• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ellya Marliah, Rinawati Rohsiswatmo, Djajadiman Gatot, Taralan Tambunan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ellya Marliah, Rinawati Rohsiswatmo, Djajadiman Gatot, Taralan Tambunan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Faktor Risiko pada Ibu dan

Kondisi Neonatus dengan Jumlah Eritrosit

Berinti pada Neonatus Tunggal Cukup Bulan di

RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo

Ellya Marliah, Rinawati Rohsiswatmo, Djajadiman Gatot, Taralan Tambunan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Latar belakang. Jumlah eritrosit berinti (EB) pada neonatus berpotensi menjadi prediktor kondisi neonatus, seperti perlunya perawatan intensif. Hal tersebut belum pernah diteliti di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Tujuan. Mengetahui hubungan antara faktor-faktor risiko pada ibu dan kondisi neonatus dengan jumlah EB pada neonatus tunggal cukup bulan.

Metode. Studi potong lintang analitik pada neonatus tunggal cukup bulan dan ibunya antara bulan Maret sampai Juni 2008 di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI – RSCM. Penghitungan jumlah EB dilakukan pada sediaan apusan darah tepi yang diambil dari vena tali pusat dan dihitung per 100 leukosit.

Hasil. Didapatkan 117 pasang ibu melahirkan dan neonatus tunggal cukup bulan antara bulan April - Mei 2008. Rerata usia ibu saat melahirkan adalah (28,9+6,38) tahun (rentang 17-42 tahun). Rerata usia gestasi 38 minggu dan rerata berat lahir 3,051 g dengan rentang (1,900-4,100) g. Peningkatan jumlah EB didapatkan pada 39,3% neonatus. Rerata jumlah EB (4,7+4,29) (0-22 EB) per 100 leukosit. Nilai EB 4 memberikan sensitivitas dan spesifisitas terbaik, yaitu 73,3% dan 65,7% dengan area under the curve (AUC) 0,771.

Kesimpulan. Terdapat hubungan bermakna antara riwayat ibu perokok pasif, nilai Apgar menit pertama yang rendah, terdapat mekonium pada air ketuban, dan perawatan intensif neonatus dengan jumlah EB. Peningkatan jumlah EB dapat dipakai untuk menentukan kemungkinan bayi akan mendapat perawatan di ruang intensif. Penelitian lanjutan perlu dilakukan terhadap masing-masing faktor risiko kehamilan dan persalinan terhadap jumlah EB untuk memahami patogenesis hipoksia pada neonatus sehingga dapat direncanakan upaya-upaya preventif. (Sari Pediatri 2009;10(5):345-50).

Kata kunci:eritrosit berinti, neonatus tunggal cukup bulan, mekonium dalam air ketuban

Alamat Korespondensi:

Dr. Rinawati Rohsiswatmo.,SpA(K). Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Salemba no. 6. Jakarta 10430. Telp. 021-3154020

(2)

E

ritrosit berinti (EB) merupakan sel darah merah imatur yang berada di sirkulasi darah.1,2,3 Pada neonatus cukup bulan non asfiksia jumlah EB bervariasi, tetapi jarang lebih dari 10 EB per 100 leukosit.4,5 Jumlah EB akan meningkat pada keadaan hipoksia intrauterin melalui mekanisme peningkatan produksi eritropoietin.1,2,6 Peningkatan jumlah EB berhubungan dengan petanda hipoksia intrauterin seperti adanya mekonium di dalam air ketuban, nilai Apgar rendah, dan nilai pH darah arteri tali pusat yang rendah.2 Beberapa keadaan diketahui menyebabkan hipoksia kronis pada janin antara lain kehamilan dengan diabetes melitus,2,7,8,9 kehamilan dengan hipertensi, ibu hamil perokok,6,10 ibu hamil dengan asma,11dan persalinan lama dengan penyulit.1Peningkatan EB idiopatik sekitar 1-2%.12

