• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1. Pengertian Keharmonisan Keluarga - PELATIHAN MANAJEMEN KONFLIK ANTARA SUAMI-ISTRI UNTUK PENINGKATAN KEHARMONISAN KELUARGA - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keharmonisan Keluarga 1. Pengertian Keharmonisan Keluarga - PELATIHAN MANAJEMEN KONFLIK ANTARA SUAMI-ISTRI UNTUK PENINGKATAN KEHARMONISAN KELUARGA - UMBY repository"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

22

A. Keharmonisan Keluarga 1. Pengertian Keharmonisan Keluarga

Keharmonisan, secara terminologi berasal dari kata harmonis yang berarti serasi dan selaras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Menurut Walgito (1991) keharmonisan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, dilandasi oleh berbagai unsur persamaan; seperti saling dapat memberi dan menerima cinta kasih tulus dan memiliki nilai-nilai serupa dalam perbedaan.

Hawari (1996) menyatakan bahwa keharmonisan keluarga sesungguhnya terletak pada erat-tidaknya hubungan antar anggota keluarga, misalnya hubungan antara ayah dengan ibu, hubungan antara orangtua dengan anak, dan hubungan antar anak. Masing-masing anggota keluarga memiliki peran dalam menjaga keharmonisan hubungan satu sama lain. Gunarsa (2004) berpendapat bahwa keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia, ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri), meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.

(2)

karena suami istri tersebut merasa cukup dan puas atas segala sesuatu yang ada dan telah dicapai ke dalam ataupun ke luar keluarga, menyangkut nafkah, seksual, dan pergaulan dengan masyarakat. Keharmonisan keluarga juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan pada keluarga, dimana masing-masing unsur dalam keluarga tersebut dapat berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya serta tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama (Anggraeni, 2015).

Surya (2001), menyatakan bahwa keharmonisan merupakan kondisi hubungan interpersonal yang melandasi keluarga bahagia. Keharmonisan keluarga dibuktikan dengan adanya tanggung jawab dalam membina suatu keluarga didasari oleh saling menghormati, saling menerima, menghargai, saling memercayai, dan saling mencintai (Purba, 2012).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keharmonisan keluarga adalah keadaan keluarga yang dapat berfungsi dan berperan sebagai mana mestinya dilandasi berbagai unsur persamaan, kerelaan dan keselarasan hidup bersama sehingga tercipta keeratan hubungan antar anggota keluarga.

2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

Stinnet & DeFrain (Hawari, 1996) mengemukakan enam kriteria keluarga harmonis, yaitu:

a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.

(3)

penelitian ditemukan bahwa keluarga tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi konflik dan percekcokan dalam keluarga.

b. Memiliki waktu bersama keluarga

Keluarga harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah. c. Ada komunikasi yang baik antar anggota keluarga.

Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Anak akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu anak untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya.

d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.

(4)

e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.

Jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.

f. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.

Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan erat, maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai.

Kovikondala dkk. (2015) juga mengemukakan lima dimensi keharmonisan keluarga yaitu:

(5)

c. Kesabaran atau menahan diri, setiap anggota keluarga saling memahami dan memiliki kesabaran satu dengan yang lain serta mau menyesuaikan diri untuk berusaha meredakan ketegangan yang mungkin terjadi.

d. Waktu berkualitas bersama keluarga. Anggota keluarga merasakan kepuasan dan nyaman berada di tengah keluarga, setiap anggota keluarga merasa dekat satu dengan yang lain dan saling merawat.

e. Identitas sebagai keluarga yang berarti bangga dan mengakui sebagai anggota keluarga serta mau menjadi bagian dari cita-cita keluarga.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan terdapat beberapa kriteria keluarga harmonis yakni kehidupan beragama dalam keluarga, komunikasi yang baik, resolusi konflik, waktu bersama dalam keluarga, hubungan yang erat dan saling menghargai. Dalam penelitian ini aspek keluarga harmonis mengacu pada teori Kovikondala dkk. (2015) yang mengemukakan lima dimensi keharmonisan dikarenakan kemutakhiran penelitian dan kesesuaian dengan tema penelitian ini.

