyawa

kompleks dan pengukuran serapan maka harus diminimalkan (Svehla, 1979).

Jika membuat larutan Fe(III) (kation) dengan menambah air dan 1tetes asam

klorida encer ke dalam larutan FeCl3.6H2O, warna larutan ini menjadi semakin kuat

(Svehla, 1979).

Berdasarkan metode ini, hidrokuinon yang terkandung di dalam larutan

pencerah akan diukur dengan cara mereduksi larutan Fe3+ menjadi Fe2+ lebih dulu

dengan bantuan hidrokuinon sebagai agen pereduksi (reduktor) sehingga menjaga

kestabilan pada keberadaan Fe2+. Karena Fe3+ tidak bisa memberikan warna yang

intens bila bereaksi dengan o-fenantrolina, sehingga menyulitkan penetapan kadar

Gambar

Tabel III.   Kadar rata-rata hidrokuinon dalam sampel larutan pencerah ........................
Tabel I. Kategori kelarutan (Anief, 2000)
Gambar 1. Struktur hidrokuinon
Gambar 2. Reaksi oksidasi hidrokuinon menjadi kuinon (Anonim, 1996)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Ghozali (2011) Uji F pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model penelitian mempunyai pengaruh secara

Pada penelitian ini, metode pembuatan yang akan dilakukan yaitu dengan mengurangi jumlah semen yang dipakai dalam komposisi beton, ditentukan dengan menambahkan persentase fly ash dan

Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan setelah istirahat (Tarwaka &amp;

fahaman, asal-usul bangsa keturunan atau sosial harta-benda, kelahiran atau apa-apa taraf lain. Seterusnya, tiada sebarang pembezaan boleh dibuat berasaskan pada taraf politik

Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Seddon, ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran yang dikembangkan oleh Doll, Torkzadeh paling tepat untuk

Proses pencatatan akuntansi dalam perusahaan ini sudah menggunakan bantuan aplikasi, namun pencatatan akuntansi untuk produksi yang telah digunakan di perusahaan

rakitan bezel depan 11 memasang baterai 33 DIMM 18 DIMMs 16 drive optik 29 kartu ekspansi 20 kunci pengaman 37 modul memori 16, 18 membuka kunci panel akses 37 memutar catu daya

Setelah pengembangan algoritma, dilakukan pengujian untuk mengetahui rata- rata performansi dari model tersebut.. Untuk mendapatkan rata-rata performansi perlu