Jumlah EB pada neonatus dapat merupakan prediktor terjadinya perdarahan intraventrikular, distres pernapasan, dan kematian neonatus.13 Peningkatan jumlah EB juga berhubungan erat dengan kelainan neurologis jangka panjang.4 Pada neonatus kecil masa kehamilan (KMK), peningkatan jumlah EB berhubungan erat dengan pH arteri tali pusat yang lebih rendah, bantuan ventilasi mekanik, obat pemacu tekanan darah, dan angka mortalitas lebih tinggi.14 Dengan mengetahui jumlah EB pada neonatus, kemungkinan bayi memerlukan perawatan intensif dapat diprediksi secara dini.5Meskipun demikian, belum ada rentang jumlah EB yang dianggap normal.

Data rekam medis tahun 2006 mencatat 3255 bayi lahir hidup di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), 748 bayi (22,7%) di antaranya memerlukan perawatan intensif. Belum ada penelitian yang menghubungkan antara perlunya bayi mendapatkan perawatan intensif dengan jumlah EB. Selain itu, faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan EB pada neonatus cukup bulan di RSCM belum pernah diteliti. Penelitian bertujuan untuk mengetahui profil jumlah EB pada neonatus tunggal, cukup bulan, dan hubungannya dengan faktor-faktor risiko pada ibu serta kondisi neonatus di RSCM.

Metode

Desain penelitian adalah studi potong lintang analitik pada neonatus tunggal cukup bulan dan ibunya. Penelitian dilakukan antara bulan Maret sampai Juni

2008 di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM. Populasi target adalah semua neonatus tunggal cukup bulan. Populasi terjangkau adalah semua neonatus tunggal cukup bulan yang lahir di ruang bersalin Instalasi Gawat Darurat RSCM. Subjek penelitian adalah neonatus yang lahir antara bulan April sampai Mei 2008. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif, sampai besar sampel minimal terpenuhi. Perkiraan besar sampel dihitung dengan rumus perkiraan proporsi pada satu populasi dan didapat jumlah sampel minimal 96 bayi. Jumlah subjek ditambah 10% untuk menghindari kekurangan sampel karena sebab tertentu sehingga jumlah subjek total yang diperlukan adalah 110 pasien.

Darah vena tali pusat diambil 2 mL dan dimasuk-kan dalam tabung EDTA, kemudian dibuat apusan darah tepi dengan pulasan Giemsa di laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Jumlah EB dihitung per 100 leukosit.

Faktor-faktor risiko dicatat meliputi riwayat ibu perokok pasif, kehamilan dengan diabetes melitus, kehamilan dengan asma, pre-eklampsia, ketuban pecah dini, korioamnionitis, cara melahirkan dengan tindakan, mekonium pada air ketuban, nilai Apgar menit pertama dan menit kelima, berat lahir, KMK, perlunya perawatan intensif, pemakaian ventilator, kejang, dan kematian neonatus.

Data tentang karakteristik subjek penelitian dan variabel yang diperiksa disajikan secara deskriptif. Nilai titik potong jumlah EB ditentukan dengan menggunakan kurva receiver operating characteristic

(ROC) dan perhitungan area under the curve (AUC). Nilai titik potong diambil berdasarkan angka sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik. Hubungan antara faktor-faktor risiko dan peningkatan EB diuji dengan uji kai-kuadrat atau uji Fisher bila syarat uji kai-kuadrat tidak terpenuhi. Nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik. Analisis dilakukan dengan program statistik SPSS versi 13.0 for Windows PC (SPSS Inc., Chicago, Illinois, USA).

Hasil

Karakteristik subjek penelitian

Didapatkan 117 pasang ibu melahirkan dan neonatus tunggal cukup bulan diperoleh antara bulan April - Mei 2008. Rerata usia ibu saat melahirkan (28,9+6,38)

(3)

tahun, dengan rentang antara 17-42 tahun. Riwayat ibu hamil perokok pasif terdapat 74 (63,2%) orang, pre-eklamsia 13 (11,1%) orang, ketuban pencah dini 12 (10,3%) orang, korioamnionitis 3 (2,6%) orang, dan asma 1 (0,9%) orang. Tidak ada ibu hamil dengan riwayat diabetes melitus. Ibu melahirkan dengan tindakan terdapat 62 (53%) orang.