3. Faktor-faktor Determinan dalam Keharmonisan Keluarga

Menurut Sarwono (1982), dalam menentukan ukuran kebahagiaan keluarga perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:

a. Faktor kesejahteraan jiwa

(6)

masing-masing, menjadi indikator-indikator jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.

b. Faktor kesehatan fisik

Faktor ini tidak kalah penting dari faktor pertama karena jika anggota keluarga sering sakit maka akan berakibat banyaknya pengeluaran untuk dokter, obat-obatan dan rumah sakit, hal tersebut tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.

c. Faktor perimbangan antara pengeluaran uang dan penghasilan keluarga Tidak semua keluarga beruntung dapat memeroleh penghasilan mencukupi. Masalahnya tidak lain adalah kurang mampunya keluarga-keluarga bersangkutan merencanakan hidupnya, sehingga pengeluaran-pengeluaran pun menjadi tidak terencana.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga (Dewi & Sudhana, 2012; Purba, 2012; Nancy, dkk., 2014; Rachmawati, 2010) adalah:

a. Komunikasi interpersonal

(7)

berinteraksi pada pasangan suami istri adalah yang bersifat diadik yaitu melalui komunikasi dalam situasi lebih intim, lebih dalam dan personal. Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting untuk menjaga kelangsungan berumah tangga. Apabila pasangan suami istri saling menunjukkan sikap yang positif terhadap pasangannya maka komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif. Terciptanya komunikasi efektif yang ditandai dengan adanya sikap terbuka, empati, saling mendukung, sikap positif, dan kesetaraan, antara pasangan suami istri membuat hubungan interpersonal menjadi baik sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam pernikahan yang ditandai adanya saling mengerti, saling menerima, saling menghargai, saling percaya, dan saling mencintai (Dewi & Sudhana, 2012).

b. Kecerdasan spiritual

(8)

menempatkan perilakunya dengan lebih bermakna. Untuk menciptakan keluarga harmonis diperlukan eksistensi dan peran dari masing-masing anggota keluarga serta tanggung jawab terhadap fungsi dalam keluarga. Untuk menumbuhkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab dalam keluarga, diperlukan pemahaman dan kecerdasan spiritual (Purba, 2012). c. Nilai dalam pernikahan

(9)

d. Pemaafan

Pemaafan adalah suatu solusi dari risiko logis antar pribadi. Ketidakmampuan untuk memaafkan atau dimaafkan akan menjadi sumber hancurnya suatu relasi, tak terlepas dari hubungan suami-istri yang tentunya akan mengarah kepada keretakan keluarga (Subiyanto, 2011). Pasangan suami-istri yang memiliki sikap pemaaf kemungkinan besar akan memertahankan keutuhan keluarganya. Mereka menyadari bahwa manusia mudah melakukan kesalahan. Apabila diketahui bahwa salah satu pasangan melakukan kesalahan, maka pihak lain dengan usaha sangat kuat akan memaafkan pihak yang berbuat salah. Pemaafan adalah suatu perjalanan sangat kompleks, termasuk kemampuan untuk mengubah sistem afektif, kognitif dan tingkah laku (Nancy, dkk., 2014).

Pemaafan memiliki implikasi yang substansial untuk relasi jangka panjang sebagai interaksi dari sebuah hubungan. Pemaafan merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal yang terjalin baik antara suami istri akan berpengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam keluarga (Nancy, dkk., 2014).

e. Penyesuaian perkawinan

(10)

masalah yang ada, sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan. Munandar (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan berarti adanya saling pengertian antara suami-istri dalam menyatakan perbedaan-perbedaan di antara suami-istri dengan melakukan hal-hal yang dapat menambah kepuasan supaya tercapai hubungan keluarga yang harmonis.

Laswell & Laswell (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa konsep penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari pasangannya.

(11)

interpersonal antara suami dan istri untuk menggantikan disfungsional dengan persetujuan yang produktif.