Bayi laki-laki lebih banyak daripada bayi perempuan, yaitu 73 (62%) orang. Rerata usia gestasi 38 minggu dan rerata berat lahir adalah 3,051 g dengan rentang (1,900-4,100) g. Terdapat 42 (35,9%) kasus dengan mekonium dalam air ketuban, 15 (12,8%) bayi dengan nilai Apgar menit pertama rendah, 4 (3,4%) bayi nilai Apgar menit kelima rendah, 6 (5,1%) bayi KMK, dan 15 (12,8%) bayi yang memerlukan perawatan di NICU. Tidak didapatkan bayi yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik dan bayi kejang. Dua (2,7%) orang bayi meninggal dalam minggu pertama (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik neonatus tunggal cukup bulan di RS Cipto Mangunkusumo antara April–Mei 2008 (n=117)

Karakteristik subjek n % Jenis kelamin s,AKILAKI 73 62 s0EREMPUAN 44 38 Berat lahir s"ESARUNTUKMASAKEHAMILAN"(+ 13 11,1 s3EDANGUNTUKMASAKEHAMILAN3-+ 98 83,8 s+ECILUNTUKMASAKEHAMILAN+-+ 6 5,1 Nilai Apgar menit-1

s.ORMAL 102 87,2

s2ENDAH 15 12,8

Nilai Apgar menit-5

s.ORMAL 113 96,6 s2ENDAH 4 3,4 Perawatan NICU 15 12,8 Pemakaian ventilator 0 0 Kejang 0 0 Kematian neonatus 2 1,7

Mekonium dalam air ketuban 42 35,9

Sebaran jumlah eritrosit berinti (EB)

Rerata jumlah EB (4,7+4,29) per 100 leukosit dengan rentang antara 0-22 EB per 100 leukosit, median jumlah EB adalah 4 per 100 leukosit. Sebagian besar bayi (82,1%) memiliki jumlah 6 EB per 100 leukosit atau kurang.

Perhitungan dengan kurva ROC mendapatkan nilai jumlah EB 4,5 yang memberikan sensitivitas 73,3% dan spesifisitas 65,7% dengan AUC sebesar 0,771 untuk indikasi perawatan intensif. Dengan menggunakan nilai titik potong tersebut, didapatkan sejumlah 46 (39,3%) kasus yang memiliki jumlah EB lebih dari 4 per 100 leukosit dan dikategorikan sebagai ‘jumlah EB meningkat’ (Gambar 1).

Gambar 1. Kurva ROC jumlah EB pada bayi yang dirawat di NICU 1 - Spesifisitas Sensitivitas 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0

Hubungan antara faktor risiko dan jumlah EB

Terdapat hubungan bermakna antara jumlah EB lebih dari 4 per 100 leukosit dengan riwayat ibu perokok pasif, namun ada hubungan bermakna antara jumlah EB dan faktor-faktor risiko lainnya (Tabel 2). Terdapat hubungan bermakna antara jumlah EB lebih dari 4 per 100 leukosit dengan nilai Apgar menit pertama yang rendah, adanya mekonium pada air ketuban, dan perawatan intensif neonatus. Tidak terdapat hubungan antara jumlah EB dan nilai Apgar menit ke-5, bayi KMK, dan kematian bayi (Tabel 3). Pada dua kasus bayi yang meninggal, jumlah EB didapatkan lebih dari 4 per 100 leukosit.