B. Pelatihan Manajemen Konflik 1. Pengertian Pelatihan Manajemen Konflik

Menurut Agochiya (Rosdiana, 2009), pelatihan merupakan suatu proses terdiri dari serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu, sehingga mengakibatkan perubahan perilaku sesuai dengan situasi dalam hidupnya. Pelatihan membantu pesertanya mengeksplorasi dan menyadari potensi serta bakat yang dimiliki. Melalui pelatihan pula, peserta terfasilitasi dalam mengidentifikasi kekurangan serta kelebihan dalam mencapai standar yang ditetapkan. Pelatihan merupakan cara efektif untuk memanfaatkan pengetahuan dan kompetensi yang telah ada untuk memaksimalkan hasil usaha seseorang. Prinsip-prinsip belajar dalam pelatihan merupakan prinsip adult learning yang berhubungan dengan pelatihan dan pendidikan.

(12)

bermain peran. Diskusi kelompok dibagi menjadi diskusi terstuktur, diskusi terbuka, dan diskusi panel.

Dalam penelitian ini intervensi yang diberikan adalah pelatihan manajemen konflik. Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) ialah proses yang dilakukan dua pihak terlibat atau pihak ketiga dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Pruitt & Rubin (2004) mendefinisikan manajemen konflik sebagai berbagai macam usaha yang dilakukan untuk menemukan solusi bagi kontroversi yang terjadi yang dapat diterima oleh semua pihak.

(13)

penting yang tetap membuat keluarga dapat berfungsi ialah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap hilang seiring waktu. Seperti diungkapkan Rueter & Conger (Lestari 2012), keluarga yang memiliki interaksi hangat akan menghasilkan pemecahan masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan cenderung menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.

Menurut Walgito (2002), kemampuan mengelola konflik dalam perkawinan adalah kecakapan dan kesanggupan suami istri dalam mengendalikan dan mencari cara penyelesaian masalah dalam perkawinannya. Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik, untuk itu diperlukan kemampuan memanajemen konflik.

Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Oleh karena itu, pasangan yang menjalani perkawinan perlu mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik. Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011).

(14)

bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konflik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik. Oleh karena itu, pelatihan manajemen konflik dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi pasangan suami istri untuk dapat mengelola konflik dengan lebih baik.

Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan berdampak pada perkawinan yang harmonis dan akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.

(15)

2. Gaya Manajemen Konflik

Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan yaitu:

a. Competitive (kompetitif)

Kompetitif merupakan perilaku dengan tingkat asertif tinggi dan tidak kooperatif yang terwujud dari adanya unsur persaingan antar individu. Dalam model kompetitif, individu cenderung agresif, memaksakan kehendak dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya terhadap orang lain. Individu saling melawan dengan memerlihatkan keunggulan masing-masing. b. Collaboration (kerjasama)

(16)

c. Compromising (kompromi)

Kompromi merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah, dimana gaya ini berada di antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Kompromi dapat berarti saling mengurangi tuntutan masing-masing pihak, serta saling berkoordinasi untuk menyelesaikan konflik dengan cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan informasi tentang situasi kepada pihak bersangkutan dan mencari model penyelesaian konflik yang baik di antara kedua belah pihak.

d. Avoiding (menghindar)

Menghindar memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. Kedua belah pihak terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk penghindaran tersebut berupa menjauhkan diri dari pokok permasalahan, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dam merugikan.

e. Accommodation (akomodasi).

Akomodasi merupakan sikap cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Gaya ini juga disebut dengan obliging style, dimana seseorang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini akan berusaha untuk mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.

(17)

collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance (Thomas & Kilmann, 2004; Lestari, 2012).

DeGenova (2008) membagi metode menghadapi konflik dalam pernikahan menjadi tiga macam, yakni:

a. Avoidance

Metode pertama ini merupakan metode ketika pasangan menghadapi konflik dengan cara menghindar. Pasangan mencoba mencegah konflik dengan menghindari orang bersangkutan, situasinya dan atau hal-hal yang berhubungan dengan pemicu terjadinya konflik. Dengan menghindari penyebab masalah untuk sementara keadaan memang cukup tenang tetapi permasalahannya tidak akan selesai, masalah akan berlarut-larut dan dapat merusak hubungan.