(4)

Tabel 2. Hubungan antara faktor risiko pada ibu dan jumlah EB berdasarkan nilai titik potong EB 4 per 100 leukosit

Faktor risiko pada ibu Jumlah EB per 100

leukosit Nilai p >4 (n=46) 0-4 (n=71) n (%) n (%) Perokok pasif s9AN 36 (78,3) 38 (53,5) 0,007a s4IDAKN 10 (21,7) 33 (46,5) Pre-eklampsia s9AN 3 (6,5) 10 (14,1) 0,204a s4IDAKN 43 (93,5) 61 (85,9) Ketuban pecah dini

s9AN 4 (8,7) 8 (11,3) 0,762b s4IDAKN 42 (91,3) 63 (88,7) Korioamnionitis s9AN 0 3 (4,2) 0,278b s4IDAKN 46 (100,0) 68 (95,8) Cara persalinan s3PONTANN 20 (43,5) 35 (49,3) 0,538a s4INDAKANN 26 (56,5) 36 (50,7)

aujiPearson’s chi-square;bujiFisher’s exact

Tabel 3. Hubungan antara kondisi neonatus dan jumlah EB berdasarkan nilai titik potong EB 4 per 100 leukosit

Kondisi neonatus Jumlah EB per 100

leukosit Nilai p

>4 0-4

n (%) n (%) Nilai Apgar menit 1

s.ORMALN 36 (78,3) 66 (93,0)

s2ENDAHN 10 (21,7) 5 (7,0) 0,020a Nilai Apgar menit 5

s.ORMALN 46 (100) 67 (94,4) 0,253b s2ENDAHN 0 4 (5,6) Bayi KMK s9AN 1 (2,2) 5 (7,0) 0,401b s4IDAKN 45 (97,8) 66 (93,0) Perawatan NICU s9AN 11 (23,9) 4 (5,6) 0,004a s4IDAKN 35 (76,1) 67 (94,4) Mekonium dalam air ketuban s9AN 20 (28,2) 22 (47,8) 0,030a s4IDAKN 51 (71,8) 24 (52,2) Kematian bayi s9AN 2 (4,3) 0 0,253b s4IDAKNA 44 (95,7) 71 (100)

aujiPearson’s chi-square;bujiFisher’s exact

Analisis perbedaan rerata jumlah EB mem-perlihatkan bahwa jumlah EB secara bermakna lebih tinggi pada bayi lahir yang mengalami mekonium dalam air ketuban, nilai Apgar menit pertama rendah, memerlukan perawatan di NICU, dan meninggal (Tabel 4). Rerata jumlah EB cenderung lebih tinggi

pada ibu hamil yang perokok pasif.

Tabel 4. Perbedaan rerata jumlah EB per 100 leukosit pada berbagai faktor risiko (n=117)

Faktor risiko Rerata EB Simpang baku Nilai pa Perokok pasif s9AN 5,1 4,28 0,060 s4IDAKN 4,1 4,28 Pre-eklampsia s9AN 3,6 1,76 0,518 s4IDAKN 4,9 4,49 Korioamnionitis s9AN 1,7 2,08 0,103 s4IDAKN 4,8 4,31

Ketuban pecah dini

s9AN 4,0 4,3 0,372

s4IDAKN 4,8 4,3

Cara persalinan

s3PONTANN 4,3 3,54 0,552

s4INDAKANN 5,1 4,85

Mekonium dalam air ketuban

s9AN 6,3 5,37 0,007

s4IDAKN 3,9 3,29

Nilai Apgar menit-1

s.ORMALN 4,3 4.00 0,008

s2ENDAHN 7,5 5,26

Nilai Apgar menit-5

s.ORMALN 4,8 4,35 0,266

s2ENDAHN 2,8 0,96

Kecil masa kehamilan

s9AN 3,5 1,23 0,645 s4IDAKN 4,8 4,39 Perawatan NICU s9AN 9,7 7,01 0,001 s4IDAKN 4,0 3,18 Kematian neonatus s9AN 14,5 7,78 0,014 s4IDAKN 4,6 4,01

auji Mann Whitney

Diskusi

Karakteristik ibu dan bayi dalam penelitian kami berbeda dari penelitian Hanlon-Lunberg dkk pada 1098 orang ibu dengan rerata usia 23,8 tahun dan 18% di antaranya melahirkan dengan tindakan. Rerata berat lahir bayi pada penelitian tersebut 3.325,1 g dan hanya melibatkan bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 g.2 Kasus persalinan di RSCM pada umumnya merupakan kasus rujukan dari rumah sakit lain dengan kehamilan yang berisiko tinggi, termasuk usia ibu hamil, sehingga angka persalinan dengan tindakan sangat tinggi (53%). Usia gestasi tidak berbeda dengan penelitian Hanlon-Lunberg yang mendapatkan rerata

(5)

(39,1+1,14) minggu.2

Nilai rerata EB per 100 leukosit berbeda-beda pada beberapa penelitian, antara 1,7 sampai 8,6 yang disebabkan perbedaan demografi dan faktor-faktor risiko yang terdapat pada masing-masing populasi.2

Perhitungan jumlah EB dapat dilakukan dengan dua cara yaitu jumlah EB per 100 leukosit atau jumlah absolut EB dengan satuan EB x109/L. Cara

perhitungan jumlah EB per 100 leukosit memiliki kelemahan karena jumlah leukosit pada neonatus sangat bervariasi,3,8namun jumlah EB per 100

leukosit berkorelasi kuat dengan jumlah EB absolut (r=0,97).3 Kurva ROC menetapkan bahwa jumlah EB meningkat jika lebih dari 4 per 100 leukosit. Angka tersebut sebenarnya tidak terlalu tinggi. Penghitungan EB dimaksudkan untuk uji penapisan, maka dipilih sensitivitas yang cukup baik tanpa mengorbankan spesifisitas. Sejauh ini belum ada nilai normal yang ditetapkan pada populasi neonatus cukup bulan di Indonesia, namun hampir 40% subjek penelitian memiliki jumlah EB di atas 4 per 100 leukosit.

Penelitian kami juga menemukan adanya hubungan peningkatan jumlah EB dengan riwayat ibu perokok pasif. Penelitian pada bayi cukup bulan yang lahir pervaginam mendapatkan jumlah absolut EB pada bayi yang terpapar asap rokok lebih tinggi dibandingkan kontrol dan secara statistik bermakna baik pada analisis univariat maupun multivariat.15 Pajanan asap rokok pada ibu hamil akan mengganggu oksigenasi fetus. Efek nikotin secara teoritis menyebabkan vasokonstriksi plasenta, menurunkan oksigenasi ke jaringan fetus berhubungan dengan peningkatan karboksihemoglobin janin dan berakibat kelainan vaskular plasenta.6,15

Hasil penelitian memperlihatkan hubungan bermakna antara adanya mekonium dalam air ketuban dan peningkatan jumlah EB. Hasil yang sama juga dilaporkan peneliti lain.2,16 Mekonium telah lama digunakan sebagai petanda adanya stres intrauterin dan hipoksia janin. Adanya mekonium juga telah dihubungkan dengan peningkatan kadar eritropoietin.17Stres intrauterin menyebabkan peningkatan kadar eritropoietin dan jumlah EB.2

Tidak didapatkan perbedaan peningkatan jumlah EB yang bermakna antara bayi yang dilahirkan dengan tindakan dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan secara spontan. Hubungan antara cara lahir dengan jumlah EB mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Ghosh dkk. mendapatkan tidak ada hubungan

bermakna antara jumlah EB dan cara persalinan.6

Lim dkk18 mendapatkan peningkatan jumlah EB pada persalinan dengan tindakan dibandingkan dengan persalinan spontan pervaginam. Penelitian kami mendapatkan persalinan dengan bedah kaisar atas indikasi distres janin berhubungan dengan peningkatan jumlah EB.16 Tidak didapatkannya perbedaan bermakna pada penelitian kami kemungkinan karena terdapat beberapa indikasi dilakukannya bedah kaisar yang tidak berhubungan dengan distres pada janin, misalnya disproporsi kepala panggul atau tidak didapatkannya kemajuan persalinan.