Pasangan yang melakukan usaha untuk menghindari pertentangan, secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan memberi perhatian satu sama lain. Sebagai hasilnya akan terjadi peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya.

b. Ventilation and catharsis

(18)

mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan catharsis dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan emosi dan perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak, bernyanyi sekeras-kerasnya, dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses ini dilakukan, seluruh emosi dan perasaan negatif yang ada akan keluar dan diganti dengan emosi dan perasaan yang lebih positif.

c. Constructive and destructive

Metode konstruktif yaitu pasangan menghadapi masalah pernikahannya dengan lebih memahami dan berkompromi atau menerima solusi yang ditawarkan untuk dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada meminimalisasi emosi negatif, menaruh hormat dan percaya kepada pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi lebih dekat.

Metode destruktif berbentuk menyerang orang yang dianggap bermasalah dengan individu. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkan.

Menurut Rubin (Lestari, 2012), pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

a. Bersifat konstruktif,

(19)

2) Campur tangan pihak ketiga, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik.

b. Bersifat destruktif

1) Penguasaan/domination, ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendak, baik dilakukan secara fisik maupun psikis,

2) Penyerahan/capitulation, ketika salah satu pihak, secara sepihak menyerahkan kemenangan kepada pihak lain,

3) Pengacuhan/inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik,

4) Penarikan diri/withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik.

Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para peneliti dan terapis mengenali adanya gaya resolusi konflik yang digunakan individu dalam mengelola konflik. Lerner (Olson & Olson, 2000) membedakan cara individu menyelesaikan konflik menjadi lima macam, yaitu:

(20)

kompromi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini konflik dimaknai secara positif dan dikelola secara konstruktif.

b. Penghindar/distancer, adalah individu yang cenderung mengambil jarak secara emosi. Individu tipe ini akan memilih menarik diri dari kancah konflik, tidak memiliki kesediaan untuk berunding dan biasanya cenderung memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah. Cara pengelolaan demikian membiarkan konflik terpendam yang beresiko menimbulkan gejala depresi.

c. Pecundang/underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan aspirasi atau kompetensinya. Dalam upaya menghindari pertengkaran, individu dengan ciri pecundang akan memilih untuk selalu mengalah dan menuruti apa yang menjadi kemauan pihak lain. Dalam taraf tertentu, cara ini dapat memertahankan hubungan dari situasi yang buruk namun hanya bersifat stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas hubungan.

d. Penakluk/overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Individu dengan ciri penakluk akan menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan, berupaya mendominasi dan mengedepankan egonya. Tipe penakluk akan menghadapi konflik dengan pertikaian dan pertengkaran yang beresiko memunculkan perilaku agresi.

(21)

sebagai ajang pertengkaran, mengumbar amarah, bahkan seringkali mengungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok masalah yang menjadi sebab perselisihan. Individu demikian cenderung tidak mau mengakui kesalahan, selalu membela diri, dan menimpakan kesalahan pada pihak lain atau keadaan. Perilaku demikian beresiko memunculkan agresi.

Senada dengan Lerner, Kurdek (Lestari, 2012) mengajukan empat macam gaya resolusi konflik, yaitu penyelesaian masalah secara positif (positiveproblemsolving; misalnya melakukan negosiasi dan perundingan), pertikaian (conflict engagement; misalnya melakukan kekerasan, marah, selalu membela diri, menyerang, dan lepas kontrol), penarikan diri (withdrawal; misalnya mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan menjaga jarak dari konflik), dan tunduk (compliance; misalnya selalu mengalah).

(22)

meliputi gaya manajemen konflik konstruktif yaitu collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance.

3. Tahapan Pelatihan Manajemen Konflik

Pelatihan manajemen konflik dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada langkah manajemen konflik yang dikemukakan oleh Pruitt & Rubin (2004), dipadu dengan gaya manajemen konflik yang dikemukakan oleh Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011). Pelatihan ini akan dilaksanakan selama 2 hari dan terdiri dari 6 sesi yang masing-masing sesi berlangsung selama 15-50 menit.