Peningkatan jumlah EB secara bermakna berhu-bungan dengan nilai Apgar rendah pada menit per-tama dan risiko bayi dirawat di NICU. Hasil serupa dilaporkan Hanlon-Lunberg dan Kirby bahwa jumlah EB mempunyai kecenderungan berhubungan terbalik dengan nilai Apgar baik menit pertama maupun ke-lima, tetapi hubungan yang bermakna hanya terhadap nilai Apgar yang rendah pada menit pertama. Penelitian tersebut juga mendapatkan jumlah EB yang tinggi berhubungan dengan asidosis respiratorik, asidosis metabolik yang tidak terkompensasi, penurunan base excess dan perlunya perawatan di NICU.4,16 Dari hasil penelitian ini, tampak bahwa jumlah EB dapat men-dukung adanya hipoksia akut yang terjadi intrapartum. Jumlah EB tidak berhubungan bermakna dengan nilai Apgar menit ke-5 dapat disebabkan karena jumlah ka-sus dengan nilai Apgar menit ke-5 yang rendah hanya sedikit (4 orang). Peningkatan nilai Apgar terjadi sete-lah dilakukan resusitasi, berarti sebagian besar neonatus mengalami hipoksia akut, bukan hipoksia kronik.

Peningkatan jumlah EB terjadi baik pada keadaan stres akut maupun hipoksia kronik.12 Waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan jumlah EB tidak dike-tahui.4Hipoksia jaringan yang berlangsung kronis akan meningkatkan produksi eritropoietin dan merangsang proses eritropoiesis dan berakibat peningkatan jumlah eritrosit yang beredar dalam sirkulasi, sedangkan stres akut merupakan pemicu pelepasan eritroblas dari sumsum tulang sehingga meningkatkan jumlah EB dalam sirkulasi.12,19

Kesimpulan

Rerata jumlah EB pada neonatus tunggal cukup bulan di RSCM 4,7 per 100 leukosit. Nilai titik potong di atas 4 dapat menghasilkan sensitivitas 73,3% dan spesifisitas

(6)

65,7% sebagai indikator untuk perawatan intensif. Peningkatan jumlah EB didapatkan 39,3% dari seluruh kasus. Peningkatan jumlah EB berhubungan dengan riwayat ibu hamil perokok pasif, mekonium dalam air ketuban, nilai Apgar rendah pada menit pertama, dan indikasi perawatan intensif. Peningkatan jumlah EB dapat dipakai untuk menentukan kemungkinan bayi akan mendapat perawatan di ruang intensif. Penelitian lanjutan perlu dilakukan terhadap masing-masing faktor risiko kehamilan dan persalinan terhadap jumlah EB untuk memahami patogenesis hipoksia pada neonatus sehingga dapat direncanakan upaya preventif.

Daftar Pustaka

1. Perri T, Ferber A, Digli A, Rabizadeh E, Weissmann-Brenner A, Divon MY. Nucleated red blood cells in uncomplicated prolonged pregnancy. Obstet Gynecol 2004;104:372-6.

2. Hanlon-Lundberg KM, Kirby RS, Gandhi S, Broekhuizen FF. Nucleated red blood cells in cord blood of singleton term neonates. Am J Obstet Gynecol 1997;176:1149-56.

3. Hermansen MC. Nucleated red blood cells in fetus and newborn. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;84:F211-5.

4. Phelan JP, Ahn MO, Korst LM, Martin GI. Nucleated red blood cells: a marker for fetal asphyxia? Am J Obstet Gynecol 1995;173:1380-4.

5. Ghosh B, Mittal S, Kuman S, Dadhwal V. Prediction of perinatal asphyxia with nucleated red blood cells in cord blood of newborns. Int J Gynecol Obstet 2003;81:267-71.

6. Gruslin A, Perkins SH, Manchanda R, Fleming N, Clinch JJ. Maternal smoking and fetal erythropoietin levels. Obstet Gynecol 2000;95:561-4.

7. Green DW, Mimouni F. Nucleated erythrocytes in healthy infants and in infants of diabetic mothers. J Pediatr 1990;116:129-31.