Metode pelatihan yang dianut dalam penelitian ini ialah active learning method (metode belajar aktif). Metode belajar aktif ialah suatu proses kegiatan belajar melibatkan peserta secara intelektual dan emosional sehingga peserta berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan belajar (Suranto, 2012). Active learning bersifat partisipatif interaktif dan bertujuan mengubah cara pandang, sikap dan tingkah laku peserta menjadi lebih efektif (Dimyanti, 1999). Pada metode active learning, proses memeroleh pemahaman dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti mengalami, kegiatan dan memahami melalui proses (learning by process) (Ali, 1996).

Active learning memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut (Dimyanti, 1999):

(23)

Pengalaman peserta menjadi penting dalam penerapan metode active learning. Peserta perlu memiliki keinginan dan keberanian dalam menampilkan kebutuhan, permasalahan, dan partisipasi dalam proses belajar.

2. Fasilitator adalah pembimbing dalam memeroleh pengalaman. Fasilitator merupakan salah satu sumber informasi yang harus memberikan peluang bagi peserta agar dapat memeroleh pengetahuan atau keterampilan melalui usaha peserta sendiri. 3. Tujuan kegiatan belajar ditekankan pada pengembangan

kemampuan peserta secara utuh dan seimbang. Tujuan kegiatan disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan peserta didik. Kegiatan yang dilaksanakan juga memiliki program yang jelas dan dapat dimengerti peserta.

4. Pengelolaan kegiatan pembelajaran ditekankan pada kreativitas peserta dan memerhatikan kemajuan peserta dalam menguasai konsep yang dipelajari. Perlu diperhatikan pula fleksibilitas waktu belajar dan penggunaan berbagai macam media pengajaran untuk mendukung tercapainya keberhasilan proses belajar.

5. Penilaian dilaksanakan untuk megukur kemajuan peserta dalam berbagai keterampilan yang dipelajari.

(24)

a. Memastikan adanya konflik dengan melihat dan menyadari bahwa konflik sedang terjadi antara pihak satu dengan pihak lain. Pasangan suami istri dilatih untuk bersedia mengakui dan menyatakan mempunyai masalah yang nyata dengan tujuan bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab-sebab munculnya konflik perlu dipahami pasangan termasuk berbagai hal yang terkait dengan konflik. Terkadang sebab konflik yang nampak bukanlah sebab sebenarnya. Masing-masing pihak perlu memahami adanya kemungkinan kesalahpahaman terhadap pendapat atau kepentingan pasangan. Kesalahpahaman dapat menimbulkan konflik tidak nyata /ilusory.

(25)

tepat waktu karena ingin memberi kejutan sehingga ketika suaminya pulang terlambat, rencana tersebut terhambat. Kesediaan mengakui adanya konflik di antara suami dan istri memerlukan sikap terbuka dan kemauan berkomunikasi kedua belah pihak. Langkah awal dalam manajemen konflik ini akan diberikan dalam pelatihan pada pertemuan hari pertama sesi ketiga.

b. Melakukan analisis konflik yang sedang terjadi dengan berusaha mengoreksi dan introspeksi diri. Kebanyakan masalah bisa diselesaikan melalui beragam cara sehingga untuk pemecahan masalah ada baiknya tidak terpaku pada satu cara saja. Pasangan perlu saling mengingatkan bahwa tujuan mengelola konflik adalah mengatasi keluhan yang ada dan tidak meningkatkan konflik, sehingga masing-masing perlu mawas diri untuk tidak menuduh atau membuat diri menjadi defensif. Analisis konflik dilakukan dengan membicarakan kepentingan atau tujuan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik. Hambatan yang mungkin muncul dalam langkah kedua ini yaitu terkadang orang tidak paham mengenai alasan yang mendasari preferensi mereka atau adanya ketidakpercayaan antara kedua belah pihak.

(26)

solusi yang konstruktif. Akan lebih baik jika pasangan mulai menganalisis bersama alokasi pengeluaran yang kurang penting, mencatat pengeluaran dan pemasukan keuangan keluarga, menabung di awal waktu menerima gaji, atau menentukan skala prioritas. Semua alternatif pemecahan masalah yang disepakati bersama perlu dijalankan secara konsisten dan saling mengingatkan. Langkah kedua dalam manajemen konflik ini akan dilatihkan pada pertemuan hari pertama sesi ketiga setelah langkah awal diberikan. c. Mencari cara untuk merekonsiliasi aspirasi kedua belah pihak

(27)

merupakan usaha pemenuhan keinginan kedua pihak walaupun mungkin terdapat pengurangan kepuasan, misalnya pada contoh acara tv, walaupun suami dan istri sama-sama dapat menikmati acara tv olahraga dan drama dengan berkompromi namun mungkin siaran tersebut tidak dapat dinikmati dengan utuh seperti saat menonton sendiri. Jika salah satu pihak berkeras pada tuntutannya maka kompromi tidak akan tercapai dan konflik terus terjadi. Langkah ketiga dalam manajemen konflik ini akan disampaikan dalam pelatihan hari kedua sesi keenam.

(28)

Proses negosiasi biasanya memerlukan waktu yang cukup lama karena kedua belah pihak perlu mengakomodir kepentingan masing-masing dan menentukan alternatif yang menguntungkan keduanya. Misalnya, sepasang suami istri yang sama-sama bekerja dan baru memiliki anak memertimbangkan kemungkinan istri untuk berhenti bekerja dan mengurus buah hati mereka, atau memekerjakan seorang baby sitter. Untuk mengambil keputusan terbaik, pasangan ini perlu menyusun pilihan-pilihan lebih dahulu, memertimbangkan hambatan yang mungkin timbul seperti keuangan yang berkurang, perubahan kebiasaan pada istri yang sebelumnya wanita karir dengan berbagai atributnya menjadi ibu rumah tangga yang sepanjang hari mengurus bayi, atau kekurangan dan kelebihan jika pasangan ini memekerjakan baby sitter. Kepentingan dari masing-masing pihak perlu dikemukakan dengan jujur dan menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan. Masing-masing pihak juga perlu menilai dengan jujur dan tidak terburu-buru pada setiap alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan oleh pasangan. Langkah terakhir dalam manajemen konflik ini merupakan materi pelatihan hari kedua sesi keenam yang diberikan seusai langkah ketiga.

(29)

Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting untuk menjaga kelangsungan berumah tangga (Dewi & Sudhana, 2012). Selain itu, manajemen konflik merupakan usaha mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan yang berbeda dari pasangan suami istri. Usaha mengakomodasi kepentingan yang berbeda merupakan konsep penyesuaian perkawinan untuk mencapai keharmonisan keluarga (Rachmawati, 2010).

Berdasarkan tahapan pelatihan manajemen konflik terdapat empat langkah dalam mengelola konflik secara konstruktif yakni (1) memastikan adanya konflik; (2) melakukan analisis konflik; (3) mencari cara untuk merekonsiliasi; dan (4) menurunkan ego dan bernegosiasi.

C. Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik untuk Peningkatan Keharmonisan Keluarga pada Pasangan Suami Istri

(30)

menghargai dan saling memercayai yang pada akhirnya akan memengaruhi keharmonisan keluarga.

Pemahaman mengenai pengelolaan konflik dalam rumah tangga merupakan pengetahuan dan teknik ketrampilan yang diperlukan oleh pasangan suami istri. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dipelajari melalui pendidikan atau pelatihan. Pelatihan adalah sebuah proses yang direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui pengalaman belajar untuk mencapai kinerja yang efektif dalam berbagai kegiatan atau kegiatan tertentu yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan. Byadgi (2011) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik.

Bagaimana pasangan yang memiliki konflik mengatasi konfliknya memengaruhi perkembangan pribadi mereka. Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Menurut Supraktiknya (1995) pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan yang harmonis dan dari proses tersebut akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.

(31)

didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.