8. Korst LM, Phelan JP, Ahn MO, Martin GI. Nucleated red blood cells: An update on the marker for fetal

asphyxia. Am J Obstet Gynecol 1996;175:843-6. 9. Ergin T, Tarcan A, Lembet A, Çetintas S, Çetintas S,

Haberal A. Nucleated red blood cell count in infants of women with well-controlled gestational diabetes mellitus. Artemis 2003;4:33-6.

10. Yeruchimovich M, Dollberg S, Green DW, Mimouni FB. Nucleated red blood cells in infants of smoking mothers. Obstet Gynecol 1999;93:403-6.

11. Littner Y, Mandel D, Sheffer-Mimouni G, Mimouni FB, Deutsch V, Dollberg S. Nucleated red blood cells in infants of mothers with asthma. Am J Obstet Gynecol 2003;188:409-12.

12. Hermansen MC. Nucleated red blood cells in fetus and newborn. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;84:F211-5.

13. Minior VK, Bernstein PS, Divon MY. Nucleated red blood cells in growth-restricted fetuses: Associations with short-term neonatal outcome. Fetal Diagn Ther 2000;15:165-9.

14. Minior VK, Shatzkin E, Divon MY. Nucleated red blood cell count in the differentiation of fetuses with pathologic growth restriction from healthy small-for-gestational-age fetuses. Am J Obstet Gynecol 2000;182:1107-9. 15. Dollberg S, Fainaru O, Mimouni FB, Shenhav M,

Lessing JB, Kupferminc M. Effect of passive smoking in pregnancy on neonatal nucleated red blood cells. Pediatrics 2000;106:1-3.

16. Hanlon-Lundberg KM, Kirby RS. Nucleated red blood cells as a marker of acidemia in term neonates. Am J Obstet Gynecol 1999;181:196-201.

17. Maier RF, Böhme K, Dudenhausen JW, Obladen M. Cord blood erythropoietin in relation to different markers of fetal hypoxia. Obstet Gynecol 1993;81:575-80.

18. Lim FTH, Schrjon SA, van Beckhoven JM, Brand A, Kanhai HH, Hermans JMH, dkk. Association of stress during delivery with increased numbers of nucleated cells and hematopoietic progenitor cells in umbilical cord blood. Am J Obstet Gynecol 2000;183:1144-51. 19. Blackwell SC, Hallak M, Hotra JW, Refuerzo J, Hassan

SS, Sokol RJ, dkk. Timing of nucleated red blood cell count elevation in response to acute hypoxia. Biol Neonate 2004;85:217-20.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik neonatus tunggal cukup bulan di RS  Cipto Mangunkusumo antara April–Mei 2008 (n=117)
Tabel 4. Perbedaan rerata jumlah EB per 100 leukosit pada  berbagai faktor risiko (n=117)

Referensi

Dokumen terkait

Menyetujui dan mengesahkan Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Perseroan untuk tahun buku 2014 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik RSM Aryanto, Amir Jusuf, Mawar

3) Menunjuk Pejabat Eksekutif yang membawahi Fungsi Kepatuhan yang masih merangkap sebagai fungsi Manajemen Risiko sekaligus sebagai fungsi yang bertanggung jawab

Dari target kontrak tersebut, perusahaan memperkirakan dapat membukukan pertumbuhan pendapatan sekitar 30% pada 2018 dibandingkan dengan perkiraan Rp3.98 triliun pada

Dari uraian berbagai macam istilah diatas, maka definisi judul penelitian Studi Ergonomi Bangunan Perpustakaan Kota Yogyakarta dengan Pendekatan Antropometri adalah Penelitian

Teknik observasi sebagai metode ilmiah dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematik fenomena-fenomena.. Teknik observasi merupakan teknik yang paling

menunjukkan pengaruh positif signifikan, sehingga dalam model ini hipotesis 8 tidak terbukti. Hasil temuan untuk tanda yang negatif menunjukkan kesesuaian tanda dengan hipotesis

Bunuh diri merupakan masalah global dimana peningkatan kejadian bunuh diri terutama pada usia remaja sebagai kelompok risiko terjadinya bunuh diri. Faktor risiko bunuh