Pelatihan manajemen konflik mengacu pada gaya manajemen konflik dari Thomas & Kilmann (2004); yakni competitive, collaboration, compromising, avoiding, dan accomodation. Dari kelima gaya tersebut, gaya manajemen konflik collaborate dan compromising merupakan gaya manajemen konflik konstruktif. Dalam gaya collaborate (kolaborasi) pasangan suami istri berusaha menciptakan situasi yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak tercapai dengan tetap memerhatikan keberlangsungan hubungan. Suami istri bersikap kooperatif dengan bersedia saling terbuka dalam mengkomunikasikan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dan tidak mengesampingkan sudut pandang dan tujuan pasangan. Gaya kolaborasi memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.

(32)

gaya kolaborasi tidak dapat dijalankan karena adanya keterbatasan. Gaya kompromi akan menghasilkan jalan keluar yang efektif terutama jika pasangan harus sesegera mungkin memutuskan suatu penyelesaian. Penerapan gaya kolaborasi dan gaya kompromi memerlukan ketrampilan komunikasi yang baik diantaranya kesediaan mendengar, keterbukaan, empati, dan bersikap positif terhadap opini pasangan sehingga tercapai resolusi konflik integratif.

Langkah manajemen konflik mengacu pada pendapat yang dikemukakan Pruitt & Rubin (2004) yaitu memastikan adanya konflik dengan cara memahami kemungkinan terdapat konflik tidak nyata akibat kesalahpahaman, melakukan analisis konflik dengan membicarakan kepentingan pihak yang terlibat, mencari cara untuk merekonsiliasi, dan menurunkan ego dan bernegosiasi. Di dalam mengelola konflik komunikasi interpersonal yang efektif, bekerja sama, dan saling menahan diri antara pasangan suami istri dilatihkan, sehingga konflik dihadapi dengan kepala dingin dan terdapat komitmen untuk melaksanakan resolusi konflik yang telah diputuskan bersama. Komunikasi efektif, kesabaran, dan resolusi konflik merupakan aspek-aspek yang membentuk keluarga harmonis menurut Kovikondala dkk. (2015), sehingga keterampilan mengelola konflik yang dikuasai oleh pasangan suami istri akan menunjang peningkatan keharmonisan keluarga.

(33)

bersama-sama dalam merumuskan resolusi konflik yang konstruktif, sehingga konflik yang dialami pasangan suami istri tidak menjadi destruktif namun menjadi dasar bagi hubungan yang lebih erat dan komunikasi yang lebih efektif. Melalui pengelolaan konflik yang lebih baik diharapkan akan berdampak pada keharmonisan keluarga (Supratiknya, 1995).

Pasangan suami istri dengan gaya manajemen konflik cenderung destruktif diharapkan mengalami perubahan gaya manajemen konflik menuju konstruktif setelah mengikuti pelatihan manajemen konflik. Melalui perubahan gaya manajemen konflik menuju konstruktif ini, pasangan suami istri akan memiliki komunikasi yang lebih efektif, kuantitas dan kualitas konflik yang minim, serta menahan diri dengan lebih baik terhadap pasangannya. Komunikasi efektif, minim konflik, serta menahan diri merupakan faktor keharmonisan keluarga.

Keluarga yang harmonis dicapai melalui usaha bersama dari masing-masing anggota keluarga salah satunya ditandai dengan sikap dan cara yang konstruktif dalam resolusi konflik. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar merumuskan bersama resolusi konflik konstruktif yang pada akhirnya dapat mewujudkan keharmonisan keluarga.

D. Landasan Teori

(34)

penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi dalam usahanya untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya (Lestari, 2012).

Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah keluarga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi. Pengulangan transaksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut menyokong sistem (Lestari, 2012).

Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap anggota keluarga. Dalam menghadapi tekanan tersebut, keluarga mempertahankan kontinuitasnya sambil melakukan restukturisasi yang dimungkinkan. Untuk itu, dibutuhkan perubahan konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam berelasi agar anggota keluarga dapat tetap tumbuh sementara sistem keluarga mempertahankan kontinuitasnya (Lestari, 2012).

(35)

satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain misalnya sikap suportif ayah akan mempengarui kualitas hubungan ibu dengan bayinya (Lestari, 2012).

Berdasarkan teori sistem keluarga yang sudah dipaparkan, pelatihan manajemen konflik dirancang untuk membantu pasangan menemukenali konflik dalam hubungan interpersonal dan cara untuk menemukan solusi konstruktif sehingga diharapkan pasangan suami istri dapat meningkatkan kualitas individu sebagai suami dan istri serta kualitas hubungan menjadi lebih baik. Kualitas hubungan antara pasangan suami istri yang baik akan mempengaruhi kuatnya ikatan antar anggota keluarga. Bila ikatan yang terjalin cukup kuat maka antar anggota keluarga dapat bersikap luwes dalam berinteraksi dan didukung terpeliharanya saat-saat kebersamaan akan mewujudkan keluarga yang harmonis (Lestari, 2012).

Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri kemudian diikuti relasi orangtua-anak dan relasi antar saudara. Relasi yang ada dalam keluarga bersifat dinamis dan dapat membawa pengaruh positif atau negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi (Lestari, 2012). Terwujudnya keharmonisan keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri yang perlu diusahakan secara terus-menerus. Keharmonisan perkawinan merupakan suatu hal yang perlu diupayakan oleh pasangan suami istri sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa keharmonisan perkawinan berpengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Williams, 2003).

(36)

yang muncul, sehingga efek dari keberadaan konflik justru mampu mengeratkan ikatan suami istri (Supraktiknya, 1995). Dobos, dkk. (Benokraitis, 1996) menyatakan, beberapa hal yang dapat menimbulkan masalah dalam perkawinan, yaitu masalah keuangan, mengurus anak, adanya perbedaan gaya hidup, hubungan dengan teman, perbedaan kepribadian, masalah dengan mertua, masalah keagamaan, perbedaan politik, serta masalah seks. Manajemen konflik konstruktif diharapkan mampu memengaruhi relasi inti keluarga yakni relasi antara suami istri. Dalam usaha pasangan suami istri mewujudkan manajemen konflik konstruktif, terdapat komunikasi interpersonal yang efektif, keterbukaan, kehangatan komunikasi, serta kesediaan untuk menahan diri. Relasi positif antara suami dan istri akan memengaruhi keeratan hubungan antar anggota keluarga yang lain sehingga pada akhirnya terwujud keharmonisan keluarga.

Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan harmonis yang akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar bekerja sama dalam mengelola konflik perkawinan menggunakan manajemen konflik konstruktif sehingga dapat menemukan solusi permasalahan yang sehari-hari dihadapi.

(37)

Keterangan : = Dampak yang ditimbulkan

= Pelatihan yang diberikan

Gambar 1. Kerangka Penelitian HARMONIS

KEHARMONISAN KELUARGA MENINGKAT

MANAJEMEN KONFLIK KONSTRUKTIF

Collaborate & Compromise MANAJEMEN KONFLIK KONSTRUKTIF  Collaborate Compromise MANAJEMEN KONFLIK DESTRUKTIF  Competitive Avoiding Accomodation TINGGI

 Komunikasi efektif  Resolusi konflik  Saling menahan diri  Identitas keluarga  Waktu berkualitas

PELATIHAN MANAJEMEN

KONFLIK

menyadari konflik analisis konflik rekonsiliasi menurunkan ego,

mencari aspirasi RENDAH

 Miss-komunikasi  Konflik berlarut-larut  Lepas kendali

 Enggan menampakkan identitas keluarga

(38)

E. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah dijabarkan, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Ada perbedaan keharmonisan keluarga pada pasangan suami-istri yang diberikan pelatihan manajemen konflik (KE) dengan pasangan suami-istri yang tidak diberikan pelatihan manajemen konflik(KK). Pasangan suami-istri yang diberikan pelatihan manajemen konflik memerlihatkan keharmonisan keluarga yang lebih tinggi daripada pasangan suami-istri yang tidak diberikan pelatihan.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pasangan Suami Istri di Desa Kemantren Paciran Lamongan. Fokus permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah 1) Bagaimana Proses Pelatihan Keluarga Ideal kepada

Melakukan perancangan modul dan melakukan pelatihan untuk meningkatkan penyesuaian perkawinan berdasarkan gaya resolusi konflik pada pasangan suami istri Katolik

Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri yang hamil di luar nikah, sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah strategi manajemen